Anda di halaman 1dari 34

BAB I

STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. N
Tanggal lahir : 30 Maret 2017
Usia : 1,5 bulan bulan
Jenis Kelamin : Perempuan
No Rekam Medis : 01378xxx
Alamat : Manyaran, Wonogiri
BB : 2,5 kg
TB : 42 cm
Tanggal Masuk : 7 Mei 2017
Tanggal Pemeriksaan : 8 Mei 2017

B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Perut kembung

2. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan keluhan batuk sejak lahir, memberat sejak 1 hari
sebelum dirawat di RSUD Wonogiri. Saat itu keluhan lain seperti demam,
muntah dan tersedak disangkal, pasien masih tetap mau minum ASI. BAB
dan BAK tidak ada keluhan. Pasien kemudian dirawat d RSUD Wonogiri
sejak 30 April 2017 dengan diagnosis Megacolon Kongenital dan telah
mendapatkan injeksi Gentamicin, Ampicilin, infus NaCl dan juga oksigen.
Saat dirawat dikatakan perutnya kembung kemudian pasien dirujuk ke
RSUD Dr. Moewardi pada tanggal 7 Mei 2017. Pada saat di IGD RSDM,
batuk telah membaik, BAK di pempers, keluhan lain seperti demam
disangkal. Pasien juga tetap minum ASI dan ASB.

3. Riwayat Penyakit Dahulu


Tidak terdapat riwayat dengan keluhan yang sama
Tidak terdapat riwayat alergi obat/makanan/trauma/kejang.
Pasien merupakan penderita Megakolon Kongenital dengan usia 1,5 bulan

4. Riwayat Penyakit Keluarga dan Lingkungan


Tidak terdapat riwayat muntah dan BAB cair di keluarga dan sekitar
lingkungan pasien.
Tidak terdapat riwayat alergi obat/makanan pada keluarga

1
5. Riwayat Kehamilan
Pemeriksaan di : Bidan
Frekuensi :
a. Trimester I : 1 kali
b. Trimester II : 1 kali
c. Trimester III : setiap 1 bulan
Tidak didapatkan keluhan saat kehamilan
Tidak didapatkan tekanan darah tinggi selama kehamilan
Selama hamil pasien mengkonsumsi tablet penambah darah ditambah
dengan jamu kunyit asam.
Kesan: kehamilan dalam batas normal.

6. Riwayat Kelahiran
Pasien lahir secara caesar dengan usia kehamilan 40 minggu, berat lahir
2300 gram, panjang badan 41 cm, langsung menangis kuat, tidak biru, gerak
aktif.
Kesan: kelahiran dalam batas normal.

7. Riwayat Imunisasi
Imunisasi belum dilakukan.
Kesan : belum dapat dievaluasi.

8. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan


BB 2,5 kg, TB 42 cm, Umur : 1,5 bulan
Saat ini pasien sudah dapat memberi respon terhadap suara,
berkomunikasi melalui tatapan, gerakan tubuh dan tangisan.
Kesan: tumbuh kembang sesuai usia

9. Riwayat Nutrisi
Pasien sampai saat ini minum ASI dan ASB sebanyak sekitar 8-12 kali
per hari dengan jumah banyak.
Kesan: nutrisi kesan adekuat.

10. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien tinggal di rumah bersama kedua orang tua pasien. Ayah pasien
bekerja sebagai petani dan ibu pasien sebagai ibu rumah tangga. Pasien
berobat menggunakan fasilitas BPJS Kesehatan kelas III.
Kesan: Sosial ekonomi kurang

11. Pohon Keluarga

2
C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum
Pasien tampak lemah, sakit sedang , kesadaran kompos mentis (E4V5M6),
kesan gizi baik
2. Tanda Vital
Laju nadi :130 x/menit, regular, isian dan tegangan cukup, teraba kuat
Laju pernapasan: 56 x/menit, irama regular, kedalaman cukup,
abdominothorakal
Suhu : 37 oC per aksiler
3. Perhitungan Status Gizi
BB: 2500 g, PB: 42 cm, Umur : 39 hari
BB/U : -2,83 underweight
TB/U : -5,85 severe stunded
BB/TB : 0 kesan: gizi baik
Kesan Gizi : underweight, severestunded, gizi baik
4. Kepala
Ubun-ubun besar tidak cekung mesocepal, rambut berwarna hitam, rambut
rontok (-)
5. Mata
Mata cekung (-/-), konjingtiva tidak anemis, palpebra tidak oedem, skelera
tidak ikterik, pupil miosis isokhor (2mm/2mm), dan reflex cahaya (+/+), air
mata (-/ -) berkurang.
6. Hidung
Tidak didapatkan napas cuping hidung. Tidak didapatkan sekret.
7. Mulut
Mukosa basah, bibir tidak ada sianosis.
8. Tenggorok

3
Uvula berada di tengah, tonsil T1-T1, tonsil tidak hiperemis, tidak terdapat
eksudat pada tonsil, faring tidak hiperemis.
9. Telinga
Normotia, tidak didapatkan serumen pada kedua telinga. Nyeri tekan tragus
negatif dan tidak didapatkan sekret yang keluar dari lubang telinga kiri
maupun kanan.
10. Leher
Tidak didapatkan pembesaran kelenjar getah bening.
11. Thoraks
Dinding dada mengembang secara simetris. Tidak didapatkan retraksi
dinding dada.
12. Pulmo
Inspeksi : dinding dada mengembang secara simetris. Tidak
didapatkan retraksi dinding dada
Palpasi : fremitus taktil teraba simetris kanan dan kiri
Perkusi : sonor pada seluruh lapang paru
Auskultasi : terdengar suara dasar vesikuler pada lapang paru. Tidak
terdengar wheezing dan ronkhi pada lapang paru.
13. Cor
Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
Palpasi : iktus kordis teraba di SIC IV linea midclavicularis sinistra,
tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : terdengar bunyi jantung I & II, intensitas normal, reguler
dan tidak didapatkan bunyi jantung tambahan
14. Abdomen
Inspeksi : dinding perut lebih tinggi dari dinding dada, tidak ada
spasme
Auskultasi : terdengar bising usus meningkat
Perkusi : tympani
Palpasi : supel, distended, hepar dan lien tidak teraba, tidak teraba
adanya massa abdomen, turgor kulit kembali dengan cepat

