Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

Resusitasi Jantung Paru (RJP) atau Cardiopulmonary Resuscitation (CPR) adalah


prosedur kegawatdaruratan medis yang ditujukan untuk serangan jantung dan pada henti napas(5).
RJP adalah kombinasi antara bantuan pernapasan dan kompresi jantung yang dilakukan
pada korban serangan jantung(6).

II.2. Indikasi
A. Henti Napas
Henti napas primer (respiratory arrest) dapat disebabkan oleh banyak hal, misalnya
serangan stroke, keracunan obat, tenggelam, inhalasi asap/uap/gas, obstruksi jalan
napas oleh benda asing, tesengat listrik, tersambar petir, serangan infark jantung,
radang epiglotis, tercekik (suffocation), trauma dan lain-lainnya(7).
Pada awal henti napas, jantung masih berdenyut, masih teraba nadi, pemberian O2 ke
otak dan organ vital lainnya masih cukup sampai beberapa menit. Kalau henti napas
mendapat pertolongan segera maka pasien akan teselamatkan hidupnya dan
sebaliknya kalau terlambat akan berakibat henti jantung(7).
B. Henti Jantung
Henti jantung primer (cardiac arrest) ialah ketidak sanggupan curah jantung untuk
memberi kebutuhan oksigen ke otak dan organ vital lainnya secara mendadak dan
dapat balik normal, kalau dilakukan tindakan yang tepat atau akan menyebabkan
kematian atau kerusakan otak. Henti jantung terminal akibat usia lanjut atau penyakit
kronis tentu tidak termasuk henti jantung(7).
Sebagian besar henti jantung disebabkan oleh fibrilasi ventrikel atau takikardi tanpa
denyut (80-90%), kemudian disusul oleh ventrikel asistol (+10%) dan terakhir oleh
disosiasi elektro-mekanik (+5%). Dua jenis henti jantung yang terakhir lebih sulit
ditanggulangi karena akibat gangguan pacemaker jantung. Fibirilasi ventrikel terjadi
karena koordinasi aktivitas jantung menghilang.
Henti jantung ditandai oleh denyut nadi besar tak teraba (karotis femoralis, radialis)
disertai kebiruan (sianosis) atau pucat sekali, pernapasan berhenti atau satu-satu
(gasping, apnu), dilatasi pupil tak bereaksi terhadap rangsang cahaya dan pasien tidak
sadar(4).
Pengiriman O2 ke otak tergantung pada curah jantung, kadar hemoglobin (Hb),
saturasi Hb terhadap O2 dan fungsi pernapasan. Iskemi melebih 3-4 menit pada suhu
normal akan menyebabkan kortek serebri rusak menetap, walaupun setelah itu dapat
membuat jantung berdenyut kembali(7).

II.3. Fase RJPO


Resusitasi jantung paru otak dibagi menjadi 3 fase diantaranya(4):
1. FASE I : Tunjangan Hidup Dasar (Basic Life Support) yaitu prosedur pertolongan
darurat mengatasi obstruksi jalan nafas, henti nafas dan henti jantung, dan bagaimana
melakukan RJP secara benar.
Terdiri dari :
A (airway) : menjaga jalan nafas tetap terbuka.
B (breathing) : ventilasi paru dan oksigenisasi yang adekuat.
C (circulation) : mengadakan sirkulasi buatan dengan kompresi jantung paru.
2. FASE II : Tunjangan hidup lanjutan (Advance Life Support); yaitu tunjangan hidup
dasar ditambah dengan :
D (drugs) : pemberian obat-obatan termasuk cairan.
E (EKG) : diagnosis elektrokardiografis secepat mungkin setelah dimulai KJL, untuk
mengetahui apakah ada fibrilasi ventrikel, asistole atau agonal ventricular complexes.
F (fibrillation treatment) : tindakan untuk mengatasi fibrilasi ventrikel.
3. FASE III : Tunjangan hidup terus-menerus (Prolonged Life Support).
G (Gauge) : Pengukuran dan pemeriksaan untuk monitoring penderita secara terus
menerus, dinilai, dicari penyebabnya dan kemudian mengobatinya.
H (Head) : tindakan resusitasi untuk menyelamatkan otak dan sistim saraf dari
kerusakan lebih lanjut akibat terjadinya henti jantung, sehingga dapat dicegah
terjadinya kelainan neurologic yang permanen.
H (Hipotermi) : Segera dilakukan bila tidak ada perbaikan fungsi susunan saraf pusat
yaitu pada suhu antara 30° — 32°C.
H (Humanization) : Harus diingat bahwa korban yang ditolong adalah manusia yang
mempunyai perasaan, karena itu semua tindakan hendaknya berdasarkan
perikemanusiaan.
I (Intensive care) : perawatan intensif di ICU, yaitu : tunjangan ventilasi :
trakheostomi, pernafasan dikontrol terus menerus, sonde lambung, pengukuran pH,
pCO2 bila diperlukan, dan tunjangan sirkulasi, mengendalikan kejang(4).

