ISSN 1410-9891
Abstrak
Indonesia yang berada pada daerah katulistiwa memiliki kondisi alam yang subur dan menyimpan
keanekaragaman sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan. Industri tekstil dalam bidang
pewarnaan alam selama ini menggunakan zat warna sintetik sebagai bahan pewarna.
Penggunaan pewarna sintetis pada pewarnaan tekstil akan menimbulkan dampak bagi
lingkungan, antara lain pencemaran tanah, air, udara dan dampak langsung pada kesehatan
manusia. Sehingga pada saat ini berkembang penelitian mengenai zat warna alami yang dapat
dimafaatkan sebagai bahan pewarna pada industri tekstil. Zat warna alam ini dimaksudkan untuk
dapat mengurangi pencemaran lingkungan dan memanfatkan sumber daya alam. Bahan pewarna
alami yang terkandung dalam suatu sumber daya alam terdapat dalam senyawa Tanin. Salah satu
sumber Tanin adalah daun dari tanaman teh (Camelia sinensis sp.), di mana dari hasil analisa
senyawa Tanin yang terdapat dalam daun teh adalah 15,65%. Makalah ini berisi mengenai uraian
hasil penelitian isolasi Tanin dari daun teh yang digunakan sebagai pewarnaan pada kain kapas.
Diharapakan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai kajian untuk memanfaatkan limbah
daun teh sebagai bahan pewarna alam yang ramah lingkungan.
1. Pendahuluan
A. Teh
Tanaman teh dengan nama latin Camelia Sinensis, yang masih termasuk keluarga Camelia, pada
umumnya tumbuh di daerah yang beriklim tropis dengan ketinggian antara 200 s/d 2.000 meter diatas
permukaan laut dengan suhu cuaca antara 14 s/d 25 oC. Ketinggian tanaman dapat mencapai 9 meter untuk teh
Cina dan teh Jawa, sedangkan untuk teh jenis Assam dapat mencapai 12 s/d 20 meter. Namun untuk
mempermudah pemetikan daun-daun teh sehingga mendapatkan pucuk daun muda yang baik, maka pohon teh
selalu dijaga pertumbuhannya ( dipotong ) sampai 1 meter. Kandungan tanah untuk pertumbuhan yang baik yaitu
tanah yang bereaksi sedikit asam, dengan pH 5 6. Tanaman teh dapat diperbanyak melalui: biji (generatif) dan
penempelan, penyambungan, pencangkokan, dan stek (vegetatif).
Tanaman teh selain dimanfaatkan untuk minuman, juga bisa digunakan sebagai bahan-bahan kosmetik.
Di antaranya, untuk lotion cream, antiseptik, produk-produk perawatan rambut macam shampo atau conditioner;
perawatan mulut seperti pasta gigi, mouthwash, dan pelindung bibir, deodoran, produk pembersih macam sabun
atau pembersih kulit, perawatan tubuh seperti hand & body lotion, perawatan kaki, dan produk-produk pelindung
tubuh dari sengatan matahari atau yang diperlukan selama perjalanan. Senyawa antioksidan di dalam teh yang
disebut polyphenol misalnya, diketahui memiliki kemampuan melawan kanker. Senyawa yang sama juga
memberi efek positif berupa pencegahan penyakit jantung dan stroke. Senyawa antioksidan tersebut dapat pula
memperlancar sistem sirkulasi, menguatkan pembuluh darah, dan menurunkan kadar kolesterol dalam darah.
Dengan polyphenol, teh membantu pula dalam penambahan jumlah sel darah putih yang bertanggung jawab
melawan infeksi. Bahkan, polyphenol mengurangi pembentukan plak dengan mempengaruhi kerja bakteri mulut.
