PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Untuk mengkaji dan mengetahui secara pasti bahwa telah terjadinya suatu tindak pidana
dalam bidang perpajakan maka diperlukan pemeriksaan untuk mencari, meng-inventaris,
mengolah data dan informasi lainnya untuk melihat kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan
dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
e. Sanksi Pidana bagi Wajib Pajak meberikan keterangan (pasal 41A UU KUP)
f. Sanksi Pidana bagi yang menghalangi atau mempersulit penyidikan (41B UU KUP)
g. Sanksi tidak memenuhi kewajiban memberikan data dan informasi (pasal 41C UU KUP)
LANDASAN TEORI
Penyidik adalah pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal
Pajak yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak
pidana di bidang perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan hanya dilakukan setelah Wajib
Pajak melunasi utang pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang tidak seharusnya
dikembalikan dan ditambah dengan sanksi administrasi berupa denda sebesar 4 (empat) kali
jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, atau yang tidak seharusnya dikembalikan
Penghindaran Pajak(Tax Avoidance) adalah Suatu skema transaksi yang ditujukan untuk
meminimalkan beban pajak dengan memanfaatkan kelemahan-kelemahan (loophole) ketentuan
perpajakan (pemanfaatkan celah hukum). Cirinya adalah berupaya
Apabila diperinci, ketentuan sanksi pemidanaan dalam tindak pidana perpajakan yang
terdapat dalam Perundang-undangan perpajakan mengatur mengenai:
b. menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau
melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada
pendapatan negara dan perbuatan tersebut merupakan perbuatan setelah perbuatan yang pertama
kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A, didenda paling sedikit 1 (satu) kali jumlah pajak
terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terutang
yang tidak atau kurang dibayar, atau dipidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling
lama 1 (satu) tahun.
Pengaturan pidana dalam Pasal 39 ayat (1), (2), (3) UU Perpajakan mengatur mengenai:
1. tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak atau tidak
melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
2. menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau
Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
3. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan;
4. menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau
tidak lengkap;
5. menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29;
6. memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan
seolah-olah benar, atau tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya;
7. tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak memperlihatkan
atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain;
8. tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau
pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang
dikelola secara elektronik atau diselenggarakan secara program aplikasi on-line di
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (11); atau
9. tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut sehingga dapat menimbulkan
kerugian pada pendapatan Negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6
(enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali
jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali
jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
(2) Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambahkan 1 (satu) kali menjadi 2 (dua) kali
sanksi pidana apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum
lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan.
(3) Setiap orang yang melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana menyalahgunakan
atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena
Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, atau menyampaikan Surat Pemberitahuan
dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap, sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf d, dalam rangka mengajukan permohonan restitusi atau melakukan kompensasi
pajak atau pengkreditan pajak, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan
dan paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah restitusi yang
dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan dan paling banyak 4
(empat) kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang
dilakukan.
Sedangkan pengaturan pidana yang terdapat dalam pasal 39A UU Perpajakan mengatur
mengenai:
Setiap orang yang dengan sengaja menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti
pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan
transaksi yang sebenarnya; atau
menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam)
tahun serta denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan
pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak dan paling banyak 6 (enam) kali
jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau
bukti setoran pajak.
Pasal 38 UU KUP mengatur mengenai kealpaan atau kelalaian (culpa). Sedangkan pasal
39 ayat (1) dan 39A mengatur mengenai kesengajaan. Dalam pasal 38 UU KUP pada pokoknya
mengatur mengenai delik yang dilakukan karena kealpaannya dan hanya terbatas pada
penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) secara tidak benar atau tidak lengkap.
Kealpaan dalam hal ini merupakan ketidak sengajaan, terjadinya kelalaian, tidak berhati-hati
dalam menyampaikan SPT, atau kurang mencermati kewajibannya sehingga perbuatan tersebut
dapat berdampak terhadap kerugian pendapatan Negara yang berasal dari pajak. Beberapa unsur
penting dalam pasal 38 UU KUP yaitu: Perbuatan tersebut dilakukan oleh orang karena
kealpaannya menimbulkan kerugian terhadap pendapatan Negara dan perbuatan itu bukan
perbuatan pertama atau perbuatan ulangan.
Berdasarkan pasal 38 UU KUP ancaman pidananya berupa denda paling sedikit 1 (satu)
kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 2 (dua) kali jumlah
pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar. Sedangkan pidana alternatifnya adalah pidana
kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 1 (satu) tahun.
Dalam pasal 39 ayat (1) dan 39A UU KUP mengatur mengenai delik yang dilakukan
dengan unsur kesengajaan (dollus). Dalam pasal 39 ayat (1) UU KUP menitikberatkan terhadap
orang atau badan hukum yang melalaikan kewajiban perpajakannya, sehingga unsur utama
dalam pasal ini yaitu: Perbuatan tersebut dilakukan oleh orang atau badan hukum; karena dengan
kesengajaan; menimbulkan kerugian terhadap pendapatan Negara. Sejalan dengan rumusan pasal
39 ayat (1), pada ayat (2) mengarah terhadap pengulangan delik atau recidive yang juga diancam
dengan sanksi pidana. Dalam pasal 39 ayat (3) bertujuan untuk mengatur mengenai delik
percobaan yang hanya meliputi suatu perbuatan menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak
NPWP dan/atau NPPKP.
