Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
A. Pendahuluan
1
Dalam perkembangan intelektualitas Islam tersebut, ditemukan banyak
perbedaan pada tiap periodenya. Menurut Abuddin Nata, hal ini disebabkan antara
lain ketidaksamaan dalam menggunakan pola gerakannya. 1 Pola gerakan
pemikiran ini sangat dipengaruhi oleh situasi sosial ekonomi, politik, budaya,
perkembangan dan tuntutan masyarakat dan sebagainya.
2
baru dalam kancah dunia internasional. Kehadiran Nabi membawa perubahan
dalam tatanan sosial masyarakat Arab. Ide dan gagasan Nabi yang tersurat dalam
al-Quran menjadi inspirasi untuk menuju tatanan kehidupan yang lebih mapan
dan beradab. Pengaruh nilai dan moralitas al-Quran yang dibawa Nabi
termanifestasi dalam sejarah dan peradaban Islam. Sejak mendapatkan wahyu
langit dalam uzlah (pengasingan) di gua Hira tahun 610 M., Muhammad mulai
berbicara atas nama Allah swt. dan memproklamirkan Islam sebagai agama
Tauhid untuk kemaslahatan umat manusia dan rahmat bagi alam semesta. Sejak
inilah Nabi mulai membentuk sebuah komunitas masyarakat keagamaan dalam
ikatan semangat tauhid. Muhammad mulai mendapatkan perlawanan dan
tantangan keras dari masyarakat paganisme di Mekkah dan dianggapnya sebagai
orang yang terserang penyakit syaraf, gila dan sebagainya. Muhammad dilahirkan
dan dibesarkan di tengah-tengah suku Quraisy Mekkah, tetapi reformasi teologi,
reformasi kultural, dan reformasi sosial yang dibawanya berdasarkan wahyu
Allah, dianggap memiliki peran penting dalam membangun tatanan sosial-politik
dan tradisi kaum Quraisy.3
3
Syamsul Bakri, Peta Sejarah Peradaban Islam, (Yogyakarta: Fajar Media Press, 2011),
hlm.19-20
3
selanjutnya Khulafa Al-Rasyidin, Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasiyah secara
garis besar memiliki peranan penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan di
dunia Islam. Menurut Ibnu Khaldun, pertumbuhan dan perkembangan ilmu yang
amat terkait erat dengan luasnya wilayah dan beragamnya budaya maupun ilmu
yang ada di daerah-daerah yang dikuasai Islam.4 Secara pasti, ekspansi Islam
menyebabkan terjadinya kontak antara Islam dengan kebudayaan Barat, atau
tegasnya dengan kebudayaan Yunani Klasik yang terdapat di Mesir, Suria,
Mesopotamia dan Persia.5
Pada era klasik ini metode berfikir rasional, ilmiah dan filosofis
berkembang dengan pesat. Sentuhan estetika dan filsafat telah menghantarkan
peradaban Islam pada puncak kejayaan. Ulama-ulama mujtahid bermunculan,
begitu juga para ilmuwan muslim telah menghasilkan karya-karya seni, filsafat
dan ilmu pengetahuan secara mengagumkan.
Di masa Bani Abbas inilah perhatian kepada ilmu pengetahuan dan filsafat
Yunani memuncak terutama di zaman Harun Al-Rasyid (785-809 M) dan Al-
Mamun (813-833 M). Buku-buku ilmu pengetahuan dan filsafat didatangkan dari
Bizantium dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Kegiatan
penterjemahan buku-buku ini berjalan kira-kira satu abad. Bait Al-Hikmah, yang
didirikan Al-Mamun, bukan hanya merupakan pusat penterjemahan tetapi juga
akademi yang mempunyai perpustakaan. Di antara cabang-cabang ilmu
pengetahuan yang diutamakan dalam Bait Al-Hikmah ialah ilmu kedokteran,
matematika, optika, geografi, fisika, astronomi, dan sejarah di samping filsafat. 6
Maka kemudian muncul beberapa ilmuwan muslim terkenal dan menjadi
kebanggaan dunia Islam seperti; Al-Fazari (Abad VII) sebagai astronom Islam
yang pertama kali menyusun Astronomi (alat yang dahulu dipakai untuk
mengukur tinggi bintang-bintang dan sebagainya; Al-Fargani (di Eropa dikenal
dengan sebutan Al-Fragnus) adalah pengarang ringkasan tentang ilmu astronomi;
4
Abdur Rahman Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, (Beirut: Dar Al-Kotoob Al-
Ilmiyyah, t.t.), hlm 344-345.
