Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Setiap makhluk hidup memiliki ciri khas sendiri yang berbeda satu sama
lain, yang dikenal dengan istilah keanekaragaman. Keanekaragaman terbagi
menjadi keanekaragaman tingkat jenis dan tingkat gen. Adanya
keanekaragaman makhluk hidup ini salah satunya disebabkan oleh terjadinya
pindah silang. Pindah silang adalah peristiwa bertukarnya segmen dari
kromatid kromatid bukan saudara (non-sister) dari sepasang kromosom
homolog (Campbell et al, 2008). Pindah silang juga dapat melibatkan
kromatid sesaudara, namun sulit untuk dideteksi karena biasanya bersifat
identik (Gardner, 1991). Menurut Suryo (2008), nilai pindah silang tidak akan
melebihi 50%, atau bahkan kurang dari 50%, itu dikarenakan beberapa alasan
yaitu hanya dua dari empat kromatid saja yang ikut mengambil bagian pada
peristiwa pindah silang dan pindah silang ganda akan mengurangi banyaknya
tipe rekombinasi yang dihasilkan. Terbentuknya individu rekombinan tersebut
dapat menyebabkan terjadinya penyimpangan rasio hasil persilangan (F2) dari
Hukum Mendel II.

Untuk membuktikan terjadinya pindah silang tersebut, peneliti melakukan


percobaan persilangan beberapa strain dari Drosophila melanogaster yang
telah mengalami mutasi pada kromosom yang sama, yaitu persilangan antara
N >< bcl dan N >< bvg beserta resiproknya. Dipilihnya strain bcl
dan bvg dikarenakan lokus b, cl, dan vg terdapat pada kromosom yang sama,
yaitu pada kromosom nomor dua. Hal ini juga didukung oleh penelitian
sebelumnya yang menyilangkan N >< bpr (b dan pr juga terdapat di
kromosom 2 seperti dp dan cl pada penelitian ini) didapatkan frekuensi tipe
rekombinan sebesar 30/480 (0,0625) atau 6,25% yang menunjukkan
merupakan akibat dari peristiwa pindah silang selama meiosis (Ayala, dkk.,
1984 dalam Corebima, 1997).

6
Selain itu, persilangan antara N >< bcl, N >< bvg beserta
resiproknya bertujuan untuk mengetahui perbedaan rasio individu rekombinan
hasil dari persilangan tersebut dan untuk mengetahui dimana saja peristiwa
pindah silang itu terjadi. Berdasarkan hal tersebut, peneliti menyusun laporan
yang berjudul Fenomena Pindah Silang pada Drosophila melanogaster
Persilangan Strain N >< bcl dan N >< bvg beserta Resiproknya.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimanakah fenotip F1 dari persilangan Drosophila melanogaster strain
N >< bcl beserta resiproknya dan N >< bvg beserta resiproknya serta
F2 dari persilangan strain N><bclstok dan N><bvgstok ?

2. Bagaimanakah rasio F1 dari persilangan Drosophila melanogaster strain


N >< bcl beserta resiproknya dan N >< bvg beserta resiproknya serta
F2 dari persilangan strain N><bclstok dan N><bvgstok ?

3. Bagaimanakah frekuensi rekombinan dari persilangan F2 Drosophila


melanogaster strain N><bclstok dan N><bvgstok ?

1.3 Tujuan Penelitian


1. Mengetahui fenotip F1 dari persilangan Drosophila melanogaster strain N
>< bcl beserta resiproknya dan N >< bvg beserta resiproknya serta F2
dari persilangan strain N><bclstok dan N><bvgstok.

2. Mengetahui rasio F1 dari persilangan Drosophila melanogaster strain N


>< bcl beserta resiproknya dan N >< bvg beserta resiproknya serta F2
dari persilangan strain N><bclstok dan N><bvgstok.

3. Mengetahui frekuensi rekombinan dari persilangan F2 Drosophila


melanogaster strain N><bclstok dan N><bvgstok.

7
1.4 Kegunaan Penelitian
a. Bagi Peneliti

1. Mengembangkan ilmu genetika dengan melakukan penerapan teori


melalui praktikum proyek D. melanogaster
2. Memberikan informasi mengenai fenotip F1 yang dihasilkan pada
persilangan D. melanogaster strain N >< bcl beserta resiproknya dan
strain N >< bvg beserta resiproknya serta F2 dari persilangan strain
N><bclstok dan N><bvgstok
3. Memberikan informasi mengenai fenomena pindah silang (crossing over)
pada persilangan D. melanogaster persilangan strain N >< bcl beserta
resiproknya dan strain N >< bvg beserta resiproknya serta F2 dari
persilangan strain N><bclstok dan N><bvgstok
4. Memberikan pemahaman dari tujuan disilangkannya F1 betina dengan
induk jantan resesif dari stok
5. Memberikan informasi mengenai ada tidaknya kesesuaian hasil F1 dari
persilangan strain N >< bcl beserta resiproknya dan strain N ><
bvg beserta resiproknya dengan Hukum Mendel I dan II
6. Memberikan informasi mengenai ada tidaknya kesesuaian hasil F2 dari
persilangan strain dari persilangan strain N><bclstok dan
N><bvgstok dengan Hukum Mendel II
7. Memberikan informasi mengenai perbedaan frekuensi pindah silang pada
persilangan D. melanogaster strain N><bclstok dan N><bvgstok.

b. Bagi Mahasiswa

1. Menjadi dasar penelitian lebih lanjut mengenai fenomena pindah silang


(Crossing over)
2. Memberikan pengetahuan dan informasi kepada mahasiswa mengenai
kemungkinan terjadinya fenomena pindah silang pada persilangan
parenta kedua dari D.melanogaster strain N><bclstok dan
N><bvgstok
3. Menambah ilmu pengetahuan tentang penyimpangan hukum Mendel II
khususnya fenomena pindah silang.

8
c. Bagi Masyarakat

Dari hasil percobaan ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman dan


menambah wawasan bagi masyarakat umum atau bagi para pembaca
tentang penyimpangan Hukum Mendel II khususnya mengenai fenomena
pindah silang.

1.5 Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian


1. Penelitian ini hanya dilakukan terhadap lalat buah D. melanogaster
strain N, bcl dan bvg
2. Persilangan yang dilakukan pada penelitian ini terbatas pada persilangan
D. melanogaster strain N >< bcl dan N >< bvg beserta
resiproknya
3. D. melanogaster yang dapat disilangkan hanya yang berumur kurang
lebih 2 hari terhitung mulai menetasnya pupa yang diampul
4. Pengambilan data dimulai dari hari menetasnya pupa (hari ke 1) sampai
hari ke tujuh
5. Data yang diperoleh berasal dari pengamatan fenotip F1 maupun F2 yaitu
warna mata, bentuk sayap dan warna tubuh
6. Persilangan untuk mendapatkan F2 dilakukan hanya terhadap F1 betina,
disilangkan dengan jantan resesifnya dari hasil ampulan pupa yang
diambil dari stok
7. Pengamatan yang dilakukan hanya terbatas pada fenotip, jenis kelamin,
dan jumlah anakan
8. Pembahasan penelitian hanya dibatasi pada pindah silang tunggal saja.