15. Ekstremitas
Akral dingin - - Edema - -
- - - -
Arteri dorsalis pedis teraba kuat
CRT < 2 detik

4
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
E. Hasil Pemeriksaan Laboratorium (07 Mei 2017)
Hematologi rutin
Hb 9.9 g/dL
Hct 28 %
AL 22.6 ribu/L
AT 548 ribu/L
AE 2.77 juta/L
Indeks eritrosit
MCV 102.3 /m
MCH 35.7 pg
MCHC 35.0 g/dL
RDW 14.6 %
MPV 8.3 fl
PDW 16 %
Hitung jenis
Eosinofil 1 .50 %
Basofil 0.30 %
Neutrofil 48.50 %
Limfosit 37.60 %
Monosit 12.10 %
Golongan Darah B
Kimia Klinik
GDS 97 mg/dL
Elektrolit
Natrium darah 128 mmol/L
Kalium darah 3.8 mmol/L
Calsium Ion 1.27 mmol/L

F. Hasil Pemeriksaan Laboratorium (08 Mei 2017)


Kimia Klinik
GDS 65 mg/dL
Albumin 3.2 g/dL
Creatinine 0.2 mg/dL
Ureum 4 mg/dL
Elektrolit
Natrium darah 133 mmol/L
Kalium darah 4.2 mmol/L
Chlorida darah 107 mmol/L

G. Hasil Pemeriksaan Radiologi

5
6
E. RESUME
Anamnesis: Pasien merupakan rujukan dari RSUD Wonogiri dengan
keluhan batuk. Saat perawatan, pasien didiagnosis Megacolon Kongenital.
Pasien dirujuk ke RSUD dr.Moewardi dengan keluhan perut kembung
sedangkan keluhan batuk sudah mengalami perbaikan. Tidak ada keluhan
serupa sebelumnya. BAK dalam batas normal. Keluhan demam disangkal.
Tidak ada riwayat alergi obat maupun makanan serta trauma.

Pemeriksaan fisik: anak tampak sakit sedang, kesadaran komposmentis


(GCS E4V5M6). Detak nadi per menit 130, laju pernapasan 56 kali/menit,
suhu 37oC per aksiler dan saturasi oksigen 98%. Dinding perut lebih
tinggi daripada dinding dada, bising usus (+) meningkat, didapatkan
distensi abdomen, serta hepar, lien tidak teraba. CRT <2 detik.

F. DIAGNOSIS BANDING
1. Megacolon kongenital
2. Neonatus perempuan, BBLR, CB, KMK, IUGR lahir SC a.i. CPD
3. Gizi baik, severe underweight, severe stunted

7
G. DIAGNOSIS KERJA
1. Megacolon kongenital
2. Neonatus perempuan, BBLR, CB, KMK, IUGR lahir SC a.i. CPD
3. Gizi kurang, severe underweight, severe stunted

H. PENATALAKSANAAN
Terapi
1. Rawat bangsal gastroenterologi anak
2. ASI lanjut
3. Infus D5 10 ml / jam

Plan
DC, GDS
Konsul bedah
Monitoring : KUVS/ SiO tiap 4 jam dan BCD tiap 8 jam

I. FOLLOW UP

Tanggal 7 Mei 2017


S : Pasen ada demam hari ke 4, tidak ada mual, tidak ada batuk (jarang),
tidak ada muntah, tidak ada mimisan, tidak ada gusi berdarah, nafsu makan
baik, 3x BAB lembek, tidak ada lendir, tidak ada darah
O : Keadaan umum : tampak sakit sedang, compos mentis
Tanda Vital
Nadi : 130x/menit, isi dan tegangan cukup, irama teratur.
Respirasi : 56 x/menit
Suhu : 37,0C per aksiler (36,5 38,6C)
SiO2 : 95%
Balance cairan : + 215 ml/hari
Minum : 2,5 ml/BAK
Kepala
Bentuk mesocephal dengan LK: 34,5 cm (-2 SD < Z score < -1 SD),
kedudukan kepala simetris, luka (-), mudah rontok (-), mudah dicabut (-),
UUB datar
Mata

8
Conjunctiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks cahaya langsung dan tak
langsung (+/+), pupil isokor (2 mm/ 2 mm), oedem palpebra (-/-), sekret
(-/-).
Hidung
Nafas cuping hidung (-/-), deformitas (-), darah (-/-), sekret (-/-), epistaksis
(-/-), terpasang selang NGT.
Telinga
Deformitas (-/-),darah (-/-), sekret (-/-).
Mulut
Mukosa basah (+), Bibir kering (-), sianosis (-), lidah kotor (-),lidah
simetris, lidah tremor (-), tonsil T1-T1, faring hiperemis (-), stomatitis (-),
mukosapucat (-), gusi berdarah (-), papil lidah atrofi (-).
Leher
Simetris, trakea ditengah, JVP tidak meningkat, limfonodi tidak membesar,
nyeri tekan (-), benjolan (-), kaku (-)
Thoraks
Simetris, retraksi (-)
Jantung
Inspeksi : ictus cordis tak tampak
Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat teraba di SIC 4 LMCS, thrill (-)
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : bunyi jantung I-II intensitas normal, regular, bising (-)
Pulmo
Inspeksi : pengembangan dinding dada kanan = kiri
Palpasi : fremitus raba kanan = kiri
Perkusi : sonor/sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi : suara dasarvesikuler (+/+)
Abdomen
Inspeksi : dinding perut lebih tinggi dibanding dinding dada (perut
kembung)
Auskultasi : peristaltik (+)
Perkusi : timpani
Palpasi : supel, distended, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas

