Anda di halaman 1dari 39

Op poenya

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dengan berkembangnya teknologi di berbagai bidang kehidupan, tidak
berarti bahwa resiko tinggi kecelakaan pada manusiapun tidak ada. Banyak
kecelakaan yang terjadi sebagai akibat dari aktivitas sehari-hari. salah satu
trauma yang memiliki tingkat resiko paling tinggi ialah resiko cedera kepala,
karena sangat berkaitan erat dengan susunan saraf pusat yang berada di rongga
kepala.
Pada umumnya kematian pada trauma kepala terjadi setelah segera setelah
injury dimana terjadi trauma langsung pada kepala, atau perdarahan yang
hebat dan syok. Kematian yang terjadi dalam beberapa jam setelah trauma
disebabkan oleh kondisi klien yang memburuk secara progresif akibat
perdarahan internal. Pencatatan segera tentang status neurologis dan intervensi
surgical merupakan tindakan kritis guna pencegahan kematian pada phase ini.
Kematian yang terjadi 3 minggu atau lebih setelah injury disebabkan oleh
berbagai kegagalan sistem tubuh.
Data statistik menunjukkan bahwa tingkat trauma kepala sangat tinggi
yang diakibatkan sebagai akibat kurang kewaspadaan dari masing-masing
individu. Dari semua kasus cedera kepala di Amerika Serikat 49% disebabkan
oleh kecelakaan lalu lintas (sepeda motor) dan jatuh merupakan penyebab ke
dua (keperawatan kritis, Hudak & Gallo) serta dua kali lebih besar pada pria
dibandingkan wanita sedangkan di Indonesia belum ada penelitian yang
menunjukkan presentasi kematian yang diakibatkan oleh cedera kepala, tetapi
dari pengamatan yang dilakukan banyak kasus cedera kepala disebabkan oleh
kecelakaan lalu lintas.
Cedera kepala ringan pada umumnya tidak menunjukkan gejala yang jelas
sehingga masyarakat tidak langsung mencari bantuan medis, padahal sekecil
apapun trauma di kepala bisa mengakibatkan gangguan fisik, mental bahkan
kematian. Untuk mengantisipasi keadaan di atas maka masyarakat harus diberi
penyuluhan-penyuluhan untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap trauma

1
Op poenya

kepala. Peran dari berbagai pihak seperti kepolisian sangat penting karena
kecelakaan terjadi biasanya didahului dengan pelanggaran lalu lintas, sehingga
pendidikan, tata tertib di jalan raya perlu ditingkatkan.
Oleh karena itu peran perawat tidak kalah pentingnya dalam penanganan
trauma kepala karena perawat bisa melakukan penyuluhan maupun tindakan
observasi untuk menurunkan angka kematian yang disebabkan oleh cedera
kepala.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah definisi dari cedera kepala?
2. Bagaimana anatomi dan fisiologi pada cedera kepala?
3. Bagaimanakah etiologi dari cedera kepala?
4. Bagaimanakah patofisiologi dari cedera kepala?
5. Bagaimanakah woc dari cedera kepala?
6. Apa-apa sajakah manifestasi klinis dari cedera kepala?
7. Apa sajakah komplikasi yang ditimbulkan dari cedera kepala?
8. Apa-apa sajakah pemeriksaan penunjang dari cedera kepala?
9. Bagaimanakah penatalaksanaan dari cedera kepala?
10. Bagaimanakah penatalaksanaan medis dari cedera kepala?
11. Bagaimanakah asuhan keperawatan terhadap kasus cedera kepala?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui definisi dari cedera kepala.
2. Mengetahui anatomi dan fisiologi pada cedera kepala.
3. Mengetahui etiologi dari cedera kepala.
4. Mengetahui patofisiologi dari cedera kepala.
5. Mengetahui woc dari cedera kepala.
6. Mengetahui manifestasi klinis dari cedera kepala.
7. Mengetahui komplikasi yang ditimbulkan dari cedera kepala.
8. Mengetahui pemeriksaan penunjang dari cedera kepala.

2
Op poenya

9. Mengetahui penatalaksanaan dari cedera kepala.


10. Mengetahui penatalaksanaan medis dari cedera kepala.
11. Mengetahui asuhan keperawatan terhadap kasus cedera kepala.

3
Op poenya

BAB II
PEMBAHASAN

A. Defenisi
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan
utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat
kecelakaan lalu lintas. (Mansjoer Arif,dkk ,2000)
Cedera kepala adalah Suatu gangguan trauma fungsi yang disertai
pendarahan interstisial dalam sub stansi otak tampa diikuti terputusnya
continuitas otak (R. Samsuhidayat, dkk, EGC, 1997)
Cedera kepala atau cedera otak merupakan suatu gangguan traumatik dari
fungsi otak yang di sertai atau tanpa di sertai perdarahan interstisial dalm
substansi otak tanpa di ikuti terputusnya kontinuitas otak. (Arif Muttaqin,
2008, hal 270-271)
Cedera Kepala (terbuka & tertutup) terdiri dari fraktur tengkorak Cranio
serebri

(geger), Kontusio (memar) atau Laserasi & perdarahan serebral


(subarakhnoid, subdural, epidural, intraserebral batang otak). Trauma primer
terjadi karena benturan langsung atau tidak langsung (akselerasi atau
deselerasi otak). Trauma sekunder akibat trauma syaraf (mil akson) yang
meluas hipertensi intrakranial, hipoksia, hiperkapnea atau hipertensi sistemik
(Doengoes,1993)

4
Op poenya

B. Anatomi dan Fisiologi


1. Anatomi kepala
Tengkorak terbagi atas:
a) Tengkorak Otak
Tengkorak otak menyelubingi otak dan alat pendengar. Tengkorak
otak terdiri dari :
a. Kubah tengkorak
Kubah tengkorak yang berbentuk cembung menyelubungi
rongga tengkorak dari atas dan dari sisi. Kubah tengkorak terdiri atas
beberapa tulang ceper yang dihubungkan oleh sutura tengkorak. Dari
depan ke belakang terdapat berturut-turut sebuah tulang dahi,
sepasang tulang ubun-ubun dan sebuah tulang belakang kepala. Pada
dinding sisi kubah tengkorak terdapat sepasang tulang pelipis. Tulang
dahi, tulang belakang kepala turut pula membentuk dasar tengkorak.
b. Dasar Tengkorak
Bagian dasar tengkorak dapat dibedakan 3 bagian, yaitu lekuk
tengkorak depan, lekuk tengkorak tengah dan lekuk tengkorak
belakang. Bagian tengah dasar lekuk tengkorak depan dibentuk oleh
tulang lapisan yang mempunyai banyak lubang halus untuk memberi
jalan kepada serabut-serabut saraf penghidu, oleh karena itu bagian
tulang lapisan tersebut dinamakan lempeng ayakan yang merupakan
atap bagi rongga hidung.
Lekuk tengkorak tengah terdiri dari atas bagian tengah dan dua
bagian sisi, bagian tengah adalah pelana turki. Dasar lekuk tengkorak
belakang letaknya lebih rendah daripada dasar lekuk tengkorak depan.
Lekuk tengkorak belakang letaknya lebih rendah lagi daripada lekuk
tengkorak tengah.

b) Tengkorak Wajah
Tengkorak wajah letaknya di depan dan di bawah tengkorak otak.
Lubang-lubang lekuk mata dibatasi oleh lubang dahi, tulang pipi dan

5
Op poenya

tulang rahang atas. Dinding belakang lekuk mata juga dibentuk oleh tulang
baji (sayap besar dan kecil). Dinding dalamnya dibentuk oleh tulang
langitan, tulang lapisan dan tulang air mata. Selain oleh toreh lekuk mata
atas dan oleh lubang untuk saraf penglihat maka dinding lekuk mata itu
tembus oleh toreh lekuk mata bawah yang terletak antara tulang baji,
tulang pipi dan tulang rawan atas. Toreh itu mangarah ke lekuk wajah
pelipis. Tulang air mata mempunyai sebuah lekuk yang jeluk, yaitu lekuk
kelenjar air mata yang disambung ke arah bawah oleh tetesan air mata
yang bermuara di dalam rongga hidung.
a. Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan sebagai scalp, yaitu :
1) Kulit
2) Jaringan penyambung (connective tissue)
3) Galae aponeurotika yaitu jaringan ikat yang berhubungan langsung
dengan tengkorak.
4) Perikranium.
Kulit kepala banyak memiliki pembuluh darah sehingga terjadi
perdarahan akibat laserasi kulit kepala akan mengakibatkan banyak
kehilangan darah, (American College of Surgeons 1997)
b. Tulang Tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari kalvakrium dan basis kranii. Rongga
tengkorak dasar adalah tempat lobus frontalis, fosa medis adalah tempat
lobus temporalis dan fosa posterior adalah ruang bagi batang otak bawah
dan serebelum, (American College of Surgeons 1997)
c. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak yang terdiri
dari 3 lapisan, yaitu dura meter, arakhnoid dan pia meter. Dura meter
adalah selaput keras terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat
dan tabula interna atau bagian dalam kranium. Di bawah dura meter
terdapat lapisan kedua yang tipis dan tembus pandang di sebut selaput
arakhnoid. Lapisan ketiga adalah pia mater yang melekat pada permukaan
kortek serebri, (American College of Surgeons 1997)