1.6 Asumsi Penelitian

9
1. Kondisi medium dalam botol tiap ulangan dan kondisi lingkungan yang
meliputi suhu, pH, kelembaban, cahaya dan temperatur dianggap sama
2. Seluruh aspek fisiologis termasuk umur, selain gen-gen mutan dan jenis
kelamin dianggap sama
3. Seluruh strain memiliki produktivitas yang sama
4. Umur dan kondisi D. melanogaster yang digunakan dalam penelitian
dianggap sama.

1.7 Definisi Istilah

1. Fenotip ialah karakter - karakter yang dapat diamati pada suatu individu
(yang merupakan hasil suatu interaksi genotip dengan lingkungan tempat
hidup dan berkembang) (Ayala, 1984 dalam Corebima, 2013)
2. Genotip adalah keseluruhan jumlah informasi genetik yang terkandung
pada suatu makhluk hidup (Ayala, 1984 dalam Corebima, 2013)
3. Strain adalah kelompok intra spesifik yang mempunyai hanya satu atau
sejumlah kecil ciri yang berbeda
4. F1 merupakan keturunan pertama dari persilangan induk (Johnson, 1983)
5. F2 merupakan keturunan kedua dari hasil persilangan testcross antara
betina F1 dengan jantan resesifnya (Johnson, 1983)
6. Testcross adalah suatu uji yang dilakukan untuk mengetahui genotip
suatu individu dengan cara disilangkan dengan resesifnya Corebima,
2013)
7. Pindah silang adalah proses proses pertukaran material genetik antara
kromatid homolog (Pai, 1992)
8. Pindah silang tunggal ialah pindah silang yang terjadi pada satu tempat
(Suryo, 2008)
9. Tipe rekombinan adalah tipe turunan yang bukan tipe parental
(Corebima, 2013)
10. Chiasma adalah suatu pemutusan dan penyambungan kembali yang
diikuti oleh suatu pertukaran resiprok antara kedua kromatid didalam

10
bentukan kovalen (suatru kromatid bersifat paternal dan yang lain
bersifat maternal) (Corebima, 2013)
11. Peremajaan adalah kegiatan mengembangbiakkan lalat sejenis dari stock
kedalam medium baru
12. Pengampulan adalah kegiatan memindahkan pupa hitam kedalam selang
yang telah diberi pisang yang kemudian ditutup dengan spon
13. Perkawinan resiprok adalah perkawinan kebalikan dari perkawinan yang
semula dilakukan.

11
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi Drosophila melanogaster


Drosophila melanogaster masuk ke dalam ordo Diptera, yang biasa
disebut lalat buah dan merupakan organisme model yang paling banyak
digunakan dalam penelitian genetika, fisiologi, dan evolusi sejarah kehidupan.
D. melanogaster memiliki kromosom sebanyak 8 buah atau 4 pasang
kromosom homolog. Kromosom-kromosom ini dibedakan atas 3 pasang
kromosom tubuh (autosom) dan sepasang kromosom kelamin (genosom).
Menurut Moore (2006), adapun sistematika dari D. melanogaster diuraikan
sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insecta
Sub-Kelas : Pterygota
Ordo : Diptera
Sub-Ordo : Clycoporrapa
Famili : Drosophilidae
Genus : Drosophila
Spesies : Drosophila melanogaster

Dalam Karmana (2010), pada D. melanogaster selain dari keadaan normal


(N) ditemukan ada beberapa strain yang merupakan hasil mutasi dan
menghasilkan mutan-mutan yang berbeda dari keadaan normalnya.
Perbedaan tersebut terutama terkait dengan warna mata, bentuk mata, dan
bentuk sayap.

2.2 Strain N, bcl, dan bvg


D. melanogaster strain N (wild type) memiliki bentuk mata bulat, warna
mata merah, warna tubuh kuning kecoklatan, ukuran sayap menutupi seluruh
tubuh. Pada D. melanogaster strain bcl terjadi mutasi pada gen b (kromosom
II, lokus 48.5) dan cl (kromosom II, lokus 16.5) menyebabkan warna
tubuhnya hitam dan warna matanya menjadi coklat. Pada Drossophilla

12
melanogaster strain bvg terjadi mutasi pada gen b (kromosom II, lokus 48.5)
dan gen vg (kromosom II, lokus 67.0) menyebabkan warna tubuhnya hitam
dan sayapnya mengalami rudimen (Sinnot, 1956).

2.3 Siklus Hidup D. melanogaster


Siklus hidup D. melanogaster menurut Rachmachandra (2009) terdiri dari
tiga tahap yaitu tahap telur, larva dan pupa. Siklus hidup Drosophila melalui
tiga tahapan larva, dimana larva makan, tumbuh, dan larva berganti kulit
(terkelupas lapisan luarnya yang keras). Larva berwarna putih keruh,
berbentuk bulat panjang dengan salah satu ujungnya runcing. Larva hidup dan
berkembang dalam daging buah selama 6-9 hari, menyebabkan buah menjadi
busuk. Apabila larva sudah dewasa, kemudian akan keluar dari buah dan
memasuki stadium pupa tepat di bawah permukaan tanah. Pupa berwarna
kecoklatan, berbentuk oval dengan panjang 5 mm (Campbell, 2002). Setelah
pupa berwarna coklat, pupa akan menetas menjadi imago.

2.4 Pembelahan Meiosis


Menurut Snustad (2012) istilah meiosis berasal dari kata bahasa Yunani
yang berarti penyusutan. Meiosis diartikan sebagai proses pembela-han sel
yang mereduksi jumlah kromosom dari kondisi diploid menjadi haploid.
Sedangkan menurut Tamarin (2001), meiosis adalah peristiwa pembelahan sel
yang dibagi menjadi dua tahap yaitu meiosis I dan meiosis II yang akan
menghasilkan empat sel baru dari setiap sel induk yang membelah. Pada sel
hewan, pembelahan meiosis hanya terjadi pada sel-sel tertentu. Pembelahan
meiosis pada sel hewan terjadi saat proses pembentukan gamet.

