Anda di halaman 1dari 3

FREEPORT (USA) VS INDONESIA, SALAH LANGKAH APBN TERANCAM

JEBOL
Setelah 6 bulan kebelakang masyarakat disuguhkan oleh isue berita tentang
pertarungan Pilkada Jakarta. Maka saat ini perhatian sebagian masyarakat mulai beralih
kepada isue langkah pemerintah untuk memaksa freeport melakukan divestasi saham dan
mengubah kontrak karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Kenapa
isue ini menjadi menarik? Pertama karena selama ini freeport dianggap sebagai representasi
supermasi USA atas Indonesia dan kedua karena isue ini bisa merembet kepada isue yang
lebih besar lagi yaitu ancaman lepasnya Papua dari Indonesia. Awalnya pada akhir tahun
2015 pak Jokowi memberikan statement bahwa tidak akan mendiskusikan soal kontrak
freeport hingga tahun 2019, padahal saat itu freeport mendesak pemerintah Indonesia untuk
memperpanjang kontraknya sampai tahun 2045. Tetapi sekarang secara tiba-tiba Indonesia
mulai membicarakan divestasi saham dan perubahan Izin eksplorasi. Ada apakah ini? Apakah
pemerintah sudah benar-benar menghitung untung rugi atau hanya gertakan sesaat agar rakyat
mempunyai hiburan lain setelah jenuh dengan berita-berita pilkada Jakarta?

Benarkah Divestasi Saham Menguntungkan Indonesia

Seberapa besar bisnis Freeport sebenarnya, saya ambil perbandingan, gas blok masela
yang diperebutkan banyak orang mempunyai akumulasi keuntungan selama 30 tahun adalah
sebesar $ 5 Milyard atau jika di kurskan ($ 1 = Rp. 13.000) pertahun setara Rp. 21 Trilun.
Sedangkan pendapatan Freeport per tahun adalah sebesar $ 5 Milyard, bayangkan berapa kali
lipat dari pendapatan blok masela. Maka dari sinilah orang awam saja bisa mengatakan
bahwa freeport itu besar dan penting serta banyak orang ingin menikmati manisnya kue
tersebut.

Lalu berapa nilai pasar saham perusahaan saat ini? Saat ini market value saham
freeport-McMoRan.Inc adalah sebesar US$ 21,47 miliar atau sekitar Rp 287 triliun dan tren
nilai saham tersebut terus menurun dikarenakan ketidakpastian produksi di Indonesia. Nilai
tersebut adalah nilai saham perusahaan induk freeport Indonesia (PTFI) yang listing di bursa
New York. Nilai saham PTFI bisa kita lihat ketika mereka hendak melepas 10,64% sahamnya
ke dalam negeri senilai $ 1,7 Miliar harga ini terlalu mahal, Pemerintah Indonesia
menganggap harga wajarnya adalah $ 630 juta. Dengan kondisi nilai saham yang terus turun
dan potensi pendapatan yang besar langkah pemerintah menuntut divestasi saham hingga
mencapai 51% saat ini bisa dilihat merupakan langkah yang tepat. Sesuai dengan prinsip
sederhana investasi, belilah saham ketika harganya sedang turun tetapi pendapatan jangka
panjangnya bagus.

Namun langkah tersebut jika kita banding dengan skenario bahwa jika pemerintah
bersabar menunggu hingga tahun 2021 pada saat kontrak PTFI habis, maka pemerintah tidak
perlu mengeluarkan dana untuk membeli saham divestasi karena aset PTFI 100% milik
Indonesia plus pemerintah masih mendapat pemasukan dari PTFI sebesar Rp. 8 Triliun per
tahun selama 5 tahun. Apa yang pemerintah bisa lakukan dengan uang Rp. 8 Triliun? Dari
segi pembangunan infrastruktur Rp. 8 Triliun bisa digunakan untuk membangun jembatan
sepanjang 28 Km atau membangun jalan raya sepanjang 1240 Km. Dari segi kesehatan Rp. 8
Triliun setara dengan penambahan 400 fasilitas kesehatan baru didaerah atau dapat
memberikan fasilitas kesehatan bagi 28,8 juta warga miskin.

