PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Setiap perusahaan yang melakukan suatu perjanjian kerjasama terkadang dapat terjadi suatu
hal yang tidak terduga, seperti halnya suatu kepailitan. Tidak jarang suatu perusahaan, baik itu berupa
suatu perusahaan yang besar atau kecil pasti dapat dipailitkan. Suatu kepailitan itu dapat terjadi
apabila ada suatu perusahaan, dimana sebelumnya melakukan suatu perjanjian kerjasama dengan
perusahaan yang lain, tetapi ternyata setelah berlangsung beberapa lama perjanjian tersebut,
perusahaan yang dapat disebutkan sebagai pihak debitur tersebut terdapat suatu utang, dan debitur
tersebut tidak dapat membayarkan utang tersebut kepada pihak kreditur sebagaimana mestinya, dan
Secara tata bahasa dapat kita lihat bahwa kata kepailitan itu sebenarnya berasal dari kata
istilah "pailit", yang biasa dijumpai dalam pembendaharaan bahasa Belanda, Prancis, Latin dan
Inggris. Kepailitan dapat pula kita artikan sebagai suatu proses dimana seorang debitur yang
mempunyai kesulitan keuangan untuk membayarkan utangnya dan dinyatakan pailit oleh pengadilan,
dalam hai ini pengadilan yang dimaksud adalah pengadilan niaga, karena debitur tersebut tidak dapat
membayarkan utangnya.
Pengertian tentang kepailitan sendiri lebih jelas terdapat dalam Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2004 Pasal 1 Angka l tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yaitu
adalah suatu sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya
dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-
undang ini.
Perusahaan yang dinyatakan pailit oleh pengadilan pastinya dapat memiliki suatu resiko yang
besar. Salah satu resikonya tersebut dapat berpengaruh terhadap perusahaannya. Bisa saja perusahaan
tersebut menjadi tutup dan dinyatakan bangkrut. Hingga para karyawan pun tidak jarang jadi terkena
Prima Jaya Informatika memulai kerja sama pada 1 Juni 2011 sampai batas waktu Juni 2013 dengan
komitmen awal Telkomsel menyediakan voucher isi ulang bertema khusus olahraga. Namun
kemitraan ini menimbulkan kasus, karena pada Juni 2012 Telkomsel memutuskan kontrak karena
Kisruh Telkomsel dengan PT Prima Jaya Informatika berawal dari dihentikannya pasokan
produk prabayar Kartu Prima mulai Juni 2012 lalu. PT Prima Jaya Informatika sebagai mitra
mengajukan permohonan pailit kepada Telkomsel karena dianggap mempunyai utang jatuh tempo atas
No. 48/Pailit/2012/PN.Niaga.JKT.PST oleh majelis hakim Pengadilan Niaga Jakarta. Majelis hakim
permohonan pailit tersebut terdiri dari Agus Iskandar, Bagus Irawan, dan Noer Alli.
Menurut majelis, permohonan pailit yang diajukan PT Prima Jaya Informatika telah memenuhi syarat-
syarat Undang-undang kepailitan yaituTelkomsel terbukti memiliki utang jatuh tempo yang dapat
ditagih oleh PT Prima Jaya Informatika sebesar Rp5,3 miliar dan sejumlah kreditur lain, seperti PT
Extend Media Indonesia senilai Rp21.031.561.274 dan Rp19.294.652.520. Gugatan yang diajukan
oleh CEO PT Prima Jaya Informatika, Tonny Djaya Laksana, oleh karenanya terbukti memenuhi
unsur Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang (UU) Kepailitan, yang Yaitu adanya utang yang jatuh tempo
Penerapan hukum atas Putusan Pailit terhadap Telkomsel dinilai sangat controversial dan
tidak masuk akal, karena sebuah Perusahaan Telekomunikasi Terbesar di Indonesia dengan asset
triliunan rupiah, dapat dengan mudah dipailitkan hanya dengan utang sebesar 5.3 Miliar yang itupun
adalah Purchase Order yang dianggap Sebagai Utang. Dan dalam kasus ada kekhilafan hakim didalam
memutuskan perkara tanpa memperhatikan asas hukum "exceptio non adimpleti contractus". Artinya
pihak lawan dalam keadaan lalai, maka dengan demikian tidak dapat menuntut pemenuhan prestasi
pihak lain. Selain itu dalam legal standing dalam perjanjian kerja sama tersebut PT Prima Jaya
Informatika sebagai Pemohon pailit (sebagai kreditor) dan Telkomsel (sebagai Debitor) yang memiliki
aset dan laba triliunan rupiah sebagai perusahaan yang masih sangat solven telah terjadi kekeliruan
dalam penafsiran hukum antara siapa sebagai kreditor dan siapa sebagai Debitor di dalam Perjanjian
Telkomsel memiliki aset yang jauh lebih besar dibanding utang yang diklaim PT. Prima Jaya
Informatika (PJI). Telkomsel memiliki prestasi yang gemilang pada kuartal I/2012. Sepanjang kuartal
pertama 2012, Telkomsel telah berhasil membukukan laba bersih 3,5 triliun Rupiah (Bisnis.com).
