Anda di halaman 1dari 16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Hiperemesis Gravidarum

1. Definisi
Hiperemesis gravidarum adalah bentuk berat dari mual dan muntah
persisten, yang tidak dapat dihentikan selama kehamilan, sehingga
mengganggu keadaan umum dan biasanya mencapai puncaknya antara
minggu kedelapan dan keduabelas. Dalam 1-10% kehamilan, hiperemesis
gravidarum bisa berlanjut hingga mingu ke 20-22 atau trimester II (Arisman,
2010; Varney, 2007; Wiknjosastro, 2014).

Hiperemesis gravidarum ini juga ditandai dengan mual terus-menerus


yang di ikuti dengan ketosis dan penurunan berat badan (>5% dari berat
sebelum kehamilan), disebabkan karbohidrat habis dipakai untuk keperluan
energi. Kondisi ini bisa mengakibatkan deplesi volume, ketidakseimbangan
elektrolit dan asam-basa, kurang nutrisi, depresi, perasaan menderita dan
bahkan kematian pada ibu (Goodwin, 2008; Manuaba, 2010).

2. Epidemiologi

Hiperemesis gravidarum terjadi di seluruh dunia dengan angka


kejadian yang beragam. Di Indonesia angka kejadian hiperemesis 0,3% dari
seluruh kehamilan di Swedia, 0,5% di California, 0,8% di Canada, 10,8% di
China, 0,9% di Norwegia, 2,2% di Pakistan dan 1,9% di Turki (Aril et al,
2010).

Prevalensi hiperemesis gravidarum antara 1-3 % atau 5-20 kasus per


1000 kehamilan (Simpson, 2012). Hiperemesis gravidarum lebih sering
terjadi pada orang Asia dibandingkan orang Amerika atau Eropa, (Mullin et
al, 2011; Zhang et al 2011).

Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2009), menjelaskan bahwa

5
6

lebih dari 80% wanita hamil di Indonesia mengalami mual dan muntah saat
kehamilan. Dan yang berlanjut menjadi hiperemesis gravidarum sekitar
15%.

Hiperemesis gravidarum jarang menyebabkan kematian, tetapi angka


kejadiannya masih cukup tinggi. Hampir 25% pasien hiperemesis
gravidarum dirawat inap lebih dari sekali (Lacasse, 2008; Bailit, 2005).

3. Etiologi

Terdapat beberapa faktor penyebab terjadinya hiperemesis gravidarum


namun tidak ada satupun yang dapat menjelaskan proses terjadinya secara
tepat. Faktor tersebut antara lain adalah:

a. Faktor Endokrin
Menurut Verberg et al dalam Widyasari (2015) HCG
merupakan faktor endoktrin yang paling mungkin menjadi
penyebab hiperemesis gravidarum. Kesimpulan ini didasarkan
pada hubungan antara peningkatan kadar HCG dan fakta bahwa
insiden hiperemesis gravidarum tertinggi adalah saat kadar HCG
mencapai puncaknya saat kehamilan (sekitar minggu ke-9) dan
dihubungkan dengan kondisi dimana kadar HCG meningkat seperti
pada kehamilan mola dan kehamilan ganda.
Jueckstock dalam Widyasari (2015) mengatakan HCG
menyebabkan produksi cairan yang berlebihan pada saluran cerna
bagian atas dengan cara mempengaruhi transport ion yang diikuti
dengan perpindahan cairan secara pasif. Tidak semua wanita
dengan kadar HCG yang tinggi mengalami mual dan muntah.
Interaksi hormone-reseptor HCG pada kelompok wanita tertentu
dapat menyebabkan hiperemesis gravidarum, namun belum tentu
menyebabkan hiperemesis gravidarum kelompok wanita lainnya.
Hal ini mungkin disebabkan karena variasi aktivitas biologis dari
isoform HCG yang berbeda-beda serta perbedaan sensitivitas tiap
individu terhadap stimulus emetogenik.
7

b. Faktor Alergi

Pada kehamilan diduga terjadi invasi jaringan villi korialis


yang masuk ke dalam peredaran darah ibu maka faktor alergi dapat
menyebabkan hiperemesis gravidarum (Proverawati, 2009).

