GRAVES DISEASE
Oleh:
dr. Claudia Marisca
Pembimbing:
dr.Christofel Korah Tooy, Sp.PD, FINASIM
0
LEMBAR PENGESAHAN LAPORAN KASUS
Graves Disease
Diajukan Oleh :
Nama : dr. Claudia Marisca
Dipresentasikan
Tanggal : 15 Februari 2016
Pembimbing I
1
Obyektif Presentasi
Deskripsi
Seorang laki-laki umur 37 tahun datang ke Rumah Sakit dengan keluhan BAB cair sejak 3 hari
SMRS.
Tujuan
Bahan Masalah
Cara Membahas
2
PRESENTASI KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. J
Umur : 37 tahun
No RM : RS1010
DATA SUBJEKTIF
Anamnesa
Pasien datang dengan keluhan BAB cair sejak 3 hari SMRS, terdapat ampas, tidak
terdapat lendir darah, pasien mengeluh mual, tidak disertai muntah, terdapat nyeri kepala, pasien
mengeluh batuk sejak 3 hari SMRS, terdapat nyeri perut. Pasien juga mengeluh demam sejak 2
hari SMRS, demam tinggi, diukur dengan perabaan tangan, demam naik turun. Pasien mengaku
sering mengalami hal ini sejak tahun 2005. Pasien sering berdebar dan mengalami penurunan
berat badan.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien pernah mendapat terapi pengobatan Tiroid tahun 2005. Tetapi tidak rutin
menjalani pengobatan tiroid.
3
Riwayat Hipertensi (-), Riwayat DM (-), Riwayat Asma (-).
Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada keluarga yang mengalami hal yang sama, Riwayat Hipertensi (-), Riwayat DM
(-), Riwayat Asma (-).
Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang, Compos mentis
GCS : E4V5M6
Vital Sign :
- Tekanan Darah : 100/70 mmHg
- Nadi : 125x/m
- Suhu : 36,7 C
- Pernapasan : 24 x/m
Pemeriksaan Fisik :
Kepala/Leher : CA -/-, SI -/-, reflek cahaya +/+, pupil isokhor
Exophtalmus +/+. Struma difusa (+), bruit (+)
Thorax :
- Jantung : S1-S2 normal, irreguler
- Paru : Suara Napas Vesikuler, Rhonki -/-, Wheezing -/-
Abdomen : Supel, Bising Usus (++)
Ekstremitas : Akral Hangat ++/++, Oedem --/--, Dermopathy -/-,
Rumple Leede (-).
Pemeriksaan Laboratorium
4
Segmen 50-70
Limfosit 21,8 20-40
Monosit 7,4 2-8
Hematokrit 34 P 40-48 W 37-43
Trombosit 65.000 150000-450000
Ureum 26 10-50
Creatinin 0,6 0,5-1,5
Na 136 135-155
K 3,1 3,4-5,3
Cl 103 98-106
5
Hemoglobin 10,3 P 13-16
Leukosit 3.600 5000-10000
Hematokrit 28 40-48
Trombosit 20.000 150000-450000
6
Pemeriksaan EKG
7
Foto Thorax
8
Pemeriksaan USG Abdomen
9
DIAGNOSIS KERJA UGD
Suspek Hipertiroid
PENATALAKSANAAN
Planning Diagnosis :
Darah Lengkap
T3, fT4, TSH
Foto Thorax PA
USG Abdomen
Echocardiografi
Planning Terapi :
10
Bisoprolol 1x1/2 mg
Aviter 1x1 sachet
Lansoprazole 2x1
Ij. Dexamethasone 1 amp/12jam iv
Ij. Ondancentron 1 amp/8jam iv
Paracetamol 3x500 mg
Follow Up
TD : 140/90 TD : 120/80
HR : 120x/m HR : 116x/m
Eks : Hangat (+), Edema (-) Eks : Hangat (+), Edema (-)
Trombositopenia Trombositopenia
11
Bisoprolol 1x tab Bisoprolol 1x tab
S Batuk (+)
TD : 100/80 TD : 120/80
HR : 114x/m HR : 110x/m
Eks : Hangat (+), Edema (-) Eks : Hangat (+), Edema (-)
Trombositopenia Trombositopenia
12
Bisoprolol 1x tab Bisoprolol 1x tab
Cetirizine 3x
Ambroxol 3x30 mg
TD : 120/80 TD : 120/80
HR : 100x/m HR : 104x/m
13
Eks : Hangat (+), Edema (-) Eks : Hangat (+), Edema (-)
Trombositopenia Trombositopenia
Ij. Ondancentron 1 amp/8 jam iv Ij. Ondancentron 1 amp/8 jam iv-> Stop
TD : 120/80
HR : 98x/m
14
Struma difus (+)
Cor : dbn
Trombositopenia Trombositopenia
Lansoprazole 2x30 mg
PTU 3x100 mg
Cetirizine 3x1
Ambroxol 3x30 mg
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Graves disease adalah penyakit autoimun dimana tiroid terlalu aktif menghasilkan
jumlah yang berlebihan dari hormone tiroid (ketidakseimbangan metabolism serius yang dikenal
sebagai hipertiroidisme dan tirotoksikosis) dan kelainannya dapat mengenai mata dan kulit.
