Anda di halaman 1dari 19

UNIVERSITAS INDONESIA

ANALISIS KASUS MAKAR


(Studi Kasus : Putusan No. 38/Pid.B/2011/PN.Wmn.)

TUGAS MATA KULIAH


TINDAK PIDANA TERTENTU DALAM KUHP

RIZKINA ALIYA - 1506675932


IRAWATI PUTERI - 1506747471

FAKULTAS HUKUM
PROGRAM SARJANA REGULER
DEPOK
2017

1
DAFTAR ISI

Daftar Isi ............................................................................................................................ 2


Pendahuluan
1.1. Resume Kasus Posisi & Dakwaan .............................................................................. 3
1.2. Dakwaan & Putusan Hakim ........................................................................................ 5
Pembahasan
2.1. Landasan Teori............................................................................................................. 8
2.2. Analisis Putusan......................................................................................................... 12
Kesimpulan ..................................................................................................................... 15
Daftar Pustaka

2
PENDAHULUAN

1.1 Resume Kasus Posisi

Terdakwa I, Obeth Kosay, Terdakwa II, Toebaga Kilungga, Terdakwa III, Wombi Tabuni,
Terdakwa IV, Wiki Meaga, Terdakwa V. Pdt. Ali Yikwa dan Terdakwa VI, Meki Tabuni
pada hari Sabtu tanggal 20 November 2010, sekitar pukul 11.30 WIT, bertempat di Desa
Wananuk Distrik Yalengga Kabupaten Jayawijaya

Dani Tani Tabuni alias Pes Tabuni adalah pimpinan Organisasi Papua Merdeka wilayah
Moragame. Ia membentuk Organisasi Tentara Revolusi Papua Barat (TRPB) yang
bermarkas di Moragame distrik Asologaima yang mempunyai tujuan memperjuangkan
Papua merdeka dan memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Organisasi TRPB tersebut menggunakan bendera bintang kejora sebagai bendera
organisasi. Untuk memperlancar aksi perjuangan Papua merdeka, maka lelaki Dani Tani
Tabuni melakukan perekrutan orang untuk masuk menjadi anggota TRPB dan saat itu
Terdakwa I, Obeth Kosay, Terdakwa II, Toebaga Kilungga alias Yahya Kilungga,
Terdakwa III, Wombi Tabuni, Terdakwa IV, Wiki Meaga, Terdakwa V. Pdt. Ali Yikwa
alias Ali Wenda dan Terdakwa VI, Meki Tabuni serta saksi Peres Tabuni, saksi Meki
Elosak, saksi Oskar Holago bergabung menjadi anggota TRPB dan setelah itu Dani Tani
Tabuni memberikan tanggungjawab kepada Terdakwa II, Toebaga Kilungga berpangkat
kapten untuk bertugas sebagai komanan kompi, Terdakwa III, Wombi Tabuni dibagian
resertse, Terdakwa V. Pdt. Ali Yikwa sebagai rohaniawan yang melayani masyarakat
anggota TRPB, sedangkan Terdakwa I, Obeth Kosay, Terdakwa IV, Wiki Meaga, dan
Terdakwa VI, Meki Tabuni selaku anggota TRPB.
Pada hari Sabtu tanggal 20 November 2010, di markas TRPB di Muragame, Dani
Tani Tabuni memerintahkan kepada Terdakwa I, Obeth Kosay, Terdakwa III, Wombi
Tabuni, Terdakwa IV, Wiki Meaga, Terdakwa V, Pdt. Ali Yikwa, saksi Meki Elosak dan
saksi Oskar Holago untuk pergi ke rumah duka karena ada salah satu anggota TRPB yang
meninggal dunia bernama Marten Wenda di Desa Wananuk.
Dani Tabuni langsung mengambil bendera organisasi yaitu bendera bintang kejora
yang sudah diikat pada sebuah batang kayu dan 5 buah kartu nama, kemudian
diserahkanlah bendera tersebut kepada Terdakwa IV Wiki Meaga dan kartu nama
langsung dipasangkan oleh Dani Tani Tabuni kepada semua anggota TRPB yang diminta
mengunjungi ke rumah duka tersebut oleh Dani Tabuni. Ia memerintahkan agar mereka

