Miasthenia Gravis
Miasthenia Gravis
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu kelemahan abnormal
dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-menerus dan disertai dengan
kelelahan saat beraktivitas. Penyakit ini timbul karena adanya gangguan dari
synaptictransmission atau pada neuromuscular junction. Gangguan tersebut akan mempengaruhi
transmisi neuromuscular pada otot tubuh yang kerjanya dibawah kesadaran seseorang (volunter).
Karakteristik yang muncul berupa kelemahan yang berlebihan, dan umumnya terjadi kelelahan
pada otot-otot volunter dan hal itu dipengaruhi oleh fungsi saraf cranial (Dewabenny,2008).
Miastenia gravis merupakan sindroma klinis akibat kegagalan transmisi neuromuskuler yang
disebabkan oleh hambatan dan destruksireseptor asetilkolin oleh autoantibodi. Sehingga dalam
hal ini, miasteniagravis merupakan penyakit autoimun yang spesifik organ. Antibodi reseptor
asetilkolin terdapat didalam serum pada hampir semua pasien. Antibodi ini merupakan antibodi
IgG dan dapat melewati plasenta pada kehamilan. (Chandrasoma dan Taylor, 2005).
2.2 Klasifikasi
Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA), miastenia gravis dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
Kelas I Adanya kelemahan otot-otot ocullar, kelemahan pada saat
menutup mata dan kekuatan otot-otot lain normal
Kelas II Terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta
adanya kelemahan ringan pada otot-otot lain selain otot okular.
Kelas IIa Mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya.
Juga terdapat kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan
Kelas IIb Mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau
keduanya. Kelemahan pada otot-otot anggota tubuh dan otot-
otot aksial lebih ringan dibandingkan klas IIa.
Kelas III Terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular.
Sedangkan otot-otot lain selain otot-otot ocular mengalami
kelemahan tingkat sedang
Kelas III a Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau
keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot
orofaringeal yang ringan
Kelas III b Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau
keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot-otot
anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dalam derajat
ringan.
Kelas IV Otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan
dalam derajat yang berat, sedangkan otot-otot okular
mengalami kelemahan dalam berbagai derajat
Kelas IV a Secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh dan
atau otot-otot aksial. Otot orofaringeal mengalami kelemahan
dalam derajat ringan
Kelas IV b Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau
keduanya secara predominan. Selain itu juga terdapat
kelemahan pada otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau
keduanya dengan derajat ringan. Penderita menggunakan
feeding tube tanpa dilakukan intubasi.
Kelas V Penderita ter-intubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik.
2.2 Etiologi
Kelainan primer pada Miastenia gravis dihubungkan dengan gangguan transmisi pada
neuromuscular junction, yaitu penghubung antara unsur saraf dan unsur otot. Pada ujung akson
motor neuron terdapat partikel-partikel globuler yang merupakan penimbunan asetilkolin (ACh).
Jika rangsangan motorik tiba pada ujung akson, partikel globuler pecah dan Ach dibebaskan
yang dapat memindahkan gaya saraf yang kemudian bereaksi dengan ACh Reseptor (AChR)
pada membran postsinaptik. Reaksi ini membuka saluran ion pada membran serat otot dan
menyebabkan masuknya kation, terutama Na, sehingga dengan demikian terjadilah kontraksi
otot. Penyebab pasti gangguan transmisi neromuskuler pada Miasteniagravis tidak diketahui.
Dulu dikatakan, pada Miastenia gravis terdapat kekurangan ACh atau kelebihan kolinesterase,
tetapi menurut teori terakhir, faktor imunologiklah yang berperanan (Qittun, 2008).
2.3 Epidemologi
Miastenia gravis merupakan penyakit yang jarang ditemui, dan dapat terjadi pada berbagai usia.