6
Op poenya

d. Sistem Saraf Pusat (SSP)


Sistem saraf pusat di sini adalah otak dan medula spinalis yang
tertutup di dalam tulang dan terbungkus dalam selapu-selaput (meningen)
pelindung, serta rongga yang berisi cairan.
1) Otak dan pembagiannya
Otak secara garis besar dapat dibedakan menjadi 3 bagian, yaitu :
serebrum, batang otak, dan serebelum.
a) Serebrum
Setiap hemisfer dibagi atas empat lobus yaitu : lobus frontalis,
parietal, oksipital, temporalis. Fungsi dari setiap lobus berbeda-
beda. Berikut penjelasan dari masing-masing fungsi lobus :
1. Lobus Frontalis, bagian depan bekerja untuk proses belajar,
merancang, psikologi, lobus frontalis bagian belakang untuk
proses motorik termasuk bahasa.
2. Lobus parietal, bekerja khusus untuk sensorik somatik (misal
sensibilitas kulit) dan peran asosiasinya, beberapa areanya
penting bagi proses kognitif dan intelektual.
3. Lobus Oksipital, merupakan area pengoperasian penglihatan.
4. Lobus temporalis, merupakan pusat pendengaran dan
asosiasinya, beberapa pusat bicara, pusat memori. Bagian
anterior dan basal lobus temporalis penting untuk indra
penghidu.
b) Batang Otak
Batang otak terdiri dari otak tengah, pons dan medula
oblongata. Masing-masing struktur mempunyai tanggung jawab
yang unik dan fungsi ketiganya sebagai unit untuk menjalankan
saluran impuls yang disampaikan ke serebri dan lajur spinal.
1. Otak Tengah, merupakan bagian pendek dari batang otak yang
letaknya di atas pons. Bagian ini terdiri dari bagian posterior
yaitu tektum yang terdiri dari bagian bagian kolikuli superior
dan kolikuli inferior dan bagian anterior yaitu pedunkulus
serebri. kolikuli superior berperan dalam refleks penglihatan

7
Op poenya

dan koordinasi gerakan penglihatan, sedangkan kolikuli inferior


berperan dalam reflek pendengaran, misalnya menggerakkan
kepala ke arah datangnya suara. Pedunkulus serebri terdiri dari
berkas serabut-serabut motorik yang berjalan turundari
serebelum.
2. Pons, terletak diantara otak tengah dan medula oblongata. Pons
berupa jembatan serabut-serabut yang menghubungkan kedua
hemisfer serebelum, serta menghubungkan mesensefalon di
sebelah atas dengan medula oblongata bawah. Pons merupakan
mata rantai penghubung yang penting pada jaras
kortikoserebelaris yang menyatukan hemisfer serebri dan
serebelum.bagian bawah pons berperan dalam pengaturan saraf
kranial trigeminus, abdusen dan fasialis (lihat gambar 2)
3. Medula Oblongata, terletak diantara pons dan medula spinalis.
Pada medula ini merupakan pusat refleks yang penting untuk
jantung. Vasokonstriktor, pernapasan,bersin,batuk,menelan,
pengeluaran air liur dan muntah.
c) Serebelum
Serebelum terletak di dalam fosa kranii posterior dan ditutupi
oleh durameter yang menyerupai atap tenda, yaitu tentorium yang
menisahkan dari bagian posterior serebrum. Serebelum terdiri dari
bagian tengah, vermis dan dura hemisfer lateral. Serebelum
dihubungkan dengan batang otak oleh tiga berkas serabut yang
dinamakan pedunkulus. Pendukulus serebeli superior berhubungan
dengan mesensefalon ; pendukulus serebeli media menghubungkan
kedua hemisfer otak ; sedangkan pendukulus serebeli inferior berisi
serabut-serabut traktus spinosere belaris dorsalis dan berhubungan
dengan medula oblongata. Semua aktivitas serebelum berada di
bawah kesadaran. Fungsi utama serebelum adalah sebagai pusat
refleks yang mengkoordinasi dan memperluas gerakan otot, serta
mengubah tonus dan kekuatan kontraksi untuk mempertahankan
keseimbangan dan sikap tubuh.

8
Op poenya

2) Medula Spinalis
Medula spinalis terletak di dalam kanalis neural dari kolumna
vertebra, berjalan ke bawah dan memenuhi kanalis neural sampai
setinggi vertebra lumbalis kedua. Sepasang saraf spinalis berada
diantara pembatas vertebra sepanjang kolumna vertebra. Di bawah
ujung tempat medula spinalis berakhir. Di dalam ujung tempat medula
spinalis terletak interneuron, serabut sensori, asenden, serabut motorik
desenden dan badan sel saraf dan dendrit somatik sekunder (volunter)
dan motor neurons otonom utama. Area sentral medula spinalis
merupakan massa abu-abu yang mengandung badan sel saraf dan
neuron internunsial.
e. Sistem Saraf Tepi (SST)
Menurut Price & Wilson, (1995) susunan saraf tepi terdiri dari
saraf kranial bervariasi, yaitu sensori motorik dan gabungan dari kedua
saraf. Saraf motorik dipersarafi oleh beberapa percabangan saraf kranial,
12 pasang saraf kranial adalah :
1) Nervus I (Olfaktorius) : Sifatnya sensorik mensarafi hidung
membawa rangsangan aroma (bau-bauan) dari aroma rongga
hidung ke otak.
2) Nervus II (Optikus) : Sifatnya sensorik, mensarafi bola
mata membawa rangsangan penglihatan ke otak
3) Nervus III (Okulomotorius) : Sifatnya motorik, mensarafi otot-
otot orbital (otot penggerak bola mata) / sebagai pembuka
bola mata.
4) Nervus IV (Trochlear) : Sifatnya motorik, mensarafi otot-otot
orbital, sebagai pemutar bola mata
5) Nervus V (Trigeminus) : Sifatnya majemuk (sensorik- motorik)
bertanggung jawab untuk pengunyah.
6) Nervus VI (Abdusen) : Sifatnya motorik, sebagai pemutar
bola mata ke arah luar

9
Op poenya

7) Nervus VII (Fasial) : Sifatnya majemuk (sensorik-


motorik), sebagai mimik wajah dan menghantarkan rasa pengecap,
asam, asin dan manis.
8) Nervus VIII (Vestibulokokhlearis) : Sifatnya sensorik, saraf kranial
ini mempunyai dua bagian sensoris yaitu auditori dan vestibular
yang berperan sebagai penterjemah.
9) Nervus IX (Glosofharyngeal) : Berperan dalam menelan dan
respons sensori terhadap rasa pahit di lidah.
10) Nervus X (Vagus) : Sifatnya majemuk (sensorik- motorik)
mensarafi faring, laring dan platum
11) Nervus XI (Asesoris) : Sifatnya motorik, saraf ini bekerja
sama dengan vagus untuk memberi informasi ke otot laring dan
faring.
12) Nervus XII (Hipoglosal) : Sifatnya motorik, mensarafi otot-otot
lidah.
f. Sistem Saraf Otonom (SSO)
Sistem Saraf Otonom merupakan sistem saraf campuram. Serabut-
serabut aferennya membawa masukan dari organ-organ viseral (menangani
pengaturan denyut jantung, diameter pembuluh darah, pernafasan,
percernaan makanan, rasa lapar, mual, pembuangan dan sebagainya). Saraf
aferen motorik SSO mempersarafi otot polos, otot jantung dan kelenjar-
kelenjar viseral-SSO terutama menangani pengaturan fungsi viseral dan
interaksinya dengan lingkungan dalam.
Sistem Saraf Otonom dibagi menjadi dua bagian : Bagian Pertama
adalah Sistem Saraf Otonom parasimpatis (SSOp) dan Sistem Saraf
Otonom simpatis (SSOs), bagian simpatis meninggalkan sistem saraf pusat
dari daerah thorakal dan lumbal (torakolumbal) medula spinalis. Bagian
parasimpatis ke luar otak (melalui komponen-komponen saraf karanial)
dan bagian sakral medula spinalis (kraniosakral).
Fungsi simpatis adalah peningkatan kecepatan denyut jantung dan
pernapasan, serta menurunkan aktivitas saluran cerna.tujuan utama

