Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PRAKTIKUM PENGANTAR KIMIA MEDISINAL

SEMESTER GANJIL 2016 - 2017

PENGARUH PH DAN PKA TERHADAP IONISASI DAN


KELARUTAN OBAT

Hari / Jam Praktikum : Senin/ 10.00-13.00 WIB

Tanggal Praktikum : 3 Oktober 2016

Kelompok :2

Asisten : 1. Aulia Alfiana


2. Giovanni Wijonarko

NALIA EL-HUDA ISMAIL


260110160094

LABORATORIUM KIMIA MEDISINAL


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2016
I. Tujuan

Mengamati pengaruh PH terhadap ionisasi obat

II. Prinsip
1. Ph

Merupakan acuan untuk dapat menentukan sifat suatu larutan asam atau basa.
Larutan dengan Ph kecil (Ph < 7) berarti sifatnya asam, sedangkan jika Ph nya lebih
besar (Ph > 7) maka larutan bersifat basa. Ph dapat dinyatakan dengan rumus Ph =
-log[H+] (Harmita, 2011)

2. Pka

Suatu reaksi kimia memiliki tetapan kesetimbangan K yang menggambarkan


seberapa jauh reaksi berlangsung sampai berkesudahan tetapan untuk ionisasi dari
suatu asam dalam air disebut tetapan ka. (Fessenden & Joan, 1982)

3. Persamaan Hendersen-Haselbach

Ph buffer dapat dicari dengan persamaan Handersen-Haselbach

[garam] []
Ph = Pka + log [asam]
POH = Pka + log

Ph buffer bergabung pada ka asam lemah atau kb basa lemah dan perbandingan
konsentrasi asam dengan konsentrasi basa konjugasinya atau konsentrasi basa
lemah dengan asam konjugasinya. (Purba, 2012)

4. Ionisasi

Ionisasi merupakan peristiwa pelepasan elektron yang terikat paling lemah dari
suatu atom. Ionisasi dipengaruhi oleh muatan positif, dan jumlah elektron dalam
jari-jari atom. (Rufiati, 2011)

5. Kelarutan

Kelarutan suatu senyawa dalam pelarut tergantung pada sifat fisika dan kimia
zat terlarut dan pelarutnya. Juga bergantung pada suhu, tekanan, dan Ph. Kelarutan
merupakan besar kuantitatif sebagai konsentrasi zat yang terlarut dalam larutan
pada temperatur tertentu. (Martin, 1993

III. Reaksi

IV. Teori Dasar

Sifat fisika molekul orhanik seperti Pka dan koefisien partisi berhubungan
erat dengan bidang farmasi.sifat fisika molekul obat dan juga reaksi-reaksi
degradasi suatu obat memegang peranan yang penting dalam mendesain metode
analisis. Bentuk moleukl obat ada yang sederhana dan ada yang sangat kompleks
yang mengandung beberapa gugus fungsional, gabungan beberapa gugus
fungsional tersebut dalam satu molekul obat akan menentukan kesluruhan sifat-sifat
molekul obat tersebut. (Gandjar, 2012)

Terdapat 3 pengertian mengenai apa yang disebut dengan asam dan apa
yang disebut dengan basa. (1) menurut Arrhenius, asam adalah senyawa yang jika
dilarutkan dalam air akan terurai menjadi ion hidrogen [H+] dan anion, sedangkan
basa adalah senyawa yang jika dilarutkan dalam air akan menghasilkan ion
hidroksida [OH-] dan kation. Teori Arrhenius hanya berlakuuntuk senyawa organik
dalam pelarut air. (2) untuk dapat berlaku dalam segala pelarut, maka Bronsted pada
tahun 1923 memnerikan batasan yaitu : asam adalah senyawa yang cenderung
melepas proton, sedangkan basa adalah senyawa yang cenderung menangkap
proton.