Biasanya penyakit ini lebih sering tampak padausia 20-50 tahun. Wanita lebih sering menderita
penyakit ini dibandingkan pria. Rasio perbandingan wanita dan pria yang menderita miastenia
gravisadalah 3 : 1. Pada wanita, penyakit ini tampak pada usia yang lebih muda, yaitu sekitar 20
tahun, sedangkan pada pria, penyakit ini sering terjadi padausia 40 tahun. Pada bayi, sekitar 20%
bayi yang dilahirkan oleh ibu penderita Miastenia gravis akan memiliki miastenia tidak
menetap/transient (kadang permanen) (Dewabenny, 2008).
2.4 Patogenesis
Sebelum tahun 1973, kelainan transmisi neuromuskuler pada Miastenia gravis dianggap karena
kekurangan ACh. Dengan ditemukan antibodi terhadap AChR (anti-AChR), baru diketahui,
gangguan tersebut adalah suatu proses imunologik yang menyebabkan jumlah AChR pada
membran postsinaptik berkurang. Anti-AChR ditemukan pada 80 - 90% penderita. Adanya
proses imunologik pada Miastenia gravis sudah diduga oleh Simpson dan Nastuk pada tahun
1960. Selain itu, dalam serum penderita Miastenia gravis juga dijumpai antibodi terhadap
jaringan ototserat lintang 30 - 40% dan antibodi antinuklear 25%. Kadar anti-AChR pada
Miastenia gravis bervariasi antara 2-1000nMol/L, dan kadar ini berbeda secara individu. Anti-
AChR ini akan mempercepat penghancuran AChR, tetapi tidak menghambat pembentukanAChR
baru. Sebagai akibat proses imunologik, membran postsinaptik mengalami perubahan sehingga
jarak antara ujung saraf dan membran post sinaptik bertambah lebar dengan demikian
kolinesterase mendapat kesempatan lebih banyak untuk menghancurkan Ach . Gejala klinik
Miastenia gravis akan timbul bila 75% AChR tidak berfungsi, atau jumlahnya berkurang 1/3 dari
normal (Endang Thamrin dan P. Nara, 1986).
1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer merupakan suatu bentuk pencegahan yang dilakukan pada saat individu
belum menderita sakit. Bentuk upaya yang dilakukan yaitu dengan cara promosi kesehatan atau
penyuluhan degan cara memberikan pengetahuan bagaimana penanggulangan dari penyakit
Miastenia gravis yang dapat dilakukan dengan;
a. Memberi pengetahuan untuk tidak mengkonsumsi minum-minuman beralkohol, khususnya
apabila minuman keras tersebut dicampur dengan air soda yang mengandung kuinin. Kuinin ini
merupakan suatu obat yang memudahkan terjadinya kelemahan otot.
b. Menjaga kondisi untuk tidak kelelahan dalam melakukan pekerjaan dan menjaga kondisi
untuk tidak stres. Karena kebanyakan pasien-pasien Miastenia gravis ini terjadi pada saat mereka
dalam kondisi yang lelah dan tegang.
2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan ini ditujukan pada individu yang sudah mulai sakit dan menunjukkan adanya tanda
dan gejala. Pada tahap ini yang dapat dilakukan adalah dengan cara pengobatan antara lain
dengan mempengaruhi proses imunologik pada tubuh individu, yang bisa dilaksanakan dengan;
Timektomi, Kortikosteroid, Imunosupresif yangbiasanya menggunakan Azathioprine.
3. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier (rehabilitasi), pada bentuk pencegahan ini mengusahakan agar penyakit yang
di derita tidak menjadi hambatan bagi individu serta tidak terjadi komplikasi pada individu. Yang
dapat dilakukan dengan;
a. Mencegah untuk tidak terjadinya penyakit infeksi pada pernafasan. Karena hal ini dapat
memperburuk kelemahan otot yang diderita oleh individu.
b. Istirahat yang cukup
c. Pada Miastenia gravis dengan ptosis, yaitu dapat diberikan kacamata khusus yang
dilengkapi dengan pengait kelopak mata.
d. Mengontrol pasien Miastenia gravis untuk tidak minum obat-obatan tikolinesterase secara
berlebihan.
