Anda di halaman 1dari 30

Referat

CARCINOMA HEPATOCELLULAR DAN PENATALAKSANAANNYA

Disusun Oleh:
Fery Ardi Kurniawan G99151023
Cakradenta Yudha P G99151024
Dyah Rohmi Nugraheni G99151025
Bayu Prasetyo G99151026

Pembimbing:
dr. Prasetyo Sarwono P, Sp.Rad

KEPANITERAAN ILMU RADIOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2016
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kanker hati merupakan kanker dengan urutan nomor 5 paling sering
dijumpai pada pria, dan nomor 9 pada wanita (Ferlay et al., 2012), dengan
hepatoseluler karsinoma (HCC) terhitung untuk >90% dari kasus primer kanker
hati (EASL-EORTC, 2012). Pada tahun 2012, kurang lebih 782.000 kasus baru
dan 746.000 kematian disebabkan karena kanker hati di dunia, menjadikan
kanker hati penyebab kematian nomor dua untuk kasus kematian yang
disebabkan oleh kanker (setelah kanker paru) (Ferlay et al., 2012). Beban
terbesar dari HCC terdapat pada negara yang sedang berkembang, dengan
kasus di Asia bagian Timur dan Tenggara, dan Afrika bagian tengah dan barat
yang terhitung lebih dari 80% total kasus, dan 50% dari seluruh kasus terjadi
hanya di Cina sendiri (Ferlay et al., 2012).
Pada sebagian besar kasus, HCC berkembang dari sirosis hepatis, dan
sirosis sendiri merupakan faktor risiko terkuat untuk penyakit ini (Llovet et al.,
2003). Variasi pada insidensi dan prevalensi dari HCC secara daerah geografis,
merupakan akibat dari perbedaan paparan dari faktor penyebab untuk sirosis,
seperti virus hepatitis B (HBV) di Asia dan Afrika bagian sub-Sahara dan virus
hepatitis C (HCV) di dunia bagian Barat dan Jepang (EASL-EORTC, 2012;
Llovet et al., 2003; El Serag, 2012). Masuknya fungal alfatoxin pada saluran
pencernaan juga telah diketahui sebagai faktor risiko mayor di Asia Tenggara
dan Afrika bagian sub-Sahara (El Serag and Rudolph, 2007). Walaupun
insidensi dari HCC telah menurun dibandingkan dahulu kala pada Amerika
Utara dan Eropa, terdapat bukti signifikan menunjukkan tren mengarah ke atas
di Amerika Serikat untuk beberapa tahun terakhir (Altekruse et al., 2009;
Howlader, et al., 2012), yang ditunjukkan dengan meningkatkan prevalensi dari
infeksi HCV (Dhanasekaran et al., 2012). Peningkatan pada obesitas dan
diabetes di seluruh dunia, terutama di Amerika Utara dan Eropa, merupakan
salah satu dari penyakit fatty liver non-alkohol yang secara signifikan
berkontribusi sebagai etiologi dari HCC (Dhanasekaran et al., 2012).
Terapi kuratif potensial untuk HCC seperti pembedahan (reseksi atau
transplantasi), abalasi radiofrekuensi (RFA), dan injeksi etanol perkutaneus
(PEI) dilakukan pada sekitar 30-40% dari pasien HCC di dunia yang
terdiagnosis dengan stadium sangat awal (Stage 0) atau awal (Stage A) (EASL-
EORTC, 2012; Bruix and Sherman, 2011; Shiina et al., 2012). Untuk pasien
dengan stadium tengah (Stage B) direkomendasikan untuk menjalani prosedur
kemoembolisasi transarterial (TACE) sebagai kontrol lokal dan terapi paliatif
(Llovet et al., 2003).
Antara 25-70% dari pasien dengan HCC terdiagnosis dengan stadium
lanjut, yang merupakan kategori yang tidak dapat disembuhkan (Altekruse et
al., 2009; Howlader, et al., 2012; Sloane, 2006; Carrilho et al., 2010; Thomas
et al., 2010). Pasien dengan HCC stadium lanjut memiliki pilihan terapi yang
terbatas, dan kemoterapi hanya memberikan keuntungan klinis yang minimal
(Thomas et al., 2010).
Komplikasi yang sering terjadi pada sirosis adalah asites, perdarahan
saluran cerna bagian atas, ensefalopati hepatika, dan sindrom hepatorenal.
Sindrom hepatorenal adalah suatu keadaan pada pasien dengan hepatitis kronik,
kegagalan fungsi hati, hipertensi portal, yang ditandai dengan gangguan fungsi
ginjal dan sirkulasi darah. Sindrom ini mempunyai risiko kematian yang tinggi
(Jacobson, 2009).