Penyakit Graves merupakan bentuk tiroksikosis yang tersering dijumpai dan dapat terjadi pada
segala usia, lebih sering terjadi pada wanita disbanding pria. Sindroma ini terdiri dari satu atau
lebih dari gambaran tirotoksikosis, goiter, ophtalmopathy (exophtalmus), dermopathy (pretibial
myxedema).
15
A. Etiologi Graves Disease
Penyakit Graves merupakan salah satu penyakit autoimun yang disebabkan thyroid-
stimulating antibodies (TSAb). Antibodi ini berikatan dan mengaktifkan thyrotropin receptor
(TSHR) pada sel tiroid yang mensintesis dan melepaskan hormon tiroid. Penyakit Graves
berbeda dari penyakit imun lainnya karena memiliki manifestasi klinis yang spesifik, seperti
hipertiroid, vascular goitre, oftalmopati, dan yang paling jarang infiltrative dermopathy.
Penyakit ini mempunyai predisposisi genetik yang kuat, dimana 15% penderita
mempunyai hubungan keluarga yang erat dengan penderita penyakit yang sama. Sekitar 50%
dari keluarga penderita penyakit Graves, ditemukan autoantibodi tiroid didalam darahnya.
Penyakit ini ditemukan 5 kali lebih banyak pada wanita dibandingkan pria, dan dapat terjadi
pada semua umur. Angka kejadian tertinggi terjadi pada usia antara 20 tahun sampai 40
tahun.
Faktor- faktor resiko antara lain : faktor genetik, faktor imunologis, infeksi, faktor
trauma psikis, iod Basedow, penurunan berat badan secara drastis, chorionic gonadotropin,
periode post partum, kromosom X, dan radiasi eksternal.
1. Faktor genetik
Penyakit Hashimoto dan penyakit graves sering terjadi secara mengelompok
dalam keluarga nampak bersifat genetik. Dalam praktek sehari-sehari sering ditemukan
pengelompokkan penyakit graves dalam satu keluarga atau keluarga besarnya dalam
beberapa generasi. Abnormalitas ini meliputi antibodi anti-Tg, respon TRH yang
abnormal. Meskipun demikian TSAb jarang ditemukan. Predisposisi untuk penderita
penyakit gaves diturunkan lewat gen yang mengkode antigen HLA.
Setidaknya ada dua gen yang dipostulasikan berperan dalam penyakit graves.
Pertama gen dari HLA, yang kedua gen yang berhubungan dengan alotipe IgG rantai
berat (IgG heavy chain) yang disebut Gm. Pada orang kulit putih (Eropa) hubungan erat
terlihat antara penyakit graves dan HLA-B8 dan HLA-D3 sedangakan pada orang Jepang
HLA-Bw35 dan DW13, untuk Cina HLA-BW 4 dan di Filipina seperti dilaporkan oleh
Pascasio erat dengan HLA-B13 dengan risk-ration 5,1.
16
Adanya gen Gm menunjukkan bahwa orang tersebut mampu memproduksi
immunoglobulin tertentu. Sehingga gen HLA berparan dalam mengatur fungsi limfosit T-
supresor dan T-helper dalam memroduksi TSAb, dan Gm menunjukkan kemampuan
limfosit B untuk membuat TSAb.
2. Faktor imunologis
Penyakit graves merupakan contoh penyakit autoimun yang organ spesifik, yang
ditandai oleh adanya antibodi yang merangsang kelenjar tiroid (thyroid stimulating
antibody atau TSAb).
17
Pada penyakit graves anti-self-antibody dan cell mediated response, yang
biasanya ditekan, justru dilipatgandakan. Reaksinya mencakup meningkatnya TSAb, Anti
TgAb, Anti TPO-Ab, reaksi antibodi terhadap jaringan orbita, TBII dan respons CMI
(Cell Mediated Immunoglobulin).
Pada penyakit graves terjadi kegagalan sistem imun umum. Terbentuknya TSAb dapat
disebabkan oleh:
a. Paparan infeksi atau zat lain yang menyebabkan terbentuknya antibodi yang dapat
bereaksi silang dengan jaringan tiroid. Salah satu bahan yang banyak diteliti adalah
organisme Yersinia enterocolica. Beberapa subtipe organisme ini mempunyai
binding sites untuk TSH, dan beberapa pasien dengan penyakit graves juga
menunjukkan antibodi terhadap anti-Yersinia.
b. Produksi TSAb diawali dengan injury yang merubah susunan normal komponen
tiroid, mungkin sebagian dari reseptor TSH berubah jadi antigenik, sehingga
bertindak sebagai stimulus bagi pembentukan TSAb.
c. Produksi TSAb disebabkan karena aktivasi sel limfosit B yang selama dirahim tidak
deleted. Kemampuan sel T untuk membentuk TSAb harus dirangsang dan mengalami
diferensiasi menjadi antibody-secreting cells yang secara terus-menerus distimulasi.