Dalam Gardner, dkk (1984) menyatakan bahwa peristiwa pindah silang


terjadi selama sinapsis dari kromosom-kromosom homolog pada zygote dan
pachyten dari profase meiosis I. Pada fase meiosis I terjadi tahapan antara lain
Interfase I, Profase I, Metafase I, Anafase I dan Telofase I. pada Menurut
Rondonuwu (1989), Profase I merupakanfase meiosis yang paling penting
yang terdiri dari beberapa langkah yaitu:

13
a. Leptoten. Tahap ini ditandai oleh kromosom yang berbentuk benang-
benang panjang mulai menebal dan ada yang lebih tebal yang
disebutkromomer yang kelihatansepertimanik-manikpadaseutasbenang.
b. Zigoten. Pada tahap initerjadi peristiwa dimana kromosom yang
homolog berpasang-pasangan. Kedua kromosom yang homolog terletak
parallel, saling merapat satu dengan yang lain yang memebentuk
bivalen. Proses bergandengnya disebut sinapsis.
c. Pakiten. Pakiten adalah fase utama penebalan kromosom dan
mengganda menjadi dua kromatid, empat kromosom dalam satu bivalen
disebut tetrad. Sentromer belum membelah.
d. Diploten. Keempat kromatid dalam satu bivalen bergerak memisah
seolah-olah menolak, menghasilkan pasangan-pasangan kromatid
menjadi jelas. Keempat kromosom masih tetap terikat oleh sentromer
masing-masing anggota bivalen. Waktu terjadi pemisahan longitudinal
dari kromosom anggota bivalen, dapat terjadi pertautan pada beberapa
tempat yang disebut kiasma sehingga dapat terjadi pertukaran segmen-
segmen dari kromatid-kromatid yang homolog dan kejadian ini disebut
pindah silang (crossing over)
e. Diakinesis. Fase terakhir dari Profase dimana kromosom memendek
dan menebal secara maksimal dan pertautan Nampak dengan jelas.
Bagian kromosom yang berupa sentromer memiliki fungsi yang penting
dalam proses meiosis. Hal tersebut dikarenakan saat pembelahan meiosis
terjadi, sentromer memegang peranan dalam menentukan pemisa-han gen
dimana setiap kromosom akan terbagi menjadi separuhnya (Robinson, 2003).
Pembelahan meiosis secara umum terbagi menjadi dua tahap utama yaitu
meiosis I dan meiosis II. Meiosis I dibagi kembali menjadi profase I, metafase
I, anafase I dan telofase I. Meiosis II juga terbagi menjadi empat tahap yaitu
profase II, metaphase II, anafase II serta telofase II.

2.5 Pindah Silang


Pindah silang (crossing over) adalah peristiwa pertukaran bagian-bagian
antara kromosom-kromosom homolog (Corebima, 2013), sedangkan menurut
Suryo (2004), pindah silang atau crossing over merupakan proses penukaran

14
segmen dari kromatid-kromatid bukan kakak beradik (nonsister
chromatids)dari sepasang kromosom homolog. Gejala ini ditemukan dan
dipaparkan pertama kali oleh Thomas Hunt Morgan pada tahun 1916 ketika
mempelajari lalat buah Drosophila. Proses pindah silang ini menghasilkan
kromosom individual yang menggabungkan gen-gen yang diwarisi dari kedua
orangtua atau parental. Peristiwa ini terjadi pada tahap tertrad pascareplikasi
pada saat tiap kromosom telah mengganda (terbentuk empat kromatid untuk
setiap pasangan kromosom homolog). Meskipun demikian, ditemukan juga
adanya peristiwa unequal crossing over dimana terjadi pertukaran segmen
antara kromosom-kromosom yang non-homolog, namun hal ini sangat jarang
terjadi (Lewin, 2004).

Menurut Gardner dalam Corebima (2000), peristiwa pindah silang terjadi


selama sinapsis dari kromosom-kromosom homolog pada saat zygoten dan
pachiten dari profase pada meiosis I, Chambell (2002) juga menjelaskan
bahwa pindah silang terjadi selama profase meiosis I. Ketika kromosom
homolog pertama kali muncul bersama sebagai pasangan selama profase I,
suatu perlengkapan protein yang dinamakan kompleks sinaptonemal
(synaptonemal complex) menggabung-kan kromosom sehingga terikat kuat
satu dengan yang lainnya, fungsinya mirip sebuah resleting. Pemasangan
berlangsung secara cermat, penataan yang homolog satu sama lain gen demi
gen.

Menurut Rothwell (1983) dalam Corebima (2013), pada tahun 1909 F.


Janssens menyatakan bahwa kromosom-kromosom yang berpasangan di saat
profase meiosis sering memperlihatkan konfigurasi yang menyilang. Tiap
silangan itu diinterpretasikan sebagai chiasma yang berarti telah terjadi suatu
pemutusan dan penyambungan kembali, yang diikuti pertukaran resiprok
antara kedua kromatid di dalam bentukan bivalen (satu kromatid bersifat
paternal, sedangkan yang lain bersifat maternal).

15
Gambar 2.1 Perbedaan antara chiasma dan synaptonemal complex

Fenomena pindah silang pada prakteknya akan memunculkan individu


baru yang sifat fenotipnya berbeda dengan parental. Seharusnya berdasarkan
teori yang telah dikemukakan pada hukum pilihan bebas Mendel (hukum
Mendel II), akan didapatkan dua macam keturunan, yaitu satu jenis
keturunan mirip dengan paternal dan yang lain sama dengan maternalnya.
Namun dalam kenyataannya ditemukan adanya empat jenis keturunan yang
dihasilkan. Dua jenis akan sama dengan sifat kedua induknya, dan jenis lain
akan memiliki sifat yang berbeda dengan sifat kedua induk. Chambell
(2008) juga menyebutkan bahwa peristiwa pindah silang sebagai bentuk
penyimpangan semu dari hukum asortasi (hukum Mendel II). Menurut
Chambell, konsekuensi dari adanya hukum asortasi pada peristiwa
pembelahan meiosis adalah bahwa akan terbentuk turunan yang memiliki
sifat gabungan dari kedua induknya. Namun, pada peristiwa pindah silang,

16
akan terbentuk kromosom rekombinan dimana akan terbentuk turunan yang
bukan tipe parental. Tipe turunan yang seperti ini disebut sebagai tipe
rekombinan. Menurut Corebima (2003), peristiwa pindah silang yang secara
genetik mudah dideteksi adalah pindah silang yang berlangsung antara dua
kromatid yang bukan sesaudara. Peristiwa pindah silang yang terjadi antara
kromatid saudara sulit dideteksi karena kromatid sesaudara membawa gen
identik.

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi peristiwa pindah silang


menurut Suryo (2004), kemungkinannya dipengaruhi oleh beberapa faktor
seperti:
1. Temperatur yang melebihi atau kurang dari temperatur biasa dapat
memperbesar kemungkinan terjadinya pindah silang.
2. Makin tua umur suatu individu, makin kurang mengalami pindah silang.
3. Zat kimia tertentu dapat memperbesar kemungkinan pindah silang.
4. Penyinaran dengan sinar-X dapat memperbesar kemungkinan pindah
silang.
5. Jarak antara gen-gen yang terangkai. Makin jauh letak satu gen dengan
gen lainnya, makin besar kemungkinan terjadinya pindah silang.
6. Pada umumnya pindah silang dijumpai pada makhluk hidup betina
maupun jantan. Namun demikian ada perkecualian, yaitu pada ulat
sutera (Bombix mori) yang betina tidak pernah terjadi pindah silang.

