Anda di halaman 1dari 43

Bengkak tubuh (edema)

Edema didefinisikan sebagai peningkatan volume cairan interstitial yang tampak secara
klinis. Peningkatan volume ini dapat mencapai beberapa liter sebelum kelainan tampak.
Karena itu, penambahan berat badan beberapa kilogram biasanya mendahului manifestasi
edema, dan diuresis dapat menginduksi kehilangan berat badan dalam jumlah yang sama
pada pasien edema ringan sebelum mencapai berat badan kering. Asites dan hidrotoraks
diartikan sebagai akumulasi cairan berlebihan dalam rongga peritoneum dan rongga pleura.
Kedua keadaan ini dianggap sebagai bentuk khusus dari edema. Anasarka adalah edema
seluruh tubuh yang tampak mencolok.
Menurut penyebab dan mekanisme terjadinya, edema dapat terlokalisir atau generalisata.
Edema tampak sebagai bengkak di wajah, biasanya tampak paling jelas di daerah periorbital,
dan adanya indentasi kulit setelah penekanan, hal ini dikenal sebagai pitting edema. Edema
dapat juga dideteksi dari keluhan pasien, misalnya cincin yang menjadi sempit, atau kesulitan
memakai sepatu.

PENYEBAB KLINIS EDEMA

Obstruksi Drainase Vena (dan Limfatik) pada Ekstremitas


Pada keadaan obstruksi, tekanan hidrostatik dalam anyaman kapiler bagian hulu dari
obstruksi meningkat, sehingga cairan dalam jumlah abnormal berpindah dari vaskuler ke
ruang interstitial. Karena rute alternatif (yaitu limfatik) dapat juga mengalami obstruksi,
maka terjadi peningkatan volume cairan interstital di ekstremitas (terdapat cairan terjebak
dalam ekstremitas) yang menyebabkan edema lokal. Keadaan tersebut akan mengurangi
volume darah efektif arteri.

Apabila obstruksi vena dan limfatik terjadi pada sebelah ekstremitas, cairan akan
terakumulasi dalam interstitial, sehingga mengurangi volume plasma. Volume plasma yang
berkurang akan merangsang retensi garam dan air sampai defisist volume plasma terkoreksi.
Pada ekstremitas yang terkena akan terjadi regangan jaringan sampai keseimbangan hukum
Starling dapat dicapai, di mana tidak terjadi lagi akumulasi cairan. Efek yang terjadi adalah
peningkatan volume cairan interstitial lokal. Keadaan yang sama terjadi pada asites dan
hidrotoraks, di mana cairan terjebak atau terakumulasi di dalam kavitas, mengurangi volume
intravaskuler, dan menyebabkan retensi garam dan air sekunder.

Gagal Jantung Kongestif


Pada kelainan ini, gangguan pengosongan pada saat sistolik dan/atau gangguan relaksasi
ventrikel menyebabkan akumulasi darah dalam jantung dan sirkulasi vena, sehingga
menurunkan volume arteri, dan mencetuskan berbagai keadaan yang telah disebutkan di atas.
Pada gagal jantung ringan, sedikit peningkatan volume darah total dapat memperbaiki defisit
volume arteri dan membentuk keadaan yang stabil. Melalui kerja hukum Starling di jantung,
peningkatan volume darah dalam ruang jantung menyebabkan kontraksi jantung yang lebih
kuat dengan demikian dapat meningkatkan curah jantung. Namun, apabila gangguan jantung
yang terjadi lebih berat, retensi cairan tidak dapat memperbaiki defisit volume darah arteri.
Volume darah akan terakumulasi di sirkulasi vena, dan peningkatan tekanan hidrostatik di
kapiler dan limfatik menyebabkan pembentukan edema. Pada gagal jantung, reduksi terjadi
akibat penghambatan pusat vasomotor yang diperantarai oleh barorefleks. Hal ini akan
menyebabkan aktivasi saraf vasokonstriktor ginjal dan sistem RAA sehingga terjadi retensi
natrium dan air.

Pengosongan ventrikel yang tidak komplit (gagal jantung sistolik) dan/atau relaksasi ventrikel
yang tidak adekuat (gagal jantung diastolik), keduanya akan menyebabkan peningkatan
tekanan diastolik ventrikel. Jika gangguan jantung melibatkan ventrikel kanan, tekanan dalam
vena sistemik dan kapiler dapat meningkat, akibatnya akan mendorong transudasi cairan ke
dalam ruang interstitial dan memperburuk edema perifer. Peningkatan tekanan vena sistemik
diteruskan ke duktus torasikus dengan konsekuensi terjadinya penurunan drainase limfatik
dan akhirnya meningkatkan akumulasi edema.

Apabila gangguan fungsi jantung melibatkan ventrikel kiri, maka tekanan vena pulmonalis
dan kapiler meningkat, begitu juga dengan tekanan arteri pulmonalis. Keadan ini selanjutnya
akan mempengaruhi diastolik ventrikel kanan dan tekanan vena sentral serta sistemik,
sehingga menyebabkan pembentukan edema perifer. Edema paru-paru mengganggu
pertukaran gas sehingga dapat menginduksi hipoksia yang akan memperburuk fungsi jantung
lebih jauh lagi.

Sindroma Nefrotik dan Keadaan Hipoalbuminemia lainnya

Perubahan primer pada kelainan ini adalah menurunya tekanan onkotik koloid yang
disebabkan oleh hilangnya protein secara masif melalui urin. Hal ini mendorong perpindahan
cairan ke dalam interstitial, menyebabkan hipovolemia, dan mencetuskan pembentukan
edema sebagai konsekuensi dari berbagai peristiwa di atas, termasuk aktivasi sistem RAA.
Dengan adanya hipoalbuminemia berat dan penurunan tekanan onkotik koloid, maka retensi
garam dan air dalam kompartemen vaskuler tidak dapat dipertahankan, akibatnya terjadi
penurunan colume darah arteri total dan efektif, sehingga stimulus untuk terjadinya retensi
garam dan air tidak dapat dikurangi. Peristiwa serupa terjadi pada keadaan lain yang
menyebabkan hipoalbuminemia berat, termasuk defisiensi nutrisi berat, enteropati yang
disertai kehilangan protein, hipoalbuminemia kongenital, dan penyakit hati kronis yang berat.
Namun, pada sindroma nefrotik, yang berperan dalam pembentukan edema adalah gangguan
ekskresi natrium di ginjal, walaupun tidak terjadi hipoalbuminemia berat.

Sirosis

Kelaianan ini ditandai dengan adanya hambatan aliran vena hepatik, yang selanjutnya
menyebabkan ekspansi volume darah splanknik dan meningkatkan pembentukan limf
hepatik. Hipertensi intrahepatik yang terjadi bekerja sebagai stimulus poten terhadap retensi
natrium dalam ginjal dan mungkin terhadap vasodilatasi sistemik serta penurunan volume
darah arteri efektif. Perubahan-perubahan ini seringkali disertai komplikasi berupa
hipoalbuminemia sekunder untuk mengurangi sintesis di hepar, yang akan menurunakan
volumedarah arteri efektif lebih jauh lagi. Akibatnya terjadiaktivasi sistem RAA oleh saraf
simpatis renal dan mekanisme retensi garam dan air lainnya. Konsentrasi aldosteron dalam
sirkulasi meningkat akibat kegagalan fungsi hati dalam metabolisme hormon ini. Pada
mulanya, kelebihan cairan interstitial terlokalisir di bagian hulu dari kongesti sistem vena
porta dan sumbatan limfatik hati, yaitu di rongga peritoneum. Pada tingkat lanjut, khususnya
jika telah terjadi hipoalbuminemia berat, dapat terbentuk edema perifer. Produksi
prostaglandin yang berlebihan pada sirosis akan mengurangi retensi natrium. Apabila sintesis
prostaglandin tersebut dihambat oleh agen antiinflamasi nonsteroid, akan terjadi penurunan
fungsi ginjal sehingga retensi natrium akan meningkat.

Edema akibat Induksi Obat

Mekanisme terbentuknya edema meliputi vasokonstriksi renal (agen antiinflamasi nonsteroid


dan siklosporin), dilatasi arteriol (vasodilator), peningkatan reabsorpsi natrium ginjal
(hormon steroid) dan kerusakan kapiler (interleukin-2).

Edema Idiopatik
Sindroma ini, yang sebagian besar timbul pada wanita, ditandai dengan episode edema
periodik (tidak berhubungan dengan siklus haid), seringkali disertai dengan distensi
abdomen. Perubahan berat badan diurnal terjadi akibat retensi ortostatik garam dan air,
sehingga berat badan penderita bertambah beberapa gram setelah berada dalam posisi tegak
selama beberapa jam. Adanya perubahan berat diurnal yang besar pada berat badan diduga
akibat peningakatan permeabilitas kapiler yang tampaknya berfluktuasi dalam derajat dan
diperberat dengan cuaca panas. Terdapat beberapa bukti yang menunjukkan bahwa terjadi
reduksi volume plasma pada kondisi ini disertai dengan aktivasi sekunder sistem RAA dan
gagalnya supresi pelepasan AVP. Edema idiopatik harus dibedakan dari edema siklikal atau
premenstrual, di mana retensi garam dan air yang terjadi mungkin sekunder akibat stimulasi
estrogen berlebihan. Terdapat juga beberapa kasus di mana edema yang terjadi tampaknya
diinduksi oleh diuretik. Konsumsi diuretik secara kronis akan sedikit menurunkan volume
darah sehingga menyebabkan hiperreninemia dan hiperplasia jukstaglomerulus. Sedangkan
efek langsung dari diuretik adalah kompensasi berlebihan dari mekanisme retensi garam,
sehingga bila konsumsi diuretik dihentikan tiba-tiba, kekuatan untuk melawan retensi garam
akah hilang, terjadi retensi cairan, akhirnya terbentuk edema. Telah dilaporkan terjadinya
penurunan aktivitas dopamin dan kalikrein urin, serta eksresi kinin dalam kondisi tersebut,
dan mungkin berperan penting dalam patogenesis.