Aktivasi, pengembangan dan kelanjutannya mungkin terjadi karena rangsangan
interleukin atau sitokin lain yang diproduksi oleh sel T helper inducer.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa penyakit graves adalah kondisi autoimmun
dimana terbentuk antibody terhadap reseptor TSH. Penyakit graves adalah gangguan
multifaktorial, susceptibilitas genetik berinteraksi dengan faktor endogen dan faktor
18
lingkungan untuk menjadi penyakit. Termasuk dalam hal ini HLA-DQ dan HLA-DR juga
gen non HLA seperti TNF-, CTLA 4 (Cytotoxic T Limphocyte Antigen 4), dan gen
reseptor TSH. Penyakit graves bersifat poligenik dan suseptibilitas gennya dipengaruhi
oleh faktor lingkungan seperti stress, merokok, dan beberapa faktor infeksi.
2. Trauma Psikis
Pada stress kadar glukokortikoid naik tetapi justru menyebabkan konversi dari T3
ke T4 terganggu, produksi TRH terhambat, dan akibatnya produksi hormon tiroid justru
turun. Secara teoritis stress mengubah fungsi limfosit T supresor atau T helper,
meningkatkan respon imun dan memungkinkan terjadinya penyakit graves. Baik stress
akut maupun kronik menimbulkan supresi sistem imun lewat non antigen specific
mechanism, diduga karena efek kortisol dan CRH ditingkat sel immun.
19
dan kalsitonin. Secara anatomi, tiroid merupakan kelenjar endokrin (tidak mempunyai ductus)
dan bilobular (kanan dan kiri), dihubungkan oleh isthmus (jembatan) yang terletak di depan
trachea tepat di bawah cartilago cricoidea. Kadang juga terdapat lobus tambahan yang
membentang ke atas (ventral tubuh), yaitu lobus piramida.
20
2. Parasimpatis, yaitu N. laryngea superior dan N. laryngea recurrens (cabang N.vagus)
3. N. laryngea superior dan inferior sering cedera waktu operasi, akibatnya pita suara
terganggu (serak/stridor)
21
Pengangkutan Tiroksin dan Triiodotirosin ke Jaringan
Setelah dikeluarkan ke dalam darah, hormon tiroid yang sangat lipofilik secara cepat
berikatan dengan beberapa protein plasma. Kurang dari 1% T3 dan kurang dari 0,1% T4 tetap
berada dalam bentuk tidak terikat (bebas). Keadaan ini memang luar biasa mengingat bahwa
hanya hormon bebas dari keseluruhan hormon tiroid memiliki akses ke sel sasaran dan mampu
menimbulkan suatu efek.
1. TBG (Thyroxine-Binding Globulin) yang secara selektif mengikat 55% T4 dan 65% T3
yang ada di dalam darah.
2. Albumin yang secara nonselektif mengikat banyak hormone lipofilik, termasuk 10%
dari T4 dan 35% dari T3.
3. TBPA (Thyroxine-Binding Prealbumin) yang mengikat sisa 35% T4.
Di dalam darah, sekitar 90% hormon tiroid dalam bentuk T4, walaupun T3 memiliki aktivitas
biologis sekitar empat kali lebih poten daripada T4. Namun, sebagian besar T4 yang disekresikan
kemudian dirubah menjadi T3, atau diaktifkan, melalui proses pengeluaran satu yodium di hati
dan ginjal. Sekitar 80% T3 dalam darah berasal dari sekresi T4 yang mengalami proses
pengeluaran yodium di jaringan perifer. Dengan demikian, T3 adalah bentuk hormon tiroid yang
secara biologis aktif di tingkat sel.
1. Meningkatkan transkripsi gen ketika hormon tiroid (kebanyakan T3) berikatan dengan
reseptornya di inti sel.
22
Pada penyakit Graves, limfosit T mengalami perangsangan terhadap antigen yang
berada didalam kelenjar tiroid yang selanjutnya akan merangsang limfosit B untuk
mensintesis antibodi terhadap antigen tersebut. Antibodi yang disintesis akan bereaksi
dengan reseptor TSH didalam membran sel tiroid sehingga akan merangsang pertumbuhan
dan fungsi sel tiroid, dikenal dengan TSH-R antibody. Adanya antibodi didalam sirkulasi
darah mempunyai korelasi yang erat dengan aktivitas dan kekambuhan penyakit. Mekanisme
autoimunitas merupakan faktor penting dalam patogenesis terjadinya hipertiroidisme,
oftalmopati, dan dermopati pada penyakit Graves.
Sampai saat ini dikenal ada 3 autoantigen utama terhadap kelenjar tiroid yaitu
tiroglobulin (Tg), thyroidal peroxidase (TPO) dan reseptor TSH (TSH-R). Disamping itu
terdapat pula suatu protein dengan BM 64 kiloDalton pada permukaan membran sel tiroid
dan sel-sel orbita yang diduga berperan dalam proses terjadinya perubahan kandungan orbita
dan kelenjar tiroid penderita penyakit Graves.
Sel-sel tiroid mempunyai kemampuan bereaksi dengan antigen diatas dan bila
terangsang oleh pengaruh sitokin (seperti interferon gamma) akan mengekspresikan molekul-
molekul permukaan sel kelas II (MHC kelas II, seperti DR4) untuk mempresentasikan
antigen pada limfosit T.
Terjadinya oftalmopati Graves melibatkan limfosit sitotoksik (killer cells) dan antibodi
sitotoksik lain yang terangsang akibat adanya antigen yang berhubungan dengan tiroglobulin
atau TSH-R pada fibroblast, otot-otot bola mata dan jaringan tiroid. Sitokin yang terbentuk
dari limfosit akan menyebabkan inflamasi fibroblast dan miositis orbita, sehingga
menyebabkan pembengkakan otot-otot bola mata, proptosis dan diplopia.