B. Batasan Masalah
Referat ini akan membahas tentang carcinoma hepatocellular khususnya
dari segi gambaran radiologis

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui tentang carcinoma hepatocellular dari definisi, epidemiolgi,
faktor resiko, manifestasi klinis, patogenesis, diagnosis, dan tatalaksana
2. Mengetahui gambaran radiologis pada carcinoma hepatocellular
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Kanker hati (hepatocellular carcinoma) adalah suatu kanker yang timbul
dari hati. Ia juga dikenal sebagai kanker hati primer atau hepatoma. Hati
terbentuk dari tipe-tipe sel yang berbeda (contohnya, pembuluh-pembuluh
empedu, pembuluh-pembuluh darah, dan sel-sel penyimpan lemak).
Bagaimanapun, sel-sel hati (hepatocytes) membentuk sampai 80% dari jaringan
hati. Jadi, mayoritas dari kanker-kanker hati primer (lebih dari 90 sampai 95%)
timbul dari sel-sel hati dan disebut kanker hepatoselular (hepatocellular cancer)
atau Karsinoma (carcinoma) (Rifai A, 1996).
Hepatoma (karsinoma hepatoseluler) adalah kanker yang berasal dari sel-
sel hati. Hepatoma merupakan kanker hati primer yang paling sering ditemukan.
Tumor ini merupakan tumor ganas primer pada hati yang berasal dari sel
parenkim atau epitel saluran empedu atau metastase dari tumor jaringan lainnya
(Singgih B, 2006).

B. Epidemiologi
Kanker hati adalah kanker kelima yang paling umum di dunia. Suatu
kanker yang mematikan, kanker hati akan membunuh hampir semua pasien-
pasien yang menderitanya dalam waktu satu tahun. Pada tahun 1990, organisasi
kesehatan dunia (WHO) memperkirakan bahwa ada kira-kira 430,000 kasus-
kasus baru dari kanker hati diseluruh dunia, dan suatu jumlah yang serupa dari
pasien-pasien yang meninggal sebagai suatu akibat dari penyakit ini. Sekitar tiga
per empat kasus-kasus kanker hati ditemukan di Asia Tenggara (China, Hong
Kong, Taiwan, Korea, dan Jepang). Kanker hati juga adalah sangat umum di
Afrika Sub-Sahara (Mozambique dan Afrika Selatan) (Singgih B, 2006) .
Frekuensi kanker hati di Asia Tenggara dan Afrika Sub-Sahara adalah
lebih besar dari 20 kasus-kasus per 100,000 populasi. Berlawanan dengannya,
frekuensi kanker hati di Amerika Utara dan Eropa Barat adalah jauh lebih
rendah, kurang dari lima per 100,000 populasi. Bagaimanapun, frekuensi kanker
hati diantara pribumi Alaska sebanding dengan yang dapat ditemui pada Asia
Tenggara. Lebih jauh, data terakhir menunjukan bahwa frekwensi kanker hati di
Amerika secara keseluruhannya meningkat. Peningkatan ini disebabkan
terutama oleh hepatitis C kronis, suatu infeksi hati yang menyebabkan kanker
hati (Rifai A, 1996).
Di Amerika frekuensi kanker hati yang paling tinggi terjadi pada
imigran-imigran dari negara-negara Asia, dimana kanker hati adalah umum.
Frekuensi kanker hati diantara orang-orang kulit putih (Caucasians) adalah yang
paling rendah, sedangkan diantara orang-orang Amerika keturunan Afrika dan
Hispanics, ia ada diantaranya. Frekuensi kanker hati adalah tinggi diantara
orang-orang Asia karena kanker hati dihubungkan sangat dekat dengan infeksi
hepatitis B kronis. Ini terutama begitu pada individu-individu yang telah
terinfeksi dengan hepatitis B kronis untuk kebanyakan dari hidup-hidupnya.