DIAGNOSIS BANDING

Edema terlokalisir biasanya dapat segera dibedakan dari edema generalisata. Sebagian besar
edema generalisata diderita oleh pasien dengan gangguan jantung, ginjal, hati, atau
nutrisional tingkat lanjut.

JANTUNG HATI GINJAL


ANAMNESIS Dispnea akibat aktivitas Dispnea jarang terjadi, Biasanya kronis : dapat
fisik (utama) -sering kecuali bila disertai disertai dengan tanda dan
disertai dengan ortopnea dengan asites yang gejala uremia. Dispnea
atau PND signifikan; tersering ada dapat terjadi tapi
riwaya penyalahgunaan biasanya kurang
etanol menonjol dibandingkan
pada gagal jantung.
PEMERIKSAAN Peningkatan JVP, S3 Sering disertai dengan Tekanan darah mungkin
FISIK gallop: kadangkala asites; JVP normal atau naik, retinopati
dengan denyut apikal rendah; tekanan darah hipertensif atau diabetik
diskinetik atau displaced; lebih rendah daripada pada kasus tertentu; fetor
sianosis perifer, penyakit jantung atau nitrogen; edema
ekstremitas dingin, ginjal; mungkin terdapat periorbital dapat
tekanan nadi lemah bila satu atau lebih tanda menonjol; pericardial
berat tambahan penyakit hati frkction rub pada kasus
kronis tingkat lanjut dengan
uremia.
LABORA- Sering terjadi Apabila berat, terjadi Albuminuria,
TORIUM peningkatan urea reduksi serum albumin, hipoalbuminemia;
nitrogen terhadap rasio kolesterol, dan protein kadangkala serum
kreatinin; peningkatan hepatik lainnya; enzim hati kreatinini dan urea
asam urat; natrium serum meningkat tergantung pada nitrogen meningkat;
sering menurun; enzim- penyebab dan akutnya hiperkalemia, asidosis
enzim hati biasanya kerusakan hati; tendensi metabolik,
meningkat dengan terhadap hipokalemia, hiperfosfatemia,
kongesti hati. alkalosis respiratoir, hipokalsemia, anemia
makrositosis akibat (biasanya normositik).
defisiensi folat.
Tabel 1. Diagnosis Banding Edema Generalisata

Edema Terlokalisir

Edema akibat inflamasi atau hipersensitivitas biasanya dapat segera diidentifikasi. Edema
terlokalisir yang berhubungan dengan obstruksi vena atau limfatik dapat disebabkan oleh
tromboflebitis, limfangitis kronis, reseksi nodus limfatikus regional, filariasis, dll. Limfedema
secara khusus dapat dikenali, karena restriksi aliran limfatik akan menyebabkan peningkatan
konsentrasi protein dalam cairan interstitial, suatu keadaan yang memperberat retensi cairan.

Edema pada Gagal Jantung

Adanya penyakit jantung, yang dimanifestasikan dengan pembesaran jantung dan iirama
gallop, bersama dengan adanya bukti-bukti gagal jantung seperti dipnea, rale basiler, distensi
vena, dan hepatomegali, biasanya merupakan indikasi bahwa edema berasal dari gagal
jantung.

Edema pada Sindroma Nefrotik

Sindroma nefrotik ditandai dengan proteinuria yang menonjol (>3,5 g/dL), hipoalbuminemia
(<3,0 g/L), dan pada beberapa keadaan terdapat hiperkolesterolemia. Sindroma ini dapat
timbul dalam berbagai penyakit ginjal, termasuk glomerulonefritis, glomerulosklerosis
diabetik, dan reaksi hipersensitivitas.

Edema pada Glomerulonefritis Akut dan Gagal Ginjal Kronis

Edema yang timbul pada fase akut glomerulonefritis secara khas ditandai dengan hematuria,
proteinuria, dan hipertensi. Walaupun beberapa bukti memperkuat pendapat bahwa retensi
cairan disebabkan oleh peningkatan permeabilitas kapiler, namun pada sebagian besar kasus
edema berasal dari retensi primer garam dan air oleh ginjal sebagai konsekuensi dari
insufisiensi ginjal. Keadaan ini berbeda dengan gagal jantung kongestif yang ditandai dengan
curah jantung normal (bahkan kadangkala meningkat) dan perbedaan oksigen arterial-mixed
venous yang normal. Hasil rontgen dada pasien dengan edema akibat gagal ginjal biasanya
menunjukkan adanya kongesti paru-paru sebelum pembesaran jantung terjadi secara
signifikan. Namun biasanya tidak terdapat ortopnea. Pasien dengan gangguan fungsi ginjal
kronis juga dapat mengalami edema akibat retensi primer garam dan air.
Edema pada Sirosis

Terdapatnya asites dan bukti-bukti klinis maupun biokimiawi atas penyakit hati merupakan
karakteristik edema yang berasal dari penyakit hati. Asites seringkali refrakter terhadap terapi
karena disebabkan oleh kombinasi antara obstruksi drainase limfatik hati, hipertensi portal,
dan hipoalbuminemia. Edema dapat juga timbul di bagian tubuh yang lain sebagai akibat dari
hipoalbuminemia. Akumulasi cairan asites dalam jumlah tertentu dapat meningkatkan
tekanan intraabdomen dan mengganggu aliran balik vena dari ekstremitas bawah, akibatnya
terjadi edema di daerah ini.

Edema Nutrisional

Defisiensi protein dalam diet dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan
hipoproteinemia dan edema. Edema dapat diperberat dengan timbulnya penyakit jantung
beriberi, yang juga nutrisional, di mana fistula arteriovenous perifer yang terjadi
menyebabkan penurunan perfusi sistemik efektif dan volume darah arteri efektif. Edema
sebenarnya dapat memburuk apabila pasien langsung diberi diet yang adekuat. Konsumsi
makanan yan glebih dari biasanya dapat meningkatkan kadar garam dalam tubuh, yang
nantinya akan diretensi bersama air. Suatu keadaan yang disebut refeeding edema
dihubungkan dengan peningkatan pelepasan insulin, yang secara langsung meningkatan
reabsorpsi natirum di tubulus. Selain hipoalbuminemia, hipokalemia dan defisiensi kalori
dapat menyebabkan edema nutrisional.

Penyebab-penyebab Lain Edema

Penyebab lain edema termasuk hipotiroidisme, di mana edema (myxedema) secara khas
berlokasi di daerah pretibia dan dapat disertai dengan sembab di periorbital.
Hiperadrenokortisme eksogen, kehamilan, dan konsumsi estrogen serta vasodilator,
khususnya antagonis kalsium (nifedipin), juga dapat menyebabkan edema.

Distribusi Edema

Distribusi edema merupakan penuntun yang penting dalam menentukan penyebab edema.
Edema yang terbatas pada satu tungkai atau sebelah atau kedua lengan biasanya akibat
obstruksi vena dan/atau limfatik. Edema yang disebabkan oleh hipoproteinemia mempunyai
karakteristik generalisata, tapi biasanya tampak lebih menonjol di kelopak mata dan wajah,
terutama pada pagi hari akibat posisi berbaring selama malam hari sebelumnya. Penyebab
edema fasial yang lebih jarang adalah trichinosis, reaksi alergi, dan myxedema. Di lain pihak,
edema yang berhubungan dengan gagal jantung cenderung lebih menonjol di tungkai dan
tampak semakin besar di malam hari. Apabila pasien gagal jantung menjalani tirah baring,
edema tampak paling menonjol di daerah presacral. Edema unilateral biasanya berasal dari
lesi di sistem saraf pusat yang berdampak pada serat vasomotor pada salah satu sisi tubuh.
Paralisis juga menurunkan drainase limfatik dan vena pada sisi tubuh yang terkena.