3
melakukan upacara pemakaman dengan cara menancapkan tiang bendera bintang kejora
di samping jenazah, lalu berdoa dan jenazah dikremasi, baru selanjutnya para anggota
TRPB tersebut boleh pulang kembali ke Muragame.
Mereka pun pergi melewati Sungai Baliem menggunakan perahu dan selanjutnya
menuju ke arah Yalengga dan pada saat dalam perjalanan bertemu dengan Terdakwa VI,
Meki Tabuni dan saksi Peres Tabuni yang berada di mobil strada lalu dengan Terdakwa
VI, Meki Tabuni bertanya kepada kepada Terdakwa V, Pdt. Ali Yikwa dan ditanyakan
hendak kemana lalu dijawab hendak pergi ke rumah duka karena Marten Weda
meninggal. Terdakwa VI, Meki Tabuni dan saksi Persi Tabuni turun dari mobil dan
bergabung bersama Terdakwa I. Mereka pun berjalan kaki sepanjang jalan raya menuju
ke rumah duka di Desa Wananuk Distrik Yalengga sambil bendera bintang kejora yang
dibawa oleh Terdakwa IV Wiki Meaga dibiarkan berkibar.
Ketika mereka tiba di depan Pra Koperasi Sukma Desa Wananuk Distrik Yalengga
mereka berhenti berjalan dan bertemu dengan Terdakwa II, Toebaga Kilungga yang
kemudian ikut bergabung dan saat itu Terdakwa IV, Wiki Meaga menurunkan bendera
bintang kejora dengan tiang kayu ditancapkan ketanah dan bendera bintang kejora tetap
berkibar. Saat itu tiba-tiba datang beberapa anggota TNI dan anggota Polisi langsung
menangkap dan membawa Terdakwa I.

1.2 Dakwaan & Putusan Hakim

Dakwaan

Tunggal: Pasal 106 KUHP jo. Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Makar dengan maksud supaya seluruh atau sebagian wilayah negara jatuh ke tangan musuh
atau memisahkan sebagian dari wilayah negara dipidana sebagai pelaku tindak pidana

4
mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan
perbuatan.

Fakta-Fakta Hukum

1. Pada bulan November 2010 Para Terdakwa bertemu dengan Dani Tani Tabuni yang
adalah pimpinan Organisasi Papua Merdeka Wilayah Moragame yang sedang
membentuk Organisasi Tentara Revolusi Papua Barat (TRPB) yang bermarkas di
Moragame distrik Asologaima yang mempunyai tujuan memperjuangkan Papua
merdeka dan memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
2. Para Terdakwa mendaftarkan diri menjadi anggota Tim 1000-TPN/OPM yang tujuan
dari pembentukan Tim 1000-TPN/OPM tersebut adalah untuk mendatangi Presiden
Republik Indonesia dalam rangka meminta kemerdekaan Provinsi Papua dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) serta melepaskan diri dari bagian Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
3. Dani Tani Tabuni menyerahkan bendera Bintang Kejora yang sudah diikatkan pada
sebuah tiang kayu yang langsung diserahkan kepada Terdakwa Wiki Meaga untuk
memegangnya, dan Dani Tani Tabuni juga menyerahkan 5 (lima) buah kartu nama
kepada Terdakwa I. Obeth Kosay, Terdakwa III. Wombi Tabuni, Terdakwa IV. Wiki
Meaga, Terdakwa V. Pdt. Ali Jikwa alias Ali Wenda, saksi Oskar Holago dan saksi
Meki Elosak
4. Dani Tani Tabuni juga memerintahkan agar dilakukan upacara pemakaman dengan
cara membawa bendera Bintang Kejora ke tempat pemakaman Marten yang dilakukan
dengan cara tiang bendera dipanggul dan bendera berada pada posisi diatas dan
dikibarkan, apabila telah sampai ditempat pemakaman bendera tersebut ditancapkan
diatas tempat pemakaman dan dilakukan upacara pemakaman, setelah upacara
pemakaman selesai bendera itu dicabut kembali dan dibawa pulang;
5. Upacara pemakaman hanya dilakukan khusus bagi anggota dari organisasi tersebut
dengan menggunakan bendera milik Organisasi Papua Merdeka bukan bendera
Negera Republik Indonesia, yang mana diketahui organisasi atribut organisasi
tersebut dilarang dan tidak diperbolehkan, digunakan di Negara Republik Indonesia
bukanlah bendera Republik Indonesia
6. Menurut keterangan saksi Fredy Kawandoda, Waren Wandikbo.Sos, Yesala
Wandikbo, Bukali Kenelak, Hubertus Wandikbo Alias Adhi, Oskar Olago, Meki
Elosak dan Peres Tabuni yang dibenarkan oleh Para Terdakwa, bahwa setelah mereka

5
secara bersama-sama dengan mewujudkan kehendaknya dengan cara melakukan yang
dikatakan oleh Dani Tani Tabuni dengan membawa bendera Bintang Kejora yang
diikatkan pada sebuah kayu dengan bendera berada pada posisi atas

Hal yang Memberatkan:

Perbuatan Para Terdakwa tersebut dapat mengancam keutuhan wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia;

Perbuatan Para Terdakwa tersebut dapat menganggu stabilitas keamanan nasional;