c.Faktor Infeksi
Verberg et al dalam Widyasari (2015) mengatakan, sebuah
penelitian menggunakan biopsi mukosa telah dilakukan pada
pasien hiperemesis gravidarum. Pada studi ini didapatkan hasil
bahwa pada pasien hiperemesis gravidarum 95% positif terdapat
H. pylori sedangkan pada kelompok kontrol 50%. Penelitian ini
juga menemukan densitas H. pylori yang tinggi pada antrum dan
corpus gaster pasien hiperemesis gravidarum. Densitas ini dapat
dikaitkan dengan keparahan gejala yang dialami oleh pasien dan
menjadi penjelasan perbedaan antara morning sickness biasa
dengan hiperemesis gravidarum. Infeksi H. pylori pada wanita
hamil dapat disebabkan oleh perubahan pH lambung atau
perubahan sistem imun karena kehamilan. Perubahan pH lambung
disebabkan karena peningkatan akumulasi cairan di lambung oleh
karena peningkatan hormone steroid pada wanita hamil. Perubahan
sistem imun humoral selama kehamilan dapat menyebabkan
peningkatan kerentanan terhadap infeksi H. pylori.

d. Faktor Psikologi

Mual dan muntah selama kehamilan dianggap sebagai wujud


konflik psikologis. Mual muntah diyakini sebagai rasa penolakan
terhadap kehamilan, ketidaksiapan ibu dalam menerima kehamilan,
kecemasan, dan ketakutan terhadap kehamilan (Verberg dalam
Widyasari, 2008).

e. Faktor Gravida
8

Faktor predisposisi yang menyebabkan mual dan muntah


menurut Wesson (2002) adalah gravida dan usia. Menurut
Wiknjosastro (2014) hiperemesis gravidarum 80% terjadi pada
primigravida dan 40-60% pada multigravida. Pada sebagian besar
ibu primigravida belum mampu beradaptasi terhadap peningkatan
hormon estrogen dan khorionik gonadotropin sehingga lebih sering
mengalami hiperemesis gravidarum.

f. Faktor Usia
Selanjutnya yang juga mempengaruhi kejadian hiperemesis
gravidarum yaitu usia, dimana usia yang termasuk dalam
kehamilan beresiko tinggi adalah kurang dari 20 tahun dan diatas
35 tahun. Usia dibawah 20 tahun bukan masa yang baik untuk
hamil karena organ-organ reproduksi belum sempurna sehingga
dapat menimbulkan mual dan muntah. Mual dan muntah terjadi
pada usia dibawah 20 tahun disebabkan karena belum cukupnya
kematangan fisik, mental dan fungsi sosial dari calon ibu sehingga
dapat menimbulkan keraguan jasmani, cinta kasih, dan perawatan
serta asuhan bagi anak yang akan dilahirkannya. Sedangkan mual
dan muntah yang terjadi diatas umur 35 tahun disebabkan oleh
faktor psikologis, dimana ibu belum siap hamil atau bahkan tidak
menginginkan kehamilannya lagi sehingga akan merasa
sedemikian tertekan dan menimbulkan stress pada ibu (Manuaba,
2010; Putri, 2011).

4. Patofisiologi

a. Fisiologi Muntah
Mual merupakan perasaan tidak nyaman subjektif di balik
kerongkongan yang merupakan sinyal terhadap muntah. Sementara
muntah merupakan eliminasi paksa isi perut melalui mulut yang
9

dibantu oleh otot perut dan pembukaan sfingter lambung (Shelke et


al dalam Nuryani et al, 2012).
Muntah dengan tanda awal berupa mual terutama merupakan
refleks perlindungan. Pusat muntah terletak di medula oblongata,
melalui kemoreseptor pada area postrema di bawah ventrikel
keempat (zona pencetus kemoreseptor/ CTZ) (Silbernagl & Lang,
2007). Area ini tidak dilindungi oleh sawar darah otak, sehingga
dapat dipengaruhi oleh bahan-bahan perangsang muntah melalui
cairan serebrospinal maupun melalui darah. CTZ diaktivasi oleh
agonis dopamin seperti apomorfin, oleh banyak obat atau toksin,
seperti digitalis glikosida, nikotin, enterotoksin stafilokokus serta
hipoksia, uremia, dan diabetes melitus. Sel-sel CTZ juga
mengandung reseptor neurotransmitter seperti epinefrin, serotonin.
Akan tetapi pusat muntah dapat juga diaktivasi tanpa perantara
CTZ seperti pada perangsangan nonfisiologis di organ
keseimbangan (motion sickness) dan penyakit vestibular seperti
Meniere (Silbernagl & Lang, 2007).