+ +

Asam Proton + Basa Konjugasinya (Gandjar, 2012)

(3) batasan lain diberikan oleh lewis pada tahun 1938, yang menyatakan
bahwa asam adalah akseptor (penerima) pasangan elektron. Sedangkan basa adalah
donor (pemberi) pasangan elektron. (Gandjar. 2012)

Reaksi suatu larutan tergantung pada tetapan disosiasi asam (ka) dan tetpam
disosiasi basa (kb). Suatu larutan bereaksi netral jika ka=kb, bereaksi asam jika ka
> kb, beraksi basa jika ka < kb, nilai Pka dari suatu senyawa larutan didefinisikan
sebagai :

1
Pka = -log ka = log ka

Nilai ini dapat digunakan baik oleh asam atau basa, jika nilai Pka digunakan
sebagai ukuran kekuatan asam atau basa, maka :

1. Untuk asam, semakin kecil nilai pka, maka asam tersebut akan semakin kuat
begitu juga sebaliknya.
2. Untuk basa, semakin besar nilai pka, maka basa tersebut akan semakin kuat
begitu juga sebaliknya. (Gandjar, 2012)

Ionisasi molekul obat merupakan hal yang penting karena berkaitan dengan
absorpsi obat di dalm tubuh dan distribusinya dalam jaringan-jaringan tubuh. Nilai
pka suatu molekul terkait dengan formulasi sediaan obat dan juga dalam desain
metode analisis untuk keperluan penentuan kadarnya. (Gandjar, 2012)

Sifat larutan air dalam obat dapat digolongkan menjadi tiga golongan, yaitu
: elektrolit kuat, adalah obat yang secara lengkap mengion ketika larut dan masuk
ke dalam tubuh, contohnya adalah K+, Cr-, atau NH4+. Selanjutnya adalah non
elektrolit, adalah obat yang tidak terionisasi saat masik ke dalam tubuh., contohnya
steroid. Yang terkhir adalah elektrolit lemah, yaitu obat yang terionisasi sebagian,
ada yang menjadi ion dan ada yang tetap menjadi molekul. (Purba, 1994)

Kebanyakan dari sifat obat yang sering dikonsumsi manusia itu sendiri
adalah yang bersifat elektrolit lemah, yaitu yang termasuk ke dalam basa lemah dan
asam lemah. Untuk menentukan ionisasi dari asam lemah dan basa lemah ini
tergantung dari nilai Pka yang dimiliki obat yang sudah terlarut. (Soekardjo, 1995)

Obat melintasi membran dalam bentuk tidak terionisasi, tetapi bekerja


sebagai ion (jika ada kemungkinan untuk terion). Oleh karena itu, Pka dalam batas
6-8 ternyata paling menguntungkan, sebab jenis tak terion yang lewat melalui
membran lipid mempunyai banyak kemungkinan untuk menjadi terion dan aktif
dalam batas pka tadi. Pertimbangan ini tidak berlaku untuk senyawa yang secara
aktif melalui membran seperti itu.

Keasaman dalam larutan dinyatakan sebagai kadar ion hidrogen disingkat


dengan [H+] atau sebagai Ph. Dengan kata lain, Ph merupakan ukuran kekuatan
suatu asam/bas. Ph dapat ditentukan dengan beberapa cara yang salah satunya
dengan mentitrasi larutan asam dengan indikator atau yang lebih teliti lagi dengan
ph meter. (Safitri, 2015)

Skala ph dibuat berdasarkan konsentrasi ion hidrogen dalam larutan.


Semakin banyak ion hidrogen dalam larutan, maka ph akan semakin rendah. Begitu
pula jika konsentrasi ion hidroksida semakin tinggi, maka ph akan semakin tinggi.
(James et al, 2002)

Ionisasi merupakan proses fisik mengubah atom atau molekul menjadi ion
dengan menambahkan ataupun dengan mengurangkan partikel bermuatan.
Contohnya elektron ataupun yang lainnya. Ion bermuatan positif diperoleh ketika
elektron yang terikat pada atom atau molekul menyerap energi yang cukup agar
dapat lepas dari potensial listrik yang mengikatnya. Sedangkan ion bermuatan
negatif akan diperoleh jika elektron bebeas berikatan dengan atom dan
terperangkap dalam kulit atom dalam potensial tertentu. Sebagian besar obat
merupakan elektrolit lemah atau basa lemah. Besarnya ionisasi elektrolit lemah
tergantung pada nilai pka obat dan ph tempat obat terlarut. Molekul obat yang tidak
terionisasi lebih larut dalam lemak dan lebih mudah untuk menembus membran
biologis daripada bentuk yang terionisasi. Dengan demikian, besarnya ionisasi obat
akan mempengaruhi kecepatan absorpsi obat. (Aryani et al, 2005)

Agar suatu obat dapat mencapai tempat kerja di jaringan atau organ, obat
tersebut harus melewati berbagai membrane sel. Pada umumnya, membrane sel
mempunyai struktur lipoprotein yang bertindak sebagai membrane lipid
semipermeabel (Shargel and Yu, 1988).

