Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi
pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan allergen yang sama.
Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its impact on Asthma) tahun
2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan
hidung tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.
Saat ini telah terbukti berkaitan dengan insiden asma dan ekzema atopik rinitis
alergika memperlihatkan 17-19% dari mereka juga menderita asma, namun 56 -74%
pasien asmatik ternyata menderita rinitis alergika.1
Prevalensi rinitis di dunia saat ini mencapai 10-25% atau lebih dari 600 juta
penderita dari seluruh etnis dan usia.2 Di Amerika Serikat, lebih dari 40 juta warganya
menderita rinitis alergi. Rinitis alergi pada anak lebih sering terjadi pada anak laki-
laki dibandingkan anak perempuan, sedangkan pada dewasa prevalensi rinitis alergi
laki-laki sama dengan perempuan. Sekitar 80% kasus rinitis alergi berkembang mulai
usia 20 tahun. Insidensi rinitis alergi pada anak-anak 40% dan menurun sejalan
dengan usia.3 Di Indonesia belum ada angka yang pasti, tetapi di Bandung prevalensi
rinitis alergi pada usia 10 tahun ditemukan cukup tinggi (5,8%).2
Alergi hidung dapat bersifat musiman, seperti demam jerami, atau menetap
jika disebabkan oleh debu rumah, bulu binatang, kain yang terlalu sering dipakai,
atau ingestan dalam diet sehari-hari. Hampir semua materi dalam udara atau yang
dapat ditelan terbukti memiliki sifat alergenik. Seringkali seorang pasien alergi
terhadap sejumlah agen dan tidak hanya satu inhalan saja.1
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Terapi pada rinitis alergi adalah
menghindari kontak dengan alergen penyebab, medikamentosa, operatif dan
imunoterapi.1

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Hidung


Hidung terdiri dari hidung bagian luar atau piramid hidung dan rongga hidung
dengan pendarahan serta persarafannya. Hidung luar berbentuk piramid dengan
bagian-bagiannya dari atas ke bawah: 1) pangkal hidung, 2) dorsum nasi, 3) puncak
hidung, 4) ala nasi, 5) kolumela dan 6) lubang hidung (nares anterior).1,10
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau
menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari 1) tulang hidung (os
nasalis, 2) prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal. Sedangkan
kerangka tulang rawan terdiri dari.1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2)
sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (kartilago ala mayor), 3) beberapa pasang
kartilago ala minor, dan 4) tepi inferior kartilago septum. 1,10
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang,
dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri.
Pintu atau lubang masuk kavum nasi di bagian depan disebut nares anterior dan
lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi
dengan nasofaring. 1,4,10
Septum bagian luar dilapisi oleh mukosa hidung. Bagian depan dinding hidung
licin, yang disebut agar nasi dan di belakangnya terdapat konka-konka yang mengisi
sebagian besar dinding lateral hidung.1
Pada dinding lateral terdapat 4 konka, dari yang terbesar sampai yang terkecil
adalah konka inferior, konka media, konka superior, dan konka suprema. Konka
suprema ini biasanya rudimeter. 1
Di antara konka-konka dan dinding laterla hidung terdapat rongga sepit yang
disebut meatus. Terdapat 3 meatus, yaitu meatus inferior, meatus media, dan meatus

2
superior. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimaris, pada
meatus media terdapat muara sinus frontalis, sinus maksilaris, dan sinus etmoid
anterior. Sedangkan pada meatus superior bermuara sinus etmoid posterior dan sinus
sfenoid.1,10
Pendarahan hidung berasal dari a. maksilaris interna (bagian bawah hidung), a.
fasialis (bagian depan hidung). Bagian depan anastomosis dari cabang a.
sfenopalatina, a. etmoid anterior, a. labialis superior, dan a. palatina mayor, yang
1
disebut pleksus Kieselbach. Vena-vena membentuk pleksus yang luas di dalam
submucosa. Pleksus ini dialirkan oleh vena-vena yang menyertai arteri.10
Persarafan hidung pada bagian depan dan atas, saraf sensoris n. etmoid anterior
(cabang n. nasolakrimalis, cabang N. oftalmikus). Rongga hidung lainnya saraf
sensoris n. maksila. Saraf vasomotor (autonom) melalui ganglion sfenopalatinum. 1