5
Harun Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press, 1994), hlm
71.
6
Ibid., hlm. 70
4
Dalam bidang optika, Abu Ali Al-Hasan Ibn Al-Haytham (Abad X) terkenal
sebagai orang yang menentang pendapat bahwa mata yang mengirim cahaya
kepada benda yang dilihat. Menurutnya, bendalah yang mengirim cahaya ke mata
dan karena menerima cahaya itu, mata bisa melihat benda yang bersangkutan.
Dalam bidang Kimia, Jabir ibn Hayyan (w. 813 M) dikenal sebagai bapak Kimia.
Abu Bakar Zakaria Al-Razi (w. 925 M) adalah pengarang buku besar tentang
kimia yang baru dijumpai di abad XX dan juga penemu di bidang ilmu kedokteran
dan farmasi. Di zaman ini pula lahir ulama-ulama besar seperti Imam Malik,
Imam Abu Hanifah, Imam Syafii dan Imam Ibn Hambal dalam bidang hukum;
Imam Asyari, Imam Al-Maturidi, pemuka-pemuka Mutazilah seperti Wasil Ibn
Ata, Abu Al- Huzail, Al-Nazzam, dan Al-Zubai dalam bidang teologi; Dzunnun
Al-Mishri, Abu Yazid Al-Bustami dan Al- Hallaj dalam mistisisme atau tasawwuf;
Al- Kindi, Al- Farabi, Ibn Sina dan Ibnu Miskawih.
7
Abuddin Nata., Op. Cit., hlm. 131
8
Ibid. hlm. 132
5
Abuddin Nata mencatat bahwa poin penting dari fenomena intelektual
zaman klasik tersebut adalah adanya pola pemikiran yang integrated, yaitu pola
yang didasarkan pada integrasi antara dimensi fisik dan metafisik, intuisi dan
wahyu, dunia dan akhirat material dan spiritual berdasarkan pada pandangan Al-
Quran dan Sunnah yang tidak memisahkan antara berbagai unsur tersebut.9
Integrasi pengetahuan ini dapat dilihat dari banyak ulama yang memiliki
berbagai keahlian pada saat yang sama. Seorang sufi bisa saja menjadi ahli
astronomi, matematika, fisika dan sebagainya. Pengetahuan yang integrated ini
pada tahap selanjutnya terjadi dikotomi yang menyebabkan terpisahnya dimensi
ilmu agama dan pengetahuan keduniaan.. Seorang ulama akan memiliki
otoritas keilmuan hanya pada bidang keagamaan semata. Hal ini kemudian
menjadi perdebatan panjang dan pada akhirnya timbul usaha-usaha untuk
mengintegrasikan kembali keilmuan keagamaan dan keduniaan tersebut. Jika
diperhatikan lebih jauh, model keilmuan yang integrated pada zaman klasik ini
dipandang sebagian intelektual Islam saat ini sebagai model yang paling ideal
sehingga terdapat upaya yang sistematis untuk menegakkannya kembali misalnya
dalam bentuk islamisasi ilmu penegetahuan.
9
Ibid.