PENDEKATAN TERHADAP PASIEN

Pertanyaan penting yang harus ditanyakan pertama kali adalah apakah edema terlokalisir atau
generalisata. Hidrotoraks dan asites merupakan bentuk edema terlokalisir. Keduanya dapat
merupakan konsekuensi dari obstruksi vena atau limfatik lokal, seperti pada penyakit
inflamasi atau neoplasma.
Apabila edema terjadi generalisata, yang harus ditentukan pertama kali adalah : apakah
terdapat hipoalbuminemia yang serius, misanya serum albumin < 2,5 gr/L. Jika ada, maka
anamnesis, pemeriksaan fisik, urinalisis, dan data laboratorium lainnya akan membantu
dalam evaluasi penyakit yang mendasari seperti sirosis, malnutrisi berat, gastroenteropati
dengan kehilangan protein, atau sindroma nefrotik. Apabila tidak terdapat hipoalbuminemia,
harus ditentukan apakah ada bukti gagal jantung kongestif sebagai pencetus edema
generalisata. Akhirnya, harus ditentukan apakah pasien mengeluarkan urine dalam jumlah
adekuat, atau apakah terdapat oliguria yang signifikan, atau bahkan anuria.
www.dragung.com
Tatalaksana Sindroma Nefrotik

PENATALAKSANAAN SINDROMA NEFROTIK

Tujuan utama adalah mencegah terjadinya komplikasi & perkembangan ke arah gagal
ginjal, pada glomerulonefritis sekunder penanganan utama adalah mengatasi/mengurangi
agen penyebab/mengatasi penyakit sistemik yang mempengaruhi

PRINSIP PENGOBATAN
Patofisologi Pengobatan
Kerusakan glomerulus Imunnosupresif; siklosporin
Antikoagulan; heparin/warvarin
Anti agregasi trombosit; aspirin
Kehilangan protein Diet protein 1-2 gram/kgBB/hari
Hipoalbuminemia & penurunan tekanan Infuse albumin 20-25% dengan dosis 1
onkotik g/kgBB dalam 2-4 jam
sekresi aldosteron Diuretik spironlakton 2-4 mg/kgBB/hari
Retensi Na dan air Diuretik furosemid 1 mg/kgBB
Diet rendah garam dgn batasi asupan Na
sampai 1 gram/hari
Kontrol infeksi Antibiotik
kolesterol darah Hidroximethyl glutaryl co-enzim A (HMG
co-A Reduktase)

- Istirahat sampai edema tinggal sedikit. Batasi asupan Na sampai 1 gram/hari, secara
praktis dengan menggunakan garam secukupnya dalam makanan dan menghindari makanan
yang diasinkan. Diet protein 1-2 gram/kgBB/hari
- Bila edema tidak berkurang dengan pembatasan garam, dapat digunakan diuretik, biasanya
furosemid 1 mg/kgBB, bergantung pada beratnya edema dan respon pengobatan. Bila edema
refrakter, dapat digunakan HCT 1-2 mg/kgbb/hari. Selama pengobatan diuretik perlu dipantau
kemungkinan hipokalemia,alkalosis metabolik, atau kehilangan cairan intravaskular berat.
- Pemberian kortikosteroid berdasarkan ISKDC (International Study Of Kidney Disease In
Children); prednison dosis penuh: 60 mg/m2 luas permukaan badan/hari atau 2 mg/kgBB/hari
(maximal 80 mg/kgBB/hari) selama 4 minggu dilanjutkan pemberian prednison dosis 40
mg/kgBB/m2 luas permukaan badan/hari atau 2/3 dosis penuh, yang diberikan 3 hari berturut-
turut dalam seminggu (intermitten dose) atau selang hari(alternating dose)selama 4 minggu
kemudian dihentikan tanpa trapping off lagi. Bila terjadi relaps diberikan prednison dosis
penuh seperti terapi awal sampai terjadi remisi (maksimal 4 minggu), kemudian dosis
diturunkan menjadi 2/3 dosis penuh. Bila terjadi relaps sering atau resisten steroid, lakukan
biopsi ginjal. 1
- Obat-obatan yang sering digunakan pada yang resisten steroid
Siklofosfamid (CPA)
Pengamatan selama 5 tahun pada pemberian secara oral siklofosfamid (2-3mg/kgBB/hari)
dan prednison (1mg/kgBB secara alternating day) selama 8-12 minggu dapat terjadi remisi
pada 69% pasien dengan SNRS. Pemberian siklofosfamid secara intravena sebulan sekali
juga efektif tetapi apakah mempunyai kelebihan daripada pemberian secara oral masih belum
jelas.
Siklosporin A (CsA)
Siklosporin A (CsA) merupakan obat pengganti steroid yang efektif dan aman dalam
pengobatan sindrom nefrotik. Mekanisme kerja CsA adalah menghambat produksi IL-2.
Angka respon terhadap pemberian CsA saja sebesar 30%, sedangkan dengan
pemberianCsA yang dikombinasi dengan steroid sebesar 40-50%.
Metilprednisolon pulse
Protokol pengobatan dengan metilprednisolon pulse bersamaan dengan prednison atau
siklofosfamid oral, dapat memberikan remisi total pada pasien dengan SNRS kelainan
minimal atau GSFS. Protokol pengobatan metilprednisolon pulse tersebut dikenal sebagai
protokol Mendoza. 2
- Cegah infeksi. Antibiotik hanya diberikan bila ada infeksi
- Punksi asites maupun hidrotoraks dilakukan bila ada indikasi vital.1

Referensi :
1. Mansjoer Arif, dkk. Sindroma Nefrotik. Kapita Selekta Kedokteran. Ed.III. jilid 2.
Jakarta: 2001. h. 488-9
2. Materi Kuliah dr. Vivianty Hartono Sp. A
(http://irapanussa.blogspot.com/2012/10/tatalaksana-sindroma-nefrotik.html)
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang

1.Pemeriksaan Fisik meliputi (a) inspeksi, (b) palpasi, (c) perkusi dan (d)
auskultasi.Pemeriksaan Inspeksi yaitu suatu pemeriksaan yang dilakukan dengan cara
melihat secara rinci dan sistematis keadaan tubuh pasien. Palpasi yaitu suatu pemeriksaan
yang dilakukan dengan cara meraba terhadap keadaan tubuh yang terlihat tidak normal.
Perkusi yaitu suatu pemeriksaan yang dilakukan dengan cara mengetuk guna memperoleh
suara hasil ketukan tersebut terhadap rongga tubuh yang perlu diketahui
keadaannya.Sedangkan Auskultasi yaitu suatu pemeriksaan yang dilakukan dengan cara
mendengarkan suara-suara dalam rongga tubuh dengan menggunakan stetoskop.

2.Pemeriksaan Penunjang yaitu suatu pemeriksaan medis yang dilakukan atas


indikasi medis tertentu guna memperoleh keterangan-keterangan yang lebih lengkap.Tujuan
Pemeriksaan ini bertujuan (a) Terapeutik yaitu untuk pengobatan tertentu atau (b)
Diagnostik yaitu untuk membantu menegakan diagnosis tertentu.
Tujuan dan manfaat pemeriksaan penunjang:

Untuk menambah data penunjang selain data pemeriksaan fisik

Untuk memberi kejelasan dan kepastian tentang kesungguhan penyakit yangdiderita oleh pasien

Untuk memudahkan dokter dalam melakukan diagnosis(Intisari Buku Ajar Diagnostik Fisik, Swartz) A g a r
dokter ma mpu me mperkuat hasil hasil pe meriksaan sebelu mn ya
danm e n g e t a h u i p e r u b a h a n p e r u b a h a n f u n g s i o n a l a t a u s t r u t u r a l y a n g
s u d a h ditunjukkan oleh riwayat sakit pasien (Sumber : Buku Pengantar Ilmu
kedokteranKlinis oleh Horrison Braundwald)

Kapan pemeriksaan penunjang dilakukan:Pemeriksaan lanjutan dilakukan ketika data medis yang
mendukung dalampemeriksaan fisik dirasa kurang.(Intisari Buku Ajar Diagnostik Fisik, Swartz)Cara
penyampaikan informasi dalam informed consent ?

Bagian pertama adalah pengungkapan dan penjelasan (disclosure andexplanation)


kepada pasien dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh pasiennya tentang :

Penegakan diagnosanya

Sifat dan prosedur atau tindakan medik yang diusulkan

Kemungkinan timbulnya risiko

Manfaatnya

Alternatif yang (jika) ada

Bagian dua menyangkut :

M e m a s t i k a n b a h w a p a s i e n m e n g e r t i a p a y a n g t e l a h d i j e l a s k a n kepadanya (harus
diperhitungkan tingkat kapasitas intelektualnya)

Bahwa pasien telah menerima risiko-risiko tersebut

Bahwa pasien mengizinkan dilakukan prosedur/tindakan medik tersebut

Proses itu kemudian harus didokumentasikan.(Guswandi, 2004, Informed Consent, Jakarta :Balai
Penerbit FK UI Jakarta)Pengertian Informed consent:suatu izin (consent) atau pernyataan setuju dari
pasien yang diberikandengan bebas dan rasional, sesudah mendapatkan informasi dari dokter danyang
sudah dimengertinya.
i.
(J. Guwandi, S.H. 2003. Informed consent & refusal consent. Jakarta:Balai penerbit FKUI) ii.suatu
izin (consent) /pernyataan setuju dari pasien yang diberikan dengan bebas dan rasional, sesudah
mendapatkaninformasi dari dokter dan yang sudah dimengertinya.
(sumber: inforned consent dan refiuse consent e:3
Tujuan Informed consent:

Memberi perlindungan pasien terhadap tindakan dokter yang sebenarnyatidak diperlukan dan secara
medis tidak ada dasar pembenarannya yangdilakukan tanpa sepengetahuan pasiennya

Memberi perlindungan hokum kepada dokter terhadap suatu kegagalandan bersifat negative, karena
prosedur medik modern tidak tanpa risikodan pada setiap tindakan medik ada melekat suatu risiko.(J.
Guwandi, S.H. : informed consent & refusal consent)Tujuan Informed consent:

Memberi perlindungan pasien terhadap tindakan dokter yang sebenarnyatidak diperlukan dan secara
medis tidak ada dasar pembenarannya yangdilakukan tanpa sepengetahuan pasiennya
Pelayanan Pemeriksaan Penunjang
Prosedur Pelayanan Pemeriksaan Penunjang

1. Pasien yang memerlukan pemeriksaan penunjang diagnostik, membawa


perintah pemeriksaan dari PPK I atau dokter spesialis disertai dengan
fotocopy KPK ke bagian penunjang diagnostik tujuan.