utang Telkomsel kepada PJI sebesar Rp 5,3 milyar tersebut tentu tidak seberapa bila dbanding dengan
Upaya hukum yang dilakukan oleh PT.Telkomsel Tbk. adalah dengan mengajukan kasasi
kepada pihak Mahkamah Agung. Upaya hukum kasasi tersebut dimaksudkan untuk mendapatkan
suatu kepastian hukum yang sesungguhnya. Dengan adanya upaya hukum yang dilakukan oleh
PT.Telkomsel Tbk. tersebut, membuat putusan dari Pengadilan Niaga tidak diberlakukan lagi. Bahwa
pada akhrinya adalah putusan pailit yang dilayangkan terhadap perusahaan BUMN tersebut
b. Perumusan Masalah
PT.Telkomsel Tbk?
BAB II
LANDASAN TEORI
a. Pengertian pailit
Pengertian kata pailit itu terdapat dalam pembendaharaan dalam bahasa Belanda,
Prancis, Latin dan Inggris. Kalau dalam bahasa Prancis, istilah kata pailit itu biasanya disebut
dengan faillitie yang artinya adalah pemogokan atau kemacetan dalam melakukan pembayaran.
Orang yang melakukan kegiatan mogok atau macet melakukan tindakan berhenti membayar
utangnya disebut dengan Le failli. Kalau dalam bahasa Belanda dipergunakan istilah faillit yang
memiliki arti ganda yaitu bisa sebagai kata benda dan bisa sebagai kata sifat juga. Sedangkan di
dalan bahasa Inggris istilah yang dipergunakan adalah istilah to fail, dan kalau di dalam bahasa
Pernyataan yang terdapat dalam pasal 1 angka 1 UU No. 37 Tahun 2004 apabila dikaitkan
dengan Pasal 2 Undang-Undang Kepailitan Dan PKPU, dapat diketahui bahwa pernyaan pailit
merupakan suatu putusan pengadilan. Ini berarti bahwa sebelum adanya suatu putusan pailit oleh
pengadilan, seorang debitur tidak dapat dinyatakan berada dalam keadaan pailit. Dengan adanya
pengumuman putusan pernyataan pailit tersebut, maka berlaku umum bagi semua kreditur
konkruen dalam kepanitiaan, tanpa terkecuali, untuk memperoleh pembayaran atas seluruh
piutang-piutang konkruen mereka. Dalam hal yang demikian berarti terjadi sitaan umum terhadap
seluruh harta kekayaan debitur, yang diperlukan untuk memenuhi kewajibannya berdasarkan
ketentuan pasal 1132 Kitab Undang-Undang KUPerdata baik secara pari passa dan prorata.
Berdasarkan defenisi tentang pengertian kepailitan tersebut ada pula yang dapat menjadi
suatu manfaat dan tujuan dari hukum kepailitan tersebut. yang dimana tujuan dari hukum
kepailitan tersebut adalah, untuk melakukan pembagian antara para kreditr atas kekayaan debitur
oleh kurator.