Dermopati Graves (miksedema pretibial) juga terjadi akibat stimulasi sitokin didalam
jaringan fibroblast didaerah pretibial yang akan menyebabkan terjadinya akumulasi
glikosaminoglikans.
Berbagai gejala tirotoksikosis berhubungan dengan perangsangan katekolamin, seperti
takhikardi, tremor, dan keringat banyak. Adanya hiperreaktivitas katekolamin, terutama
epinefrin diduga disebabkan karena terjadinya peningkatan reseptor katekolamin didalam
otot jantung.
23
Patogenesis Penyakit Graves
24
dengan mata melotot, fissura palpebra melebar, kedipan berkurang, lid lag (keterlambatan
kelopak mata dalam mengikuti gerakan mata) dan kegagalan konvergensi (Price dan
Wilson, 1995). Gambaran klinik klasik dari penyakit graves antara lain adalah tri tunggal
hipertitoidisme, goiter difus dan eksoftalmus.
Perubahan pada mata (oftalmopati Graves), menurut the American Thyroid
Association diklasifikasikan sebagai berikut (dikenal dengan singkatan NOSPECS):
a. Tidak ada gejala dan tanda
b. Hanya ada tanda tanpa gejala (berupa upper lid retraction,stare,lid lag)
c. Perubahan jaringan lunak orbita
d. Proptosis (dapat dideteksi dengan Hertel exphthalmometer)
e. Keterlibatan otot-otot ekstra ocular
f. Perubahan pada kornea (keratitis)
g. Kebutaan (kerusakan nervus opticus)
Kelas 1, terjadinya spasme otot palpebra superior dapat menyertai keadaan awal
tirotoksikosis Graves yang dapat sembuh spontan bila keadaan tirotoksikosisnya diobati
secara adekuat. Pada Kelas 2-6 terjadi proses infiltratif pada otot-otot dan jaringan orbita.
Kelas 2, ditandai dengan keradangan jaringan lunak orbita disertai edema periorbita,
kongesti dan pembengkakan dari konjungtiva (khemosis). Kelas 3, ditandai dengan
adanya proptosis yang dapat dideteksi dengan Hertel exophthalmometer. Pada kelas 4,
terjadi perubahan otot-otot bola mata berupa proses infiltratif terutama pada musculus
rectus inferior yang akan menyebabkan kesukaran menggerakkan bola mata keatas. Bila
mengenai musculus rectus medialis, maka akan terjadi kesukaran dalam menggerakkan
bola mata kesamping. Kelas 5, ditandai dengan perubahan pada kornea (terjadi keratitis).
Kelas 6, ditandai dengan kerusakan nervus opticus, yang akan menyebabkan kebutaan.
Oftalmopati Graves terjadi akibat infiltrasi limfosit pada otot-otot ekstraokuler
disertai dengan reaksi inflamasi akut. Rongga mata dibatasi oleh tulang-tulang orbita
sehingga pembengkakan otot-otot ekstraokuler akan menyebabkan proptosis (penonjolan)
dari bola mata dan gangguan pergerakan otot-otot bola mata, sehingga dapat terjadi
diplopia. Pembesaran otot-otot bola mata dapat diketahui dengan pemeriksaan CT
scanning atau MRI. Bila pembengkakan otot terjadi dibagian posterior, akan terjadi
penekanan nervus opticus yang akan menimbulkan kebutaan.
Pada penderita yang berusia lebih muda, manifestasi klinis yang umum ditemukan
antara lain palpitasi, nervous, mudah capek, hiperkinesia, diare, berkeringat banyak, tidak
tahan panas dan lebih senang cuaca dingin. Pada wanita muda gejala utama penyakit
25
graves dapat berupa amenore atau infertilitas. Pada anak-anak, terjadi peningkatan
pertumbuhan dan percepatan proses pematangan tulang.
Sedangkan pada penderita usia tua (> 60 tahun), manifestasi klinis yang lebih
mencolok terutama adalah manifestasi kardiovaskuler dan miopati, ditandai dengan
adanya palpitasi , dyspnea deffort, tremor, nervous dan penurunan berat badan.
Pada neonatus, hipertiroidisme merupakan kelainan klinik yang relatif jarang
ditemukan, diperkirakan angka kejadian hanya 1 dari 25.000 kehamilan. Kebanyakan
pasien dilahirkan dari ibu yang menderita penyakit graves aktif tetapi dapat juga terjadi
pada ibu dengan keadaan hipotiroid atau eutiroid karena tiroiditis autoimun, pengobatan
ablasi iodine radioaktif atau karena pembedahan.