2. Pembuatan jaminan persetujuan pemeriksaan penunjang diagnostik


diperlukan untuk beberapa penunjang diagnostik tertentu, antara lain
untuk pemeriksaan penunjang diagnostik CT Scan, echocardiografi,
endoscopy, radiologi disertai zat kontras, treadmill, USG.

3. Poli penunjang diagnostik tujuan melakukan pemeriksaan sesuai


permintaan dokter spesialis.

4. Pasien akan menandatangani formulir Bukti Pemeriksaan dan Tindakan


setelah selesai pemeriksaan.
5. Hasil pemeriksaan penunjang disampaikan kembali ke PPK I atau ke dokter
spesialis.

Pemeriksaan fisik atau pemeriksaan klinis adalah sebuah proses dari


seorang ahli medis memeriksa tubuh pasien untuk menemukan tanda klinis
penyakit. Hasil pemeriksaan akan dicatat dalam rekam medis. Rekam medis dan
pemeriksaan fisik akan membantu dalam penegakkan diagnosis dan
perencanaan perawatan pasien.

Biasanya, pemeriksaan fisik dilakukan secara sistematis, mulai dari


bagian kepala dan berakhir pada anggota gerak. Setelah pemeriksaan organ
utama diperiksa dengan inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi, beberapa tes
khusus mungkin diperlukan seperti test neurologi.

Dengan petunjuk yang didapat selama pemeriksaan riwayat dan fisik,


ahli medis dapat menyususn sebuah diagnosis diferensial,yakni sebuah daftar
penyebab yang mungkin menyebabkan gejala tersebut. Beberapa tes akan
dilakukan untuk meyakinkan penyebab tersebut.

Sebuah pemeriksaan yang lengkap akan terdiri diri penilaian kondisi pasien
secara umum dan sistem organ yang spesifik. Dalam prakteknya, tanda vital
atau pemeriksaan suhu, denyut dan tekanan darah selalu dilakukan pertama
kali.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Konsep Teori

Pemeriksaan fisik merupakan peninjauan dari ujung rambut sampai ujung


kaki pada setiap system tubuh yang memberikan informasi objektif tentang klien
dan memungkinkan perawat untuk mebuat penilaian klinis. Keakuratan
pemeriksaan fisik mempengaruhi pemilihan terapi yang diterima klien dan
penetuan respon terhadap terapi tersebut.(Potter dan Perry, 2005)

Pemeriksaan fisik dalah pemeriksaan tubuh klien secara keseluruhan atau hanya
bagian tertentu yang dianggap perlu, untuk memperoleh data yang sistematif
dan komprehensif, memastikan/membuktikan hasil anamnesa, menentukan
masalah dan merencanakan tindakan keperawatan yang tepat bagi klien. ( Dewi
Sartika, 2010)

Adapun teknik-teknik pemeriksaan fisik yang digunakan adalah:

1. Inspeksi

Inspeksi adalah pemeriksaan dengan menggunakan indera penglihatan,


pendengaran dan penciuman. Inspeksi umum dilakukan saat pertama kali
bertemu pasien. Suatu gambaran atau kesan umum mengenai keadaan
kesehatan yang di bentuk. Pemeriksaan kemudian maju ke suatu inspeksi local
yang berfokus pada suatu system tunggal atau bagian dan biasanya
mengguankan alat khusus seperto optalomoskop, otoskop, speculum dan lain-
lain. (Laura A.Talbot dan Mary Meyers, 1997) Inspeksi adalah pemeriksaan yang
dilakukan dengan cara melihat bagian tubuh yang diperiksa melalui pengamatan
(mata atau kaca pembesar). (Dewi Sartika, 2010)

Fokus inspeksi pada setiap bagian tubuh meliputi : ukuran tubuh, warna,
bentuk, posisi, kesimetrisan, lesi, dan penonjolan/pembengkakan.setelah
inspeksi perlu dibandingkan hasil normal dan abnormal bagian tubuh satu
dengan bagian tubuh lainnya.

2. Palpasi

Palpasi adalah pemeriksaan dengan menggunakan indera peraba dengan


meletakkan tangan pada bagian tubuh yang dapat di jangkau tangan. Laura
A.Talbot dan Mary Meyers, 1997)

Palpasi adalah teknik pemeriksaan yang menggunakan indera peraba ; tangan


dan jari-jari, untuk mendeterminasi ciri2 jaringan atau organ seperti: temperatur,
keelastisan, bentuk, ukuran, kelembaban dan penonjolan.(Dewi Sartika,2010)

Hal yang di deteksi adalah suhu, kelembaban, tekstur, gerakan, vibrasi,


pertumbuhan atau massa, edema, krepitasi dan sensasi.
3. Perkusi

Perkusi adalah pemeriksaan yang meliputi pengetukan permukaan tubuh


unutk menghasilkan bunyi yang akan membantu dalam membantu penentuan
densitas, lokasi, dan posisi struktur di bawahnya.(Laura A.Talbot dan Mary
Meyers, 1997)

Perkusi adalah pemeriksaan dengan jalan mengetuk bagian permukaan tubuh


tertentu untuk membandingkan dengan bagian tubuh lainnya (kiri/kanan)
dengan menghasilkan suara, yang bertujuan untuk mengidentifikasi batas/ lokasi
dan konsistensi jaringan. Dewi Sartika, 2010)

4. Auskultasi

Auskultasi adalah tindakan mendengarkan bunyi yang ditimbulkan oleh


bermacam-macam organ dan jaringan tubuh.(Laura A.Talbot dan Mary Meyers,
1997)

Auskultasi Adalah pemeriksaan fisik yang dilakukan dengan cara mendengarkan


suara yang dihasilkan oleh tubuh. Biasanya menggunakan alat yang disebut
dengan stetoskop. Hal-hal yang didengarkan adalah : bunyi jantung, suara nafas,
dan bising usus.(Dewi Sartika, 2010)

Dalam melakukan pemeriksaan fisik, ada prinsip-prinsip yang harus di


perhatikan, yaitu sebagai berikut:

a. Kontrol infeksi

Meliputi mencuci tangan, memasang sarung tangan steril, memasang masker,


dan membantu klien mengenakan baju periksa jika ada.

b. Kontrol lingkungan

Yaitu memastikan ruangan dalam keadaan nyaman, hangat, dan cukup


penerangan untuk melakukan pemeriksaan fisik baik bagi klien maupun bagi
pemeriksa itu sendiri. Misalnya menutup pintu/jendala atau skerem untuk
menjaga privacy klien
1. Komunikasi (penjelasan prosedur)

2. Privacy dan kenyamanan klien

3. Sistematis dan konsisten ( head to toe, dr eksternal ke internal, dr normal ke


abN)

4. Berada di sisi kanan klien

5. Efisiensi

6. Dokumentasi

2.2. Tujuan Pemeriksaan Fisik

Secara umum, pemeriksaan fisik yang dilakukan bertujuan:

1. Untuk mengumpulkan data dasar tentang kesehatan klien.

2. Untuk menambah, mengkonfirmasi, atau menyangkal data yang diperoleh


dalam riwayat keperawatan.

3. Untuk mengkonfirmasi dan mengidentifikasi diagnosa keperawatan.

4. Untuk membuat penilaian klinis tentang perubahan status kesehatan klien


dan penatalaksanaan.

5. Untuk mengevaluasi hasil fisiologis dari asuhan.

Namun demikian, masing-masing pemeriksaan juga memiliki tujuan tertentu


yang akan di jelaskan nanti di setiap bagian tibug yang akan di lakukan
pemeriksaan fisik.

2.3. Manfaat Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik memiliki banyak manfaat, baik bagi perawat sendiri,


maupun bagi profesi kesehatan lain, diantaranya:

1. Sebagai data untuk membantu perawat dalam menegakkan diagnose


keperawatan.
2. Mengetahui masalah kesehatan yang di alami klien.

3. Sebagai dasar untuk memilih intervensi keperawatan yang tepat

4. Sebagai data untuk mengevaluasi hasil dari asuhan keperawatan

2.4. Indikasi
Mutlak dilakukan pada setiap klien, tertama pada:

1. klien yang baru masuk ke tempat pelayanan kesehatan untuk di rawat.

2. Secara rutin pada klien yang sedang di rawat.

3. Sewaktu-waktu sesuai kebutuhan klien

2.5. Prosedur pemeriksaan fisik


Persiapan

a. Alat

Meteran, Timbangan BB, Penlight, Steteskop,


Tensimeter/spighnomanometer, Thermometer, Arloji/stopwatch, Refleks Hammer,
Otoskop, Handschoon bersih ( jika perlu), tissue, buku catatan perawat.

Alat diletakkan di dekat tempat tidur klien yang akan di periksa.

b. Lingkungan

Pastikan ruangan dalam keadaan nyaman, hangat, dan cukup


penerangan. Misalnya menutup pintu/jendala atau skerem untuk menjaga
privacy klien

c. Klien (fisik dan fisiologis)

Bantu klien mengenakan baju periksa jika ada dan anjurkan klien untuk rileks.

A) Prosedur Pemeriksaan

1. Cuci tangan

2. Jelaskan prosedur
3. Lakukan pemeriksaan dengan berdiri di sebelah kanan klien dan
pasang handschoen bila di perlukan

4. Pemeriksaan umum meliputi : penampilan umum, status mental


dan nutrisi.