Tujuan dari pembuatan referat ini adalah untuk lebih mengenal obat-obatan apa saja
yang digunakan dalam resusitasi jantung paru otak serta mengetahui lebih dalam
farmakodinamika dari obat-obatan tersebut.
BAB II

PEMBAHASAN

Henti jantung merupakan keadaan dimana terhentinya aktivitas mekanis jantung.


Dalam diagnosis klinik dapat dipastikan dengan tidak adanya denyut jantung dan henti
napas. Resusitasi jantung paru merupakan usaha untuk mengembalikan sirkulasi melalui
berbagai macam maneuver dan teknik. dalam 15 detik saja, henti jantung dapat
mengakibatkan pasien kehilangan kesadaran, elektroensefalogram memberikan gambaran
flat setelah 30 detik, dilatasi pupil setelah 60 detik dan kerusakan otak dapat terjadi dalam
waktu 90 detik hingga 300 detik.
Oleh karena itu diperlukan tindakan secepatnya untuk mencegah terjadinya
kerusakan yang ireversibel. Walaupun sudah dilakukan intervensi, dimana bantuan hidup
dasar yang kompeten dapat meningkatkan survival rate, penggunaan obat – obatan
tambahan dianjurkan dalam mengatasi henti jantung dalam bantuan hidup lanjut.
Semenjak dikenalkannya teknik RJP modern telah banyak kemajuan dalam penggunaan
obat-obatan dalam RJP. Oleh karena itu, kami bermaksud untuk meringkas penggunaan
obat-obatan pada pasien yang mengalami fibrilasi ventrikel atau ventrikel takikardia
dalam bantuan hidup lanjut.
Tujuan penggunaan obat-obatan dalam resusitasi adalah :
• Meningkatkan perfusi ke organ tubuh.

Obat-obat tersebut adalah :

Epinefrin

Epinefrin merupakan prototype obat kelompok adrenergic. Epinefrin bekerja pada semua
reseptor adrenergic : α1 , α2 , β1 dan β2 . Pada umumnya pemberian epi menimbulkan
efek mirip stimulasi saraf adnergik. Ada beberapa perbedaan karena neurotransmitter
pada saraf adrenergic adalah NE. efek yang paling menonjol adalah efek terhadap
jantung, otot polos pembuluh darah dan otot polos lain.