Beragam manfaat teh tentu tak lepas dari keberadaan senyawa-senyawa organik dan senyawa anorganik
yang bisa ditemukan dalam daun teh, diantaranya adalah polyphenol, sejumlah vitamin (niacin atau vitamin B
kompleks seperti vitamin B1 dan B2, serta vitamin C, E, dan K), dan mineral (antara lain mangan, potasium, dan
fluor). Di dalam teh juga terkandung kafein, asam nikotinat, dan asam pantotenat. Pada teh hijau juga ditemukan
adanya catechin, r-amino butyric acid, flavonoid, polisakarida, dan fluoride.
Perancangan Produk 1
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Proses Kimia V 2003
ISSN 1410-9891
Kandungan bahan kimia dalam daun teh adalah :
2. Tinjauan Pustaka
A. Senyawa Tanin
Senyawa Tanin yang dikenal sebagai senyawa substantif yang terdapat di dalam tanaman, yang
mempunyai peranan dalam mengubah kulit binatang yang mudah rusak menjadi bentuk yang stabil dan awet
melalui proses penyamakan. Senyawa Tanin pada umumnya terdapat pada setiap tanaman yang letak dan
jumlahnya berbeda tergantung pada jumlah tanaman, umur organ-organ dari tanaman itu sendiri. Pada beberapa
tanaman kulit kayunya banyak mengandung Tanin, sedangkan pada tanaman lain Tanin berasal dari getahnya.
Perbedaan bagian gel juga menentukan, misalnya pada buah lebih banyak kandungan Taninnya daripada bagian
tanaman lainnya.
Konsentrasi Tanin berkurang dengan semakin masaknya buah, yang merupakan akibat terjadinya
polimerisasi Tanin. Secara visual hal ini dapat dihilangkan suatu zat berupa protein bersifat seperti susu dan peka
terhadap panas. Kandungan Tanin pada tanaman atau buah sangat tergantung pada perkembangannya. Misalnya
pada buah apel, Tanin mencapai kandungan tertinggi pada waktu buah masih muda dan menurun setelah tua.
Keadaan tersebut berlaku juga pada buah lain. Tanin pada buah ternyata mempunyai sifat sebagai pengawet
alami yaitu dapat mengumpulkan senyawa alkoloid. Di dalam tumbuhan letak Tanin terpisah dari protein dan
enzim yang terdapat dalam sitoplasma, tetapi bila jaringan rusak maka reaksi penyamakan dapat terjadi. Tanin
disebut juga asam tanat dan asam galatanat.
B. Penggolongan Tanin
Tanin adalah senyawa fenolik yang mempunyai berat molekul 500- 3000 gram/mol dan dapat bereaksi
dengan protein membentuk senyawa komplek yang tidak larut. senyawa Tanin dapat dibagi menjadi dua macam
yaitu Tanin yang dapat dihidrolisa dan Tanin yang terkondensasi (condensed Tanin). Tanin terkondensasi
banyak terdapat pada buah-buahan, biji-bijian dan tanaman lain yang dapat dimanfaatkan manusia sebagai
makanan, sedangkan Tanin yang dapat terhidrolisa banyak terdapat pada kelompok tanaman yang bukan
makanan (non edible food).
Tanin yang dapat terhidrolisa terdiri dari 1 molekul glikosida yang terikat pada fenolik. Ada tiga macam
yang dapat terhidrolisa, yaitu galotanin yang bisa terhidrolisa menjadi glukosa dan asam galat, galoid ester dari
asam kuinat, serta elegi Tanin yang bila terhidrolisa menjadi asam elagat dan glukosa. Tanin terhidrolisa
penyebarannya terbatas pada tanaman berkeping dua.
Tanin terkondensasi atau Tanin terhidrolisa atau sering disebut pro anthosianidin, merupakan polimer
dari katekin dan epikatekin, atau 1euko anthosianidin. Katetin dan epikatekin merupakan senyawa isomer. Tanin
terkondensasi bila dipanaskan dalam larutan mineral akan berbentuk sianidin atau anthosianidin yang berwama
merah. Tanin terkondensasi adalah golongan Tanin yang mempunyai struktur kompleks yang tidak dapat
dihidrolisa, satu-satunya penyusun dihubungkan melalui rantai C-C. struktur monomer katekin dan
leukoanthosianidin.
