Anda di halaman 1dari 5

Urgensi Pendirian Bank UMKM

Published Mei 4, 2015 Artikel Pengamat Ditutup


Tag:Anik Maslachah, Urgensi Pendirian Bank UMKM

Oleh Anik Maslachah

Shujiro Urata dalam buku Policy Recommendation for SME


Promotion in The Republic of Indonesia (2000) mengatakan
bahwa usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) memiliki
peran vital dalam perekonomian Indonesia. Setidaknya peran
penting tersebut terepresentasi dalam fungsinya sebagai
penyedia kesempatan kerja bagi mayoritas masyarakat kecil-
menengah. Dengan begitu, secara langsung UMKM
berkontribusi terhadap pengembangan ekonomi lokal dan
pemberdayaan masyarakat.

Hal tersebut disebabkan modal pendirian UMKM tidak sesulit


pendirian perusahaan besar. Konsekuensinya, UMKM pun
dengan mudah merekrut tenaga kerja, mengingat kualifikasi
tenaga kerja yang bisa masuk struktur produksi UMKM tidak
seketat perusahaan-perusahaan besar. Dengan kata lain, UMKM
adalah cermin dari unit usaha yang tidak padat modal, tapi
padat karya. Karena itu, secara riil UMKM telah menjadi perisai
bagi Indonesia ketika negeri ini dilanda turbulensi ekonomi
(Kuncoro, 2006).

Namun, meskipun memainkan peran penting, ternyata


kontribusi sektor UMKM terhadap total produk domestik bruto
(PDB) nasional tidak bisa menyamai sektor usaha skala besar.
Berdasar data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah
2014, sumbangsih UMKM terhadap PDB nasional memang
lumayan besar, yakni 60,34 persen. Namun, capaian tersebut
merupakan akumulasi kinerja dari seluruh UMKM di Indonesia
yang berjumlah 57,89 juta unit usaha. Bandingkan dengan
kontribusi sektor usaha formal/besar. Meskipun hanya
menyumbang pembentukan PDB nasional sekitar 40 persen,
capaian tersebut dihasilkan sektor usaha besar yang jumlahnya
hanya 1 persen dari total keseluruhan jumlah unit UMKM di
Indonesia. Akibatnya, kontribusi UMKM dalam neraca ekspor
nonmigas Indonesia kalah jauh bila dibandingkan dengan
sumbangsih sektor usaha besar. Yakni 14,06 persen berbanding
85,94 persen.
Artinya, sekalipun kurang tepat untuk membandingkan apple-
to-apple antara UMKM dan sektor usaha besar, setidaknya ada
poin penting dari perspektif komparatif tersebut. Yakni, sektor
UMKM pada umumnya hanya besar secara kuantitas, tapi
masih lemah secara kualitas. Sebab, dengan jumlah sebanyak
itu, seharusnya kontribusi sektor UMKM bisa lebih besar lagi
terhadap postur PDB nasional maupun neraca ekspor nonmigas
Indonesia.

Sebenarnya sektor UMKM punya potensi untuk merealisasikan


impian tersebut. Namun, untuk dapat mencapai kondisi ideal
itu, sektor tersebut harus memperbesar skala usahanya yang
tentu saja mensyaratkan ketersediaan dan kecukupan rasio
modal usaha. Sedangkan persoalan klasik mengenai
ketercukupan modal selalu sulit dipenuhi para pelaku usaha
kecil-menengah sebagai konsekuensi dari kurangnya akses
UMKM terhadap insentif-insentif pembiayaan sektor perbankan
(unbankable).

Disfungsi Intermediasi Perbankan


Tentu saja persoalan minimnya akses pelaku usaha kecil-
menengah terhadap dunia perbankan tersebut bukan semata-
mata kesalahan para pelaku usaha. Sebab, pihak perbankan
sendiri (dalam hal ini perbankan umum atau konvensional)
juga punya andil dalam lemahnya koneksi antara sektor UMKM
dan skema pembiayaan yang ditawarkan. Bahkan,
sesungguhnya fenomena itu merupakan penyakit lama dunia
perbankan kita yang cenderung suka menyalurkan kredit-kredit
besar kepada pelaku usaha besar dan korporasi raksasa.

