Anda di halaman 1dari 14

RINGKASAN DAN PENJELASAN UU NO.

22 TAHUN 1999 TENTANG


PEMERINTAH DAERAH
A. Sejarah singkat UU No.22 Tahun 1999
Sebelum masuk kepada masa reformasi ini, dahulu negara Indonesia semasa zaman
orde baru kekuasaan pemerintah pusat sangat sentralistik. Hal ini banyak mendapat protes
dari berbagai kalangan didaerah seperti daerah aceh dan papua yang menuntut merdeka dan
ingin berpisah dari negara kesatuan Republik Indonesia. Dan pada tahun 1998 masa orde baru
dibawah kepemimpinan soeharto berakhir, kemudian masuklah negara Indonesi ke masa
reformasi di bawah pimpinan B.J. Habibie.
Pada awal masa reformasi ini lahirlah UU Otonomi Daerah khususnya (UU No.22
Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah), dengan lahirnya UU ini keinginan provinsi
seperti aceh dan papua untuk berpisah dengan negara Republik Indonesia semakin kuat,
bahkan ada berbagai daerah yang ingin melakukan pemekaran provinsi atau kabupaten dalam
upaya membangun daerah mereka kearah yang lebih baik. Dalam hal tentang keinginan
daerah bagaimana telah disebut diatas terdapat pro dan kontra sehingga menaikkan suhu
politik di Indonesia.
UU No. 22 Tahun 1999 lahir didorong oleh tuntutan daerh tadi yang mana
menginginkan kebebasan di era kebebasan politik ini, dan juga didorong oleh keinginan
pemerintah pusat untuk mengatasi masalha disintegrasi yang melanda Indonesia. Jika dilihat
ada beberapa ciri yang menonjol dari UU ini, yaitu:
1. Demokrasi dan demokratisasi.
2. Mendekatkan pemerintah dengan rakyat.
3. Sistem otonomi luas dan nyata.
4. Tidak menggunakan sistim otonomi yang bertingkat.
5. Penyelenggaraan tugas pemerintah di daerah dibiayai oleh anggaran belanja dan
pendapatan negara (APBN).

B. Dasar Pemikiran
a. Negara Republik Indonesia sebagai negara Kesatuan menganut asas desentralisasi
dalam penyelenggaraan pemerintahan, dengan memberikan kesempatan dan
keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah. Karena itu,
Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945, antara lain, menyatakan bahwa pembagian
Daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk dan susunan
pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang.
Dalam penjelasan pasal tersebut, antara lain, dikemukakan bahwa "oleh karena
Negara Indonesia itu suatu eenheidsstaat, maka Indonesia tidak akan mempunyai
Daerah dalam lingkungannya yang bersifat staat juga. Daerah Indonesia akan dibagi
dalam Daerah Propinsi dan Daerah Propinsi akan dibagi dalam daerah yang lebih
kecil. Di daerah-daerah yang bersifat otonom (streek en locale
rechtgemeensschappen) atau bersifat adminitrasi belaka, semuanya menurut aturan
yang akan ditetapkan dengan undang-undang". Di daerah-daerah yang bersifat
otonom akan diadakan Badan Perwakilan Daerah. Oleh karena itu, di daerah pun,
pemerintahan akan bersendi atas dasar permusyawaratan.
b. Dengan demikian, Undang-Undang Dasar 1945 merupakan landasan yang kuat untuk
menyelenggarakan otonomi dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan
bertanggung jawab kepada daerah, sebagaimana tertuang dalam Ketetapan MPR-RI
Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan,
Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang berkeadilan; serta
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dalam Kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia.

c. Undang-undang ini disebut "Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah" karena


undang-undang ini pada prinsipnya mengatur penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
yang lebih mengutamakan pelaksanaan asas desentralisasi.

d. Sesuai dengan Ketetapan MPR-RI Nomor XV/MPR/1998 tersebut di atas,


penyelenggaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memberikan kewenangan
yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada Daerah secara proporsional yang
diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional
yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan Pusat dan Daerah. Disamping itu,
penyelenggaraan Otonomi Daerah juga dilaksanakan dengan prinsip-prinsip
demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan, dan keadilan, serta memperhatikan
potensi dan keanekaragaman Daerah.