Hal Yang Meringankan:

Para Terdakwa belum pernah di hukum;

Para Terdakwa berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatannya;

Para Terdakwa mengakui secara terus terang perbuatannya dan mengaku bersalah;

Para Terdakwa mempunyai tanggungan keluarga;

M E N G AD I LI

1. Menyatakan Terdakwa I. OBETH KOSAY, Terdakwa II. TEOBAGA KILUNGGA alias


YAHYA KILUNGGA, Terdakwa III. WOMBI TABUNI,Terdakwa IV. WIKI MEAGA,
Terdakwa V. Pdt. ALI JIKWA alias ALI WENDA dan Terdakwa VI. MEKI TABUNItelah
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Makar Secara
Bersama-sama

2. Menjatuhkan Pidana terhadap Para Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara
masing-masing selama 8 (delapan) tahun;

3. Menetapkan masa tahanan yang telah dijalani oleh Para Terdakwa dikurangkan seluruhnya
dari Pidana yang dijatuhkan;

4. Menetapkan Para Terdakwa tetap ditahan;

5. Menetapkan barang bukti

6
PEMBAHASAN

2.1 Landasan Teori

Makar berasal dari kata aanslag (Belanda) yang berarti serangan atau aanval yang berarti
suatu penyerangan dengan maksud tidak baik (misdadige aanranding). Makar juga diartikan
sebagai akal busuk; tipu muslihat; perbuatan (usaha) dengan maksud hendak menyerang
(membunuh) orang ataupun perbuatan (usaha) menjatuhkan pemerintah yang sah.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dikenal adanya istilah makar. Namun,
di dalam KUHP tidak memuat definisi tentang apa yang dimaksud dengan makar.

Kepentingan hukum yang harus diberi perlindungan dengan adanya ketentuan makar adalah
keamanan kepala negara, wilayah negara, dan bentuk pemerintahan negara1. Bentuk makar
sebagaimana disebutkan dalam KUHP Pasal 104, Pasal 106, Paal 107, dan Pasal 140 KUHP
dapat digolongkan dalam 3 bentuk yaitu:

- Pertama, makar terhadap kepala negara, terdiri dari: makar yang dilakukan dengan
tujuan untuk membunuh kepala negara, mengalahkan kemerdekaan kepala negara,
dan menjadikan kepala negara tidak dapat menjalankan pemerintahan.
- Kedua, makar untuk memasukkan Indonesia dalam penguasaan asing, yaitu: berusaha
menyebabkan seluruh wilayah Indonesia atau sebagian menjadi jajahan negara lain
dan berusaha menyebabkan bagian dari wilayah Indonesia menjadi suatu negara yang
merdeka atau berdaulat terlepas dari NKRI.
- Ketiga, makar untuk menggulingkan pemerintahan.

Mardjono Reksodiputro di dalam bukunya menyebutkan bahwa, inti dari perbuatan yang
dilarang dalam Bab-I (dari Buku II) KUHP tersebut adalah Makar (treason; verraad),
perbuatan mana yang dimaksud dikategorikan sebagai usaha pengkhianatan terhadap negara
dan bangsa.2

Menurut Mardjono Reksodiputro, makar sebagai kata tersendiri, bukan merupakan konsep
hukum. Kata makar baru berarti apabila dikaitkan dengan suatu perbuatan yang dimaksud
oleh pelakunya. Dengan adanya ketentuan Pasal 87 KUHP menjadi jelas bahwa perbuatan

1 Brig.Jen.Pol.Drs. H.A.K. Moch. Anwar, S.H., Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II) Jilid
I, (PT Citra Aditya Bakti: Bandung, 1989), hlm. 218

2 Mardjono Reksodiputro, Pembaharuan Hukum Pidana (Kumpulan Karangan), Buku Keempat, Pusat Pelayanan Keadilan
dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia, Jakarta, 2007, hal. 115

7
makar tersebut (dalam Pasal 104, Pasal 106, Pasal 107, dan Pasal 140 KUHP) baru ada atau
baru disebut makar apabila ada permulaan pelaksanaan (begin van uitvoering).

Pasal 87 KUHP yang sering dianggap sebagai pengertian dari lembaga makar lebih cocok
bila dikatakan sebagai syarat untuk menentukan bahwa tindak pidana makar baru dianggap
terjadi, yaitu apabila telah dimulainya perbuatan-perbuatan pelaksanaan dari si pembuat
makar.