Indikasinya dapat dilihat dari dinamika angka LDR (loan to


deposit ratio) yang dihasilkan bank-bank di Indonesia.
Meskipun semua bank di Indonesia punya unit layanan kredit
dana usaha terhadap sektor UMKM, mayoritas kinerja unit
usaha tersebut masih berada di bawah ekspektasi. Termasuk
juga minimnya perhatian perbankan terhadap sektor pertanian
dan perikanan. Padahal, sebagaimana sektor UMKM, pertanian
dan perikanan merupakan sektor ekonomi padat karya.

Berdasar data Bank Indonesia (BI), rasio penyaluran kredit


modal usaha dari perbankan masih kurang dari 5 persen.
Kondisi tersebut memicu BI untuk mengeluarkan regulasi
bahwa mulai 2015, rasio kredit perbankan terhadap sektor
UMKM minimal 5 persen dari keseluruhan kredit yang
disalurkan sebuah bank. Bahkan, pada 2016, BI punya ambisi
meningkatkan rasio tersebut hingga 10 persen dan diharapkan
dapat menyentuh level 20 persen pada akhir 2020.

Kondisi tersebut ironis, mengingat salah satu fungsi dasar dari


lembaga perbankan umum (konvensional) adalah menjalankan
peran intermediasi (penghubung) antara pihak yang surplus
dana/modal dan pihak yang minus (kurang) modal. Caranya,
pihak bank berupaya merayu para pemilik dana lebih agar
bersedia menitipkan sebagian modal untuk dikelola bank
sebagai kredit produktif. Skema tersebut biasanya dinamakan
sebagai pengumpulan dana pihak ketiga (DPK) (Suwarno dkk,
2014). Secara umum, selama ini berbagai bank hanya giat
mengumpulkan DPK, tapi tidak cukup giat untuk membuat
skema penyaluran kredit usaha bagi sektor usaha kecil-
menengah maupun pertanian dan perikanan rakyat. Kalaupun
muncul skema kredit usaha, hal itu ditujukan untuk sektor
usaha besar dan korporasi raksasa. Argumennya, sektor
tersebut lebih bankable bila dibandingkan dengan UMKM.

Melihat besarnya potensi UMKM terhadap postur perekonomian


nasional, sudah seharusnya pemerintah melakukan intervensi
fiskal untuk mengembalikan salah satu fungsi mendasar bank
umum di Indonesia. Caranya, harus ada skema insentif dari
pemerintah agar sektor UMKM dapat lebih mudah mengakses
modal perbankan dan meningkatkan skala usaha.

Pelajaran dari Jawa Timur

Kesadaran atas pentingnya insentif kepada para pelaku UMKM


sebenarnya mulai dirintis Pemprov Jawa Timur (Jatim) melalui
kebijakan pendirian Bank UMKM Jatim yang eksis sejak 2009.
Sejauh ini, kinerja bank tersebut cukup impresif. Kredit usaha
yang telah diberikan sekitar Rp 1,51 triliun. Artinya, ada
peningkatan 470 persen lebih jika dibandingkan dengan
capaian 2009. Demikian juga besaran DPK yang dikelola,
sekitar Rp 1,5 triliun lebih atau naik hampir 250 persen jika
dibandingkan dengan capaian 2009. Karena itu, total aset Bank
UMKM Jatim diestimasikan mencapai Rp 1,128 triliun atau naik
350 persen lebih jika dibandingkan dengan awal mula
pembentukannya pada 2009.

Karena itulah, Bank UMKM Jatim harus terus mendapatkan


dukungan banyak pihak, terutama dukungan finansial,
sehingga pada APBD 2015 dilakukan penambahan modal Rp
250 miliar untuk perluasan cakupan pada sektor pertanian. Hal
tersebut dilakukan agar sektor UMKM dan pertanian dapat
meningkatkan kontribusi terhadap PDRB, penyediaan lapangan
kerja, serta peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Belajar dari formulasi kebijakan yang dilakukan Jatim,
seharusnya apa yang sudah dirintis Pemprov Jatim itu dapat
dijadikan gerakan kolektif di level nasional agar UMKM kita bisa
kukuh dan mandiri dalam menyongsong MEA akhir tahun ini.
(Sumber: Jawa Pos, 29 April 2015)
Tentang penulis:
Anik Maslachah, Sekretaris FPKB dan anggota Komisi C DPRD
Jatim

Anda mungkin juga menyukai