C. Faktor Risiko
1. Infeksi Hepatitis B
Peran infeksi virus hepatitis B (HBV) dalam menyebabkan
kanker hati telah ditegakkan dengan baik. Beberapa bukti menunjukkan
hubungan yang kuat. Seperti dicatat lebih awal, frekuensi kanker hati
berhubungan dengan (berkorelasi dengan) frekuensi infeksi virus
hepatitis B kronis. Sebagai tambahan, pasien-pasien dengan virus
hepatitis B yang berada pada risiko yang paling tinggi untuk kanker hati
adalah pria-pria dengan sirosis, virus hepatitis B dan riwayat kanker hati
keluarga. Mungkin bukti yang paling meyakinkan, bagaimanapun,
datang dari suatu studi prospektif yang dilakukan pada tahun 1970 di
Taiwan yang melibatkan pegawai-pegawai pemerintah pria yang
berumur lebih dari 40 tahun. Pada studi-studi ini, penyelidik-penyelidik
menemukan bahwa risiko mengembangkan kanker hati adalah 200 kali
lebih tinggi diantara pegawai-pegawai yang mempunyai virus hepatitis B
kronis dibandingkan dengan pegawai-pegawai tanpa virus hepatitis B
kronis.
Pada pasien-pasien dengan keduanya virus hepatitis B kronis dan
kanker hati, material genetik dari virus hepatitis B seringkali ditemukan
menjadi bagian dari material genetik sel-sel kanker. Diperkirakan, oleh
karenanya, bahwa daerah-daerah tertentu dari genom virus hepatitis B
(kode genetik) masuk ke material genetik dari sel-sel hati. Material
genetik virus hepatitis B ini mungkin kemudian mengacaukan/
mengganggu material genetik yang normal dalam sel-sel hati, dengan
demikian menyebabkan sel-sel hati menjadi bersifat kanker (Singgih B,
2006).