10
Harun Nasution, Op. Cit., hlm. 82
6
Perbedaan antara Sunni dan Syiah dan demikian juga antara Arab dan
Persia bertambah nyata. Dunia Islam terbagi dua, bagian Arab yang terdiri atas
Arabia, Irak, Suria, Palestina, Mesir, dan Afrika Utara dengan Mesir sebagai
pusat; dan bagian Persia yang terdiri atas Balkan, Asia Kecil, Persia dan Asia
Tengah dengan Iran sebagai pusat. Kebudayaan Persia mengambil bentuk
internasional dan dengan demikian mendesak lapangan kebudayaan Arab. Di
samping itu, pengaruh tarekat-tarekat bertambah mendalam dan bertambah meluas
di dunia Islam. Pendapat yang ditimbulkan di zaman disintegrasi bahwa pintu
ijtihad telah tertutup diterima secara umum di zaman ini. Perhatian pada ilmu-
ilmu pengetahuan sedikit sekali. Tetapi sebaliknya, Islam mendapat pemeluk-
pemeluk baru di daerah-daerah yang selama ini belum pernah dimasuki Islam.11
Pada periode pertengahan ini, terdapat masa tiga kerajaan Besar (1500-
1800 M). Tiga kerajaan besar yang dimaksud adalah kerajaan Usmani di Turki,
kerajaan Safawi di Persia, dan Kerajaan Mughal di India. Tahun 1500-1700 M
dianggap sebagai fase kemajuan II dalam sejarah peradaban Islam.12 Literatur
dalam bahasa Turki di zaman inilah mulai muncul. Di masa-masa sebelumnya,
pengarang-pengarang Turki menulis dalam bahasa Persia. Di zaman Sultan Salim
I dan Sultan Sulaiman dikenal dua pengarang; Fuzuli dan Baki, yang kemudian
disusul di abad ke-18 oleh Nedim dan Syeikh Ghalib. Dalam bidang arsitek,
sultan-sultan mendirikan istana-istana, masjid-masjid, benteng-benteng dan
sebagainya. Di India, bahasa Urdu juga meningkat menjadi bahasa literatur dan
menggantikan bahasa Persia yang sebelumnya dipakai di kalangan istana sultan-
sultan di Delhi. Para penulis besar pertama dalam bahasa ini adalah Mazhar,
Sauda, Dard, dan Mir (abad 18). Sayangnya, perhatian terhadap ilmu pengetahuan
sangat kurang sekali dibandingkan dengan masa-masa kejayaan Islam I.
Kemajuan Islam II ini lebih ditekankan pada kemajuan dalam aspek politik.13
7
bidang ekonomi, juga terpuruk akibat hilangnya monopoli dagang antara Timur
dan Barat. Ilmu pengetahuan di dunia Islam mengalami stagnasi. Tarekat-tarekat
diliputi oleh suasana khurafat dan supertisi. Umat Islam dipengaruhi oleh sikap
fatalistis, sehingga dunia Islam dalam keadaan mundur dan statis. Sementara, pada
masa itu Barat mengalami kebangkitan. Penetrasi Barat, yang kekuatannya
bertambah besar, ke dunia Islam yang didudukinya kian lama bertambah
mendalam. Akhirnya, di tahun 1978 M, Napoleon menduduki Mesir, sebagai salah
satu pusat Islam yang terpenting. Jatuhnya pusat Islam ini ke tangan Barat,
menginsafkan dunia Islam akan kelemahannya dan menyadarkan umat Islam
bahwa di Barat telah timbul peradaban yang lebih tinggi dari peradaban Islam.14
Pada periode pertengahan ini, terdapat pola gerakan intelektual Islam yang
benar-benar berbeda dari periode klasik. Perbedaan terutama dapat dilihat dari
terutama umat Islam hanya fokus pada ilmu keislaman murni, itupun tidak disertai
dengan inovasi. Umat Islam cendrung hanya mempelajari Islam dari hasil ijtihad
para ulama terdahulu, tanpa melakukan pembaruan pemahaman sebagai tradisi
intelektual. Apa yang dihasilkan oleh para ulama terdahulu telah dianggap sebagai
pencapaian tertinggi sehingga tidak perlu lagi untuk dikritisi.
8
lainnya. Kelima, para ulama sudah terkotak-kotak pada mazhab dan aliran-aliran
yang kemudian tidak bertegur sapa, saling bertentangan. Keenam, dari sekian
keilmuan yang dikembangkan, ilmu fiqh dan tasawuf termasuk yang paling sering
berebut pengaruh, fiqh tanpa tasawuf dan tasawuf tanpa fiqh.15
Pola gerakan pada masa pertengahan ini dapat dikatakan sebagai awal dari
kemunduran intelektual umat Islam. Tasawuf berkembang pesat dan menjadi
semaca gaya hidup para ulama saat itu. Dari berbagai literatur diperoleh
penjelasan bahwa tasawuf berkembang terutama sebagai jawaban atas kehidupan
bermewah-mewah para penguasa saat itu. Para khalifah terlena dalam kehidupan
hedonis dan berfoya-foya.