10
Op poenya

fungsinya adalah mempersiapkan tubuh agar siap menghadapi stress atau


apa yang dinamakan respon lari.
Fungsi parasimpatis adalah menurunkan kecepatan denyut jantung
dan pernapasan dan meningkatkan pergerakan saluran cerna sesuai dengan
kebutuhan pencernaan dan pembuangan. Jadi saraf parasimpatis
membantu konservasi dan hemostatis fungsi-fungsi tubuh.
g. Cairan Serebrospinal
Fungsi cairan serebrospinal adalah sebagai penahan getaran,
menjaga jaringan SSP yang sangat halus dari benturan terhadap struktur
tulang yang mengelilinginya dan dari cedera mekanik. Juga berfungsi
dalam pertukaran nutrien antara plasma dan kompartemen selular. Cairan
serebrospinal merupakan filtrat plasma yang dikeluarkan oleh kapiler di
atap dari keempat ventrikel otak. Seperti yang telah disebutkan, ini serupa
dengan plasma minus plasma protein yang besar, yang ada di balik aliran
darah. Sebagaian besar cairan ini dibentuk dalam ventrikel bagian lateral,
yang terletak pada masing-masing hemisfer serebri.
Cairan mengalir dari ventrikel lateral ini melalui duktus ke dalam
ventrikel ketiga diensefalon. Dari ventrikel ketiga cairan mengalir
melalui aquaduktus Sylvius midbrain dan masuk ke ventrikel keempat
medula. Kemudian sebagian dari cairan ini masuk melalui lubang
(foramen) di bagian atas dari ventrikel ini dan masuk ke dalam spasium
subarakhnoid (sejumlah kecil berdifusi ke dalam kanalais spinalis). Dalam
spasium subarakhnoid, CSS diserap kembali ke dalam aliran darah pada
tempat tertentu yang disebut pleksus subarakhnoid.
Pembentukan dan reabsorbsi CSS diatur oleh tekanan osmotik
koloid dan hidrostatik yang sama yang mengatur perpindahan cairan dan
partikel-partikel kecil antara plasma dan kompartemen cairan interstisial
tubuh. Secara singkat direview, kerja dari tekanan ini adalah sebagai
berikut : dua tim yang berlawanan dari tekanan mendorong dan menarik
mempengaruhi gerakan air dan partikel-partikel kecil melalui membran
kapiler semipermiabel. Satu tim terdiri atas tekanan osmotik plasma dan
tekanan hidostatik CSS. Ini memudahkan gerakan air dari kompartemen

11
Op poenya

CSS ke dalam plasma. Gerakan air dari arah yang berlawanan dipengaruhi
oleh tim dari tekanan hidrostatik plasma dan tekanan osmotik CSS. Tim
yang berpengaruh bekerja secara simultan dan kontinu. Dalam ventrikel,
aliran CSS menurunkan tekanan hidrostatik CSS. Hal ini memungkinkan
tim bersama mempengaruhi gerakan air dan partikel kecil dari plasma ke
ventrikel.
Tekanan hidrostatik darah yang rendah dalam sinus venosus
bersebelahan dengan vili arakhnoid menunjukkan skala untuk gerakan air
dan terlarut dari kompartemen CSS kembali ke dalam aliran darah.
Kematian sel-sel yang melapisi kompartemen CSS akan mengeluarkan
protein ke dalam CSS. Ini akan meningkatkan tekanan osmotik CSS dan
memperlambat reabsorbsi (sementara juga mempercepat pembentukan bila
kerusakan terjadi di dalam dinding ventrikel). Peningkatan protein CSS
karena hal ini atau penyebab lain dapat merangsang atau mencetuskan
kondisi kelebihan CSS yang disebut hidrosefalus.
h. Tekanan Intrakranial
Menurut American College of Surgeon, (1997) berbagai proses
patologis yang mengenai otak dapat mengakibatkan kenaikan tekanan
intrakranial yang selanjutnya akan mengganggu fungsi otak yang akhirnya
berdampak buruk terhadap kesudahan penderita. Dan tekanan intrakranial
yang tinggi dapat menimbulkan konsekuensi yang mengganggu fungsi
otak dan tentunya mempengaruhi pula kesembuhan penderita. Jadi
kenaikan intrakranial tidak hanya merupakan indikasi adanya masalah
serius dalam otak tetapi justru sering merupakan masalah utamanya. TIK
normal pada saat istirahat kira-kira 10 mmHg (136 mm H 2O), TIK lebih
tinggi dari 20 mmHg dianggap tidak normal dan TIK lebih dari 40 mmHg
termasuk dalam kenaikan TIK berat. Semakin tinggi TIK setelah cedera
kepala, semakin buruk prognosisnya.

C. Etiologi
1. Trauma oleh benda tajam

12
Op poenya

Menyebabkan cedera setempat & menimbulkan cedera lokal.


Kerusakan lokal meliputi Contusio serebral, hematom serebral, kerusakan
otak sekunder yang disebabkan perluasan masa lesi, pergeseran otak atau
hernia.

2. Trauma oleh benda tumpul & menyebabkan cedera menyeluruh (difusi)


Kerusakannya menyebar secara luas & terjadi dalam 4 bentuk :
cedera akson, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar,
hemoragi kecil multiple pada otak koma terjadi karena cedera menyebar
pada hemisfer cerebral, batang otak atau kedua-duanya.

Klasifikasi Cedera Kepala


1. Menurut Jenis Cedera
a. Cedera Kepala terbuka dapat menyebabkan fraktur pada tulang
tengkorak dan jaringan otak
b. Cedera kepala tertutup dapat disamakan dengan keluhan geger otak
ringan dan oedem serebral yang luas
2. Menurut berat ringannya berdasarkan GCS (Glosgow Coma Scale)
a. Cedera Kepala ringan (kelompok risiko rendah)
1) GCS 13-15 (sadar penuh, atentif, orientatif)
2) Kehilangan kesadaran /amnesia tetapi kurang 30 mnt
3) Tak ada fraktur tengkorak
4) Tak ada contusio serebral (hematom)
5) Tidak ada intoksikasi alcohol atau obat terlarang
6) Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
7) Pasien dapat menderita abrasi, laserasi, atau hematoma kulit
kepala
8) Tidak adanya criteria cedera sedang-berat
b. Cedera kepala sedang
1) GCS 9-14 (konfusi, letargi, atau stupor)
2) Kehilangan kesadaran lebih dari 30 mnt / kurang dari 24 jam
(konkusi)

13
Op poenya

3) Dapat mengalami fraktur tengkorak


4) Amnesia pasca trauma
5) Muntah
6) Kejang
c. Cedera kepala berat
1) GCS 3-8 (koma)
2) Kehilangan kasadaran lebih dari 24 jam (penurunan kesadaran
progresif)
3) Diikuti contusio serebri, laserasi, hematoma intracranial
4) Tanda neurologist fokal
5) Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur kranium
3. Menurut morfologi
a. Fraktur tengkorak
Kranium: linear/stelatum; depresi/non depresi; terbuka/tertutup.
Basis: dengan/tanpa kebocoran cairan serebrospinal, dengan/tanpa
kelumpuhan nervus VII
b. Lesi intracranial
Fokal: epidural, subdural, intraserebral.
Difus: konkusi ringan, konkusi klasik, cedera aksonal difusi.