Pusat muntah dapat diaktifkan melalui saluran pencernaan


melalui aferen n.vagus pada beberapa kondisi di bawah ini
(Silbernagl & Lang, 2007):

1) Peregangan lambung yang berlebihan atau kerusakan mukosa


lambung misalnya akibat alkohol.
2) Pengosongan lambung yang terlambat misalnya akibat
makanan yang sukar dicerna serta akibat penghambatan
saluran keluar lambung misalnya pada stenosis pilorus, atau
tumor, atau pada penghambatan pada usus seperti atresia atau
ileus.
3) Distensi berlebihan atau inflamasi peritoneum, saluran
empedu, pankreas, dan usus.
10

Pusat muntah dapat diaktivasi juga oleh serabut aferen viseral


dari jantung, misalnya pada iskemia koroner. Muntah dapat juga
dipicu dengan sengaja dengan meletakkan satu jari di
kerongkongan (saraf aferen dari sensor raba di faring). Selain itu,
muntah dapat diakibatkan karena pajanan terhadap radiasi
(radioterapi) dan peningkatan tekanan intrakranial (Silbernagl &
Lang, 2007).

b. Patofisiologi Gejala
Menurut Ogunyemi (2007) hiperemesis gravidarum dapat
mengakibatkan cadangan karbohidrat dan lemak habis terpakai
untuk keperluan energi. Karena oksidasi lemak yang tak sempurna,
terjadilah ketosis dengan tertimbunnya asam aseton asetik, asam
hidroksi butirik dan aseton dalam darah. Kekurangan cairan yang
diminum dan kehilangan cairan karena muntah menyebabkan
dehidrasi, sehingga cairan ekstraseluler dan plasma berkurang.
Natrium dan klorida darah turun, demikian pula klorida air kemih.
Pada pasien ini terdapat penurunan kadar kalium dalam darah.
Selain itu dapat menyebabkan gangguan keseimbangan asam basa,
berupa alkalosis metabolik akibat hilangnya asam karena muntah-
muntah berlebihan ataupun asidosis metabolik akibat peningkatan
asam (ketosis). Selain itu juga terjadi dehidrasi yang menyebabkan:

1) Penurunan saliva, yang berakibat mulut dan faring kering.


2) Peningkatan osmolaritas darah, yang akan merangsang
osmoreseptor di hipothalamus.
3) Penurunan volume darah yang berakibat penurunan tekanan
darah, sehingga renin akan meningkat, begitu juga
angiotensin II.
Ketiga hal tersebut akan merangsang pusat rasa haus di
hipothalamus, yang seharusnya akan meningkatkan intake cairan,
namun karena terdapat mual dan muntah yang tidak bisa
11

ditoleransi akibatnya cairan juga tidak dapat masuk per-oral,


sehingga cairan tubuh tidak mencapai kadar normal dan dehidrasi
tetap terjadi (Ogunyemi, 2007).

c. Patofisiologi Gestosis
Menurut Manuaba (2010), hiperemesis gravidarum diawali
dengan mual muntah yang berlebihan sehingga dapat
menimbulkan dehidrasi, tekanan darah turun, dan diuresis
menurun. Hal ini menimbulkan perfusi ke jaringan menurun
untuk memberikan nutrisi dan mengonsumsi O2. Oleh karena itu,
dapat terjadi perubahan metabolisme menuju ke arah anaerobik
yang menimbulkan benda keton dan asam laktat. Muntah yang
berlebih dapat menimbulkan perubahan elektrolit sehingga pH
darah menjadi lebih tinggi.