Kepailitan dimaksudkan untuk menghindari terjadinya sitaan terpusah atau eksekusi
terpisah oleh kreditur dan menggantikannya dengan mengadakan sitaan dengan hak masing-
masing. Dan yang menjadi manfaat adanya kepailitan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Untuk melakukan pembagian antara para kreditur atas kekayaan debitur oleh kurator
2. Untuk menghindari terjadinya sitaan terpisah atau eksekusi terpisah oleh kreditur
debitur dapat dibagikan kepada semua kreditur sesuai dengan hak masing-masing.
b. Syarat Pailit
Dalam melakukan pelaksanaan pailit tidak boleh sembarang atau sesuka hati mematikan
suatu perusahaan, oleh sebab itu maka diperlukanlah syarat-syarat untuk mengajukan
permohonan pernyataan pailit sebagaimana hal tersebut dapat dilihat pada pasal 2 angka 1 UU
Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya
satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih dinyatakan pailit dengan putusan
UU No. 37 Tahun 2004 tersebut dapatlah dijelaskan lebih mendalam sebagai berikut :
Berdasarkan dari pasal 2 UU No. 37 Tahun 2004, pihak yang dapat mengajukan
permohonan pailit adalah seorang debitur yang mempunyai dua atau lebih krediturnya
dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat
sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya, kemudian permohonan
adanya utang. UU No. 37 Tahun 2004 tidak menentukan apa yang dimaksudkan
dengan utang. Dengan demikian para pihak yang terkait dengan suatu permohonan
pernyataan pailit dapat berselisih pendapat mengenai ada atau tidak adanya utang.
3. Syarat cukup utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih
Dalam pasal 1 ayat (1) UUK tidak membedakan tetapi menyatukan syarat utang yang
telah jatuh waktu dan utang yang telah dapat ditagih. Pada perjanjian kredit
perbankan, kedua hal tersebut jelas dibedakan. Utang yang telah jatuh waktu ialah
perjanjian kredit itu, menjadi waktu dan karena itu pula kreditor berhak menagihnya.
Apabila seorang debitur mengalami kesulitan keuangan, artinya tidak mampu membayar
hutang-hutangnya, tentu saja para kreditur akan berusaha menempuh jalan untuk menyelamatkan
piutangnya. Salah satu jalan yang ditempuh adalah kreditur mengajukan permohonan ke
pengadilan agar si debitur dinyataan pailit. Permohonan itu disebut sebagai permohonan
Permohonan pernyataan pailit harus diajukan oleh seorang advokat, dalam UUKepailitan
lama harus diajukan oleh pengacara praktek, karena di pengadilan Niaga hanya ada beberapa
Pengadilan dan tidak semua pengacara praktek itu berada diwilayah pengadilan niaga dimana hal
ini dapat dilihat dalam Pasal 7 UU Kepailitan dan PKPU. Prosedur permohonan pernyatan pailit
sebagaimana dapat dilihat jelas dalam Pasal 6 UU Kepailitan dan PKPU, sebagai berikut:
yang ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dengan tanggal yang sama dengan
tanggal pendaftaran.
sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat 3, ayat 4, dan ayat 5 jika dilakukan
5. Dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah tanggal permohonan
hari sidang.
waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan.
7. Atas permohonan Debitur dan berdasarkan alasan yang cukup, Pengadilan dapat
dengan paling lambat 25 (dua puluh lima) hari setelah tanggal permohonan
didaftarkan.