Sedangkan dalam pasal 39A merupakan delik kesengajaan yang menitik beratkan
terhadap kewajiban wajib pajak (WP) sebagai pemotong atau pemungut pajak (termasuk PPN
dan PPh pemotongan maupun pemungutan). Pasal ini mencantumkan tidak adanya pembuktian
terhadap pendapatan Negara.
Sebelum dilakukan penyidikan dalam tindak pidana perpajakan, maka terlebih dahulu
dilakukan proses pemeriksaan bukti permulaan yang dilakukan untuk mendapatkan bukti
permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan. Hal ini
dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
18/PMK.03/2013 Tentang Tata Cara Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang
Perpajakan. Peraturan tersebut menjelaskan bahwa Bukti Permulaan sebagai keadaan,
perbuatan, dan/atau bukti berupa keterangan, tulisan, atau benda yang dapat memberikan
petunjuk adanya dugaan kuat bahwa sedang atau telah terjadi suatu tindak pidana di bidang
perpajakan yang dilakukan oleh siapa saja yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan
Negara.
Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dalam lingkungan Direktorat Jenderal Pajak
memiliki kewenangan dalam mengusut dan melakukan penyidikan Tindak Pidana di Bidang
Perpajakan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal tersebut dijelaskan dalam
ketentuan Pasal 44 Undang-undang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan yang isinya
menjelaskan sebagai berikut:
Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan hanya dapat dilakukan oleh Pejabat
Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang diberi wewenang
khusus sebagai penyidik tindak pidana di bidang perpajakan.
Dalam rangka pelaksanaan kewenangan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
penyidik dapat meminta bantuan aparat penegak hukum lain.
Penyidik tindak pidana perpajakan harus memberitahukan kepada Jaksa Penuntut Umum
apabila memulai penyidikan dan wajib menyampaikan hasil atau laporan penyidikannya kepada
Jaksa penuntut umum, hal ini berdasarkan ketentuan pasal 44 ayat (3) UU Perpajakan yang
menjelaskan bahwa Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya
penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik
pejabat Polisi Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-
Undang Hukum Acara Pidana.
Selanjutnya Jaksa penuntut umum yang akan menentukan apakah masalahnya sudah
matang untuk diajukan ke pengadilan atau tidak dilanjutkan ke pengadilan. Dalam proses
penyidikan, di dalamnya mengandung dua hal yaitu pertama, Penyidikan yang berakhir dengan
diserahkannya hasil penyidikan ke pengadilan atau untuk kepentingan penerimaan negara atas
permintaan Menteri Keuangan, Kedua hasil penyidikan tidak diproses di pengadilan/dihentikan,
dengan catatan wajib pajak yang disidik telah melunasi utang pajaknya dan ditambah dengan
sanksi administrasi berupa denda sebesar 4 (empat) kali jumlah pajak.
Pelanggaran terhadap kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh Wajib Pajak sepanjang
menyangkut tindakan administrasi perpajakan dikenakan sanksi administrasi, sedangkan yang
menyangkut tindak pidana di bidang perpajakan, dikenakan sanksi pidana.
Untuk mengetahui telah terjadinya suatu tindak pidana di bidang perpajakan maka perlu
dilakukan pemeriksaan untuk mencari, mengumpulkan, mengolah data dan atau keterangan
lainnya untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam
rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Oleh karena itu, menurut penulis, tindak pidana di bidang perpajakan adalah suatu
perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan pajak yang menimbulkan kerugian
keuangan negara dimana pelakunya diancam dengan hukuman pidana.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas penyerahan Barang
Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP) yang dihasilkan, diserahkan serta dikonsumsi di
dalam Daerah Pabean baik konsumsi barang maupun jasa yang dilakukan oleh Pengusaha Kena
Pajak (PKP).
Subjek Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP) yaitu orang
pribadi atau badan yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang,
mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang
tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP)
dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) di dalam Daerah Pabean dan atau melakukan ekspor
BKP, tidak termasuk Pengusaha Kecil yang batasannya ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan, kecuali Pengusaha Kecil yang memilih untuk ditetapkan sebagai PKP.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang PPN dan PPnBM sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994, dan diubah terakhir kali dengan Undang-
Undang Nomor 42 Tahun 2009 (UU PPN) juga menyebutkan bahwa objek PPN dikenakan atas:
1. Penyerahan BKP di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha baik
yang telah dikukuhkan sebagai PKP maupun yang seharusnya dikukuhkan sebagai
PKP tetapi belum dikukuhkan;
2. Impor BKP;
3. Penyerahan JKP yang dilakukan di dalam Daerah Pabean oleh Pengusaha Kena
Pajak;
4. Penyerahan BKP tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean;
5. Pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
6. Ekspor BKP dan JKP oleh Pengusaha Kena Pajak;
7. Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau
pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau
digunakan pihak lain;
8. Penyerahan Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak
untuk diperjualbelikan oleh PKP, kecuali atas penyerahan aktiva yang Pajak
Masukannya tidak dapat dikreditkan.
Ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) UU PPN menyebutkan bahwa tarif Pajak
Pertambahan Nilai adalah 10% (sepuluh persen), sedangkan tarif Pajak Pertambahan Nilai
sebesar 0% (nol persen) diterapkan atas:
Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran dalam Masa
Pajak yang sama. Pajak Masukan yang dikreditkan harus menggunakan Faktur Pajak yang
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) dan ayat (9). Apabila
dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih besar dari Pajak Masukan, selisihnya merupakan
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang harus disetor oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP).
Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dikreditkan lebih besar daripada
Pajak Keluaran, selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dikompensasikan ke Masa Pajak
berikutnya. Atas kelebihan Pajak Masukan tersebut dapat diajukan permohonan pengembalian
(restitusi) pada akhir tahun buku.
Faktur Pajak merupakan bukti pungutan pajak dan dapat digunakan sebagai sarana untuk
mengkreditkan Pajak Masukan. Faktur Pajak harus disi secara lengkap, jelas, dan benar serta
ditandatangani oleh pihak yang ditunjuk oleh Pengusaha Kena Pajak untuk menandatanganinya.
Faktur Pajak harus memenuhi persyaratan formal dan material. Faktur Pajak dikatakan
memenuhi persyaratan formal apabila disi secara lengkap, jelas, dan benar sesuai dengan
persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) atau persyaratan yang diatur dengan Peraturan
Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (6) Pasal 9 UU PPN.
Faktur Pajak dikatakan memenuhi persyaratan material apabila berisi keterangan yang
sebenarnya atau sesungguhnya mengenai penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah
Pabean.
Dengan demikian, walaupun Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya
dipersamakan dengan Faktur Pajak sudah memenuhi ketentuan formal dan sudah dibayar Pajak
Pertambahan Nilainya, namun apabila keterangan yang tercantum dalam Faktur Pajak atau
dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak tidak sesuai dengan
kenyataan yang sebenarnya mengenai penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa
Kena Pajak, maka Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan
Faktur Pajak tersebut tidak memenuhi syarat material.
2.7 Terjadinya Faktur Pajak Tidak Sah untuk Pajak Pertambahan Nilai
Berbagai macam kejahatan pidana perpajakan yang cukup banyak dilakukan oleh para
Wajib Pajak adalah di bidang PPN. PKP yang memperoleh BKP secara ilegal berusaha dengan
segala cara untuk mendapatkan Faktur Pajak Masukan dalam upaya mengurangi PPN yang harus
disetor. Akhirnya PKP banyak mencari jalan pintas dengan membeli Faktur Pajak Masukan
yang tidak relevan dengan peroleh BKP-nya.
Sehubungan dengan semakin banyaknya kasus penerbitan dan penggunaan faktur pajak
tidak sah, maka dalam rangka tertib administrasi dan pengamanan penerimaan Pajak
Pertambahan Nilai (PPN), serta mencegah penerbitan dan penggunaan faktur pajak tidak sah,
Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Edaran dengan Nomor: SE-132/PJ/2010 tanggal 30
November 2010, tentang Langkah-langkah Penanganan atas Penerbitan dan Penggunaan Faktur
Pajak Tidak Sah, yang menegaskan bahwa yang dimaksud dengan Faktur Pajak Tidak Sah
adalah:
BAB III
STUDY KASUS
3.1 Kasus Faktur Pajak Tidak Sah oleh Terdakwa Hadi Mulyono yang telah diputus oleh
Pengadilan Negeri Surabaya
Tahun 2008 sampai dengan Agustus 2011 PT Sulasindo Niagatama menerima faktur
pajak dari beberapa perusahaan dalam negeri, seolah-olah membeli barang dari supplier tersebut.
Delik pajak yang telah dilakukan oleh terdakwa Hadi Mulyono alias Jono adalah telah
menyuruh melakukan atau turut serta melakukan, menganjurkan atau membantu melakukan
tindak pidana dengan sengaja menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak yang tidak
berdasarkan transaksi yang sebenarnya.
Untuk membuktikan bersalah tidaknya terdakwa, harus dibuktikan dengan menguraikan unsur-
unsur pidana dari dakwaan penuntut umum, yakni melanggar Pasal 39A jo Pasal 43 UU KUP jo
Pasal 64 ayat (1) KUHP, yang mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
1. Barang siapa;
2. Dengan sengaja menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan
pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak dan/atau bukti setoran pajak
yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya atau menerbitkan faktur pajak tetapi
belum dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak;
3. Menyuruh melakukan atau turut serta melakukan, menganjurkan atau membantu
melakukan tindak pidana di bidang perpajakan;
4. Yang dilakukan secara berlanjut.
Pada pemeriksaan di persidangan telah terbukti bahwa terdakwa Hadi Mulyono alias
Jono adalah seorang yang sehat jasmani dan rohaninya, yang dapat dibuktikan pada setiap
persidangan dapat mengikuti persidangan dengan baik dan terhadap pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan baik oleh Majelis Hakim, Penuntut Umum maupun Penasihat Hukum Terdakwa,
semuanya dapat dijawab dengan baik, dan tidak terdapat surat keterangan dokter yang
menerangkan bahwa terdakwa Hadi Mulyono alias Jono mengidap suatu penyakit mengenai
gangguan psikis.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terdakwa Hadi Mulyono alias Jono adalah
orang yang normal yang dapat mempertanggungjawabkan atas perbuatan-perbuatan yang
dilakukannya, sehingga menjadi subyek atau pelaku tindak pidana dalam perkara ini dan unsur
barang siapa telah dapat dibuktikan dengan sah dan menyakinkan.
Ad. 2. Unsur Dengan sengaja menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti
pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan
transaksi yang sebenarnya atau menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai
pengusaha kena pajak.