Gejala dan tanda apakah seseorang menderita hipertiroid atau tidak juga dapat
dilihat atau ditentukan dengan indeks wayne atau indeks newcastle yaitu sebagai berikut:
Indeks Wayne
2 Berdebar +2
3 Kelelahan +2
6 Keringat berlebihan +3
7 Gugup +2
26
No Tanda Ada Tidak Ada
1 Tyroid teraba +3 -3
2 Bising tyroid +2 -2
3 Exoptalmus +2 -
5 Hiperkinetik +4 -2
6 Tremor jari +1 -
7 Tangan panas +2 -2
8 Tangan basah +1 -1
9 Fibrilasi atrial +4 -
Nadi teratur
2. Pemeriksaan Laboratorium
Kelainan laboratorium pada keadaan hipertiroidisme dapat dilihat pada skema dibawah
ini:
27
Skema Interpretasi Pemeriksaan Laboratorium
Autoantibodi tiroid, TgAb dan TPO Ab dapat dijumpai baik pada penyakit Graves
maupun tiroiditis Hashimoto, namun TSH-R Ab (stim) lebih spesifik pada penyakit
Graves. Pemeriksaan ini berguna pada pasien dalam keadaan apathetic hyperthyroid atau
pada eksoftamos unilateral tanpa tanda-tanda klinis dan laboratorium yang jelas (Shahab,
2002).
Untuk dapat memahami hasil-hasil laboratorium pada penyakit Graves dan
hipertiroidisme umumnya, perlu mengetahui mekanisme umpan balik pada hubungan
(axis) antara kelenjar hipofisis dan kelenjar tiroid. Dalam keadaan normal, kadar hormon
tiroid perifer, seperti L-tiroksin (T-4) dan tri-iodo-tironin (T-3) berada dalam
keseimbangan dengan thyrotropin stimulating hormone (TSH). Artinya, bila T-3 dan T-4
rendah, maka produksi TSH akan meningkat dan sebaliknya ketika kadar hormon tiroid
tinggi, maka produksi TSH akan menurun (Shahab, 2002).
Pada penyakit Graves, adanya antibodi terhadap reseptor TSH di membran sel
folikel tiroid, menyebabkan perangsangan produksi hormon tiroid secara terus menerus,
sehingga kadar hormon tiroid menjadi tinggi. Kadar hormon tiroid yang tinggi ini
menekan produksi TSH di kelenjar hipofisis, sehingga kadar TSH menjadi rendah dan
bahkan kadang-kadang tidak terdeteksi. Pemeriksaan TSH generasi kedua merupakan
pemeriksaan penyaring paling sensitif terhadap hipertiroidisme, oleh karena itu disebut
28
TSH sensitive (TSHs), karena dapat mendeteksi kadar TSH sampai angka mendekati 0,05
mIU/L. Untuk konfirmasi diagnostik, dapat diperiksa kadar T-4 bebas (free T-4/FT-4).
d. Sidik tiroid
Jarang dikerjakan untuk graves, kecuali apabila gondok sulit teraba atau teraba nodul
yang memerlukan evaluasi. Gambaran sindrom marine-lenhardt ditemukan waktu
melakukan sidik tiroid, yang ditanndai dengan satu atau lebih nodul (cold nodul) atas
dasar kelenjar toksik difus. Hal ini terjadi karena graves terdapat pada gondok non
toksik. Meskipun demikian tidak boleh dilupakan untuk menyingkirkan kemungkinan
29
keganasan. Graves selalu dengan gondok hyperthyroid diffuse, mengenai 2 lobus
tiroid, TRAb dan TPOAb
Dengan demikian diagnosis penyakit graves dapat ditegakkan dengan cara sebagai berikut:
Diagnosis Banding
Penyakit Graves dapat terjadi tanpa gejala dan tanda yang khas sehingga diagnosis
kadang-kadang sulit didiagnosis. Atrofi otot yang jelas dapat ditemukan pada miopati akibat
penyakit Graves, namun harus dibedakan dengan kelainan neurologik primer.
Pada sindrom yang dikenal dengan familial dysalbuminemic hyperthyroxinemia dapat
ditemukan protein yang menyerupai albumin (albumin-like protein) didalam serum yang dapat
berikatan dengan T4 tetapi tidak dengan T3. Keadaan ini akan menyebabkan peningkatan kadar
T4 serum dan FT4I, tetapi free T4, T3 dan TSH normal. Disamping tidak ditemukan adanya
gambaran klinis hipertiroidisme, kadar T3 dan TSH serum yang normal pada sindrom ini dapat
membedakannya dengan penyakit Graves.
30
Thyrotoxic periodic paralysis yang biasa ditemukan pada penderita laki-laki etnik Asia
dapat terjadi secara tiba-tiba berupa paralysis flaksid disertai hipokalemi. Paralisis biasanya
membaik secara spontan dan dapat dicegah dengan pemberian suplementasi kalium dan beta
bloker. Keadaan ini dapat disembuhkan dengan pengobatan tirotoksikosis yang adekuat.
Penderita dengan penyakit jantung tiroid terutama ditandai dengan gejala-gejala kelainan
jantung, dapat berupa:
- Atrial fibrilasi yang tidak sensitif dengan pemberian digoksin
- High-output heart failure
Sekitar 50% pasien tidak mempunyai latar belakang penyakit jantung sebelumnya, dan
gangguan fungsi jantung ini dapat diperbaiki dengan pengobatan terhadap tirotoksikosisnya.
Pada penderita usia tua dapat ditemukan gejala-gejala berupa penurunan berat badan, struma
yang kecil, atrial fibrilaasi dan depresi yang berat, tanpa adanya gambaran klinis dari manifestasi
peningkatan aktivitas katekolamin yang jelas. Keadaan ini dikenal dengan apathetic
hyperthyroidism.