Dampak dari semua masalah tersebut menimbulkan


gangguan fungsi alat vital berikut ini (Manuaba, 2010):
1) Liver
a) Dehidrasi yang menimbulkan konsumsi O2 menurun.
b) Gangguan fungsi sel liver dan terjadi ikterus.
c) Terjadi perdarahan pada parenkim liver sehingga
menyebebkan gangguan fungsi umum.

2) Ginjal
a) Dehidrasi penurunan diuresis sehingga sisa metabolisme
tertimbun, seperti:
(1) Asam laktat
(2) Benda keton
b) Terjadi perdarahan diuresis sehingga sisa metabolisme
tertimbun, seperti:
(1) Diuresis berkurang bahkan dapat anuria.
(2) Mungkin terjadi albuminuria.
c) Sistem Saraf Pusat
(1) Terjadi nekrosis dan perdarahan otak diantaranya
perdarahan ventrikel.
12

(2) Dehidrasi sistem jaringan otak dan adanya benda


keton dapat merusak fungsi saraf pusat yang
menimbulkan kelainan ensefalopati Wernicke dengan
gejala:
(a) Nistagmus.
(b) Gangguan kesadaran dan mental serta diplopia.
(3) Perdarahan pada retina dapat mengaburkan
penglihatan.
Mual-muntah yang berkelanjutan dapat menimbulkan
gangguan fungsi umum alat-alat vital dan menimbulkan kematian
(Manuaba, 2010).

6. Manifestasi Klinis
Mulai terjadi pada trimester pertama. Gejala klinik yang sering
dijumpai adalah nausea, muntah, penurunan berat badan, ptialisme (salivasi
yang berlebihan). Tanda-tanda dehidrasi termasuk hipotensi postural
takikardi, Secara klinis, hiperemesis gravidarum dibedakan atas 3 tingkatan,
yaitu (Prawirohardjo, 2010):

a. Tingkat I (Ringan)
Muntah yang terus-menerus, timbul intoleransi terhadap
makanan dan minuman, berat badan menurun, nyeri epigastrium,
muntah pertama keluar makanan, lendir dan sedikit cairan empedu,
dan yang terakhir keluar darah. Nadi meningkat sampai 100 kali
permenit dan tekanan darah sistolik menurun. Mata cekung dan
lidah kering, turgor kulit berkurang, dan urin sedikit tetapi masih
normal.

b. Tingkat II (Sedang)
Gejala lebih berat, segala yang dimakan dan diminum
dimuntahkan, haus hebat, subfebril, nadi cepat dan lebih dari 100-
140 kali per menit, tekanan darah sistolik kurang dari 80 mmHg,
13

apatis, kulit pucat, lidah kotor, kadang ikterus, aseton, bilirubin


dalam urin, dan berat badan cepat menurun.

c. Tingkat III (Berat)


Walaupun kondisi tingkat III sangat jarang, yang mulai
terjadi adalah gangguan kesadaran (delirium-koma), muntah
berkurang atau berhenti, tetapi dapat terjadi ikterus, sianosis,
nistagmus, gangguan jantung, bilirubin, dan proteinuria dalam
urin.

7. Penegakan Diagnosis
Diagnosis hiperemesis gravidarum biasanya tidak sukar. Harus
ditentukan adanya kehamilan muda dan muntah yang terus menerus,
sehingga mempengaruhi keadaan umum. Hiperemesis gravidarum yang
terus menerus dapat menyebabkan kekurangan makanan yang dapat
mempengaruhi perkembangan janin, sehingga pengobatan perlu segera
diberikan. Diagnosis hiperemesis gravidarum ditegakkan melalui anamnesis,
pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang (Goldberg D, 2007) :

a. Anamnesis

Dari anamnesis didapatkan amenorea, tanda kehamilan muda,


mual, dan muntah. Mual dan muntah terjadi terus menerus,
dirangsang oleh jenis makanan tertentu, dan mengganggu aktivitas
pasien sehari-hari. Selain itu dari anamnesis juga dapat diperoleh
informasi mengenai hal-hal yang berhubungan dengan terjadinya
hiperemesis gravidarum seperti stres, lingkungan sosial pasien,
asupan nutrisi dan riwayat penyakit sebelumnya (hipertiroid,

gastritis, penyakit hati, diabetes mellitus, dan tumor serebri).