e. Hal-hal yang mendasar dalam undang-undang ini adalah mendorong untuk


memberdayakan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan
peran serta masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah. Oleh karena itu, undang-undang ini menempatkan Otonomi Daerah secara
utuh pada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, yang dalam Undang-undang Nomor 5
Tahun 1974 berkedudukan sebagai Kabupaten Daerah Tingkat II dan Kotamadya
Tingkat II. Daerah Kabupaten dan Daerah Kota tersebut berkedudukan sebagai
Daerah Otonom mempunyai kewenangan dan keleluasaan untuk membentuk dan
melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakat.
f. Propinsi Daerah Tingkat I menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, dalam
undang-undang ini dijadikan Daaerah Propinsi dengan kedudukan sebagai Daerah
Otonom dan sekaligus Wilayah Administrasi, yang melaksanakan kewenangan
Pemerintah Pusat yang didelegasikan kepada Gubernur. Daerah Propinsi bukan
merupakan Pemerintah atasan dari Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. Dengan
demikian, Daerah Otonom Propinsi dan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota tidak
mempunyai hubungan hierarki.
g. Pemberian kedudukan Propinsi sebagai Daerah Otonom dan sekaligus sebagai
Wilayah Administrasi dilakukan dengan pertimbangan:
1. untuk memelihara hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah dalam kerangka
Negara Kesatuan Republik Indonesia;
2. untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah yang bersifat lintas Daerah Kabupaten
dan Daerah Kota serta melaksanakan kewenangan Otonomi Daerah yang belum
dapat dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota; dan
3. untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan tertentu yang dilimpahkan dalam
rangka pelaksanaan asas dekonsentrasi.
h. Dengan memperhatikan pengalaman penyelenggaraan Otonomi Daerah pada masa
lampau yang menganut prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab dengan
penekanan pada otonomi yang lebih merupakan kewajiban dari pada hak, maka dalam
undang-undang ini pemberian kewenangan otonomi kepada Daerah Kabupaten dan
Daerah Kota didasarkan kepada asas desentralisasi saja dalam wujud otonomi yang
luas, nyata dan bertanggung jawab. Kewenangan otonomi luas adalah keleluasaan
Daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua
bidang pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan
keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lainnya
yang akan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Disamping itu keleluasaan
otonomi mencakup pula kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraan
mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi.
Yang dimaksud dengan otonomi nyata adalah keleluasaan Daerah untuk
menyelenggarakan kewenangan pemerintahan di bidang tertentu yang secara nyata
ada dan diperlukan serta tumbuh, hidup, dan berkembang di Daerah.
Yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan
pertanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada
Daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh Daerah dalam
mencapai tujuan.

C. Pengertian Otonomi Daerah Menurut UU No.22 Tahun 1999


Otonomi Daerah adalah kewenangan Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat
sesuai dengan peraturan perundang-undangan (pasal 1 huruf (h) UU NOMOR 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah).
Daerah Otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah
tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (pasal 1 huruf (i) UU NOMOR 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah).
Dalam Undang-undang ini juda dikatakan secara eksplisit bahwa unit pemerintahan
yang meleksanakan otonomi didaerah adalah tingkat Kabupaten atau Kota. Namun
pemerintah menggunakan masa transisi untuk mengalihkan kewenangan pemerintahannya
secara bertahap, agar pada waktunya asas desentralisasi dan dekonsentrasi dapat terlaksana
penuh. Peraturan pemerintah mengenai kewenangan, yang didefinisikan dalam bentuk
kewenangan pemerintah oleh Pusat, Provinsi, dan Kabupaten atau Kota telah ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000.
Meskipun antar-Daerah kewenangan tersebut disepakati seragam namun dalam
pelaksanaannya disesuaikan sendiri dan akan berubah dari waktu ke waktu. Dewan
Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) diberi peran untuk memberikan berbagai
pertimbangan mengenai pemerintahan, organisasi, aset fisik, personalia, dan perimbangan
keuangan.
D. Konsep Dasar UU No. 22 Tahun 1999
1. Membesarnya kewenangan dan tanggung jawab daerah otonomi.
2. Keleluasaan daerah untuk mengatur atau mengurus kewenangan semua bidang
pemerintahan kecuali 6 kewenangan (Hankam, Moneter, Fiskal, Luar Negeri, Agama,
dan Peradilan).
3. Kewenangan tyang utuh dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan
pengendalian.
4. Pemberdayaan masyarakat, tumbuhnya prakarsa dan inisiatif meningkatnya peran
masyarakat dan legeslatif.

Inti pelaksanaan otonomi daerah adalah terdapatnya keleluasaan pemerintah daerah


(discretionary power) untuk menyelenggarakan pemerintahan sendiri atas dasar prakarsa,
kreatifitas, dan peran serta aktif masyarakat dalam rangka mengembangkan dan memajukan
daerahnya. Memberikan otonomi daerah tidak hanya berarti melaksanakan demokrasi
dilapisan bawah, tetapi juga mendorong otoaktifitas untuk melaksanakan sendiri apa yang
dianggap penting bagi lingkungan sendiri.
Dengan berkembangnya pelaksanaan demokrasi dari bawah, maka rakyat tidak saja
dapat menentukan nasibnya sendiri melalui keputusan politik melainkan yang utama adalah
berupaya untuk memperbaiki nasibnya sendiri. Hal itu dapat diwujudkan dengan memberikan
kewenangan yang cukup luas kepada pemerintah daerah guna mengatur dan mengurus serta
mengembangkan daerahnya, sesuai dengan kepentingan dan potensi daerahnya. Kewenangan
artinya keleluasaan menggunakan dana, baik yang berasal dari daerah sendiri maupun dari
pusat sesuai dengan keperluan daerahnya tanpa campur tangan pemerintrah pusat keleluasaan
untuk berprakarsa, memilih alternatif, menentukan prioritas, dan mengambil keputusan untuk
kepentingan daerahnya, keleluasaan untuk memperoleh dana perimbangan keuangan pusat
dan daerah yang memadai, yang berdasarkan atas kriteria obyektif dan adil.