Dari fakta-fakta dalam persidangan dapat disimpulkan bahwa faktur pajak yang
diserahkan oleh terdakwa adalah faktur pajak yang diterbitkan oleh PT Sulasindo Niagatama
dimana terdakwa adalah komisarisnya dan faktur-faktur pajak tersebut tidak sesuai dengan
transaksi yang sebenarnya karena antara perusahaan pengguna faktur pajak dengan PT Sulasindo
tidak ada transaksi sebagaimana tercantum dalam faktur pajak dimaksud.
Perbuatan terdakwa telah memenuhi unsur kedua dalam dakwaan, yakni Dengan sengaja
menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan
pajak, dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya atau
menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak.
Ad. 3. Unsur Menyuruh melakukan atau turut serta melakukan, menganjurkan atau membantu
melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.
Dalam usahanya, terdakwa melakukan jual beli faktur pajak kepada perusahaan pengguna
faktur pajak, yang tidak disertai dengan penyerahan barang, hanya jual beli faktur dan dokumen
pendukungnya berupa surat jalan, invoice dan kwitansi sehingga terlihat seakan-akan benar
terjadi transaksi penyerahan barang, padahal sebenarnya tidak terjadi penyerahan barang karena
barang-barang tersebut bukan dari perusahaan terdakwa.
Delik perpajakan yang dilakukan oleh terdakwa baik sebagai direktur maupun orang yang
memimpin (pengendali) dari ketiga perusahaan PT. Menoreh Persada Mandiri, PT. Samudra
Victory Abadi, PT. Rezatama Niaga Sepakat adalah telah melakukan perbuatan menerbitkan
faktur pajak keluaran atas barang-barang yang seolah-olah dikeluarkan oleh PT. Menoreh
Persada Mandiri, PT. Samudra Victory Abadi, PT. Rezatama Niaga Sepakat kepada perusahaan-
perusahaan pemesan/pembeli dari faktur pajak tersebut, padahal terdakwa tidak pernah
menyerahkan barang-barang sebagaimana tercantum dalam faktur pajak, kwitansi, surat jalan
dan invoice.
Nilai kerugian pada pendapatan Negara yang diakibatkan oleh perbuatan tersangka
Sumarno dan kawan-kawan melalui PT Rezatama Niaga Sepakat, PT Samudra Victory Abadi,
dan PT Menoreh Persada Mandiri untuk tahun pajak 2007 sampai dengan tahun pajak 2012
seluruhnya adalah sebesar Rp. 25.256.418.573,- (Dua Puluh Lima Milyar Dua Ratus Lima Puluh
Enam Juta Empat Ratus Delapan Belas Ribu Lima Ratus Tujuh Puluh Tiga Rupiah).
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dan Pasal 39A, berlaku juga bagi wakil,
kuasa, pegawai dari Wajib Pajak, atau pihak lain yang menyuruh melakukan, yang turut serta
melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang
perpajakan.
Dengan memperhatikan fakta-fakta persidangan dalam perkara ini dapat diketahui telah
diajukan sebagai terdakwa seseorang yang bernama Sumarno dalam keadaan sehat jasmani dan
rohani dalam hal ini dianggap mampu untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya di
hadapan hukum, sehingga dengan demikian, menurut Majelis Hakim unsur Setiap orang
dimaksud telah terpenuhi dalam diri terdakwa.
Ad. 2. Unsur Dengan sengaja menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti
pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan
transaksi yang sebenarnya.
Dari fakta-fakta dalam persidangan dapat disimpulkan bahwa terdakwa baik sebagai
direktur maupun orang yang memimpin (pengendali) dari ketiga perusahaan PT Menoreh
Persada Mandiri, PT Samudra Victory Abadi, PT Rezatama Niaga Sepakat telah melakukan
perbuatan menerbitkan faktur pajak keluaran atas barang-barang yang seolah-olah dikeluarkan
oleh ketiga perusahaan tersebut kepada perusahaan-perusahaan pemesan/pembeli dari faktur
pajak tersebut, padahal terdakwa ataupun ketiga perusahaan tersebut tidak pernah menyerahkan
barang-barang sebagaimana tercantum dalam faktur pajak, kwitansi, surat jalan dan invoice.
Perbuatan terdakwa telah memenuhi unsur kedua dalam dakwaan, yakni Dengan sengaja
menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan
pajak, dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya.
Ad. 3. Unsur Perbuatan tersebut merupakan beberapa perbuatan yang berhubungan sehingga
harus dipandang sebagai suatu rangkaian perbuatan berlanjut.
Berdasarkan fakta-fakta dalam persidangan dapat diketahui bahwa perbuatan terdakwa
menerbitkan faktur pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya sebagaimana telah
dipertimbangkan dalam pertimbangan unsur kedua diatas, ternyata terbukti dilakukan oleh
terdakwa dalam kurun waktu 2008 s.d. 2012 atau setidak-tidaknya 2009 s.d. 2012 dan dilakukan
dalam suatu rangkaian perbuatan yang sejenis dan berhubungan satu sama lain, sehingga
perbuatan terdakwa terbukti memenuhi unsur ke-3 yakni Perbuatan tersebut merupakan
beberapa perbuatan yang berhubungan sehingga harus dipandang sebagai suatu rangkaian
perbuatan berlanjut.
Oleh karena seluruh unsur-unsur tindak pidana dalam Pasal 39A huruf a jo Pasal 43 ayat
(1) UU KUP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP telah terbukti dalam perbuatan terdakwa sebagaimana
dipertimbangkan diatas, serta berdasarkan bukti-bukti yang ada telah diperoleh keyakinan bahwa
tindak pidana tersebut benar adanya dan terdakwa pelakunya maka menurut hukum terdakwa
Sumarno tersebut telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
menerbitkan faktur pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya, dilakukan secara
berlanjut.