2.6 Uji Silang atau testcross

Uji silang atau testcross adalah uji yang dilakukan dengan membuat suatu
persilangan genetik untuk mengetahui genotip dari suatu individu, dimana
individu tersebut disilangkan dengan resesifnya (Lewin, 2004). Testcross
diperkenalkan oleh J.G Mendel. Mendel menggunakan uji ini untuk
mengetahui apakah suatu individu yang menunjukkan sifat fenotip dominan
memiliki genotipe homozigot ataukah heterozigot (Klug, 2006). Individu yang
genotipnya tidak diketahui tersebut disilangkan dengan individu yang bersifat
homozigot resesif. Dari hasil persilangan, genotip indukan yang belum
diketahui tersebut akan dapat diketahui.

2.7 Nilai Pindah Silang

17
Telah kita ketahui dalam penjelasan sebelumnya bahwa fenomena pindah
silang menghasilkan dua jenis keturunan, yaitu tipe parental dan tipe
rekombinan. Perbandingan jumlah turunan keduanya dapat dilihat dengan cara
menghitung nilai (persentase) pada turunan rekombinan. Besarnya nilai
pindah silang dapat kita tentukan dari perbandingan jumlah individu
rekombinan dengan semua individu turunan dikali 100%. Biasanya jumlah
perbandingan antara individu tipe parental dengan individu rekombinan
terdapat perbedaan yang cukup jauh.Dalam Corebima (1997), dikatakan
bahwa frekuensi rekombinan sebesar 50% merupakan suatu batas besar
frekuensi tipe-tipe rekombinan yang menjamin berlangsungnya proses pilihan
bebas, andaikan faktor-faktor gen tersebut terletak pada kromosom berbeda
(tidak terpaut). Dari situ dapat diartikan bahwa sulit sekali frekuensi
rekombinan dapat sama dengan individu parental, bila ada itupun akan sangat
jarang.Menurut Suryo (2008), nilai pindah silang tidak akan melebihi 50%,
atau bahkan kurang dari 50%, itu dikarenakan beberapa alasan yaitu:
1. Hanya dua dari empat kromatid saja yang ikut mengambil bagian pada
peristiwa pindah silang.
2. Pindah silang ganda akan mengurangi banyaknya tipe rekombinasi yang
dihasilkan.

2.8 Kerangka Konseptual

Peristiwa pindah silang ditandai D. melanogaster memiliki 4


dengan adanya pertukaran pasang kromosom homolog yang
material genetik antar kromatid terdiri dari 3 pasang kromosom
dalam satu pasangan kromosom tubuh (autosom) dan sepasang
homolog kromosom kelamin (genosom)

18
Peristiwa pindah silang terjadi Peristiwa pindah silang dapat
pada tetrad pasca replikasi yaitu terjadi pada D. melanogaster
saat profase meiosis I terutama individu betina, dan
antara kromosom homolog

Persilangan D. melanogaster strain N><bcl beserta resiproknya dan


strain N><bvg beserta resiproknya, kemudian testcross persilangan
betina hasil keturunan F1 dengan induk resesif

Nilai pindah silang dapat ditentukan dari perbandingan jumlah individu


rekombinan dengan semua individu turunan dikali 100%.

Frekuensi keturunan yang rekombinan tidak akan melebihi 50%, atau


bahkan kurang dari 50%

2.9 Hipotesis

Berdasarkan studi pustaka yang tekah dilakukan maka dapat diajukan hipotesis
sebagai berikut,

1. Pada persilangan D. melanogaster strain N><bcl beserta resiproknya dan


strain N><bvg beserta resiproknya beserta resiproknya, fenotip yang
muncul pada keturunan F1 adalah strain N (100% N heterozigot). Pada
keturunan F2 untuk persilangan N><bclstok beserta resiproknya terdapat 4

19
macam fenotip, yaitu N, b, cl, bcl, sedangkan untuk persilangan
N><bvgstok beserta resiproknya terdapat 4 macam fenotip, yaitu N, b, vg,
bvg.

2. Persilangan D. melanogaster strain N><bcl beserta resiproknya dan strain


N><bvg beserta resiproknya menghasilkan rasio keturunan F1 dengan
perbandingan 1. Pada keturunan F2 dari persilangan strain N><bclstok dan
N><bvgstok memiliki perbandingan 1:1:1:1.

3. Frekuensi rekombinan dari persilangan D. melanogaster strain N><bclstok


dan N><bvgstok tidak lebih dari 50%.

20
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan dan Jenis Penelitian


Penelitian mengenai Crossing over ini menggunakan metode deskriptif
observatif karena data diambil dari hasil pengamatan secara langsung. Persilangan
parental (P1) untuk memperoleh turunan (F1) berasal dari Drosophila
melanogaster strain N><bcl beserta resiproknya dan strain N><bvg
beserta resiproknya sebanyak 6 kali ulangan. Kemudian dihitung dan diamati
fenotipe yang muncul pada F1. Sedangkan persilangan parental (P2) untuk
memperoleh turunan (F2) berasal dari betina hasil turunan F1 dengan jantan induk
resesif yang diperoleh dari stok. Kemudian dihitung dan diamati fenotipe yang
muncul pada F2. Pada hari kedua persilangan baik pada P1 maupun P2 dilakukan
pelepasan jantan. Setelah terlihat adanya larva, induk betina dari persilangan
tersebut dipindahkan ke medium baru hingga minimal botol D. Pengambilan data
dilakukan mulai dari menetasnya pupa (dihitung sebagai hari pertama) hingga hari
ketujuh.

3.2 Waktu dan Tempat Pelaksanaan


Penelitian dilaksanakan sejak tanggal 24 Februari 2017 yang berempat di
Laboratorium Genetika gedung O5 ruang 310 jurusan Biologi FMIPA Universitas
Negeri Malang.

3.3 Populasi dan Sampel


3.3.1 Populasi
Populasi yang digunakan yaitu D. melanogaster yang diperoleh dari Laboratorium
Genetika ruang 310 jurusan Biologi Universitas Negeri Malang.
3.3.2 Sampel
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut,
1. D. melanogaster jantan dan betina strain N
2. D. melanogaster jantan dan betina strain bcl
3. D. melanogaster jantan dan betina strain bvg.

21
3.4 Instrumen Penelitian
3.4.1 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan selama kegiatan penelitian ini antara lain pisau dapur,
timbangan, baskom, stoples plastik, blender, panci, pengaduk kayu, kompor gas,
botol selai, kertas pupasi, spons, kain kasa, selang plastik, kuas halus, kertas label,
gunting, staples, kantong plastik bening, mikroskop stereo, kardus, lemari es, dan
alat tulis. Sedangkan bahan yang digunakan selama kegiatan penelitian ini antara
lain D. melanogaster ( strain N, bcl dan bvg ), pisang raja mala, tape singkong,
gula merah, yeast dan air.

