7.1 Uji coba hewan Setelah mengetahui bahwa dengan menghambat reseptor NMDA atau dengan aktivasi reseptor GABA dapat memacu apoptosis sel pada jaringan tikus neonatus [4]. Uji coba pada tahun 2003 menggambarkan adanya perubahan structural dan defisit fungsi pada kelompok tikus dengan pemaparan berkepanjangan dengan isofluran, nitrous oxide, dan midazolam [3]. Penemuan ini juga didapatkan pada penelitian-penelitian serupa lainnya [7,9, 10, 13, 81, 82]. Penelitian skala kecil (n=5) pada neonates dari kelompok primata rhesus macaque dilihat perubahan pada otaknya setelah pemberian isofluran dalam waktu yang cukup panjang (5 jam) tetapi tampa diberikan stimulasi operasi menunjukan adanya peningkatan 13 kali lipat pada neuroapoptosis 3 jam setelah pemaparan [7]. Kelompok neonatus tikus yang diberikan pemaparan sevofluran mengalami gangguan memori jangka pendek [83]. Pola apoptosis tidak menyebar secar merata, tetapi lebih terpusat pada beberapa bagian otak terutama bagian korteks visual primer, temporal/somatosensory dan frontal. Apoptosis dari neuron ini tampaknya lebih dipengaruhi oleh lokasi geografisnya dibandingkan dengan tipe selnya; pyramidal neurons, interneurons, dan multipolar neurons semuanya sama-sama terpengaruh [7]. Secara histologis terdapat penurunan yang bermakna dari sel punca hippocampus, neurogenesis, dan kepadatan sel [9]. Perubahan pada neurobehavioral tidak selalu berkorelasi dengan adanya perubahan neuropathological ataupun rusaknya neuron [6]. Secara bersamaan potensiasi dari reseptor GABAA dan antogonis dari reseptor NMDA dapat mempunyai efek sinergis memacu neuroapoptosis seperti dengan terjadinya perubahan sikap jangka panjang; hal ini harus diperhatikan terutama ketika kita melakukan kombinasi berbagai agen anestesi secara bersamaan agar mendapatkan keseimbangan anestesi yang baik [3, 11, 81]. Sebagai contoh dengan pemaparan isofluran tunggal dapat menyebabkan neurodegeneration, hal ini semakin meningkat apabila diberi paparan isofluran dan midazolam secara bersamaan. Pemberian tiga agen berbeda (N2O, midazolam, dan isofluran) menyebabkan efek neurodegeneration yang semakin berat baik dalam hilangnya ataupun rusaknya struktur neuron [3,8]. Gangguan memori dan daya pikir bertahan hingga fase adolescence dan dewasa pada kelompok hewan coba [3]. Efek dari agen anestesi volatile dapat dipengaruhi oleh pemilihan waktu pemaparan. Apabila dibandingkan kelompok hewan coba berusia 7 hari dengan yang berusia 60 hari yang diberikan pemaparan isofluran, peneliti menunjukan adanya gangguan daya ajar dan pikir yang signifikan pada kelompok yang lebih muda dibandingkan kelompok yang lebih tua [9,13]. Tetapi, pada penelitian lainnya menyimpulkan perubahan dendrimental pada pemaparan agen anestesi volatile pada kelompok hewan muda tidak tampak bertahan hingga dewasa [9]. Berdasarkan penelitian yang membandingkan neurotoksisitas dari agen anestesi yang ada data yang didapatkan seringkali berlawanan. Perbandingan pemaparan hingga 6 jam dari 0,6 konsentrasi minimum desfluran, isofluran dan sevofluran pada neonatus tikus menunjukan adanya neurodegeneration yang signifikan dan mirip pada bagian neokorteks superficialis [84]. Perbandingan lainnya dari kelompok yang agen anestesi volatile sama dengan rerata 0,75 konsentrasi alveolar setelah 3 atau 6 jam menunjukan bahwa desfluran lebih menyebabkan neuroapoptosis dan gangguan memori dibandingkan dengan sovofluran ataupun isofluran [85]. Perbandingan ketiga dari pemaparan sevofluran dan isofluran pada kelompok tikus usia 7 hari dengan dosis 0,5 konsentrasi minimum alveolar selama 6 jam menunjukan peningkatan apoptosis pada kedua agen walaupun pemaparan isofluran menunjukan neurodegeneration yang lebih besar [86]. Terdapat banyak bukti preklinis yang menunjukan neurotoksisitas dari anestesi volatile