Lumayan membantu APBN ditengah defisit anggaran saat ini. Sebagai catatan dana
untuk membeli 51% saham divestasi PTFI setara dengan 60% anggaran kesehatan Indonesia
atau setara dengan pembangunan seluruh rumah sakit baru di Kalimantan, Nusa Tenggara dan
Sumatera. Dari penjelasan sederhana tersebut, bisa kita lihat bahwa ketika pemerintah
menuntut divestasi saham sebesar 51% maka setidaknya ada dua biaya opportunity yang
harus ditanggung. Pertama Indonesia harus kehilangan tambahan pendapatan sebesar Rp. 8
Triliun per tahun. Kedua Indonesia harus merelakan 60% anggaran kesehatannya untuk
pembelian divestasi sahan PTFI. Sangat tidak menguntungkan.

Biaya Lain Yang Harus Siap Ditanggung

Kalau memang pemerintah benar-benar serius dengan langkah ini, yaitu memutus
kontrak PTFI , maka PTFI pasti akan mengambil pasal 340 WTO. Konsekuensinya,
pemerintah harus mengembalikan investasinya, ditambah denda dan kerugian (termasuk
saham-sahamnya yang turun), hitungan saya sekitar Rp. 600 Triliun setara dengan 1/3 APBN
2017. Bisa kita bayangkan ada kemungkinan 1/3 APBN kita hanya untuk membayar PTFI.
Bagaimana nasib program pembangunan negara ini jika 1/3 APBN hanya digunakan untuk
membayar denda? Kemudian yang tidak dibuka secara jelas selama ini, bahwa seolah-olah
UU Minerba lebih tinggi derajadnya daripada KK. Dasar pemerintah adalah Pasal 169b UU
Minerba bahwa semua rezim KK harus diubah menjadi IUPK. Hal ini tentu saja bertentangan
dengan pasal 169a UU Minerba bahwa Kk-yang telah ada sebelum berlakunya UU ini tetap
diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya kontrak. Selain itu KK bersifat lex specialis,
tidak terikat pada peraturan baru yang muncul di kemudian hari setelah kontrak tersebut
disepakati.

Jadi jelas, pemerintah tidak bisa menggunakan hukum kekuasaan (souvereignity law)
dalam hal ini hukum publik, yaitu UU Minerba untuk membypass hukum kontrak perdata
dengan cara memutus kontrak, sementara pemerintah adalah para pihak langsung. Jika hal itu
bisa dilakukan, pasti sudah dilakukan oleh menteri-menteri ESDM sebelum pak Jonan. Beda
cerita jika berangkat dari hukum pidana yang ada dalam klausul kontrak. Mestinya jika ingin
memutus kontrak, berangkat dari issu kasus pidana seperti kasus"papa minta saham".

Penutup

Tambang papua Grasberg adalah tambang emas dan uranium terbesar dunia. Maka
pasti akan ada banyak pemain yang ingin menguasainya. Jika skenario pemerintah terjadi
maka masih ada 1 pertanyaan lagi yang harus dijawab, siapa BUMN yang bisa menambang
bahwa tanah sekaliber PTFI ? Jawabannya belum ada, maka BUMN harus menggandeng
kontraktor yang mempunyai kemampuan setara PTFI dan ini membuka peluang intervensi
negara asing lagi. Kini, saham Freeport Amerika jatuh, harga komoditas tambang turun,
ditambah ketidakpastian kebijakan Trump dengan American First, problem UU Minerba,
menanggung biaya sosial yang tinggi, kebijakan smelter yang membuatnya tak bisa
mendulang bahan strategis (seperti uranium), maka semakin tak jelas masa depan Freeport.
Maka kalau saya jadi Dirut PTFI jauh lebih menguntungkan menangguk hasil berperkara di
WTO yang jelas menangnya. Jadi kesimpulan saya tunggulah dengan sabar sampai tahun
2021 sambil mempersiapkan peningkatan tekonologi dan modal BUMN saat gunung
grasberg 100% akan jadi aset nasional dan kita berdaulat tanpa biaya besar.

Gigih Prihantono

Dosen FEB Unair

Anda mungkin juga menyukai