Absorbs atau atau penyerapan zat aktif adalah masuknya molekul-molekul


obat ke dalam tubuh atau menuju ke peredaran darah tubuh setelah melewati sawar
biologic. Absorbsi obat adalah peran yang terpenting yang akhirnya menentukan
efektivitas obat. (Joenes, 2002).

Sebelum obat diabsorbsi, terlebih dahulu obat itu larut dalam cairan
biologis. Kelarutan serta cepat-lambatnya melarut menentukan banyaknya obat
terabsorbsi. Dalam hal pemberian hal pemberian obat per oral, cairan biologis
utama adalah cairan gastrointestinal, dari sini melalui membrane biologis obat
masuk ke peredaran sistemik. (Joenes, 2002)
V. Alat dan Bahan
5.1 Alat
5.1.1 gelas beaker
5.1.2 Gelas ukur
5.1.3 Indikator ph
5.1.4 Lampu UV 254 nm
5.1.5 Pengaduk
5.1.6 Perkamen
5.1.7 Pipet kapiler
5.1.8 Pipet tetes
5.1.9 Tabung reaksi dan rak
5.1.10 timbangan
5.2 Bahan
5.2.1 Asam asetil salisilat
5.2.2 Etil Asetat
5.2.3 HCl
5.2.4 Na2HPO4
5.2.5 NaH2PO4
5.2.6 Paracetamol
5.3 Gambar

5.1.1 5.1.2 5.1.3 5.1.4 5.1.5


5.1.6 5.1.7 5.1.8 5.1.9 5.1.10

VI. Prosedur

Pada awalnya dilakukan penimbangan jumlah asam asetil salisilat dan


paracetamo yang dibutuhkan. Menimbang asam asetil salisilat sebanyak 60 mg dan
paracetamol sebanyak 60 mg juga. Kemudian dilakukan pengenceran Hcl dengan
cara mencampur 1 ml HCl pekat 37% dengan 99 ml aquadest. Menghitung dan
menimbang NaH2PO4 dan Na2HPO4 berturut-turut sebanyak 1,56 gram dan 1,42
gram. Melakukan dan mencampur NaH2PO4 dan Na2HPO4 menjadi campuran
buffer. Sebanyak 30 mg asam asetil salisilat + 3 ml HCl Ph 1 + 3 ml etil asetat
dimasukkan ke dalam tabung 1. Sebanyak 30 mg asam asetil salisilat + 3 ml
campuran NaH2PO4 dan Na2HPO4 + 3 ml etil asetat dimasukkan ke dalam tabung
2. Masukkan 20 mg parasetamol + 3 ml larutan HCl Ph 1 + 3 ml etil asetat ke dalam
tabung 3. Sebanyak 20 mg parasetamol + 3 ml campuran NaH2PO4 dan Na2HPO4
+ 3 ml etil asetat dimasukkan ke dalam tabung 4. Kocok ke empat tabung sebanyak
200 kali kocokan dan diamkan selama beberapa menit. Pisahkan kedua lapisan
selama beberapa menit, ambil dan totolkan ke empat sampel ke silika gel, diberi
tanda lalu dikeringkan. Silika gel dimasukkan ke dalam spektrofotometri dan amati
perubahan yang terjadi.
VII. Data Pengamatan dan Perhitungan

7.1 Data Pengamatan

NO. Perlakuan Hasil Gambar


1. Menimbang asam Didapatkan asam
asetil salisilat asetil salisilat
sebanyak 60 mg

2. Menimbang Didapatkan
parasetamol parasetamol
sebanyak 60 mg

3. Mencampur/mengenc Didapatkan HCl


erkan 1 ml HCl pekat encer 0,1 M
37 % dengan 99 ml sebanyak 100 ml
aquadest
4. Menghitung dan Didapatkan 1,56
menimbang gram NaH2PO4 dan
NaH2PO4 dan 1,42 gram Na2HPO4
Na2HPO4
5. Melakukan dan Didapatkan 50 ml
mencampur NaH2PO4 dan 50 ml
NaH2PO4 dan Na2HPO4 dengan 25
Na2HPO4 menjadi ml NaH2PO4 dan
campuran buffer 47,5 ml Na2HPO4