15
Abuddin Nata, Op. Cit., hlm. 137
9
berdomisili di tanah yang subur dengan sumber daya alam yang melimpah. 16
Bangsa Eropa melakukan hegemoni ekonomi atas bangsa-bangsa Timur dan
Islam. Dan bahkan pada abad 19, Eropa secara terang-terangan menjadikan
dirinya sebagai imperialisme dunia karena telah didukung oleh kekuatan politik,
kekuasaan dan militer.
Pada periode ini, muncul banyak para pemikir Islam yang handal. Mereka
menjadi pioner pembaharuan dalam Islam. Ajaran Islam dirasionalisasikan dan
difahami dalam konteks ke-kini-an dan kemodernan. Islam difahami tidak hanya
difahami dari sudut pandang lokal, tetapi juga dalam perspektif universal dan
kontekstual. Sejarah mencatat munculnya para pemikir Islam di dunia Arab,
seperti di Arab, Mesir, dan Turki. Demikian juga di India dan Pakistan. Tidak
ketinggalan di Indonesia dan dunia Islam lainnya.
Sejarah juga mencatat, para pemikir dan tokoh pembaharuan Islam yang
sangat popular. Pemikiran dan ide pembaharuannya terus dipelajari. Bahkan
pengaruhnya dapat dirasakan sampai sekarang. Di dunia Arab, dikenal tokoh
Muhammad bin Abdul Wahab, Muhammad Abduh, Rasyid Ridla, Mustafa Kemal
Attaturk, Hassan Hanafi, Muhammad Syahrur, Abdul halim Mahmud, dan
sebagainya. Di India dan Pakistan, dikenal tokoh pembaharu seperti Muhammad
Iqbal, Ali Jinah, Kalam Azad, Ahmad Khan, Jamaluddin al-Afghani, dan lain-lain.
Demikian juga yang terjadi di Indonesia. Tokoh pembaharuan yang cukup
popular, dapat disebutkan di antaranya: Harun Nasution, Nurcholis Madjid,
Munawir Sadjali, Abdurrahman Wahid, Amin Rais, dan sebagainya.
10
Syah Waliyullah dan Syekh Ahmad Sihrin di India. 17 Menurut Harun
Nasution18 Muhammad bin Abdul Wahab bukan hanya seorang teoris yang
sangat memahami ajaran Islam, tetapi ia dipandang sebagai seorang
pemimpin yang dengan aktif dan progresif berusaha menyebarkan dan
mewujudkan pemikirannya. Sedangkan Syah Waliyullah dan Syekh Ahmad
Sihrin dipandang sebagai tokoh yang menentang sufisme secara sangat tajam.
11
rasionalisme, Ibnu Taimiyyah juga melakukan kritik terhadap rasionalisme,
tetapi kritik itu tidak berakibat memojokan penalaran rasional terhadap usaha
perbaikan terhadap berbagai dimensi kehidupan kaum muslimin. Barangkali
kelemahan kaum Wahabi adalah semangat agak anti terhadap
rasionalismenya, sehingga semboyan ijtihad yang dikumandangkannya tidak
begitu efektif, berhubung tidak diberikannya tempat secara wajar bagi
intelektualisme. Akan tetapi harus kita catat, adanya pengaruh positif bagi
masyarakat muslim di dunia, terutama prinsip egalitarianisme yang diserukan
gerakan ini.20
20
Ibid., hlm. xii
12
penting dan memiliki posisi yang sangat tinggi; 4) Percaya kepada hukum
alam (sunnatullah). Hukum alam tidak bertentangan dengan Islam yang
sebenarnya. Oleh karena itu ilmu pengetahuan modern yang berdasarkan
hukum alam, dan Islam yang sebenarnya berdasarkan wahyu adalah dua hal
yang tidak bertentangan. Ilmu pengetahuan modern, idealnya sesuai dengan
islam. Saat ini yang mengalami kemajuan dalam ilmu pengetahuan dan
teknologi adalah Barat. Maka untuk mencapai kemajuan seperti yang diraih di
masa lampau (yang sekarang telah hilang dan dimiliki Barat), umat Islam
harus kembali dan mempelajari serta menguasai ilmu pengetahuan; 5)
Percaya kepada kebebasan berkehendak dan bertindak (free-will and free-act)
seperti faham Qadariyah.21
3. Westernisme
21
Harun Nasution, Op. Cit., hlm. 66
13
yang harus ditempuh adalah memperkuat hubungan dengan Barat (Inggris)
dan mengambil berbagai aspek kemajuan dan ketinggian yang ada di Barat.22
4. Sekularisme
22
Ibid., hlm. 167
23
Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia (Jakarta: Rajawali Press, 2005),
hlm. 306.