Perancangan Produk 2
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Proses Kimia V 2003
ISSN 1410-9891
Larutan Tanin dalam air dan gelatin akan memberikan endapan, dengan ferri klorida larutan pereaksi
akan memberikan warna hitam kebiruan yang bila ditambah H2SO4 encer wamanya akan hilang dan terbentuk
wama coklat kekuningan. Dengan garam ferri sianida dapat membentuk wama biru prusi Senyawa Tanin
merupakan salah satu penyebab rasa sepat (astrigency), selain itu juga menimbulkan warna kecoklatan pada
bahan. Tanin mudah dikenal karena membentuk larutan berwarna dan endapan besi atau logam lainnya.
Senyawa Tanin tidak larut dalam pelarut lemak seperti eter, kloroform, benzena dan sedikit larutan
dalam etil asetat, sedangkan dalam air dan alkohol Tanin akan larut dan kemudian membentuk larutan koloidal.
Di dalam larutan basa Tanin mudah larut dan membentuk garam tanat. Tanin mudah beroksidasi menjadi kuinon
yang mempunyai reaktivitas yang tinggi. Kuinon dapat membentuk polimer dengan cepat, dapat mengoksidasi
gugus dasar protein dan reaksi dapat lebih cepat dalam membentuk ikatan kovalen dengan protein.
OH
C C C C
OH C C C C C
C C
C C C OH
C C OH
OH
D. Zat Warna
Suatu benda dikatakan berwarna adalah berdasarkan adanya rasa penglihatan yang disebabkan adanya
daya yang diserap, dipantulkan atau dipancarkan pada panjang gelombang tertentu. Zat warna adalah suatu zat
yang dapat digunakan untuk mewarnai suatu benda sehingga akan memberikan suatu bentuk warna. Zat warna
dapat digolongkan menurut sumber diperolehnya yaitu zat warna alam dan zat warna sintetik, Vah Croft
membaginya berdasarkan pemakaiannya, misalnya zat warna yang langsung dapat mewarnai serat yang
disebutnya zat warna substantif dan zat warna yang memerlukan zat-zat pembantu pokok supaya dapat mewarnai
serat yang disebut zat warna reaktif. Hennek membagi zat warna menjadi dua bagian menurut yang
ditimbulkannya, yakni zat warna monogenetik apabila memberikan hanya satu warna dan zat warna poligenetik
apabila dapat memberikan beberapa jenis warna.
Tetapi penggolongan yang lebih umum merupakan penggolongan yang berdasarkan bentuk kimia zat
warna yakni melihat gugusan, ikatan atau inti yang memberikan ciri misalnya : zat warna Nitroso, Nitro, Azo,
Stilben, Difenil metan, Trifenil metan, Santan, Akridin, Kwinolin, Indamin, Metin, Tiazon, Indofenol, azin sazin,
Lakton, Aminokwinon, Hidroksiketon, Indigoida, Antrakwinon, Ptalosian.
Perkembangan yang pesat dari industri tekstil akan mengakibatkan meningkatnya kebutuhan bahan zat
warna yang berguna untuk mewarnai bahan-bahan tekstil. Dewasa ini dipergunakan bermacam-macam jenis zat
warna bergantung pada jenis serat yang akan diwarnai, macam warna dan tahan luntur yang diinginkan, dan
faktor-faktor teknis dan ekonomis lainnya. Di dalam praktek zat warna tekstil tidak digolongkan berdasarkan
struktur kimianya, melainkan berdasarkan sifat-sifat pencelupan ataupun cara penggunaannya. Tiap-tiap jenis
zat warna mempunyai kegunaan tertentu dan sifat-sifat yang tertentu pula. Pemilihan jenis zat warna yang akan
dipakai bergantung pada bermacam-macam faktor antara lain : jenis serat yang akan diwarnai, macam warna
yang dipilih dan warna-warna yang tersedia di dalam jenis zat warna, tahan luntur warna yang diinginkan,
peralatan produksi yang tersedia dan biaya.