3.4.2 Prosedur Kerja


3.4.2.1 Pembuatan Medium
1. Ditimbang pisang 700 gram, tape singkong 200 gram, dan gula merah 100
gram untuk satu resep
2. Pisang dan tape singkong dipotong-potong kecil
3. Ditambahkan air secukupnya pada potongan pisang dan tape singkong
kemudian dihaluskan dengan cara memblender
4. Gula merah dipotong-potong kecil dan diletakkan dalam panci. Ditambahkan
air secukupnya dan dipanaskan hingga larut
5. Pisang dan tape singkong yang telah di blender dimasukkan ke dalam panci
yang berisi gula merah kemudian memanaskannya di atas kompor dengan api
sedang selama 45 menit
6. Botol selai dan spons penutup disiapkan, kemudian menguapkannya terlebih
dahulu dan botol selai segera ditutup dengan spons penutup
7. Setelah 45 menit, mengangkat medium dari kompor. Kemudian botol selai
yang telah diuapi diisi dengan medium dan langsung ditutup dengan spons
penutup
8. Botol yang sudah terisi medium didinginkan dengan cara memasukkan botol
pada baskom yang berisi air secukupnya
9. Setelah medium dingin, ditambahkan fermipan 3-4 butir dan dimasukkan
kertas pupasi pada masing-masing botol dan segera ditutup.
10. Apabila medium yang dibutuhkan sisa dapat disimpan dalam kulkas dengan
waktu penyimpanan maksimal 3 hari.
3.4.2.2 Pengamatan Fenotip Parental

1. Mikroskop stereo disiapkan

22
2. Satu ekor D. melanogaster dari botol Q, X dan R diambil menggunakan
selang plastik, kemudian dimasukkan kedalam plastik bening (diatur
sedemikian rupa agar dapat teramati dengan baik)
3. Diletakkan plastik yang berisi D. melanogaster tersebut di meja preparat pada
mikroskop stereo
4. Diamati fenotip yang meliputi warna mata, warna tubuh, dan keadaan sayap.
3.4.2.3 Peremajaan
1. Dimasukkan 3-5 pasang D. melanogaster sesuai dengan strain yang sama
pada setiap botol selai berisi medium yang telah disiapkan
2. Botol diberi label yaitu dengan memberi tanda berupa tanggal pemasukan D.
melanogaster dan nama strain.

3.4.2.4 Pengampulan untuk Persilangan

1. Setelah diketahui adanya pupa yang menghitam pada botol peremajaan.


Disiapkan selang ampul, kemudian pisang dimasukkan dan didorong hingga
berada di tengah-tengah selang ampul
2. Pupa yang menghitam diambil dengan kuas halus
3. Pupa yang menghitam dimasukkan kedalam salah satu sisi selang ampul, dan
diambil pupa kembali untuk dimasukkan kedalam sisi yang lain (tiap selang
ampul berisi dua pupa)
4. Selang ampul diberi label
5. Ditunggu hingga pupa menetas.
3.4.2.5 Persilangan P1
1. Dari ampulan yang sudah menetas, dipilih D. melanogaster strain jantan
normal dan disilangkan dengan betina bvg beserta resiproknya ke dalam botol
dengan medium baru. Umur lalat dalam ampulan tidak lebih dari tiga hari
2. Diberi label dengan keterangan persilangan strain, ulangan dan tanggal
persilangan.
3. Masing-masing persilangan diulang sebanyak 6 kali
4. Melakukan prosedur yang sama dengan persilangan jantan normal dan betina
bcl beserta resiproknya
5. Setelah dua hari persilangan induk jantan dilepaskan
6. Induk betina dipindahkan ke dalam medium baru setelah muncul larva, begitu
seterusnya hingga botol D
7. Setelah terdapat pupa yang menghitam, pupa tersebut diampul dan melabeli
selang ampul untuk persilangan F2 selanjutnya

23
8. Strain yang menetas diamati fenotipenya dan dihitung jumlahnya selama 7
hari berturut-turut.
3.4.2.6 Persilangan P2
1. Dimasukkan satu ekor D. melanogaster strain N betina (F1) hasil persilangan
parental satu dengan jantan resesif dari stok kemudian diberi label pada botol.
N betina berasal dari ampulan
2. Masing-masing persilangan diulang sebanyak 6 kali sesuai dengan turunan
F1-nya
3. Setelah dua hari persilangan jantan resesif dilepas
4. Induk betina dipindahkan ke dalam medium baru setelah muncul larva, begitu
seterusnya hingga botol D
5. Strain yang menetas diamati fenotipenya dan dihitung rasionya selama 7 hari
berturut-turut.

3.5 Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengambilan data pada penelitian ini dilakukan dengan cara pengamatan
fenotip dan jumlah anak yang muncul pada turunan F1 dan F2 secara langsung.
Data diambil mulai hari pertama menetas sampai hari ke tujuh untuk setiap
ulangan dan data disajikan dalam bentuk tabel data pengamatan.

3.5.1 Tabel Pengumpulan Data

Tabel 1 Data Perhitungan Jumlah F1

Persilanga Fenoti Ulangan Jumla


Sex Total
n p 1 2 3 4 5 6 h

N><bcl N


bcl><N N


N><bvg N

bvg><N N

24

Tabel 2 Data Perhitungan Jumlah F2


Fenoti Ulangan Jumla
Persilangan Total
p 1 2 3 4 5 6 h
N><bclstok N
bcl
(P1 :
b
N><bcl) cl
N><bclstok N
bcl
(P1 :
b
bcl><N) cl
N><bvgstok N
Bvg
(P1 :
B
N><bvg) vg
N><bvgstok N
bvg
(P1 :
b
bvg><N) vg

3.6 Teknik Analisis Data


Teknik analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah rekonstruksi
kromosom dan melihat perbandingan rasio yang muncul pada setiap persilangan.
Jika menunjukkan fenomena pindah silang, maka dilakukan perhitungan frekuensi
pindah silang.
3.6.1 Rumus Frekuensi Turunan Tipe Rekombinan
Adapun rumus untuk menghitung frekuensi dari turunan tipe rekombinan sebagai
berikut,

rekombinan
parental rekombinan
F= x 100 %

25
BAB IV

DATA DAN ANALISIS DATA

4.1 Data Pengamatan


4.1.1 Hasil Pengamatan Fenotip D. Melanogaster
Berdasarkan hasil pengamatan fenotip pada F1 dan F2, ciri ciri D.
melanogaster dari strain N, bcl, bvg, b, cl dan vg sebagai berikut :
Gambar Keterangan
Strain :N
Warna mata : merah
Faset mata : halus
Warna tubuh : kuning kecoklatan
Keadaan sayap : menutupi tubuh
dengan sempurna

Strain : bcl
Warna mata : coklat
Faset mata : halus
Warna tubuh : hitam
Keadaan sayap : menutupi tubuh
dengan sempurna

Strain : bvg
Warna mata : merah
Faset mata : halus
Warna tubuh : hitam
Keadaan sayap : berukuran kecil,
panjangnya lebih pendek dari tubuh
(tereduksi), keriput
Strain :b
Warna mata : merah
Faset mata : halus
Warna tubuh : hitam
Keadaan sayap : menutupi tubuh

26
dengan sempurna

Strain : cl
Warna mata : coklat
Faset mata : halus
Warna tubuh : kuning kecoklatan
Keadaan sayap : menutupi tubuh
dengan sempurna