Gambar 1: Anatomi External Hidung

3
Gambar 2: Anatomi Dinding Lateral Hidung

Mukosa hidung berdasar histologik dan fungsional dibagi atas mukosa


pernapasan dan mukosa penghidu (olfaktorius). Mukosa pernapasan terdapat pada
sebagian besar rongga hidung berupa epitel torak berlapis semu yang mempunyai
silia dan di antaranya terdapat sel goblet. Pada bagian yang lebih sering terkena aliran
udara mukosanya lebih tebal dan kadang-kadang berubah menjadi epitel skuamosa. 1
Dalam keadaan normal mukosa berwarna merah muda dan selalu basah karena
diliputi oleh palut lendir pada permukaannya yang dihasilkan oleh kelenjar mukosa
dan sel-sel goblet. Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai arti penting
dalam mobilisasi palut lendir di dalam kavum nasi yang didorong ke arah nasofaring.1
Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan
sepertiga bagian atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak berlapis semu yang
tidak bersilia. 1
Mukosa sinus paranasal berhubungan langsung dengan mukosa rongga hidung
di daerah ostium. Mukosa sinus menyerupai mukosa hidung, hanya lebih tipis dan
sedikit mengandung pembuluh darah. 1
2.2. Definisi

4
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh alergi pada pasien
yang atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta
dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen
spesifik tersebut.1
Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma)
tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa
gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh
IgE.1

2.3. Epidemiologi
Prevalensi rinitis di dunia saat ini mencapai 10-25% atau lebih dari 600 juta
penderita dari seluruh etnis dan usia.2 Di Amerika Serikat, lebih dari 40 juta warganya
menderita rhinitis alergi. Rinitis alergi pada anak lebih sering terjadi pada anak laki-
laki dibandingkan anak perempuan, sedangkan pada dewasa prevalensi rinitis alergi
laki-laki sama dengan perempuan. Sekitar 80% kasus rhnitis alergi berkembang mulai
usia 20 tahun. Insidensi rinitis alergi pada anak-anak 40% dan menurun sejalan
dengan usia.3 Di Indonesia belum ada angka yang pasti, tetapi di Bandung prevalensi
rinitis alergi pada usia 10 tahun ditemukan cukup tinggi (5,8%).2

2.4. Etiologi
Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas:1,3,5
1. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan, misalnya tungau
debu rumah, kecoa, serpihan epitel kulit binatang, rerumputan, serta jamur.
2. Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu,
sapi, telur, coklat, ikan laut, udang kepiting, dan kacang-kacangan.
3. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin
dan sengatan lebah.

5
4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa,
misalnya bahan kosmetik, perhiasan.

2.5. Patogenesis
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap
sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari
2 fase yaitu Immediate Phase Allergic Reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC)
yang berlangsung sejak kontak dengan allergen sampai satu jam setelahnya dan Late
Phase Allergic Reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4
jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiper-reaktifitas) setelah pemaparan dan dapat
berlangsung sampai 24-48 jam.1,6
Pada kontak pertama dengan allergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau
monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan
menangkap allergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses,
antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul
HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major Histocompatibility
Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T Helper (Th0). Kemudian sel
penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL1) yang akan mengaktifkan Th0
untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilakan berbagai sitokin
seperti IL3, IL4, IL5, dan IL13. IL4 dan IL13 dapat diikat oleh reseptornya di
permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan
memproduksi IgE. IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh
reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel
ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang
tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan allergen yang
sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat allergen spesifik dan terjadi degranulasi
(pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia
yang sudah terbentuk (Preformed Mediators) terutama histamine. Selain itu juga

6
dikeluarkan Newly Formed Mediators, antara lain prostaglandin D2 (PGD2),
Leukotrein D4 (LTD4), Leukotrein C4 (LTC4), bradikinin, Platelet Activating Factor
(PAF) dan berbagai sitokin. Inilah yang disebut sebagai reaksi alergi fase cepat
(RAFC).1
Histamine akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga
menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamine juga akan
menyebabkan sel mukosa dan sel goblet megalami hipersekresi dan permeabilitas
kapiler meningkat sehingga terjadi rinorea. Gejala lain dalah hidung tersumbat akibat
vasodilatasi sinusoid. Selain histamine merangsang ujung saraf vidianus, juga
menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter
Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1).1
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eusinofil dan noutrofil di jaringan target. Timbulnya
gejala hiperaktif atau hiper responsive hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan
mediator inflamasi dari granulnya seperti ECP, EDP, MBP, EPO. Pada fase ini, selain
factor spesifik (allergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala
seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca, dan kelembaban udara
yang tinggi.1

7
Gambar 3: Patogenesis Rinitis Alergi

2.6. Gambaran Histologik


Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh darah dengan
pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mucus. Terdapat juga pembesaran ruang
inter seluler dan penebalan membrane basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel
eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa hidung.1

2.7. Klasifikasi
Berdasarkan sifat berlangsungnya rinitis alergi dibagi menjadi: 1,6,7
1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis). Rinitis hanya ada di negara
yang mempunyai 4 musim. Allergen penyebabnya spesifik, yaitu tepungsari
(pollen), rerumputan, dan spora jamur.
2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial). Gejala penyakit ini timbul intermiten
atau terus menerus, tanpa variasi musim. Penyebab yang paling sering ialah
alergen inhalan dan alergen ingestan.

