Anda di halaman 1dari 21

POLA GERAKAN INTELEKTUAL ISLAM

A. Pendahuluan

Sejak awal perkembangannya, Islam tumbuh dalam pergumulan dengan


pemikiran dan peradaban umat manusia yang dilewatinya dan karena terlibat
dalam proses dialektika yang di dalamnya terjadi pengambilan dan pemberian.
Dari kebudayaan Arab, Islam telah mengambil dan lebih tepatnya dikatakan
memelihara dan mengembangkan beberapa hal seperti sistem moral, tata
pergaulan dan hukum keluarga, serta sistem politik pun diambil dari kebudayaan
Arab. Sebaliknya, Islam memberikan kemungkinan bagi sastra Arab untuk
berkembang mengatasi perkembangannya. Pada masa sebelumnya Al-Quran dan
al-Sunnah memberikan perubahan yang nyata bagi bangsa Arab dan bangsa-
bangsa yang memeluk Islam tentang pandangan dunia, tujuan hidup, peribadatan
dan sebagainya yang kemudian merupakan bagian utama dari pemikiran dan
peradaban Islam. Itu semua didukung oleh kreativitas umat Islam sendiri yang
memang diberi ruang yang luas untuk bergerak.
Dengan demikian dalam perspektif sejarah, perkembangan pemikiran dan
peradaban Islam mulai pada zaman Nabi Muhammad Saw dan Para Sahabat,
terkhusus pada zaman Khalifah empat atau yang lebih terkenal dengan sebutan
Khulafaur Rasyidin. Perkembangan Islam pada zaman inilah merupakan titik
tolak perubahan peradaban ke arah yang lebih maju. Dinamika Islam tetap eksis
dalam bentangan sejarah peradaban manusia. Secara garis besarnya, sejarah
pemikiran dan peradaban Islam dapat dibagi ke dalam tiga periode besar, yaitu
periode klasik (Abad 7 - 13 M), periode pertengahan (Abad 14 18 M), dan
periode modern (Abad 19 - sekarang). Periodisasi ini mendeskripsikan perjalanan
panjang dialektika intelektual muslim, yang memberikan interpretasi wahyu
dalam konteks ruang dan waktu. Hasil tradisi intelektual dan epistemologi
menjadi alur peradaban Islam sepanjang sejarah.

1
Dalam perkembangan intelektualitas Islam tersebut, ditemukan banyak
perbedaan pada tiap periodenya. Menurut Abuddin Nata, hal ini disebabkan antara
lain ketidaksamaan dalam menggunakan pola gerakannya. 1 Pola gerakan
pemikiran ini sangat dipengaruhi oleh situasi sosial ekonomi, politik, budaya,
perkembangan dan tuntutan masyarakat dan sebagainya.

B. Pola Gerakan Intelektual Zaman Klasik (Abad ke -7 s.d 13 M)

Gambaran Umum Periode Klasik

Di zaman inilah daerah Islam meluas melalui Afrika Utara sampai ke


Spanyol di Barat dan melalui Persia sampai ke India di Timur. Daerah-daerah itu
tunduk kepada kekuasaan Khalifah yang pada mulanya berkedudukan di Madinah,
kemudian di Damaskus dan terakhir di Baghdad.

Periode klasik ini dimulai dengan periode peletakan pondasi peradaban


oleh Nabi Muhammad saw yang kemudian diteruskan oleh Khulafaur Rasyidin
dan dikembangkan pada era daulah (dinasti) Bani Umayyah. Dalam
mendeskripsikan sejarah penyebaran Islam periode khilafah awal, maka analisis
weberian dianggap cukup relevan. Max Weber menekankan bahwa faktor ide atau
gagasan atau pemikiran merupakan faktor yang sangat menentukan adanya
perubahan sosial.2

Dalam konteks ini, ide-ide yang terkandung dalam al-Quran


mempengaruhi struktur sosial kemasyarakatan dan membentuk struktur baru.
Kehadiran Nabi Muhammad dengan nilai-nilai baru telah mempengaruhi struktur
sosial masa itu hingga dewasa ini. Bahkan, tatanan dunia secara keseluruhan tidak
dapat dilepaskan dari gagasan-gagasan yang terinspirasi dari al-Quran yang
dibawa Nabi. Ide-ide atau gagasan pemikiran itu tentunya baru terlihat memiliki
arti sosial jika sudah diwujudkan dalam berbagai pergumulan dan perubahan
budaya. Dari proses inilah, kemudian peradaban Islam muncul sebagai peradaban
1
Abuddin Nata, Sejarah Sosial Intelektual Islam dan Institusi Pendidikannya, (Jakarta:
Raja Grafindo, 2012), hlm. 130
2
Ralph Schroeeder, Max Weber and The Sociology of Culture (London: Sage, 1992), hlm.
150-151.

2
baru dalam kancah dunia internasional. Kehadiran Nabi membawa perubahan
dalam tatanan sosial masyarakat Arab. Ide dan gagasan Nabi yang tersurat dalam
al-Quran menjadi inspirasi untuk menuju tatanan kehidupan yang lebih mapan
dan beradab. Pengaruh nilai dan moralitas al-Quran yang dibawa Nabi
termanifestasi dalam sejarah dan peradaban Islam. Sejak mendapatkan wahyu
langit dalam uzlah (pengasingan) di gua Hira tahun 610 M., Muhammad mulai
berbicara atas nama Allah swt. dan memproklamirkan Islam sebagai agama
Tauhid untuk kemaslahatan umat manusia dan rahmat bagi alam semesta. Sejak
inilah Nabi mulai membentuk sebuah komunitas masyarakat keagamaan dalam
ikatan semangat tauhid. Muhammad mulai mendapatkan perlawanan dan
tantangan keras dari masyarakat paganisme di Mekkah dan dianggapnya sebagai
orang yang terserang penyakit syaraf, gila dan sebagainya. Muhammad dilahirkan
dan dibesarkan di tengah-tengah suku Quraisy Mekkah, tetapi reformasi teologi,
reformasi kultural, dan reformasi sosial yang dibawanya berdasarkan wahyu
Allah, dianggap memiliki peran penting dalam membangun tatanan sosial-politik
dan tradisi kaum Quraisy.3