Farmakodinamika :
• Pembuluh darah
Efek vascular epi terutama pada arteriol kecil dan sfingter prekapiler, tetapi vena dan
arteri besar juga dipengaruhi. Pembuluh darah kulit, mukosa dan ginjal mengalami
konstriksi karena dalam organ-organ tersebut reseptor α dominan. Pembuluh darah
otot rangka mengalami dilatasi oleh epi dosis rendah, akibat aktivasi reseptor β2 yang
mempunyai afinitas lebih besar pada epi dibandingkan dengan reseptor α .
• Arteri koroner
Epi meningkatkan aliran darah koroner. Di satu pihak epi cenderung menurunkan
aliran darah koroner karena kompresi akibat peningkatan kontraksi otot jantung, dan
karena vasokonstriksi pembuluh darah koroner akibat efek reseptor α. Di lain pihak
epi relative memperpanjang waktu diastolic pada denyut jantung yang lebih cepat
meningkatkan tekanan darah aorta, dan menyebabkan dilepaskannya adenosine suatu
metabolit yang bersifat vasodilator, akibat peningkatan kontraksi jantung dan
konsumsi oksigen miokard; resultante dari semua ini adalah peningkatan aliran darah
koroner. Autoregulasi metabolic merupakan factor yang dominan, sehingga hasil
akhirnya adalah vasodilatasi dan peningkatan aliran darah koroner. Tetapi, efek epi
ini tidak bermanfaat pada iskemia miokard, karena peningkatan aliran darah tidak
dapat mengimbangi bertambahnya kebutuhan akibat peningkatan kerja miokard,
sehubungan dengan efek langsung Epi.
• Jantung
Epi mengaktivasi reseptor β1 di otot jantung, sel pacu jantung dan jaringan konduksi.
Ini merupakan dasar efek inotropik dan kronotropik positif epi pada jantung. Epi
mempercepat depolarisasi fase 4, yakni depolarisasi lambat sewaktu diastole, dari
nodus sino-atrial (SA) dan sel otomatik lainnya, dengan demikian mempercepat firing
rate pacu jantung dan merangsang pembentukan focus ektopik dalam ventrikel.
Dalam nodus SA, epi juga menyebabkan perpindahan pacu jantung ke sel yang
mempunyai firing rate lebih cepat. Epi mempercepat konduksi sepanjang jaringan
konduksi, mulai dari atrium ke nodus atrioventrikular (AV), sepanjang berkas his dan
serat purkinje sampai ke ventrikel. Epi juga mengurangi blok AV yang terjadi akibat
penyakit, obat atau aktivitas vagal. Selain itu epi memperpendek periode refrakter
nodus AV dan berbagai bagian jantung lainnya. Epi memperkuat kontraksi dan
mempercepat relaksasi. Dalam mempercepat denyut jantung dalam kisaran fisiologis,
epi memperpendek waktu sistolik tanpa mengurangi waktu diastolic. Akibatnya curah
jantung bertambah, tetapi kerja jantung dan pemakaian oksigen sangat bertambah,
sehingga efisiensi jantung (kerja dibandingkan dengan pemakaian oksigen)
berkurang. Dosis epi yang berlebih disamping menyebabkan tekanan darah naik
sangat tinggi, juga menimbulkan kontraksi ventrikel premature, diikuti takikardia
ventrikel dan akhirnya fibrilasi ventrikel.
• Tekanan darah
Pemberian epi pada manusia secara SK atau secara IV lambat menyebabkan kenaikan
tekanan sistolik yang sedang dan penurunan diastolic. Tekanan nadi bertambah besar
tetapi tekanan darah rata-rata (mean arterial pressure) jarang sekali menunjukkan
kenaikan yang besar. Resistensi perifer berkurang akibat kerja epi pada reseptor β2 di
pembuluh darah otot rangka, dimana aliran darah bertambah. Karena kenaikan
tekanan darah tidak begitu besar, reflex kompensasi vagal yang melawan efek
langsung epi terhadap jantung yang tidak begitu kuat. Dengan demikian, denyut
jantung, curah jantung, curah sekuncup dan kerja ventrikel meningkat akibat stimulasi
langsung pada jantung dan peningkatan aliran balik vena. Biasanya efek vasodilatasi
epi mendominasi sirkulasi; kenaikan tekanan sistolik terutama disebabkan oleh
peningkatan curah jantung.

Pada pasien dengan henti jantung akibat fibrilasi ventrikel, disosiasi elektromekanik
atau asistole, resusitasi kardiopulmoner dapat dibantu dengan obat. Epinefrin merupakan
obat yang penting. Efektivitasnya tampak akibat efek vasokonstriksinya melalui reseptor
α. Epi dan α1 agonis lainnya meningkatkan tekanan diastolic, memperbaiki aliran darah
koroner dan membantu mempertahankan aliran darah otak selama resusitasi.
Diperkirakan efek epi pada reseptor β di jantung menyebabkan fibrilasi ventrikel menjadi
lebih sensitive untuk konversi ke ritme normal pada kardioversi elektrik, tetapi ternyata
tidak terbukti pada uji dengan hewan coba. Dosis optimal epi pada pasien dengan henti
jantung tikda diketahui; tetapi American heart association menganjurkan 0,5 – 1,0 mg
Epi HCl ( untuk berat badan 70 kg ) IV setiap 5 menit. Setelah diperoleh ritme jantung,
perlu diobati aritmia, hipotensi atau syok yang ada.
NATRIUM BIKARBONAT