Apabila seluruh persyaratan untuk dinyatakan pailit telah terpenuhi semuanya, maka
pengadilan akan memberikan putusannya. Tetapi, apabila ternyata harta pailit tidakcukup untuk
membayarkan biaya kepailitan tersebut, maka Pengadilan atas usul Hakim Pengawas dan setelah
mendengar panitia kreditor sementara apabila ada, serta setelah memanggil secara sah atau
mendengarkan dari pihak debitur, dapat memutuskan pencabutan putusa pernyataan pailit. 19
Tujuan utama dalam suatu proses di muka pengadilan adalah untuk memperoleh putusan
Hakim yang berketekunan hukum tetap. Akan tetapi, setiap putusan yang dijatuhkan oleh Hakim
belum tentu dapat menjamin kebenaran secara yuridis, karena putusan itu tidak lepas dari
kekeliruan dan kekilafan, bahkan tidak mustahil bersifat memihak. Agar kekeliruaan dan
kehilafan itu dapat diperbaiki, maka demi tegaknya kebenaran dan keadilan, terhadap putusan
Hakim itu dimungkinkan untuk diperiksa ulang. Cara yang tepat untuk dapat mewujudkan
Terhadap suatu putusan pencabutan pernyataan pailit tersebut dapat pula diajukan suatu
kasasi dan/ atau peninjauan kembali. Apabila setelah pencabutan pernyataan pailit diucapkan
diajukaan kembali permohonan pernyataan pailit, maka debitor atas permohonan wajib
membuktikan bahwa ada cukup harta untuk membayar biaya kepailitan berdasarkan dari pasal 19
Dalam kasus putusan pailitanya PT. Telkomsel Tbk., dapat dilihat bahwa dari pihak PT.
Telkomsel tersebut mengajukan upaya hukum secara kasasi. Dimana pengertian kasasi tersebut
adalah pembatala atas keputusan Pengdilan-pengadilan lain dan para hakim yang bertentangan
dengan hukum, kecuali keputusan Pengadilan dalam perkara pidana yang mengandung
pembebasan terdakwa dari segala tuduhan, hal ini sebagaimana ditentukan dalam Pasal 16 UU
No. 1 Tahun 1950 jo. UU No. 8 Tahun 1981 tentang dan UU No. 14 Tahun 1985 jo. UU No. 5
Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Makamah
Agung.
d. Puutusan Pailit
Putusan Pailit adalah adjucation order yaitu putusan pengadilan yang menyatakan bahwa
seorang debitur telah dinyatakan pailit sehingga penguasaan dan pemberesan harta debitur
diserahkan kepada kurator untuk kepentingan para kreditur. Tindakan-tindakan hukum yang dapat
dapat memerintahkan supaya debitor pilit ditahan dibawah pengwasan Jaksa yang
Pernyatan putusan pailit harus dikabulkan apabila ternyata terdapat suatu fakta ataupun
keadaan yang telah terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dapat dinyatakan pailit
telah dapat terpenuhi. Dalam hal ini yang dimaksud dengan fakta atau keadaan yang telah terbukti
secara sederhana adalah adanya dua atau lebih Kreditor dan adanya fakta utang yang telah jatuh
waktu dan tidak/tidak dapat dibayarkan, sedangkan besarnya utang yang dimiliki oleh pemohon
pailit dan termohon pailit tidak menghalangi dijatuhnya putusan pernyataan pailit.
BAB III
PEMBAHASAN
Di dalam perjanjian kerja sama antara PT Telkomsel dengan PT.Prima Jaya Informatika, pada
dasarnya harus dilihat terlebih dahulu kedudukan hukumnya didalam Perjanjian kerja sama tersebut
antara siapa sebagai Kreditor yang sebenarnya dan siapa sebagai Debitor yang sebenarnya. Menurut
Pasal 1 Angka (3) UU Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang No. 37 Tahun 2004,
orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau Undang-undang yang pelunasannya dapat
orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau Undang-Undang yang dapat ditagih di muka
pengadilan.
