Anda di halaman 1dari 7

Reaksi Adat dalam Delik Adat

Pada hakikatnya, di dalam hukum adat tidak dikenal sanksi, tetapi upaya adat atau
reaksi adat. Hal ini didasarkan atas suatu konsep pemikiran bahwa pelanggaran
adat, merupakan suatu pelanggaran ketentuan hukum tidak tertulis yang berakibat
adanya ketidakseimbangan kosmis, siapapun pelanggarnya mempunyai
kewajiban untuk mengembalikan ketidakseimbangan yang terganggu seperti
keadaan semula.

Berbagai jenis reaksi adat antara lain :

1) pengganti kerugian materiil dalam berbagai rupa, seperti paksaan menikahkan


gadis yang telah dicemarkan;

2) pembayaran uang adat;

3) selamatan untuk membersihkan masyarakat dari segala kotoran;

4) penutup malu/permintaan maaf;

5) berbagai rupa hukuman badan sampai hukuman mati; dan

6) pengasingan dari masyarakat serta meletakkan orang diluar hukum.

Filosofi yang mendasari penghukuman dalam hukum adat berbeda


dengan pemidanaan menurut KUHP. Penghukuman dalam hukum adat lebih banyak
dilandasi oleh falsafah harmoni, sedangkan dalam KUHP lebih berorientasi pada
masalah retributif dan rehabilitatif. Di dalam organisasi kemasyarakatan adat dalam
bentuk persekutuan hukum adat, melekat suatu wewenang untuk menjatuhkan
sanksi adat.

Perbedaan sistem hukum pidana dalam KUHP dan hukum pidana Adat:

NO KUHP HUKUM ADAT

1 Yang dapat dipidana hanyalah Persekutuan hukum adat/


manusia persekutuan yang berdasarkan
hubungan darah (keluarga, marga,
paruik) dapat dimintai pertanggung
jawaban pidana yang dilakukan oleh
warganya.
2 Seseorang hanya dapat dipidana Seseorang sudah dapat dihukum
kalau mempunyai kesalahan karena peristiwa yang menimpa
(schuld), baik karena disengaja dirinya tanpa disengaja atau tanpa
(opzet, dolus) atau karena adanya kelalaianya.
kekhilafannya (culpa).

3 Pada dasarnya setiap setiap delik Terdapat delik yang hanya menjadi
adalah menentang kepentingan persoalan person / hanya menjadi
negara / umum, sehingga setiap persoalan keluarga korban, ada pula
delik adalah persoalan negara, yang menjadi persoalan desanya.
bukan persoalan individu secara
pribadi yang terkena.

4 Orang hanya dapat dipidana kalau Orang yang tidak dapat


ia dapat mempertanggungjawabkan
mempertanggungjawabkan perbuatannya tetap dapat dijatuhi
perbuatan yang dilakukannya. hukuman, keadaan demikian
menentukan berat ringannya
hukuman.

5 Tidak mengenal perbedaan Di daerah tertentu mengenal


tingkat/kasta pada orang yang tingkatan manusia. Semakin tinggi
menjadi korban perbuatan pidana, kedudukan atau kasta orang yang
sehingga pada dasarna perbuatan terkena perbuatan pidana makin
pidana yang ditujukan kepad berat hukuman yang dapat
setiap orang, hukumannya sama. dijatuhkan kepada orang yang
melakukan delik, dan lebih berat
jika dibadingkan dengan delik yang
ditujukan kepada orang yang lebih
rendah derajatnya.

Orang dilarang main hakim Terdapat keadaan yang mengijinkan


sendiri (eigenrichting) orang yang terkena delik menjadi
hakim sendiri

Terdapat perbedaan hukuman Siapa saja yang turut melanggar


antara orang yang melakukan peraturan hukum harus turut
delik dengan orang yang hanya memulihkan kembali keseimbangan
membantu, membujuk atau yang terganggu.
hanya turut serta melakukan
delik.

Dikenal adanya percobaan yang Tidak ada orang yang dapat


dapat dipidana, yaitu percoibaan dipidana hanya karena melakukan
melakukan kejahatan, percobaan saja, karena dalam
sistem hukum adat suatu
adatreactie hanya akan dilaksanaka
kalau keseimbangan hukum dalam
masyarakat terganggu.