Penting untuk melawan metabolik asidosis yang biasanya timbul beberapa menit setelah
henti jantung, diberikan iv dengan dosis awal yang dianjurkan yaitu 1 mEq/kgBB, baik
berupa bolus ataupun dalam infus atau sebagai dosis awal dapat diberikan 1 ampul 50 ml
(7,5%) yang mengandung 44,6 mEq ion Na. Bila gas darah belum dapat ditentukan, Na –
Bikarbonat dapat diberikan ½ dosis awal setiap 10 menit. Biasanya dibutuhkan 150 – 250
mEq untuk mengatasi asidosis metabolic pada henti jantung. Begitu sirkulasi spontan
yang efektif tercapai, pemberian harus dihentikan karena bisa terjadi metabolik alkalosis,
takhiaritmia dan hiperosmolalitas. Bila belum ada sirkulasi yang efektif maka ulangi lagi
pemberian dengan dosis yang sama(4). Asidosis metabolik harus segera diperbaiki oleh
karena dapat menyebabkan vasodilatasi, kebocoran kapiler, deplesi otot jantung dan
penurunan ambang terjadinya fibrilasi.

SULFAT ATROPIN

Mengurangi tonus vagus memudahkan konduksi atrioventrikuler dan mempercepat


denyut jantung pada keadaan sinus bradikardi. Paling berguna dalam mencegah “arrest”
pada keadaan sinus bradikardi sekunder karena infark miokard, terutama bila ada
hipotensi. Dosis yang dianjurkan ½ mg, diberikan iv. Sebagai bolus dan diulang dalam
interval 5 menit sampai tercapai denyut nadi > 60 /menit, dosis total tidak boleh melebihi
2 mg kecuali pada blok atrioventrikuler derajat 3 yang membutuhkan dosis lebih besar.
Obat ini digunakan bila sudah terjadi sirkulasi spontan.

LIDOKAIN

Injeksi Lidokain adalah larutan yang dibuat dari Lidokain Hidroklorida dengan
penambahan asam klorida P dalam air untuk injeksi atau dari lidokain hidroklorida dalam
air untuk injeksi. Kadar lidokain HCl C14H22N2O.HCl tidak kurang dari 96,0 % dan tidak
lebih dari 105,0 %. Penggunaan terapi lidokain hanya digunakan untuk pengobatan
aritmia ventrikel, terutama diruang perawatan intensif. Lidokain efektif terhadap aritmia
ventrikel yang disebabkan oleh infark miokard akut, bedah jantung terbuka dan dialisis.
Interaksi obat lidokain dimana β bloker dapat mengurangi aliran darah hati pada
penderita penyakit jantung dan akan menyebabkan penurunan kecepatan metabolisme
lidokain dan meningkatkan kadarnya dalam plasma. Obat-obat yang bersifat basa dapat
menggantikan lidokain dari ikatannya pada α 1 – acid glocoprotein. Kadar Lidokain
plasma meninggi pada penderita yang menerima simetidin. Mekanisme interaksi ini
kompleks, dan selama pemberian simetidin perlu penyesuaian sengan dosis lidoikain.
Lidokain memperkuat efek suksinilkolin.

Lidokain meninggikan ambang fibrilasi dan mempunyai efek antiaritmia dengan cara
meningkatkan ambang stimulasi listrik dari ventrikel selama diastole. Pada dosis
terapeutik biasa, tidak ada perubahan bermakna dari kontraktilitas miokard, tekanan arteri
sistemik, atau periode refrakter absolut. Obat ini terutama efektif menekan iritabilitas
sehingga mencegah kembalinya fibrilasi ventrikel setelah defibrilasi yang berhasil, juga
efektif mengontrol denyut ventrikel prematur yang mutlti fokal dan episode takhikardi
ventrikel. Dosis 50-100 mg diberikan iv sebagai bolus, pelan-pelan dan bisa diulang bila
perlu. Dapat dilanjutkan dengan infus kontinu 1-3 mg.menit, biasanya tidak lebih dari 4
mg.menit, berupa lidocaine 500 ml dextrose 5 % larutan (1 mg/ml) (4).

ISOPROTENEROL

Obat ini yang juga dikenal sebagai isopropilonorepinefrin, isopropilarterenol dan


isoprenalin, merupakan amin simpatomimetik yang kerjanya paling kuat pada semua
reseptor β, dan hampir tidak bekerja pada reseptor α. Curah jantung meningkat karena
efek inotropik dan kronotropik positif langsung dari obat. Pada dosis isoprotenerol yang
biasa diberikan, peningkatan curah jantung umumnya cukup besar untuk
mempertahankan atau meningkatkan tekanan sistolik tetapi tekanan rata-rata menurun.
Merupakan obat pilihan untuk pengobatan segera (bradikardi hebat karena complete heart
block). Ia diberikan dalam infus dengan jumlah 2 sampai 20 mg/menit (1-10 ml larutan
dari 1 mg dalam 500 ml dectrose 5 %), dan diatur untuk meninggikan denyut jantung
sampai kira-kira 60 kali/menit. Juga berguna untuk sinus bradikardi berat yang tidak
berhasil diatasi dengan Atropine(4).