Kreditor adalah orang yang berdasarkan hubungan pribadi mempunyai hak subyektif untuk
menuntut pemenuhan tagihannya dari debitor dan pada dasarnya berhak untuk memperoleh
pembayaran atas tagihannya tersebut atas harta kekayaan debitor (Polak, 1997: 12). Agar dapat
kreditor harus dapat menuntut tagihannya di muka pengadilan. Oleh sebab itu, apa yang dikenal
sebagai perikatan alami (natuurlijke verbintenis) tidak dapat menjadi dasar untuk mengajukan
adalah obligation civile manqu oi degeneree (Asser-Rutten, l98l:27-28) artinya perikatan semacam
itu tidak dapat dituntut pemenuhannya di muka pengadilan karena ketentuan undang-undang, baik ab
initio (dari semula) semisal utang karena perjudian atau pertaruhan (Pasal 1788 KUHPerdata) maupun
sesudahnya sebagai akibat daluwarsa yang membebaskan dari suatu kewajiban (Pasal 1967
KUHPerdata). Secara singkat dapat disimpulkan bahwa didalam suatu perjanjian timbal balik,
kreditor adalah pihak yang berhak mendapatkan pembayaran atas sesuatu yang timbul dari perjanjian
tersebut, sedangkan Debitur adalah Pihak yang berkewajiban membayar atas suatu yang timbul dari
Didalam perjanjian kerjasama antara Telkomsel dengan PT.Prima Jaya Informatika terlihat
jelas isi dari perjanjian tersebut Telkomsel memberikan aturan main yang jelas untuk ditaati mitra
kerjanya yaitu PT.Prima Jaya Informatika atas perjanjian tersebut. Telkomsel Menyediakan voucher
isi ulang dan Kartu perdana untuk dijual oleh PT.Prima Jaya Informatika dengan target penjualan
120 juta voucher dan 10 juta Kartu Perdana serta Membentuk komunitas Prima (10 juta anggota),
penetapan jumlah penjualan Voucher dan kartu perdana adalah ditetapkan oleh Telkomsel secara
Didalam perjanjian kerja sama tersebut Pihak Telkomsel telah melaksanakan pretasinya
dengan menyediakan Voucher isi ulang dan kartu perdana yang telah diminta oleh PT.Prima Jaya
Informatika, akan tetapi ternyata PT.Prima Jaya Informatika justru Tidak Melakukan Pembayaran
Didalam pelaksanaan perjanjian ini terlihat jelas Telkomsel adalah berkedudukan sebagai
kreditor dan PT.Prima Jaya Informatika berkedudukan sebagai Debitor karena mempunyai kewajiban
untuk membayar atas apa yang telah diberikan oleh Telkomsel, dan selain terkait barang yang belum
dibayar PT.Prima Jaya Informatika juga tidak memiliki pilihan lain selain wajib mentaati Peraturan
Sehingga Syarat untuk dapatnya dijatuhi kepailitan sebagaimana diatur di dalam pasal 2 ayat
(1) UU Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang No. 37 Tahun 2004 yang berbunyi
Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor.. dimana dalam kasus ini PT Telkomsel di
perlakukan atau dianggap sebagai debitor oleh Majelis Hakim Pengadilan Niaga sebagaimana dalam
pasal 2 ayat (1) Undang-undang tersebut diatas adalah penafsiran yang keliru dan terbalik.
Kata utang sebagaimana tersebut dalam ketentuan Pasal 1 ayat 1 UU No. 4/1998 secara
sempit, sehingga hanya mencakup utang yang lahir karena pinjaman uang. Pemahaman yang
demikian jelas bukan maksud pembentuk undang-undang. Oleh sebab itu, untuk memperbaiki salah
pemahaman tersebut hal itu ditegaskan dalam Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan PKPU yang mengambil contoh Pasal 1233 dan Pasal 1234 KUHPerdata, menegaskan
bahwa : Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik
dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul
di kemudian hari (kontinjen), yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib
dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapatkan
Dalam kasus perjanjian kerjasama antara Telkomsel dengan PT.Prima Jaya Informatika, yang
dimaksud utang oleh PT.Prima Jaya Informatika dalam permohonan pailitnya adalah Purchase Order
(PO) atau Perintah Pembelian atau surat Pemesanan Barang yang diterbitkan oleh Pemohon Pailit
kepada Termohon Pailit yang sama sekali bukan merupakan bukti adanya utang ataupun kewajiban
Termohon Pailit kepada Pemohon Pailit. Bahkan dalam Perjanjian Kerjasama tidak pernah disebutkan
bahwa Purchase Order (PO) adalah bukti pembayaran ataupun bukti tagihan kepada Pemohon Pailit.