pada hewan. Sembari menunggu hasil penelitian klinis lebih lanjut, kita harus berhati-hati ketika menggunakan data penelitian hewan coba pada manusia. Mayoritas penelitian pada mencit dan tikus, dimana struktur otak dan rentang umur dengan manusia. Penelitian pada primata selain manusia akan lebih dapat di aplikasikan pada kelompok manusia. Saat ini, Ansgar Brambrink di Oregon Health & Science University yang meneliti efek jangka panjang pada pemaparan 1 dan 3 agen anestesi pada kelompok bayi primata selain manusia. Penelitannya ini sudah diakui oleh penghargaan IARS Frontier in Anesthesia Research Award [87]. National Center for Toxicological Research (NCTR) melakukan penelitian non klinis pada kelompok hewan pengerat dan kelompok primata selain manusia untuk mengembangkan pemahaman mekanisme neurotoksisitas dengan general anestesi, defisit kognitif karena pemaparan jangka panjang, strategi untuk menimalisasi efek samping, serta penggunaan PET scan untuk memonitor neurotoksisitas berkaitan dengan anestesi [87]. 7.2 Dugaan awal mekanisme neuroapoptosis yang disebabkan dengan penggunaan general anestesi Glutamat dan GABA adalah neurotransmitter eksitatori dan inhibitor utama, terutama glutamate yang mana mempunyai mekanisme kerja di reseptor NMDA, mempunyai funsi tropis pada perkembangan otak karena memacu pertumbuhan sel dan memacu migrasi sel. Pada periode pertumbuhan otak, reseptor NMDA sangat bergantungan dengan glutamate dan berisiko mengalami degenerasi [70,88,89]. Pada kelompok mencit neonatus yang terpapat bahkan dengan dosis tunggal dari antogonis NMDA mengalami apoptosis neurodegenerasi yang mirip dengan programmed cell death, dimana efek terbesar terdapat pada kelompok umur lebih muda. Pada manusia, puncak ekspresi reseptor NMDA terjadi pada minggu ke 20-22 usia kehamilan. Oleh karena itu pemaparan anestesi volatile pada fetus dan neonatus berisiko sangat tinggi terjadinya neuroapoptosis dan neurodegeneration [4]. Pembuluh saraf neonatus diduga sangat bergantung dengan stimulasi reseptor NMDA, inhibisi dari stimulasi reseptor NMDA oleh karena itu dapat memacu apoptosis [4] (Gambar 1). GABA secara umum merupakan neurotransmitter inhibitorik, tetapi pada sistem saraf imatur memiliki sifat eksitatori. GABA berperan besar pada perkembangan orak, diferensiasi, laju pertumbuhan dan formasi sinaps. Pada keadaan normal aktivasi reseptor GABA memacu potensial aksi dan influx kalsium ke intraselular. Dengan potensiasi reseptor GABA, reseptor akan lebih teraktivasi dan mengalamin influx kalsium berlebih dan menyebabkan apoptosis [90- 92] (Gambar 1) Contoh klinis efek ini dapat dilihat pada pemaparan alkohol pada neonatus, yang mana telah diketahui berdekade-dekade memiliki efek samping pada otak neonatus. Pada uji coba mencit, pemaparan etanol dapat memacu apoptosis dan neurodegeneration yang berkaitan dengan dosis dan waktu pemberian dimana memiliki pola yang sama dengan antagonis NMDA dan agonis GABAA [8,81,93]. Kombinasi agonis AGBA dan antagonis NMDA menunjukan neurodegeneration luas pada kelompok uji coba [3,11]. Pemaparan fetus dengan etanol juga dikaitkan dengan berbagai perubahan sifat dan psikiatrik yang bertahan hingga dewasa, termasuk ADHD, gangguan daya ajar, mental retardation, psikosis dan depresi. Berbagai area yang diduga berisiko pada otak telah teridentifikasi dan dikaitkan dengan gangguan kognitif dan perilaku [3,6-10,94]
7.3 Penelitian Klinis