6. 30 mg Aspirin + HCl Aspirin dan


3 ml parasetamol di dalam
HCl maupun di
30 mg Aspirin + larutan buffer tidak
larutan buffer 3 ml larut (masih terdapat
20 mg Parasetamol + kristal)
HCl 3 ml
20 mg parasetamol +
larutan buffer 3 ml
7. Keempat tabung Campuran larut dan
reaksi ditambahkan 3 terbentuk dua fase
ml etil asetat dan Atas: etil asetat
dikocok sebanyak 200 (organik)
kali Bawah : (anorganik)
Campuran 1 :
Aspirin+ HCl + Etil
Asetat dihasilkan
fase atas berwarna
bening kekuningan.
Campuran 2 :
Parasetamol + Hcl +
etil asetat dihasilkan
fase atas yang
berwarna bening
kekuningan

8. Keempat sampel Silika gel kering dan


diambil lapisan tidak mengalami
atasnya dan perubahan
ditotolkan ke silika
gel, diberi tanda lalu
dikeringkan.
9. Silika gel dimasukkan Sampel 3 dan 4
ke dalam menyala
spektrofotometri dan Sampel 1 redup
diamati Sampel 2 tidak
menyala

7.2 Perhitungan
a. Pengenceran HCl
Dik : HCl 37 %
Mr HCl = 36,5
Diencerkan hingga 0,1 M
V = 100 ml
37
37 % = 100
1000
N = .
37 1000
= 36,5 . 100

= 10,14
Molaritas HCl Pekat
N1.V1 = N2 .V2
10,14 . V1 = 0,1 . 100 ml
10
V1 = 10,14

V1 = 0,986 1 ml
Aquades = 99 ml

b. Menghitung buffer
NaH2PO4 = 120
NaH2PO4 . H2O = 156 (didalam sampel terdapat hidrat)
1000
Mr = .
1000
0,2 = 156 . 50
0,2 . 156
gr = 20
gr = 1,56 gram
Na2HPO4 = 142
1000
Mr = .
1000
0,2 = 142 . 50
0,2 . 142
gr = 20

gr = 1,42 gram
Maka setelah dilarutkan masing-masing ke dalam 50 ml aquades, dicampurkan
dengan perbandingan 1:19
1
NaH2PO4 =20 . 50 = 2,5 ml
19
Na2HPO4 = 20 . 50 = 47,5 ml

VIII. Pembahasan

Ph dan Pka sangatlah berpengaruh saat proses penyerapan atau absorpsi


obat, menembus membran biologis, dan yang lainnya. Karena itulah, pada
praktikum kali ini, bertujuan untuk membuktikan dan mengamati pengaruh Ph
terhadap proses ionisasi suatu obat. Sebagai sampel yang menunjukkan sifat asam,
digunakan HCl, dan untuk sifat basanya digunakan Buffer dari dua larutan, yaitu
NaH2PO4 dan Na2HPO4.

Obat yang bersifat asam atau basa kuat akan sangat mudah terionisasi,
karena asam atau basa kuat berifat lektrolit kuat, sehingga menghambat proses
menembus membran biologis dan sukar larut di dalam lemak. Kebanyakan obat
yang dikonsumsi manusia bersifat asam atau basa lemah. Asam atau basa lemah
bersifat elektrolit lemah sehingga hanya akan terionisasi sebagian, dan obat dengan
sifat seperti ini akan mudah larut di dalam lemak dan mudah untuk menembus
membran biologis dari jaringan tubuh manusia.

Pada tubuh manusia, terdapat berbagai macam lingkungan dengan ph yang


berbeda-beda, contohnya di lambung, lambung manusia bersifat asam kuat, hal ini
berguna pada saat proses pencernaan makanan, untuk melumat dan mencerna
makanan secara sempurna, cairan lambung harus bersifat asam. Contoh yang lain
lagi adalah

Proses pertama yang dilakukan saat praktikum adalah mengencerkan


larutan HCl pekat 37 %, hal ini dilakukan untuk mendapatkan HCl dengan Ph 1,
digunakannya HCl dengan Ph 1 bertujuan untuk melihat reaksi ionisasi sampel obat
di suasana asam kuat, yang mana akan terjadi ionisasi, karena asam kuat merupakan
larutan elektrolit kuat.