14
Pola Gerakan Intelektual
Menurut Abuddin Nata, pola gerakan intelektual pada zaman modern ini
ditandai hal-hal sebagai berikut:
Kedua, menerima pendapat lama yan masih sesuai dan mengambil pendapat
baru yang lebih sesuai lagi.
15
sangat serius untuk melakukan reinterpretasi Islam agar mampu mengatas
berbagai persoalan manusia pada zaman modern. Pola gerakan dan pemikiran
intelektual Islam berkembang, mulai dari yang paling radikal, sebagaimana
dilakukan oleh kaum Wahabi, hingga yang paling bebas dan sekuler
sebagaimana dilakukan oleh Musthafa Kemal Attaturk.
Postmodernisme berasal dari kata post dan modern. Post atau pasca
secara literal mengandung arti sesudah, jadi istilah Postmodernisme berarti era
pasca modern berupa gugatan kepada modernisme. Berkaitan dengan definisi
Postmodernisme itu sendiri, belum ada rumusan yang baku sampai saat ini, karena
Postmodernisme sebagai wacana pemikiran masih terus berkembang sebagai
reaksi melawan modernisme yang muncul sejak akhir abad 19.26
Istilah Postmodernisme digunakan dalam berbagai arti, dan tidak mudah
untuk membuat dan merumuskan satu definisi yang dapat mencakup atau
menjangkau semua dimensi arti yang dikandungnya. Istilah postmodernsme
pertama kali muncul sebelum tahun 1926, yakni tahun 1870 an oleh seniman
Inggris bernama John Watkins. Ada juga yang menyatakan bahwa istilah
Postmodernisme telah dibuat pada akhir tahun 1040 oleh sejarawan Inggris,
Arnold Toynbee. Akan tetapi istilah tersebut baru digunakan pada pertengahan
1970 oleh kritikus seni asal Amerika, Charles Jenck untuk menjelaskan gerakan
anti modernisme.27
Istilah postmdernisme pertama-tama dipakai dalam seni arsitektur.
Diantara ciri utama arsitektur modern adalah gedung-gedung tinggi menjulang
yang sangat teratur tanpa banyak variasi. Dari seni arsitektur, istilah
Postmodernisme dipakai juga untuk bidang teori sastra, teori sosial, gaya hidup,
filsafat, bahkan juga agama.
26
http://pasaronlineforall.blogspot.co.id/2010/12/sejarah-dan-peradaban-islam-
postmodern.html
27
Ibid.
16
Dalam kajian Postmodernisme mengisyaratkan pada dua hal. Pertama.
Postmodernisme dipandang sebagai keadaan sejarah setelah zaman modern.
Dalam hal ini modernisme dipandang telah mengalami proses akhir yang akan
digantikan dengan zaman berikutnya, yaitu postmodern. Kedua. Postmodern
dianggap sebagai gerakan intelektual (intellectual movmen) yang mencoba
menggugat, bahkan mendekonstruksi pemikiran sebelumnya yang berkembang
dalam bingkai paradigma pemikiran modern dengan pilar utamanya kekuatan
rasionalitas manusia, hal ini ingin digugat karena telah menjebak manusia kepada
absolutisme dan cenderung represif.28
Adapun inti pokok alur pemikiran Postmodernisme adalah menentang
segala hal yang berbau kemutlakan, baku, menolak dan menghindari suatu
sistematika uraian atau pemecahan persoalan yang sederhana dan skematis, serta
memanfaatkan nilai-nilai yang berasal dari berbagai aneka ragam sumber.29
Menurut Abuddin Nata, postmodernisme adalah sebuah rentang waktu
atau era yang ditandai oleh hal-hal sebagai berikut: Pertama, kekecewaan
terhadap modernisme yang telah menimbulkan berbagai dampak negatif, seperti
dehumanisasi, dislokasi, perdagangan bebas, penjajahan baru, perusakan
lingkungan hidup, kesenjangan antara kaya dan miskin, peredaran narkoba,
kriminalitas dan sebagainya. Kedua, Saling mendekat dan bergantungnya sebuah
ilmu dengan ilmu lainnya. Setiap ilmu mulai menyadari keterbatasan dirinya dan
tidak akan mampu memecahkan masalah sendiri. Ketiga, ilmu semakin dituntut
untuk amemberikan kontribusi yang signifikan untuk memenuhi kebutuhan umat
manusia. Ilmu bukan sekedar untuk ilmu, tetapi ilmu manusia. Keempat, di era
postmodernisme ini selain terdapat agama yang bermacam-macam juga terdapat
berbagai aliran ideologi yang saling berebut pengaruh terhadap kehidupan
manusia. 30
28
Agus Salim Sitompul, Sejarah dan Peradapan Islam, hlm. 5 dikutip dari Suyoto dkk.