9
Oedem Akral dingin Spastik

- - - -
+ +
- - - -
+ +

Arteri dorsalis pedis kuat angkat


Capilary refill time < 2

A:
- Tersangka megacolon congenital

- Neonatus perempuan, BBLR, CB, KMK, IUGR lahir SC a.i. CPD

- Gizi baik

P:
1. Rawat bangsal gastroenterologi anak
2. ASI/ASB
3. Infus D NS 10 cc/jam

Plan:
Cek DL2, GDS, GDT, elektrolit, TSH, FTH
Konsul bedah

Monitor:
KUVS/Saturasi O2 per 4 jam
BCD per 8 jam

Tanggal 8 Mei 2017


S : Pasien demam, tidak ada mual, tidak ada batuk (jarang), tidak ada
muntah, tidak ada mimisan, tidak ada gusi berdarah, nafsu makan
baik, 3x BAB lembek, tidak ada lendir, tidak ada darah
O : Keadaan umum : tampak sakit sedang, compos mentis

10
Tanda Vital
Nadi : 180x/menit, isi dan tegangan cukup, irama teratur.
Respirasi : 30 x/menit
Suhu : 37,6C per aksiler (36,5 38,6C)
SiO2 : 99%
Balance cairan : + 215 ml/hari
Minum : 2,5 ml/BAK

Kepala
Bentuk mesocephal dengan LK: 34,5 cm (-2 SD < Z score < -1 SD),
kedudukan kepala simetris, luka (-), mudah rontok (-), mudah dicabut (-),
UUB datar
Mata
Conjunctiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks cahaya langsung dan tak
langsung (+/+), pupil isokor (2 mm/ 2 mm), oedem palpebra (-/-), sekret
(-/-).
Hidung
Nafas cuping hidung (-/-), deformitas (-), darah (-/-), sekret (-/-), epistaksis
(-/-), terpasang selang NGT.
Telinga
Deformitas (-/-),darah (-/-), sekret (-/-).
Mulut
Mukosa basah (+), Bibir kering (-), sianosis (-), lidah kotor (-),lidah
simetris, lidah tremor (-), tonsil T1-T1, faring hiperemis (-), stomatitis (-),
mukosapucat (-), gusi berdarah (-), papil lidah atrofi (-).
Leher
Simetris, trakea ditengah, JVP tidak meningkat, limfonodi tidak membesar,
nyeri tekan (-), benjolan (-), kaku (-)
Thoraks
Simetris, retraksi (-)
Jantung

11
Inspeksi : ictus cordis tak tampak
Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat teraba di
SIC 4 LMCS, thrill (-) Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi: bunyi jantung I-II intensitas normal, regular, bising (-)
Pulmo
Inspeksi : pengembangan dinding dada kanan = kiri
Palpasi : fremitus raba kanan = kiri
Perkusi : sonor/sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi : suara dasarvesikuler (+/+)
Abdomen
Inspeksi : dinding perut lebih tinggi dibanding dinding dada (perut
kembung)
Auskultasi : peristaltik (+)
Perkusi : timpani
Palpasi : supel, distended, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak
teraba
Ekstremitas
Oedem Akral dingin Spastik

- -
- - - -
- + -+
+ +

Arteri dorsalis pedis kuat angkat


Capilary refill time < 2

A:
- Megacolon congenital

- Anemia makrositik hiperkromik et causa pasca infeksi

- Neonatus perempuan, BBLR, CB, KMK, IUGR lahir SC a.i. CPD

P:
Terapi:

12
1. Oksigen nasal kanul
2. Diet ASI/ASB 8x 40-50 ml/hari
3. Infus D10% 10 ml/jam
Plan:
Konsul bedah anak mengenai hasil colon in loop
Usul GDT, TSH, FTH, Urinalisis, Feses
Monitor: KUVS/BCD per 8 jam

Tanggal 9 Mei 2017


S : Pasen tidak demam, tidak ada mual, tidak ada batuk, tidak ada muntah,
tidak ada mimisan, tidak ada gusi berdarah, nafsu makan baik, 3x BAB
lembek, tidak ada lendir, tidak ada darah
O : Keadaan umum : tampak sakit sedang, compos mentis
Tanda Vital
Nadi : 140x/menit, isi dan tegangan cukup, irama teratur.
Respirasi : 30 x/menit
Suhu : 37,3C per aksiler (36,5 38,6C)
SiO2 : 99%
Balance cairan : + 215 ml/hari
Minum : 2,5 ml/BAK

Kepala
Bentuk mesocephal dengan LK: 34,5 cm (-2 SD < Z score < -1 SD),
kedudukan kepala simetris, luka (-), mudah rontok (-), mudah dicabut (-),
UUB datar
Mata
Conjunctiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks cahaya langsung dan tak
langsung (+/+), pupil isokor (2 mm/ 2 mm), oedem palpebra (-/-), sekret
(-/-).
Hidung

13
Nafas cuping hidung (-/-), deformitas (-), darah (-/-), sekret (-/-), epistaksis
(-/-), terpasang selang NGT.
Telinga
Deformitas (-/-),darah (-/-), sekret (-/-).
Mulut
Mukosa basah (+), Bibir kering (-), sianosis (-), lidah kotor (-),lidah
simetris, lidah tremor (-), tonsil T1-T1, faring hiperemis (-), stomatitis (-),
mukosapucat (-), gusi berdarah (-), papil lidah atrofi (-).
Leher
Simetris, trakea ditengah, JVP tidak meningkat, limfonodi tidak membesar,
nyeri tekan (-), benjolan (-), kaku (-)
Thoraks
Simetris, retraksi (-)
Jantung
Inspeksi : ictus cordis tak tampak
Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat teraba di
SIC 4 LMCS, thrill (-) Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi: bunyi jantung I-II intensitas normal, regular, bising (-)
Pulmo
Inspeksi : pengembangan dinding dada kanan = kiri
Palpasi : fremitus raba kanan = kiri
Perkusi : sonor/sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi : suara dasarvesikuler (+/+)
Abdomen
Inspeksi : dinding perut lebih tinggi dibanding dinding dada (perut
kembung)
Auskultasi : peristaltik (+)
Perkusi : timpani
Palpasi : supel, distended, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas
Oedem Akral dingin Spastik

- - - -
+ +
- - - -
+ +

14
Arteri dorsalis pedis kuat angkat
Capilary refill time < 2
A:
- Tersangka megacolon congenital

- Anemia makrositik hiperkromik et causa pasca infeksi

- Neonatus perempuan, BBLR, CB, KMK, IUGR lahir SC a.i. CPD

P : Terapi:
1. Oksigen nasal kanul
2. Diet ASI/ASB 8x 40-50 ml/hari
3. Aff NGT
4. Aff Infus
Plan:
BLPL