Strain : vg
Warna mata : merah
Faset mata : halus
Warna tubuh : kuning kecoklatan
Keadaan sayap : berukuran kecil,
panjangnya lebih pendek dari tubuh
(tereduksi), keriput

4.1.2 Tabel Data Perhitungan Jumlah F1

Jumla
Fenoti Ulangan Total
Persilangan Sex h
p
1 2 3 4 5 6
64 44 11 119
N><bcl N 163
21 13 10 44
12
52 45 118 341
bcl><N N 6 501
19 48 26 67 160
N><bv 31 78 57 166
N 276
g 20 36 54 110
bvg>< 56 66 73 195
N 372
N 57 58 62 177

4.1.3 Tabel Data Perhitungan Jumlah F2

27
Jumla
Fenoti Ulangan Total
Persilangan h
p
1 2 3 4 5 6
N><bclstok N 72 72
bcl 42 42
(P1 : 186
b 35 35
N><bcl) cl 37 37
N><bclstok N
Bcl
(P1 :
B
bcl><N) Cl
N><bvgstok N
Bvg
(P1 :
B
N><bvg) Vg
N><bvgstok N 82 62 71 215
Bvg 45 39 43 127
(P1 : 620
B 58 43 32 133
bvg><N) Vg 68 32 45 145

4.2 Analisis Data


4.2.1 Rekonsrtuksi Kromosom Tidak Terjadi Pindah Silang
1. Persilangan N >< bcl (P1 : N><bcl)
P1 : N >< bcl
G1 b+ cl+ >< b cl
b+ cl+ b cl
Gamet : b+ cl+ ; b cl
F1 : b+cl+ ( 100 % N heterozigot)
b cl
P2 : N (dari F1)><bcl resesif (dari stok)
G2 b+cl+ >< b cl
b cl b cl
Gamet : b+cl+, b cl ; b cl
F2 : b+cl+ (N), b cl (bcl)
b cl b cl

P1

b+ b b+ b+ b b b+ b
duplikasi
cl+ cl cl+ cl+ cl cl cl+ cl
P2

28
b+ b b b b+ b b b

cl+ cl cl cl cl+ cl cl cl

2. Persilangan N >< bcl (P1 : bcl><N)


P1 : N >< bcl
G1 b+ cl+ >< b cl
+ +
b cl b cl
Gamet : b+cl+ ; bcl
F1 : b+cl+ ( 100 % N heterozigot)
b cl
P2 : N (dari F1)><bcl resesif (dari stok)
G2 b+ cl+ >< b cl
b cl b cl
+ +
Gamet : b cl , b cl ; bcl
F2 : b+ cl+ (N), b cl (bcl)
b cl b cl

P1

b+ b b+ b+ b b b+ b
duplikasi
cl+ cl cl+ cl+ cl cl cl+ cl
P2
b+ b b b b+ b b b

cl+ cl cl cl cl+ cl cl cl

3. Persilangan N >< bvg (P1 : N><bvg)

P1 : N >< bvg
G1 b+ vg+ >< b vg
b+ vg+ b vg
+ +
Gamet : b vg ; b vg
F1 : b+ vg+ (100 % N heterozigot)

29
b vg
P2 : N (dari F1)><bvg resesif (dari stok)
G2 b+vg+ >< b vg
b vg b vg
Gamet : b+ vg+ b vg
b vg
F2 : b+ vg+ (N), b vg (b vg)
b vg b vg

P1

b+ b b+ b+ b b b+ b
duplikasi
vg+ vg vg+ vg+ vg vg vg+ vg

P2
b+ b b b b+ b b b

vg+ vg vg vg vg+ vg vg vg

4. Persilangan N >< bvg (P1 : bvg><N)


P1 : N >< bvg
G1 b+ vg+ >< b vg
b+ vg+ b vg
Gamet : b+ cl+, b vg
F1 : b+ vg+ ( 100 % N heterozigot)
b vg
P2 : N (dari F1)><bvg resesif (dari stok)
G2 b+ vg+ >< b vg
b vg b vg
Gamet : b+ vg+ , b vg ; b vg
F2 : b+ vg+ (N), b vg (bvg)
b vg b vg

P1

b+ b b+ b+ b b b+ b
duplikasi
vg+ vg vg+ vg+ vg vg vg+ vg

30
P2
b+ b b b b+ b b b

vg+ vg vg vg vg+ vg vg vg

4.2.2 Rekonsrtuksi Kromosom Terjadi Pindah Silang


1. Persilangan N >< bcl (P1 : N><bcl)
P1 : N >< bcl

G1: b+ cl+ >< b cl


b+cl+ b cl

Gamet : b+cl+ ; b cl

F1 : b+cl+ ( 100 % N heterozigot )


b cl

P2 : N (dari F1) >< bclstok

G2 : b+cl+ >< b cl
b cl b cl

b+ b b+ b +
b b b+ b+ b
b
duplikasi
+
cl cl cl+ cl +
cl cl
cl+ cl
+
cl cl

b+ b+
b b
cl+ cl
+
cl cl

Gamet : b+cl+, b+cl, bcl+, bcl ; bcl

F2 :

31
b+cl+ b+cl bcl+ Bcl

b+cl+ b+cl b cl+ b cl

b cl b cl b cl b cl
Bcl
(N (cl) (b) (bcl)
heterozigot)

Perbandingan F2 = N : cl : b : bcl
1 : 1: 1 : 1
2. Persilangan N >< bcl (P1 : bcl><N)
P1 : N >< bcl

G1: b+ cl+ >< b cl


b+cl+ b cl

Gamet : b+cl+ ; b cl

F1 : b+cl+ ( 100 % N heterozigot )


b cl

P2 : N (dari F1) >< bclstok

G2 : b+cl+ >< b cl
b cl b cl

b+ b b+ b +
b b b+ b+ b
b
duplikasi
+
cl cl cl+ cl +
cl cl
cl+ cl
+
cl cl

b+ b+
b b
cl+ cl
cl+ cl

Gamet : b+cl+, b+cl, bcl+, bcl ; bcl

32
F2 :

b+cl+ b+cl bcl+ bcl



b+cl+ b+cl b cl+ b cl

b cl b cl b cl b cl
bcl
(N (cl) (b) (bcl)
heterozigot)

Perbandingan F2 = N : cl : b : bcl
1 : 1: 1 : 1
3. Persilangan N >< bvg (P1 : N><bvg)
P1 : N >< bvg

G1: b+ vg+ >< b vg


b+vg+ b vg

Gamet : b+vg+ ; b vg

F1 : b+vg+ ( 100 % N heterozigot )


b vg

P2 : N (dari F1) >< bvgstok

G2 : b+vg+ >< b vg
b vg b vg

b+ b b+ b +
b b b+ b+ b
b
duplikasi
+
vg vg vg+ vg+ vg vg
vg+ vg
vg+ vg

b+ b+
b b

33
vg+ vg vg +
vg

Gamet : b+vg+, b+vg, bvg+, bvg ; bvg

F2 :

b+vg+ b+vg bvg+ bvg



b+vg+ b+vg b vg+ b vg

b vg b vg b vg b vg
bvg
(N (vg) (b) (bvg)
heterozigot)