PROPANOLOL

Suatu beta adrenergic blocker yang efek anti aritmianya terbukti berguna untuk kasus-
kasus takhikardi ventrikel yang berulang atau fibrilasi ventrikel berulang dimana ritme
jantung tidak dapat diatasi dengan Lidocaine. Dosis umumnya adalah 1 mg iv, dapat
diulang sampai total 3 mg, dengan pengawasan yang ketat(4).

EFEDRIN

Seperti halnya dengan epi, efedrin bekerja pada reseptor α1 β1 dan β2. Efek perifer efedrin
melalui kerja langsung dan melalui pelepasan NE endogen. Efek kardiovaskuler efedrin
menyerupai efek epi tetapi berlangsung kira-kira 10 kali lebih lama. Tekanan sistolik
meningkat dan biasanya juga tekanan diastolik serta tekanan nadi membesar. Peningkatan
tekanan darah ini sebagian disebabkan oleh vasokonstriksi, tetapi terutama oleh stimulasi
jantung yang meningkatkan kekuatan kontraksi jantung dan curah jantung. Denyut
jantung mungkin tidak berubah akibat refleks kompensasi vagal terhadap kenaikan
tekanan darah. Aliran darah ginjal dan viseral berkurang, sedangkan aliran darah koroner,
otak dan otot rangka meningkat. Dosis yang diberikan 10 – 20 mg / 70 kg .

KORTIKOSTEROID
Sekarang lebih disukai kortikosteroid sintetis (5 mg/kgBB methyl prednisolon sodium
succinate atau 1 mg/kgBB dexamethasone fosfat) untuk pengobatan syok kardiogenik
atau shock lung akibat henti jantung. Bila ada kecurigaan edema otak setelah henti
jantung, 60-100 mg methyl prednisolon sodium succinate tiap 6 jam akan
menguntungkan. Bila ada komplikasi paru seperti pneumonia post aspirasi, maka
digunakan dexamethason fosfat 4-8 mg tiap 6 jam(4).

DOBUTAMIN

Dobutamin menimbulkan efek inotropik yang lebih kuat daripada efek kronotropik
dibandingkan isoprotenerol. Hal ini mungkin disebabkan karena resistensi perifer yang
relative tidak berubah (akibat vasokonstriksi melalui reseptor α1 diimbangi oleh
vasodilatasi melalui reseptor β2) sehingga tidak menimbulkan reflex takikardi atau karena
reseptor α1 di jantung menambah efek inotropik obat ini. Pada dosis yang menimbulkan
efek inotropik yang sebanding, efek dobutamin dalam meningkatkan automatisitas nodus
SA kurang dibanding isoprotenerol, tetapi peningkatan konduksi AV dan intraventrikular
oleh ke-2 obat ini sebanding. Dengan demikian, infuse dobutamin akan meningkatkan
kontraktilitas jantung dan curah jantung, dan hanya sedikit meningkatkan denyut jantung
sedangkan resistensi perifer relative tidak berubah.

Kontraindikasi :
Obat ini mempercepat konduksi AV, maka sebaiknya dihindarkan pada fibrilasi atrium.
Tekanan darah dan denyut jantung dapat sangat meningkat selama pemberian dobutamin.
Bila ini terjadi, kurangi kecepatan infuse obat. Seperti obat inotropik lainnya, dobutamin
dapat memperluas ukuran infark miokard dengan meningkatkan kebutuhan oksigen
miokard. Pemberian lebih dari beberapa hari dapat menimbulkan toleransi.