15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

MEGAKOLON
Definisi
Penyakit Hirschsprung atau megakolon aganglionik bawaan
disebabkan oleh kelainan inervasi usus, mulai pada sfingter ani interna dan
meluas ke proksimal, melibatkan panjang usus yang bervariasi, tetapi selalu
termasuk anus dan setidak-tidaknya sebagian rectum. Tidak adanya inervasi
saraf adalah akibat dari kegagalan perpindahan neuroblast dari usus
proksimal ke distal. Segmen yang aganglionik terbatas pada rektosigmoid
pada 75% penderita, 10% sampai seluruh usus, dan sekitar 5% dapat
mengenai selruh usus sampai pylorus.11

Gambar 6. Gambaran Megacolon Kongenital12

Epidemiologi

Insidensi penyakit Hirschsprung tidak diketahui secara pasti, tetapi


berkisar 1 diantara 5000 kelahiran hidup. Dengan jumlah penduduk
Indonesia 200 juta dan tingkat kelahian 35 permil, maka diprediksikan akan
lahir 1400 bayi dengan penyakit hirschsprung. Kartono mencatat 20-40
pasien penyakit hirschsprung akan dirujuk setiap tahunnya ke RSUPN Cipto
Mangunkusumo Jakarta.12

Menurut catatan Swenson, 81,1% dari 880 kasus yang diteliti


adalah laki-laki, sedangkan Richardson dan Brown menemukan tendensi

16
faktor keturunan pada penyakit ini (ditemukan 57 kasus dalam 24 keluarga).
Beberapa kelainan kongenital dapat ditemukan bersamaan dengan penyakit
Hirschsprung, namun hanya 2 kelainan yang memiliki angka yang cukup
signifikan, yaitu Down Syndrome (5-10%) dan kelainan urologi seperti
refluks vesikoureter, hydronefrosis dan gangguan vesica urinaria (mencapai
1/ kasus).4

Etiologi
Sampai tahun 1930an etiologi Penyakit Hirschsprung belum jelas
diketa-hui. Penyebab sindrom tersebut baru jelas setelah Robertson dan
Kernohan pada tahun 1938 serta Tiffin, Chandler,dan Faber pada tahun 1940
mengemukakan bahwa megakolon pada penyakit Hirschsprung primer
disebabkan oleh gangguan peristalsis usus dengan defisiensi ganglion di
usus bagian distal.12
Sebelum tahun 1948 belum terdapat bukti yang menjelaskan apakah
defek ganglion pada kolon distal menjadi penyebab penyakit Hirschprung
ataukah defek ganglion pada kolon distal merupakan akibat dilatasi dari
stasis feses dalam kolon. Dari segi etiologi, Bodian dkk menyatakan bahwa
aganglionosis pada penyakit Hirschprung bukan disebabkan oleh kegagalan
perkembangan inervasi parasimpatik ekstrinsik, melainkan lesi primer,
sehingga terdapat ketidakseimbangan autonomik yang tidak dapat dikoreksi
dengan simpatektomi.12
Kenyataan ini mendorong Swenson untuk mengengembangkan
prosedur bedah definitif penyakit Hirschsprung dengan pengangkatan
segmen aganglion disertai dengan preservasi sfingter anal.12
Patogenesis
Kelainan pada penyakit ini berhubungan dengan spasme pada distal
colon dan spingter anus internal sehingga terjadi obstruksi. Maka dari itu
bagian yang abnormal akan mengalami kontraksi di segmen bagian distal
sehingga bagian yang normal akan mengalami dilatasi di bagian
proksimalnya. Bagian aganglionik selalu terdapat dibagian distal rectum.7

17
Dasar patofisiologi dari HD adalah tidak adanya gelombang
propulsive dan abnormalitas atau hilangnya relaksasi dari sphincter anus
internus yang disebabkan aganglionosis, hipoganglionosis atau
disganglionosis pada usus besar.7

Gambar 7. Gambaran segmen aganglion pada penyakit hirschprung12

Hipoganglionosis
Pada proximal segmen dari bagian aganglion terdapat area
hipoganglionosis. Area tersebut dapat juga merupakan terisolasi.
Hipoganglionosis adalah keadaan dimana jumlah sel ganglion kurang
dari 10 kali dari jumlah normal dan kerapatan sel berkurang 5 kali dari
jumlah normal. Pada colon inervasi jumlah plexus myentricus
berkurang 50% dari normal. Hipoganglionosis kadang mengenai
sebagian panjang colon namun ada pula yang mengenai seluruh colon.8
Imaturitas dari sel ganglion
Sel ganglion yang imatur dengan dendrite yang kecil dikenali
dengan pemeriksaan LDH (laktat dehidrogenase). Sel saraf imatur
tidak memiliki sitoplasma yang dapat menghasilkan dehidrogenase.
Sehingga tidak terjadi diferensiasi menjadi sel Schwanns dan sel
saraf lainnya. Pematangan dari sel ganglion diketahui dipengaruhi oleh
reaksi succinyldehydrogenase (SDH). Aktivitas enzim ini rendah pada
minggu pertama kehidupan. Pematangan dari sel ganglion ditentukan
oleh reaksi SDH yang memerlukan waktu pematangan penuh selama 2

18
sampai 4 tahun. Hipogenesis adalah hubungan antara imaturitas dan
hipoganglionosis.8
Kerusakan sel ganglion
Aganglionosis dan hipoganglionosis yang didapatkan dapat
berasal dari vaskular atau nonvascular. Yang termasuk penyebab
nonvascular adalah infeksi Trypanosoma cruzi (penyakit Chagas),
defisiensi vitamin B1, infeksi kronis seperti Tuberculosis. Kerusakan
iskemik pada sel ganglion karena aliran darah yang inadekuat, aliran
darah pada segmen tersebut, akibat tindakan pull through secara
Swenson, Duhamel, atau Soave.8
Klasifikasi
Menurut letak segmen aganglionik maka penyakit ini dibagi dalam : 12
Megakolon kongenital segmen pendek
Bila segmen aganglionik meliputi rektum sampai sigmoid (70-80%).
Megakolon kongenital segmen panjang
Bila segmen aganglionik lebih tinggi dari sigmoid (20%).
Kolon aganglionik total
Bila segmen aganglionik mengenai seluruh kolon (5-11%)
Kolon aganglionik universal
Bila segmen aganglionik meliputi seluruh usus sampai pylorus (5%).

