a. Menurut Chaer A. dan Agusitina,2004. Pemerolehan bahasa kedua atau bilingualisme adalah
rentangan bertahap yang dimulai dari menguasai bahasa pertama (B1) ditambah mengetahui
sedikit bahasa kedua (B2), lalu penguasaan B2 meningkat secara bertahap, sampai akhirnya
menguasai B2 sama baiknya dengan B1.
b. Menurut Akhadiah, S., dkk dalam (1997:2.2) pemerolehan bahasa kedua adalah proses saat
seseorang memperoleh sebuah bahasa lain setelah lebih dahulu ia menguasai sampai batas
tertentu bahasa pertamanya.
Beberapa pakar teori belajar bahasa kedua beranggapan bahwa anak-anak memperoleh bahasa,
sedangkan orang dewasa hanya dapat mempelajarinya. Akan tetapi hipotesis pemerolehan-
belajar menuntut orang-orang dewasa juga memperoleh, bahwa kemampuan memungut bahasa
tidaklah hilang pada masa puber. Hipotesa diatas dapat menjelaskan perbedaan pemerolehan dan
belajar bahasa, Krashen dan Terrel (1983, dalam Akhadiah, dkk,1997:2.3) menegaskan
perbedaan keduanya dalam lima hal:
1. Pemerolehan memiliki ciri-ciri yang sama dengan pemerolehan bahasa pertama seorang anak
penutur asli sedangkan belajar bahasa adalah pengetahuan secara formal.
2. Pemerolehan dilakukan secara bawah sadar sedangkan pembelajaran adalah proses sadar dan
disengaja.
3. Pemerolehan seorang anak atau pelajar bahasa kedua belajar seperti memungut bahasa kedua
sedangkan dalam pembelajaran seorang pelajar bahasa kedua mengetahui bahasa kedua.
4. Dalam pemerolehan pengetahuan didapat secara implisit sedangkan dalam pembelajaran
pengetahuan didapat secara eksplisit
5. Pemerolehan pengajaran secara formal tidak membantu kemampuan anak sedangkan dalam
pembelajaran pengajaran secara formal hal itu menolong sekali.
Dalam usia ini merupakan The Critical Period Hypothesis yaitu periode dimana penguasaan
bahasa terjadi secara alami dan dilakukan tanpa sengaja. Penfield dan Roberts (1959)
berpendapat bahwa usia maksimum untuk penguasaan bahasa yang efektif biasanya berkisar
antara dua sampai sebelas tahun.
Penfield dan Roberts (1959) ahli neurologi yang berargumentasi bahwa kemempuan anak
lebih besar untuk belajar bahasa dapat dijelaskan dengan plastisitas yang lebih besar dari otak
anak tersebut. Plastisitas otak ditemukan berkurang manakala usia bertambah. (Hamied:82).
Menurut Panfield dan Roberts (1959) menampilkan bukti bahwa anak-anak mempunyai
kapasitas menonjol untuk mempelajari kembali ketrampilan bahasa setelah kecelakaan atau
penyakit yang merusak bidang ujaran dalam hemisfer serebral dominan biasanya hemisfer
sebelah kiri.
Dalam usia ini merupakan The Critical Period Hypothesis yaitu periode dimana penguasaan
bahasa terjadi secara alami dan dilakukan tanpa sengaja. Pada proses ini anak menemukan
bunyi atau kalimat yang didengarnya tanpa ada perasaan takut salah. Penfield dan Roberts
(1959) berpendapat bahwa usia maksimum untuk penguasaan bahasa yang efektif biasanya
berkisar antara dua sampai sebelas tahun. Selama periode ini otak masih lentur, tetapi bila
sudah memasuki masa pubertas, maka elastisitas ini akan berangsur-angsur hilang. Hal ini
bisa terjadi, disebabkan oleh lateralisasi fungsi bahasa di otak sebelah kiri yaitu kapasitas
neurology dalam memahami dan memproduksi bahasa yang biasanya melibatkan otak bagian
kiri dan kanan.
Dalam usia ini seseorang telah memasuki masa pubertas. Saat masuk masa pubertas, maka
kinerja otak menurun karena dengan bertambahnya usia maka berkurang pula elastisitas otak.