2.7 Penatalaksanaan
Pada pasien dengan Miastenia gravis harus belajar dalam batasan yang ditetapkan oleh penyakit
yang mereka derita ini. Mereka memerlukan tidur selama 10 jam agar dapat bangun dalam
keadaan segar, dan perlu menyelingi kerja dengan istirahat. Selain itu mereka juga harus
menghindari factor-faktor pencetus dan harus minum obat tepat pada waktunya (SilviaA. Price,
Lorain M. Wilson. 1995).
Walaupun belum ada penelitian tentang strategi pengobatan yang pasti, tetapi Miastenia gravis
merupakan kelainan neurologik yang paling dapat diobati. Antikolinesterase (asetilkolinesterase
inhibitor) dan terapi imunomudulasi merupakan penatalaksanaan utama pada miastenia gravis.
Antikolinesterase biasanya digunakan pada miastenia gravis yang ringan. Sedangkan pada pasien
dengn miastenia gravis generalisata, perlu dilakukan terapi imunomudulasi yang rutin.
Terapi imunosupresif dan imunomodulasi yang dikombinasikan dengan pemberian antibiotik dan
penunjang ventilasi, mampu menghambat terjadinya mortalitas dan menurunkan morbiditas pada
penderita miastenia gravis. Pengobatan ini dapat digolongkan menjadi terapi yang dapat
memulihkan kekuatan otot secara cepat dan terbukti memiliki onset lebih lambat tetapi memiliki
efek yang lebih lama sehingga dapat mencegah terjadinya kekambuhan (Endang Thamrin dan P.
Nara, 1986).
Secara garis besar, pengobatan Miastenia gravis berdasarkan 3 prinsip, yaitu
1. Mempengaruhi transmisi neuromuskuler:
a. Istirahat
Dengan istirahat, banyaknya ACh dengan rangsangan saraf akan bertambah sehingga serat-serat
otot yang kekurangan AChR di bawah ambang rangsang dapat berkontraksi.
b. Memblokir pemecahan Ach
Dengan anti kolinesterase, seperti prostigmin, piridostigmin, edroponium atau ambenonium
diberikan sesuai toleransi penderita, biasanya dimulai dosis kecil sampai dicapai dosis optimal.
Pada bayi dapat dimulai dengan dosis 10 mg piridostigmin per os dan pada anak besar 30 mg,
kelebihan dosis dapat menyebabkan krisis kolinergik.
2. Mempengaruhi proses imunologik
a. Timektomi
Tujuan neurologi utama dari Thymectomi ini adalah tercapainya perbaikan signifikan dari
kelemahan pasien, mengurangi dosis obat yang harus dikonsumsi pasien, serta idealnya adalah
kesembuhan yang permanen dari pasien. Timektomi dianjurkan pada MG tanpa timoma yang
telah berlangsung 3-5 tahun. Dengan timektomi, setelah 3 tahun 25% penderita akan
mengalami remisi klinik dan40-50% mengalami perbaikan.
b. Kortikosteroid
Diberikan prednison dosis tunggal atau alternating untuk mencegah efek samping. Dimulai
dengan dosis kecil, dinaikkan perlahan-lahan sampai dicapai dosis yang diinginkan. Kerja
kortikosteroid untuk mencegah kerusakan jaringan oleh pengaruh imunologik atau bekerja
langsung pada transmisi neromuskuler.
c. Imunosupresif
Yaitu dengan menggunakan Azathioprine, Cyclosporine, Cyclophosphamide (CPM). Namun
biasanya digunakan azathioprin (imuran) dengan dosis 2 mg/kg BB. Azathioprine merupakan
obat yang secara relatif dapat ditoleransi dengan baik oleh tubuh dan secara umum memiliki efek
samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan obat imunosupresif lainnya. Perbaikan lambat
sesudah 3-12 bulan. Kombinasi azathioprine dan kortikosteroid lebih efektif yang dianjurkan
terutama pada kasus-kasus berat.
d. Plasma exchange
Berguna untuk mengurangi kadar anti-AChR; bila kadar dapat diturunkan sampai 50% akan
terjadi perbaikan klinik.