Komunitas tauhid yang dibangun awalnya hanya terdiri dari segelintir


orang yang kemudian disebut dengan generasi muslim awal (al-sabiqun al-
awwalun). Generasi muslim awal ini didominasi oleh kalangan muda. Hal ini
secara historis-empiris menunjukkan bahwa ajaran yang dibawa Nabi bersifat
reformatif dan counter terhadap tradisi yang stagnan sehingga diikuti oleh
kalangan muda. Dalam paradigma sejarah peradaban dan politik, kalangan muda
sering diartikan sebagai representasi kalangan kritis, dinamis, dan anti status quo.
Selain itu, hijrah Nabi dan umat Islam yang masih berjumlah sedikit dari
Mekkah ke Madinah juga memberikan kontribusi penting dalam proses
pembentukan peradaban. Hijrah berdampak positif bagi perkembangan kegiatan
intelektual umat Islam. Mereka lebih leluasa untuk mengembangkan
pengetahuannya sebagaimana yang memang ditekankan oleh Nabi dalam berbagai
hadisnya. Ekspansi yang dilakukan oleh pemegang estafet pemerintahan

3
Syamsul Bakri, Peta Sejarah Peradaban Islam, (Yogyakarta: Fajar Media Press, 2011),
hlm.19-20

3
selanjutnya Khulafa Al-Rasyidin, Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasiyah secara
garis besar memiliki peranan penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan di
dunia Islam. Menurut Ibnu Khaldun, pertumbuhan dan perkembangan ilmu yang
amat terkait erat dengan luasnya wilayah dan beragamnya budaya maupun ilmu
yang ada di daerah-daerah yang dikuasai Islam.4 Secara pasti, ekspansi Islam
menyebabkan terjadinya kontak antara Islam dengan kebudayaan Barat, atau
tegasnya dengan kebudayaan Yunani Klasik yang terdapat di Mesir, Suria,
Mesopotamia dan Persia.5

Pada era klasik ini metode berfikir rasional, ilmiah dan filosofis
berkembang dengan pesat. Sentuhan estetika dan filsafat telah menghantarkan
peradaban Islam pada puncak kejayaan. Ulama-ulama mujtahid bermunculan,
begitu juga para ilmuwan muslim telah menghasilkan karya-karya seni, filsafat
dan ilmu pengetahuan secara mengagumkan.

Di masa Bani Abbas inilah perhatian kepada ilmu pengetahuan dan filsafat
Yunani memuncak terutama di zaman Harun Al-Rasyid (785-809 M) dan Al-
Mamun (813-833 M). Buku-buku ilmu pengetahuan dan filsafat didatangkan dari
Bizantium dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Kegiatan
penterjemahan buku-buku ini berjalan kira-kira satu abad. Bait Al-Hikmah, yang
didirikan Al-Mamun, bukan hanya merupakan pusat penterjemahan tetapi juga
akademi yang mempunyai perpustakaan. Di antara cabang-cabang ilmu
pengetahuan yang diutamakan dalam Bait Al-Hikmah ialah ilmu kedokteran,
matematika, optika, geografi, fisika, astronomi, dan sejarah di samping filsafat. 6
Maka kemudian muncul beberapa ilmuwan muslim terkenal dan menjadi
kebanggaan dunia Islam seperti; Al-Fazari (Abad VII) sebagai astronom Islam
yang pertama kali menyusun Astronomi (alat yang dahulu dipakai untuk
mengukur tinggi bintang-bintang dan sebagainya; Al-Fargani (di Eropa dikenal
dengan sebutan Al-Fragnus) adalah pengarang ringkasan tentang ilmu astronomi;
4
Abdur Rahman Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, (Beirut: Dar Al-Kotoob Al-
Ilmiyyah, t.t.), hlm 344-345.
5
Harun Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press, 1994), hlm
71.
6
Ibid., hlm. 70

4
Dalam bidang optika, Abu Ali Al-Hasan Ibn Al-Haytham (Abad X) terkenal
sebagai orang yang menentang pendapat bahwa mata yang mengirim cahaya
kepada benda yang dilihat. Menurutnya, bendalah yang mengirim cahaya ke mata
dan karena menerima cahaya itu, mata bisa melihat benda yang bersangkutan.
Dalam bidang Kimia, Jabir ibn Hayyan (w. 813 M) dikenal sebagai bapak Kimia.
Abu Bakar Zakaria Al-Razi (w. 925 M) adalah pengarang buku besar tentang
kimia yang baru dijumpai di abad XX dan juga penemu di bidang ilmu kedokteran
dan farmasi. Di zaman ini pula lahir ulama-ulama besar seperti Imam Malik,
Imam Abu Hanifah, Imam Syafii dan Imam Ibn Hambal dalam bidang hukum;
Imam Asyari, Imam Al-Maturidi, pemuka-pemuka Mutazilah seperti Wasil Ibn
Ata, Abu Al- Huzail, Al-Nazzam, dan Al-Zubai dalam bidang teologi; Dzunnun
Al-Mishri, Abu Yazid Al-Bustami dan Al- Hallaj dalam mistisisme atau tasawwuf;
Al- Kindi, Al- Farabi, Ibn Sina dan Ibnu Miskawih.