Jika Makar dan delik percobaan (Poging/Attempt) dilihat berdampingan tersebut terdapat
syarat unsur yang sama, yaitu3

(a) adanya suatu maksud atau voornemen, dalam arti bahwa orang itu haruslah mempunyai
suatu maksud untuk melakukan suatu kejahatan tertentu;

(b) telah adanya suatu permulaan pelaksanaan atau suatu begin van uitvoering, dalam arti
bahwa maksud orang tersebut telah ia wujudkan dalam suatu permulaan untuk melakukan
kejahatan yang ia kehendaki, dan

(c) pelaksanaan untuk melakukan kejahatan yang ia kehendaki itu kemudian tidak selesai
disebabkan oleh masalah yang tidak bergantung pada kemauannya, atau dengan kata lain
tidak selesainya pelaksanaan untuk melakukan kejahatan yang telah ia mulai itu haruslah
disebabkan oleh masalah-masalah yang berada diluar kemauannya sendiri

Mardjono Reksodiputro menegaskan bahwa makar serupa tetapi tidak sama dengan
percobaan (Pasal 53) yang dapat dihukum (strafbare poging) karena meskipun pelakunya
karena kehendaknya sendiri mengundurkan (membatalkan) maksudnya (niatnya), makar tetap
dapat dihukum. Perlu diingat pula bahwa karena makar ini terjadi dengan perbuatan
permulaan pelaksanaan (dalam arti Pasal 53), maka percobaan makar tidak mungkin ada
dalam hukum pidana kita. Hal lain yang juga perlu diingat adalah makar yang berhasil
(Presiden terbunuh, wilayah negara terpisah, pemerintah terguling) tetap akan dituntut
berdasarkan pasal-pasal makar yang diatur dalam Pasal 104, Pasal 106, Pasal 107, dan Pasal
140 KUHP (padahal tindak pidana yang dirumuskan dalam pasal-pasal tersebut melukiskan
perbuatan berupa permulaan pelaksanaan).

Brig. Jen Pol. Drs. D.A.K. Moch. Anwar, S.H., menulis bahwa perbuatan makar yang
merupakan perbuatan percobaan dalam pengertian Pasal 53 KUHP, dijadikan kejahatan yang

3 P.A.F.Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997, hal 536 Delik

8
berdiri sendiri dan dinyatakan sebagai kejahatan yang sempurna. Ini karena makar yang
paling ringan saja sudah merupakan bahaya bagi keamanan negara sehingga menurut
keadilan seharusnya sudah dapat dipertanggungjawabkan4.

Apabila merujuk pada pasal-pasal makar dalam KUHP maka pasal-pasal tersebut
dapat digolongkan sebagai delik formil. Artinya, tidak perlu sampai tergulingnya
pemerintahan untuk dapat dipidana, tapi berencana saja sudah terkena tindak pidana makar.
Ketentuan pasal-pasal makar ini memang sangat luas penafsirannya. Ini karena yang
menetapkan suatu perbuatan dapat dihukum cukup adalah maksud khusus untuk melakukan
makar. Bahkan dapat dikatakan bahwa makar terjadi segera setelah kehendak itu terwujud.

Orang yang berunjuk rasa atau mengadakan rapat-rapat tetapi berniat, bermufakat,
atau berupaya menggulingkan pemerintahan yang sah, dapat terkena delik formil ini karena
makar menurut KUHP tidak harus menunggu selesainya perbuatan, melainkan saat perbuatan
pelaksanaan permulaan, sudah dianggap sebagai perbuatan yang selesai. Tindak pidana makar
dirumuskan secara khusus (makar yang tidak berhasil dan yang berhasil diatur oleh pasal
yang sama) karena mengancam negara.

Kalimat pasal 53 (1) KUHP yang masih ditulis dalam bahasa Belanda menimbulkan
penafsiran yang berbeda, yaitu ia dapat diartikan Pelaksanaan Niat, yang dapat dipakai oleh
penganut teori subyektif, tetapi dapat juga diartikan Pelaksanaan Kejahatan yang lazim
digunakan oleh penganut teori obyektif tentang percobaan.

Apabila dikaitkan dengan delik terhadap keamanan negara, jika dilihat ketentuan yang
terdapat di dalam KUHP maka dibedakan antara Percobaan Melakukan Kejahatan,
Makar, dan Permufakatan Jahat. Pada penjelasan Lamintang tentang syarat daripada
delik percobaan, dalam Pasal 53 KUHP percobaan melakukan kejahatan akan dihukum
apabila telah memenuhi syarat yaitu adanya niat, adanya perbuatan yang dianggap permulaan
pelaksanaan dari niatnya itu serta tidak terjadi kejahatan yang diniati itu semata-mata bukan
kehendak dari pelaku tindak pidana tersebut.

Jadi terhadap makar disyaratkan dua faktor, yaitu adanya niat dan adanya permulaan
pelaksanaan, dan makar hanya dapat dihukum apabila dikaitkan terhadap perbuatan-
perbuatan tertentu saja, yaitu makar terhadap keamanan negara saja.