Dalam hidup bernegara, setiap orang diwajibkan untuk membayar pajak. Jadi, pajak
sebagai kewajiban kenegaraan memberikan kontribusi untuk penerimaan negara berdasarkan
Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karenanya pajak merupakan kewajiban semua warga
masyarakat dan hukum pajak mengatur hubungan antara penguasa/negara dengan warganya
(orang atau badan) dalam pemenuhan kewajiban perpajakan kepada negara.
Penegakan hukum pada hakikatnya berguna untuk memulihkan kembali keamanan dan
ketertiban masyarakat yang sempat terganggu akibat sanksi pidana tersebut, agar tercipta suatu
kepastian hukum. Penegakan hukum itu merupakan suatu proses untuk mewujudkan keinginan-
keinginan hukum agar menjadi kenyataan.
Apabila penegakan hukum khususnya hukum pajak dapat berjalan sesuai dengan
ketentuan hukum dalam undang-undang perpajakan, maka ketiga kepentingan di atas terlindungi.
Apabila wajib pajak melakukan tindak pidana perpajakan, maka ketiga macam kepentingan di
atas menjadi tidak terlindungi lagi. Kepentingan Negara berupa penerimaan pajak tidak tercapai,
yang kemudian mengancam tidak terlaksananya pembangunan nasional sebagai kepentingan
masyarakat. Wajib pajak sendiri sebagai kepentingan pribadi juga mendapat sanksi pidana.
Hal ini tentunya mengambarkan bahwa perbuatan melawan hukum berhubungan dengan
kesalahan sebagai syarat penjatuhan pidana dalam rangka meminta pertanggungjawaban pelaku.
Untuk menentukan kesalahan sebagai dasar penjatuhan pidana tentunya didasarkan kepada
perbuatan yang dilakukan bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum.
Semakin maraknya kejahatan di bidang perpajakan khususnya tindak pidana faktur pajak
membuat DJP mengeluarkan aturan terkait dengan registrasi ulang Pengusaha Kena Pajak (PKP)
yaitu Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-20/PJ/2012 tanggal 11 September 2012 dan
PER-05/PJ/2012 tanggal 3 Februari 2012. Selanjutnya pada tanggal 22 November 2012 terbitlah
PER-24/PJ/2012 yang mengharuskan PKP mendapatkan kode aktivasi dan password dari Kantor
Pelayanan Pajak (KPP) di mana PKP terdaftar sebelum menerbitkan Faktur Pajak.
Langkah selanjutnya yang dilakukan oleh DJP setelah pengawasan melalui PER-
24/PJ/2012 belum sepenuhnya menangkal para pelaku tindak pidana pajak pertambahan nilai
(PPN). Langkah yang dilakukan DJP adalah melakukan penanganan tindak pidana di bidang
perpajakan yang diketahui seketika atau yang sering disebut Operasi Tangkap Tangan (OTT).
Sejalan dengan aturan perpajakan di atas, dalam rangka tertib administrasi dan
pengamanan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) serta mencegah penerbitan dan penggunaan Faktur
Pajak Tidak Sah, pemerintah telah menerbitkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-
132/PJ/2010 tanggal 30 November 2010 mengenai Langkah-Langkah Penanganan atas
Penerbitan dan Penggunaan Wajib Pajak Tidak Sah.
Seperti yang telah disampaikan dalam angka 1 Surat Edaran di atas bahwa yang
dimaksud dengan Faktur Pajak Tidak Sah adalah:
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-115/PJ.51/2001 tanggal 8 Juni 2001 tentang
Penanganan Faktur Pajak yang diterbitkan oleh Pengusaha yang belum dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena pajak dan Surat Edaran Nomor SE-041/PJ.521/2003 tanggal 8 Januari 2003
tentang Kewajiban Melaporkan Wajib Pajak yang bermasalah telah disatukan dalam SE-
132/PJ/2010 ini.
Faktur Pajak berbentuk elektronik, yang selanjutnya disebut e-Faktur, adalah Faktur Pajak
yang dibuat melalui aplikasi atau sistem elektronik yang ditentukan dan/atau disediakan oleh
Direktorat Jenderal Pajak.
Sebagai langkah antisipatif untuk menanggulangi terjadinya kasus penggunaan faktur pajak
tidak sah, seyogyanya pihak Direktur Jendral Pajak meningkatkan pengendalian internal yang
dilakukan secara periodik dan tidak hanya pada saat melakukan pemeriksaan.
Prosedur pemeriksaan untuk restitusi PPN menjadi sangat penting. Kewajaran persentase
Pajak Masukan terhadap omzet harus benar-benar dianalisis, sehingga diharapkan hal ini akan
dapat meminimalisasikan kerugian Negara dari praktek faktur pajak tidak sah.
1. Denda Pidana
Berbeda dengan sanksi berupa administrasi yang hanya diancam/dikenakan kepada wajib
pajak yang melanggar ketentuan peraturan perpajakan, sanksi berupa denda pidana selain
dikenakan kepada wajib pajak ada juga yang diancamkan kepada Pejabat Pajak atau kepada
pihak ketiga berdasarkan KUHP. Denda pidana dikenakan terhadap tindak pidana yang bersifat
pelanggaran maupun yang bersifat kejahatan. Apabila denda pidana tidak dapat dilunasi oleh
yang bersangkutan maka sebagai gantinya, harus menjalani hukuman kurungan.