D. Patofisiologi
Mekanisme cedera memegang peranan yang sangat besar dalam
menentukan berat ringannya konsekwensi patofisiologi dari trauma kepala.
Cedera percepata (aselerasi) terjadi jika benda yang sedang bergerak
membentur kepala yang diam seperti trauma akibat pukulan benda tumpul,
atau karena kena lemparan benda tumpul. Cedera perlambatan (deselerasi)
adalah bila kepala membentur objek yang secara relatif tidak bergerak, seperti
badan mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara
bersamaan bila terdapat gerakan kepala tiba tiba tanpa kontak langsung
seperti yang terjadi bila posisi badan berubah secara kasar adan cepat.
Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala

14
Op poenya

yang menyebabkan trauma regangan dan robekan pada substansi alaba dan
batang orak.
Cedera primer yang terjadi pada waktu benturan pada waktu benturan,
mungkin karena memar pada permukaan otak. Landasan substansi alba,
cerdera robekan atau hemoragi sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi
sebagai kemampuan autoregulasi dikurangi atau tidak ada pada area cedera.
Konsekwensinya meliputi : hiperemia (peningkatan volume darah) pada area
peningkatan permeabilitas kapiler serta vasodilatasi, semua menimbulkan
peningkatan isi intra kronial dan akhirnya peningkatan tekanan intra kranial
(TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder
meliputi hipoksia dan hipotensi.
Bennarelli dan kawan kawan memperkenalkan cedera fokal dan
menyebar sebagai kategori cedera kepala berat pada upaya untuk
menggunakan hasil dengan lebih khusus. Cedera fokal diakibatkan dari
kerusakan lokal yang meliputi kontusio serebral dan hematom intra serebral
serta kerusakan otak sekunder yang disebabkan oleh perluasan massa lesi,
pergeseran otak atau hernia. Cedera otak menyebar dikaitkan dengan
kerusakan yang menyebar secara luas dan terjadi dalam 4 bentuk yaitu :
cedera akson menyebar hemoragi kecil multiple pada seluruh otak. Jenis
cedera ini menyebabkan koma bukan karena kompresi pada batang otak tetapi
karena cedera menyebar pada hemisfer serebral, batang otak atau dua
duanya, situasi yang terjadi pada hampir 50 % pasien yang mengalami cedera
kepala berat bukan karena peluru.
Akibat dari trauma otak ini akan bergantung :
1. Kekuatan benturan
Makin besar kekuatan makin parah kerusakan, bila kekautan itu
diteruskan pada substansi otak, maka akan terjadi kerusakan sepanjang
jalan yang dilewati karena jaringan lunak menjadi sasaran kekuatan itu.
2. Akselerasi dan deselerasi
Akselerasi adalah benda bergerak mengenai kepala yang diam.
Deselerasi adalah kepala membentur benda yang diam. Keduanya
mungkin terjadi secara bersamaan bila terdapat gerakan kepala tiba-tiba

15
Op poenya

tanpa kontak langsung. Kekuatan ini menyebabkan isi dalam tengkorak


yang keras bergerak dan otak akan membentur permukaan dalam
tengkorak pada otak yang berlawanan.
3. Kup dan kontra kup
Cedera cup mengakibatkan kebanyakan kerusakan yang relatif dekat
daerah yang terbentur, sedangkan kerusakan cedera kontra cup
berlawanan pada sisi desakan benturan.
4. Lokasi benturan
Bagian otak yang paling besar kemungkinannya menderita cedera
kepala terbesar adalah bagian anterior dari lobus frantalis dan temporalis,
bagian posterior lobus aksipitalis dan bagian atas mesensefalon.
5. Rotasi
Pengubahan posisi rotasi pada kepala menyebabkan trauma regangan
dan robekan pada substansi alba dan batang otak.
6. Fractur impresi
Fractur impresi sebabkan oleh suatu keluaran yang mendorong
fragmen tentang turun menekan otak yang lebih dalam ketebalan tulang
otak itu sendiri, akibat fraktur ini dapat menimbulkan kontak cairan
serebraspimal (CSS) dalam ruang sobarachnoid dalam sinus
kemungkinan cairan serebraspinoa (CSS) akan mengalir ke hidung,
telinga, menyebabkan masuknya bakteri yang mengkontaminasi cairan
spinal

E. WOC
Terlampir

F. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik dari cedera kepala tergantung dari berat ringannya
cedera kepala.
1. Perubahan kesadaran adalah merupakan indicator yang paling sensitive
yang dapat dilihat dengan penggunaan GCS ( Glascow Coma Scale)

16
Op poenya

2. Peningkatan TIK yang mempunyai trias Klasik seperti : nyeri kepala


karena regangan dura dan pembuluh darah; papil edema yang disebabkan oleh
tekanan dan pembengkakan diskus optikus; muntah seringkali proyektil.

Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang cidera kepala ringan:


1. Pasien tertidur atau kesadaran yang menurun selama beberapa saat
kemudian sembuh.
2. Sakit kepala yang menetap atau berkepanjangan.
3. Mual atau dan muntah.
4. Gangguan tidur dan nafsu makan yang menurun.
5. Perubahan keperibadian diri.
6. Letargik.

Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang cidera kepala berat:


1. Simptom atau tanda-tanda cardinal yang menunjukkan peningkatan di
otak menurun atau meningkat.
2. Perubahan ukuran pupil (anisokoria).
3. Triad Cushing (denyut jantung menurun, hipertensi, depresi pernafasan).
4. Apabila meningkatnya tekanan intrakranial, terdapat pergerakan atau
posisi abnormal ekstrimitas.

G. Komplikasi
1. Epilepsi Pasca Trauma
Epilepsi pasca trauma adalah suatu kelainan dimana kejang terjadi
beberapa waktu setelah otak mengalami cedera karena benturan di kepala.
Kejang bisa saja baru terjadi beberapa tahun kemudian setelah terjadinya
cedera. Kejang terjadi pada sekitar 10% penderita yang mengalami cedera
kepala hebat tanpa adanya luka tembus di kepala dan pada sekitar 40%
penderita yang memiliki luka tembus di kepala.
Obat-obat anti-kejang (misalnya fenitoin, karbamazepin atau valproat)
biasanya dapat mengatasi kejang pasca trauma. Obat-obat tersebut sering
diberikan kepada seseorang yang mengalami cedera kepala yang serius,
untuk mencegah terjadinya kejang. Pengobatan ini seringkali berlanjut
selama beberapa tahun atau sampai waktu yang tak terhingga.
2. Afasia

17
Op poenya

Afasia adalah hilangnya kemampuan untuk menggunakan bahasa


karena terjadinya cedera pada area bahasa di otak. Penderita tidak mampu
memahami atau mengekspresikan kata-kata. Bagian otak yang
mengendalikan fungsi bahasa adalah lobus temporalis sebelah kiri dan
bagian lobus frontalis di sebelahnya. Kerusakan pada bagian manapun dari
area tersebut karena stroke, tumor, cedera kepala atau infeksi, akan
mempengaruhi beberapa aspek dari fungsi bahasa.
3. Apraksia
Apraksia adalah ketidakmampuan untuk melakukan tugas yang
memerlukan ingatan atau serangkaian gerakan. Kelainan ini jarang terjadi
dan biasanya disebabkan oleh kerusakan pada lobus parietalis atau lobus
frontalis. Pengobatan ditujukan kepada penyakit yang mendasarinya, yang
telah menyebabkan kelainan fungsi otak.
4. Agnosis
Agnosia merupakan suatu kelainan dimana penderita dapat melihat dan
merasakan sebuah benda tetapi tidak dapat menghubungkannya dengan
peran atau fungsi normal dari benda tersebut. Penderita tidak dapat
mengenali wajah-wajah yang dulu dikenalnya dengan baik atau benda-
benda umum (misalnya sendok atau pensil), meskipun mereka dapat melihat
dan menggambarkan benda-benda tersebut.
Penyebabnya adalah kelainan fungsi pada lobus parietalis dan
temporalis, dimana ingatan akan benda-benda penting dan fungsinya
disimpan. Agnosia seringkali terjadi segera setelah terjadinya cedera kepala
atau stroke. Tidak ada pengobatan khusus, beberapa penderita mengalami
perbaikan secara spontan.
5. Amnesia
Amnesia adalah hilangnya sebagian atau seluruh kemampuan untuk
mengingat peristiwa yang baru saja terjadi atau peristiwa yang sudah lama
berlalu. Penyebabnya masih belum dapat sepenuhnya dimengerti.
Cedera pada otak bisa menyebabkan hilangnya ingatan akan peristiwa
yang terjadi sesaat sebelum terjadinya kecelakaan (amnesi retrograd) atau
peristiwa yang terjadi segera setelah terjadinya kecelakaan (amnesia pasca