4 Anwar, S.H., Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II) Jilid I. hlm. 218

9
Hazewinkel-Soeringa mengutarakan empat teori dalam menentukan Delik Politik
(Delik terhadap Keamanan Negara)-yang dikutip oleh Loebby Loqman.5

Keempat teori itu adalah:

1) Teori Obyektif atau disebut juga Teori Absolut

Teori ini mengemukakan bahwa delik politik ditujukan terhadap negara dan berfungsinya
lembaga-lembaga negara.

2) Teori Subyektif atau Teori Relatif

Pada asasnya semua delik umum yang dilakukan dengan suatu tujuan, latar belakang serta
tujuan politik, merupakan suatu delik politik.

3) Teori Predominan

Teori ini membatasi pengertian yang luas dari delik politik, terutama terhadap teori subyektif
atau teori relatif. Dalam hal ini diperhatikan apa yang dominan dari suatu perbuatan.
Apabila yang dominan merupakan suatu kejahatan umum, maka perbuatan tersebut tidak
disebutkan sebagai delik politik

4) Teori Political Incidence

Teori ini melihat perbuatan yang dianggap sebagai bagian dari suatu kegiatan politik.

Delik terhadap keamanan negara di dalam sistem KUHP Indonesia dipergunakan teori
obyektif atau absolute, sedangk/an teori subyektif atau relatif pernah dianut dalam Undang-
undang No.11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi.

5 Loebby Loqman, Delik Politik di Indonesia, Ind-Hill, Jakarta, 1993, hal. 46-47. Perlu diperhatikan dalam uraian tentang
teori-teori di atas, bahwa teori tersebut merupakan hasil klasifikasi suatu keadaan, jadi sifatnya adalah empiris. Bukan
dibentuk oleh suatu teori dan diterapkan teori-teori itu, akan tetapi klasifikasi tersebut didasari oleh bagaimana negara-negara
melihat dan bersikap terhadap suatu perbuatan sebagai suatu delik politik.

10
2.2 Analisis Putusan

Dalam hal putusan No. 38/Pid.B/2011/PN.Wmn unsur-unsur dari makar sendiri seharusnya
ditelusuri lebih lanjut dan dikaitkan dengan dakwaan tunggal Pasal 106 jo. Pasal 55 ayat 1 ke
1 KUHP, sebagaimana berikut:

Ad. 1. Niat untuk itu

Dari unsur ini adalah adanya niat atau tujuan sehingga tidak mungkin makar dilakukan dalam
keadaan lalai. Niat sendiri memang dapat diartikan secara luas maupun sempit. Namun jika
dikembalikan kepada rumusan Pasal 106 KUHP, kata-kata dengan maksud memberikan
pengertian yang cenderung dapat diartikan sebagai voornemen yaitu intention. Sehingga
pengertian niat dalam lembaga makar semata sebagai maksud/tujuan dan bukan gradasi niat
lain yang lebih ringan.

Dalam hal Pasal 106 KUHP, maksud tersebut supaya seluruh atau sebagian wilayah negara
jatuh ke tangan musuh atau memisahkan sebagian dari wilayah negara. Adanya Tentara
Revolusi Papua Barat (TRPB) yang bahkan telah berencana untuk ke Jakarta dan
menanyakan kemerdekaan Papua Barat dari Indonesia berarti bahwa niat yang ada tersebut
sesuai dengan perumusan alternative kedua. Moch. Anwar mengartikan memisahkan
sebagian dari negara sebagai berarti sebagian dari wilayah negara dijadikan negara yang
berdiri sendiri atau negara yang merdeka terlepas dari negara RI yang digolongkan oleh
Wirjono sebagai pengkhianatan intern atau hoogverrad6.

Dapat dikatakan dari adanya organisasi TRPB dan Tim 1000-TPN/OPM yang terbentuk
dibawahnya di mana mereka bertujuan untuk mendatangi Presiden Republik Indonesia dalam
rangka meminta kemerdekaan Provinsi Papua dari Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) serta melepaskan diri dari bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), telah
terwujudlah niat tersebut.

Ad. 2. Permulaan Pelaksanaan

Permulaan pelaksanaan adalah tindakan yang berlanjut dari suatu niat tersebut. Van
Bemmelen berpendapat bahwa karena makar adalah kejahatan terhadap keselamatan negara
maka sudah sepantasnya dihentikan sedini mungkin bahkan dari tahap persiapan. Van Hamel
berpendapat bahwa perbuatan yang menggambarkan sikap batin pembuat yang berbahaya

6 Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, (Refika Aditama:
Bandung, 2003), hlm. 199

11
cukup sebagai permulaan pelaksanaan7. Sedangkan Pompe mengartikan permulaan
pelaksanaan sebagai setiap tindakan yang memungkinkan pelaksanaan penyelesaian dari
kejahatan tersebut. Dan Moeljatno mengartikannya sebagai perbuatan yang secara potensial
mengara/mendekatkan kepada delik yang dituju atau paling tidak memberikan gambaran dari
delik yang dituju8.