Bukti klinis yang membahas anestetik menyebabkan neurotoksisitas pada manusia masih lemah. Beberapa penelitian menunjukan bahwa paparan multiple (tidak hanya satu) dari agen anesthesia ketika operasi meningkatkan risiko terjadinya gangguan daya pikir [95-98]. Berbagai peneliian mendapatkan hasil dimana menunjukan tidak terdapat hubungan antara paparan anestesi /operasi pada terjadinya gangguan kognitif dan perilaku [99-102]. Oleh karena semua sampel anak ini menjalani operasi, maka sulit untuk membedakan apakah adanya gangguan yang terjadi disebabkan oleh operasi atau agen anestesi. Satu penelitian menggambarkan adanya peningkatan gangguan kemampuan berbahasa setelah pemaparan 1 agen anestesi, walaupun penemuan yang didapatkan ini tidaklah konsisten [103]. Penelitian lain menghasilkan tidak terdapatnya hubungan antara paparan general anestesi untuk operasi dengan terjadinya gangguan daya ajar [100]. Pada tahun 2009, Wilder melakukan penelitian retrospektif sampel dari wilayah Olmsted, Minnesota untuk melihat apakah terdapat hubungan antara paparan anestesi sebelum usia 4 tahun dengan terjadinya gangguan pada membaca, menulis, matematika dan daya ajar. Dari total 5357 sampel yang diambil, 593 sampel menerima paparan anestesi sebelum usia 4 tahun. Penelitian ini menyimpulkan bahwa 1 kali pemaparan anestesi tidak berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya gangguan daya ajar (HR 1.0;0,95% .CI: 0.79-1.27) tetapi paparan multiple dapat menimbulkan efek tersebut. Pada penelitian sebelumnya dengan pemaparan 2 agen anestesi memiiki rasio terjadinya efek tidak diinginkan 1.59 (95% CI 1.06-2.37) dan penggunaan 3 atau lebih agen menyebabkan rasio lebih tinggi 2.6 (95% CI: 1.60-4.24). Pada penelitian ini tidak membedekan jenis agen anestesi spesifik yang digunakan, walaupun 87,9% dari pasien menerima halotan (agen anestesi volatile yang sudah tidak digunakan di USA), tetapi masih digunakan di beberapa negara), dan 90.7% menggunakan nitrous oxide [95]. Pada tahun yang sama, Dimaggio et al [96] melakukan analisis kohort retrospektif pada 383 sampel dari program New York State Medicaid untuk menjelaskan hubungan anestesi untuk operasi hernia inguinalis dengan insidensi perubahan perkembangan dengan perilaku. Seluruh subjek yang diteliti menjalani operasi hernia pada usia 3 tahun pertama kehidupan. Kelompok yang menerima paparan dibandingkan dengan kelompok anak dengan usia sama tampa ada riwayat operasi hernia (n=5050). Penelitian ini menghasilkan 4,4% anak dengan riwayat operasi hernia dengan paparan anestesi di kemudian hari menderita adanya gangguan perkembangan dan perilaku, dibandingkan 1,2% pada kelompok kontrol, sebanding dengan rasio bahaya 2.3 (95% CI:1.3, 4,1) [96]. Kelompok yang sama kemudian secara retrospektif kembali di teliti saudaranya secara kohort dari lahir untuk meminimalisasi faktor perancu lingkungan. Mereka meneliti 10.450 saudara, 304 diantaranya terpapar anestesi dan operasi sebelum usia 3 tahun. 304 sampel yang terpapar tersebut dan 10.146 yang tidak terpapar kemudiaan di follow up hingga kemudian terdiagnosis mnegalami gangguan perilaku dan perkembangan, hilang saat follow up atau hingga akhir tahun 2015. Rasio bahaya gangguan perkembangan dan perilaku meningkat seiring jumlah paparan anestesi dan operasi yang dilakukan. Rasio bahaya perkiraan untuk terjadinya gangguan perilaku dan perkembangan berkaitan dengan paparan anesthesia pada 3 tahun pertama adalah 1.6 (95% CI: 1.4, 1.8). Risioko meningkat dari 1.1 (95% CI: 0.8, 1.4) untuk 1 kali operasi menjadi 2.9 (94% CI: 3,5, 4.5) untuk 2 kali operasi dan 4.0 (95% CI: 3.5, 4.5) untuk 3 kali operasi. Insidensi terjadinya gangguan perkembangan dan perilaku adalah 128,2 dari 1000 orang pertahun untuk kelompok yang terekspos, dan 56,3 dari 1000 orang pertahun pada kelompok yang tidak terekspos. Tetapi, risiko relative pada analisis 138 pasang saudara adalah (95% CI: 0.6, 1.4) [97]. Penelitian retrospektif yang dilakukan oleh Kalkman et al pada tahun 2009 yang melihat dampak perkembangan neurobehavioral pada kelompok anak usia 12,5-15,8 tahun yang telah terpapar agen anestesi untuk prosedur operasi urologi sebelum usia 6 tahun. Penelitian ini secara garis besar tidak menghasilkan kesimpulan, tetapi berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pada kelompok anak yang mengalami operasi sebelum usia 2 tahun menunjukan adanya gangguan perilaku, hasil ini tetapi tidaklah signifikan secara statistic. Penelitian awal ini menggunakan 314 anak; jumlah anak minimum yang dibutuhkan adalah 2268 untuk dapat memastikan bahwa ada atau tidaknya efek anestesi tersebut [99]. Tahun 2012 Ing et al [103] menganalisis 2608 anak dari Western Australian Pregnancy, yang menggunakan 2868 anak yang lahir antara tahun 1989 hingga 1992. 