E. Prinsip-Prinsip Otonomi Daerah


1. Perubahan desain otonomi dari perspektif bertingkat menjadi berjenis.
Provinsi dan kabupaten atau kota masing-masing adalah daerah otonom yang
sederajat. Tetapi fokus pelaksanaan otonomi daerah diletakkan pada kabupaten atau kota,
karena keduanya lebih dekat ke masyarakat. Dengan demikian otonomi luas, utuh dan bulat
ada pada daerah kabupaten atau kota. Sementara itu provinsi dijadikan daerah otonomi
terbatas. Dalam hal ini, provinsi masih merangkap sebagai wilayah administrasi atau menjadi
wakil pemerintahan pusat, sehingga provinsi dapat berperan sebagai pengikat hubungan pusat
dan daerah dalam rangka mempertahankan keutuhan negara kesatuan. Sedangkan kabupaten
atau kota sepenuhnya menjadi daerah otonom, tidak dirangkap lagi dengan wilayah
administrasi

2. Kelurahan dan kecamatan diubah menjadi perangkat daerah otonom pada kabupaten atau
kota.
Dengan demikian, di dalam lingkungan daerah otonom tidak terdapat lagi kantong-
kantong dekonsentrasi, baik yang bersifat teritorial maupun yang bersifat teknis atau sektoral,
kecuali untuk ke enam bidang yang menjadi wewenang pemerintah pusat, yaitu politik luar
negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, serta agama. Artinya, kantor-
kantor departemen yang selama ini menjamur di daerah dilikuidasi dan diganti dengan
dinas-dinas otonom yang berada langsung dibawah komando kepala daerah.

3. Otonomi desa yang dijamin dalam konstitusi Undang-undang dasar 1945 dihidupkan
kembali.
Dalam konteks ini, desa diberi kewenangan untuk mengurus rumah tangganya sendiri
dengan memperhatikan susunan asli dan asal-usulnya. Jadi, desa tidak lagi diseragamkan
formatnya dan menjadi bawahan camat. Tetapi desa-desa yang berada dalam wilayah kota
dijadikan kelurahan demi memudahkan warga kota. Dengan begitu lurah dengan
perangkatnya tidak dipilih oleh masyarakat tetapi diangkat dari pegawai negeri sipil.
Demikian pula biaya operasionalnya disediakan dri APBD kota setempat.

4. Struktur pemerintahan daerah dirubah, tidak lagi terdiri dari kepala daerah dan DPRD, tetapi
kepala daerah dan perangkat daerah.
Dengan begitu, DPRD sebagai lembaga legeslatif tidak dimasukkan kedalam unsur
pemerintah daerah atau dipisahkan. Dengan adanya pemisahan secara struktural antara
lembaga legeslatif dengan lembaga eksekutif, pihak eksekutif tidak bisa lagi mendominasi
legeslatif. Hubungan antara eksekutif dengan legeslatif akan saling (checks and balances).
Eksekutif akan meningkat akuntabilitasnya kepada rakyat lewat DPRD sebagai lembaga
legelatif. Dan DPRD sendiri seiring dengan perluasan hak-haknya akan menjadi lebih
powerfull. Lebih-lebih lagi dengan telah dugunakannya sistem proporsional bernuansa distrik
untuk memilih anggota DPRD pada pemilu Juni 1999, kemudian diberikannya hak
penyidikan (investigative power) dan hak subpoena kepada DPRD dan diwajibkan kepala
daerah menyampaikan pertanggung jawabannya setiap tahun kepada DPRD, serta dapat
diberhentikannya kepala daerah oleh DPRD.

5. Sistem pertimbangan keuangan pusat dan daerah yang didasarkan kepada bentuk subsidi
daerah otonom (SDO) dan inpres diubah menjadi bentuk bagi hasil pajak, bukan pajak, dan
penerimaan dari sumber daya alam, serta dana alokasi umum dan dana alokasi khusus.
Persentase bagi hasil ditetapkan dalam undang-undang perimbangan keuangan antara
pemerintah pusat dan daerah (UU No.25 Tahun 1999), dimana bagian yang diperoleh daerah
lumayan besar dan bagian pusat sendiri mampu untuk membiayai overhead-costnya,
membayar utang luar negeri, dan membantu daerah-daerah otonom yang minus. Di samping
itu, dengan besarnya wewenang ditangan daerah, daerah akan berpeluang menggali restribusi
dan pajak daerah tanpa kekangan dari pusat (desentralisasi fiskal) sesuai prinsip function
follows money.

6. Sistem pengawasan dalam hubungan pusat dan daerah lebih ditekankan pada pengawasan
represif
Dengan pemerintah daerah hanya bertindak jika daerah nyata-nyata melakukan
pelanggaran.Hal ini dimaksudkan untuk lebih memberi kebebasan pada pemerintahan daerah
otonom dalam mengembangkan kewenangan otonominya secara lebih inovatif dan kreatif.
Misalnya peraturan daerah yang telah disetujui oleh DPRD dan ditanda tangani oleh kepala
daerah dapat langsung diberlakukan tanpa meminta persetujuan pemerintah pusat.