Dalam hal perkara di Wamena, jika mengacu pada pengertian Pompe akan permulaan
pelaksanaan, harus dilihat dari fakta hukum adalah apakah TRPB dan tim bentukan di
bawahnya mempunyai kemampuan (resources) untuk menyelesaikan makar pemisahan
wilayah negara. Jika ditinjau dari adanya organisasi yang mengikutsertakan pangkat-pangkat,
sistem rekrutmen, bahkan kartu-kartu anggota dan prosedur pemakaman yang membawa
bendera Papua merdeka yang dilarang oleh pemerintah Indonesia, tidak menggambarkan
dengan meyakinkan kemungkinan para anggota-anggota TRPB mencapai penyelesaian delik
makar pemisahan wilayah Papua Barat dari RI. Apakah mereka memang mempunyai
kemampuan untuk memisahkan secara paksa maupun tidak secara paksa wilayah yang
dimaksud? Dalam putusan bahkan tidak tergambarkan apakah mereka memang betul dapat
menerbangkan anggota-anggotanya untuk bertemu Presiden dan meminta kemerdekaan
Papua Barat sesuai dengan tujuan tim bentukannya.

Pada saat yang bersamaan jika berpedoman pada pendapat para sarjana seperti Van
Bemmelen, Van Hamel, dan Moeljatno, cukuplah bahwa adanya nama yang provokatif
(Tentara Revolusi Papua Barat), organisasi yang jelas, perlengkapan keanggotaan yang rumit
dan membawa kesan telah terbentuk suatu lembaga yang dapat mengakomodir kemerdekaan
Papua Barat, sudah jelas permulaan pelaksanaan yang menggambarkan sikap batin yang
berbahaya serta gambaran atas delik yang dituju. Apalagi bahwa delik yang dituju
mengancam keselamatan negara RI sehingga sudah seharusnya dihentikan sedini mungkin.

Sebagai negara yang memang harus menjaga kedaulatan, kesatuan dan wibawanya atas
wilayah negara, dapat dipahami mengapa majelis hakim tampaknya tidak menelusuri lebih
lanjut kemampuan para anggota-anggota TRPB yang didakwa untuk melaksanakan makar
tersebut dan justru lebih mementingkan perwujudan-perwujudan niat lain sesuai penjabaran

7 E.Y. Kanter, S.H. dan S.R. Sianturi, S.H., Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya, (Jakarta : Storia Grafika,2012), hlm. 319

8 Ibid., hlm. 322

12
dalam putusan. Majelis hakim lebih setuju terhadap teori subyektif dalam hal penguraian
unsur permulaan pelaksanaan.

Kelemahan dalam putusan No. 38/Pid.B/2011/PN.Wmn adalah walaupun majelis hakim


memasukkan beberapa teori sarjana hukum dalam pertimbangannya, pertimbangan tersebut
tidak mengaitkan unsur-unsur makar dengan fakta-fakta hukum yang ada. Penguraian unsur
Pasal 106 KUHP pun dilakukan secara keseluruhan sehingga tidak tergambarkan dengan jelas
bagaimana unsur dengan maksud dan pemisahan wilayah terpenuhi.

13
Penyertaan

Pasal 55 KUHP:
(1) Dihukum sebagai orang yang melakukan peristiwa pidana:
1. Orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan, atau turut melakukan perbuatanitu;
2.Orang yang dengan pemberian, perjanjian, salah memakai kekuasaan atau pengaruh,
kekerasan, ancaman atau tipu daya atau dengan memberi kesempatan, daya upaya atau
keterangan, sengaja membujuk untuk melakukan sesuatu perbuatan.
(2) Tentang orang-orang yang tersebut dalam sub 2e itu yang boleh
dipertanggungjawabkan kepadanya hanyalah perbuatan yang dengan sengaja dibujuk oleh
mereka itu, serta dengan akibatnya.

R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana


(KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal menjelaskan mengenai
apa yang dimaksud dengan orang yang turut melakukan (medepleger) dalam Pasal 55
KUHP. Menurut R. Soesilo, dalam arti kata bersama-sama melakukan:

Sedikit-dikitnya harus ada dua orang, ialah orang yang melakukan (pleger) dan orang
yang turut melakukan (medepleger) peristiwa pidana.

