1 Mahasiswa/i
Prevalensi Kontaminasi Telur Cacing Lalapan Daun Kubis pada Warung Makan yang
Menyediakan Daun Kubis sebagai Lalapan di Kecamatan Grogol Petamburan,
Jakarta Barat
Manusia memerlukan konsumsi zat-zat gizi untuk menciptakan tubuh yang sehat. Zat-zat gizi tersebut
antara lain kalori, karbohidrat, lemak, protein, vitamin dan mineral yang berfungsi untuk pertumbuhan
dan kesehatan tubuh. Zat-zat gizi tersebut tidak diperoleh dari satu macam bahan makanan saja melainkan
dari beberapa bahan makanan yang berupa makanan pokok, lauk pauk, buah, susu maupun sayuran.
Sayuran merupakan makanan pendamping makanan pokok yang kaya gizi. Di dalam sayuran pun
terkandung protein, vitamin dan mineral. Sayuran dalam bidang hortikultura dapat diartikan bagian dari
tunas, daun, buah dan akar tanaman yang lunak dan dapat dimakan secara utuh atau sebagian dalam
keadaan segar atau mentah (lalapan) atau dimasak, sebagai pelengkap pada makanan berpati dan daging.1
Di Indonesia kebanyakan masyarakatnya memiliki kebiasaan memakan sayur mentah (lalapan) jika
sedang makan di warung makan. Kebiasaan memakan lalapan perlu diperhatikan terutama jika pencucian
sayur kurang baik yang memungkinkan telur cacing masih berada pada sayuran tersebut. Jika dilihat
dapur untuk mencuci sayur tersebut kurang higienis ditambah kurangnya kesadaran pedagang dan
masyarakat akan bahaya akibat infeksi cacing ini.2
Kubis merupakan salah satu lalapan yang banyak disajikan penjual makanan pedagang kaki lima seperti
penjual pecel lele. Kubis termasuk salah satu sayuran daun yang digemari oleh hampir setiap orang,
dengan cita rasanya enak dan lezat. Kubis merupakan sumber penting vitamin C dan beberapa mineral. 3
Kubis juga berkhasiat sebagai antioksidan, pencahar, melindungi tubuh dari bahaya radiasi (seperti sinar
x, komputer, microwave, dan televisi berwarna), dan merangsang sistem imun tubuh. Kubis juga
digunakan untuk mengatasi gatal akibat jamur Candida dan mengatasi sulit buang air besar.4
Prevalensi infeksi cacing usus yang ditularkan melalui tanah / Soil Transmitted Helmints (STH) di daerah
tropik masih cukup tinggi. Di Indonesia nematoda usus masih menjadi masalah kesehatan masyarakat
seperti Ascaris lumbricoides, cacing tambang, dan Trichuris trichiura. Sedangkan cara masuknya
nematoda usus dalam menginfeksi tubuh manusia yaitu melalui mulut (fecal oral) dan kulit. Telur-telur
tersebut dapat masuk diantaranya melalui tidak bersihnya mencuci tangan, sayuran yang tidak dicuci
dengan bersih, atau sayur yang mentah / tidak dimasak.5
Hasil penelitian Siti pada tahun 2010 didapatkan beberapa spesies telur nematoda usus pada sayuran
kubis, diketahui terdapat beberapa spesies telur nematoda usus. Diantaranya adalah telur Ascaris
lumbricoides, pada 4 contoh uji sayuran kubis yang diperiksa, spesies telur Trichuris trichiura, pada 3
contoh uji sayuran kubis yang diperiksa dan telur cacing tambang, pada 1 contoh uji sayuran kubis yang
diperiksa. Dari 7 contoh uji (sampel) sayuran kubis yang diketahui spesies telur nematoda ususnya,
sebagian besar merupakan kontaminasi tunggal sedangkan untuk kontaminasi campuran ditemukan pada
satu contoh uji sayuran kubis yang diperiksa, yaitu berupa kontaminasi campuran telur Ascaris
lumbricoides dengan telur Trichuris trichiura.5
Penelitian kasus kecacingan di kota Palu pada semua golongan umur adalah 51,7%. hal ini mungkin
disebabkan sering mengkonsumsi lalapan. Hasil penelitian dibeberapa wilayah di Indonesia 80% penyakit
Masalah:
Berapakah kontaminasi telur cacing pada warung makan yang menyediakan daun kubis sebagai lalapan
di kecamatan Grogol Petamburan, Jakarta Barat ?