Gambar 8. Tipe penyakit hirschsprung,: (a) rectosigmoid aganglionosis, (b)


short atau ultrashort segment, (c) long segment, (d) total colonic
aganglionosis, (e) aganglionosis ke seluruh kolon dan sebagian ke usus
kecil12

19
Manifestasi Klinis
Gambaran klinis penyakit Hirschsprung dapat kita bedakan berdasarkan
usia gejala klinis mulai terlihat :
Periode Neonatal
Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai, yakni pengeluaran
mekonium yang terlambat, muntah hijau dan distensi abdomen. Pengeluaran
mekonium yang terlambat (lebih dari 24 jam pertama) merupakan tanda
klinis yang signifikan. Swenson (1973) mencatat angka 94% dari
pengamatan terhadap 501 kasus, sedangkan Kartono mencatat angka 93,5%
untuk waktu 24 jam dan 72,4% untuk waktu 48 jam setelah lahir. Muntah
hijau dan distensi abdomen biasanya dapat berkurang manakala mekonium
dapat dikeluarkan segera. Sedangkan enterokolitis merupakan ancaman
komplikasi yang serius bagi penderita penyakit Hirschsprung ini, yang dapat
menyerang pada usia kapan saja, namun paling tinggi saat usia 2-4 minggu,
meskipun sudah dapat dijumpai pada usia 1 minggu. Gejalanya berupa
diarrhea, distensi abdomen, feces berbau busuk dan disertai demam.
Swenson mencatat hampir 1/3 kasus Hirschsprung datang dengan
manifestasi klinis enterokolitis, bahkan dapat pula terjadi meski telah
dilakukan kolostomi.12
Anak
Pada anak yang lebih besar, gejala klinis yang menonjol adalah
konstipasi kronis dan gizi buruk. Dapat pula terlihat gerakan peristaltik usus
di dinding abdomen. Jika dilakukan pemeriksaan colok dubur, maka feces
biasanya keluar menyemprot, konsistensi semi-liquid dan berbau tidak
sedap. Penderita biasanya buang air besar tidak teratur, sekali dalam
beberapa hari dan biasanya sulit untuk defekasi. Kasus yang lebih ringan
mungkin baru akan terdiagnosis di kemudian hari. 12
Diagnosis
Berbagai teknologi tersedia untuk menegakkan diagnosis penyakit
Hirschsprung. Namun demikian, dengan melakukan anamnesis yang cermat,

20
pemeriksaan fisik yang teliti, pemeriksaan radiografi, serta pemeriksaan
patologi anatomi biopsi isap rectum, diagnosis penyakit Hirschsprung pada
sebagian kasus dapat ditegakkan. 12
Anamnesis12
a. Pada neonatus :
Mekonium keluar terlambat > 24 jam
Tidak dapat buang air besar dalam waktu 24-48 jam setelah lahir
Perut cembung dan tegang
Muntah
Feses encer
b. Pada anak :
Konstipasi kronis
Failure to thrive (gagal tumbuh)
Berat badan tidak bertambah
Nafsu makan tidak ada (anoreksia)

Gambar 9. Foto pasien penderita Hirschsprung12

Pemeriksaan Fisik
Pada inspeksi abdomen terlihat perut cembung atau membuncit
seluruhnya, didapatkan perut lunak hingga tegang pada palpasi,
bising usus melemah atau jarang. Pada pemeriksaan colok dubur
terasa ujung jari terjepit lumen rektum yang sempit dan sewaktu jari
ditarik keluar maka feses akan menyemprot keluar dalam jumlah

21
yang banyak dan kemudian kembung pada perut menghilang untuk
sementara.
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi merupakan pemeriksaan yang penting
pada penyakit Hirschsprung. Pada foto polos abdomen dapat
dijumpai gambaran obstruksi usus letak rendah, meski pada bayi
sulit untuk membedakan usus halus dan usus besar.11

Gambar 10. Foto polos abdomen pada penyakit Hirschsprung12

Pemeriksaan yang merupakan standard dalam menegakkan diagnosa


Hirschsprung adalah barium enema, dimana akan dijumpai 3 tanda
khas
a. Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal
yang panjangnya bervariasi
b. Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah
penyempitan kearah daerah dilatasi
c. Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi.
Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda khas
penyakit Hirschsprung, maka dapat dilanjutkan dengan foto retensi
barium, yakni foto setelah 24-48 jam barium dibiarkan membaur
dengan feces. Gambaran khasnya adalah terlihatnya barium yang

22
membaur dengan feces kearah proksimal kolon. Sedangkan pada
penderita yang bukan Hirschsprung namun disertai dengan obstipasi
kronis, maka barium terlihat menggumpal di daerah rektum dan
sigmoid.11

Gambar 11. Terlihat gambar barium enema penderita Hirschsprung.


Tampak rektum yang mengalami penyempitan,dilatasi sigmoid dan
daerah transisi yang melebar11

23
b. Anorectal manometry dapat digunakan untuk mendiagnosis penyakit
hirschsprung, gejala yang ditemukan adalah kegagalan relaksasi
sfingter ani interna ketika rectum dilebarkan dengan balon.
Keuntungan metode ini adalah dapat segera dilakukan dan pasien
bisa langsung pulang karena tidak dilakukan anestesi umum. Metode
ini lebih sering dilakukan pada pasien yang lebih besar dibandingkan
pada neonatus. 11
c. Biopsy rectal merupakan gold standard untuk mendiagnosis
penyakit hirschprung. Pada bayi baru lahir metode ini dapat
dilakukan dengan morbiditas minimal karena menggunakan suction
khusus untuk biopsy rectum. Untuk pengambilan sample biasanya
diambil 2 cm diatas linea dentata dan juga mengambil sample yang
normal jadi dari yang normal ganglion hingga yang aganglionik.
Metode ini biasanya harus menggunakan anestesi umum karena
contoh yang diambil pada mukosa rectal lebih tebal.11

Diagnosis Banding
1. Meconium plug syndrome12
Riwayatnya sama seperti permulaan penyakit Hirscprung pada neonatus,
tapi setelah colok dubur dan mekonium bisa keluar, defekasi selanjutnya
normal.
2. Akalasia recti12
Keadaan dimana sfingter tidak bisa relaksasi sehingga gejalanya mirip
dengan Hirschprung tetapi pada pemeriksaan mikroskopis tampak adanya
ganglion Meissner dan Aurbach.