Hakim dalam mengadili perbuatan


pidana memperhatikan pula apakah
si pelanggar itu merasa menyesal

4. Pembaharuan Hukum Pidana

Makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana, dilihat dari sudut


pendekatan kebijakan, merupakan bagian dari kebijakan sosial, bagian dari
kebijakan kriminal dan bagian dari kebijakan penegakan hukum. Sedangkan dilihat
dari sudut pendekatan nilai, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya
merupakan upaya peninjauan dan penilaian kembali (re-orientai dan re-evaluasi)
nilai-nilai sosio-politik, sosio-filosofis dan sosio-kultural yang melandasi dan
memberi isi terhadap muatan normatif dan substansi hukum pidana yang dicita-
citakan. Dalam kerangka pembaharuan hukum pidana tidak hanya mencakup
pembaharuan struktural, yaitu lembaga-lembaga hukum yang bergerak dalam
suatu mekanisme, tetapi harus pula mencakup pembaharuan substansial berupa
produk-produk yang merupakan suatu sistem hukum dalam bentuk peraturan-
peraturan hukum pidana yang bersifat cultural yakni sikap-sikap dan nilai-nilai
yang mempengaruhi berlakunya suatu sistem hukum.

Apabila persoalan ini dikembalikan pada pemahaman tentang istilah


hukum pidana nasional, maka istilah nasional harus diartikan secara relatif, karena
muatannya mau tidak mau harus mencakup 1) aspirasi ideologi nasional; 2) aspirasi
kondisi manusia, alam dan tradisi bangsa; dan 3) kecenderungan internasional yang
diakui oleh bangsa-bangsa beradab.

5. Hukum Pidana Adat dan Masalah Asas Legalitas serta pertanggungjawaban


pidana

Di dalam menentukan dasar hukum atau patut dipidananya suatu


perbuatan, RUUHP 2008 dasar hukumnya yang utama adalah undang-undang
(hukum tertulis). Jadi bertolak dari asas legalitas dalam pengertian yang formal,
sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (1) RUUHP 2008. Berbeda halnya
dengan asas legalitas yang berlaku selama ini, konsep masih memperluas
perumusannya secara materiil, dengan menegaskan bahwa ketentuan dalam Pasal
1 ayat (1) tersebut tidak mengurangi arti hukum yang hidup dan ada dalam
kenyataan masyarakat, yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana
walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Dengan demikian di samping undang-undang (hukum tertulis) sebagai
kriteria patokan formal, RUUHP 2008 juga memberikan peluang kepada sumber
hukum tidak tertulis, sebagai dasar untuk menentukan kriteria patut dipidananya
suatu perbuatan. Namun perlu dicatat bahwa hal ini hanyalah berlaku untuk
perbuatan-perbuatan yang tidak diatur dalam KUHP ataupun untuk delik-delik yang
tidak mempunyai padanannya dalam KUHP. Berangkat dari alur pemikiran
mengenai dasar patut dipidananya suatu perbuatan, maka konsep juga
menentukan bahwa tindak pidana, pada hakikatnya merupakan suatu perbuatan
yang melawan hukum, baik secara formal maupun material.

Tentang pertanggungjawaban pidana RUUHP menegaskan bahwa :


pertanggungjawaban pidana adalah, diteruskannya celaan yang obyektif yang ada
pada tindak pidana dan secara subyektif kepada seseorang yang memenuhi syarat
untuk dapat dijatuhi pidana karena perbuatannya. Selanjutnya ditegaskan pula
secara eksplisit dianutnya asas tiada pidana tanpa kesalahan (Geen Straf zonder
schuld) yang didalam KUHP tidak ada. Asas culpabilitas ini merupakan salah satu
asas fundamental, yang oleh karenanya perlu ditegaskan secara eksplisit di dalam
RUUHP sebagai pasangan dari asas legalitas. Penegasan demikian merupakan
perwujudan ide keseimbangan monodualistik.

6. Hukum Pidana Adat dalam Hubungannya dengan Pembaharuan Pidana dan


Pemidanaan.

Di dalam RUUHP dirumuskan tentang tujuan dan pedoman pemidanaan.


Dirumuskannya hal ini bertolak dari pokok pemikiran :

1) Sistem hukum pidana merupakan satu kesatuan sistem yang bertujuan


(purposive system) dan pidana hanya merupakan alat/sarana untuk mencapai
tujuan;

2) Tujuan pidana merupakan bagian integral (sub sistem) dari keseluruhan sistem
pemidanaan (sistem hukum Pidana) di samping sub sistem lainnya, yaitu sub sistem
tindak pidana, pertanggungjawaban pidana kesalahan, dan pidana;

3) secara fungsional/operasional, sistem pemidanaan merupakan suatu rangkaian


proses melalui tahap formulasi (kebijakan legislati), tahap aplikasi (kebijakan
judisial/judikatif),dan tahap eksekusi (kebijakan administratif/eksekutif); oleh
karena itu agar ada keterjalinan dan keterpaduan antara ketiga tahap itu sebagai
satu kesatuan sistem pemidanaan, diperlukan perumusan dan tujuan serta
pedoman pemidanaan.