Pola Gerakan Intelektual

Berdasarkan gambaran umum periode klasik di atas, dapat dilihat, secara


intelektual berkembang pesat ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang. Para
ulama mengembangkan keilmuan mereka tanpa dibatasi dengan spesialisasi ilmu
pengetahuan. Seorang ulama fiqh pada saat yang sama juga mengembangkan
kelimuan lainnya. Mengutip Abuddin Nata, bahwa mereka ini oleh Nurcholish
Majid disebut dengan ilmuwan yang ensiklopedik.7

Analisa yang berkembang dari fenomena ilmuwan ensklopedik ini antara


lain bahwa ilmu pengetahuan pada saat itu masih sederhana dan dalam masa
pertumbuhan sehingga belum ada spesialisasi. Sebab lain karena pada saat itu
belum mengenal dikotomi pengetahuan ilmu pengetahuan umum dan agama
masih dipandang sebagai sesuatu yang integrated. Selanjutnya ada yang
bependapat disebabkan oleh kecerdasan pribadi ilmuwan atau ulama yang
luarbiasa atau multitalenta.8

7
Abuddin Nata., Op. Cit., hlm. 131
8
Ibid. hlm. 132

5
Abuddin Nata mencatat bahwa poin penting dari fenomena intelektual
zaman klasik tersebut adalah adanya pola pemikiran yang integrated, yaitu pola
yang didasarkan pada integrasi antara dimensi fisik dan metafisik, intuisi dan
wahyu, dunia dan akhirat material dan spiritual berdasarkan pada pandangan Al-
Quran dan Sunnah yang tidak memisahkan antara berbagai unsur tersebut.9

Integrasi pengetahuan ini dapat dilihat dari banyak ulama yang memiliki
berbagai keahlian pada saat yang sama. Seorang sufi bisa saja menjadi ahli
astronomi, matematika, fisika dan sebagainya. Pengetahuan yang integrated ini
pada tahap selanjutnya terjadi dikotomi yang menyebabkan terpisahnya dimensi
ilmu agama dan pengetahuan keduniaan.. Seorang ulama akan memiliki
otoritas keilmuan hanya pada bidang keagamaan semata. Hal ini kemudian
menjadi perdebatan panjang dan pada akhirnya timbul usaha-usaha untuk
mengintegrasikan kembali keilmuan keagamaan dan keduniaan tersebut. Jika
diperhatikan lebih jauh, model keilmuan yang integrated pada zaman klasik ini
dipandang sebagian intelektual Islam saat ini sebagai model yang paling ideal
sehingga terdapat upaya yang sistematis untuk menegakkannya kembali misalnya
dalam bentuk islamisasi ilmu penegetahuan.

C. Pola Gerakan Intelektual Zaman Pertengahan (Abad ke -14 s.d 18 M)

Pada masa pertengahan, yakni antara tahun 1400-1800 M adalah fase


kemunduran dari intelektual umat Islam, karena filsafat mulai dijauhkan dari umat
Islam, sehingga ada kecenderungan akal dipertentangkan dengan wahyu, iman
dengan ilmu, dunia dengan akhirat. Di zaman ini, desentralisasi dan disintegrasi
bertambah meningkat yang berakibat pada hilangnya khilafah secara formil. Islam
tidak lagi mempunyai khalifah yang diakui oleh semua umat sebagai lambang
persatuan dan ini berlaku sampai kerajaan Usmani mengangkat khalifah baru di
Istanbul di abad ke-16.10

9
Ibid.
10
Harun Nasution, Op. Cit., hlm. 82

6
Perbedaan antara Sunni dan Syiah dan demikian juga antara Arab dan
Persia bertambah nyata. Dunia Islam terbagi dua, bagian Arab yang terdiri atas
Arabia, Irak, Suria, Palestina, Mesir, dan Afrika Utara dengan Mesir sebagai
pusat; dan bagian Persia yang terdiri atas Balkan, Asia Kecil, Persia dan Asia
Tengah dengan Iran sebagai pusat. Kebudayaan Persia mengambil bentuk
internasional dan dengan demikian mendesak lapangan kebudayaan Arab. Di
samping itu, pengaruh tarekat-tarekat bertambah mendalam dan bertambah meluas
di dunia Islam. Pendapat yang ditimbulkan di zaman disintegrasi bahwa pintu
ijtihad telah tertutup diterima secara umum di zaman ini. Perhatian pada ilmu-
ilmu pengetahuan sedikit sekali. Tetapi sebaliknya, Islam mendapat pemeluk-
pemeluk baru di daerah-daerah yang selama ini belum pernah dimasuki Islam.11

Pada periode pertengahan ini, terdapat masa tiga kerajaan Besar (1500-
1800 M). Tiga kerajaan besar yang dimaksud adalah kerajaan Usmani di Turki,
kerajaan Safawi di Persia, dan Kerajaan Mughal di India. Tahun 1500-1700 M
dianggap sebagai fase kemajuan II dalam sejarah peradaban Islam.12 Literatur
dalam bahasa Turki di zaman inilah mulai muncul. Di masa-masa sebelumnya,
pengarang-pengarang Turki menulis dalam bahasa Persia. Di zaman Sultan Salim
I dan Sultan Sulaiman dikenal dua pengarang; Fuzuli dan Baki, yang kemudian
disusul di abad ke-18 oleh Nedim dan Syeikh Ghalib. Dalam bidang arsitek,
sultan-sultan mendirikan istana-istana, masjid-masjid, benteng-benteng dan
sebagainya. Di India, bahasa Urdu juga meningkat menjadi bahasa literatur dan
menggantikan bahasa Persia yang sebelumnya dipakai di kalangan istana sultan-
sultan di Delhi. Para penulis besar pertama dalam bahasa ini adalah Mazhar,
Sauda, Dard, dan Mir (abad 18). Sayangnya, perhatian terhadap ilmu pengetahuan
sangat kurang sekali dibandingkan dengan masa-masa kejayaan Islam I.
Kemajuan Islam II ini lebih ditekankan pada kemajuan dalam aspek politik.13

Tahun 1700-1800 M disebut sebagai fase kemunduran II kerajaan Islam.