4. Komplikasi
Krisis tiroid (Thyroid storm)
Merupakan eksaserbasi akut dari semua gejala tirotoksikosis yang berat sehingga dapat
mengancam kehidupan penderita. Faktor pencetus terjadinya krisis tiroid pada penderita
tirotoksikosis antara lain:
31
Manifestasi klinis dari krisis tiroid dapat berupa tanda-tanda hipermetabolisme berat dan
respons adrenergik yang hebat, yaitu meliputi:
- Demam tinggi, dimana suhu meningkat dari 38C sampai mencapai 41C disertai
dengan flushing dan hiperhidrosis.
- Takhikardi hebat, atrial fibrilasi sampai payah jantung.
- Gejala-gejala neurologik seperti agitasi, gelisah, delirium sampai koma.
- Gejala-gejala saluran cerna berupa mual, muntah,diare dan ikterus.
Terjadinya krisis tiroid diduga akibat pelepasan yang akut dari simpanan hormon tiroid
didalam kelenjar tiroid. Namun beberapa penelitian menunjukkan bahwa kadar T4 dan T3
didalam serum penderita dengan krisis tiroid tidak lebih tinggi dibandingkan dengan kadarnya
pada penderita tirotoksikosis tanpa krisis tiroid.
Juga tidak ada bukti yang kuat bahwa krisis tiroid terjadi akibat peningkatan produksi
triiodothyronine yang hebat. Dari beberapa studi terbukti bahwa pada krisis tiroid terjadi
peningkatan jumlah reseptor terhadap katekolamin, sehingga jantung dan jaringan syaraf lebih
sensitif terhadap katekolamin yang ada didalam sirkulasi.
Hipertiroidisme dapat mengakibatkan komplikasi mencapai 0,2% dari seluruh kehamilan
dan jika tidak terkontrol dengan baik dapat memicu terjadinya krisis tirotoksikosis, kelahiran
prematur atau kematian intrauterin. Selain itu hipertiroidisme dapat juga menimbulkan
preeklampsi pada kehamilan, gagal tumbuh janin, kegagalan jantung kongestif, tirotoksikosis
pada neonatus dan bayi dengan berat badan lahir rendah serta peningkatan angka kematian
perinatal.
32
Terdapat 2 kelas obat golongan tionamid, yaitu tiourasil dan imidazol. Tiourasil
dipasarkan dengan nama propiltiourasil (PTU) dan imidazol dipasarkan dengan nama
metimazol dan karbimazol. Obat golongan tionamid lain yang baru beredar ialah
tiamazol yang isinya sama dengan metimazol.
Obat golongan tionamid mempunyai efek intra dan ekstratiroid. Mekanisme
aksi intratiroid yang utama ialah mencegah/mengurangi biosintesis hormon tiroid T-3
dan T-4, dengan cara menghambat oksidasi dan organifikasi iodium, menghambat
coupling iodotirosin, mengubah struktur molekul tiroglobulin dan menghambat
sintesis tiroglobulin. Sedangkan mekanisme aksi ekstratiroid yang utama ialah
menghambat konversi T-4 menjadi T-3 di jaringan perifer (hanya PTU, tidak pada
metimazol). Atas dasar kemampuan menghambat konversi T-4 ke T-3 ini, PTU lebih
dipilih dalam pengobatan krisis tiroid yang memerlukan penurunan segera hormon
tiroid di perifer. Sedangkan kelebihan metimazol adalah efek penghambatan
biosintesis hormon lebih panjang dibanding PTU, sehingga dapat diberikan sebagai
dosis tunggal.
Belum ada kesesuaian pendapat diantara para ahli mengenai dosis dan jangka
waktu pengobatan yang optimal dengan OAT. Beberapa kepustakaan menyebutkan
bahwa obat-obat anti tiroid (PTU dan methimazole) diberikan sampai terjadi remisi
spontan, yang biasanya dapat berlangsung selama 6 bulan sampai 15 tahun setelah
pengobatan.
Untuk mencegah terjadinya kekambuhan maka pemberian obat-obat antitiroid
biasanya diawali dengan dosis tinggi. Bila telah terjadi keadaan eutiroid secara klinis,
diberikan dosis pemeliharaan (dosis kecil diberikan secara tunggal pagi hari). Dosis
PTU dimulai dengan 100 200 mg/hari dan metimazol / tiamazol dimulai dengan 20
40 mg/hari dosis terbagi untuk 3 6 minggu pertama. Setelah periode ini dosis
dapat diturunkan atau dinaikkan sesuai respons klinis dan biokimia. Apabila respons
pengobatan baik, dosis dapat diturunkan sampai dosis terkecil PTU 50 mg/hari dan
metimazol / tiamazol 5 10 mg/hari yang masih dapat mempertahankan keadaan
klinis eutiroid dan kadar FT4 dalam batas normal. Bila dengan dosis awal belum
memberikan efek perbaikan klinis dan biokimia, dosis dapat di naikkan bertahap
sampai dosis maksimal, tentu dengan memperhatikan faktor-faktor penyebab lainnya
seperti ketaatan pasien minum obat, aktivitas fisis dan psikis.