2. Pidana kurungan
Pidana kurungan hanya diancamkan kepada tindak pidana yang bersifat pelanggaran, yang
dapat ditujukan kepada Wajib Pajak, Pejabat, dan Pihak ketiga. Pidana kurungan yang
diancamkan kepada si pelanggar, sifatnya lebih ringan dibandingkan dengan pidana penjara,
karena tindak pidana tersebut dilakukan tidak dengan sengaja atau karena kealpaan.
3. Pidana Penjara
Pidana penjara prinsipnya sama halnya dengan pidana kurungan yang merupakan hukuman
perampasan badan seseorang. Jenis pidana ini merupakan kejahatan. Ancaman hukuman pidana
penjara dapat ditujukan pada Wajib Pajak, Pejabat pajak, atau Pihak ketiga.
Pasal 39A Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 dan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 juga memberikan sanksi yang cukup berat bagi praktek
ini, hal ini tentunya menjadi sangat berdasar dengan menjunjung tinggi aspek keadilan sebagai
representasi dari fungsi budgetair yang menjadi sangat penting bagi pembiayaan Negara. Hal ini
dapat membangun sebuah opini sebagai suatu sistem peringatan dini bagi para pelaku pidana
perpajakan, dan bisa memberikan efek jera dengan beratnya sanksi yang diberikan.
Oleh karena Terdakwa dinyatakan bersalah, maka Terdakwa patut dijatuhi pidana penjara
dan pidana denda, sebagaimana tersebut dalam amar putusan, yang menurut Majelis Hakim telah
setimpal dengan kesalahannya.
1. Majelis Hakim menjatuhkan pidana kepada terdakwa Hadi Mulyono alias Jono dengan
pidana penjara selama 2 (dua) tahun;
2. Majelis Hakim juga menghukum terdakwa dengan pidana denda sebesar Rp.
336.000.000,- (tiga ratus tiga puluh enam milyar Rupiah), bila tidak dibayar diganti
dengan pidana kurungan selama 1 (satu) bulan.
Kedua, aspek substansi hukum yang menunjukkan bahwa aturan-aturan hukum mengenai
sanksi pidana di bidang perpajakan telah memadai dan sejalan dengan tujuan diterapkannya
pajak, yaitu telah sesuai dengan Pasal 39A Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2007 dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.
Selanjutnya, aspek ketiga adalah aspek budaya hukum, yakni budaya taat pajak sudah
timbul di masyarakat sehingga tindak pidana penerbitan faktur pajak tidak sah tidak akan terjadi
lagi di masa depan.
Pasal yang digunakan untuk menjerat terdakwa adalah Pasal 39A Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Berdasarkan Pasal 39A tersebut, pelaku kasus faktur pajak tidak sah untuk pajak
pertambahan nilai dapat dituntut di pengadilan dengan ancaman pidana penjara paling sedikit 2
(dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun.
Pasal 39A tersebut memberikan sanksi yang cukup berat bagi praktek tindak pidana
perpajakan terhadap faktur pajak tidak sah untuk pajak pertambahan nilai. Dengan demikian,
penegakan hukum kepada terdakwa Hadi Mulyono yang terbukti melanggar ketentuan undang-
undang perpajakan diharapkan memberikan efek jera (deterrent effect) kepada Wajib Pajak
lainnya.
3.6.3 Putusan Pengadilan Negeri Cibinong Nomor: 295/Pid.Sus/2014/PN.Cib atas Kasus Faktur
Pajak Tidak Sah dengan Terdakwa Sumarno
Pengadilan Negeri Cibinong, dengan Putusan Nomor:295/Pid.Sus/2014/PN.Cib telah
menyatakan terdakwa Sumarno telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan
tindak pidana Menerbitkan faktur pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya,
dilakukan secara berlanjut.
Oleh karena seluruh unsur-unsur tindak pidana dalam PAsal 39A huruf a jo Pasal 43 ayat
(1) UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang telah diubah
terakhir dengan UU No. 16 Tahun 2009 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP telah terbukti dalam
perbuatan terdakwa dan berdasarkan bukti-bukti yang ada telah diperoleh keyakinan bahwa
tindak pidana tersebut benar adanya dan terdakwa pelakunya maka menurut hukum terdakwa
Sumarno telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
menerbitkan faktur pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya, dilakukan secara
berlanjut.
Atas kesalahan terdakwa tersebut, Majelis Hakim menjatuhi pidana penjara dan denda
dengan berpedoman dengan ketentuan Pasal 39A huruf a UU No. 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang telah diubah terakhir dengan UU No. 16 Tahun
2009 dan Pasal 66 ayat (2) KUHP.
Kejahatan dalam bidang perpajakan, yang dilakukan oleh terdakwa Sumarno dalam kasus
di atas, dilakukan dengan cara terdakwa baik sebagai direktur maupun orang yang memimpin
(pengendali) dari ketiga perusahaan PT Menoreh Persada Mandiri, PT Samudra Victory Abadi,
PT Rezatama Niaga Sepakat telah melakukan perbuatan menerbitkan faktur pajak keluaran atas
barang-barang yang seolah-olah dikeluarkan oleh ketiga perusahaan tersebut kepada perusahaan-
perusahaan pemesan/pembeli dari faktur pajak tersebut, padahal terdakwa ataupun ketiga
perusahaan tersebut tidak pernah menyerahkan barang-barang sebagaimana tercantum dalam
faktur pajak, kwitansi, surat jalan dan invoice.