18
Op poenya

trauma). Amnesia hanya berlangsung selama beberapa menit sampai


beberapa jam (tergantung kepada beratnya cedera) dan akan menghilang
dengan sendirinya. Pada cedera otak yang hebat, amnesi bisa bersifat
menetap.
6. Fistel Karotis-kavernosus
Ditandai oleh trias gejala: eksoftalmus, kemosis, dan bruit orbita, dapat
timbul segera atau beberapa hari setelah cedera.
Angiografi perlu dilakukan untuk konfirmasi diagnosis dan terapi
dengan oklusi balon endovaskuler untuk mencegah hilangnya penglihatan
yang permanent.
7. Diabetes Insipidus
Disebabkan oleh kerusakan traumtik pada tangkai hipofisis,
menyebabkan penghentian sekresi hormone antidiuretik. Pasien
mengekskresikan sejumlah besar volume urin encer, menimbulkan
hipernatremia dan deplesi volum.
8. Kejang pasca trauma
Dapat segera terjadi (dalam 24 jam pertama), dini (minggu pertama)
atau lanjut (setelah satu minggu). Kejang segera tidak merupakan
predisposisi untuk kejang lanjut; kejang dini menunjukkan risiko yang
meningkat untuk kejang lanjut, dan pasien ini harus dipertahankan dengan
antikonvulsan.
9. Kebocoran cairan serebrospinal
Kebocoran cairan serebrospinal dapat disebabkan oleh rusaknya
leptomeningen dan terjadi pada 2-6 % pasien dengan cedera kepala tertutup.
Kebocoran ini berhenti spontan dengan elevasi kepala setelah beberapa hari
pada 85 % pasien. Drainase lumbal dapat mempercepat proses ini.
Walaupun pasien ini memiliki risiko meningitis yang meningkat, pemberian
antibiotic profilaksis masih controversial. Otorea atau rinorea cairan
serebrospinal yang menetap atau meningitis berulang merupakan indikasi
untuk reparative.
10. Edema serebral & herniasi

19
Op poenya

Penyebab paling umum dari peningkatan TIK, Puncak edema terjadi


72 Jam setelah cedera. Perubahan TD, Frekuensi nadi, pernafasan tidak
teratur merupakan gejala klinis adanya peningkatan TIK. Penekanan
dikranium dikompensasi oleh tertekannya venosus & cairan otak bergeser.
Peningkatan tekanan terus menerus menyebabkan aliran darah otak
menurun dan perfusi tidak adekuat, terjadi vasodilatasi dan edema otak.
Lama-lama terjadi pergeseran supratentorial & menimbulkan herniasi.
Herniasi akan mendorong hemusfer otak kebawah / lateral & menekan di
enchephalon dan batang otak, menekan pusat vasomotor, arteri otak
posterior, saraf oculomotor, jalur saraf corticospinal, serabut RES.
Mekanisme kesadaran, TD, nadi, respirasi dan pengatur akan gagal.
11. Defisit Neurologis dan Psikologis
Tanda awal penurunan fungsi neulorogis: Perubahan TK kesadaran,
Nyeri kepala hebat, Mual / muntah proyektil (tanda dari peningkatanTIK).

H. Pemeriksaan Penunjang
1. CT-Scan (dengan/ tanpa kontras)
Mengidentifikasi adanya hemoragik, menentukan ukuran ventrikuler,
pergeseran jaringan otak.
2. Aniografi Cerebral
Menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan
otak akibat edema, perdarahan, trauma.
3. X-Ray
Mengidentifikasi atau mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur),
perubahan struktur garis (perdarahan/ edema).
4. AGD (Analisa Gas Darah)
Mendeteksi ventilasi atau masalah pernapsan (oksigenisasi) jika terjadi
peningkatan intracranial.
5. Elektrolit
Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebgai akibat peningkatan
tekanan intracranial.
6. MRI

20
Op poenya

Sama dengan scan CT dengan atau tanpa menggunakan kontraks.


7. EEG
Memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang patologis.
8. BAER (Brain Auditory Edvoked Respon) : menentukan fungsi korteks dan
batang otak.

9. PET (Positron Emission Tomografhy) : menunjukkan perubahan aktifitas

metabolisme pada otak

10. Fungsi lumbal, CSS : dapat menduga kemungkinan adanya pendarahan

subarakhonoid

11. GDA (Gas Darah Arteri) : mengetahui adanya masalah ventilasi atau

oksigenisasi yang akan dapat meningkatkan TIK

12. Kimia atau elektrolit darah : mengetahui keseimbangan yang berperan

dalam meningkatkan TIK atau perubahan mental

13. Pemeriksaan toksikologi : mendeteksi obat yang mungkin bertanggung

jawab terhdap penurunan kesadaran

14. Kadar Anti Konvulsan Darah : dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat

terapi yang cukup efektif untuk mengatasi kejang

I. Penatalaksanaan Cidera Kepala


Menurut Mansjoer, (2000) penatalaksanaan cedera kepala adalah :
1. Cedera Kepala Ringan
Pasien dengan cedera kepala ini umumnya dapat dipulangkan ke rumah
tanpa perlu dilakukan CT-Scan bila memenuhi kriteria berikut :
a. Hasil pemeriksaan neurologis (terutama status mini mental dan gaya
berjalan) dalam batas normal.
b. Foto servikal jelas normal

21
Op poenya

c. Adanya orang yang bertanggung jawab untuk mengamati pasien 24 jam


pertama, dengan instruksi untuk segera kembali kebagian gawat darurat
jika timbul gejala yang lebih buruk.
Kriteria perawatan di rumah sakit :
1) Adanya perdarahan intrakranial atau fraktur yang tampak pada CT Scan.
2) Konfusi, agitasi, atau kesadaran menurun
3) Adanya tanda atau gejala neurologis fokal
4) Intoksikasi obat atau alkohol
5) Adanya penyakit medis komorbid yang nyata
6) Tidak adanya orang yang dapat dipercaya untuk mengamati pasien di
rumah.
2. Cedera Kepala Sedang
Pasien yang menderita konkusi otak (comotio cerebri), dengan skala GCS
15 (sadar penuh, orientasi baik dan mengikuti perintah) dan CT Scan normal,
tidak perlu dirawat. Pasien ini dapat dipulangkan untuk observasi di
rumah,meskipun terdapat nyeri kepala, mual, muntah, pusing atau amnesia.
Resiko timbulnya lesi intrakranial lanjut yang bermakna pada pasien dengan
cedera kepala sedang adalah minimal.
3. Cedera Kepala Berat
Setelah penilaian awal dan stabilitasi tanda vital,keputusan segera pada
pasien ini adalah apakah terdapat indikasi intervensi bedah saraf segera
(hematoma intrakranial yang besar). Jika ada indikasi, harus segera
dikonsultasikan ke bedah saraf untuk tindakan operasi. Penatalaksanaan
cedera kepala berat sebaiknya perawatan dilakukan di unit rawat intensif.
Walaupun sedikit sekali yang dapat dilakukan untuk kerusakan primer akibat
cedera kepala, tetapi sebaiknya dapat mengurangi kerusakan otaksekunder
akibat hipoksia, hipertensi, atau tekanan intrakranial yang meningkat.
Dalam unit rawat intensif dapat dilakukan hal-hal berikut :
a. Penilaian ulang jalan nafas dan ventilasi
b. Monitor tekanan darah
c. Pemasangan alat monitor tekanan intraktranial pada pasien dengan
skor GCS < 8, bila memungkinkan.

22
Op poenya

d. Penatalaksanaan cairan : hanya larutan isotonis (salin normal dan


ringer laktat)
e. Nutrisi
f. Temperatur badan
g. Anti kejang fenitoin 15 20 mg/kg BB bolus intravena
h. Steroid deksametason 10 mg intravena setiap 4 6 jam selama 48 72
jam
i. Antibiotik
j. Pemeriksaan
Dapat menberikan manfaat terhadap kasus yang ragu-ragu. Harus
dilakukan pemeriksaan sinar X tulang kepala, bila bertujuan hanya
untuk kepentingan medikolegal.