33
Propylthiouracil mempunyai kelebihan dibandingkan methimazole karena
dapat menghambat konversi T4 menjadi T3, sehingga efektif dalam penurunan kadar
hormon secara cepat pada fase akut dari penyakit Graves.
Methimazole mempunyai masa kerja yang lama sehingga dapat diberikan dosis
tunggal sekali sehari. Terapi dimulai dengan dosis methimazole 40 mg setiap pagi
selama 1 2 bulan, dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 5 20 mg perhari.
Meskipun jarang terjadi, harus diwaspadai kemungkinan timbulnya efek
samping, yaitu agranulositosis (metimazol mempunyai efek samping agranulositosis
yang lebih kecil), gangguan fungsi hati, lupus like syndrome, yang dapat terjadi
dalam beberapa bulan pertama pengobatan. Agranulositosis merupakan efek samping
yang berat sehingga perlu penghentian terapi dengan Obat Anti Tiroid dan
dipertimbangkan untuk terapi alternatif yaitu yodium radioaktif.. Agranulositosis
biasanya ditandai dengan demam dan sariawan, dimana untuk mencegah infeksi perlu
diberikan antibiotika.
Efek samping lain yang jarang terjadi namun perlu penghentian terapi dengan
Obat Anti Tiroid antara lain Ikterus Kholestatik, Angioneurotic edema, Hepatocellular
toxicity dan Arthralgia Akut. Untuk mengantisipasi timbulnya efek samping tersebut,
sebelum memulai terapi perlu pemeriksaan laboratorium dasar termasuk leukosit
darah dan tes fungsi hati, dan diulang kembali pada bulan-bulan pertama setelah
terapi. Bila ditemukan efek samping, penghentian penggunaan obat tersebut akan
memperbaiki kembali fungsi yang terganggu, dan selanjutnya dipilih modalitas
pengobatan yang lain seperti radioiodine 131I atau operasi. Bila timbul efek samping
yang lebih ringan seperti pruritus, dapat dicoba ganti dengan obat jenis yang lain,
misalnya dari PTU ke metimazol atau sebaliknya.
Evaluasi pengobatan perlu dilakukan secara teratur mengingat penyakit Graves
adalah penyakit autoimun yang tidak bisa dipastikan kapan akan terjadi remisi.
Evaluasi pengobatan paling tidak dilakukan sekali/bulan untuk menilai perkembangan
klinis dan biokimia guna menentukan dosis obat selanjutnya. Dosis dinaikkan dan
diturunkan sesuai respons hingga dosis tertentu yang dapat mencapai keadaan
eutiroid. Kemudian dosis diturunkan perlahan hingga dosis terkecil yang masih
mampu mempertahankan keadaan eutiroid, dan kemudian evaluasi dilakukan tiap 3
bulan hingga tercapai remisi. Remisi yang menetap dapat diprediksi pada hampir 80%
34
penderita yang diobati dengan Obat Anti Tiroid bila ditemukan keadaan-keadaan
sebagai berikut:
1) Terjadi pengecilan kelenjar tiroid seperti keadaan normal.
2) Bila keadaan hipertiroidisme dapat dikontrol dengan pemberian Obat Anti Tiroid
dosis rendah.
3) Bila TSH-R Ab tidak lagi ditemukan didalam serum.
Parameter biokimia yang digunakan adalah FT4 (atau FT3 bila terdapat T3
toksikosis), karena hormon-hormon itulah yang memberikan efek klinis, sementara
kadar TSH akan tetap rendah, kadang tetap tak terdeteksi, sampai beberapa bulan
setelah keadaan eutiroid tercapai. Sedangkan parameter klinis yang dievaluasi ialah
berat badan, nadi, tekanan darah, kelenjar tiroid, dan mata (Subekti, 2001; Shahab,
2002).
c. Obat-obatan Lain
Obat-obat seperti iodida inorganik, preparat iodinated radiographic contrast,
potassium perklorat dan litium karbonat, meskipun mempunyai efek menurunkan
35
kadar hormon tiroid, tetapi jarang digunakan sebagai regimen standar pengelolaan
penyakit Graves. Obat-obat tersebut sebagian digunakan pada keadaan krisis tiroid,
untuk persiapan operasi tiroidektomi atau setelah terapi iodium radioaktif.
Umumnya obat anti tiroid lebih bermanfaat pada penderita usia muda dengan
ukuran kelenjar yang kecil dan tirotoksikosis yang ringan. Pengobatan dengan Obat
Anti Tiroid (OAT) mudah dilakukan, aman dan relatif murah, namun jangka waktu
pengobatan lama yaitu 6 bulan sampai 2 tahun bahkan bisa lebih lama lagi.
Kelemahan utama pengobatan dengan OAT adalah angka kekambuhan yang tinggi
setelah pengobatan dihentikan, yaitu berkisar antara 25% sampai 90%. Kekambuhan
dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain dosis, lama pengobatan, kepatuhan
pasien dan asupan yodium dalam makanan. Kadar yodium yang tinggi didalam
makanan menyebabkan kelenjar tiroid kurang sensitif terhadap OAT.