321 anak memiliki riwayat pemaparan anestesi sebelum usia 3 tahun. Anak-anak tersebut kemudian di follow up hingga usia 10 tahun dimana pada titik ini kemampuan bahasa, fungsi kognitif, kemampuan motoric, dan perilaku diperiksa. Secara umum, anak dengan riwayat pemaparan anestesi memiliki nilai yang lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol. Hal ini terlihat pada hasi test Clinical Evaluation of Languange Fundamental (CELF) Receptive (CELF-R) dan Expressive (CELF-E), dan Colored Progressive Matrices (CPM). Kelompok dengan riwayat pemaparan menunjukan adanya gangguan bahasa (CELF-R: aRR 1.87;95% CI, 1.20-2.93, CELF-E:aRR, 1.72; 95% CI, 1.12-2.64), dan kognitif (CPM:aRR, 1.69; 95% CI, 1.13-2.53). Peningkatan aRR untuk gangguan bahasa dan kognitif tetap ada walaupun hanya terdapat riwayat 1 pemaparan (CELF-R aRR, 2.41; 95% CI, 1.40-4.17. dan CPM aRR, 1.73; 95% VI, 1.04-2.88). Tidak terdapat perbedaan bermakna pada kelompok dengan test receptive language assessment tool, the Peabody Picture Vocabulary Test (PPVT), atau pemeriksaan fungsi perilaku dan motorik [103]. Flick et al [98] pada tahun 2011 melakukan uji kohort pada 8548 anak dari Rochester. Kelompok dengan pemaparan terdiri dari 350 anak yang mana terpapar anestesi sebelum usia 2 tahun, kemudian dipasangkan dengan 700 anak kelompok kontrol. Mereka kemudian akan di follow up hingga usia 19 tahun dan kemudian di periksa gangguan belajar, bahasa, perilaku ataupun emosional. Mereka kemudian mendapatkan bahwa pemaparan anestesi multiple berhubungan dengan dengan peningkatan gangguan bicara dan bahasa. Sebagai tambahan, mereka menumukan bahwa riwayat paparan anestesi multiple memiliki rasio bahaya 2.12 risiko terjadinya gannguan kemampuan belajar. Pemaparan anestesi 1 kali tidak berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya gangguan daya belajar. Mayoritas dari pasien juga menerima kombinasi dari halotan dan nitrous oxide [98]. Hansen et al [102] membandingkan performa akdemis pada seluruh anak yang menjalani operasi hernia pada usia infant secara acak. Mereka melihat rerata hasil ujian pada kelas 9, dimana pada kelompok yang terpapar emiliki nilai yang lebih rendah dari kontrol, tetapi hasil ini tidaklah signifikan secara statistic. Mereka tidak menemukan bukti bahwa pemaparan 1 kali anestesi berkorelasi dengan performa akademis yang lebih buruk pada usia 15 atau 16 [102]. Pada penelitian lain kelompok bayi yang menjalani operasi stenosis pylorus sebelum usia 3 bulan, dimana mereka tidak menumkan adanya perbedaan signifikan antara kedua kelompok perihal performa akademis. Bartels et al [100] mencoba menjawab pertanyaan yang selama ini menjadi pertanyaan bagi para peneliti: apakah paparan anestesi menyebabkan defisit kognitif dan perilaku, ataukah hubungan ini terjadi karena anak itu sakit dan memerlukan operasi, dan mereka lebih rentan sejak awal?. Penelitian ini menggunakan 1143 pasang kembar monozigot dan mereka melihat riwayat paparan anestesi pada usia sebelum 3 tahun. Subjek yang diteliti kemudian dibagi kedalam kelompok kembar yang terpapar, kembar tidak terpapar, dan kembar 1 terpapar 1 tidak. Kelompok tersebut kemudian akan di follow up hingga usia 12 tahun untuk melihat prestasi akademis dan gangguan kognitif