3. Landasan Teori
A. Ekstraksi
Ektraksi merupakan proses pemisahan suatu zat menjadi komponen-komponennya dengan
menggunakan pelarut sebagai pemisah. Dikenal dua macam ekstraksi, yaitu : ekstraksi cair-cair dan ekstraksi
padat cair. Dalam ekstraksi cair-cair, campuran dua komponen dikontakkan dengan suatu pelarut yang lebih
banyak melarutkan salah satu atau beberapa komponen di dalam campuran itu. Campuran yang telah diolah
Perancangan Produk 3
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Proses Kimia V 2003
ISSN 1410-9891
dengan cara itu disebut rafinat dan fase yang kaya akan pelarut disebut ekstrak, dan komponen yang tertinggal di
dalam rafinat disebut diluen. Pada ekstraksi cair padat, bahan-bahan yang dapat larut dilarutkan dari keadaan
tercampur dengan zat padat yang tak aktif dengan bantuan pelarut cair. Bahan-bahan yang terlarut akan
berpindah fase dari padat ke cairan atau dari padatan ke pelarut. Bahan-bahan yang terlarut kemudian dapat
dipulihkan melalui evaporasi atau kristalisasi.
Faktor-faktor yang berpengaruh pada proses ekstraksi adalah :
1. Suhu
Dengan semakin tinggi suhu, kelarutan zat terlarut (solute) dalam pelarut (solven) akan semakin besar,
selain itu kecenderungan pembentukan emulsi berkurang pada suhu yang lebih tinggi.
2. Ukuran zat terlaut
Permukaan bahan yang diekstraksi yaitu permukaan bidang antar muka (interface) untuk perpindahan
massa antara zat terlarut dengan pelarut harus sebesar mungkin. Pada ekstraksi padat cair hal tersebut dapat
dicapai dengan memperkecil bahan ekstraksi dan pada proses ekstraksi digunakan alat pengaduk untuk
menghomogenkan zat cair tersebut.
3. Waktu ekstraksi
Semakin lama waktu ekstraksi maka kontak antara zat terlarut dengan pelarut akan semakin lama,
sehingga jumlah zat terlarut yang terambil akan semakin besar. Tetapi waktu ekstraksi dibatasi keadaan
kesetimbangan, yaitu keadaan dimana kecepatan zat terlarut yang berpindah ke pelarut sama dengan kecepatan
zat terlarut yang berpindah dari pelarut.
4. Jenis pelarut
Pemilihan pelarut didasarkan pada berbagai pertimbangan, antara lain : kelarutan, kemampuan tidak
saling bercampur, kerapatan, dan titik didih. Pelarut yang digunakan mempunyai harga yang murah, tersedia
dalam jumlah yang besar, tidak beracun, tidak mudah terbakar, tidak korosif, tidak beraksi dengan ekstrak, tidak
menyebabkan terbentuknya emulsi dan stabil secara kimia.
5. Perbandingan Pelarut dengan Bahan yang diekstraksi
Pada perbandingan yang rendah akan mengakibatkan kekentalan campuran akan semakin meningkat,
sehingga tumbukan antar molekul-molekul dalam pelarut akan makin berkurang, dan perpindahan massa akan
lambat. Pada perbandingan yang tinggi perpindahan massa akan lebih cepat. Hal ini disebabkan oleh makin
bebasnya molekul-molekul sehingga frekuensi tumbukan makin besar. Meskipun penambahan air akan
memperbesar perolehan zat terlarut, tetapi penambahan air yang berlebihan perlu dihindari, karena hasil yang
terlalu encer akan meningkatkan waktu dan biaya pemekatan untuk mendapatkan hasil yang murni.