b. Pemeriksaan Fisik
14

Pada pemeriksaan fisik perhatikan keadaan umum pasien,


tanda-tanda vital, tanda dehidrasi, dan besarnya kehamilan. Selain
itu perlu juga dilakukan pemeriksaan tiroid dan abdominal untuk
menyingkirkan diagnosis banding.

c. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk membantu


menegakkan diagnosis dan menyingkirkan diagnosis banding.
Pemeriksaan yang dilakukan adalah darah lengkap, urinalisis, gula
darah, elektrolit, USG (pemeriksaan penunjang dasar), analisis gas
darah, tes fungsi hati dan ginjal. Pada keadaan tertentu, jika pasien
dicurigai menderita hipertiroid dapat dilakukan pemeriksaan
fungsi tiroid dengan parameter TSH dan T4. Pada kasus
hiperemesis gravidarum dengan hipertiroid 50-60% terjadi
penurunan kadar TSH. Jika dicurigai terjadi infeksi
gastrointestinal dapat dilakukan pemeriksaan antibodi
Helicobacter pylori. Pemeriksaan laboratorium umumnya
menunjukan tanda-tanda dehidrasi dan pemeriksaan berat jenis
urin, ketonuria, peningkatan blood urea nitrogen, kreatinin dan
hematokrit. Pemeriksaan USG penting dilakukan untuk
mendeteksi adanya kehamilan ganda ataupun mola hidatidosa.

8. Komplikasi
Penyulit yang perlu diperhatikan adalah Encephalopathy Wernicke.
Gejala yang timbul dikenal sebagai trias klasik yaitu paralisis otot-otot
ekstrinsik bola mata (oftamoplegia), gerakan yang tidak teratur (ataksia),
dan bingung. Penyulit lainnya yang mungkin timbul adalah ruptur esofagus,
robekan Mallory Weiss pada esofagus, pneumotoraks dan neuropati perifer.
Pada janin dapat ditemukan kematian janin, pertumbuhan janin terhambat,
preterm, berat badan lahir rendah, kelainan kongenital (Ogunyemi, 2012;
15

Sheehan, 2007).

9. Prognosis

Dengan penanganan yang baik prognosis hiperemesis gravidarum


sangat memuaskan. Penyakit ini biasanya dapat membatasi diri, namun
demikian pada tingkatan yang berat, penyakit ini dapat mengancam jiwa ibu
dan janin (Wiknjosastro, 2007).

B. Usia Ibu Hamil

Usia adalah lamanya hidup yang dihitung sejak lahir sampai saat ini,
diukur dalam satuan waktu, dipandang dari segi kronologik invididu normal, yang
memperlihatkan derajat perkembangan anatomis dan fisiologik (Notoatmodjo,
2012).
Menurut Manuaba (2010), Ridwan dan Wahidudin (2007), Razak (2010)
pembagian usia reproduksi wanita ialah:

1. Usia reproduksi resiko tinggi: <20 tahun dan >35 tahun.

2. Usia reproduksi resiko rendah: 20-35 tahun.

Usia ibu mempunyai pengaruh yang erat dengan perkembangan alat


reproduksi, hal ini berkaitan dengan keadaan fisiknya dari organ tubuh ibu dalam
menerima kehadiran dan mendukung perkembangan janin. Keadaan ini
disebabkan karena pada usia kurang dari 20 tahun, rahim dan panggul ibu belum
berkembang dengan baik dan belum cukup dewasa untuk menjadi seorang ibu.
Sedangkan pada usia diatas 35 tahun elastisitas otot-otot panggul dan sekitarnya
serta alat-alat reproduksi pada umumnya telah mengalami kemunduran, dan juga
terkait dengan turunnya daya tahan tubuh, serta berbagai penyakit yang menimpa
pada usia ini, sehingga mempersulit kehamilan (Razak, 2010).

C. Gravida

Gravida adalah wanita yang sedang hamil. Keadaan ibu hamil sangat
mempengaruhi kehidupan janin. Untuk melahirkan bayi yang sehat ibu hamil
harus mempunyai kesehatan yang optimal (Manuaba, 2010).
16

Penggolongan ibu yang masih hamil atau pernah hamil berdasarkan


jumlahnya menurut (Siswosudarmo, 2010) yaitu :

1. Primigravida
Adalah wanita yang hamil untuk pertama kalinya atau kehamilan
yang pertama.

2. Multigravida
Adalah wanita yang pernah hamil beberapa kali dimana kehamilan
tersebut tidak lebih dari 5 kali atau kehamilan selanjutnya.