7. Hubungan kepala daerah dengan borokrasi atau perangkat daerah dirasionalkan, dari multi-
gate ke one-gate accuntability.
Pertanggung jawaban dinas-dinas dan lembaga-lembaga teknis sekarang tidak
langsung kepada kepala daerah tetapi melalului sekretaris daerah (sekda). Sekda menjadi
semacam CAO (chief administrative officer) yang secara profesional menangani tugas-tugas
birokrasi sesuai kebijakan kepala daerah dengan dibantu oleh para asisten. Kepala daerah
sendiri tidak perlu membuang waktunya yang berharga untuk mengurusi kerja teknis puluhan
instansi daerah, tetapi bisa lebih berkonsentrasi memikirkan kebijakan-kebijakan strategis.
Sekaligus lewat cara ini politisasi dapat dihindari. Aparatur pemerintah daerah menjadi lebih
profesional dan netral dari politik.
Jadi, dilihat dari segi isi maka boleh dikatakan sebenarnya format otonomi daerah
yang dianut dan tercantum dalam Undang-undang No.22 Tahun 1999 telah mengarah pada
devolusi, yaitu bentuk terkuat dari penyelenggaraan desentralisasi (strong decentralization),
yang kalau tidak hati-hati bisa mengganggu integrasi bangsa.

8. Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan persetujuan DPRD sesuai pedoman
yang ditetapkan Pemerintah, dan tidak perlu disahkan oleh pejabat yang berwenang.

9. Daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial


budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangannya lain yang
memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah, daerah, daerah yang tidak mampu
menyelenggarakan otonomi daerah dapat dihapus dan atau digabung dengan daerah lain.
Daerah dapat dimekarkan menjadi lebih dari satu daerah, yang ditetapkan dengan undang-
undang.

10. Yang dapat menjadi Kepala Daerah adalah warga negara Republik Indonesia dengan syarat-
syarat : (a) Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; (b) Setia dan taat kepada Negara
Kesatuan Republik Indonesia dan Pemerintah yang sah, (c) Tidak pernah terlibat dalam
kegiatan yang mengkhianati Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945 yang dinyatakan dengan surat keterangan Ketua Pengadilan Negeri,
(d) Berpendidikan sekurang-kurangnya SLTA dan atau sederajat, (e) Berumur sekurang-
kurangnya 30 tahun, (f) Sehat jasmani dan rohani, (g) Nyata-nyata tidak terganggu
jiwa/ingatannya, (h) Tidak pernah dihukum penjara karena melakukan tindak pidana, (i)
Tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan keputusan pengadilan negeri, (j) Mengenal
daerahnya dan dikenal oleh masyarakat daerahnya, (k) Menyerahkan daftar kekayaan pribadi,
(l) Bersedia dicalonkan menjadi Kepala Daerah.

11. Daerah diberi kewenangan untuk melakukan pengangkatan , pemindahan, pemberhentian,


penetapan pensiun, pendidikan dan pelatihan pegawai sesuai dengan kebutuhan dan
kemampuan daerah, berdasarkan nama, standar, prosedur yang ditetapkan pemerintah.
12. Pengelolaan kawasan perkotaan di luar daerah kota dapat dilakukan dengan cara membentuk
badan pengelola tersendiri, baik secara intern oleh pemerintah Kabupaten sendiri maupun
melalui berkerjasama antar daerah atau dengan pihak ketiga. Selain DPRD, daerah juga
memiliki kelembagaan lingkup pemerintah daerah, yang terdiri dari Kepala Daerah,
Sekretariat Daerah, Dinas-Dinas Tehnis Daerah, Lembaga Staf Teknis Daerah.

F. Partisipasi masyarakat dalam perumusan dan melaksanakan kebijakan publik


di daerah menurut UU No. 22 Tahun 1999.