Dicantumkannya pemenuhan kewajiban adat sebagai salah satu jenis pidana


tambahan, dilandasi oleh suatu pemikiran bahwa pemidanaan yang bertolak dari
dan didasarkan pada KUHP (baca WvS) yang selama ini terjadi dalam praktek,
kurang memenuhi tuntutan rasa keadilan masyarakat yang masih mengenal dan
memberlakukan hukum adat pidana Kerugian yang diakibatkan oleh delik adat,
tidak saja menyangkut kerugian materiil, tetapi juga kerugian yang bersifat
immateriil. Hal ini jelas menunjukkan bahwa hukum adat pidana dilandasi oleh
suatu falsafah harmoni dan communal morality.

Prajuru Adat (Perangkat Desa) Prajuru adat adalah merupakan alat bagi desa adat
dalam menyelenggarakan segala urusan rumah tangga desa adat, segala
kepentingan krama desa adat dan mewujudkan secara nyata tujuan yang telah
ditetapkan oleh sangkep krama desa adat (rapat anggota desa adat), disamping itu
prajuru juga mempunyai tugas untuk melaksanakan berbagai peraturan seperti
awig-awig desa adat beserta aturan pelaksanaanya yang ditetapkan oleh sangkep
krama desa adat. Sangkep ini merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam
desa adat. Prajuru adat dipilih dan diberhentikan oleh sangkep krama desa adat dan
karenanya prajuru desa adat bertanggung jawab atas penyelenggaraan
pemerintahan desa pada krama desa adat melalui sangkep krama desa adat.10
Menurut I Nyoman Sirtha menyatakan bahwa : 11 Ditinjau dari kekuasaan yang
dimiliki oleh desa adat dapat dikatakan bersifat asli artinya desa adat sebagai
persekutuan hukum dapat mengatur rumah tangganya sendiri demi untuk
kepentingan warganya. Otonomi itu lahir bersamaan dengan berdirinya desa adat
otonomi desa adat tampak pada kekuasaan untuk membentuk pengurus sendiri
sebagai penyelenggara pemerintah desa, kekuasaan untuk membuat aturan sendiri
yang disebut awig-awig, kekuasaan untuk menyelenggarakan kesejahteraan
masyarakat
Tugas dan Wewenang Desa Adat Tugas dan wewenang Desa Adat Menurut I Wayan
Surpha, secara garis besarnya kewajban warga desa adat meliputi : 13 a.
Melaksanakan ayahan desa (tugas-tugas krama desa) Ayahan desa berupa : kerja
bakti memperbaiki atau membangun pura milik desa adat, menyelenggarakan
upacara Dewa Yajna (ngodalin) di pura milik desa, menyelenggarakan Bhuta Yajna
(mecaru) di desa setiap tilem kesanga, melaksanakan upacara makiyis,
menyelenggarakn pembangunan-pembangunan untuk kepentingan desa adat, dan
melaksanakan tugas-tugas lainnya bagi desa adat. b. Wajib tunduk dan mentaati
peraturan-peraturan yang berlaku bagi desa adat yaitu : awig-awig baik tertulis
maupun tidak tertulis, paswara dan sima yang telah berlaku. Selain itu warga desa
adat berkewajiban pula menjaga keamanan dan ketentraman bersama, menjaga
nama baik desanya dan melaksanakan suka-duka (gotong royong) antara
sesamanya.

Tentang Parjuru atau Perangkat Desa Prajuru atau perangkat desa tersebut adalah
anggota atau krama desa adat yang diberi kepercayan untuk mengatur
pemerintahan yang diangkat oleh krama desa sendiri serta mengatur hubungan
antar krama, lingkungannya dan hubungan keagamaan. Mulai dari persyaratan
untuk menjadi prajuru adat sampai penertiban wewenang yang perlu diperinci
secara pasti otoritas yang merupakan otonomi asli perlu dikembalikan sehingga
prinsip kewenangan menyelesaikan sanksi-sanksi adat dapat dipertanggung
jawabkan.