2. Infeksi Hepatitis C
Infeksi virus hepatitis C (HCV) juga dihubungkan dengan
perkembangan kanker hati. Di Jepang, virus hepatitis C hadir pada
sampai dengan 75% dari kasus-kasus kanker hati. Seperti dengan virus
hepatitis B, kebanyakan dari pasien-pasien virus hepatitis C dengan
kanker hati mempunyai sirosis yang berkaitan dengannya. Pada beberapa
studi-studi retrospektif-retrospektif (melihat kebelakang dan kedepan
dalam waktu) dari sejarah alami hepatitis C, waktu rata-rata untuk
mengembangkan kanker hati setelah paparan pada virus hepatitis C
adalah kira-kira 28 tahun. Kanker hati terjadi kira-kira 8 sampai 10 tahun
setelah perkembangan sirosis pada pasien-pasien ini dengan hepatitis C.
Beberapa studi-studi prospektif Eropa melaporkan bahwa kejadian
tahunan kanker hati pada pasien-pasien virus hepatitis C yang ber-sirosis
berkisar dari 1.4 sampai 2.5% per tahun.
Pada pasien-pasien cirus hepatitis C, faktor-faktor risiko
mengembangkan kanker hati termasuk kehadiran sirosis, umur yang
lebih tua, jenis kelamin laki, kenaikkan tingkat dasar alpha-fetoprotein
(suatu penanda tumor darah), penggunaan alkohol, dan infeksi
berbarengan dengan virus hepatitis B. Beberapa studi-studi yang lebih
awal menyarankan bahwa genotype 1b (suatu genotype yang umum di
Amerika) virus hepatitis C mungkin adalah suatu faktor risiko, namun
studi-studi yang lebih akhir ini tidak mendukung penemuan ini.
Caranya virus hepatitis C menyebabkan kanker hati tidak
dimengerti dengan baik. Tidak seperti virus hepatitis B, material genetik
virus hepatitis C tidak dimasukkan secara langsung kedalam material
genetik sel-sel hati. Diketahui, bagaimanapun, bahwa sirosis dari segala
penyebab adalah suatu faktor risiko mengembangkan kanker hati. Telah
diargumentasikan, oleh karenanya, bahwa virus hepatitis C, yang
menyebabkan sirosis hati, adalah suatu penyebab yang tidak langsung
dari kanker hati.
Pada sisi lain, ada beberapa individu-individu yang terinfeksi
virus hepatitis C kronis yang menderita kanker hati tanpa sirosis. Jadi,
telah disarankan bahwa protein inti (pusat) dari virus hepatitis C adalah
tertuduh pada pengembangan kanker hati. Protein inti sendiri (suatu
bagian dari virus hepatitis C) diperkirakan menghalangi proses alami
kematian sel atau mengganggu fungsi dari suatu gen (gen p53) penekan
tumor yang normal. Akibat dari aksi-aksi ini adalah bahwa sel-sel hati
terus berlanjut hidup dan reproduksi tanpa pengendalian-pengendalian
normal, yang adalah apa yang terjadi pada kanker (Singgih B, 2006).

3. Alkohol
Sirosis yang disebabkan oleh konsumsi alkohol yang kronis
adalah hubungan yang paling umum dari kanker hati di dunia (negara-
negara) yang telah berkembang.
Tatacara yang biasa adalah suatu individu dengan sirosis
akhoholik yang telah menghentikan minum untuk waktu 10 tahun, dan
kemudian mengembangkan kanker hati. Itu agaknya tidak umum untuk
pecandu minuman alkohol yang minum secara aktif untuk
mengembangkan kanker hati. Yang terjadi adalah bahwa ketika minum
alkohol dihentikan, sel-sel hati mencoba untuk sembuh dengan
regenerasi/reproduksi. Adalah selama regenerasi yang aktif ini bahwa
suatu perubahan genetik (mutasi) yang menghasilkan kanker dapat
terjadi, yang menerangkan kejadian kanker hati setelah minum alkohol
dihentikan.
Pasien-pasien yang minum secara aktif adalah lebih mungkin
untuk meninggal dari komplikasi-komplikasi yang tidak berhubungan
dengan kanker dari penyakit hati alkoholik (contohnya gagal hati). Tentu
saja, pasien-pasien dengan sirosis alkoholik yang meninggal dari kanker
hati adalah kira-kira 10 tahun lebih tua daripada pasien-pasien yang
meninggal dari penyebab-penyebab yang bukan kanker. Akhirnya,
seperti dicatat diatas, alkohol menambah pada risiko mengembangkan
kanker hati pada pasien-pasien dengan infeksi-infeksi virus hepatitis C
atau virus hepatitis B yang kronis.