Ketentuan hukum yang menjeratnya adalah Pasal 39A huruf a dan Pasal 43 UU KUP.
Sedangkan dalam KUHP diatur dalam Pasal 64 ayat (1) dan Pasal 263 KUHP.
Pasal-pasal di atas tersebut merupakan landasan hukum terhadap tindak pidana faktur
pajak tidak sah, karena Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan, telah mengatur secara khusus mengenai tindak pidana faktur pajak tidak
sah.
Dengan demikian, pengenaan sanksi pidana penjara dan denda terhadap terdakwa
Sumarno yang telah terbukti melanggar ketentuan undang-undang perpajakan, menunjukkan
upaya penegakan hukum dan penanggulangan tindak pidana perpajakan terhadap faktur pajak
tidak sah dalam pajak pertambahan nilai secara konsisten dan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
3.6.6 Penyanderaan sebagai salah satu Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Perpajakan
Tindakan penagihan pajak yang selama ini dilaksanakan adalah berdasarkan pada
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000. Dengan undang-
undang penagihan pajak yang demikian itu diharapkan dapat memberikan penekanan yang lebih
pada keseimbangan antara kepentingan masyarakat Wajib Pajak dan kepentingan negara.
Sesuai dengan Pasal 2 dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 137
Tahun 2000 (PP 137/2000) tentang Tempat dan Tata Cara Penyanderaan, Rehabilitasi Nama Baik
Penanggung Pajak, dan Pemberian Ganti Rugi dalam rangka Penagihan Pajak dengan Surat
Pajak, disebutkan bahwa penyanderaan hanya dapat dilakukan terhadap penanggung pajak yang
tidak melunasi utang pajak setelah lewat jangka waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak
tanggal Surat Paksa diberitahukan kepada Penanggung Pajak.
Lebih lanjut, dalam Pasal 2 Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-218/PJ/2003
tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyanderaan dan Pemberian Rehabilitasi Nama Baik
Penanggung Pajak yang disandera, penyanderaan hanya dapat dilakukan dalam Penanggung
Pajak dengan kriteria:
1. Mempunyai utang pajak sekurang-kurangnya Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah);
2. Diragukan itikad baiknya dalam melunasi utang pajak;
3. Telah lewat jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal Surat Jurusita Paksa
diberitahukan kepada Penanggung Pajak; dan
4. Telah mendapat izin tertulis dari Menteri Keuangan Republik Indonesia.
Penyanderaan dilaksanakan oleh jurusita pajak disaksikan oleh 2 (dua) orang penduduk
Indonesia yang telah dewasa, dikenal oleh jurusita pajak dan dapat dipercaya. Dalam
melaksanakan penyanderaan jurusita pajak dapat meminta bantuan kepolisian atau kejaksaan.
Dalam Pasal 10 ayat (1) PP 137/2000, penanggung pajak yang disandera dilepas jika
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. Apabila utang pajak dan biaya penagihan pajak telah dibayar lunas;
2. Apabila jangka waktu yang ditetapkan dalam Surat Perintah Penyanderaan telah
dipenuhi;
3. Berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau
4. Berdasarkan pertimbangan tertentu dari Menteri Keuangan atau Gubernur.
1. Penanggung Pajak sudah membayar utang pajak 50% atau lebih dari jumlah utang
pajak/sisa utang pajak, dan sisanya akan dilunasi dengan angsuran;
2. Penanggung Pajak sanggup melunasi utang pajak dengan menyerahkan bank garansi;
3. Penanggung Pajak sanggup melunasi utang pajak dengan menyerahkan harga
kekayaannya yang sama nilainya dengan utang pajak dan biaya penagihan pajak untuk
ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
4. Penanggung Pajak telah berumur 75 tahun atau lebih; atau
5. Untuk kepentingan perekonomian Negara dan kepentingan umum.
Penyanderaan sebagai salah satu upaya terakhir dari Dirjen Pajak sebagai penegak hukum
harus diterapkan secara hati-hati, transparan, berkeadilan, dan cermat. Jika tidak, betapa pun
reformasi pajak yang diagungkan akan kandas dan masyarakat pencari keadilan tidak akan
memercayainya. Penyanderaan bisa dikatakan lebih kejam dari penahanan tersangka dalam
tindak pidana, karena masa tahanan dalam tindak pidana dapat dipotongkan pada putusan
hukuman pidana penjara dan dalam putusan pidana kepada tersangka diberikan pilihan denda
uang atau hukum badan.
Penyanderaan juga dapat menjadi salah satu upaya penanggulangan tindak pidana
perpajakan, khususnya faktur pajak tidak sah untuk pajak pertambahan nilai, yang
pelaksanaannya harus berpedoman pada peraturan hukum yang berlaku.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Tindak pidana di bidang perpajakan adalah suatu perbuatan yang melanggar peraturan
perundang-undangan pajak yang menimbulkan kerugian keuangan negara dimana pelakunya
diancam dengan hukuman pidana. Kejahatan pidana perpajakan yang cukup banyak dilakukan
oleh Wajib Pajak adalah faktur pajak tidak sah untuk Pajak Pertambahan Nilai. Hal ini dilakukan
oleh Wajib Pajak yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) dengan
mengambil celah belum efektifnya fungsi pengawasan pengkreditan Pajak Masukan terhadap
Pajak Keluaran (model PM-PK). Faktur pajak harus memenuhi persyaratan formal dan material.