B. Pencelupan
Pencelupan adalah melarutkan zat warna ke dalam air atau medium lain, kemudian memasukkan bahan
tekstil kedalam larutan tersebut sehingga terjadi penyerapan zat warna kedalam serat. Berbagai macam jenis obat
bantu yang digunakan misalnya garam, asam, alkali atau lainnya di tambahkan ke dalam larutan celup lalu
pencelupan diteruskan hingga memperoleh warna yang dikehendaki. Keberhasilan suatu proses pencelupan
sangat dipengaruhi beberapa faktor yang mendukung seperti suhu, pengadukan, kesadahan air, dan sebagainya.
Pada setiap akhir proses pencelupan selalu disertai dengan proses pencucian dan pengeringan dengan maksud
untuk menghilangkn sisa -sisa zat warna yang hanya menempel pada bahan dan sisa zat bantu
Pada dasamya mekanisme penyerapan zat warna terdiri dari dua tahap :
Tahap penyerapan zat warna ke dalam serat, pada tahap ini tidak terjadi reaksi antara zat warna dengan
serat, dan zat warna lebih banyak terserap kedalam serat daripada terhidrolisa, proses penyerapan ini di
bantu dengan penambahan elektrolit.
Tahap fiksasi, yaitu tahap terjadinya reaksi antara zat warna dengan serat, ini terjadi setelah penambahan
alkali.
4. Pelaksanan Penelitian
A. Bahan baku
Bahan baku yang digunakan adalah daun teh sebagai ekstrak senyawa Tanin dan air sebagai pelarut. Dismaping
itu juga digunakan bahan pembantu seperti : tawas, soda abu dan TRO.
B. Alat Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian ini digambarkan pada Gambar 2.
Perancangan Produk 4
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Proses Kimia V 2003
ISSN 1410-9891
2. 1.
3.
Keterangan Gambar :
5. 1. Pengaduk
2. Pendingin balik
3. Termometer
4. Pemanas
4.
5. Labu leher tiga
C. Cara Penelitian
a. Proses penyediaan bahan zat wama dari daun teh
Daun teh yang telah disiapkan dibersihkan dari kotoran-kotoran yang menempel dengan menggunakan air.
Kemudian dijemur di bawah sinar matahari sampai kering kemudian ditumbuk dan disaring sampai diperoleh
bubuk daun teh yang halus.
c. Proses Mordanting
Merupakan perlakuan awal pada kain yang akan diwarnai. Mordanting dimaksudkan agar lemak, minyak, kanji
dan kotoran yang tertinggal pada proses penenunan, dapat dihilangkan dan zat pewarna dapat langsung terserap
oleh serat kain.
c. Proses pencelupan
Hasil yang diperoleh digunakan untuk mencelup kain kapas dan kemudian hasil celupan difiksasi
dengan tawas. Kain yang akan diwarnai dibasahi dengan TRO yang dilarutkan dalam air kemudian ditiriskan.
Kemudian kain dimasukkan ke dalam larutan hasil ekstraksi sambil dibolak-balik supaya rata, ditirkan sebentar
lalu dicelup lagi (dilakukan sebanyak 4 kali) dan didiamkan selama 15 menit. Kain kemudian diangkat dan
dikeringkan tanpa diperas.
e. Proses pengujian
Pengujian yang dilakukan adalah pengujian tahan luntur warna terhadap gosokan, pengujian tahan
luntur warna terhadap pencucian sabun dan pengujian ketuaan warna. Pengujian tahan luntur warna terhadap
gosokan dimaksudkan untuk menentukan penodaan tekstil berwarna pada kain lain yang disebabkan karena
gosokan. Pengujian ketuaan warna dilakukan dengan menggunakan alat spektrofotometer dan membandingkan
nilai K/S untuk tiap hasil yang diujikan.