berdasarkan test yang terstandisasi dan penilaian guru. Kembar yang terpapar anestesi sebelum usia 3 tahun secara signifikan memiliki prestasi akademis yang lebih kecil dan dan angka insidensi gangguan kognitif lebih besar dibandingkan kelompok yang tidak terpapar. Hal yang penting pada kelompok satunya (kembar 1; terpapar, 1 tidak) tidak memiliki perbedaan pada prestasi akademis dan kognitif. Penelitian ini oleh karena itu tidak menunjukan hubungan sebab akibat dan lebih menunjukan predileksi individu yang rentan membutuhkan tindakan operasi dan terjadinya defisit kognitif [100]. Penelitian di atas memiliki kesimpulan yang bertolak belakang. Sampai sekarang masih belum jelas apakah ada hubungan antara pemaparan general anestesi di usia muda dengan terjadinya gangguan perilaku dan belajar di kemudian hari. Bukti yang ada untuk mendukung efek pemaparan anestesi di usia muda berpengaruh pada kemampuan belajar dan memori di kemudian hari masih terlalu sedikit, apabila ada. 8. Penelitian melihat efek neurotoksisitas oleh anestes di masa depan Saat ini terdapat beberapa penelitian dalam berbagai tahap yang mencoba memberikan cahaya dalam upaya memperjelas efek dari pemberian anestesi pada kelompok populasi pediatric. FDA (Food and Drugs Administration) Amerika mencoba melihat keamanan pemberian anestesi pada kelompok pediatric. Pada tahun 2007, anggota komite FDA mencapai consensus untuk membedakan anestesi yang diberikan pada operasi kelompok anak dibawah usia 3 tahun, walaupun mereka sepakat bahwa bukti ilmiah masih belum cukup untuk diterapkan dalam praktik. FDA juga berkerja sama dengan International Anesthesia Research Society (IARS) dalam program SmartTots (Strategies for Mitigating Anesthesia Related Neuro-Toxicity in Tots). Tahun 2011 progtam ini telah menentukan 2 tuhuan: untuk meningkatkan pemahaman anestesi memacu neurotoksisitas pada tahap seluler, dan untuk menigkatkan pemahaman hubungan anestesi dengan sekuel neurobehavioral pada spesies mamalia yang terpapapar anestesi pada tahap kritis perkembangan otak [87,104]. Penelitian PANDA (Pediatric Anesthesia and NeuroDevelopment Assessment) yang dipimpin oleh sun akan mencoba melihat pengaruh neuropsikologi secara kohort retrospektif pada anak. Kelompok terpapar adalah anak yang menjalani operasi hernia inguinalis menggunakan general anestesi pada usia kurang 36 bulan, dan kelompok kontrol adalah saudara mereka yang tidak terpapar pada usia kurang dari 36 bulan. Subjek penelitian akan menjalani tes perilaku dan kognitif menggunakan Wechsler Abbreviated Scale of Intelligence (WASI), NEuroPSYchological Assessment, second edition (NEPSY II), Child Behavior Checklist, age 6- 18 (CBCL 6-18) dan Conners Parent Rating Scale, 3rd Edition. Mereka telah melakukan uji kelayakan sebelumnya menggunkana 28 pasang saudara yang tidak terpapar pada usia 6-11 tahun dengan follow up pada rerata 7 tahun setelahnya, yang mana menunjukan tidak terdapat perbedaaan skor pada kedua kelompok [105,106]. Penelitian serupa yang sedang dilakukan adalah penelitian prospective randomized clinical trial yang dipimpin oleh de Graff di Belanda. Penelitian ini membandingkan antara penggunaan anestesi general dan lokal pada operasi hernia. Pemeriksaan neuropsikologis akan diperiksa dan dievaluasi pada tahun 2018 dimana pasien berusia 5 tahun [108]. Mayo Clinic bekerja sama dengan FDAs National Center for Toxicological Research (NCTR), melakukan penelitian MASK (Mayo safety in kids). Populasi penelian akan diteliti secara kohort perkembangan kognitif jangka panjang pada anak di Rochester, Minnesota. Mereka akan membandingkan antara anak tampa riwayat terpapar, terpapar 1 kalo, dan terpapar lebih dari sekali dengan anestesi general pada usia sebelum 3 tahun dan akan melihat kemampuan kognitifnya menggunakan beberapa tes neurokognitif, termasuk