J. Penatalaksanaan Medis
1. Bedrest total
2. Pemberian obat-obatan
Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema serebral,
dosis sesuai dengan berat ringanya traumTerapi hiperventilasi (trauma
kepala berat), untuk mengurangi vasodilatasi.
Pengobatan anti edema dnegan larutan hipertonis yaitu manitol 20 %
atau glukosa 40 % atau gliserol 10 %. Antibiotika yang mengandung
barrier darah otak (penisillin) atau untuk infeksi anaerob diberikan
metronidasol.
Makanan atau cairan, Pada trauma ringan bila muntah-muntah tidak
dapat diberikan apa-apa, hanya cairan infus dextrosa 5 %, amnifusin,
aminofel (18 jam pertama dari terjadinya kecelakaan), 2 3 hari kemudian
diberikan makanan lunak.
Pada trauma berat. Karena hari-hari pertama didapat penderita
mengalami penurunan kesadaran dan cenderung terjadi retensi natrium dan
elektrolit maka hari-hari pertama (2-3 hari) tidak terlalu banyak cairan.
Dextosa 5 % 8 jam pertama, ringer dextrosa 8 jam kedua dan dextrosa 5 %
8 jam ketiga. Pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah makanan

23
Op poenya

diberikan melalui nasogastric tube (2500 3000 TKTP). Pemberian


protein tergantung nilai urin nitrogen.
3. Observasi tanda-tanda vital (GCS dan tingkat
kesadaran)

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN CEDERA KEPALA
Kasus :

24
Op poenya

An. I (20 tahun) terlibat perkelahian antar kampung dan mengalami


benturan benda tumpul di bagian kepala. Pasien mengalami benturan yang
cukup keras sehingga mengakibatkan pasien mengalami fraktur tengkorak,
terdapat luka lebam di bagian mata sebelah kiri dan terdapat luka di bagian
kaki. Pasien tidak sadarkan diri kemudian pasien di bawa ke rumah sakit
M.Djamil untuk mendapatkan pengobatan dan tindakan lebih lanjut. Ada
cairan keluar dari hidung, adanya suara gurgling, GCS : 8, setelah
dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital didapatkan tekanan darah 90/70
mmHg, nadi 80 kali per menit, pernafasan 35 kali permenit dan dangkal,
suhu tubuh 37,5C.
1. Pengkajian
a. Anamnesa
Nama : An. I
Umur : 20 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Sungai Penuh
Tanggal masuk rumah sakit : 5 Desember 2014
No registrasi : 111.005.872
Tanggal pengkajian dan diagnosis medis : 6 Desember 2014
Diagnosa medis : Fraktur Tengkorak

b. Primary Survey
Primary survey menyediakan evaluasi yang sistematis,
pendeteksian dan manajemen segera terhadap komplikasi akibat trauma
parah yang mengancam kehidupan. Tujuan dari Primary survey adalah
untuk mengidentifikasi dan memperbaiki dengan segera masalah yang
mengancam kehidupan. Prioritas yang dilakukan pada primary survey
antara lain (Fulde, 2009) :
a. Airway maintenance dengan cervical spine protection
b. Breathing dan oxygenation
c. Circulation dan kontrol perdarahan eksternal

25
Op poenya

d. Disability-pemeriksaan neurologis singkat


e. Exposure dengan kontrol lingkungan
Sangat penting untuk ditekankan pada waktu melakukan primary
survey bahwa setiap langkah harus dilakukan dalam urutan yang benar dan
langkah berikutnya hanya dilakukan jika langkah sebelumnya telah
sepenuhnya dinilai dan berhasil. Setiap anggota tim dapat melaksanakan
tugas sesuai urutan sebagai sebuah tim dan anggota yang telah
dialokasikan peran tertentu seperti airway, circulation, dll, sehingga akan
sepenuhnya menyadari mengenai pembagian waktu dalam keterlibatan
mereka (American College of Surgeons, 1997). Primary survey perlu terus
dilakukan berulang-ulang pada seluruh tahapan awal manajemen. Kunci
untuk perawatan trauma yang baik adalah penilaian yang terarah,
kemudian diikuti oleh pemberian intervensi yang tepat dan sesuai serta
pengkajian ulang melalui pendekatan AIR (assessment, intervention,
reassessment).
Primary survey dilakukan melalui beberapa tahapan, antara lain
(Gilbert., DSouza., & Pletz, 2009) :
a) Pengkajian Airway
Pasien yang tidak sadar memerlukan bantuan airway dan ventilasi.
Pasien memiliki masalah pada kepatenan jalan nafas sehingga pasien tidak
bisa bernafas bebas. Adanya obstruksi pada jalan nafas yang ditandai
dengan adanya gurgling.
Lindungi tulang belakang dari gerakan yang tidak perlu pada pasien
yang berisiko untuk mengalami cedera tulang belakang. Gunakan berbagai
alat bantu untuk mempatenkan jalan nafas pasien sesuai indikasi :
Chin lift/jaw thrust
Oropharyngeal airway
b) Pengkajian Breathing (Pernafasan)
Gerakan dada simetris, irama nafas dangkal, pola nafas tidak
teratur, adanya retraksi otot dada. Pernafasan 35 kali/menit. Ketika
dipalpasi tidak adanya gerakan trakea.

c) Pengkajian Circulation

26
Op poenya

Langkah-langkah dalam pengkajian terhadap status sirkulasi


pasien, antara lain :
Cek nadi : Nadi pasien terasa
Kontrol perdarahan yang dapat mengancam kehidupan dengan
pemberian penekanan secara langsung.

d) Pengkajian Level of Consciousness dan Disabilities


Pada primary survey, disability dikaji dengan menggunakan skala
AVPU dan didapatkan pasien memiliki respon unresponsive to pain. GCS
8, ada refleks terhadap cahaya.

e) Expose, Examine dan Evaluate


Menanggalkan pakaian pasien dan memeriksa cedera pada pasien.
Terdapat lesi pada kaki, tidak ada deformitas dan edema.

c. Secondary Assessment
Survey sekunder merupakan pemeriksaan secara lengkap yang dilakukan
secara head to toe, dari depan hingga belakang. Secondary survey hanya
dilakukan setelah kondisi pasien mulai stabil, dalam artian tidak mengalami syok
atau tanda-tanda syok telah mulai membaik.

Anamnesis
Pemeriksaan data subyektif didapatkan dari anamnesis riwayat pasien yang
merupakan bagian penting dari pengkajian pasien. Riwayat pasien meliputi :

a. Keluhan utama
An. I umur 20 tahun, datang ke RS dalam kondisi tidak sadarkan diri.
Klien mengalami benturan benda tumpul di bagian kepala. Terdapat luka
lebam di bagian mata sebelah kiri dan terdapat luka di bagian kaki.

b. Riwayat masalah kesehatan sekarang


Pasien mengalami benturan yang cukup keras sehingga mengakibatkan
pasien mengalami fraktur tengkorak, terdapat luka lebam di bagian mata
sebelah kiri dan terdapat luka di bagian kaki. Pasien tidak sadarkan diri

27
Op poenya

kemudian pasien di bawa ke rumah sakit M.Djamil untuk mendapatkan


pengobatan dan tindakan lebih lanjut. Ada cairan keluar dari hidung,
adanya suara gurgling, GCS : 8.

c. Riwayat medis
Tidak ada penyakit serius yang pernah diderita pasien, pasien juga tidak
pernah di rawat di rumah sakit sebelumnya. Pasien pernah menderita
penyakit campak, demam, dan sesekali sakit kepala.

d. Riwayat keluarga, sosial, dan sistem.


Keluarga pasien dari golongan dengan kelas ekonomi menengah kebawah.
Memiliki hubungan yang baik dengan tetangga dan selalu berinteraksi
dengan keluarga. Keluarga berada pada lingkungan dengan adat melayu.

Anamnesis juga harus meliputi riwayat AMPLE yang bisa didapat dari
pasien dan keluarga (Emergency Nursing Association, 2007):
A : Alergi ( Pasien tidak memiliki riwayat alergi ).
M : Medikasi/obat-obatan ( Pasien diberi obat untuk mengurangi nyeri,
dan menghentikanperdarahan ).
P : Pertinent medical history ( Pasien tidak pernah mengalami penyakit
yang serius)
L : Last meal ( Pasien di beri asupan cairan melalui infus )
E : Events, ( Pasien mengalami fraktur tengkorak karena adanya benturan
benda tumpul )

Akronim PQRST ini digunakan untuk mengkaji keluhan nyeri pada pasien
yang meliputi :
Provokes/palliates : Nyeri disebabkan oleh adanya benturan benda
tumpul pada bagian kepala sehingga mengakibatkan fraktur tengkorak.
Pasien telah diberi penanganan cedera dan diberi obat untuk
mengurangi nyeri. Nyeri yang dirasakan pasien membuat tidur pasien
terganggu.
Quality : Nyeri yang dirasakan seperti ditusuk-tusuk.
Radiates: Nyeri menyebar.

28
Op poenya

Severity : Skala nyeri 7


Time : Nyeri menetap.