Pada tahun-tahun ini kondisi kekuatan militer dan politik umat Islam menurun. Di
11
Ibid., hlm. 83
12
Ibid., hlm. 84
13
Ibid., hlm. 85-86

7
bidang ekonomi, juga terpuruk akibat hilangnya monopoli dagang antara Timur
dan Barat. Ilmu pengetahuan di dunia Islam mengalami stagnasi. Tarekat-tarekat
diliputi oleh suasana khurafat dan supertisi. Umat Islam dipengaruhi oleh sikap
fatalistis, sehingga dunia Islam dalam keadaan mundur dan statis. Sementara, pada
masa itu Barat mengalami kebangkitan. Penetrasi Barat, yang kekuatannya
bertambah besar, ke dunia Islam yang didudukinya kian lama bertambah
mendalam. Akhirnya, di tahun 1978 M, Napoleon menduduki Mesir, sebagai salah
satu pusat Islam yang terpenting. Jatuhnya pusat Islam ini ke tangan Barat,
menginsafkan dunia Islam akan kelemahannya dan menyadarkan umat Islam
bahwa di Barat telah timbul peradaban yang lebih tinggi dari peradaban Islam.14

Pola Gerakan Intelektual

Pada periode pertengahan ini, terdapat pola gerakan intelektual Islam yang
benar-benar berbeda dari periode klasik. Perbedaan terutama dapat dilihat dari
terutama umat Islam hanya fokus pada ilmu keislaman murni, itupun tidak disertai
dengan inovasi. Umat Islam cendrung hanya mempelajari Islam dari hasil ijtihad
para ulama terdahulu, tanpa melakukan pembaruan pemahaman sebagai tradisi
intelektual. Apa yang dihasilkan oleh para ulama terdahulu telah dianggap sebagai
pencapaian tertinggi sehingga tidak perlu lagi untuk dikritisi.

Abuddin Nata menyimpulkan beberapa kondisi pola gerakan intelektual


pada masa ini, sebagai berikut: Pertama, pada umumnya mengikuti metode kajian
yang telah dibangun oleh para ulama zaman klasik dengan sedikit penambahan,
pengurangan dan pengembangan. Kedua, pada umumnya mengkonsentrasikan
pemikiran intelektualnya pada bidang ilmu agama Islam, seperti tafsir, hadits,
fiqh, filsafat islam dan tasawuf, dengan cara memberikan penjelasan, catatan,
klasifikasi, perbandingan, sintesis dan sedikit kritik. Ketiga, pada umumnya tidak
secara mengakses secara langsung al-Quran dan Sunnah melainkan hanya
mengikuti penjelasan ulama sebelumnya. Keempat, para ulama tidak lagi
memberikan perhatian pada pengetahuan sosial, ilmu alam, seni, teknik dan
14
Ibid., hlm. 87-88

8
lainnya. Kelima, para ulama sudah terkotak-kotak pada mazhab dan aliran-aliran
yang kemudian tidak bertegur sapa, saling bertentangan. Keenam, dari sekian
keilmuan yang dikembangkan, ilmu fiqh dan tasawuf termasuk yang paling sering
berebut pengaruh, fiqh tanpa tasawuf dan tasawuf tanpa fiqh.15

Pola gerakan pada masa pertengahan ini dapat dikatakan sebagai awal dari
kemunduran intelektual umat Islam. Tasawuf berkembang pesat dan menjadi
semaca gaya hidup para ulama saat itu. Dari berbagai literatur diperoleh
penjelasan bahwa tasawuf berkembang terutama sebagai jawaban atas kehidupan
bermewah-mewah para penguasa saat itu. Para khalifah terlena dalam kehidupan
hedonis dan berfoya-foya.

Para ulama memandang bahwa kondisi tersebut jelas telah menyimpang


dari totalitas ajaran Islam dan praktek hidup para sahabat dan Rasulullah SAW,
yang selalu mengedepankan kesederhanaan hidup. Dari sinilah, para ulama
berusaha menghidupkan kembali tradisi sederhana itu dalam bentuk zuhud
sebagai salah satu konsep tasawuf.

Konsep tasawuf pada akhirnya menjelma sebagai suatu keharusan ketika


seseorang mendalami Islam. Tanpa sadar, para ulama terlena dalam indah dan
nikmatnya hidup dalam bertasawuf, dan pada akhirnya ilmu pengetahuan /science
menjadi terlupakan, dan tidak banyak lagi dikaji oleh para pelajar Islam pada saat
itu. Di sinilah awal dari kemunduran Islam dalam bidang ilmu pengetahuan.

D. Pola Gerakan Intelektual Zaman Modern (Abad ke -19 s.d 20 M)

Periode Modern merupakan zaman kebangkitan umat Islam. Jatuhnya


Mesir ke tangan Barat mengilhami kebangkitan. Raja-raja dan pemuka-pemuka
Islam mulai memikirkan bagaimana meningkatkan mutu dan kekuatan umat Islam
kembali. Pada era ini, sebagaimana diungkapkan Al-Faruqi, kondisi umat Islam
sangat tidak menggembirakan sekalipun dalam kuantitas besar umat Islam

15
Abuddin Nata, Op. Cit., hlm. 137

9
berdomisili di tanah yang subur dengan sumber daya alam yang melimpah. 16
Bangsa Eropa melakukan hegemoni ekonomi atas bangsa-bangsa Timur dan
Islam. Dan bahkan pada abad 19, Eropa secara terang-terangan menjadikan
dirinya sebagai imperialisme dunia karena telah didukung oleh kekuatan politik,
kekuasaan dan militer.

Pada periode ini, muncul banyak para pemikir Islam yang handal. Mereka
menjadi pioner pembaharuan dalam Islam. Ajaran Islam dirasionalisasikan dan
difahami dalam konteks ke-kini-an dan kemodernan. Islam difahami tidak hanya
difahami dari sudut pandang lokal, tetapi juga dalam perspektif universal dan
kontekstual. Sejarah mencatat munculnya para pemikir Islam di dunia Arab,
seperti di Arab, Mesir, dan Turki. Demikian juga di India dan Pakistan. Tidak
ketinggalan di Indonesia dan dunia Islam lainnya.

Sejarah juga mencatat, para pemikir dan tokoh pembaharuan Islam yang
sangat popular. Pemikiran dan ide pembaharuannya terus dipelajari. Bahkan
pengaruhnya dapat dirasakan sampai sekarang. Di dunia Arab, dikenal tokoh
Muhammad bin Abdul Wahab, Muhammad Abduh, Rasyid Ridla, Mustafa Kemal
Attaturk, Hassan Hanafi, Muhammad Syahrur, Abdul halim Mahmud, dan
sebagainya. Di India dan Pakistan, dikenal tokoh pembaharu seperti Muhammad
Iqbal, Ali Jinah, Kalam Azad, Ahmad Khan, Jamaluddin al-Afghani, dan lain-lain.
Demikian juga yang terjadi di Indonesia. Tokoh pembaharuan yang cukup
popular, dapat disebutkan di antaranya: Harun Nasution, Nurcholis Madjid,
Munawir Sadjali, Abdurrahman Wahid, Amin Rais, dan sebagainya.