Partisipasi adalah persoalan relasi kekuasaan, atau relasi ekonomi politik, yang
dianjurkan oleh demokrasi. Partisipasi warga masyarakat berada dalam konteks governance,
yakni korelasi antara negara (pemerintah) dan rakyat. Negara adalah pusat kekuasaan
kewenngan dan kebijaksanaan yang mengatur (mengelola) alokasi barang-barang (sumber
daya) publik pada masyarakat. Sedangkan di dalam masyarakat terdapat hak sipil dan hak
politik, kekuatan masa dan kebutuhan hidup, dll. Dengan demikian partisipasi adalah
jembatan penghubung antara negara dan masyarakat agar pengelolaan barang-barang publik
membuahkan kesejahteraan dan human well being.
Dari sudut pandang negara, demokrasi mengajarkan partisipasi sangat dibutuhkan
untuk membangun pemerintahan yang akuntabel, transparan dan responsif terhadap
kebutuhan masyarakat. Tiadanya partisipasi menabur pemerintahan yang otoriter dan korup,
dari sisi masyarakat, partisipasi adalah kunci pemberdayaan, atau penguatan peran.
Partisipasi memberikan ruang dan kapasitas masyarakat untuk kebutuhan dan hak-hak
mereka, mengembangkan potensi dan prakarsa lokal, mengefektifkan peran masyarakat serta
membangun kemandirian masyarakat.
Dalam konteks governance, partisipasi menempatkan pada posisi yang sebenarnya
Pertama; masyarakat bukanlah hamba (client) melainkan sebagai warga negara (citizen). Jika
hamba memperlihatkan kepatuhan secara total, maka konsep warga negara menganggap
bahwa setiap individu adalah pribadi yang utuh dan mempunyai hak penuh untuk memiliki.
Kedua; masyarakat bukan dalam posisi yang diperintah tetapi sebagai partner pemerintah
dalam mengelola pemerintahan dan pembangunan. Ketiga: partisipasi bukanlah pemeberian
pemerintah tetapi sebagai hak warga negara. Keempat: masyarakat bukan sebagai sekedar
objek pasif penerima manfaat kebijakan pemerintah, tetapi sebagai aktor atau subjek yang
aktif menentukan kebijakan.
Makna subtantif yang berikutnya adalah kontrol warga masyarakat terhadap
lingkungan komunitasnya maupun proses politik yang terkait dengan pemerintah. Kita
mengenal kontrol internal (self-control) dan kontrol eksternal. Artinya kontrol bukan saja
menyangkut kapasitas masyarakat melakukan pengawasan (pemantauan) terhadap kebijakan
(implementasi dan resiko) dan tindakan pemerintah, tetapi juga kemampuan masyarakat
melakukan penilaian secara kritis dan reflektif terhadap resiko-resiko atas tindakan mereka.
Menurut Pasal 11 UU No. 22 Tahun 1999, bidang pemerintahan yang wajib
dilaksanakan oleh daerah kabupaten dan daerah kota meliputi bidang berikut, yakni:
1. Pekerjaan umum
2. Kesehatan
3. Pendidikan dan Kebudayaan
4. Pertanian
5. Perhubungan
6. Industry dan perdagangan
7. Penanaman modal
8. Lingkungan hidup
9. Pertahanan
10. Koperasi, dan
11. Tenaga kerja
Bidang pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat adalah
kewenangan dalam bidang berikut, yakni:
1. Politik luar negeri

2. Pertahanan keamanan
3. Peradilan
4. Moneter dan fiskal, serta
5. Agama dan kewenangan bidang lain.
Seperti diuraikan diatas bahwa dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah,
pemerintah daerah menetapkan peraturan daerah atas persetujuan DPRD sebagai penjabaran
peraturan perundangan yang lebih tinggi. Peraturan daerah yang ditetapkan oleh kepala
daerah dan DPRD tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan daerah
lain, dan peraturan perundangan yang lebih tinggi. Untuk melaksanakan peraturan daerah ,
kepala daerah menetapkan keputusan kepala daerah.
Keputusan kepala daerah tersebut tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan peraturan daerah.
Peraturan daerah dan keputusan kepala daerah yang bersifat mengatur diundangkan
dengan menempatkannya dalam lembaran daerah. Hal ini sesuai dengan Pasal 37 Ayat (2)
UU No. 22 Tahun 1999. Peraturan daerah dan keputusan kepala daerah termasuk kebijakan
public, artinya peraturan daerah dan keputusan kepala daerah tersebut menyangkut dan
diperuntukkan untuk orang banyak atau masyarakat luas. Karena kebijakan publik tersebut
diperuntukannya untuk masyarakat luas, maka masyarakat wajib berperan serta dalam
perumusan dan pelaksanaan kebijakan tersebut.
Apabila kebijakan publik itu hanya dibuat oleh pemerintah tanpa melibatkan
masyarakat dalam perumusan dan pelaksaannya, kebijakan publik itu akan dapat
meninbulkan dampak negative, antara lain:
1. Akan menimbulkan protes atau penolakan dari masyarakat.
2. Kebijakan tersebut tidak bisa dilaksanakan dengan baik
3. Bisa menimbulkan kecemasan pemerintah, serta
4. Turunnya kepercayaan masyarakat pada pemerintah

G. Kendala atau ketimpangan yang sering terjadi dalam penerapan kebijakan


otonomi daerah :
1. High Cost Economic dalam bentuk pungutan-pungutan yang membabi buta. Otonomi
daerah dapat berubah sifat menjadi Anarkisme Financial

2. High Cost Economic dalam bentuk KKN


3. Orientasi Pemda pada Cash Inflow, bukan pendapatan

4. Pemda bisa menjadi drakula bagi anak-anak mereka sendiri yaitu BUMD-BUMD
yang berada dibawah naungannya. Modusnya bisa jadi bukan melalui penjualan aset,
melainkan melalui kebijakan penguasa daerah yang sulit ditolak oleh jajaran pimpinan
BUMD

5. Karena terfokus pada penerimaan dana Pemda bisa melupakan kriteria pembuktian
berkelanjutan

6. Munculnya hambatan bagi mobilitas sumber daya

7. Potensi konflik antar daerah menyangkut pembagian hasil pungutan

8. Bangkitnya egosentrisme

9. Karena derajat keberhasilan otonomi lebih dilandaskan pada aspek-aspek finansial


pemerintah daerah bisa melupakan misi dan visi otonomi sebenarnya.