Posisi klien : duduk/berbaring


Cara : inspeksi

1. Kesadaran, tingkah laku, ekspresi wajah, mood. (Normal : Kesadaran


penuh, Ekspresi sesuai, tidak ada menahan nyeri/ sulit bernafas)

2. Tanda-tanda stress/ kecemasan (Normal :)Relaks, tidak ada tanda-tanda


cemas/takut)

3. Jenis kelamin

4. Usia dan Gender

5. Tahapan perkembangan

6. TB, BB ( Normal : BMI dalam batas normal)

7. Kebersihan Personal (Normal : Bersih dan tidak bau)

8. Cara berpakaian (Normal : Benar/ tidak terbalik)

9. Postur dan cara berjalan

10.Bentuk dan ukuran tubuh

11.Cara bicara. (Relaks, lancer, tidak gugup)

12.Evaluasi dengan membandingkan dengan keadaan normal.

13.Dokumentasikan hasil pemeriksaan

B) Pengukuran tanda vital (Dibahas kelompok 2 lebih dalam)


Posisi klien : duduk/ berbaring

1. Suhu tubuh (Normal : 36,5-37,50c)


2. Tekanan darah (Normal : 120/80 mmHg)

3. Nadi

a) Frekuensi = Normal : 60-100x/menit ; Takikardia: >100 ; Bradikardia: <6


span="">
b) Keteraturan= Normal : teratur

c) Kekuatan= 0: Tidak ada denyutan; 1+:denyutan kurang teraba; 2+:


Denyutan

mudah teraba, tak mudah lenyap; 3+: denyutan kuat dan mudah teraba

4. Pernafasan

a) Frekuensi: Normal= 15-20x /menit; >20: Takipnea; <15 bradipnea=""


span="">

b) Keteraturan= Normal : teratur

c) Kedalaman: dalam/dangkal

d) Penggunaan otot bantu pernafasan: Normal : tidak ada

setelah diadakan pemeriksaan tanda-tanda vital evaluasi hasil yang di


dapat dengan

membandikan dengan keadaan normal, dan dokumentasikan hasil


pemeriksaan yang

didapat.

C) Pemeriksaan kulit dan kuku

Tujuan

1) Mengetahui kondisi kulit dan kuku

2) Mengetahui perubahan oksigenasi, sirkulasi, kerusakan jaringan


setempat, dan hidrasi.

Persiapan

1) Posisi klien: duduk/ berbaring


2) Pencahayaan yang cukup/lampu

3) Sarung tangan (utuk lesi basah dan berair)

Prosedur Pelaksanaan

a. Pemeriksaan kulit\

Inspeksi : kebersihan, warna, pigmentasi,lesi/perlukaan, pucat, sianosis, dan


ikterik.

Normal: kulit tidak ada ikterik/pucat/sianosis.

Palpasi : kelembapan, suhu permukaan kulit, tekstur, ketebalan, turgor kulit,


dan edema.

Normal: lembab, turgor baik/elastic, tidak ada edema.

setelah diadakan pemeriksaan kulit dan kuku evaluasi hasil yang di dapat
dengan membandikan dengan keadaan normal, dan dokumentasikan hasil
pemeriksaan yang didapat tersebut.

b. Pemeriksaan kuku

Inspeksi : kebersihan, bentuk, dan warna kuku

Normal: bersih, bentuk normaltidak ada tanda-tanda jari tabuh (clubbing finger),
tidak ikterik/sianosis.

Palpasi : ketebalan kuku dan capillary refile ( pengisian kapiler ).

Normal: aliran darah kuku akan kembali < 3 detik.

setelah diadakan pemeriksaan kuku evaluasi hasil yang di dapat dengan


membandikan dengan keadaan normal, dan dokumentasikan hasil pemeriksaan
yang didapat tersebut.

c. Pemeriksaan kepala, wajah, mata, telinga, hidung, mulut dan leher

Posisi klien : duduk , untuk pemeriksaan wajah sampai dengan leher perawat

berhadapan dengan klien


D) Pemeriksaan kepala, wajah, mata, telinga, hidung, mulut dan leher

1. Pemeriksaan kepala

Tujuan

a) Mengetahui bentuk dan fungsi kepala

b) Mengetahui kelainan yang terdapat di kepala

Persiapan alat

a) Lampu

b) Sarung tangan (jika di duga terdapat lesi atau luka)

Prosedur Pelaksanaan

Inspeksi : ukuran lingkar kepala, bentuk, kesimetrisan, adanya lesi atau tidak,
kebersihan rambut dan kulit kepala, warna, rambut, jumlah dan distribusi
rambut.

Normal: simetris, bersih, tidak ada lesi, tidak menunjukkan tanda-tanda


kekurangan gizi(rambut jagung dan kering)

Palpasi : adanya pembengkakan/penonjolan, dan tekstur rambut.

Normal: tidak ada penonjolan /pembengkakan, rambut lebat dan kuat/tidak


rapuh.

setelah diadakan pemeriksaan kepala evaluasi hasil yang di dapat dengan


membandikan dengan keadaan normal, dan dokumentasikan hasil pemeriksaan
yang didapat.

2. Pemeriksaan wajah

Inspeksi : warna kulit, pigmentasi, bentuk, dan kesimetrisan.

Normal: warna sama dengan bagian tubuh lain, tidak pucat/ikterik, simetris.
Palpasi : nyeri tekan dahi, dan edema, pipi, dan rahang

Normal: tidak ada nyeri tekan dan edema.

setelah diadakan pemeriksaan wajah evaluasi hasil yang di dapat dengan


membandikan dengan keadaan normal, dan dokumentasikan hasil pemeriksaan
yang didapat tersebut.

3. Pemeriksaan mata

Tujuan

a) Mengetahui bentuk dan fungsi mata

b) Mengetahui adanya kelainan pada mata.

Persiapan alat

a) Senter Kecil

b) Surat kabar atau majalah

c) Kartu Snellen

d) Penutup Mata

e) Sarung tangan

Prosedur Pelaksanaan

Inspeksi: bentuk, kesimestrisan, alis mata, bulu mata, kelopak mata,


kesimestrisan, bola mata, warna konjunctiva dan sclera (anemis/ikterik),
penggunaan kacamata / lensa kontak, dan respon terhadap cahaya.

Normal: simetris mata kika, simetris bola mata kika, warna konjungtiva pink, dan
sclera berwarna putih.

Tes Ketajaman Penglihatan

Ketajaman penglihatan seseorang mungkin berbeda dengan orang lain.


Tajam penglihatan tersebut merupakan derajad persepsi deteil dan kontour
beda. Visus tersebut dibagi dua yaitu:
1). Visus sentralis.

Visus sentralis ini dibagi dua yaitu visus sentralis jauh dan visus sentralis
dekat.

a. visus centralis jauh merupakan ketajaman penglihatan untuk melihat benda


benda yang letaknya jauh. Pada keadaan ini mata tidak melakukan akomodasi.
(EM. Sutrisna, dkk, hal 21).

b. virus centralis dekat yang merupakan ketajaman penglihatan untuk melihat


benda benda dekat misalnya membaca, menulis dan lain lain. Pada keadaan ini
mata harus akomodasi supaya bayangan benda tepat jatuh di retina. (EM.
Sutrisna, dkk, hal 21).

2). Visus perifer

Pada visus ini menggambarkan luasnya medan penglihatan dan diperiksa


dengan perimeter. Fungsi dari visus perifer adalah untuk mengenal tempat suatu
benda terhadap sekitarnya dan pertahanan tubuh dengan reaksi menghindar jika
ada bahaya dari samping. Dalam klinis visus sentralis jauh tersebut diukur
dengan menggunakan grafik huruf Snellen yang dilihat pada jarak 20 feet atau
sekitar 6 meter. Jika hasil pemeriksaan tersebut visusnya e20/20 maka tajam
penglihatannya dikatakan normal dan jika Visus <20 adalah="" anomaly=""
bermacam="" dikatakan="" kelainan="" kurang="" macam="" maka=""
peglihatan="" pembiasan.="" penglihatanya="" penurunan="" penyebab=""
refraksi="" salah="" satunya="" seseorang="" span="" tajam="">

prosedur pemeriksaan visus dengan menggunakan peta snellen yaitu:

Memperkenalkan diri dan menjelaskan maksud tujuan pemeriksaan.

Meminta pasien duduk menghadap kartu Snellen dengan jarak 6 meter.

Memberikan penjelasan apa yang harus dilakukan (pasien diminta


mengucapkan apa yang akan ditunjuk di kartu Snellen) dengan menutup
salah satu mata dengan tangannya tanpa ditekan (mata kiri ditutup dulu).

Pemeriksaan dilakukan dengan meminta pasien menyebutkan simbol di


kartu Snellen dari kiri ke kanan, atas ke bawah.
Jika pasien tidak bisa melihat satu simbol maka diulangi lagi dari barisan
atas. Jika tetap maka nilai visus oculi dextra = barisan atas/6.

Jika pasien dari awal tidak dapat membaca simbol di Snellen chart maka
pasien diminta untuk membaca hitungan jari dimulai jarak 1 meter
kemudian mundur. Nilai visus oculi dextra = jarak pasien masih bisa
membaca hitungan/60.

Jika pasien juga tidak bisa membaca hitungan jari maka pasien diminta
untuk melihat adanya gerakan tangan pemeriksa pada jarak 1 meter (Nilai
visus oculi dextranya 1/300).