Secara garis besar, gerakan pembaharuan pemikiran di dunia Islam, dapat


dipahami di antaranya dalam model gerakan sebagai berikut:

1. Gerakan Wahabiyah atau Salafiyah

Pelopornya adalah Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1787) di


Jazirah Arabia. Tumbuh dan lebih berkembang di Hijaz sebagai jantung umat
Islam sedunia, ketika itu. Gerakan ini dipandang sebagai gerakan puritanisme
Islam. Gerakan yang hampir serupa tumbuh di India yang dipelopori oleh
16
Ismail Raji Al-Faruqi, Tauhid, terj. Rahmani Astuti (Bandung: Pustaka, 1982), hlm. vii

10
Syah Waliyullah dan Syekh Ahmad Sihrin di India. 17 Menurut Harun
Nasution18 Muhammad bin Abdul Wahab bukan hanya seorang teoris yang
sangat memahami ajaran Islam, tetapi ia dipandang sebagai seorang
pemimpin yang dengan aktif dan progresif berusaha menyebarkan dan
mewujudkan pemikirannya. Sedangkan Syah Waliyullah dan Syekh Ahmad
Sihrin dipandang sebagai tokoh yang menentang sufisme secara sangat tajam.

Gerakan-gerakan ini muncul bukan karena pengaruh Barat, tetapi


sebagai reaksi terhadap faham Tauhid Islam (Aqidah) yang telah dirusak oleh
hadirnya ajaran-ajaran yang menyimpang, seperti mempercayai keramat,
merajalelanya bidah, khurafat, dan tahayul serta kemusyrikan. Untuk
melepaskan umat islam dari kesesatan ini, tokoh ini berpendapat bahwa umat
Islam harus kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya (asli), yakni Islam
yang dianut oleh Nabi saw, sahabat, tabiin sampai abad ke-3 Hijriyah.
Sumber ajaran islam hanyalah al-Quran dan al-Hadits. Untuk memahami
ajaran yang terkandung dalam dua sumber tersebut, maka dipergunakan
ijtihad. Oleh karena itu, pintu ijtihad belum tertutup, bahkan harus tetap
dibuka;

Dalam pandangan Amien Rais19, gerakan Wahabiyah sering dianggap


terlalu revolusioner oleh karena gagasan-gagasan yang disampaikannya
terlalu radikal menurut ukuran zamannya. Sekalipun dipengaruhi oleh pikiran
reformatif Ibnu Taimiyyah, gerakan Wahabiyah tidak sepenuhnya merupakan
duplikat fikiran-fikiran Ibnu Taimiyyah. Terdapat beberapa perbedaan
mendasar. Pertama, jika Ibnu Taimiyyah menyerang sufisme, maka
serangannya tidak frontal. Sedangkan gerakan Wahabiyah menyerang sufisme
tanpa ampun, sekalipun harus diakui bahwa berkat jasa kaum Wahabiyah-lah
pembabatan bidah, khurafat, tahayul yang merajalela di dunia Islam pada
masa lalu berhasil secara mengesankan. Kedua, sikap agak kaku terhadap
17
Amien Rais dalam John J. Donohue, Islam dan Pembaharuan : Ensiklopedi Masalah-
Masalah, terjemahan (Jakarta: Raja Grafindo Press, 1995), hlm. x.
18
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta:
Bulan Bintang, 1975), hlm. 25.
19
Amien Rais dalam John J. Donohue, Op. Cit.

11
rasionalisme, Ibnu Taimiyyah juga melakukan kritik terhadap rasionalisme,
tetapi kritik itu tidak berakibat memojokan penalaran rasional terhadap usaha
perbaikan terhadap berbagai dimensi kehidupan kaum muslimin. Barangkali
kelemahan kaum Wahabi adalah semangat agak anti terhadap
rasionalismenya, sehingga semboyan ijtihad yang dikumandangkannya tidak
begitu efektif, berhubung tidak diberikannya tempat secara wajar bagi
intelektualisme. Akan tetapi harus kita catat, adanya pengaruh positif bagi
masyarakat muslim di dunia, terutama prinsip egalitarianisme yang diserukan
gerakan ini.20

2. Gerakan Pembaharuan (Modernisme)

Gerakan ini dirintis dan dipelopori oleh Jamaluddin al-Afghani (1839-


1897). Kemudian diikuti dan dikembangkan oleh Muhammad Abduh (1849-
1905) dan dilanjutkan oleh muridnya, Rasyid Ridla (1865-1935). Gerakan ini
tumbuh dan berkembang di Mesir, ketika itu (bahkan sampai sekarang)
menjadi pusat intelektualisme Islam. Gerakan ini sesuai dengan namanya-
berusaha mengadopsi kemajuan Barat dan menyesuaikannya (adaptasi)
dengan peri-kehidupan umat Islam. Gerakan ini menolak selalu bersandar
pada kejayaan Islam masa lalu dan lebih memilih hikmah-hikmah yang dapat
diambil dari masa itu, kemudian menghidupkannya kembali di tengah-tengah
kaum Muslimin. Hal ini bisa diwujudkan dalam pemikiran politik, sosial,
budaya, agama, dan sebagainya. Secara langsung maupun tidak langsung,
hasil pemikirannya disebarkan melalui berbagai tulisan, terutama dalam
majalah dan ceramah-ceramah di berbagai tempat dan waktu. Ide-ide atau
pemikiran dasarnya adalah sebagai berikut : 1) Kembali kepada sumber dasar
ajaran Islam yang sebenarnya, yaitu al-Quran dan al-Hadits; 2) Pintu ijtihad
tetap terbuka. Ijtihad perlu dilakukan untuk memahami sumber ajaran Islam
(al-Quran dan al-Hadits) yang disesuaikan dengan perkembangan dan
kebutuhan zaman (interpretasi baru); 3) Akal (rasio) adalah alat untuk
melakukan ijtihad. Menggunakan rasio (akal) dan penalaran menjadi sangat