Perancangan Produk 5
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Proses Kimia V 2003
ISSN 1410-9891
5. Hasil Penelitian dan Pembahasan
Ketahanan luntur warna terhadap gosokan yang baik adalah yang mempunyai nilai 3 4, sedangkan
nilai 2 3 menunjukkan ketahanan luntur warna terhadap gosokan yang jelek. Pada pengujian tahan luntur
warna terhadap gosokan diperoleh nilai rata-rata yang paling baik pada perbandingan volume pelarut dengan
berat daun teh 1 : 25, hal ini menunjukkan bahwa kekuatan ikatan zat warna pada kain lebih besar dibandingkan
hasil penelitian yang lain.
Pada pengujian tahan luntur warna terhadap pencucian sabun ini digunakan sabun netral. Dari hasil
pengujian dapat dilihat bahwa tahan luntur warna terhadap pencucian sabun mempunyai nilai antara 2 3. Hal
ini disebabkan karena pencampuran tawas yang kurang sempurna sehingga ada beberapa bagian yang tidak larut
dalam pelarutnya sehingga bahan pewarna tidak meresap ke dalam kain namun hanya menempel pada bagian
luar kain. Zat warna yang menempel ini akan lepas pada saat pencucian. Dari hasil pengujian juga terlihat bahwa
pengaruh perbandingan volume pelarut dengan berat daun teh dan waktu ekstraksi terhadap hasil uji yang
diperoleh. Untuk perbandingan volume pelarut dengan berat daun teh 1 : 25 diperoleh nilai tahan luntur warna
terhadap pencucian sabun rata-rata yang paling besar.
Pengujian ketuaan warna dilakukan untuk mengetahui reflektansi pada masing-masing sampel hasil
penelitian pada panjang gelombang yang sama. Berdasarkan nilai reflektansi dapat diperoleh nilai K / S yang
menunjukkan ketuaan warna. Nilai K / S yang tinggi berarti nilai ketuaan warna juga tinggi, nilai K / S yang
Perancangan Produk 6
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Proses Kimia V 2003
ISSN 1410-9891
rendah berarti nilai ketuaan warna juga rendah. Pada pengujian ini diperoleh nilai K / S yang paling besar adalah
pada perbandingan volume pelarut dengan berat daun teh 1 : 25.
1.5
1.25
1
K/S
0.75
0.5
0.25
0
0 10 20 30 40 50 60 70
Waktu, menit
6. Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang diperoleh dan pengujian terhadap kain maka dapat diambil kesimpulan bahwa
Tanin yang diperoleh, daun teh dapat digunakan sebagai alternatif zat pewarna alami.
Daftar Pustaka
Budiarti, Widayat, Isminingsih G., Wibowo Moerdoko, (1975), Evaluasi Tekstil Bagian Kimia. Institut
Teknologi Tekstil, Bandung.
Isminingsih Gitopadmojo, (1978), Pengantar Kimia Zat Warna, Institut Teknologi Tekstil, Bandung.
McCabe, W.L., Smith, J.C., Harriot, P., (1968), Unit Operation of Chemical Engineering, 4 th . edition, McGraw-
Hill Kogasukha Ltd., Tokyo.
Nono, Chariono C. H., (1998), Teori dan Ap1ikasi Penandingan Warna dengan Spektrofotometer, Seko1ah
Tinggi Tekno1ogi Tekstil, Bandung.
Rasyid Jufri, (1976), Teknologi Pengelantangan Pencelupan dan Pencapan, Institut Teknologi Tekstil,
Bandung.
Suharpo Martoharsono, (1985), Pengolahan Teh, Yayasan Pembinaan Fakultas Teknologi Pertanian, UGM,
Yogyakarta.
Wibowo Moerdoko dkk., (1974), Evaluasi Tekstil Bagian Kimia, Institut Teknologi Tekstil, Bandung.
Perancangan Produk 7