Perbandingan F2 = N : vg : b : bvg
1 : 1: 1 : 1
4. Persilangan N >< bvg (P1 : bvg><N)
P1 : N >< bvg

G1: b+ vg+ >< b vg


b+vg+ b vg

Gamet : b+vg+ ; b vg

F1 : b+vg+ ( 100 % N heterozigot )


b vg

P2 : N (dari F1) >< bvgstok

G2 : b+vg+ >< b vg
b vg b vg

b+ b b+ b +
b b b+ b+ b
b
duplikasi
vg+ vg vg+ vg+ vg vg
vg+ vg
+
vg vg

34
b+ b+
b b
vg + vg
+
vg vg

Gamet : b+vg+, b+vg, bvg+, bvg ; bvg

F2 :

b+vg+ b+vg bvg+ bvg



b+vg+ b+vg b vg+ b vg

Bvg b vg b vg b vg b vg

(N heterozigot) (vg) (b) (bvg)

Perbandingan F2 = N : vg : b : bvg
1 : 1: 1 : 1
4.2.2 Frekuensi Pindah Silang
1. Persilangan P2 : N >< bcl (dari P1 : N><bcl)
Frekuensi turunan tipe rekombinan
rekombinan
parental rekombinan
= x 100 %
35+ 37
= 186 x 100 % = 38,7 %

2. Persilangan P2 : N >< bvg (dari P1 : bvg><N)


Frekuensi turunan tipe rekombinan
rekombinan
parental rekombinan
= x 100 %
133+145
= 620 x 100 % = 44,8 %

Berdasarkan hasil perhitungan frekuensi pindah silang diatas pada


persilangan N >< bcl (dari P1 : N><bcl) diperoleh frekuensi pindah
silang 38,7 %, sedangkan pada persilangan N >< bvg (dari P1 :
bvg><N) diperoleh frekuensi pindah silang 44,8 %. Frekuensi yang

35
diperoleh rekombinan lebih kecil daripada parental dan kurang dari 50%,
hal tersebut mengidentifikasikan adn peristiwa pindah silang pada
persilangan di atas sehingga hipotesis diterima.

36
BAB VI

PEMBAHASAN

Pada penelitian ini digunakan D. melanogaster strain N, bcl, dan bvg.


Berdasarkan hasil analisis data, dapat diketahui bahwa pada persilangan parental
pertama strain N >< bcl beserta resiproknya dan N >< bvg beserta
resiproknya didapatkan fenotip turunan pertama (F1) adalah 100% strain N. Hasil
tersebut sesuai dengan rekonstruksi kromosom dimana bahwa F1 strain N yang
didapatkan tersebut bergenotip heterozigot baik jantan maupun betina.
Heterozigot adalah karakter yang dikontrol oleh dua gen (sepasang) tidak identik
(Corebima, 2013), dimana faktor (gen) yang normal bersifat dominan menutupi
gen bcl yang resesif.
Pada persilangan parental kedua disilangkan antara betina normal dari
keturunan F1 dengan jantan resesif dari stok. Berdasarkan hasil analisis data,
dapat diketahui bahwa pada persilangan parental kedua strain N><bclstok (P1 :
N><bcl) didapatkan empat fenotip turunan kedua (F2) yang berbeda yaitu N,
bcl, b dan cl. Pada persilangan parental kedua strain N><bvgstok (P1 :
bvg><N) juga didapatkan empat fenotip turunan kedua (F2) yang berbeda
yaitu N, bvg, b dan vg. Sedangkan untuk persilangan strain N><bclstok (P1 :
bcl><N) dan N><bvgstok (P1 : N><bvg) belum didapatkan data. Akan
tetapi dari hasil rekonstruksi kromosom, F2 dari persilangan parental tersebut juga
memunculkan empat fenotipe yang berbeda. Didapatkannya empat jenis fenotipe
yang berbeda tersebut tidak sesuai dengan hasil analisis rekonstruksi kromosom
dimana seharusnya F2 yang didapatkan sebagai hasil testcross adalah N : bcl dan
N : bvg dengan perbandingan fenotip 1:1. Ketidaksesuaian hasil turunan dari
testcross dengan analisis rekonstruksi kromosom ini dikarenakan pada persilangan
P2 strain N><bclstok dan N><bvgstok telah terjadi peristiwa pindah silang
(crossing-over) dan menunjukkan adanya penyimpangan hukum mendel.

Peristiwa pindah silang yang terjadi adalah pindah silang tunggal, hal ini
karena muncul 4 macam gamet. Peristiwa ini sesuai dengan apa yang dinyatakan

37
Suryo (2008) bahwa pindah silang tunggal ialah pindah silang yang terjadi pada
satu tempat, dengan terjadinya pindah silang itu akan terbentuk 4 macam gamet,
dua macam gamet memiliki gen-gen yang sama dengan gen-gen yang dimiliki
induk (parental) dinamakan gamet-gamet tipe parental, dan gamet lainnya
merupakan gamet-gamet baru, dinamakan gamet-gamet tipe rekombinan.

Hasil rekonstruksi menunjukkan bahwa unsur gen b, cl dan vg terkait


dalam satu kromosom yang sama. Menurut Sinnot (1956) gen b terletak pada
kromosom nomor 2 pada lokus 48,5 , gen cl pada kromosom gonosom nomor 2
pada lokus 16,5 dan gen vg pada kromosom gonosom nomor 2 pada lokus 67,0.

Dari hasil rekonstruksi didapatkan rasio dari F2 adalah 1:n:n:1. Indeks n


menunjukkan bahwa nilai perbandingan kemunculan tipe rekombinan sangat kecil
atau kurang dari angka satu. Tipe rekombinan yang muncul terdapat dua macam,
yaitu b dan cl dari F2 persilangan strain N><bclstok serta b dan vg dari F2
persilangan strain N><bvgstok. Sedangkan tipe parental yaitu N dan bcl dari F2
persilangan strain N><bclstok serta N dan bvg dari F2 persilangan strain
N><bvgstok.

Keadaan tersebut diperkuat dengan perhitungan frekuensi turunan tipe


rekombinan yang dilakukan. Menurut Corebima (2000), frekuensi rekombinan
adalah jarak relatif antara dua faktor atau gen pada suatu kromosom, dimana
pemetaan kromosom dapat dilakukan dengan memanfaatkan data frekuensi
rekombinan akibat peristiwa pindah silang selama meiosis. Informasi yang akan
terungkap dari data frekuensi rekombinan adalah jarak relatif antara dua faktor
atau gen pada suatu kromosom. Dari hasil analisis didapatkan hasil frekuensi tipe
rekombinan yang muncul dari seluruh lalat F2 persilangan strain N><bclstok
yaitu 38,7 % dan dari F2 persilangan strain N><bvgstok yaitu 44,8 %. Maka
tampak bahwa nilai kemunculan dari tipe rekombinan jauh lebih kecil dari tipe
parental atau kurang dari 50%. Nilai tipe rekombinan lebih kecil dibanding
dengan kemunculan tipe parental disebabkan pada proses pindah silang hanya
melibatkan dua kromatid bukan sesaudara dari sepasang kromosom homolog. Hal
ini sesuai dengan pernyataan Scott (1987) bahwa penghitungan frekuensi

38
rekombinan akan valid jika turunan rekombinan hanya terhitung kurang dari 50%
dari jumlah turunan secara keseluruhan.