Penatalaksanaan
1. Tindakan Non Bedah
Pengobatan non bedah dimaksudkan untuk mencegah komplikasi-
komplikasi yang mungkin terjadi atau untuk memperbaiki keadaan
umum penderita sampai pada saat operasi definitif dapat dikerjakan.

24
Pengobatan non bedah diarahkan pada stabilisasi cairan, elektrolit, asam
basa dan mencegah terjadinya over distensi sehingga akan menghindari
terjadinya perforasi usus serta mencegah terjadinya sepsis. Tindakan-
tindakan nonbedah yang dapat dikerjakan adalah pemasangan pipa
nasogastrik, pemasangan pipa rektum, pemberian antibiotik, lavase kolon
dengan irigasi cairan, koreksi elektrolit serta pengaturan nutrisi.12
2. Tindakan Bedah
Tindakan Bedah Sementara
Tindakan bedah sementara dimaksudkan untuk dekompresi
abdomen dengan cara membuat kolostomi pada kolon yang
mempunyai ganglion normal bagian distal. Tindakan dimaksudkan
guna menghilangkan obstruksi usus dan mencegah terjadinya
enterokolitis yang diketahui sebagai penyebab utama
terjadinya kematian pada penderita penyakit Hirschsprung.
Manfaat lain dari kolostomi adalah menurunkan angka kematian
pada saat dilakukan tindakan bedah definitif dan mengecilkan
kaliber usus pada penderita Hirschsprung yang telah besar
sehingga memungkinkan dilakukan anastomose.12
Tindakan Bedah Definitif
Ada beberapa cara tindakan pembedahan yang dapat
digunakan untuk tindakan bedah definitif antara lain teknik
Swenson, Duhamel, Soave dan Rehbein Operation.12

Gambar 12. Tekhnik Operasi Definitif pada Hirschprung Disease12

25
Prosedur Swenson
Swenson memperkenalkan prosedur rektosigmoidektomi
dengan preservasi sfingter anal. Anastomosis dilakukan langsung di
luar rongga peritoneal. Pembedahan ini disebut sebagai prosedur
rektosigmoidektomi dilanjutkan dengan pull-through abdomino-
perineal. Puntung rektum ditinggalkan 2-3 cm dari garis
mukokutan. Pada masa pascabedah ditemukan beberapa komplikasi
seperti kebocoran anastomosis, stenosis, inkontinensi, enterokolitis
dan lain-lain.13
Prosedur Duhamel
Prosedur ini diperkenalkan Duhamel tahun 1956 untuk
mengatasi kesulitan diseksi pelvik pada prosedur Swenson. Prinsip
dasar prosedur ini adalah menarik kolon proksimal yang ganglionik
ke arah anal melalui bagian posterior rectum yang aganglionik,
menyatukan dinding posterior rektum yang aganglionik dengan
dinding anterior kolon proksimal yang ganglionik sehingga
membentuk rongga baru dengan anastomose end to side. Prosedur
Duhamel asli memiliki beberapa kelemahan, diantaranya sering
terjadi stenosis, inkontinensia dan pembentukan fekaloma di dalam
puntung rektum yang ditinggalkan apabila terlalu panjang.12

Prosedur Soave atau Endorectal Pull Through


Soave mengerjakan prosedur bedah yang berbeda dengan dua
prosedur bedah seperti diuraikan di atas. la melakukan pendekatan
abdominoperineal dengan membuang lapisan mukosa rektosigmoid
dari lapisan seromuskular. Selanjutnya dilakukan penarikan kolon
berganglion normal keluar anus melalui selubung seromuskular
rektosigmoid. Prosedur ini disebut juga sebagai prosedur pull-
through endorektal. Setelah 21 hari, sisa kolon yang diprolapskan

26
dipotong. Boley pada waktu yang hampir bersamaan melakukan
prosedur pull-through endorektal persis seperti prosedur Soave
dengan anastomosis langsung tanpa kolon diprolapskan lebih
dahulu. Tehnik ini dilakukan untuk mencegah retraksi kolon bila
terjadi nekrosis bagian kolon yang diprolapskan.13
Prosedur Rehbein
Prosedur ini tidak lain berupa deep anterior resection, dimana
dilakukan anastomose end to end antara usus aganglionik dengan
rektum pada level otot levator ani (2-3 cm diatas anal verge),
menggunakan jahitan 1 lapis yang dikerjakan intra abdominal
ekstraperitoneal. Pasca operasi, sangat penting melakukan businasi
secara rutin guna mencegah stenosis.12

Komplikasi
Secara garis besar, komplikasi pasca tindakan bedah penyakit
Hirschsprung dapat digolongkan atas kebocoran anastomose, stenosis,
enterokolitis dan gangguan fungsi spinkter. Beberapa hal dicatat sebagai
faktor predisposisi terjadinya penyulit pasca operasi, diantaranya : usia
muda saat operasi, kondisi umum penderita saat operasi, prosedur bedah
yang digunakan, keterampilan dan pengalaman dokter bedah, jenis dan
cara pemberian antibiotik serta perawatan pasaca bedah.12
Kebocoran Anastomose
Kebocoran anastomose pasca operasi dapat disebabkan oleh
ketegangan yang berlebihan pada garis anastomose, vaskularisasi yang
tidak adekuat pada kedua tepi sayatan ujung usus, infeksi dan abses
sekitar anastomose serta trauma colok dubur atau businasi pasca operasi
yang dikerjakan terlalu dini dan tidak hati-hati.12
Kartono mendapatkan angka kebocoran anastomese hingga 7,7%
dengan menggunakan prosedur Swenson, sedangkan apabila dikerjakan
dengan prosedur Duhamel modifikasi hasilnya sangat baik dengan tak
satu kasus pun mengalami kebocoran.12