Faktur pajak dikatakan memenuhi persyaratan formal apabila disi secara lengkap, jelas, dan
benar. Faktur pajak dikatakan memenuhi persyaratan material apabila berisi keterangan yang
sebenarnya atau sesungguhnya mengenai penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan
Jasa Kena Pajak. Dalam kenyataannya, tindak pidana perpajakan untuk faktur pajak tidak sah
dilakukan dengan jual beli faktur pajak kepada perusahaan pengguna faktur pajak, yang tidak
disertai dengan penyerahan barang, hanya jual beli faktur dan dokumen pendukungnya berupa
surat jalan, invoice dan kwitansi sehingga terlihat seakan-akan benar terjadi transaksi penyerahan
barang, padahal sebenarnya tidak terjadi penyerahan barang karena barang-barang tersebut.
Penegakan hukum dan peraturan perpajakan terus diperbaharui dan dijalankan oleh
Pemerintah dalam rangka mengupayakan tindak pidana perpajakan tidak terjadi lagi di masa
yang akan datang. Penegakan hukum pada hakikatnya berguna untuk memulihkan kembali
keamanan dan ketertiban masyarakat yang sempat terganggu akibat sanksi pidana tersebut, agar
tercipta suatu kepastian hukum. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah melakukan reformasi
perpajakan yang mencakup reformasi kebijakan dan adminstrasi. Penerapan ketentuan sanksi
pidana dalam Pasal 39A Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan juga terus dilakukan dalam kasus-kasus faktur pajak tidak sah di
Pengadilan di Indonesia. Penyanderaan juga menjadi salah satu upaya penanggulangan tindak
pidana perpajakan terhadap faktur pajak tidak sah untuk pajak pertambahan nilai. Hal ini dapat
membangun sebuah opini sebagai suatu sistem peringatan dini bagi para pelaku pidana
perpajakan.
4.2 Saran
Kebijakan hukum sebagai penerapan sanksi administratif berupa denda dan sanksi pidana
yang lebih berat dalam undang-undang perpajakan perlu ditinjau kembali agar penegakan hukum
kepada wajib pajak yang terbukti melanggar ketentuan undang-undang perpajakan diharapkan
memberikan efek jera (deterrent effect) kepada Wajib Pajak lainnya. Dengan menerapkan sanksi
administratif berupa denda yang berat, diharapkan pemerintah dapat meningkatkan pendapatan
negara.
DAFTAR PUSTAKA
Literatur:
Arief, Barda Nawawi, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum
Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Cross, Rupert, dan P. Asterley Jones, 1959, An Introduction to Criminal Law, London,
Butterworth & Co.
Darmodihardjo, Darji, dan Sidharta, 2002, Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana
Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Friedman, Lawrence M., 1975, The Legal System: A Social Science Perpective, Russel Sage
Foundation, New York.
Hartono, CFG, Soenarjati, 1972, Beberapa Masalah Transnasional dalam Penanaman Modal
Asing di Indonesia, Binacipta, Bandung.
Muladi, 1997, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, Semarang
Packer, Herbert L., 1968, The Limits of the Criminal Sanction, Stanford, California: Stanford
University Press.
Rahardjo, Satjipto, 2009, Masalah Penegakan hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Yogyakarta.
Saleh, Roeslan, 1981, Perbuatan Pidana dan Pertanggungan Jawab Pidana Dua Pengertian Dasar
dalam Hukum Pidana, Aksara Baru, Jakarta.
Saidi, Muhammad Djafar, dan Eka Merdekawati Djafar, 2011, Kejahatan di Bidang Perpajakan,
Rajawali Pers.
_______________, 1979, Dasar-Dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan 1944, Eresco,
Bandung.
Sulistia, Teguh, dan Aria Zurnetti, 2011, Hukum Pidana Horizon Baru Pasca Reformasi, Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
Widjajati, Erna, 2008, Dasar Hukum Pajak di Indonesia, Roda Inti Media, Jakarta
Peraturan Perundang-undangan:
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 137 Tahun 2000 (PP 137/2000) tentang Tempat
dan Tata Cara Penyanderaan, Rehabilitasi Nama Baik Penanggung Pajak, dan Pemberian Ganti
Rugi dalam rangka Penagihan Pajak dengan Surat Pajak.
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor: SE-132/PJ./2010 tanggal 30 November 2010
tentang Langkah-langkah Penanganan atas Penerbitan dan Penggunaan Faktur Pajak Tidak Sah.
Majalah/Jurnal Hukum/Artikel:
Direktorat Jenderal Pajak, 2014, Kementerian Keuangan, Media Release, 2014, Setelah Buron 5
Tahun, Akhirnya Penerbit Faktur Pajak Tidak Sah divonis 6 Tahun Penjara dan Denda 494
Milyar, Jakarta.
Juli, Wan, dan Titik Suharti, 2012, Tinjauan Pertanggungjawaban Pidana Wajib Pajak Badan
dalam Tindak Pidana di Bidang Perpajakan, Perspektif, Volume XVII No. 2, Tahun 2012, Edisi
Mei.
Manan, Bagir, Juli 2010, Penegakan Hukum dalam Perkara Pidana, Varia Peradilan: Majalah
Hukum, Ikatan Hakim Indonesia, Tahun XXVI.
Nitibaskara, T.B. Rony R., 5 Juli 2005, Problema Yudiris Cyber Crime, www.hukumonline.