Jika pasien juga tetap tidak bisa melihat adanya gerakan tangan, maka
pasien diminta untuk menunjukkan ada atau tidaknya sinar dan arah sinar
(Nilai visus oculi dextra 1/tidak hingga). Pada keadaan tidak mengetahui
cahaya nilai visus oculi dextranya nol.

Pemeriksaan dilanjutkan dengan menilai visus oculi sinistra dengan cara


yang sama.

Melaporkan hasil visus oculi sinistra dan dextra. (Pada pasien vos/vodnya
x/y artinya mata kanan pasien dapat melihat sejauh x meter, sedangkan
orang normal dapat melihat sejauh y meter.

Pemeriksaan Pergerakan Bola Mata


Pemeriksaan pergeraka bola mata dilakukan dengan cara Cover-
Uncover Test / Tes Tutup-Buka Mata

Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi adanya Heterophoria.

Heterophoria berhubungan dengan kelainan posisi bola mata, dimana terdapat


penyimpangan posisi bolamata yang disebabkan adanya gangguan
keseimbangan otot-otot bolamata yang sifatnya tersembunyi atau latent. Ini
berarti mata itu cenderung untuk menyimpang atau juling, namun tidak nyata
terlihat.

Pada phoria, otot-otot ekstrinsik atau otot luar bola mata berusaha lebih tegang
atau kuat untuk menjaga posisi kedua mata tetap sejajar. Sehingga rangsangan
untuk berfusi atau menyatu inilah menjadi faktor utama yang membuat otot
-otot tersebut berusaha extra atau lebih, yang pada akhirnya menjadi beban bagi
otot-otot tersebut, wal hasil akan timbul rasa kurang nyaman atau Asthenopia.

Dasar pemeriksaan Cover-Uncover Test / Tes Tutup-Buka Mata :

Pada orang yang Heterophoria maka apabila fusi kedua mata diganggu
(menutup salah satu matanya dengan penutup/occluder, atau
dipasangkan suatu filter), maka deviasi atau peyimpangan laten atau
tersembunyi akan terlihat.

Pemeriksa memberi perhatian kepada mata yang berada dibelakang


penutup.

Sewaktu tutup di buka, bila terlihat adanya gerakan dari luar (temporal)
kearah dalam (nasal) pada mata yang baru saja di tutup, berarti terdapat
kelainan EXOPHORIA.

Sewaktu tutup di buka, bila terlihat adanya gerakan dari dalam (nasal)
luar kearah (temporal)pada mata yang baru saja di tutup, berarti
terdapat kelainan ESOPHORIA.

Sewaktu tutup di buka, bila terlihat adanya gerakan dari atas (superior)
kearah bawah (inferior) pada mata yang baru saja di tutup, berarti
terdapat kelainan HYPERPHORIA.

Sewaktu tutup di buka, bila terlihat adanya gerakan dari bawah (inferior)
kearah atas (superior) pada mata yang baru saja di tutup, berarti terdapat
kelainan HYPORPHORIA.

Alat/sarana yang dipakai:

Titik/lampu untuk fiksasi

Jarak pemeriksaan :

o Jauh : 20 feet (6 Meter)

o Dekat : 14 Inch (35 Cm)

Penutup/Occluder
Prosedur Pemeriksaan :

1. Minta pasien untuk selalu melihat dan memperhatikan titik fiksasi, jika
objek jauh kurang jelas, maka gunakan kacamata koreksinya.

2. Pemeriksa menempatkan dirinya di depan pasien sedemikian rupa,


sehingga apabila terjadi gerakan dari mata yang barusa saja ditutup dapat
di lihat dengan jelas atau di deteksi dengan jelas.

3. Perhatian dan konsentrasi pemeriksa selalu pada mata yang ditutup.

4. Sewaktu tutup di buka, bila terlihat adanya gerakan dari luar (temporal)
kearah dalam (nasal) pada mata yang baru saja di tutup, berarti terdapat
kelainan EXOPHORIA. Exophoria dinyatakan dengan inisial = X (gambar
D)

5. Sewaktu tutup di buka, bila terlihat adanya gerakan dari dalam (nasal)
luar kearah (temporal)pada mata yang baru saja di tutup, berarti
terdapat kelainan ESOPHORIA. Esophoria dinyatakan dengan inisial = E
(gambar C)

6. Sewaktu tutup di buka, bila terlihat adanya gerakan dari atas (superior)
kearah bawah (inferior)) pada mata yang baru saja di tutup, berarti
terdapat kelainan HYPERPHORIA. Hyperphoria dinyatakan dengan inisial
= X (gambar E)

7. Sewaktu tutup di buka, bila terlihat adanya gerakan dari bawah (inferior)
kearah atas (superior) pada mata yang baru saja di tutup, berarti terdapat
kelainan HYPOPHORIA. Hypophoria dinyatakan dengan inisial = X
(gambar F)

8. Untuk mendeteksi Heterophoria yang kecil, seringkali kita tidak dapat


mengenali adanya suatu gerakan, seolah kondisi mata tetap di tempat.
Untuk itu metode ini sering kita ikuti dengan metode tutup mata
bergantian (Alternating Cover Test).
Setelah diadakan pemeriksaan mata evaluasi hasil yang di dapat dengan
membandikan dengan keadaan normal, dan dokumentasikan hasil pemeriksaan
yang didapat tersebut.
4. Pemeriksaan telinga

Tujuan

Mengetahui keadaan telinga luar, saluran telinga, gendang telinga, dan fungsi
pendengaran.

Persiapan Alat

a) Arloji berjarum detik

b) Garpu tala

c) Speculum telinga

d) Lampu kepala

Prosedur Pelaksanaan

Inspeksi : bentuk dan ukuran telinga, kesimetrisan, integritas, posisi telinga,


warna, liang telinga (cerumen/tanda-tanda infeksi), alat bantu dengar..

Normal: bentuk dan posisi simetris kika, integritas kulit bagus, warna sama
dengan kulit lain, tidak ada tanda-tanda infeksi, dan alat bantu dengar.

Palpasi : nyeri tekan aurikuler, mastoid, dan tragus

Normal: tidak ada nyeri tekan.

setelah diadakan pemeriksaan telinga evaluasi hasil yang di dapat dengan


membandikan dengan keadaan normal, dan dokumentasikan hasil pemeriksaan
yang didapat tersebut.

Pemeriksaaan Telinga Dengan Menggunakan Garpu Tala

a. Pemeriksaan Rinne

1. Pegang agrpu tala pada tangkainya dan pukulkan ke telapak atau buku jari
tangan yang berlawanan.

2. Letakkan tangkai garpu tala pada prosesus mastoideus klien.


3. Anjurkan klien untuk memberi tahu pemeriksa jika ia tidak merasakan getaran
lagi.

4. Angkat garpu tala dan dengan cepat tempatkan di depan lubang telinga klien 1-
2 cm dengan posisi garpu tala parallel terhadap lubang telinga luar klien.

5. Instruksikan klien untuk member tahu apakah ia masih mendengarkan suara


atau tidak.

6. Catat hasil pemeriksaan pendengaran tersebut.

b. Pemeriksaan Webber

1. Pegang garpu tala pada tangkainya dan pukulkan ke telapak atau buku jari yang
berlawanan.

2. Letakkan tangkai garpu tala di tengah puncak kepala klien .

3. Tanyakan pada klien apakah bunyi terdengar sama jelas pada kedua telinga
atau lebih jelas pada salah satu telinga.

4. Catat hasil pemeriksaan dengan pendengaran tersebut

5 Pemeriksan hidung dan sinus

Tujuan

a) Mengetahui bentuk dan fungsi hidung

b) Menentukan kesimetrisan struktur dan adanya inflamasi atau infeksi

Persiapan Alat

a) Spekulum hidung

b) Senter kecil

c) Lampu penerang

d) Sarung tangan (jika perlu)

Prosedur Pelaksanaan
Inspeksi : hidung eksternal (bentuk, ukuran, warna, kesimetrisan), rongga,
hidung ( lesi, sekret, sumbatan, pendarahan), hidung internal (kemerahan, lesi,
tanda2 infeksi)

Normal: simetris kika, warna sama dengan warna kulit lain, tidak ada lesi, tidak
ada sumbatan, perdarahan dan tanda-tanda infeksi.

Palpasi dan Perkusi frontalis dan, maksilaris (bengkak, nyeri, dan septum
deviasi)

Normal: tidak ada bengkak dan nyeri tekan.

setelah diadakan pemeriksaan hidung dan sinus evaluasi hasil yang di dapat
dengan membandikan dengan keadaan normal, dan dokumentasikan hasil
pemeriksaan yang didapat tersebut.

6 Pemeriksaan mulut dan bibir

Tujuan

Mengetahui bentuk kelainan mulut

Persiapan Alat

a) Senter kecil

b) Sudip lidah

c) Sarung tangan bersih

d) Kasa

Prosedur Pelaksanaan

Inspeksi dan palpasi struktur luar : warna mukosa mulut dan bibir, tekstur ,
lesi, dan stomatitis.

Normal: warna mukosa mulut dan bibir pink, lembab, tidak ada lesi dan
stomatitis

Inspeksi dan palpasi strukur dalam : gigi lengkap/penggunaan gigi palsu,


perdarahan/ radang gusi, kesimetrisan, warna, posisi lidah, dan keadaan langit2.
Normal: gigi lengkap, tidak ada tanda-tanda gigi berlobang atau kerusakan
gigi, tidak ada perdarahan atau radang gusi, lidah simetris, warna pink, langit2
utuh dan tidak ada tanda infeksi.