3. Pembedahan
Tiroidektomi subtotal merupakan terapi pilihan pada penderita dengan struma yang
besar. Sebelum operasi, penderita dipersiapkan dalam keadaan eutiroid dengan pemberian
OAT (biasanya selama 6 minggu). Disamping itu, selama 2 minggu pre operatif,
diberikan larutan Lugol atau potassium iodida, 5 tetes 2 kali sehari, yang dimaksudkan
untuk mengurangi vaskularisasi kelenjar dan mempermudah operasi. Sampai saat ini
masih terdapat silang pendapat mengenai seberapa banyak jaringan tiroid yangn harus
diangkat.
Tiroidektomi total biasanya tidak dianjurkan, kecuali pada pasein dengan
oftalmopati Graves yang progresif dan berat. Namun bila terlalu banyak jaringan tiroid
yang ditinggalkan, dikhawatirkan akan terjadi relaps. Kebanyakan ahli bedah menyisakan
2 3 gram jaringan tiroid. Walaupun demikan kebanyakan penderita masih memerlukan
suplemen tiroid setelah mengalami tiroidektomi pada penyakit Graves.
36
Hipoparatiroidisme dan kerusakan nervus laryngeus recurrens merupakan komplikasi
pembedahan yang dapat terjadi pada sekitar 1% kasus.
37
Efek samping yang menonjol dari pengobatan yodium radioaktif adalah
hipotiroidisme. Kejadian hipotiroidisme sangat dipengaruhi oleh besarnya dosis; makin
besar dosis yang diberikan makin cepat dan makin tinggi angka kejadian hipotiroidisme.
Dengan dosis I131 yang moderat yaitu sekitar 100 Ci/g berat jaringan tiroid,
didapatkan angka kejadian hipotiroidisme sekitar 10% dalam 2 tahun pertama dan sekitar
3% untuk tiap tahun berikutnya. Efek samping lain yang perlu diwaspadai adalah:
1. Memburuknya oftalmopati yang masih aktif (mungkin karena lepasnya antigen tiroid
dan peningkatan kadar antibody terhadap reseptor TSH), dapat dicegah dengan
pemberian kortikosteroid sebelum pemberian I131
2. Hipo atau hiperparatiroidisme dan kelumpuhan pita suara (ketiganya sangat jarang
terjadi)
3. Gastritis radiasi (jarang terjadi)
4. Eksaserbasi tirotoksikosis akibat pelepasan hormon tiroid secara mendadak (leakage)
pasca pengobatan yodium radioaktif; untuk mencegahnya maka sebelum minum
yodium radioaktif diberikan OAT terutama pada pasien tua dengan kemungkinan
gangguan fungsi jantung.
Setelah pemberian yodium radioaktif, fungsi tiroid perlu dipantau selama 3 sampai 6
bulan pertama. Setelah keadaan eutiroid tercapai fungsi tiroid cukup dipantau setiap 6
sampai 12 bulan sekali, yaitu untuk mendeteksi adanya hipotiroidisme.
38
antireseptor TSH dalam serum dapat membantu memastikan diagnosis. Pemeriksaan CT
scan atau MRI digunakan untuk menyingkirkan kemungkinan penyebab kelainan orbita
lainnya.
6. Pengobatan Krisis Tiroid
Pengobatan krisis tiroid meliputi pengobatan terhadap hipertiroidisme
(menghambat produksi hormon, menghambat pelepasan hormon dan menghambat
konversi T4 menjadi T3, pemberian kortikosteroid, penyekat beta dan plasmafaresis),
normalisasi dekompensasi homeostatic (koreksi cairan, elektrolit dan kalori) dan
mengatasi faktor pemicu.
39
BAB III
KESIMPULAN
Gambaran klinik klasik dari penyakit graves adalah tri tunggal hipertiroidisme, goiter difus
dan eksoftalmus. Pada anak-anak, terjadi peningkatan pertumbuhan dan percepatan proses
pematangan tulang. Pada penderita usia tua (>60 tahun), manifestasi klinis yang lebih mencolok
terutama adalah manifestasi kardiovaskuler dan miopati, ditandai dengan adanya palpitasi,
dyspnea deffort, tremor, nervous dan penurunan berat badan.
Pemeriksaan laboratorium untuk penyakit grave adalah FT4, T3, dan TSH. Bila T3 dan T4
rendah, maka produksi TSH akan meningkat dan sebaliknya ketika kadar hormon tiroid tinggi,
maka produksi TSH akan menurun. Pemeriksaan penunjang lain seperti pencitraan (scan dan
USG tiroid) jarang dilakukan. Komplikasi: Krisis tiroid (Thyroid storm) adalah eksaserbasi akut
yang dapat mengancam jiwa penderita hipertiroidisme.
Ada tiga jenis pengobatan terhadap hipertiroidisme akibat penyakit Graves, yaitu: Obat anti
tiroid, Pembedahan dengan Tiroidektomi dan Terapi Yodium Radioaktif dengan (I131).
Pengobatan krisis tiroid meliputi pengobatan terhadap hipertiroidisme (menghambat produksi
hormon, menghambat pelepasan hormon dan menghambat konversi T4 menjadi T3, pemberian
kortikosteroid, penyekat beta dan plasmafaresis), normalisasi dekompensasi homeostatik
(koreksi cairan, elektrolit dan kalori) dan mengatasi faktor pemicu.
40
DAFTAR PUSTAKA
41