Hal ini diperkuat dengan Hamied:82 yaitu plastisitas otak ditemukan berkurang manakala
usia bertambah. Pada masa pubertas literalisasi fungsi bahasa ke otak dominan telah selesai.
Hal ini mengakibatkan hilangnya plastisitas bagian otak yang diperlukan dalam belajar
bahasa secara ilmiah. Oleh karena itu setelah pubertas bahasa harus diajarkan melalui usaha
sadar namun tetap diusahakan sealamiah mungkin dan pada saat itu pengaruh aksen bahasa
pertama anak sering tidak dapat diatasi dengan mudah.
Sebagian besar masyarakat umum meyakini bahwa anak-anak lebih cepat daripada orang
dewasa dalam pemerolehan bahasa kedua, terutama hubungannya dengan pencapaian hasil
akhir. Belajar bahasa kedua ketika telah dewasa akan terasa lebih sulit. Tetapi beberapa
penelitian yang dilakukan mengenai hal ini menunjukkan bahwa dalam beberapa hal justru
pebelajar dewasa yang lebih berhasil ketimbang anak-anak. Mereka yang belajar bahasa
kedua setelah dewasa tetap dapat mencapai tingkat keberhasilan yang cukup tinggi.
Penelitian mengenai hal ini menunjukkan bahwa hanya masalah aksen yang mereka tidak
mampu merubah aksen mereka seperti penutur asli.
Dalam memperoleh bahasa kedua dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu :
a. Pemerolehan bahasa kedua secara terpimpin
Di dalam pemerolehan bahasa kedua secara terpimpin berarti pemerolehan bahasa kedua yang
diajarkan kepada pelajar dengan menyajikan materi yang sudah dipahami. Ciri-ciri pemerolehan
bahasa kedua secara terpimpin,(1) materi tergantung kriteria yang ditentukan oleh guru,
(2)Strategi yang dipakai oleh seorang guru juga sesuai dengan apa yang dianggap paling cocok
untuk siswanya. Dalam pemerolehan bahasa secara terpimpin, apabila penyajian materi dan
metode yang digunakan dalam belajar teppat dan efekktif maka ini akan berhasil dan
menguntungkan pelajar dalam pemerolehan bahasa keduanya. Namun, sering ada ketidakwajaran
dalam penyajian materi terpimpin ini, misalnya penghafalan pola-pola kalimat tanpa pemberian
latihan-latihan bagaimana penerapan itu dalam komunikasi.
Pemerolehan bahasa kedua secara alamiah atau secara spontan adalah pemeroleh bahasa kedua
yang terjadi dalam komunikasi sehari-hari, bebas dari pengajaran atau pimpinan guru.
Pemerolehan bahasa seperti ini tidak ada keseragaman karena setiap individu memperoleh
bahasa kedua dengan caranya sendiri. Yang paling penting dalam cara ini adalah interaksi dan
komunikasi yang mendorong pemerolehan bahasa kedua. Ciri-ciri pemerolehan bahasa kedua
secara alamiah adalah (1) yang terjadi dalam komunikasi sehari-hari,(2) bebas dari pimpinan
sistematis yang disenggaja.
1. Model Akulturasi
Akulturasi adalah proses adaptasi atau penyesuaian dengan kebudayaan baru. Akulturasi
ditentukan oleh jarak sosial dan jarak psikologis antara pembelajar(B1) dengan budaya
bahasa sasaran(B2).
Faktor-faktor yang menentukan jarak sosial antara kelompok B1 dan B2 adalah :
a. Kesamaan derajat sosial
b. Timbulnuya keinginan asimilasi
c. Saling terlibatnya antar dua kelompok
d. Kelompok belajar B2 kecil dan kohesif
e. Kesesuaian budaya
f. Saling memiliki sikap positif
g. Lama tidaknya berasimilasi antara kelompok B1 da B2
2. Teori Akomodasi
Teori akomodasi menyatakan bahwa hubungan masyarakat B1 dengan B2 dalam
berinteraksi sangat menentukan pemerolehan B2. Faktor-faktor berikut akan
mempermudah dan mempengaruhi keberhasilan pembelajar dalam mempelajari B2.