Langkah kedua adalah membuat larutan buffer ph 8 dengan menggunakan


NaH2PO4 dan Na2HPO4, sebanyak 2,5 dan 47,5, dengan perbandingan 1 : 19. Buffer
juga digunakan sebagai sampel untuk menguji pengaruh Ph terhadap proses ionisasi
suatu obat. Buffer dengan Ph 8, berarti suatu larutan dengan tingkat kebasaan yang
tinggi, atau dengan kata lain adalah larutan basa kuat. Basa kuat merupakan larutan
elektrolit kuat yang akan menyebabkan obat tersebut akan mudah terionisasi saat
berada di lingkungan dengan basa kuat.

Pada praktikum ini juga digunakan senyawa etil asetat yang berguna sebagai
senyawa organik, yang diumpakan sebagai lipid bilayer di dalam tubuh manusia,
karena fungsi etil asetat sendiri hampirlah sama. Etil asetat dapat mengeluarkan ion
untuk larutan lain, dan dapat melarutkan air. Tetapi, etil asetat tidaklah stabil
disuasana yang asam ataupun basa. Etil asetat bersifat nonpolar, etil asetat sering
digunakan pelarut polar menengah, karena tidak beracun, tidak bersifat higroskopis,
dan dapat menyaring senyawa yang bersifat anti bakteri.

Selanjutnya, disediakan 4 buah tabung reaksi, yang masing-masing tabung


diisi dengan sampel yang berbeda-beda, dengan sebagiannya diisi basa kuat, dan
sebagian yang lainnya diisi asam kuat, hal ini bertujuan sebagai contoh suasana
dengan tingkat Ph yang berbeda.

Pada tabung 1 diisi dengan 30 mg aspirin atau asam asetil salisilat, 3 ml


HCl, dan 3 ml etil asetat. Pada tabung 2 diisi dengan 30 mg aspirin atau asam asetil
salisilat, 3 ml larutan buffer, dan 3 ml etil asetat. Pada tabung 3 diisi dengan 30 mg
parasetamol, 3 ml HCl, dan 3 ml etil asetat. Pada tabung 4 diisi dengan 30 mg
parasetamol, 3 ml larutan buffer, dan 3 ml etil asetat.

Setelah itu semua sampel larutan akan dikocok sebanyak 200 kali kocokan,
setelah di kocok, larutan didiamkan agar kedua fase larutan dapat terpisah hingga
seluruhnya. Larutan tersebut akan membentuk dua fase, dimana lapisan atas adalah
senyawa etil asetat dan lapisan bawah adalah senyawa anorganik dengan massa
jenis yang lebih tinggi. Pada larutan 1 dan 3, lapisan atasnya berwarna bening
kekuningan.

Pada tabung 1, asam asetil salisilat atu dapat juga disebut aspirin adalah
senyawa yang dari awalnya sudah bersifat asam, karena nilai Pka nya yang kecil.
Saat ditambahkannya larutan HCl yang sama-sama bersifat asam, larutan ini tidak
akan terionisasi, karena larutan ini memiliki sifat yang sama, yaitu Ph dan Pka nya
sama-sama asam dan akan menghasilkan larutan yang bersifat nonpolar. Saat
larutan yang telah berubah menjadi nonpolar tersebut ditambahkan dengan etil
asetat yang bersifat nonpolar juga, maka larutan tersebut akan larut di dalam etil
asetat.

Pada tabung 2, aspirin atau asam asetil salisilat, akan ditambahkan dengan
larutan buffer, yang memiliki Ph 8. Pka dari asam salisilat bernilai kecil, yang dapat
disimpulkan bahwa aspirin bersifat asam, sedangkan Pka lingkungan bernilai besar,
atau dapat di katakan basa, karena telah dicampurkan dengan larutan buffer ph 8.
Pada larutan ini akan terjadi proses ionisasi dikarenakan perbedaan yang menonjol
pada nilai Ph dan Pka dari obat dan lingkungannya, larutan pada tabung 2 akan
berubah menjadi larutan polar. Etil asetat yang bersifat nonpolar akan sukar
tercampur atau terlarut di dalam larutan ini, dikarenakan perbedaan sifat antara
larutan yang satu dengan larutan etil salisilat.

Pada tabung 3, parasetamol akan di campur dengan larutan HCl yang


memiliki nilai Pka kecil, atau asam. Parasetamol memiliki nilai Pka yang tinggi,
yang bermakna bahwa parasetamol adalah zat yang bersifat basa. Saat dua larutan
dengan nilai Ph dan Pka yang berbeda di campurkan, akan terjadi proses ionisasi
yang kuat, sehingga akan terciptanya larutan polor, yang mengakibatkan larutan
tersebut tidak akan terlarut apabila di campur dengan etil asetat yang bersifat
nonpolar.