3. Grande multigravida
Adalah wanita yang pernah hamil lebih dari 5 kali.

Kejadian hiperemesis gravidarum lebih sering dialami oleh primigravida


daripada multigravida, hal ini berhubungan dengan tingkat stres dan usia si ibu
saat mengalami kehamilan pertama, pada ibu primigravida faktor psikologik
memegang peranan penting pada penyakit ini, takut terhadap kehamilan dan
persalinan, takut terhadap tanggung jawab sebagai seorang ibu dapat
menyebabkan konflik mental yang dapat memperberat mual dan muntah sebagai
ekspresi tidak sadar terhadap keengganan menjadi hamil atau sebagai pelarian
kesukaran hidup (Nining, 2009).

Ibu primigravida belum mampu beradaptasi terhadap hormon estrogen dan


khorionik gonadotropin. Peningkatan hormon ini membuat kadar asam lambung
meningkat, hingga muncullah keluhan rasa mual. Keluhan ini biasanya muncul di
pagi hari saat perut ibu dalam keadaan kosong dan terjadi peningkatan asam
lambung (Wiknjosastro, 2014).

D. Hubungan Usia dan Status Gravida Ibu dengan Hiperemesis Gravidarum

Usia dibawah 20 tahun bukan masa yang baik untuk hamil karena organ-
organ reproduksi belum sempurna, kehamilan di usia kurang 20 tahun dapat
menyebabkan hiperemesis karena pada kehamilan di usia kurang 20 secara
biologis belum optimal emosinya, cenderung labil, mentalnya belum matang. Hal
17

ini mempengaruhi emosi ibu sehingga terjadi konflik mental yang membuat ibu
kurang nafsu makan. Bila ini terjadi maka bisa mengakibatkan iritasi lambung
yang dapat memberi reaksi pada impuls motorik untuk memberi rangsangan pada
pusat muntah melalui saraf otak kesaluran cerna bagian atas dan melalui saraf
spinal ke diafragma dan otot abdomen sehingga terjadi muntah. Mengakibatkan
kurangnya pemenuhan zat-zat gizi selama kehamilannya (Manuaba, 2010; Ridwan
dan Wahidudin, 2007).

Sedangkan pada usia 35 tahun, terkait dengan kemunduran dan penurunan


daya tahan tubuh serta berbagai penyakit yang sering menimpa di usia ini hal ini
tentu menyulitkan proses kehamilan dan persalinan (Manuaba, 2010; Ridwan dan
Wahidudin, 2007).

Berdasarkan gravida, mual dan muntah dapat terjadi pada 60-80%


primigravida dan 40-60% pada multigravida, satu diantara seribu kehamilan yang
belum mampu untuk beradaptasi dalam kondisi kehamilannya (Prawirohardjo,
2010).

Peningkatan hormon HCG membuat kadar asam lambung meningkat,


hingga muncullah keluhan rasa mual. Keluhan ini biasanya muncul di pagi hari
saat perut ibu dalam keadaan kosong dan terjadi peningkatan asam lambung
(Prawirohardjo, 2010).

Riwayat kehamilan yang lalu juga dapat mempengaruhi terjadinya


hiperemesis gravidarum, karena ibu yang hamil dengan hiperemesis gravidarum
akan dapat dengan mudah menderita pada kehamilan selanjutnya. Jarak dan umur
juga dapat mempengaruhi karena ketidaksiapan dalam memproduksi lagi dapat
menjadikan ibu menjadi menurun kondisinya dan memerlukan perhatian khusus,
karena rentan untuk menderita komplikasi-komplikasi kehamilan yang lain
(Siswosudarmo, 2010).
18

E. Penelitian Terkait

1. Penelitian yang dilakukan oleh Muliana (2011) tentang Hubungan


Umur dan Paritas ibu dengan kejadian Hiperemesis Gravidarum di Rumah
Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin Palembang Tahun 2011
penelitian ini menggunakan metode survei analitik dengan menggunakan
pendekatan Cross Sectional dimana variabel umur ibu dan paritas
serta variabel hiperemesis gravidarum akan dikumpulkan dalam waktu
yang bersamaan, sampel penelitian diambil secara total sampling dari
hasil pengolahan datausia dan paritas didapatkan p value (0,000) lebih
kecil dari (0,05). Sehingga hipotesis yang menyatakan ada hubungan
antara umur ibu dan paritas dengan kejadian hiperemesis gravidarum
terbukti secara statistik.