Dosis :
• Dosis : 2,5 -10 µg/ kg/ menit dengan cara titrasi

• Maksimum : 20 µg/ kg/ menit

DOPAMIN

Precursor NE ini mempunyai kerja langsung pada reseptor dopaminergik dan adrenergic,
dan juga melepaskan NE endogen. Pada kadar rendah, dopamine bekerja pada reseptor
dopaminergik D1 pembuluh darah, terutama di ginjal, mesentrium dan pembuluh darah
koroner. Stimulasi reseptor D1 menyebabkan vasodilatasi melalui aktivitas adenilsiklase.
Infuse dopamine dosis rendah akan meningkatkan aliran darah ginjal, laju filtrasi
glomerulus dan ekskresi Na+. Pada dosis yang sedikit lebih tinggi, dopamine
meningkatkan kontraktilitas miokard melalui aktivitias adrenoreseptor β1 . dopamine juga
melepaskan NE endogen yang menambah efeknya pada jantung. Pada dosis rendah
sampai sedang, resistensi perifer total tidak berubah. Hal ini mungkin karena dopamine
mengurangi resistensi arterial di ginjal dan mesentrium dengan hanya sedikit peningkatan
di tempat-tempat lain. Dengan demikian dopamine meningkatkan tekanan sistolik dan
tekanan nadi tanpa mengubah tekanan diastolic (mungkin sedikit meningkat). Akibatnya
dopamine terutama berguna untuk keadaan curah jantung rendah disertai dengan
gangguan fungsi ginjal, misalnya syok kardiogenik dan gagal jantung yang berat. Pada
kadar yang tinggi dopamine menyebabkan vasokonstriksi akibat aktivasi reseptor α1
pembuluh darah. Karena itu bila dopamine digunakan untuk syok yang mengancam jiwa,
tekanan darah dan fungsi ginjal harus dimonitor. Reseptor dopamine juga terdapat dalam
otak, tetapi dopamine yang diberikan secara IV tidak menimbulkan efek sentral karena
obat ini sukar melewati sawar darah otak.

Dosis :
• Dosis : 2 - 20 µg/kg/menit

• Infuse ditingkatkan sampai tekanan arteri meningkat dan adanya urine flow.
• Biasa diberikan secara titrasi : 400 mg dopamine / 500 cc dekstrose / NaCl 0,9% 
800 µg/ml

• Dosis dopamine 1 - 2 µgr/kg/menit menyebabkan :

• Vasodilatasi renal

• Vasodilatasi mesentrik

• Tanpa meningkatkan tekanan darah

• Dosis 2 -10 µg/kg/menit menyebabkan :

• Inotropik dan efek vasodilatasi

• Meninggikan cardiac output

• Takikardi

• Dosis 10 - 20 µg/kg/menit menyebabkan :

• Vasokonstriksi

DAFTAR PUSTAKA

1. Sanif E., 2008. Metode Baru Resusitasi Jantung Paru. Diakses dari
http://www.jantunghipertensi.com/index.php?
option=com_content&task=view&id=206&Itemid=9
2. Stoppler M.C., 2008. The Importance of CPR. Diakses dari
http://www.emedicinehealth.com/cardiopulmonary_resuscitation_cpr/article_em.htm
3. Dar Ahmed B., 2008. Cardiopulmonary Resuscitation. Assocaiate Prof of Medicine.
Chinkipora Sopore Kashmir, India.
4. Andrey, 2008. Resusitasi Jantung Paru Pada Kegawatan Kardiovaskuler. Diakses dari
http://yumizone.wordpress.com/2008/11/27/resusitasi-jantung-paru-pada-kegawatan-
kardiovaskuler/
5. Wikipedia, 2009. Cardiopulmonary Resuscitation. Diakses dari
http://en.wikipedia.org/wiki/ Cardiopulmonary_ resuscitation
6. American Heart Association. 2009. Cardiopulmonary resuscitaion. Diakses dari
http://www.americanheart.org/presenter.jhtml?identifier=4479
7. Latief S.A., 2007. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi Kedua. Penerbit FKUI. Jakarta.
8. Mayo Clinic staff. 2008. Cardiopulmonary Resusistation. Diakses dari
http://www.mayoclinic.com/health/first-aid-cpr/FA00061
9. Agarwal P.S.& Jadon A., 2008. Cardiopulmonary Resuscitation. TATA Motors
Hospital. Jamshedpur. India.
10. American Heart Association. 2005. Part 4 Adult Basic Life Suppot in Circulation Jurnal.
11. Liza. 2008. Resusitasi Jantung dan Paru. Diakses dari
http://www.scribd.com/doc/6240591/Resusitasi-Jantung-Dan-Paru

Anda mungkin juga menyukai