Pada tabung ke 4, parasetamol yang telah diketahui nilai Pka nya besar akan
dicampurkan dengan larutan buffer ph 8, yang juga memiliki Pka dengan nilai
tinggi, yang berarti, larutan tersebut memiliki sifat yang sama, yaitu basa. Larutan
dengan nilai Ph dan Pka yang sama, tidak akan dapat terionisasi satu sama lainnya,
sehingga larutan ini akan membentuk larutan yang bersifat nonpolar. Saat larutan
ini ditambahkan dengan etil asetat, larutan ini akan dengan mudah larut di dalamnya
karena mereka memiliki sifat yang sama.

Setelah proses pengocokan, setiap larutan akan diambil sedikit dan


ditotolkan di silika gel. Larutan yang diambil untuk proses penotolan adalah lapisan
atas dari tabung reaksi atau dapat disebut juga fase organik dari larutan tersebut.
Larutan yang diambil akan disinari dengan sinar UV di dalam incubator UV HF
254 nm. Saat disinari dengan sinar UV, totolan dari setiap tabung memiliki hasil
yang berbeda.

Dari setiap cairan yang ditotolkan akan terjadi efek florosensi. Florosensi
adalah terpancarnya suatu sinar oleh suatu zat dikarenakan zat tersebut telah
menyerap sinar atau radiasi elektromagnet lain. Cahaya UV 254 nm akan
memancarkan radiasi cahaya dari sampel organik yang diamati dan akan
menghasilkan warna yng berbeda-beda sesuai dengan kelarutan obat di dalam
senyawa organik yang memiliki Ph lingkungan yang berbeda-beda.

Cairan dari tabung 1 menyala redup, cairan dari tabung 2 tidak menyala,
cairan dari tabung 3 menyala terang, dan cairan dari tabung 4 juga menyala terang.
Pada cairan dari tabung 1, yang menyala redup, terdapat aspirin yang larut di dalam
HCl. Hal ini membuktikan bahwa aspirin di dalam tubuh manusia akan larut sedikit
dalam suasana yang asam.

Dan pada cairan yang berasal dari tabung 2, tidak menyala. Hal ini
dikarenakan campuran aspirin pada larutan atau lingkungan bersuasana basa tidak
akan larut sedikit pun. Pada tabung ketiga, yang merupakan hasil dari campuran
parasetamol dan HCl, cairan nya bersinar terang, hal ini bermakna, bahwa
parasetamol di lingkungan dengan suasana asam akan larut seluruhnya. Pada tabung
yang keempat, yang merupakan campuran dari parasetamol, buffer, dan etil asetat,
nya cairan juga bersinar terang. Dapat disimpulkan bahwa parasetamol di dalam
linkungan basa di dalam tubuh dapat larut seluruhnya.

IX. Kesimpulan

Dapat mengamati pengaruh Ph terhadap ionisasi obat, didapatkan hasil bahwa


aspirin atau asam asetil salisilat larut dalam HCl Ph 1 namun tidak larut di dalam
larutan buffer. Parasetamol larut di dalam HCl Ph 1, dan juga larut di dalam larutan
buffer.
DAFTAR PUSTAKA

Fessenden dan Joan. 1982. Kimia Organik Edisi ketiga. Jakarta:Erlangga

Gandjar, Ibnu Gholib. 2012. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Harmita, Kd, et al. 2011. Kimia medisinal. Jakarta : EGC

Martin,et al. 1993. Farmasi Fisik. Jakarta : UI Press

Purba, dkk. 2012. Kimia. Jakarta : Erlangga

R.J.S.Hickman, J.Nell.j.Chem.Educ. 74,855 (1997)

Rufiati, Etna. 2001. Kecenderungan Energi Ionisasi. Pertama tersedia online di


http://skp.unair.ac.id/repository/guruindonesia/kecenderunganenergiionisa
sietnarufiati16546.pdf (diakses tanggal 24 september 2016 pukul 20.12)

Soekardjo, B. 1995. Parameter Lipofilik untuk Prediksi Sifat Farmakokinetik


Senyawa Obat. Jurnal cermin dunia farmasi. 2(5).15-18

Anda mungkin juga menyukai