Pada penelitian mengenai fenomena pindah silang ini digunakan strain bcl
dan bvg. Menurut Corebima (2000), syarat persilangan yang bisa menunjukkan
adanya fenomena pindah silang adalah secara khusus memperhatikan dua gen
pada suatu kromosom. Persilangan minimal adalah dihibridisasi dan kedua faktor
pada gen terletak pada kromosom yang sama. Karena pindah silang atau crossing
over merupakan proses penukaran segmen dari kromatid-kromatid bukan
sesaudara (nonsister chromatids) dari sepasang kromosom homolog (Suryo,
2004). Namun pindah silang ini dapat terjadi pula pada dua kromatid sesaudara
namun sulit untuk dideteksi (Gardner, 1984). Kromatid yang bukan sesaudara ini
dapat dilihat pada rekonstruksi yaitu dua kromatid yang mula-mula merupakan
satu kromosom yang kemudian bereplikasi.

Pada persilangan parental kedua disilangkan antara betina normal dari


keturunan F1 dengan jantan resesif dari stok. Hal ini dikarenakan menurut
Corebima (1997) bahwa pada individu jantan dalam banyak jenis Diptera,
termasuk Drosophila, peristiwa pindah silang tidak pernah terjadi. Menurut
Gardner dalam Corebima (2000), peristiwa pindah silang terjadi selama sinapsis
dari kromosom-kromosom homolog pada saat zygoten dan pachiten dari profase
pada meiosis I, Pada tahap tersebut terbentuk formasi dari sebuah struktur yang
disebut kompleks sinaptonemal (synaptonemal complex). Struktur ini terdiri dari
kromosom terutama protein dan RNA. Selama pembentukan sinaptinemal
kompleks ini, terjadi pula sintesis DNA dalam jumlah kecil. Sintesis DNA ini
yang menyebabkan pindah silang. Sedangkan pada individu jantan sinaptinemal
kompleks tidak dapat terdeteksi.

Kromosom-kromosom yang berpasangan di saat profase meiosis sering


memperlihatkan konfigurasi yang terlihat menyilang. Tiap silangan itu di
interpretasikan sebagai suatu chiasma. Corebima (1997) dalam tulisannya
menyatakan bahwa chiasma mempunyai arti telah terjadi suatu pemutusan dan
penyambungan kembali, yang diikuti oleh pertukaran resiprok antara kedua

39
kromatid di antara bentukan bivalen (satu kromaid bersifat paternal, sedangkan
yang lain bersifat maternal).

40
BAB VII

PENUTUP

7.1 Kesimpulan

1. Pada persilangan D. melanogaster strain N><bcl beserta resiproknya dan


strain N><bvg beserta resiproknya beserta resiproknya, fenotip yang
muncul pada keturunan F1 adalah strain N (100% N heterozigot). Pada
keturunan F2 untuk persilangan N><bclstok beserta resiproknya terdapat 4
macam fenotip, yaitu N, b, cl, bcl, sedangkan untuk persilangan
N><bvgstok beserta resiproknya terdapat 4 macam fenotip, yaitu N, b, vg,
bvg.
2. Persilangan D. melanogaster strain N><bcl beserta resiproknya dan strain
N><bvg beserta resiproknya menghasilkan rasio keturunan F1 dengan
perbandingan 1. Pada keturunan F2 dari persilangan strain N><bclstok dan
N><bvgstok memiliki perbandingan 1:1:1:1.
3. Frekuensi rekombinan dari persilangan D. melanogaster strain N><bclstok
tidak lebih dari 50% yaitu sebesar 38,7% dan strain N><bvgstok juga tidak
lebih dari 50% yaitu sebesar 44,8%.

7.2 Saran
Beberapa hal yang dapat disarankan setelah melakukan kegiatan penelitian antara
lain,

Ketika melakukan penelitian sebaiknya peneliti bekerja dengan cermat dan


teliti agar data-data yang dihasilkan tidak menyimpang dari teori yang ada.
Dalam pembuatan medium tidak terlalu cair agar D. melanogaster agar
tidak mati dan tidak terlalu padat agar tidak ditumbuhi jamur.
Memperbanyak sumber literature untuk mendukung penelitian.
Pastikan botol selai dan spons penutup telah benar-benar steril sebelum
digunakan untuk menghambat pertumbuhan kutu.

41
Daftar Rujukan

Ayala, F.J., dkk. 1984. Modern Genetics. Menlo Park California: The Benjamin/
Cummings Publishing Company, Inc.
Campbell, dkk. 2008. Biologi Jilid 2. Jakarta: Erlangga.
Corebima, A.D. 1997. Genetika Mendel. Surabaya : Airlangga University Press.
Gardner, dkk. 1991. Principles of Genetics. New York : John Wiley & Sons, Inc
Johnson, W.H. and Laubengayer, R.A.1995. Biology. New York: Revised Edition.
Holt, Rinehart and Winston.
Karmana, I Wayan. 2010. Pengaruh Macam Strain dan Umur Betinaterhadap
Jumlah Turunan Lalat Buah (Drosophila melanogaster). Jurnal Gane
Swara Vol. 4 No.2, September 2010
Ramachandra, Sri. 2009. Wonder Animal Model For Genetic Studies - Drosophila
Melanogaster Its Life Cycle and Breeding Methods. Journal of Medicine,
Vol II. June 2009.
Rondonuwu, Suleman. 1989. Dasar-dasarGenetika. Jakarta :Depdikbud Dirjen
pendidikan tinggi Jakarta.
Rothwell, Norman V. 1983. Understanding Genetics. New York-Oxford : Oxford
University, Inc.
Sinnot, Edmund W. 1958. Principles of Genetics. Nrw York : McGraw-Hill.
Snustad, D. Peter. 2012. Principles of Genetics.Sixth Edition. USA : John Wiley &
Sons, Inc.
Stansfield, William D. 1991. Theory and Problems of Genetics, Second Edition
(Schaum Series). Terjemahan. Jakarta : Erlangga
Suryo. 2008. Genetika Strata 1. Yogyakarta : Gajah Mada University Press.
Storer, T.L. dan Usinger, R.L.1975. General Zoologi. New Delhi:Mc. Graw-Hall
Publishing Compang LTD
Wakhidah, Nur. 1996. Waktu Munculnya Rekombinan Akibat pindah Silang pada
Drosophila melanogaster. Skripsi. Malang. Universitas Negeri Malang.
Volpe, E.P. 1981. Understanding Evolution. Dubuque-Iowa: Wm.C. Brown
Company Publisher.
Yatim, Wildan. 1983. Genetika. Bandung : Tarsito.

42
43

Anda mungkin juga menyukai