Lalu, kedua orang itu semuanya melakukan perbuatan pelaksanaan, yakni melakukan
anasir atau elemen dari peristiwa tindak pidana itu. Tidak boleh misalnya hanya melakukan
perbuatan persiapan saja atau perbuatan yang sifatnya hanya menolong, sebab jika demikian,
maka orang yang menolong itu tidak masuk medepleger akan tetapi dihukum sebagai
membantu melakukan (medeplichtige) dalam Pasal 56 KUHP.

Dalam kasus ini, para Terdakwa mengetahui bahwa Dani Tani Tabuni, pimpinan
Organisasi Papua Merdeka Wilayah Moragame sedang membentuk Organisasi Tentara
Revolusi Papua Barat (TRPB) yang bermarkas di Moragame distrik Asologaima yang
mempunyai tujuan memperjuangkan Papua merdeka dan memisahkan diri dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan tengah membuka rekruitmen anggota. Para
terdakwa pun mengikuti rekruitmen anggota yang tengah dibuka oleh TRPB tersebut. (Lihat
fakta hukum: Para Terdakwa mendaftarkan diri menjadi anggota Tim 1000-TPN/OPM yang
tujuan dari pembentukan Tim 1000-TPN/OPM tersebut adalah untuk mendatangi Presiden
Republik Indonesia dalam rangka meminta kemerdekaan Provinsi Papua dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) serta melepaskan diri dari bagian Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI))

14
Dengan demikian para terdakwa mengetahui maksud dari pembentukan organisasi
TRPB yakni untuk memperjuangkan Papua merdeka dan maksud pembentukan anggota Tim
1000-TPN/OPM yang merupakan bagian dari TRPB tersebut adalah untuk dipersiapkan guna
mendatangi Presiden Republik Indonesia dalam rangka meminta kemerdekaan Provinsi
Papua dari NKRI serta melepaskan diri dari bagian NKRI. Ketika para terdakwa telah
mengetahui dan dengan kesadaran penuh, tanpa paksaan dari siapapun bersedia bergabung
menjadi anggota, maka terdakwa mengetahui dan tetap setuju dengan tujuan pembentukan
TRPB.

Pada saat Dani Tani Tabuni memerintahkan para terdakwa untuk pergi ke rumah duka
salah satu anggota TRPB yang meninggal dunia, lalu menyerahkan bendera bintang kejora
yang bukan bendera NKRI serta melakukan upacara keagamaan khusus bagi anggota TRPB
tersebut, terdakwa juga mengetahui kondisi demikian dengan sadar. Yakni bahwa bendera
yang diminta untuk dikibarkan bukanlah bendera NKRI dan upacara keagamaan yang
diminta dilaksanakan merupakan upacara khusus. (Lihat fakta hukum: Dani Tani Tabuni
memerintahkan agar dilakukan upacara pemakaman dengan cara membawa bendera Bintang
Kejora ke tempat pemakaman Marten yang dilakukan dengan cara tiang bendera dipanggul
dan bendera berada pada posisi diatas dan dikibarkan, apabila telah sampai ditempat
pemakaman bendera tersebut ditancapkan diatas tempat pemakaman dan dilakukan upacara
pemakaman, setelah upacara pemakaman selesai bendera itu dicabut kembali dan dibawa
pulang) Selain itu, para terdakwa juga mengenakan kartu anggota.

Upacara pemakaman hanya dilakukan khusus bagi anggota dari organisasi tersebut
dengan menggunakan bendera milik Organisasi Papua Merdeka bukan bendera Negara
Republik Indonesia, yang mana diketahui bahwa atribut organisasi tersebut dilarang dan tidak
diperbolehkan, digunakan di Negara Republik Indonesia bukanlah bendera Republik
Indonesia.

Sehingga, secara bersama-sama, yakni para terdakwa kesemuanya telah melakukan


perbuatan pelaksanaan dalam rangka mencapai tujuan bersama, dimana perbuatan
pelaksanaan itu dapat ditunjukkan dengan mulai dari bergabung dalam TRPB sebagai
anggota Tim 1000-TPN/OPM, bersedia pergi ke rumah duka salah satu anggota TRPB yang
meninggal dunia dan melaksanakan upacara pemakaman khusus dengan mengibarkan
bendera selain bendera NKRI yakni bendera organisasi terlarang, serta mengenakan kartu
anggota organisasi tersebut sebagai tanda pengenal.

15
Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H., dalam bukunya yang berjudul Asas-Asas
Hukum Pidana di Indonesia halaman 123, mengutip pendapat Hazewinkel-Suringa, Hoge
Raad Belanda yang mengemukakan dua syarat bagi adanya turut melakukan tindak pidana,
yaitu:
Kesatu, kerja sama yang disadari antara para turut pelaku, yang merupakan suatu
kehendak bersama di antara mereka;
Kedua, mereka harus bersama-sama melaksanakan kehendak itu.