Tujuan Umum:
Mengetahui prevalensi kontaminasi telur cacing pada lalapan daun kubis pada warung makan yang
menyediakan daun kubis sebagai lalapan di Kecamatan Grogol Petamburan
Tujuan Khusus:
Mengidentifikasi spesies telur cacing yang ada pada lalapan daun kubis pada warung makan di
kecamatan Grogol Petamburan
Mengetahui teknik pencucian lalapan daun kubis pada warung makan di kecamatan Grogol Petamburan
Mengetahui air yang di pakai untuk mencuci lalapan pada warung makan di kecamatan Grogol
Petamburan
Manfaat Penelitian :
Bagi peneliti :
Mendapatkan pengetahuan dan pengalaman dalam melaksanakan penelitian
Memperluas wawasan dalam bidang kesehatan masyarakat pada umumnnya terutama pada bidang
yang diteliti
Bagi masyarakat :
Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk memberikan masukan dalam rangka meningkatkan
upaya upaya pencegahan penyakit cacingan.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan kesehatan
masyarakat terlebih dibagian sanitasi lingkungan
Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap kebersihan dalam pengolahan dan pemanfaatan
sayuran yang dikonsumsi oleh manusia, seperti cara mencuci dan teknik mencuci merupakan hal yang
perlu diperhatikan. Penggunaan air mengalir dianjurkan daripada menggunakan air yang menggenang
atau air dalam wadah yang digunakan untuk mencuci sayuran secara berulang. Selama periode
penanaman sayur juga terdapat pengaruh lingkungan yang memungkinkan terjadinya ketidakamanan
pangan dan terdapat sisa-sisa kotoran. Sehingga pencucian mutlak diperlukan sebelum sayur dikonsumsi.
Penggunaan air sebagai media untuk mencuci sayuran dimungkinkan memiliki pengaruh terhadap
terjadinya kontaminasi.
Penelitian yang dilakukan oleh Kodijat pada tahun 1988, menunjukkan bahwa sumber
kontaminasi juga berasal dari air dan lumpur yang berasal dari PLTA Bandung, yang sepanjang alirannya
dipakai untuk menyiram, mencuci dan memupuk sayuran. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa
air (36,8%) dan lumpur (21,0%) telah tercemar dengan telur A. lumbricoides, T.trichiura dan cacing
tambang juga ditemukan adanya larva rhabditiform dan larva filariform. Hal yang sama juga ditunjukkan
oleh penelitian yang dilakukan oleh Fauzan pada tahun 1992, bahwa sumber pencemaran telur nematoda
usus yakni melalui penyiraman sayuran. 5 Kualitas air yang digunakan untuk membersihkan mutlak
diperlukan. Karena air juga sangat mempengaruhi keberadaan telur cacing pada saat pencucian sayuran.
Menurut Astawan bahwa pencucian yang benar adalah dengan air mengalir sehingga dapat
membersihkan sisa kotoran dengan 10 maksimal.2
Menteri kesehatan Republik Indonesia juga memberi keputusan berkaitan dengan persyaratan
higiene sanitasi pada rumah makan dan restoran. Higiene sanitasi makanan adalah upaya untuk
mengendalikan faktor makanan, orang, tempat dan perlengkapannya yang dapat menimbulkan penyakit
atau gangguan kesehatan. Persyaratan untuk ruang makan misalnya adalah lantai dan langit-langit harus
selalu bersih, harus bebas dari serangga, tikus dan hewan lainnya, meja, kursi, dan taplak meja harus
dalam keadaan bersih.6
Pada penelitian yang dilakukan Wardhana pada tahun 2013 beberapa pedagan hanya mencuci
sayuran kubis pada bagian luarnya saja. Selain itu pencuciannya juga tidak dibawah air yang mengalir.
Ada juga pedagan yang mencuci sayuran kubis dengan cara merendam kubis yang masih dalam bentuk
utuh kedalam wadah yang berisi air. Proses pencucian sayuran yang kurang baik ini memungkinkan
masih tertinggalnya telur Soil Transmitted Helminths (STH) pada sayuran sebelum disajikan sebagai
lalapan. Cara mencuci sayuran dan teknik mencuci merupakan hal yang perlu diperhatikan sebelum
sayuran disajikan sebagai lalapan. Mencuci dengan teknik merendam di dalam wadah seperti baskom dan
panci, kotoran atau telur cacing yang tadinya terlepas bisa menempel kembali di sayuran. Pencucian sayur
dengan air yang mengalir akan membuat sayur menjadi bersih, karena air akan membawa kotoran, debu,
kuman, parasit, telur cacing, dan lain sebagainya.7
Penggunaan air sebagai media untuk mencuci sayuran dimungkinkan memiliki pengaruh terhadap
terjadinya kontaminasi. Air bersih yang dipakai untuk mencuci sayuran yang digunakan sebagai sayuran
mentah (lalapan) di warung makan lesehan di kota Wonosari Gunungkidul, sebagian besar berasal dari air
PDAM. Sumber perolehan kebutuhan air bersih dari PDAM tersebut diantaranya berasal dari sumur dan
sungai bawah tanah kemudian didistribusikan kepada masyarakat tanpa disertai dengan pengolahan
terlebih dahulu. Penelitian yang dilakukan oleh Kodijat pada tahun 1988 di Bandung, menunjukkan
bahwa sumber kontaminasi juga berasal dari air dan lumpur yang berasal dari PLTA Bandung, yang
sepanjang alirannya dipakai untuk menyiram, mencuci dan memupuk tanaman/sayuran. Hasil penelitian
tersebut menunjukkan bahwa air (36,8%) dan lumpur (21,0%) telah tercemar dengan telur A.