27
Manifestasi klinis yang terjadi akibat kebocoran anastomose ini
beragam. Kebocoran anastomosis ringan menimbulkan gejala
peningkatan suhu tubuh, terdapat infiltrat atau abses rongga pelvik,
kebocoran berat dapat terjadi demam tinggi, pelvioperitonitis atau
peritonitis umum , sepsis dan kematian. Apabila dijumpai tanda-tanda
dini kebocoran, segera dibuat kolostomi di segmen proksimal.4,12

Stenosis
Stenosis yang terjadi pasca operasi dapat disebabkan oleh
gangguan penyembuhan luka di daerah anastomose, infeksi yang
menyebabkan terbentuknya jaringan fibrosis, serta prosedur bedah
yang dipergunakan. Stenosis sirkuler biasanya disebabkan
komplikasi prosedur Swenson atau Rehbein, stenosis posterior
berbentuk oval akibat prosedur Duhamel sedangkan bila stenosis
memanjang biasanya akibat prosedur Soave. Manifestasi yang
terjadi dapat berupa gangguan defekasi yaitu kecipirit, distensi
abdomen, enterokolitis hingga fistula perianal. Tindakan yang dapat
dilakukan bervariasi, tergantung penyebab stenosis, mulai dari
businasi hingga sfingterektomi posterior.4
Enterokolitis
Enterokolitis merupakan komplikasi yang paling berbahaya,
dan dapat berakibat kematian. Swenson mencatat angka 16,4% dan
kematian akibat enterokolitis mencapai 1,2%. Kartono mendapatkan
angka 14,5% dan 18,5% masing-masing untuk prosedur Duhamel
modifikasi dan Swenson. Sedangkan angka kematiannya adalah 3,1%
untuk prosedur Swenson dan 4,8% untuk prosedur Duhamel
modifikasi. Tindakan yang dapat dilakukan pada penderita dengan
tanda-tanda enterokolitis adalah 4
a. Segera melakukan resusitasi cairan dan elektrolit,
b. Pemasangan pipa rektal untuk dekompresi,

28
c. Melakukan wash out dengan cairan fisiologis 2-3 kali
perhari
d. Pemberian antibiotika yang tepat.
Sedangkan untuk koreksi bedahnya tergantung
penyebab/prosedur operasi yang telah dikerjakan. Businasi pada
stenosis, sfingterotomi posterior untuk spasme spingter ani, dapat
juga dilakukan reseksi ulang stenosis. Prosedur Swenson biasanya
disebabkan spinkter ani terlalu ketat sehingga perlu spinkterektomi
posterior. Sedangkan pada prosedur Duhamel modifikasi, penyebab
enterokolitis biasanya adalah pemotongan septum yang tidak
sempurna sehingga perlu dilakukan pemotongan ulang yang lebih
panjang.12
Enterokolitis dapat terjadi pada semua prosedur tetapi lebih
kecil pada pasien dengan endorektal pullthrough. Enterokolitis
merupakan penyebab kecacatan dan kematian pada megakolon
kongenital, mekanisme timbulnya enterokolitis menurut Swenson
adalah karena obtruksi parsial. Obtruksi usus pasca bedah
disebabkan oleh stenosis anastomosis, sfingter ani dan kolon
aganlionik yang tersisa masih spastik. Manifestasi klinis enterokolitis
berupa distensi abdomen diikuti tanda obtruksi seperti muntah hijau
atau fekal dan feses keluar eksplosif cair dan berbau busuk.
Enterokolitis nekrotikan merupakan komplikasi paling parah karena
terjadi nekrosis, infeksi dan perforasi. Hal yang sulit pada megakolon
kongenital adalah terdapatnya gangguan defekasi pasca pullthrough,
kadang ahli bedah dihadapkan pada konstipasi persisten dan
enterokolitis berulang pasca bedah.12
Gangguan Fungsi Sphingter
Hingga saat ini, belum ada suatu parameter atau skala yang
diterima universal untuk menilai fungsi anorektal ini. Fecal soiling
(kecepirit) merupakan parameter yang sering dipakai peneliti
terdahulu untuk menilai fungsi anorektal pasca operasi, meskipun

29
secara teoritis tersebut tidaklah sama. Kecipirit adalah suatu keadaan
keluarnya feces lewat anus tanpa dapat dikendalikan oleh penderita,
keluarnya sedikit-sedikit dan sering. Untuk menilai kecipirit, umur
dan lamanya pasca operasi sangatlah menentukan, Swenson
memperoleh angka 13,3% terjadinya kecipirit, sedangkan Kleinhaus
justru lebih rendah yakni 3,2% dengan prosedur yang sama. Kartono
mendapatkan angka 1,6% untuk prosedur Swenson dan 0% untuk
prosedur Duhamel modifikasi. Sedangkan prosedur Rehbein juga
memberikan angka 0%. Pembedahan dikatakan berhasil bila
penderita dapat defekasi teratur dan kontinen.12
Prognosis
Secara umum prognosisnya baik jika gejala obstruksi segera
diatasi, 90% pasien dengan penyakit hirschprung yang mendapat tindakan
pembedahan mengalami penyembuhan dan hanya sekitar 10% pasien yang
masih mempunyai masalah dengan saluran cernanya sehingga harus
dilakukan kolostomi permanen. Angka kematian akibat komplikasi dari
tindakan pembedahan pada bayi sekitar 20%. 12