Tentang Hakim Perdamaian Desa. Prajuru terutama Kelian Desa dianggap sebagai
hakim perdamaian desa, dapat mengurus perkara-perkara warga desa yang
berkenaan dengan adat, dan berhak memberi keputusankeputusan besar kecilnya
ketentuan denda yang diserahkan kepada musyawarah desa dengan tidak
mengabaikan unsur-unsur pertimbangan perikemanusiaan yang lebih utama adalah
dimaksudkan untuk memegang teguh kesucian dan kekompakkan desa. Berbicara
tentang hakim perdamaian desa merupakan suatu unsur yang sangat begitu prinsip
oleh karena masalah adat Bali adalah keberadaan masyarakat adat. Hakim
perdamaian desa disini berfungsi sebagai tempat untuk mengadukan masalah adat
yang mana prajuru yang berhak untuk memutuskan segala sesuatunya yang
dimaksudkan dengan prajuru tiada lain adalah Kelian Desa Adat yang memegang
teguh dari keputusan yang telah menjadi pedoman oleh para prajuru sendiri. Sesuai
dengan hasil sangkepan atau yang lebih dikenal dengan peparuman desa.

Tugas dan Wewenang Desa Pakraman. Menurut I wayan Surpha maka secara umum
Desa Adat (Desa Pakraman) berfungsi:24 23 IBK Dharmika, dan IBG Yudha Triguna,
Op. Cit hal. 2 Untuk menata dan mengatur kehidupan paguyuban dari warga
desanya dalam hubungan dengan unsur-unsur yang menjadikan desa tersebut
sebagai suatu Desa Adat, yaitu unsur warganya yang dinamakan Pawongan, unsur
wilayah desanya yang dinamakan Palemahan dan unsur tempat-tempat pemujaan
bagi warga desanya yang dinamakan Parhyangan, atau secara popular dikenal
dengan istilah Tri Hita Karana . Kemudian jika ditelusuri lebih lanjut maka dari
fungsi umum Desa Adat tersebut diatas, dapat dirumuskan kembali oleh I Wayan
Surpha menjadi antara lain sebagai berikut :25 Mengatur hubungan krama desa
dengan kahyangan. Mengatur pelaksanaan Panca Yadnya agama Hindu dalam
masyarakat. Mengatur penggunaan kuburan. Mengatur hubungan antara sesama
krama desa. Mengurusi tanah, sawah dan barang-barang lainnya milik desa Adat.
Menetapkan sanksi-sanksi bagi pelanggaran terhadap hukum adat. Menjaga
keamanan, ketertiban dan kedamaian dalam masyarakat. Memberikab perlindungan
hukum terhadap krama desa. Mengikat persatuan dan kesatuan antar sesama
krama desa dengan cara gotong royong dalam bidang ekonomi, teknologi,
kemasyarakatan dan keagamaan. Menunjang dan mensukseskan program
pemerintah dalam memajukan desa, pendidikan dan perekonomian. Dalam pasal 5
Perda Propinsi Bali No. 3 Tahun 2001 dinyatakan mengenai tugas desa Pakraman,
sehingga desa pakraman mempunyai tugas sebagai berikut: Membuat awig-awig.
Mengatur krama desa. Mengatur pengelolaan harta kekayaan desa. 24 I Wayan
Surpha, Op. Cit, hal. 13. 25 Ibid, hal. 69. Bersama-sama pemerintah melaksanakan
pembangunan di segala bidang terutama di bidang keagamaan, kebudayaan, dan
kemasyarakatan. Membina dan mengembangkan nilai-nilai budaya Bali dalam
rangka memperkaya, melestarikan dan mengembangkan kebudayaan nasional
pada umumnya dan kebudayaan daerah pada khususnya, berdasarkan paras-
paros, sagilik-saguluk, salulungsabayantaka(musyawarah-mufakat). Mengayomi
krama desa. Sedangkan di dalam pasal 6 Perda Propinsi Bali No. 3 Tahun 2001
tentang Desa Pakraman disebutkan mengenai wewenang dari desa Pakraman yaitu
sebagai berikut : a. Menyelesaikan sengketa adat dan agama dalam lingkungan
wilayahnya dengan tetap membina kerukunan dan toleransi antar krama desa
sesuai dengan awig-awig dan adat kebiasaan setempat. b. Turut serta menentukan
setiap keputusan dalam pelaksanaan pembangunan yang ada di wilayahnya
terutama yang berkaitan dengan Tri Hita Karana. c. Melakukan perbuatan hukum di
dalam dan diluar desa Pakraman.

Anda mungkin juga menyukai