lumbricoides, T. trichiura dan cacing tambang dan juga ditemukan adanya larva rhabditiform dan larva
2. Cacing tambang
Necator americanus dan Ancylostoma duodenale merupakan salah satu spesies dari cacing
tambang. Kedua parasit ini diberi nama cacing tambang karena pada zaman dulu cacing ini ditemukan
pada pekerja pertambangan di Eropa yang belum memiliki fasilitas sanitasi yang baik. Cacing Necator
americanus menyebabkan necatoriasis sedangkan Ancylostoma duodenale menyebabkan ankilostomiasis.
Cacing dewasa hidup di rongga usus halus, dengan mulut yang besar melekat pada mukosa
dinding usus. Cacing betina N.americanus mengeluarkan telur 5.000-10.000 butir. Sedangkan
A.duodenale menghasilkan 10.000-25.000 butir per harinya. Bentuk badan cacing N.americanus biasanya
menyerupai huruf S sedangkan cacing A.duodenale menyerupai huruf C. Rongga mulut kedua cacing ini
besar, N.americanus biasanya memiliki benda kitin, sedangkan A.duodenale ada dua pasang gigi.
Telur dikeluarkan bersama tinja dan setelah dalam waktu 1-1,5 hari, keluarlah larva rabditiform.
Dalam waktu 3 hari larva akan tumbuh menjadi bentuk filariform, yang dapat menembus kulit dan
dapat hidup hingga 7-8 minggu di tanah. Jika larva filariform menembus kulit, larva akan ke kapiler darah
dan menuju jantung kanan, lalu ke paru menuju bronkus, ke trakea dan laring lalu menuju usus halus.
Infeksi terjadi bila larva filariform menembus kulit. Infeksi A.duodenale juga dapat terjadi dengan
menelan larva filariform.8
Gejala umum pada infeksi cacing tambang adalah anemia kekurangan zat besi karena cacing
mengisap darah pada mukosa usus tempat perlekatan cacing, gangguan sistem pencernaan, dan gangguan
Kerangka Teori
10
11
12
Keterangan :
Z = derifat baku alfa (untuk penelitian ini nilai Z = 1,960 untuk = 5%)
P = proporsi kategori variable yang diteliti (P =0,231)
Q = 1- P (1 - 0,231 = 0,769)
d = presisi 10%
Karena sudah ada data penelitian sebelumnya, maka peneliti menggunakan nilai P (pravelensi)
sebesar 23,1%, karena perkalian P x Q akan maksimal jika nilai P = 23,1%. Sehingga nilai Q (derajat
kepercayaan) adalah 1- P. Nilai sebesar 5% sehingga nilai Z = 1,96 dengan nilai presisi(d) 10%.
Dengan demikian, besar sampel yang digunakan adalah :
Dan setelah dilakukan perhitungan didapatkan hasil 68.24 dan akan dibulatkan menjadi 68 sampel.
Kriteria inklusi :
Warung makan yang menyediakan kubis mentah sebagai lalapan.
Pedagang yang bersedia mengisi kuesioner dan memberikan kubis untuk penelitian.
Kriteria eksklusi :
Warung makan yang tidak bersedia memberikan daun kubis untuk dilakukan penelitian.
Pedagang yang tidak bersedia mengisi kuesioner.
12.5 Bahan, alat dan cara pengambilan data
12.6.1 Bahan Penelitian
Daun kubis
13
14
15
Bulan (Tahun)
N Me Agu Se De Mare
o Kegiatan i Juni Juli s pt s t Aprl Mei Juni
Studi
1 pustaka
Persiapan
alat dan
bahan
2 penelitian
3 Penelitian
4 Penulisan
16
Implikasi Etik Eksperimental pada Manusia Berikan pernyataan singkat mengenai permasalahn etik
yang dapat timbul dari eksprimentasi, dan jelaskan bagaimana permasalahan tersebut dapat diatasi. Permasalahan etik
termasuk (a) bahaya dan komplikasi perlakuan, (b) kerahasiaan data (confidentiality), (c) Informed consent, dan sebagainya.
18