Sehingga dalam hal Syarat Pokok Permohonan kepailitan tentang adanya UTANG menjadi tidak
terpenuhi. Di dalam proses beracara dalam hukum kepailitan, konsep utang menjadi sangat penting
dan esensial (menentukan) karena tanpa adanya utang maka tidaklah mungkin perkara kepaiiitan akan
dapat diperiksa. Tanpa adanya utang, maka esensi kepailitan tidak ada karena kepailitan adalah
pranata hukum untuk melakukan likuidasi aset debitor untuk membayar utang utangnya terhadap para
kreditornya dan lagi-lagi Majelis hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat keliru didalam menafsirkan
Tindakan Telkomsel dengan tidak memberikan barang atas Purchase Order (PO) sebagaimana
yang dipesan kembali oleh PT.Prima Jaya Informatika (yang dianggap sebagai utang) adalah
dikarenakan PT.Prima Jaya Informatika telah melakukan Wanprestasi yaitu Tidak Melakukan
Informatika tersebut telah disetujui (approved) oleh Telkomsel. Dengan fakta hukum yang terjadi
pada perjanjian kerja sama ini PT.Prima Jaya Informatika terlebih dulu melakukan wanprestasi kepada
Telkomsel, yang artinya Majelis hakim tidak dapat serta merta menjatuhkan pernyataan pailit kepada
Termohon pailit yaitu Telkomsel. Berarti disini Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga telah keliru
dengan tidak mempertimbangkan asas exceptio non adimpleti contractus. yaitu hakim mengabaikan
asas hukum "exceptio non adimpleti contractus". Artinya pihak lawan dalam keadaan lalai, maka
dengan demikian tidak dapat menuntut pemenuhan prestasi pihak lain. Asas Exceptio Non Adimpleti
Contractus adalah Tidak dipenuhinya kontrak (wanprestasi) terjadi karena pihak lain juga
wanprestasi. Atau bisa berarti sebagai suatu tangkisan, yang mengatakan anda sendiri belum
berprestasi dan karenanya anda tidak patut untuk menuntut saya berprestasi.
Oleh karena itu secara Yuridis jika memang PT.Prima Jaya Informatika ingin agar PT
Telkomsel memenuhi pesanannya apa yang diminta, maka seharusnya PT.Prima Jaya Informatika
Secara umum diterima pendapat, bahwa para pihak dalam perjanjian tetap harus memenuhi
kewajibannya, sekalipun pihak lain wanprestasi (Rutten, loc.cit.). Asas exeptio non adimpleti
Dikelola Dengan Sangat Balk Yang Terus Menghasilkan Keuntungan, Proporsi kepemilikan saham
Telkom = 65% Saham Singtel = 35% Saham, Dimana Berdasarkan Laporan Keuangan Tahun 2011
Yang Telah Diaudit Dan Membukukan Keuntungan Sebesar Rp.12.823.670.058.017,00 (dua belas
triliun delapan ratus dua puluh tiga miliar enam ratus tujuh puluh juta lima puluh delapan ribu tujuh
belas Rupiah). Putusan pernyataan pailit yang dikeluarkan oleh Majelis hakim Pengadilan Niaga
Jakarta Pusat sangat bertentangan dengan asas Undang-undang kepailitan itu sendiri, dengan
Dan pada akhirnya Pihak asing akan beranggapan bahwa Hukum kepailitan di Negara Indonesia ini
pernyataan pailit tidak dapat dijatuhkan terhadap Debitor yang masih Solven.sikap ini merupakan
sikap Faillissement verordening (Fv) sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) sebelum
kemudian diubah oleh Perpu No.1 Tahun 1998, dengan bunyi sebagai berikut : Setiap pihak yang
berutang (debitur) yang tidak mampu yang berada dalam keadaan berhenti membayar utang-utangnya,
dengan putusan hakim, baik atas permintaannya sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih
pihak berpiutangnya (kreditornya), dinnyatakan dalam keadaan pailit. Untuk dapat menetukan
debitur dalam keadaan solven atau insolven hanya dilakukan berdasarkan financial audit. Putusan
Pernyataan pailit atas Telkomsel ini juga tidak Memberikan Perlindungan yang Seimbang bagi
Kreditor dan Debitor (menjunjung keadilan dan memperhatikan kepentingan keduanya meliputi segi-
segi penting yang dinilai perlu untuk mewujudkan penyelesaian masalah utang-piutang secara cepat,
adil, terbuka, dan efektif. Penerapan pertimbangan hukum yang diambil Majelis hakim Pengadilan
niaga hanya melihat dari sisi Pemohon Pailit secara luarnya saja, tanpa melihat kapasitas Termohon
Pailit sebagai perusahaan Terbesar Telekomunikasi yang masih sangat Solven dalam melaksanakan
kewajiban terhadap mitra kerjanya yang lain. Melihat fakta hukum berdasarkan audit laporan
keuangan Telkomsel yang pada tahun 2011 memiliki keuntungan dua belas trilyun lebih, Majelis
hakim Pengadilan Niaga telah Khilaf dalam menjatuhkan putusan pernyataan pailit
terhadap.Telkomsel tersebut. Majelis Hakim kurang teliti dan berhati-hati didalam menganalisa dan
Oleh karena itu seharusnya Pengadilan Niaga sebagai Ultimum remedium (Upaya Terakhir)
para pelaku bisnis di Indonesia lebih-lebih lagi para penanam modal asing yang menempatkan
modalnya di Indonesia harus mendapatkan kepastian hukum yang dapat diterima secara global oleh
semua pihak-pihak para pelaku bisnis. Jangan sampai keterbatasan pengetahuan para hakim di
Indonesia terutama pada Pengadilan Niaga menjadikan para pelaku-pelaku bisnis menjadi takut untuk
menjalankan kegiatan bisnisnya dikarenakan banyaknya putusan-putusan Pengadilan Niaga terutama
masalah kepailitan yang controversial dan banyak mengundang kecaman dari berbagai pihak baik
Disini pentingnya para penegak Hukum terutama para Hakim untuk lebih memahami dan
mendalami permasalahan yang terkait masalah Hukum bisnis terutama kepailitan. Karena jika Melihat
Undang-undang kepailitannya sendiri UU no.37 Tahun 2004 masih banyak sekali kelemahannya yang
itu berarti merupakan celah bagi pihak-pihak yang dapat memanfaatkan kelemahan dari undang-
undang itu sendiri untuk menghabisi nyawa perusahaan yang menjadi lawan bisnisnya, karena begitu
mudahnya syarat untuk mempailitkan suatu perusahaan, dengan akibat hukum yang begitu kompleks
dan besar bagi pihak-pihak yang ada keterkaitannya dengan suatu perusahaan maupun badan yang
dipailitkan. Dan jika dari peraturan perundang-undangannya sendiri sudah begitu banyak kelemahan,
jika para hakim tidak dituntut untuk lebih progresif dan cerdas didalam menangani permasalahan
kepailitan yang dihadapkan kepadanya, bukan tidak mungkin akan menjadi banyak perusahaan
maupun badan-badan usaha yang sebenarnya masih solven dan kegiatannya masih aktif menjadi
korban akan kelemahan undang-undang ini.. Akibat dari penegakan hukum kepailitan yang tidak
sesuai dengan asas dan prinsip hukum kepailitan dampak yang paling besar adalah investor enggan
menanamkan modalnya di Indonesia, karena kurang adanya jaminan perlindungan hukum atas
investasinya tersebut. Salah satu jaminan perlindungan hukum yang dinilai tidak kondusif adalah
PENUTUP
pailit pada Perusahaan PT.Telekomunikasi Selular.Tbk mengandung hal-hal yang controversial dan
dapat dikatakan tidak sesuai dengan asas dan prinsip hukum Kepailitan.