30
BAB III
ANALISIS KASUS

Pada kasus ini didapatkan keluhan batuk pada seorang pasien bayi
perempuan usia 1.5 bulan, yang dibawa orang tuanya ke IGD RSUD Dr.
Moewardi, memberat 1 hari sebelum dirawat di RSUD Wonogiri (30 April 2017).
Setelah dirawat di RSUD Wonogiri, pasien didiagnosis Megacolon kongenital dan
telah mendapatkan injeksi Gentamicin, Ampicilin, infus NaCl dan oksigen. Saat
dlakukan perawatan, dikatakan perutnya kembung kemudian dirujuk ke RSUD
Moewardi pada tanggal 7 Mei 2017.
Saat di IGD RSDM dari hasil pemeriksaan didapatkan keadaan umum
pasien sadar, tampak lemah, sakit sedang. Pasien mengeluhkan perut kembung,
sedangkan untuk keluhan batuk sudah mengalami perbaikan. Pasien tidak
mengeluhkan adanya mual dan muntah, saat itu pasien masih dapat meminum ASI
dan ASB dengan baik.
Dari hasil anamnesis, pemerikaan fisik, dan pemeriksaan penunjang pasien
dimungkinkan mengalami megacolon congenital. Pada pasien neonatus dengan
megacolon kongenital terdapat trias gejala yang sering dijumpai yakni
pengeluaran mekonium yang terlambat, muntah hijau dan distensi abdomen.
Pengeluaran mekonium yang terlambat (lebih dari 24 jam pertama) merupakan
tanda klinis yang signifikan. Muntah hijau dan distensi abdomen biasanya dapat
berkurang manakala mekonium dapat dikeluarkan segera. Pada pasien ini, ketiga
trias tersebut tidak dapat dievaluasi dengan jelas mengingat usia pasien yang
sudah 1,5 bulan. Pada anak yang lebih besar, gejala klinis yang menonjol adalah
konstipasi kronis dan gizi buruk. Dapat pula terlihat gerakan peristaltik usus di
dinding abdomen. Jika dilakukan pemeriksaan colok dubur, maka feces biasanya
keluar menyemprot, konsistensi semi-liquid dan berbau tidak sedap. Penderita
biasanya buang air besar tidak teratur, sekali dalam beberapa hari dan biasanya
sulit untuk defekasi.
Saat ini pasien berusia 1,5 bulan dengan berat badan 2,5 kg dan panjang
badan 42 cm. pada antropometri didapatkan gizi baik, underweight, severe

31
stunded. Permasalahan terkait gizi pasien adalah pada pasien-pasien megacolon
kongenital biasanya didapatkan keadaan konstipasi dan gizi yang cenderung buruk
karena gangguan pada saluran pencernaan. Menurut ibu pasien sehari-hari pasien
minum ASI maupun ASB sebanyak 8-12 kali per hari dengan jumlah banyak.
Tatalaksana untuk pasien-pasien dengan megacolon kongenital sendiri dapat
meliputi tindakan non bedah, dan tindakan bedah. Tindakan non bedah dilakukan
dengan tujuan memperbaiki keadaan umum pasien, dan mencegah komplikasi
hingga tindakan bedah definitif dapat dilakukan. Tindakan-tindakan nonbedah
yang dapat dikerjakan adalah pemasangan pipa nasogastrik, pemasangan pipa
rektum, pemberian antibiotik, lavase kolon dengan irigasi cairan, koreksi elektrolit
serta pengaturan nutrisi. Tindakan bedah sementara dimaksudkan untuk
dekompresi abdomen dengan cara membuat kolostomi pada kolon yang
mempunyai ganglion normal bagian distal. Tindakan dimaksudkan guna
menghilangkan obstruksi usus dan mencegah terjadinya enterokolitis yang
diketahui sebagai penyebab utama terjadinya kematian pada penderita penyakit
Hirschsprung.
Untuk tindakan bedah definitif sendiri ada beberapa cara tindakan
pembedahan yang dapat digunakan antara lain teknik Swenson, Duhamel, Soave
dan Rehbein Operation.12
Pada kasus ini, keluarga menolak untuk dilakukan pembedahan. Oleh
karena itu, terapi yang dapat diberikan hanyalah terapi definitif.

32
DAFTAR PUSTAKA

KA Sari. 2011. Penyakit Hirschsprung. Medan: Universitas Sumatra Utara

Urban, Fischer. 2007. Atlas of Human Anatomy Sobotta

Hidayat M, Nurmantu F, Bahar B. Anorectal Function of Hirsphrungs Patients


After Definitive Surgery. The Indonesian Journal of Medical Science. 2009
June;2(2): 77-78

Swenson O. Hirschsprungs disease : A Review. J Pediatr 2002 ; 109 : 914-918

Sadler,T.W, 2000. Sistem Pencernaan.Dalam : Embriologi Kedokteran


LangmanEdisi 7,Jakarta : EGC, 243-271

Lindseth, Glenda N, 2005. Gangguan Usus Besar. Hartanto Huriawati.


Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit , Volume 1, Edisi 6.Jakarta.
EGC. 456-468

Leonidas J.C., Singh S.P., Slovis T.L. 2004. Chapter 4 Congenital Anomalies of
The Gastrointestinal Tract In: Caffeys Pediatric Diagnostic Imaging 10th edition.
Elsevier-Mosby. Philadelphia. Page 148-153

Holschneider A., Ure B.M., 2000. Chapter 34 Hirschsprungs Disease in: Ashcraft
Pediatric Surgery 3rd edition W.B. Saunders Company. Philadelphia. page 453-
468.

Taylo, Clive R, 2005. Struktur dan Fungsi, Sindrom Malabsorbsi, Obstruksiusus.


Mahanani, Dewi Asih,dkk. Ringkasan Patologi Anatomi. Jakarta.EGC5. 532-538

Pieter, John, 2005. Usus Halus, Apendiks, Kolon, dan Anorektum.Sjamsuhidaja R,


De Jong,Wim. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi II. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC, 646-647

Wyllie, Robert, 2000. Megakolon Aganglionik Bawaan (Penyakit


Hirschsprung) .Behrmann, Kliegman, Arvin. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Edisi
15, Jilid II. Jakarta: EGC, 1316-1319

Kartono, Darmawan, 2004. Penyakit Hirschsprung.. Jakarta : Sagung Seto, 3-82

Hansen, T.J., Koeppen, B.M. 2006. Chapter35 Digestive System in Netters Atlas
of Humans Anatomy. McGraw-Hill. New York. Page 617-640.

Lee, Steven L. Hirschprung disease. Available from :


http://emedicine.medscape.com.

33
Victor,P. E. 2007. Atlas of Histology with Functional Correlation. New York. Page
42

34

Anda mungkin juga menyukai