3. Penyesuaian penderita terhadap kelemahan otot
Tujuannya agar penderita dapat menyesuaikan kelemahan otot dengan:
a. Penjelasan mengenai penyakitnya untuk mencegah problem psikis.
b. Alat bantuan non medika mentosa Pada Miastenia gravis dengan ptosis diberikan kaca mata
khususyang dilengkapi dengan pengkait kelopak mata. Bila otot-otot leher yang kena, diberikan
penegak leher. Juga dianjurkan untuk menghindari panas matahari, mandi sauna, makanan yang
merangsang, menekan emosi dan jangan minum obat-obatan yang mengganggu transmisi
neuromuskuler seperti B-blocker, derivat kinine, phenintoin, benzodiazepin, antibiotika seperti
aminoglikosida, tetrasiklin dan d-penisilamin.
2.8 Prognosis
Pada anak, prognosis sangat bervariasi tetapi relatif lebih baik daripada orang dewasa. Dalam
perjalanan penyakit, semua otot serat lintang dapat diserang, terutama otot-otot tubuh bagian
atas, 10% Miastenia gravis tetap terbatas pada otot-otot mata, 20% mengalami insufisiensi
pernapasan yang dapat fatal, 10%,cepat atau lambat akan mengalami atrofi otot. Progresi
penyakit lambat, mencapai puncak sesudah 3-5 tahun, kemudian berangsur-angsur baik dalam
15-20 tahun dan 20% antaranya mengalami remisi. Remisi spontan pada awal penyakit terjadi
pada 10% Miasteniagravis (Endang Thamrin dan P. Nara, 1986).
BAB 3
Asuhan Keperawatan
Dengan Miesthania Gravis
3.1 Pengkajian
a) Anamnesis
Identitas klien :
Nama : Tn. X
Alamat : Jl. Sudirman no. 42 Cimahi, Bandung
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 60 Th
Status : Menikah
Agama : Islam
Keluhan utama :
Kelemahan otot
Riwayat kesehatan :
Diagnosa miasenia didasarkan pada riwayat dan pesentasi klinis. Riwayat kelemahan otot
setelah aktivitas dan pemulihan kekuatan pasial setelah istirahat sangatlah menunukkan
miastenia gravis, pasien mugkin mengeluh kelemahan setelah melakukan pekerjaan fisik yang
sederhana . riwayat adanya jatuhnya kelopak mata pada pandangan atas dapat menjadi
signifikan, juga bukti tentang kelemahan otot.
Pemeriksaan Fisik
1. - Keadaan umum : 1. Keadaan Umum
- Tingkat kesadaran :
- GCS :
- TTV :
TD : mmHg
N : x/menit
S : oC
RR : x/menit
2. Pengkajian persistem
a. Sistem integumen
Kaji warna kulit, turgor kulit, kelembaban kulit, akral, kebersihan rambut dan kuku.
b. Sistem penginderaan
Kaji bentuk mata, hidung, telinga, mukosa bibir, ada atau tidaknya lesi.
c. Sistem pernafasan
Kaji bentuk dada, irama dan frekuensi nafas.
d. Sistem cardiovaskuler
Kaji irama dan frekuensi denyut nadi
e. Sistem pencernaan
Biasanya klien mengalami kesulitan mengunyah dan menelan
f. Sistem perkemihan
Biasanya mengalami inkontinensia urine
g. Sistem muskuluskeletal
Biasanya klien mengalami kelemahan otot pada bagian tertentu.
h. System persarafan
Saraf I : Biasanya pada klien epilepsi tidak ada kelainan dan fungsi penciuman tidak ada
kelainan
Saraf II : Penurunan pada tes ketajaman penglihatan, klien sering mengeluh adanya penglihatan
ganda
Saraf III, IV dan VI : Sering didaptkan adanya ptosis. Adanya oftalmoglegia (dapat dilihat pada
gambar 8-5), mimik dari pseudointernuklear oftalmoglegia akibat gangguan motorik pada saraf
VI
Saraf V : Didapatkan adanya paralisis pada otot wajah akibat kelumpuhan pada otot-otot wajah.