Pertama , dari sisi kedudukan hukum dalam perjanjian kerja sama antara Telkomsel dengan
PT.Prima Jaya Informatika, bahwa siapakah kreditor dan debitor yang sebenarnya dalam masalah ini,
Pengadilan Niaga Jakarta Pusat telah keliru dalam menafsirkan siapa kreditor dan debitor yang
sebenarnya, faktanya Telkomsel adalah kreditor yang sebenarnya sedangkan PT.Prima Jaya
Informatika adalah Debitor .sehingga secara otomatis penerapan hukumnya pun juga menjadi keliru.
Kedua, Pengadilan Niaga tidak memperhatikan asas Asas Audi et Alteram Partem, sehingga
alat-alat bukti dari Telkomsel yang isinya mengenai kejadian fakta yang sesungguhnya tidak
diperhatikan, sehingga Pengadilan Niaga telah khilaf karena didalam Perjanjian kerjasama tersebut
ternyata PT.Prima Jaya Informatika telah melakukan Wanprestasi yaitu Tidak Melakukan Pembayaran
(empat milyar delapan ratus juta Rupiah) Padahal Pesanan PT.Prima Jaya Informatika tersebut telah
disetujui (approved) oleh Telkomsel, sehingga Pengadilan niaga telah khilaf dengan tidak
memperhatikan asas hukum "Exceptio Non Adimpleti Contractus". Artinya pihak lawan dalam
keadaan lalai, maka dengan demikian tidak dapat menuntut pemenuhan prestasi pihak lain.
Ketiga, Banyak kejanggalan pada Pertimbangan amar putusan Pengadilan Niaga , yang antara
lain pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Niaga, telah secara tegas menyatakan bahwa pengakuan
Pemohon Kasasi (Termohon Pailit) di depan persidangan yang menyatakan telah melakukan
pembayaran terhadap tagihan kreditor lain tersebut di persidangan oleh Majelis Hakim Pengadilan
Niaga dinyatakan merupakan alat bukti yang bersifat sempurna dan bukti tersebut tetap
dipertimbangkan, akan tetapi tiba-tiba dalam paragraph berikutnya majells hakim menyatakan tidak
dapat dipertimbangkan karena bukti t-13 dan bukti t-14 tidak ada asllnya. Yang hal ini patut diduga
bahwa Majelis Hakim yang memutus perkara tersebut tidak obyektif dan tidak netral, yang oleh LSM
National Government Monitoring (NGM) Majelis hakim Pengadilan Niaga Jakarta yang memutus
pailit PT Telkomsel Tbk dilaporkan ke KY. Mereka dilaporkan karena diduga melanggar kode etik
Akhirnya, Mahkamah Agung (MA) telah menjatuhkan sanksi terhadap empat hakim
Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat yang menangani perkara gugatan pailit PT Telkomsel. Keempat
hakim, yaitu Agus Iskandar, Bagus Irawan, Noer Ali dan Sutoto Adiputro, dinilai telah melanggar
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang ditetapkan MA dan Komisi Yudisial. Meskipun para
hakim tersebut merasa keputusan tersebut tidak adil dan mereka menjadi korban dari Telkomsel,
namun jika ditelaah, ada kejanggalan terhadap keputusan pailit Telkomsel dan kewajiban membayar
Robby Andrian, 2013, Tinjauan Yuridis Putusan Kepailitan Pt.Telkomsel ( Studi Kasus Putusan No.
48/Pailit/2012/Pn.Niaga.Jkt.Pst,
ttp://www.academia.edu/5645274/TINJAUAN_YURIDIS_PUTUSAN_KEPAILITAN_PT.TEL
KOMSEL_STUDI_KASUS_PUTUSAN_No._48_Pailit_2012_PN.Niaga.JKT.PST_ diakses 6
Desember 2014
Samosir, Agnes.W,2013, Analisis Yuridis Putusan Pailit Terhadap PT. Telkomsel Tbk.,
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/37561, diakses 6 Desember 2014
http://hukum.kompasiana.com/2012/09/23/kronologi-gugatan-pailit-telkomsel-495528.html diakses
07 Desember 2014
http://tekno.kompas.com/read/2012/11/23/08503149/Telkomsel.Batal.Pailit..Prima.Jaya.Pelajari.Putus
an diakses 07 Desember 2014