20
Ibid., hlm. xii

12
penting dan memiliki posisi yang sangat tinggi; 4) Percaya kepada hukum
alam (sunnatullah). Hukum alam tidak bertentangan dengan Islam yang
sebenarnya. Oleh karena itu ilmu pengetahuan modern yang berdasarkan
hukum alam, dan Islam yang sebenarnya berdasarkan wahyu adalah dua hal
yang tidak bertentangan. Ilmu pengetahuan modern, idealnya sesuai dengan
islam. Saat ini yang mengalami kemajuan dalam ilmu pengetahuan dan
teknologi adalah Barat. Maka untuk mencapai kemajuan seperti yang diraih di
masa lampau (yang sekarang telah hilang dan dimiliki Barat), umat Islam
harus kembali dan mempelajari serta menguasai ilmu pengetahuan; 5)
Percaya kepada kebebasan berkehendak dan bertindak (free-will and free-act)
seperti faham Qadariyah.21

3. Westernisme

Westernisme diartikan sebagai faham ke-Barat-baratan atau


berkiblat ke Barat. Faham ini mengajak umat Islam untuk menerima dan
mengadopsi pengetahuan Barat dan semua yang berasal dari Barat. Gerakan
ini tumbuh dan berkembang di India, salah satu pusat politik Islam (tempat
kerajaan Mughal yang besar itu). Gerakan ini dipelopori oleh Sir Ahmad
Khan (1817-1989). Ia mendirikan Universitas Aligarh untuk mengembangkan
dan menyebarkan ide-idenya. Ide-ide dasarnya sebenarnya memiliki
kesamaan dengan ide-ide dasar yang disampaikan oleh Muhammad Abduh.
Hanya saja Ahmad Khan melihat bahwa umat Islam India mengalami
kemunduran karena tidak mengikuti perkembangan zaman. Islam pernah
mengalami kemajuan yang luar biasa pada masa klasik, tetapi peradaban dan
kemajuan itu telah hilang. Saat ini yang mengalami kemajuan adalah Barat.
Oleh karena itu menurutnya, umat Islam India akan mengalami kemajuan jika
bukan hanya mempelajari dengan Barat, tetapi sebaiknya bekerja sama
dengan Barat (Inggris). Dasar kekuatan Barat adalah ilmu pengetahuan dan
teknologi modern. Untuk mengalami kemajuan, maka umat Islam harus
mempelajari dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Jalan

21
Harun Nasution, Op. Cit., hlm. 66

13
yang harus ditempuh adalah memperkuat hubungan dengan Barat (Inggris)
dan mengambil berbagai aspek kemajuan dan ketinggian yang ada di Barat.22

4. Sekularisme

Sekularisme tumbuh dan berkembang di Turki sebagai pusat politik


Islam bekas wilayah Daulah Usmaniyyah (Turki-Usmani). Pelopornya adalah
Mustafa Kemal Attaturk (1881-1938). Mustafa Kemal, sebenarnya adalah
seorang Nasionalis pengagum Barat. Ia menginginkan Islam mengalami
kemajuan. Oleh karena itu, menurutnya perlu diadakan pembaharuan dalam
agama untuk disesuaikan dengan bumi Turki. Menurutnya, Islam adalah
agama rasional dan sangat diperlukan dalam kehidupan manusia. Tetapi
agama rasional itu telah dirusak oleh para ulama. Ajaran Islam memerlukan
sekularisasi. Usaha sekularisasinya berpusat pada upaya menghilangkan
ulama dari kekuasaan Negara dan politik. Yang difahami sebagai ulama
adalah orang atau komunitas yang menguasai syariat dan ajaran Islam serta
menentukan masalah sosial, ekonomi, hukum, politik, dan pendidikan.

Menurut Attaturk, negara harus dipisahkan dari agama. Inilah esensi


dari sekularisasi. Dengan pandangan Mustafa Kemal Attaturk tersebut, ia
berpendapat bahwa al-Quran perlu diterjemahkan ke dalam bahasa Turki,
adzan dan khutbah menggunakan bahasa Turki. Madrasah yang sudah
ketinggalan zaman ditutup, digantikan oleh fakultas Ilahiyah yang
mendidik imam shalat, khatib-khatib, dan mengembangkan berbagai
pembaharuan yang diperlukan. Pendidikan agama dan bahasa Arab
dihilangkan dari sekolah-sekolah. Nama-nama orang Turki harus mengikuti
nama-nama orang Eropa. Hukum syariat tentang perkawinan diganti oleh
hukum Barat (Swiss). Wanita mempunyai hak cerai yang sama dengan kaum
pria. Diandalkan hukum-hukum baru, seperti hukum dagang, hukum pidana,
hukum perdata, dan lain-lain yang diambil dari hukum-hukum Barat.23

22
Ibid., hlm. 167
23
Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia (Jakarta: Rajawali Press, 2005),
hlm. 306.

14
Pola Gerakan Intelektual

Pola gerakan intelektual pada zaman modern ditandai terutama pada


pembaruan pemikiran Islam. Ciri-ciri gerakan intlektual Islam pada masa ini
adalah menumbuhkan semangat berpikir, menghargai akal, rasional,
mendialogkan atau menyandingkan antara satu bidang ilmu agama Islam dengan
bidang studi lainnya, memahami latarbelakang sejarah dan konteks sosiologis
tentang kelahiran dari setiap ilmu agama Islam tersebut, membangun sikap
toleransi dan saling menghargai antara ilmu-ilmu Keislaman tersebut, menangkap
pesan moral dan spiritual dari setiap ajaran Islam.24

Menurut Abuddin Nata, pola gerakan intelektual pada zaman modern ini
ditandai hal-hal sebagai berikut:

Pertama, hasil ijtihad belum final, perlu dilakukan reinterpretasi,


reformulasi, reaktualisasi dan rekontekstualisasi. Dengan demikian Islam
memiliki daya relevansi untuk memecahkan berbagai masalah dalam masyarakat.