2. Penelitian yang di lakukan Puriati (2011) tentang Hubungan Umur


dan Paritas Ibu dengan Kejadian Hiperemesis Gravidarum di RSUD
Adjidarmo Rangkasbitung tahun 2011 Penelitian ini adalah penelitian
analitik (kuantitatif) tipe kasus kontrol tidak berpasangan (unmatched
case control study) dengan menggunakan pendekatan retrospektif.

Hasil tersebut dapat dilihat dari hasil uji statistik dengan


menggunakan Chi Square pada Alpha = 0,05 didapatkan nilai P = 0,002
(p < 0,05) yang berarti bahwa secara statistik terdapat hubungan yang
bermakna antara paritas ibu dengan kejadian hiperemesis gravidarum di
RSUD dr. Adjidarmo Rangkasbitung tahun 2011.

Hasil uji statistik dengan menggunakan Chi Square pada Alpha =


0,05 didapatkan nilai P = 0,000 (p < 0,05) yang berarti bahwa secara
statistik terdapat hubungan yang bermakna antara umur ibu dengan
kejadian hiperemesis gravidarum.
19

3. Penelitian yang dilakukan Oktaria (2010) tentang Hubungan Usia


dan Gravida Ibu dengan Hiperemesis Gravidarum di Ruang Camar III
RSUD Arifin Achmad Populasinya adalah seluruh ibu hamil yang
pernah dirawat dan tercatat diruang camar III dari bulan Januari-
Desember 2010 yaitu 541 orang. Pengambilan sampel adalah total
sampling . Adapun jenis data yang digunakan adalah data sekunder
dengan instrument penelitiannya menggunakan daftar checklist.Analisa
dalam penelitian ini yaitu univariat dan bivariat dengan uji chi-square.
Dari hasil penelitian dari 541 ibu hamil dapat diketahui 81,15% tidak
mengalami hiperemesis gravidarum, 64,32% berumur 20 35 tahun,
54,53% pada ibu multigravida, dan diketahui bahwa tidak terdapat
hubungan umur dan gravida terhadap kejadian hiperemesis gravidarum.

4. Penelitian Sari (2013) tentang Hubungan Beberapa Faktor Resiko


dengan Kejadian Hiperemesis Gravidarum Jenis penelitian ini adalah
analitik observasional dengan desain case control tak berpadanan.
Sampel penelitian ini terdiri dari 62 kasus dan 62 kontrol. Data diperoleh
dengan mengambil rekam medik di bangsal obsteri dan ginekologi
RSUD Raden Mattaehr. Terdapat hubungan bermakna antara
primigravida dengan hiperemesis gravidarum (p=0,045. Terdapat
hubungan bermakna antara umur kehamilan 16 minggu (p=0,000).
Terdapat pula hubungan yang bermakna antara anemia dengan
hiperemesis gravidarum (p=0,006). Tidak didapati perbedaan yang
bermakna antara umur ibu dengan hiperemesis gravidarum (p=0,436).
20

F. Kerangka Teori
Berdasarkan tinjauan kepustakaan di atas, berikut ini disajikan kerangka
teori dari penelitian:

Faktor Infeksi

Faktor Hormonal

Faktor Metabolik

Faktor Alergi

Hiperemesis
Gravidarum
Faktor Psikosomatik

Faktor Gravida

Faktor Usia
Keterangan:
: Tidak Diteliti

: Diteliti

Gambar 2.1 Kerangka Teori

Sumber : Modifikasi Neil-Rose (2007), Tiran (2008), Proverawati(2009)

Anda mungkin juga menyukai