Lebih lanjut, Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro menjelaskan mengenai perbedaan antara
turut melakukan dan membantu melakukan. Menurutnya, berdasarkan teori subjektivitas,
ada 2 (dua) ukuran yang dipergunakan: Ukuran kesatu adalah mengenai wujud
kesengajaan yang ada pada di pelaku, sedangkan ukuran kedua adalah
mengenai kepentingan dan tujuan dari pelaku.

Ukuran kesengajaan dapat berupa; (1) soal kehendak si pelaku untuk benar-benar
turut melakukan tindak pidana, atau hanya untuk memberikan bantuan, atau (2) soal
kehendak si pelaku untuk benar-benar mencapai akibat yang merupakan unsur dari tindak
pidana, atau hanya turut berbuat atau membantu apabila pelaku utama menghendakinya.

Sedangkan, ukuran mengenai kepentingan atau tujuan yang sama yaitu apabila si
pelaku ada kepentingan sendiri atau tujuan sendiri, atau hanya membantu untuk memenuhi
kepentingan atau untuk mencapai tujuan dari pelaku utama.
Dalam turut melakukan ada kerja sama yang disadari antara para pelaku dan mereka
bersama sama melaksanakan kehendak tersebut, para pelaku memiliki tujuan dalam
melakukan tindak pidana tersebut.

Penjelasan Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro relevan jika dikontekstualisasikan dengan


bagaimana ketika Dani Tani Tabuni menyerahkan bendera Bintang Kejora yang sudah
diikatkan pada sebuah tiang kayu kepada Terdakwa Wiki Meaga untuk memegangnya, dan
Dani Tani Tabuni juga menyerahkan 5 (lima) buah kartu nama kepada Terdakwa I. Obeth
Kosay, Terdakwa III. Wombi Tabuni, Terdakwa IV. Wiki Meaga, Terdakwa V. Pdt. Ali Jikwa
alias Ali Wenda, saksi Oskar Holago dan saksi Meki Elosak, para Terdakwa menerimanya
dengan baik dan mereka secara bersama-sama dengan mewujudkan kehendaknya dengan cara
melakukan yang dikatakan oleh Dani Tani Tabuni (melaksanakan upacara pemakaman
khusus) dengan membawa bendera Bintang Kejora yang diikatkan pada sebuah kayu dengan
bendera berada pada posisi atas.

16
KESIMPULAN

Pengertian dasar yang tumpang tindih dari awal membuat penjatuhan keputusan mengenai
makar sulit. Syarat-syarat dari makar tersebut memang diatur oleh KUHP, namun apakah
makar harus diartikan sebagai suatu anslaag atau serangan fisik sesuai istilah dari bahasa asal
pengaturan tersebut atau justru dapat diartikan secara luas sebagai suatu tindakan yang
merugikan kepentingan hukum negara, dalam hal ini berarti wilayah negara RI.

Secara teori, memang dapat dipahami mengapa negara seharusnya dan sepantasnya menindak
tindak kejahatan makar sedini mungkin karena dapat mengancam keberadaan negara
Republik Indonesia dalam keutuhannya. Namun jika makar diartikan terlalu luas,
kemungkinan terjadinya pelanggaran hak atas warga negaranya sendiri. Sehingga memang
pantas bahwa setiap dugaan makar dinilai dari apakah pada akhirnya potensi untuk
penyelesaian tindakan makar yang dituju memang ada, selain adanya niat yang nyata. Majelis
hakim dan aparat penegak hukum mempunyai tugas yang berat dalam penentuan apakah
suatu tindakan dapat digolongkan ke dalam lembaga makar, justru seharusnya lebih sesuai
dengan rumusan pasal lain atau bahkan seharusnya memang tidak dilihat sebagai suatu tindak
pidana dari awal.

17
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Anwar, S.H., Brig.Jen.Pol.Drs. H.A.K. Moch. Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP
Buku II) Jilid I. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1989.

Kanter, S.H., E.Y. dan Sianturi, S.H., S.R. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia
dan Penerapannya. Jakarta: Storia Grafika, 2012.

Lamintang, P.A.F. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Citra Aditya


Bakti, 1997

Loqman, Loebby. Delik Politik di Indonesia. Jakarta: Ind-Hill, 1993

Mardjono Reksodiputro. Pembaharuan Hukum Pidana (Kumpulan Karangan). Buku


Keempat. Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga
Kriminologi) Universitas Indonesia, 2007

Prodjodikoro, Prof. Dr. Wirjono. Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia.


Bandung: Refike Aditama, 2011.

Putusan Pengadilan

Pengadilan Negeri Wamena, Putusan No. 38/Pid.B/2011/PN.Wmn

Peraturan Perundang-Undangan

Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

18
19

Anda mungkin juga menyukai