a. Anggapan pembelajar B2 nahwa dirinya merupakan anggota dari masyarakat B2
b. Tidak memandang rendah masyarakat B2
c. Persepsi pembelajar tentang pentingnya etnolinguistik
d. Terbuka dan ketat dalam mempersepsikan batas kelompok B1 dengan B2
e. Pembelajar B1 mengidentifikasi diri sama kuat dan memuaskannya dengan kelompok
sosial lainnya
3. Teori Wacana
Teori wacana menekankan pentingnya pembelajar B2 menemukabn makna bahasa melalui
keterlibatannya dalam berkomunikasi.
Teori wacana mempunyai sejumlah prinsip utama berikut.
a. Pemerolehan B2 mengikuti urutan alamiah dalam perkembangan sintaksis
b. Penutur asli akan menyesuaikan tuturannya untuk mencapai makna yang disepakati
bersama penutur nonasli
c. Strategi percakapan yang ditempuh untuk mencapai makna yang disepakati dan
masukan mempengaruhi kecepatan dn urutan pemerolehan data terbaik bagi pembelajar
4. Model Monitor
Teori ini menyatakan bahwa tampilan berbahasa pembelajar(B2) ditentukan oleh cara
mereka menggunakan monitor. Penggunaan bahasa yang berlebihanakan menghambat
penguasaan bahasa pembelajar.
5. Model Kompetensi Variable
Teori ini menyatakan bahwa cara seseorang mempelajari bahasa akan mencerminkan cara
orang itu menggunakan bahasa yang dipelajarinya. Produk penggunaan bahasa terdiri atas
berbagai macam produk bahasa(wacana) dari yang tidak terencana sampai yang
terencana.
6. Hipotesis Universal
Hipotesis universal menyatakan bahwa anak menemukan kaidah-kaidah bahasa dengan
bentuk gramatika universal, yakni gramatika inti.
Hipotesis ini menyatakan bahwa terdapat kesemestaan bahasa yang menentukan proses
pemerolehan B2 seperti berikut ini.
a. Kesemestaan bahasa membantu mengatasi hambatan yang berpotensi muncul dalam
bahasa antara(interlangue)
b. Pembelajar akan merasa lebih mudah memperoleh pola-pola yang sesuai dengan
kesemestaan bahasa daripada yang tidak sesuai
c. Apabila B1 menerapkan kesemestaan bahasa maka B1 cenderung akan membantu
perkembangan penguasaan bahasa antara melalui transfer
7. Teori Neurofungsional
Teori ini menyatakan adanya hubungan antara bahasa dengan anatomi syaraf.Dua daerah
otak. Dua daerah dalam otak, yaitu belahan otak kanan dan belahan otak kiri, menentukan
pemerolehan B2.
Pemerolehan B2 dapat diterangkan menurut fungsi syaraf dengan memperhatikan dua hal.
Pertama, fungsi syaraf yang mana yang digunakan untuk berkomunukasi. Kedua, tingatan
mana dalam system syaraf tersebut yang dilibatkan.
DAFTAR PUSTAKA
Jannah, Lily Alifiyatul.(2013).Kesalahan-kesalahan GURU PAUD yang Sering Dianggap Sepele.
Yogyakarta : Diva Press.
Aimankhoirul.(2013). Teori Pemerolehan Bahasa.[Online]. Tersedia : http://aiman-
khairul.blogspot.com/2010/03/pada-dasarnya-seluruh-manusia-belajar.html. [8 April 2014].
Asbahar. (2008).Teori Pemerolehan Bahasa Pertama.[Online].Tersedia :
http://asbaharticles.blogspot.com/2008/11/teori-pemerolehan-bahasa-pertama.html. [8 April
2014].
Efitasari, Eka Nur.(2014). Perkembangan III: Masa Awal Kehidupan I (1-4 Tahun).
[Online].Tersedia:http://m.kompasiana.com/post/read/644300/3/perkembangan-iii-masa-awal-
kehidupan-i-1-4-tahun.html. [8 April 2014].