Berdasarkan WHO Initiative ARIA, rinitis alergi berdasarkan sifat


berlangsungnya dibagi menjadi:1,11
1. Intermitten (kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang
dari 4 minggu.
2. Persisten/ menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4 minggu.

Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi


menjadi:1
1. Ringan bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan akivitas harian, bersantai,
berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.
2. Sedang-berat bila terdapat salah satu atau lebih dari gangguan tersebut di atas.

8
2.8. Gejala Klinis
Gejala klinis pada rinitis alergi adalah bersin berulang pada pagi hari, keluar
ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang
kadang-kadang disertai dengan banyak keluar air mata (lakrimasi).1,3,4,6,7
Awitan gejala timbul cepat setelah paparan allergen dapat berupa bersin, mata
atau palatum yang gatal berair, rinore, hidung gatal, hidung tersumbat.3,5,12 Pada mata
dapat menunjukkan gejala berupa mata merah, gatal, conjungtivitis, mata terasa
terbakar, dan lakrimasi.3,8 Pada telinga bisa dijumpai gangguan fungsi tuba, efusi
telinga bagian tengah.6,8

2.9. Diagnosis
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:1
a. Anamnesis
Pada anamnesis didapati keluhan serangan bersin yang berulang. Bersin ini
merupakan gejala pada RAFC dan kadang-kadang RAFL sebagai akibat
dilepaskannya histamin. Gejala lain adalah keluar ingus (rinore) yang encer dan
banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai
dengan banyak keluar air mata (lakrimasi).1
Riwayat penyakit alergi dalam keluarga perlu ditanyakan. Pasien juga perlu
ditanya gangguan alergi selain yang menyerang hidung, seperti asma, eczema,
urtikaria, atau sensitivitas obat. Keadaan lingkungan kerja dan tempat tinggal juga
perlu ditanya untuk mengaitkan awitan gejala. 3,4
b. Pemeriksaan Fisik
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema basah, berwarna pucat atau
livid disertai adanya secret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa
inferior tampak hipertofi.1

9
Gejala spesifik lain pada anak adalah adanya bayangan gelap di daerah
bawah mata yang terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung.
Gejala ini disebut allergic shiner. Selain itu juga tampak anak menggosok-gosok
hidung, karena gatal dengan punggung tangan. Keadaan ini disebut allergig salute.
Menggosok-gosok hidung mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsum
nasi bagian sepertiga bawah yang disebut allergic crease. Mulut sering terbuka
dengan lengkung langit-langit yang tinggi, sehingga akan menyebabkan gangguan
pertumbuhan gigi-geligi (facies adenoid). Dinding posterior faring tampak
granuler dan edema (cobblestone appearance), serta dinding lateral faring
menebal. Lidah tampak seperti gambaran peta (geographic tongue).1,3,7,8

Gambar 4. Alur Diagnosis Rinitis alergi

10
c. Pemeriksaan Penunjang1
Invitro :
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula
pemeriksaan IgE total seringkali menunjukkan nilai normal.
Invivo :
Allergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji
intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-Point Titration/
SET). SET dilakukan untuk allergen inhalan dengan menyuntikkan allergen dalam
berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya.
Untuk allergen makanan, uji kulit Intracutaneus Provocative Dilutional Food Test
(IPDFT), namun sebagai baku emas dapat dilakukan dengan diet eliminasi dan
provokasi (Challenge Test).

2.10. Diagnosis Banding


Diagnosa Banding dari rinitis alergi adalah:13
1. Rinitis vasomotor
2. Rinitis infeksi

2.11. Penatalaksanaan
a. Terapi yang paling ideal dengan menghindari kontak dengan allergen penyebab
dan eliminasi.1,3,5,6,8,11,12
b. Medikamentosa1,6
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamin H-1 yang bekerja
secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target. Pemberian dapat dalam
kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral.
Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin generasi-
1 (klasik) dan generasi-2 (non-sedatif). Antihistamin generasi-1 bersifat lipofilik
sehingga dapat menembus sawar darah otak dan plasenta serta mempunyai efek

11
kolinergik. Yang termasuk kelompok ini antara lain adalah difenhidramin,
klorfeniramin, prometasin, siproheptadin. Antihistamin generasi-2 bersifat
lipofobik, sehingga sulit menembus sawar darah otak. Bersifat selektif mengikat
reseptor H-1 perifer dan tidak mempunyai efek antikolinergik, antiadrenergik dan
efek pada SSP minimal.
Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung akibat
respon fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain.
c. Operatif1
Tindakan konkotomi parsial, konkoplasti atau multiple outfractured, inferior
turbinoplasty perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berta dan tidak
berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor
asetat.
d. Imunoterapi 1,3,6,8
Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat
dan sudah berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak memberikan
hasil yang memuaskan.
e. Edukasi Pasien 3,11
Memberikan edukasi pada pasien utnuk menghindari bahan-bahan yang
merupakan allergen.