10. Munculnya bentuk hubungan kolutif antara eksekutif dan legislatif di daerah.

H. Upaya pejabat daerah untuk mengatasi ketimpangan yang terjadi :


1. Pejabat harus dapat melakukan kebijakan tertentu sehingga SDM yang berada di pusat dapat
terdistribusi ke daerah
2. Pejabat harus melakukan pemberdayaan politik warga masyarakat dilakukan melalui
pendidikan politik dan keberadaan organisasi swadaya masyarakat, media massa dan lainnya.
3. Pejabat daerah harus bisa bertanggung jawab dan jujur
4. Adanya kerjasama antara pejabat dan masyarakat
5. Dan yang menjadi prioritas adalah pejabat daerah harus bisa memahami prinsip-prinsip
otonomi daerah

I. Tujuan Otonomi Daerah


Desentralisasi merupakan simbol adanya kepercayaan dari pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah. Dalam konsep desentralisasi, peran pemerintah pusat adalah mengawasi,
memantau, dan mengevaluasi pelaksanaan otonomi daerah. Tujuan yang hendak dicapai
dengan diterapkannya otonomi daerah yaitu untuk memperlancar pembangunan diseluruh
pelosok tanah air secara merata tanpa ada pertentangan, sehingga pembangunan daerah
merupakan pembangunan nasional secara menyeluruh.
Melalui otonomi diharapkan daerah akan lebih mandiri dalam menentukan setiap
kegiatannya tanpa ada intervensi dari pemerintah pusat. Pemerintah daerah diharapkan
mampu membuka peluang memajukan daerahnya dengan melakukan identifikasi sumber-
sumber pendspatan dan mampu menetapkan belanja daerah secara efisien, efektif, dan wajar.
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka konsep otonomi yang diterapkan adalah :
1. Penyerahan sebanyak mungkin kewenangan pemerintah pusat dalam hubungan
domestik kepada pemerintan daerah. Kecuali untuk bidang politik luar negeri,
pertahanan, keagamaan, serta bidang keuangan dan moneter. Dalam konteks ini,
pemerintah daerah terbagi atas dua ruang lingkup, yaitu daerah kabupaten dan kota,
dan provinsi.
2. Penguatan peran dprd sebagai representasi rakyat.
3. Peningkatan efektifitas fungsi pelayanan melalui pembenahan organisasi dan institusi
yang dimiliki, serta lebih responsif terrhadap kebutuhan daerah.
4. Peningkatan efisiensi administrasi keuangan daerah serta pengatuan yang lebih jelas
atas sumber-sumber pendapatan daerah. Pembagian pendapatan dari sumber
penerimaan yang berkaitan dengan kekayaan alam, pajak dan retribusi.
5. Pengaturan pembagian sumber-sumber pendapatan daerah serta pemberian
keleluasaan kepada pemerintah daerah untuk menetapkan prioritas pembangunan serta
optimalisasi upaya pemberdayaan masyarakat.
6. Perimbangan keuangan antara pusat dengan daerah yang merupakan suatu system
pembiayayaan penyelenggaraan pemerintah yang mencakup pembagian keuangan
antara pemerintah pusat dengan daerah serta pemerataan antar daerahsecara
proposional