Gigi lengkap pada orang dewasa berjumlah 36 buah, yang terdiri dari 16 buah di
rahang atas dan 16 buah di rahang bawah. Pada anak-anak gigi sudah mulai
tumbuh pada usia enam bulan. Gigi pertama tumbuh dinamakan gigi susu di
ikuti tumbuhnya gigi lain yang disebut gigi sulung. Akhirnya pada usia enam
tahun hingga empat belas tahun, gigi tersebut mulai tanggal dan dig anti gigi
tetap.

Pada usia 6 bulan gigi berjumlah 2 buah (dirahang bawah), usia 7-8 bulan
berjumlah 7 buah(2 dirahang atas dan 4 dirahang bawah) , usia 9-11 bulan
berjumlah 8 buah(4 dirahang atas dan 4 dirahang bawah), usia 12-15 bulan gigi
berjumlah 12 buah (6 dirahang atas dan 6 dirahang bawah), usia 16-19 bulan
berjumlah 16 buah (8 dirahang atas dan 8 dirahang bawah), dan pada usia 20-30
bulan berjumlah 20 buah (10 dirahang atas dan 10 dirahang bawah)

setelah diadakan pemeriksaan mulut dan bibir evaluasi hasil yang di dapat
dengan membandikan dengan keadaan normal, dan dokumentasikan hasil
pemeriksaan yang didapat tersebut.

7 Pemeriksaan leher

Tujuan

a) Menentukan struktur integritas leher

b) Mengetahui bentuk leher serta organ yang berkaitan

c) Memeriksa system limfatik

Persiapan Alat

Stetoskop

Prosedur Pelaksanaan

Inspeksi leher: warna integritas, bentuk simetris.

Normal: warna sama dengan kulit lain, integritas kulit baik, bentuk simetris,
tidak ada pembesaran kelenjer gondok.
Inspeksi dan auskultasi arteri karotis: lokasi pulsasi

Normal: arteri karotis terdengar.

Inspeksi dan palpasi kelenjer tiroid (nodus/difus, pembesaran,batas,


konsistensi, nyeri, gerakan/perlengketan pada kulit), kelenjer limfe (letak,
konsistensi, nyeri, pembesaran), kelenjer parotis (letak, terlihat/ teraba)

Normal: tidak teraba pembesaran kel.gondok, tidak ada nyeri, tidak ada
pembesaran kel.limfe, tidak ada nyeri.

Auskultasi : bising pembuluh darah.

Setelah diadakan pemeriksaan leher evaluasi hasil yang di dapat dengan


membandikan dengan keadaan normal, dan dokumentasikan hasil pemeriksaan
yang didapat tersebut.

8 Pemeriksaan dada( dada dan punggung)

Posisi klien: berdiri, duduk dan berbaring

Cara/prosedur:

A) System pernafasan

Tujuan :

a) Mengetahui bentuk, kesimetrisas, ekspansi, keadaan kulit, dan dinding


dada

b) Mengetahui frekuensi, sifat, irama pernafasan,

c) Mengetahui adanya nyeri tekan, masa, peradangan, traktil premitus

Persiapan alat

a) Stetoskop

b) Penggaris centimeter

c) Pensil penada
Prosedur pelaksanaan

Inspeksi : kesimetrisan, bentuk/postur dada, gerakan nafas (frekuensi, irama,


kedalaman, dan upaya pernafasan/penggunaan otot-otot bantu pernafasan),
warna kulit, lesi, edema, pembengkakan/ penonjolan.

Normal: simetris, bentuk dan postur normal, tidak ada tanda-tanda distress
pernapasan, warna kulit sama dengan warna kulit lain, tidak ikterik/sianosis,
tidak ada pembengkakan/penonjolan/edema

Palpasi: Simetris, pergerakan dada, massa dan lesi, nyeri, tractile fremitus.

(perawat berdiri dibelakang pasien, instruksikan pasien untuk mengucapkan


angka tujuh-tujuh atau enam-enam sambil melakukan perabaan dengan
kedua telapak tangan pada punggung pasien.)

Normal: integritas kulit baik, tidak ada nyeri tekan/massa/tanda-tanda


peradangan, ekspansi simetris, taktil vremitus cendrung sebelah kanan lebih
teraba jelas.

Perkusi: paru, eksrusi diafragma (konsistensi dan bandingkan satu sisi dengan
satu sisi lain pada tinggi yang sama dengan pola berjenjang sisi ke sisi)

Normal: resonan (dug dug dug), jika bagian padat lebih daripada bagian
udara=pekak (bleg bleg bleg), jika bagian udara lebih besar dari bagian
padat=hiperesonan (deng deng deng), batas jantung=bunyi rensonan----
hilang>>redup.

Auskultasi: suara nafas, trachea, bronchus, paru. (dengarkan dengan


menggunakan stetoskop di lapang paru kika, di RIC 1 dan 2, di atas manubrium
dan di atas trachea)

Normal: bunyi napas vesikuler, bronchovesikuler, brochial, tracheal.

Setelah diadakan pemeriksaan dada evaluasi hasil yang di dapat dengan


membandikan dengan keadaan normal, dan dokumentasikan hasil pemeriksaan
yang didapat tersebut.

B) System kardiovaskuler
Tujuan

a) Mengetahui ketifdak normalan denyut jantung

b) Mengetahui ukuran dan bentuk jantug secara kasar

c) Mengetahui bunyi jantung normal dan abnormal

d) Mendeteksi gangguan kardiovaskuler

Persiapan alat

a) Stetoskop

b) Senter kecil

Prosedur pelaksanaan

Inspeksi : Muka bibir, konjungtiva, vena jugularis, arteri karotis

Palpasi: denyutan

Normal untuk inspeksi dan palpasi: denyutan aorta teraba.

Perkusi: ukuran, bentuk, dan batas jantung (lakukan dari arah samping ke
tengah dada, dan dari atas ke bawah sampai bunyi redup)

Normal: batas jantung: tidak lebih dari 4,7,10 cm ke arah kiri dari garis mid
sterna, pada RIC 4,5,dan 8.

Auskultasi: bunyi jantung, arteri karotis. (gunakan bagian diafragma dan bell
dari stetoskop untuk mendengarkan bunyi jantung.

Normal: terdengar bunyi jantung I/S1 (lub) dan bunyi jantung II/S2 (dub), tidak
ada bunyi jantung tambahan (S3 atau S4).

Setelah diadakan pemeriksaan system kardiovaskuler evaluasi hasil yang di


dapat dengan membandikan dengan keadaan normal, dan dokumentasikan hasil
pemeriksaan yang didapat tersebut.

9 Dada dan aksila

Tujuan
a) Mengetahui adanya masa atau ketidak teraturan dalam jaringan
payudara

b) Mendeteksi awal adanya kanker payudara

Persiapan alat

a) Sarung tangan sekali pakai (jika diperlukan)

Prosedur pelaksanaan

Inspeksi payudara: Integritas kulit

Palpasi payudara: Bentuk, simetris, ukuran, aerola, putting, dan


penyebaran vena

Inspeksi dan palpasi aksila: nyeri, perbesaran nodus limfe, konsistensi.

Setelah diadakan pemeriksaan dadadan aksila evaluasi hasil yang di dapat


dengan membandikan dengan keadaan normal, dan dokumentasikan hasil
pemeriksaan yang didapat tersebut.
10 Pemeriksaan Abdomen (Perut)

Posisi klien: Berbaring

Tujuan

a) Mengetahui betuk dan gerakan-gerakan perut

b) Mendengarkan suara peristaltic usus

c) Meneliti tempat nyeri tekan, organ-organ dalam rongga perut benjolan


dalam perut.

Persiapan

a) Posisi klien: Berbaring

b) Stetoskop

c) Penggaris kecil

d) Pensil gambar
e) Bntal kecil

f) Pita pengukur

Prosedur pelaksanaan

Inspeksi : kuadran dan simetris, contour, warna kulit, lesi, scar, ostomy,
distensi, tonjolan, pelebaran vena, kelainan umbilicus, dan gerakan
dinding perut.

Normal: simetris kika, warna dengan warna kulit lain, tidak ikterik tidak terdapat
ostomy, distensi, tonjolan, pelebaran vena, kelainan umbilicus.

Auskultasi : suara peristaltik (bising usus) di semua kuadran (bagian


diafragma dari stetoskop) dan suara pembuluh darah dan friction rub
:aorta, a.renalis, a. illiaka (bagian bell).

Normal: suara peristaltic terdengar setiap 5-20x/dtk, terdengar denyutan arteri


renalis, arteri iliaka dan aorta.

Perkusi semua kuadran : mulai dari kuadran kanan atas bergerak


searah jarum jam, perhatikan jika klien merasa nyeri dan bagaiman
kualitas bunyinya.

Perkusi hepar: Batas

Perkusi Limfa: ukuran dan batas

Perkusi ginjal: nyeri

Normal: timpani, bila hepar dan limfa membesar=redup dan apabila


banyak cairan = hipertimpani

Palpasi semua kuadran (hepar, limfa, ginjal kiri dan kanan): massa,
karakteristik organ, adanya asistes, nyeri irregular, lokasi, dan
nyeri.dengan cara perawat menghangatkan tangan terlebih dahulu

Normal: tidak teraba penonjolan tidak ada nyeri tekan, tidak ada massa
dan penumpukan cairan
Setelah diadakan pemeriksaan abdomen evaluasi hasil yang di dapat
dengan membandikan dengan keadaan normal, dan dokumentasikan hasil
pemeriksaan yang didapat tersebut.