Kedua, menerima pendapat lama yan masih sesuai dan mengambil pendapat
baru yang lebih sesuai lagi.

Ketiga, bahwa ilmu-ilmu Keislaman yang ada sekarang adalah sejajar,


sama-sama merupakan hasil ijtihad yang di samping memiliki kelebihan juga
mengandung kelemahan.

Keempat, meninggalkan pemahaman yang sifatnya doktriner, tekstualis,


skriptualis, ideologis dan normative. Dengan demikian Islam akan memiliki daya
akomodatif terhadap setia perkembangan social yang terjadi.25

Memperhatikan seluruh gerakan pembaruan pemikiran sebagaimana di atas,


maka ada upaya pembaruan secara total yang dilakukan oleh para intelektual
muslim pada zaman modern ini. Dan jika dihubungkan dengan pola gerakan
sebagaimana disimpulkan oleh Abuddin Nata tersebut, terlihat ada usaha yang
24
Abuddin Nata, Op. Cit., hlm. 143
25
Ibid., hlm. 144

15
sangat serius untuk melakukan reinterpretasi Islam agar mampu mengatas
berbagai persoalan manusia pada zaman modern. Pola gerakan dan pemikiran
intelektual Islam berkembang, mulai dari yang paling radikal, sebagaimana
dilakukan oleh kaum Wahabi, hingga yang paling bebas dan sekuler
sebagaimana dilakukan oleh Musthafa Kemal Attaturk.

E. Pola Gerakan Intelektual Zaman Postmodernisme

Postmodernisme berasal dari kata post dan modern. Post atau pasca
secara literal mengandung arti sesudah, jadi istilah Postmodernisme berarti era
pasca modern berupa gugatan kepada modernisme. Berkaitan dengan definisi
Postmodernisme itu sendiri, belum ada rumusan yang baku sampai saat ini, karena
Postmodernisme sebagai wacana pemikiran masih terus berkembang sebagai
reaksi melawan modernisme yang muncul sejak akhir abad 19.26
Istilah Postmodernisme digunakan dalam berbagai arti, dan tidak mudah
untuk membuat dan merumuskan satu definisi yang dapat mencakup atau
menjangkau semua dimensi arti yang dikandungnya. Istilah postmodernsme
pertama kali muncul sebelum tahun 1926, yakni tahun 1870 an oleh seniman
Inggris bernama John Watkins. Ada juga yang menyatakan bahwa istilah
Postmodernisme telah dibuat pada akhir tahun 1040 oleh sejarawan Inggris,
Arnold Toynbee. Akan tetapi istilah tersebut baru digunakan pada pertengahan
1970 oleh kritikus seni asal Amerika, Charles Jenck untuk menjelaskan gerakan
anti modernisme.27
Istilah postmdernisme pertama-tama dipakai dalam seni arsitektur.
Diantara ciri utama arsitektur modern adalah gedung-gedung tinggi menjulang
yang sangat teratur tanpa banyak variasi. Dari seni arsitektur, istilah
Postmodernisme dipakai juga untuk bidang teori sastra, teori sosial, gaya hidup,
filsafat, bahkan juga agama.

26
http://pasaronlineforall.blogspot.co.id/2010/12/sejarah-dan-peradaban-islam-
postmodern.html
27
Ibid.

16
Dalam kajian Postmodernisme mengisyaratkan pada dua hal. Pertama.
Postmodernisme dipandang sebagai keadaan sejarah setelah zaman modern.
Dalam hal ini modernisme dipandang telah mengalami proses akhir yang akan
digantikan dengan zaman berikutnya, yaitu postmodern. Kedua. Postmodern
dianggap sebagai gerakan intelektual (intellectual movmen) yang mencoba
menggugat, bahkan mendekonstruksi pemikiran sebelumnya yang berkembang
dalam bingkai paradigma pemikiran modern dengan pilar utamanya kekuatan
rasionalitas manusia, hal ini ingin digugat karena telah menjebak manusia kepada
absolutisme dan cenderung represif.28
Adapun inti pokok alur pemikiran Postmodernisme adalah menentang
segala hal yang berbau kemutlakan, baku, menolak dan menghindari suatu
sistematika uraian atau pemecahan persoalan yang sederhana dan skematis, serta
memanfaatkan nilai-nilai yang berasal dari berbagai aneka ragam sumber.29
Menurut Abuddin Nata, postmodernisme adalah sebuah rentang waktu
atau era yang ditandai oleh hal-hal sebagai berikut: Pertama, kekecewaan
terhadap modernisme yang telah menimbulkan berbagai dampak negatif, seperti
dehumanisasi, dislokasi, perdagangan bebas, penjajahan baru, perusakan
lingkungan hidup, kesenjangan antara kaya dan miskin, peredaran narkoba,
kriminalitas dan sebagainya. Kedua, Saling mendekat dan bergantungnya sebuah
ilmu dengan ilmu lainnya. Setiap ilmu mulai menyadari keterbatasan dirinya dan
tidak akan mampu memecahkan masalah sendiri. Ketiga, ilmu semakin dituntut
untuk amemberikan kontribusi yang signifikan untuk memenuhi kebutuhan umat
manusia. Ilmu bukan sekedar untuk ilmu, tetapi ilmu manusia. Keempat, di era
postmodernisme ini selain terdapat agama yang bermacam-macam juga terdapat
berbagai aliran ideologi yang saling berebut pengaruh terhadap kehidupan
manusia. 30

28
Agus Salim Sitompul, Sejarah dan Peradapan Islam, hlm. 5 dikutip dari Suyoto dkk.
Postmodernisme dan Masa depan Peradapan, (Jogjakarta: Penerbit Aditya Media, 1994), hlm. Vi.
29
Amin Abdullah, Falsafah Kalam Di Era Posmodernisme, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar,
2004), hlm. 96.
30
Abuddin Nata, Op. Cit., hlm. 147