J. Permasalahan yang akan muncul


1. Pemerintah Provinsi dengan Pemerintah Kabupaten atau Kota
Dalam UU No. 22 Tahun 1999 Provinsi mempunyai kedudukan sebagai daerah
dekonsentrasi yang merupakan perpanjangan tangan dari Pemerintahan Pusat. Ketentuan
yang kurang jelas ini bisa menyebabkan kekurang senangan Pemerintahan Provinsi melihat
penempatan otonomi pada Kabupaten atau Kota. Karena peran Gubernur dalam UU tersebut
tidak begitu jelas, sehingga Gubernurpun bisa menjadi bingung terhadap apa yang akan
dilakukannya. Hal ini terjadi karena dalam UU telah dinyatakan daerah Provinsi tidak
memiliki hubungan yang hirarkis lagi dengan Pemerintahan daerah Kabupaten atau Kota.
Dampak psikologis dari ketentuan ini dapat berakibat daerah Kabupaten atau Kota kurang
bahkan tidak lagi menghormati keberadaan Gubernur sebagai Wakil Pemerintahan di Daerah.
Dengan demikian Kabupaten atau Kota dalam hal ini bisa berhubungan langsung
dengan Pemerintahan Pusat tanpa melalui Pemerintahan Provinsi terlebih dahulu. Namun jika
dipikir secara logita hal ini sebenarnya tentu akan menyulitkan pemerintah pusat, bagaimana
tidak jika seluruh Kabupaten atau Kota berkoordinasi langsung dengan Pemerintah Pusat,
tentu akan membuat Pemerintahan Pusat sangat kewalahan mengatasinya. Dan dari itu
Gubernurpun pasti akan mempertanyakan tentang kewengan yang dimikinya, karena apabila
hal di atas terjadi pasti Pemerintahan Provinsi merasa diabaikan dan tidak memiliki
kewengan yang jelas.
Untuk menghindari hal diatas Pemerintah Pusat harus memperjelas hubungan dan
fungsi Gubernur agar tidak terjadi perselisihan antara Pemerintah Kabupaten atau Kota
dengan Pemerintahan Provinsi. Provinsi seharusnya juga berwenang mengatur dan mengurus
pemerintah Kabupaten atau Kota dalam memajukan daerah mereka, agar Pemerintah Provinsi
memiliki andil yang jelas. Sehingga hal ini juga bisa menghindari tumpang tindih atau
perselisihan antara Pemerintahan Kabupaten atau Kota dengan Pemerintah Provins seperti
yang telah dicontohkan di atas.
2. Pemerintah Daerah dan DPRD
Dalam UU ini DPRD terpisah dengan Pemerintahn Daerah, hal ini bisa
mengakibatkan DPRD memposisikan diri berseberangan dengan Kepala Daerah dan
Perangkat Daerah. DPRD mempunyai kedudukan yang sejajar dengan Kepala Daerah, namun
walaupun memiliki kedudukan yang sama Kepala Daerah mempertanggung jawabkan
pelaksanakan kebijakan Daerah kepada DPRD. Hala ini sebenarnya memberi peluang untuk
terciptanya hubungan yang tidak sehat antara Kepala Daerah dengan DPRD. Walaupun pada
prinsipnya sebagaimana telah dijelaskan dalam UU N0. 22 Tahun 1999 memberikan peluang
kepada DPRD dalam menjalani pengawasan kepada Kepala Daerah agar tidak bertindak
berlebihan. Dan DPRD juga bisa mengberhentikan Kepala Daerah apabila perbaikan Laporan
Pertanggung Jawaban (LPJ) Tahunan ditolak.
Hal ini bisa menjadikan Laporan Pertanggung Jawaban (LPJ) sebagai sarana tawar
menawar antara DPRD dengan Kepla Daerah yang berusaha menghindari dari proses atau
keputusan penolakan LPJ. Sehingga untuk menghindari penolakan LPJ tersebut, kepala
Daerah pasti berusaha melayani bahkan bisa jadi menyogok anggota DPRD agar dapat
mempertahankan posisinya sebagai Kepala Daerah, bahkan bisa jadi Kepala Daerah
menggunakan keuangan daerah yang tentunya dapat merugikan daerah yang dipimpinnya.
Oleh karena itu, mekanisme penolakan LPJ harus ditinjau kembali agar tidak
terciptanya kolusi, korupsi, dan nepotisme, maka ada baiknya Kepala Daerah yang ditolak
pertanggung jawabannya diberikan kesempatan untuk memberikan penjelasan tentang hal-hal
yang menjadi dasar penolakan pertanggung jawaban dalam jangka waktu tertentu. Kemudian
Kepala Daerah baru dapat diusulkan untuk diberhentikan oleh Presiden.

K. BEBERAPA PRINSIP PENTING UNDANG-UNDANG NO. 22 TAHUN 1999


TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH

Beberapa hal yang mendasar mengenai otonomi daerah dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah yang sangat berbeda dengan prinsip undang-undang
sebelumnya antara lain :

1. Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 pelaksanaan otonomi daerah Iebih mengedepankan
otonomi daerah sebagai kewajiban daripada hak, sedang dalam Undang-undang No:22 Tahun 1999
menekankan arti penting kewenangan daerah dalam mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat melalui prakarsanya sendiri.

2. Prinsip yang menekankan asas desentralisasi dilaksanakan bersama-sama dengan asas


dekonsentrasi seperti yang selama ini diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tidak
dipergunakan Iagi, karena kepada daerah otonom diberikan otonomi yang Iuas, nyata dan
bertanggungjawab. HaI ini secara proporsional diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan
pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan
daerah. Di samping itu, otonomi daerahjuga dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang
juga memperhatikan keanekaragaman daerah.
3. Beberapa hal yang sangat mendasar dalam penyelenggaraan otonomi daerah dalam Undang-
undang Nomor 22 Tahun 1999, adalah pentingnya pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan
prakarsa dan kreativitas mereka secara aktif, serta meningkatkan peran dan fungsi Badan
Perwakilan Rakyat Daerah. Oleh karena itu, dalam Undang-undang ini otonomi daerah diletakkan
secara utuh pada daerah otonom yang lebih dekat dengan masyarakat, yaitu daerah yang selama ini
berkedudukan sebagai Daerah Tk. II, yang dalam Undang-undang ini disebut Daerah Kabupaten
dan Daerah Kota.

4. Sistem otonomi yang dianut dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah otonomi yang
luas, nyata dan bertanggung jawab, dimana semua kewenangan pemerintah, kecuali bidang politik
luar negeri, hankam, peradilan, moneter dan fiskal serta agama dan bidang- bidang tertentu
diserahkan kepada daerah secara utuh, bulat dan menyeluruh, yang ditetapkan dengan peraturan
pemerintah.

5. Daerah otonom mempunyai kewenangan dan kebebasan untuk membentuk dan melaksanakan
kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakat. Sedang yang selama ini disebut Daerah
Tingkat I atau yang setingkat, diganti menjadi daerah propinsi dengan kedudukan sebagai daerah
otonom yang sekaligus wilayah administrasi, yaitu wilayah kerja Gubernur dalam melaksanakan
fungsi-fungsi kewenangan pusat yang didelegasikan kepadanya.