Setelah dilakukan anamnesis, maka langkah berikutnya adalah


pemeriksaan tanda-tanda vital. Tanda tanda vital meliputi suhu, nadi,
frekuensi nafas, saturasi oksigen, tekanan darah, berat badan, dan skala nyeri.

Pemeriksaan fisik
a. Kulit kepala
Adanya perdarahan, fraktur, dan nyeri tekan pada kepala.
b. Wajah
1) Mata : Mata pasien sebelah kiri lebam dan bengkak, adanya
rasa nyeri pada mata sebelah kiri.
2) Hidung : Setelah dilakukan tindakan pembebasan jalan nafas,
hidung klien bebas dari cairan dan tidak adanya
penyumbatan.
3) Telinga : Membrane timpani utuh dan tidak ada cedera pada
telinga.
4) Rahang atas : Stabilitas rahang atas menurun.
5) Rahang bawah: Tidak adanya fraktur.
6) Mulut dan faring : Mulut kering, disekitar mulur terdapat memar,
tidak ada tonsil yang meradang.
c. Vertebra servikalis dan leher
Tidak terjadi deformitas tulang dan tidak ada edema.
d. Toraks
Inspeksi : Expansi dinding dada simetris. Tidak ada lesi pada
bagian thorak.
Palpasi : Tidak ada nyeri tekandan krepitasi.
Auskultasi : Terdengar suara gurgling.

e. Abdomen
Tidak ada trauma benda tajam ataupun tumpul, tidak adanya sitensi
abdomen,luka, lecet ataupun memar.

29
Op poenya

f. Ektremitas
Adanya lesi pada kedua ektremitas bawah dan memar di ektremitas atas.

g. Neurologis
Pasien mengalami penurunan kesadaran, GCS 8, terjadi amnesia selama
28 jam, tidak bisa menentukan kanan dan kiri pada beberapa jam dan
disorientasi waktu dalam 24 jam.

d. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Diagnostik
a. X ray / CT Scan
Menunjukkan adanya fraktur tengkorak.
b. Angiografi serebral
Menunjukkan kelainan sirkulasi serebral.

2. Pemeriksaan Laboratorium
- Pemeriksaan toksikologi
Mendeteksi obat yang mengakibatkan penurunan kesadaran.

e. Aplikasi NANDA, NOC, NIC

No NANDA Kriteria Hasil (NOC) Intervensi (NIC)


1. Bersihan jalan 1. Status pernapasan : 1. Manajemen jalan napas
nafas tidak Kepatenan jalan napas - Posisikan pasien untuk
efektif b.d - Tidak ada demam
memaksimalkan ventilasi yang
adanya cairan - Tidak ada cemas
pada hidung. - Tidak ada rasa potensial
DS :
tercekik. - Identifikasi masukan jalan nafas
- Keluarga
- Frekuensi nafas
pasien baik yang aktual ataupun
mengatakan dalam batas normal.
potensial
nafas pasien - Irama nafas dalam
sesak. - Keluarkan sekret dengan batuk
batas normal.
- Keluarga
- Mampu atau suction/pengisapan
pasien
mengatakan mengeluarkan dahak. - Auskultasi bunyi nafas, catat
pasien terlihat - Bebas dari suara
adanya ventilasi yang turun atau

30
Op poenya

sulit bernafas. nafas tambahan. yang hilang dan catat adanya


- Keluarga
bunyi tambahan
pasien
2. Status pernapasan:
mengatakan - Atur intake cairan untuk
Ventilasi
nafas klien
- Rata-rata pernafasan mengoptimalkan keseimbangan
dangkal.
DO: dalam rentang yang cairan
- Terlihat cairan
diharapkan - Posisikan pasien untuk
yang keluar dari
- Irama pernafasan
hidung mengurangi dispnu
- Pernafasan dalam rentang yang
- Monitor pernafasan dan status
35 x per diharapkan.
oksigen
- Kedalaman
menit
- Nafas pernafasan normal. 1. Terapi oksigen
- Mudah bernafas. - Bersihkan mulut, hidung dan
Dangkal
- Tidak ada
- Nafas klien secret trakea
penggunaan otot-otot - Pertahankan jalan nafas yang
terlihat
bantu oernafasan. paten
dalam.
- Tidak ada nafas - Atur peralatan oksigenasi
- Ada bunyi
- Monitor aliran oksigen
pendek.
gurgling - Pertahankan posisi pasien
- Kapasitas vital dalam
- Observasi adanya tanda tanda
rentang yang
hipoventilasi
diharapkan. - Monitor adanya kecemasan
pasien terhadap oksigenasi
3. Kontrol aspirasi
- Identifikasi faktor
3. Tindakan pencegahan
resiko
aspirasi
- Menghindari faktor
- Periksa tingkat kesadaran, refleks
resiko
- Memposisikan tubuh batuk, refleks muntah, dan
sesuai saat makan kemampuan menelan.
atau minum - Monitor status paru-paru.
- Pertahanan jalan nafas.
- Posisikan dengan benar 90
derajat atau sejauh mungkin.
- Pertahankan susunan pengisapan.
- Makanan dalam jumlah kecil.
- Menghindari cairan atau
menggunakan agen yang kental.

31
Op poenya

- Memotong makanan dalam


potongan-potongan kecil.
- Pecahkan dan hancurkan pil-pil
sebelum memberi obat.
2. Ketidakefektifa 1. Perfusi 1. Pemantauan neurologis
n perfusi
jaringan : serebral Aktivitasnya:
jaringan
- Monitor ukuran, bentuk,
serebral b.d Indikator :
fraktur - Tekanan intrakranial kesimetrisan, dan reaktivitas
tengkorak - Cerebral angiogram
pupil.
DS :
normal
- Keluarga - Monitor tingkat kesadaran.
- Tidak ada abnormal
pasien - Monitor tingkat orientasi.
dalam berfikir.
mengatakan - Tidak ada gangguan - Monitor GCS.
kalau reflek neurologi - Monitor memori sekarang,
pasien 2. Status rentang perhatian, memori masa
sempat neurologikal : lampau, mood, emosi, dan
tidak kesadaran prilaku.
sadarkan Indikator : - Monitor TTV: suhu, takanan
- Kesadaran diharapkan
diri. darah, nadi, dan pernafasan.
- Keluarga normal
- Monitor status pernafasan: level
- Pusat kontrol motorik
pasien
- Sensorik kranial dan ABG, kedalaman, pola, frekuensi,
mengatakan
fungsi motorik dan kekuatan nafas.
kalau
diharapkan normal - Jika diindikasikan, monitor
pasien tidak - Tekanan intrakrania
parameter hemodinamik invasif.
bisa diharapkan normal
- Monitor tekanan intrakranial dan
- Pola nafas diharapkan
membedaka
tekanan kardiopulmonal.
normal
n kanan dan
- Tekanan darah 2. Pemantauan tekanan
kiri.
diharapkan normal intrakranial
- Keluarga
- Denyut nadi
Aktivitasnya:
pasien
diharapkan normal - Membantu pemasangan alat
mengatakan
monitoring TIK
pasien tidak 3. Cognitive
- Berikan informasi kepada
sensitif orientasi
keluarga dan orang penting
terhadap - Tepat dalam
lainnya.
sentuhan di mengidentifikasi hari

32
Op poenya

bagian - Tepat dalam - Irigasi sistem aliran.


tertentu. mengidentifikasi - Atur pengingat waktu.
tempat - Ambil sampel cairan
DO : - Tepat dalam
- GCS 8 serebrospinal
- Pasien tidak mengidentifikasi bulan
- Rekam gambaran TIK dan analisa
- Tepat dalam
bisa bentuk gelombangnya.
mengidentifikasi tahun
membedaka - Tepat dalam - Monitor tekanan perfusi serebral.
n kanan dan mengidentifikasi - Catat perubahan respon pasien
kiri. musim terhadap stimulus.
- Pasien
- Monitor TIK pasien dan respon
sempat
neurologis untuk aktivitas
tidak
perawatan.
sadarkan
- Monitor jumlah atau tingkat
diri.
- Pasien tidak drainase cairan serebrospinal.
terorientasi
- 3. Perawatan Sirkulasi
dengan
- Lakukan penilaian dari sirkulasi
waktu dan
keseluruhan (ex : periksa detak
tempat
keseluruhan, edema, kapiler refil,
selama 24
warna, dan suhu dari ekstremitas)
jam.
- Periksa kulit untuk stasis ulserasi
atau luka
- Kaji derajat ketidaknyamanan
dan nyeri
- Angkat badan 200 atau lebih
diatas jantung untuk
meningkatkan venous return, jika
memungkinkan
- Berikan pengobatan antiplatelet
atau antikoagulan, jika
memungkinkan
- Pelihara/atur hidrasi yang
adekuat untuk mencegah