SarafVII : Persepsi pengecapan teganggu akibat adanya gangguan motorik lidah/triple-furrowed
lidah
Saraf VIII : Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi
Saraf IX dan X : Ketidakmampuan dalam menelan
Saraf XI : Tidak ada atrofi otot sternoklidomastoideus dan trapezius
Saraf XII : Lidah tidak simetris, adanya deviasi pada satu sisi akibat kelemahan otot motorik
pada lidah/triple-furrowed lidah
CT Scan
3. 2. Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan data pengkajian, diagnosa keperawatan meliputi hal berikut :
1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kelemahan ototpernapasan.
2. Gangguan aktivitas sehari-hari berhubungan dengan kelemahanfisik umum, keletihan.
3. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan disfonia,gangguan pengucapan kata,
gangguan neuromuskular, kehilangankontrol tonus otot fasial atau oral.
4. Gangguan citra diri berhubungan dengan ptosis, ketidakmampuan komunikasi verbal.
3.3 Analisa Data
1. Do: Otot Ketidakefektifan pola napas
Perubahan
gerakan dada pernapasan
Penurunan
tekana Kelemahan otot-
ekspirasi/inspirasi otot pernapasan
Napas dalam
Pernapasan
cuping hidung. Ketidak
Ds : mampuan batuk
Dispnea efektif
Napas pendek
Ds: -
Suara abnormal
ketidak
mampuan
menutup rahang
2. Pendidik
Perawat harus mengajarkan atau memberi pendidikan baik padaklien ataupun pada keluarga
mengenai penatalaksaan jangka panjang dalam penanganan pemyakit Miastenia gravis ini.
Sehingga diharapkan klien dan keluarga dapat memahami dengan baik tentang proses penyakit
kronis yang memungkinkan dapat mengenali gejala yang bisa menimbulkan komplikasi yang
lebih lanjut.
3. Pengawas kesehatan
Perawat perlu mengawasi klien dengan cara melakukan kunjungan rumah (home visit) secara
periodik yang bertujuan untukmengetahui sebagaimana jauh perkembangan setelah menjalani
pengobatan dan perawatan.
4. Konsultan
Perawat sebagai narasumber baik pada klien maupun keluargadalam mengatasi masalah yang
timbul, seperti bila tidak mengetahui atau lupa dalam memberikan obat-obatan baik kapan
maupun jumlah dosis, maka perawat perlu memberikan nasehat kepada mereka.Waktu yang tepat
dalam pemberian obat sesuai dosis yang akurat berkaitan dengan peningkatan kebutuhan energy.
Dengan memberikan obat sebelum makan akan memberikan kekuatan otot untuk mengunyah
makanan.
5. Kolaborasi
Perawat harus mampu berkolaborasi atau bekerja sama dengan tenaga kesehatan lain yang sesuai
dengan penanganan pada masalah klien. Dengan adanya kerjasama ini, maka pemberian asuhan
keperawatan bisa sesuai dengan pengobatan yang seharusnya diberikan.
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, Lynda Juall. 1995. Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan: Diagnosa Keperawatan dan
Masalah Kolaboratif . Edisi 2. Jakarta: PenerbitBuku Kedokteran EGC, hal: 293-297
Chandrasoma, Parakrama, Clive R.Taylor. 2005. Ringkasan Patologi Anatomi. Edisi 2. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC, hal: 869-871
Dewabenny. 2008. Miastenia Gravis. http://dewabenny.com/ 2008/ 07/12/ miastenia-gravis. (3
September 2009)
Endang Thamrin dan P. Nara. 1986. Cermin Dunia Kedokteran. No. 41, 1986.Jakarta: Pusat
Penelitian dan Pengembangan PT. Kalbe Farma, hal: 40-42
Mubarak, Husnul. 2008. Miastenia gravis. http://cetrione.blogspot.com/ 2008/06/miastenia-
gravis.html. (3 September 2009)
Silvia A. Price, Lorain M. Wilson. 1995. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses- proses Penyakit. Edisi 4.
Buku 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC,hal: 998 1003
Qittun. 2008. Asuhan keperawatan dengan Miastenia
Gravis.http://qittun.blogspot.com/2008/05/asuhan-keperawatan-dengan-miastenia.html. (3
September 2009)