Postmodernisme dan Masa depan Peradapan, (Jogjakarta: Penerbit Aditya Media, 1994), hlm. Vi.
29
Amin Abdullah, Falsafah Kalam Di Era Posmodernisme, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar,
2004), hlm. 96.
30
Abuddin Nata, Op. Cit., hlm. 147
17
Berdasarkan kondisi tersebut, maka Abuddin Nata merumuskan pola
gerakan intelektual Islam pada masa postmodernisme ini sebagai berikut:
Pertama, terjadi integrasi keilmuan dalam kajian Keislaman, dari yang semula
parsial dan saling bertentangan antara ilmu agama dan umum, kepada studi Islam
yang holistik, komprehensif dan integrated. Kedua, terjadi pergeseran kajian Islam
ke arah yang lebih kontekstual menggunakan berbagai pendekatan berbagai
disiplin ilmu dalam memahami Islam, seperti pendekatan historis, psikologi dan
lainnya. Ketiga, cara kerja gerakan intelektual muslim pada era postmodern ini
melalui sebuah team work, komite fatwa, team teaching dan sebagainya. Di
dalamnya didukung oleh para pakar lintas keilmuan namun memiliki visi dan
tujuan yang sama dalam memecahkan masalah umat.31
Seringkali ketika menyebut tokoh gerakan post modernisme di Indonesia,
orang akan menyebut tokoh utama semisal gerakan Jaringan Islam Liberal yang
dikomandoi oleh Ulil Abshar Abdalla. Pendapat-pendapat hukumnya sering
mementik kontroversi di kalangan umat Islam. Agaknya umat Islam bahkan para
intlektual Islam sendiri belum dapat menerima sepenuhnya gerakan post
modernisme model Ulil dan teman-temannya ini.
Untuk itu, para intelektual muslim perlu merumuskan kembali gerakan
post modernisme yang dapat mudah dipahami dan diterima oleh umat Islam
terutama di Indonesia.
F. Kesimpulan
Pada periode klasik, seluruh jenis keilmuan dipandang sebagai sesuatu yang
integrated, sehingga seorang ilmuan pada saat yang sama pada umumnya
31
Ibid., hlm. 149
18
memiliki dan mendalami berbagai spesialisasi ilmu pengetahuan. Ibnu Sina
misalnya, selain terkenal sebagai seorang yang ahli dalam bidang kedokteran, dia
juga terkenal ahli dalam bidang filsafat, fisika, matematika, seni juga ahli dalam
bidang al-Quran dan tasawuf. Banyak contoh ilmuan lain yang memiliki keahlian
multidisiplin keilmuan seperti itu, misalnya Ibn Rusyd dan lainnya.
19
Daftar Pustaka
Abdur Rahman Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, (Beirut: Dar Al-Kotoob
Al-Ilmiyyah, t.t.)
Agussalim Situmpol, Sejarah dan Peradapan Islam, hlm. 5 dikutip dari Suyoto
dkk. Postmodernisme dan Masa depan Peradapan, (Jogjakarta: Penerbit
Aditya Media, 1994)
Harun Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press, 1994)
http://pasaronlineforall.blogspot.co.id/2010/12/sejarah-dan-peradaban-islam-
postmodern.html
Ismail Raji Al-Faruqi, Tauhid, terj. Rahmani Astuti (Bandung: Pustaka, 1982)
Ralph Schroeeder, Max Weber and The Sociology of Culture (London: Sage,
1992)
Syamsul Bakri, Peta Sejarah Peradaban Islam, (Yogyakarta: Fajar Media Press,
2011)
20
21