2.12. Komplikasi
Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah:1,3,7,13
1. Polip hidung.
2. Otitis media
3. Sinusitis paranasal
4. Gangguan fungsi tuba eustachius

12
2.13. Prognosis
Kebanyakan gejala rintis alergi dapat diobati. Pada kasus yang lebih parah dapat
memerlukan imunoterapi. Beberapa orang (terutama anak-anak) semakin dewasa
akan semakin kurang sensitif terhadap. Namun, sebagai aturan umum, jika suatu zat
menjadi penyebab alergi bagi seorang individu, maka zat tersebut dapat terus
mempengaruhi orang itu dalam jangka panjang.14

13
BAB III
KESIMPULAN

Rintis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore,
rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai
oleh IgE. Alergen dapat berupa Alergen inhalan misalnya tungau debu rumah, kecoa,
serpihan epitel kulit binatang, rerumputan, serta jamur, alergen ingestan yang masuk
ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, sapi, telur, coklat, ikan laut, udang
kepiting, dan kacang-kacangan, alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau
tusukan, misalnya penisilin dan sengatan lebah, dan alergen kontaktan, yang masuk
melalui kontak kulit atau jaringan mukosa, misalnya bahan kosmetik, perhiasan.
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis dijumpai keluhan dan gejala berupa
bersin, keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan
mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak keluar air mata (lakrimasi).
pada anamnesis perlu diatanyakan riwayat keluarga, riwayat tempat tinggal dan
lingkungan pekerjaan. Pada pemeriksaan fisik, pada rinoskopi anterior dijumpai
mukosa edema basah, berwarna pucat atau livid disertai adanya secret encer yang
banyak.
Penatalaksanaan dari rinitis alergi adalah menghindari kontak dengan allergen,
medikamentosa, operatif, imunoterapi, dan edukasi kepada pasien. Komplikasi yang
sering terjadi pada rinitis alergi adalah polip hidung, otitis media, gangguan fungsi
tuba dan sinusitis paranasal.

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Irawati, N., Kasakeyan, E., Rusmono, N. Rinitis Alergi. Dalam: Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telonga Hidung Tenggorok Kepala Leher Edisi keenam. Jakarta: Balai
Penerbit FK UI; 2007; 128-134.
2. Sudiro, M., Madiadipoera, T., Purwanto, B. Eosinofil Kerokan Mukosa Hidung
Sebagai Diagnostik Rinitis Alergi. MKB volume 42 No 1; 2010. hslm 6-11.
3. Sheikh, J. Allergic Rhinitis. Available from: http://emedicine.medscape.
com/article/134825. [Accessed 2 Mei 2017].
4. Adams, G., Boies, L R., Higler, P A. Penyakit Hidung. Dalam : Boies Buku Ajar
Penyakit THT Edisi keenam. Jakarta: EGC; 1997; 210-218.
5. Snow, J B., Ballenger, J J. Allergic Rhinitis. In: Ballengers Otorhinolaryngology
Head and Neck Surgery Edition 9th. Spain: BC Decker; 2003; 708-731.
6. Dhingra, PL. Allergic Rhinitis. In : Disease of Ear, Nose and Throat fourth
edition. Elsevier. 157-159.
7. Mabry, R., Marple, B. Allergic Rhinitis. In:Cummings Otolaryngologi Head
Neck Surgery Fourth Edition. USA: Elsevier. 2005; 982-988.
8. Pasha, R. Allergy and Rhinitis. In: Otolaryngolongy Head and Neck Surgery
Clinical Reference Giude. Singular Thomson Learning; 28-33.
9. Karya, I W., Aziz, A., Rahardjo S P., Djufri, N I. Pengaruh Rinitis Alergi (ARIA
WHO 2001) terhadap Gangguan Fungsi Ventilasi Tuba Eustachius. Cermin Dunia
Kedokteran 166 volume 37 (7). 2008; 405-410.
10. Snell, R S. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran Edisi 6. Jakarta: EGC.
2006; 803-805.
11. ARIA. ARIA At A Glance Pocket Reference 2007 1st Edition. 2007.
12. Plaut, M., Valentine, M D. Allergic Rhinitis. The New England Journal of
Medicine 353;18. 2005; 1934-1943.
13. Harsono, Ariyanto, Endaryato, Anang. Rinitis Alergika. Diunduh dari :
http://www.pediatrik.com/isi03.php?
page=html&hkategori=pdt&direktori=pdt&filepdf=0&pdf=&html=07110-
bfxu225.htm. [Diakses 2 Mei 2017].

15
14. National Library of Medicine. Allergic Rhinitis. Diunduh dari :
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000813.htm. [Diakses 2 Mei
2017].

16

Anda mungkin juga menyukai