6. Kabupaten dan Kota sepenuhnya menggunakan asas desentralisasi atau otonom. Dalam
hubungan ini, kecamatan tidak lagi berfungsi sebagai peringkat dekonsentrasi dan wilayah
administrasi, tetapi menjadi perangkat daerah kabupaten/kota. Mengenai asas tugas pembantuan
dapat diselenggarakan di daerah propinsi, kabupaten, kota dan desa. Pengaturan mengenai
penyelenggaraan pemerintahan desa sepenuhnya diserahkan pada daerah masing-masing dengan
mengacu pada pedoman yang ditetapkan oleh pemerintah.

7. Wilayah Propinsi meliputi wilayah laut sepanjang 12 mil dihitung secara lurus dari garis pangkal
pantai, sedang wilayah Kabupaten/Kota yang berkenaan dengan wilayah laut sebatas 1/3 wilayah
laut propinsi.

8. Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan perangkat daerah lainnya sedang DPRD
bukan unsur pemerintah daerah. DPRD mempunyai fungsi pengawasan, anggaran dan legislasi
daerah. Kepala daerah dipilih dan bertanggung jawab kepada DPRD. Gubernur selaku kepala
wilayah administratif bertanggung jawab kepada Presiden.

9. Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan persetujuan DPRD sesuai pedoman
yang ditetapkan Pemerintah, dan tidak perlu disahkan oleh pejabat yang berwenang.

10. Daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial
budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangannya lain yang
memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah, daerah, daerah yang tidak mampu
menyelenggarakan otonomi daerah dapat dihapus dan atau digabung dengan daerah lain. Daerah
dapat dimekarkan menjadi lebih dari satu daerah, yang ditetapkan dengan undang-undang.
11. Setiap daerah hanya dapat memiliki seorang wakil kepala daerah, dan dipilih bersama
pemilihan kepala daerah dalam satu paket pemilihan oleh DPRD.

12. Yang dapat menjadi Kepala Daerah adalah warga negara Republik Indonesia dengan syarat-
syarat : (a) Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; (b) Setia dan taat kepada Negara Kesatuan
Republik Indonesia dan Pemerintah yang sah, (c) Tidak pernah terlibat dalam kegiatan yang
mengkhianati Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945
yang dinyatakan dengan surat keterangan Ketua Pengadilan Negeri, (d) Berpendidikan sekurang-
kurangnya SLTA dan atau sederajat, (e) Berumur sekurang-kurangnya 30 tahun, (f) Sehat jasmani
dan rohani, (g) Nyata-nyata tidak terganggu jiwa/ingatannya, (h) Tidak pernah dihukum penjara
karena melakukan tindak pidana, (i) Tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan keputusan
pengadilan negeri, (j) Mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat daerahnya, (k)
Menyerahkan daftar kekayaan pribadi, (l) Bersedia dicalonkan menjadi Kepala Daerah.

13. Daerah diberi kewenangan untuk melakukan pengangkatan , pemindahan, pemberhentian,


penetapan pensiun, pendidikan dan pelatihan pegawai sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan
daerah, berdasarkan nama, standar, prosedur yang ditetapkan pemerintah.

14. Keuangan daerah bersumber dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan keuangan pusat
dan daerah, pinjaman daerah dan lain-lain pendapatan sah. Dalam setiap kewenangan pemerintahan
yang menjadi wewenang daerah melekat kewenangan keuangan.

15. Kepada Kabupaten dan Kota diberikan otonomi yang luas, sedang pada propinsi otonomi yang
terbatas. Kewenangan yang ada pada propinsi adalah otonomi yang bersifat lintas Kabupaten dan
Kota, yakni serangkaian kewenangan yang tidak efektif dan efisien kalau diselenggarakan dengan
pola kerjasama antar Kabupaten atau Kota. Misalnya kewenangan di bidang perhubungan,
pekerjaan umum, kehutanan dan perkebunan dan kewenangan bidang pemerintahan tertentu
lainnya dalam skala propinsi termasuk berbagai kewenangan yang belum mampu ditangani
Kabupaten dan Kota.

16. Pengelolaan kawasan perkotaan di luar daerah kota dapat dilakukan dengan cara membentuk
badan pengelola tersendiri, baik secara intern oleh pemerintah Kabupaten sendiri maupun melalui
berkerjasama antar daerah atau dengan pihak ketiga. Selain DPRD, daerah juga memiliki
kelembagaan lingkup pemerintah daerah, yang terdiri dari Kepala Daerah, Sekretariat Daerah,
Dinas-Dinas Tehnis Daerah, Lembaga Staf Teknis Daerah, seperti yang menangani perencanaan,
penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, pengawasan dan badan usaha milik daerah.
Besaran dan pembentukan lembaga-lembaga itu sepenuhnya diserahkan pada daerah. Lembaga
pembantu Gubernur, Pembantu Bupati/Walikota, Asisten Sekwilda, Kantor Wilayah dan Kandep
dihapus.

17. Kepala Daerah sepenuhnya bertanggungjawab kepada DPRD, dan DPRD dapat meminta
Kepala Daerahnya berhenti apabila pertanggung jawaban Kepala daerahsetelah 2 (dua) kali tidak
dapat diterima oleh DPRD.

Anda mungkin juga menyukai