33
Op poenya

peningkatan kekentalan darah


- Monitor status cairan, pemasukan
intake dan output
4. Manajemen cairan/elektrolit

- Timbang berat badan tiap hari


- Beri cairan
- Promosikan intake oral
- Monitor hasil lab yang relevan
dengan retensi cairan
- Monitor tanda- tanda vital
- Monitor tanda dan gejala retensi
cairan.
- Lakukan perkontrolan kehilangan
cairan.
3. Nyeri Akut b.d 1. Kontrol nyeri 1. Manajemen nyeri
fraktur Aktivitas :
Indikator :
tengkorak.
- Menggunakan buku - Lakukan penilaian nyeri secara
DS:
1. Klien harian untuk komprehensif dimulai dari lokasi,
mengatakan memantau gejala karakteristik, durasi, frekuensi,
nyeri pada dari waktu ke waktu kualitas, intensitas dan penyebab.
- Menggunakan
bagian - Kaji ketidaknyamanan secara
langkah-langkah
kepala nonverbal, terutama untuk pasien
2. Klien pencegahan gejala
yang tidak bisa
mengatakan nyeri
mengkomunikasikannya secara
- Menggunakan
tidak bisa
efektif
langkah-langkah
tidur karena
- Pastikan pasien mendapatkan
bantuan non
nyeri yang
perawatan dengan analgesic
analgesik
dirasakan
- Menggunakan - Tentukan dampak nyeri terhadap
3. Klien
analgesik seperti kehidupan sehari-hari (tidur,
mengatakan
yang nafsu makan, aktivitas,
tidak nafsu
direkomendasikan kesadaran, mood, hubungan
makan
- Mengenali gejala
sosial, performance kerja dan
karena nyeri
nyeri

34
Op poenya

yang - Laporan nyeri melakukan tanggung jawab


dirasakan dikontrol sehari-hari)
4. Keluarga Tingkat nyeri - Kontrol faktor lingkungan yang
klien Indikator :
- Klien melaporkan dapat menimbulkan
mengatakan
nyeri yang dirasakan ketidaknyamanan pada pasien
klien sering
telah berkurang atau (suhu ruangan, pencahayaan,
merintih dan
menghilang keributan)
mengeluh - Panjangnya episode - Pertimbangkan tipe dan sumber
kesakitan nyeri berkurang nyeri ketika memilih metoda
DO : - Klien tidak lagi
mengurangi nyeri
1. Hasil mengekpresikan
- Menyediakan analgesic yang
pemeriksaan wajah nyeri
- Klien tidak merasa dibutuhkan dalam mengatasi
ransangan
gelisah lagi nyeri
nyeri :
- TTV dalm batas - Gunakan pendekatan dari
mengerang,
normal berbagai disiplin ilmu dalam
tangan fleksi - Nafsu makan klien
manajemen nyeri
abnormal, diharapkan
- Monitor kepuasan pasien
Skala nyeri meningkat.
terhadap manajemen nyeri ynag
7.
2. Klien terlihat diberikan dalam interval yang
gelisah, ditetapkan.
merintih dan
2. Pemberian analgesik
meringis.
3. Gangguan Aktivitas :
- Menentukan lokasi ,
tidur (mata
karakteristik, mutu, dan intensitas
sayu,tampak
nyeri sebelum mengobati pasien
capek,
- Periksa order/pesanan medis
gerakan
untuk obat, dosis, dan frekuensi
kacau)
4. Klien dalam yang ditentukan analgesik
posisi untuk - Cek riwayat alergi obat
menahan - Tentukan analgesik yang cocok,
nyeri. rute pemberian dan dosis optimal.
- Tentukan jenis analgesik yang

35
Op poenya

digunakan (narkotik, non


narkotik atau NSAID)
berdasarkan tipe dan tingkat
nyeri.
- Monitor TTV sebelum dan
sesudah pemberian obat narkotik
dengan dosis pertama atau jika
ada catatan luar biasa.
- Cek pemberian analgesik selama
24 jam untuk mencegah
terjadinya puncak nyeri tanpa
rasa sakit, terutama dengan nyeri
yang menjengkelkan
- Dokumentasikan respon pasien
tentang analgesik, catat efek yang
merugikan
- Kolaborasikan dengan dokter jika
terjadi perubahan obat, dosis, rute
pemberian, atau interval, serta
membuat rekomendasi spesifik
berdasar pada prinsip
equianalgesic.
4. Resiko Infeksi 1. Pengendalian 1. Manajemen lingkungan
b.d - Jauhi pasien dari benda yang
resiko
kontaminasi
a. Memantau faktor berbahaya.
cairan spinal.
- Mencari lingkungan secara rutin
DO : resiko
- Leukosit untuk memelihara klien bebas
lingkungan.
11.200 b. Memantau faktor dari bahaya
- Adanya - Pantau keamanan alat-alat yang
resiko pribadi.
fraktur c. Mengembangkan dibawa pengunjung ke sekitar
tengkorak strategi kontrol klien
- Instruksikan pengunjung dan
sehingga risiko yg efektif.
d. Menghindari petugas kesehatan yang lain
adanya
paparan ancaman mengenai informasi keamanan
kemungkin

36
Op poenya

an kesehatan. klien
e. Pantau perubahan - Tempatkan pasien kepada tempat
kontaminas
status kesehatan. yang nyaman bagi klien.
i cairan
- Tempatkan ruangan pasien
spinal 2. Integritas
didekat ruang perawat.
jaringan : Kulit dan - Tempatkan pasien pada
membran mukosa lingkungan yang dibatasi
a. Suhu jaringan
sehingga terhindar dari
dalam batas
kemungkinan yang ada
normal. - Sediakan pengawas pada akses
b. Warna dalam
area untuk memelihara keamanan
batas normal.
pasien dan intevensi teraupetik ,
c. Elastisitas dalam
kalau diperlukan
batas normal.
d. Tekstur dalam
2. Pengendalian infeksi
batas normal.
- Ciptakan lingkungan ( alat-alat,
3. Status nutrisi berbeden dan lainnya) yang
a. Asupan zat gizi
nyaman dan bersih terutama
baik.
setelah digunakan oleh pasien
b. Asupan makanan
- Instruksikan kepada pengunjung
dan cairan
untuk selalu mencuci tanagn
optimal.
c. Indeks masa sebelum dan sesudah memasuki
tubuh dalam batas ruangan pasien
normal. - Cuci tangan sebelum dan
d. Berat badan
sesudah melakukan tindakan
dalam batas
kepada pasien
normal.
- Terapkan kewaspadaan
universal
- Gunakan selalu handscoon
sebagai salah satu ketentuan
kewaspadaan universal
- Bersihkan kulit pasien dengan
pembersih antibakteri
- Jaga dan lindungi area atau

37
Op poenya

ruangan yang diindikasikan


dan digunakan untuk tindakan
invasive, operasi dan gawat
darurat.
3. Manajemen nutrisi
- Menentukan jumlah kalori dan
jenis zat makanan yang
diperlukan untuk memenuhi
kebutuhan nutrisi, ketika
berkolaborasi dengan ahli
makanan, jika diperlukan.
- Membantu pasien untuk
memilih makanan lembut, lunak
dan tidak asam, jika diperlukan
- Mengatur pemasukan makanan,
jika diperlukan
- Memastikan keadaan terapeutik
terhadap kemajuan makanan.

BAB IV

38
Op poenya

PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan
utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan
lalu lintas. Penatalaksanaan medis yang dapat dilakukan pada pasien dengan
cedera kepala antara lain adalah bedrest total,pemberian obat-obatan serta
observasi tanda-tanda vital seperti GCS dan tingkat kesadaran. Untuk
penatalaksanaan keperawatan terlebih dahulu perawat harus melakukan
pengkajian dengan metode primary survey sebelum melanjutkan perawatan
dengan penentuan diagnosa dan perencanaan tindakan keperawatan.

4.2 Saran
Makalah ini hanya sebagai salah satu bahasan mengenai asuhan
keperawatan pada pasien dengan cedera kepala, oleh karena itu disarankan kepada
pembaca agar membaca sumber lain sebagai tambahan referensi mengenai
bahasan ini.

39

Anda mungkin juga menyukai