17
Berdasarkan kondisi tersebut, maka Abuddin Nata merumuskan pola
gerakan intelektual Islam pada masa postmodernisme ini sebagai berikut:
Pertama, terjadi integrasi keilmuan dalam kajian Keislaman, dari yang semula
parsial dan saling bertentangan antara ilmu agama dan umum, kepada studi Islam
yang holistik, komprehensif dan integrated. Kedua, terjadi pergeseran kajian Islam
ke arah yang lebih kontekstual menggunakan berbagai pendekatan berbagai
disiplin ilmu dalam memahami Islam, seperti pendekatan historis, psikologi dan
lainnya. Ketiga, cara kerja gerakan intelektual muslim pada era postmodern ini
melalui sebuah team work, komite fatwa, team teaching dan sebagainya. Di
dalamnya didukung oleh para pakar lintas keilmuan namun memiliki visi dan
tujuan yang sama dalam memecahkan masalah umat.31
Seringkali ketika menyebut tokoh gerakan post modernisme di Indonesia,
orang akan menyebut tokoh utama semisal gerakan Jaringan Islam Liberal yang
dikomandoi oleh Ulil Abshar Abdalla. Pendapat-pendapat hukumnya sering
mementik kontroversi di kalangan umat Islam. Agaknya umat Islam bahkan para
intlektual Islam sendiri belum dapat menerima sepenuhnya gerakan post
modernisme model Ulil dan teman-temannya ini.
Untuk itu, para intelektual muslim perlu merumuskan kembali gerakan
post modernisme yang dapat mudah dipahami dan diterima oleh umat Islam
terutama di Indonesia.

F. Kesimpulan

Dari uraian di atas kiranya dapat dikemukakan bahwa terdapat fase-fase


gerakan intelektual Islam dengan polanya masing-masing. Pola gerakan
intelektual yang terbentuk sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial politik umat
Islam pada saat itu. Hubungan Barat dan Islam juga memiliki pengaruh atas pola
gerakan intelektual Islam pada masing-masing periode.

Pada periode klasik, seluruh jenis keilmuan dipandang sebagai sesuatu yang
integrated, sehingga seorang ilmuan pada saat yang sama pada umumnya

31
Ibid., hlm. 149

18
memiliki dan mendalami berbagai spesialisasi ilmu pengetahuan. Ibnu Sina
misalnya, selain terkenal sebagai seorang yang ahli dalam bidang kedokteran, dia
juga terkenal ahli dalam bidang filsafat, fisika, matematika, seni juga ahli dalam
bidang al-Quran dan tasawuf. Banyak contoh ilmuan lain yang memiliki keahlian
multidisiplin keilmuan seperti itu, misalnya Ibn Rusyd dan lainnya.

Selanjutnya pada masa pertengahan terjadi pergeseran pola yang terlihat


sama sekali berbeda. Masa ini sering disebut sebagai masa kemunduran, karena
kebebasan berpikir sebagaimana jelas pada masa klasik, tergerus dan terkotak-
kotak secara dikotomis, parsial, separated dan eksklusif. Pada masa ini para ulama
seolah merasa cukup hanya untuk mempelajari ilmu-ilmu agama saja, dan di
antara ilmu agama itupun saling bertentangan dan kurang bersentuhan langsung
secara sosial dengan kebutuhan masyarakat luas.

Selanjutnya pada masa modern, pola gerakan berangsur mengalami


perubahan kearah yang lebih positif, yang semula bersifat dikotomis dan parsial
kemudian terjadi hubungan antara ilmu agama dan ilmu agama, ilmu agama dan
umum. Berkembang pula sikap rasional, teleransi dan inklusif, dinamis dan
progesif. Ilmu-ilmu Barat yang dalam perkembangannya mengalami kemajuan
signifikan oleh para ulama diperbolehkan untuk dipelajari, diadopsi sedemikian
rupa. Pola gerakan intelektual pada zaman modern ini berlangsung dalam berbagai
pola danbantuknya. Terdapat Muhammad bin Abdul Wahab yang berusaha
memurnikan kembali ajaran Islam dalam menghadapi arus modernitas, yang
terkesan sangat fundamental hingga Mustafa Kemal Attaturk yang dipandang
sangat sekuler.

Pola gerakan intelektual pada masa modern dilanjutkan dengan postmodern.


Gerakan ini ditandai dengan upaya integrasi antar keilmuan, kajian menjadi sangat
kontekstual dan lebih banyak berdasarkan team work.

19
Daftar Pustaka

Abdur Rahman Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, (Beirut: Dar Al-Kotoob
Al-Ilmiyyah, t.t.)

Abuddin Nata, Sejarah Sosial Intelektual Islam dan Institusi Pendidikannya,


(Jakarta: Raja Grafindo, 2012)

Agussalim Situmpol, Sejarah dan Peradapan Islam, hlm. 5 dikutip dari Suyoto
dkk. Postmodernisme dan Masa depan Peradapan, (Jogjakarta: Penerbit
Aditya Media, 1994)

Amien Rais dalam John J. Donohue, Islam dan Pembaharuan : Ensiklopedi


Masalah-Masalah, terjemahan (Jakarta: Raja Grafindo Press, 1995)

Amin Abdullah, Falsafah Kalam Di Era Posmodernisme, (Jogjakarta: Pustaka


Pelajar, 2004)

Harun Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press, 1994)

---------------------, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan


(Jakarta: Bulan Bintang, 1975)

http://pasaronlineforall.blogspot.co.id/2010/12/sejarah-dan-peradaban-islam-
postmodern.html

Ismail Raji Al-Faruqi, Tauhid, terj. Rahmani Astuti (Bandung: Pustaka, 1982)

Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia (Jakarta: Rajawali Press,


2005)

Ralph Schroeeder, Max Weber and The Sociology of Culture (London: Sage,
1992)

Syamsul Bakri, Peta Sejarah Peradaban Islam, (Yogyakarta: Fajar Media Press,
2011)

20
21

Anda mungkin juga menyukai