11 Pemeriksaan ekstermitas atas (bahu, siku, tangan)

Tujuan :

1. Memperoleh data dasar tetang otot, tulang dan persendian

2. Mengetahui adanya mobilitas, kekuatan atau adanya gangguan pada


bagian-bagian tertentu.

Alat :

1. Meteran

Posisi klien: Berdiri. duduk

Inspeksi struktur muskuloskletal : simetris dan pergerakan, Integritas


ROM, kekuatan dan tonus otot.

Normal: simetris kika, integritas kulit baik, ROM aktif, kekuatan otot
penuh.

Palapasi: denyutan a.brachialis dan a. radialis .

Normal: teraba jelas


Tes reflex :tendon trisep, bisep, dan brachioradialis.

Normal: reflek bisep dan trisep positif

Setelah diadakan pemeriksaan ekstermitas atas evaluasi hasil yang di dapat


dengan membandikan dengan keadaan normal, dan dokumentasikan hasil
pemeriksaan yang didapat tersebut.

12 Pemeriksaan ekstermitas bawah (panggul, lutut, pergelangan kaki


dan telapak
kaki)

Inspeksi struktur muskuloskletal : simetris dan pergerakan, integritas


kulit, posisi dan letak, ROM, kekuatan dan tonus otot

Normal: simetris kika, integritas kulit baik, ROM aktif, kekuatan otot penuh

Palpasi : a. femoralis, a. poplitea, a. dorsalis pedis: denyutan

Normal: teraba jelas

Tes reflex :tendon patella dan archilles.

Normal: reflex patella dan archiles positif

Setelah diadakan pemeriksaan ekstermitas bawah evaluasi hasil yang di


dapat dengan membandingkan dengan keadaan normal, dan
dokumentasikan hasil pemeriksaan yang didapat tersebut.

13 Pemeriksaan genitalia (alat genital, anus, rectum)

Posisi Klien : Pria berdiri dan wanita litotomy

Tujuan:

1. Melihat dan mengetahui organ-organ yang termasuk dalam genetalia.

2. Mengetahui adanya abnormalitas pada genetalia, misalnya varises,


edema, tumor/ benjolan, infeksi, luka atau iritasi, pengeluaran cairan atau
darah.

3. Melakukan perawatan genetalia

4. Mengetahui kemajuan proses persalinan pada ibu hamil atau persalinan.

Alat :

1. Lampu yang dapat diatur pencahayaannya

2. Sarung tangan
Pemeriksaan rectum
Tujuan :

1. Mengetahui kondisi anus dan rectum

2. Menentukan adanya masa atau bentuk tidak teratur dari dinding rektal

3. Mengetahui intregritas spingter anal eksternal

4. Memeriksa kangker rectal dll

Alat :

1. Sarung tangan sekali pakai

2. Zat pelumas

3. Penetangan untuk pemeriksaan

Prosedur Pelaksanaan

1. Wanita:

Inspeksi genitalia eksternal: mukosa kulit, integritas kulit, contour simetris,


edema, pengeluaran.
Normal: bersih, mukosa lembab, integritas kulit baik, semetris tidak ada edema
dan tanda-tanda infeksi (pengeluaran pus /bau)

Inspeksi vagina dan servik : integritas kulit, massa, pengeluaran

Palpasi vagina, uterus dan ovarium: letak ukuran, konsistensi dan, massa

Pemeriksaan anus dan rectum: feses, nyeri, massa edema, haemoroid,


fistula ani pengeluaran dan perdarahan.

Normal: tidak ada nyeri, tidak terdapat edema / hemoroid/ polip/ tanda-tanda
infeksi dan pendarahan.

Setelah diadakan pemeriksaan di adakan pemeriksaan genitalia evaluasi hasil


yang di dapat dengan membandikan dengan keadaan normal, dan
dokumentasikan hasil pemeriksaan yang didapat tersebut.
2. Pria:

Inspeksi dan palpasi penis: Integritas kulit, massa dan pengeluaran

Normal: integritas kulit baik, tidak ada masa atau pembengkakan, tidak ada
pengeluaran pus atau darah

Inspeksi dan palpassi skrotum: integritas kulit, ukuran dan bentuk, turunan
testes dan mobilitas, massa, nyeri dan tonjolan

Pemeriksaan anus dan rectum : feses, nyeri, massa, edema, hemoroid,


fistula ani, pengeluaran dan perdarahan.

Normal: tidak ada nyeri , tidak terdapat edema / hemoroid/ polip/ tanda-tanda
infeksi dan pendarahan.

Setelah diadakan pemeriksaan dadadan genitalia wanita evaluasi hasil yang di


dapat dengan membandikan dengan keadaan normal, dan dokumentasikan hasil
pemeriksaan yang didapat tersebut.

2.6. Evaluasi

Perawat bertanggung jawab untuk asuhan keperawatan yang mereka


berikan dengan mengevaluasi hasil intervensi keperawatan. Keterampilan
pengkajian fisik meningkatkan evaluasi tindakan keperawatan melalui
pemantauan hasil asuhan fisiologis dan perilaku. Keterampilan pengkajian fisik
yang sama di gunakan untuk mengkaji kondisi dapat di gunakan sebagai
tindakan evaluasi setelah asuhan diberikan.

Perawat membuat pengukuran yang akurat, terperinci, dan objektif


melalui pengkajian fisik. Pengukuran tersebut menentukan tercapainya atau
tidak hasil asuhan yang di harapkan. Perawat tidak bergantung sepenuhnya
pada intuisi ketika pengkajian fisik dapat digunakan untuk mengevaluasi
keefektifan asuhan.

2.7. Dokumentasi

Perawat dapat memilih untuk mencatat hasil dari pengkajian fisik pada
pemeriksaan atau pada akhir pemeriksaan. Sebagian besar institusi memiliki
format khusus yang mempermudah pencatatan data pemeriksaan. Perawat
meninjau semua hasil sebelum membantu klien berpakaian, untuk berjaga-jaga
seandainya perlu memeriksa kembali informasi atau mendapatkan data
tambahan. Temuan dari pengkajian fisik dimasukkan ke dalam rencana asuhan.

Data di dokumentasikan berdasarkan format SOAPIE, yang hamper sama dengan


langkah-langkah proses keperawatan.

Format SOAPIE, terdiri dari:

1. Data (riwayat) Subjektif, yaitu apa yang dilaporkan klien

2. Data (fisik) Objektif, yaitu apa yang di observasi, inspeksi, palpasi, perkusi
dan auskultasi oleh perawat.

3. Assessment (pengkajian) , yaitu diagnose keperawatan dan pernyataan


tentang kemajuan atau kemunduran klien

4. Plan (Perencanaan), yaitu rencana perawatan klien

5. Implementation (pelaksanaan), yaitu intervensi keperawatan dilakukan


berdasarkan rencana

6. Evaluation (evaluasi), yaitu tinjauan hasil rencana yang sudah di


implementasikan.
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Pemeriksaan fisik dalah pemeriksaan tubuh klien secara keseluruhan


atau hanya bagian tertentu yang dianggap perlu, untuk memperoleh data yang
sistematif dan komprehensif, memastikan/membuktikan hasil anamnesa,
menentukan masalah dan merencanakan tindakan keperawatan yang tepat bagi
klien.

Pemeriksaan fisik Mutlak dilakukan pada setiap klien, tertama pada klien yang
baru masuk ke tempat pelayanan kesehatan untuk di rawat, secara rutin pada
klien yang sedang di rawat, sewaktu-waktu sesuai kebutuhan klien. Jadi
pemeriksaan fisik ini sangat penting dan harus di lakukan pada kondisi tersebut,
baik klien dalam keadaan sadar maupun tidak sadar.

Pemeriksaan fisik menjadi sangat penting karena sangat bermanfaat, baik untuk
untuk menegakkan diagnosa keperawatan . memilih intervensi yang tepat untuk
proses keperawatan, maupun untuk mengevaluasi hasil dari asuhan
keperawatan.

3.2. Saran

Agar pemeriksaan fisik dapat dilakukan dengan baik, maka perawat


harus memahami ilmu pemeriksaan fisik dengan sempurna dan pemeriksaan
fisik ini harus dilakukan secara berurutan, sistematis, dan dilakukan dengan
prosedur yang benar.

DAFTAR PUSTAKA
Admit. Pemeriksaan Fisik. http://nursingbegin.com/tag/pemeriksaan-
fisik/( online)

diakses 17 September 2010.

Bates, Barbara. 1998. Pemeriksaan Fisik dan Riwayat Kesehatan. Jakarta.


EGC

Bickley, Lynn S. 2008. Buku Saku Pemeriksaan Fisik dan Riwayat


Kesehatan Bates.

Jakarta. EGC

Burnside, John W. 1995. Diagnosis Fisik. Jakarta. EGC

Candrawati. Susiana.Pemeriksaan Fisik system Kardiovaskuler.Diakases


tanggal 18

September 2010

Dealey, Carol.2005. The Care Of Wound A Guides For


Nurses.Navarra.Balckwell

Publishing.

Kusyanti, Eni,dkk. 2006. Keterampilan dan Prosedur Laboratorium. Jakarta:


EGC.

Read more: PEMERIKSAAN FISIK HEAD TO TOE


http://nandarnurse.blogspot.com/2013/05/pemeriksaan-fisik-head-to-
toe.html#ixzz3KHCbPLJz
Under Creative Commons License: Attribution
Follow us: nHandar on Facebook

Anda mungkin juga menyukai