tes operant test battery[87]. Kelompok Tom Hansen dari Belanda melakukan penelitian kohort untuk menilai performa akademis pada kelompok remaja yang terpapar anestesi umum untuk operasi hernia inguinalis dalam umur kurang dari 2 tahun (infant) Merupukan hal yang tak terbantahkan bahwa kita harus meminimalisasi baik lama maupun jumlah paparan anestesi. Dalam upaya melindungi otak bayi imatur terhadap efek anestesi volatile, apakah kita harus menunda pemberian obat ini? Pada editorial tahun 2012, penulis asal Australia Davidson mengundang kita untuk kembali memeriksa kepercayaan saat ini, bahwa seluruh neonatus membutuhkan komponen hipnotis dari anestesi [109]. Tidak memperhatikan apakah sevofluran dapat menyebabkan toksisitas secara klinis atau tidak, apakah ini waktunya untuk mempertanyakan kepercayaan bahwa seluruh bayi memerlukan agen anestesi seperti sevofluran?[109] Beberapa dekade yang lalu, anestesi untuk neonatus hanya terdiri nitrous oxide, oksigen dan paralitik, tampa memperhatikan efek samping dari agen anestesi. Tahun 1980an beberapa penelitian awal menunjukan praktik ini tidak layak dan secara nyata berkaitan dengan peningkatan respon stress, ketidak seimbangan hemodinamik dan hasil yang lebih buruk [110- 114]; teknik anestesi kemudianpun diganti. Kita mengetahui bahwa analgesik secara absolut kritikal untuk mencegah proses nyeri, perkembangan kelainan nyeri kronis dan disfungsi perilaku dan kognitif pada dewasa [113, 115, 116]. Penelitian tahun 1992 membandingkan teknik anestesi pada neonatus yang menjalani operasi jantung dan didapatkan anestesi dalam menggunakan sufentanil dosis tinggi berhubungan dengan penurunan signifikan secara statistik untuk respon stress dibandingkan kelompok yang menerima anestesi lebih ringan (halotan dan morfin) [112]. Apabila analgesik yang layak cukup untuk memberikan efek sedasi, mempertahankan stabilitas hemodinamik, dan menimalisasi respon humoral dan inflamasi, apakah kelompok pasien mendapatkan keuntungan dengan penambahan anestesi general? 9. Kesimpulan Anestesi volatile adalah alat tidak tergantikan dan diguakan pada puluhan juta pasien setiap tahunnya. Secara umum bermanfaat untuk anestesi pediatric sebagai penginduksi anestesi untuk sedasi atau operasi pada secara umum tidak membahayakan pada kelompok usia imatur. Walaupun kita tidak memiliki pemahaman secara menyeluruh tentang mekanisme kerja dalam menginduksi anestesi, hal ini dapat disebabkan oleh efek pada protein. Kita sekarang mengetahui secara in vitro dan uji binatang bahwa seluruh penggunaan anestesi general, termasuk penggunaan anestesi volatile dapat memicu neurotoksisitas. Efek ini bergantung dengan dosis, dan lama durasi dari pemaparan anestesi. Pada sisi lauin, juga terdapat bukti kuat bahwa terdapat efek neuroprotektif dari anestesi volatile terhadap iskemik otak dan berbagai gangguan dendrimental. Efek ini pada umumnya membutuhkan pemaparan yang pendek dan relevan. Bagaimanapun juga kita harus memberikan perhatian lebih saat penggunaan hasil dari uji in vitro dan binatang dalam praktik sehari-hari. Efek neuroprotektif dan neurotoksisitas dari anestesi volatile pada manusia tidaklah jelas. Tidak terdapat penelitian yang dilakukan untuk menentukan anestesi volatile memacu neuroproteksi pada anak-anak. Data klinis sejauh ini masih terlalu lemah untuk mendukung ataupun menolak pendapat bahwa anestesi dapat menyebabkan neurotoksisitas pada anak-anak. Tidak ada perubahan yang dapat direkomendasikan pada praktik anestesi saat ini, ataupun dalam pemelihan agan anestesi mana yang lebih superior dibandingkan yang lain. Masih masuk akal untuk menunda operasi yang murni elektif pada kelompok pediatric hingga usia setidaknya 4 tahun. Beberapa penelitian klinis sedang berlangsung yang mungkin dapat memberikan pencerahan pada pertanyaan ini.