4. Aflatoxin B1
Aflatoxin B1 adalah kimia yang diketahui paling berpotensi
membentuk kanker hati. Ia adalah suatu produk dari suatu jamur yang
disebut Aspergillus flavus, yang ditemukan dalam makanan yang telah
tersimpan dalam suatu lingkungan yang panas dan lembab. Jamur ini
ditemukan pada makanan seperti kacang-kacang tanah, beras, kacang-
kacang kedelai, jagung, dan gandum. Aflatoxin B1 telah dilibatkan pada
perkembangan kanker hati di China Selatan dan Afrika Sub-Sahara. Ia
diperkirakan menyebabkan kanker dengan menghasilkan perubahan-
perubahan (mutasi-mutasi) pada gen p53. Mutasi-mutasi ini bekerja
dengan mengganggu fungsi-fungsi penekan tumor yang penting dari gen.

5. Obat-Obat Terlarang, Obat-Obatan, dan Kimia-Kimia


Tidak ada obat-obat yang menyebabkan kanker hati, namun
hormon-hormon wanita (estrogens) dan steroid-steroid pembentuk
protein (anabolic) dihubungkan dengan pengembangan hepatic
adenomas. Ini adalah tumor-tumor hati yang ramah/jinak yang mungkin
mempunyai potensi untuk menjadi ganas (bersifat kanker). Jadi, pada
beberapa individu-individu, hepatic adenoma dapat berkembang menjadi
kanker.
Kimia-kimia tertentu dikaitkan dengan tipe-tipe lain dari kanker
yang ditemukan pada hati. Contohnya, thorotrast, suatu agen kontras
yang dahulu digunakan untuk pencitraan (imaging), menyebabkan suatu
kanker dari pembuluh-pembuluh darah dalam hati yang disebut hepatic
angiosarcoma. Juga, vinyl chloride, suatu senyawa yang digunakan
dalam industri plastik, dapat menyebabkan hepatic angiosarcomas yang
tampak beberapa tahun setelah paparan.

6. Sirosis
Individu-individu dengan kebanyakan tipe-tipe sirosis hati berada
pada risiko yang meningkat mengembangkan kanker hati. Sebagai
tambahan pada kondisi-kondisi yang digambarkan diatas (hepatitis B,
hepatitis C, alkohol, dan hemochromatosis), kekurangan alpha 1 anti-
trypsin, suatu kondisi yang diturunkan/diwariskan yang dapat
menyebabkan emphysema dan sirosis, mungkin menjurus pada kanker
hati. Kanker hati juga dihubungkan sangat erat dengan tyrosinemia
keturunan, suatu kelainan biokimia pada masa kanak-kanak yang
berakibat pada sirosis dini.
Penyebab-penyebab tertentu dari sirosis lebih jarang dikaitkan
dengan kanker hati daripada penyebab-penyebab lainnya. Contohnya,
kanker hati jarang terlihat dengan sirosis pada penyakit Wilson
(metabolisme tembaga yang abnormal) atau primary sclerosing
cholangitis (luka parut dan penyempitan pembuluh-pembuluh empedu
yang kronis). Begitu juga biasanya diperkirakan bahwa kanker hati
adalah jarang ditemukan pada primary biliary cirrhosis (PBC). Studi-
studi akhir ini, bagaimanapun, menunjukan bahwa frekwensi kanker hati
pada PBC adalah sebanding dengan yang pada bentuk-bentuk lain sirosis
(Singgih B, 2006).
D. Manifestasi Klinis
Karsinoma hepatoseluler secara klasik muncul dan tumbuh secara
asimtomatik. Hal ini menyebabkan pasien datang ketika penyakit sudah berada
dalam tahap lanjut. Manifestasi klinis dari karsinoma hepatoseluler umumnya
sangat bervariasi dan berhubungan dengan sejauh mana luas kanker ini pada
hati saat didiagnosis. Manifestasi yang dapat muncul antara lain nyeri perut
kanan atas yang dapat muncul pada 50-70% kasus dan mulai nampak adanya
massa intra abnominal. Manifestasi lain seperti ikterik, ensefalopati, dan edema
dapat muncul terutama pada pasien dengan sirosis hepatis akibat adanya
toleransi tubuh yang rendah terhadap infiltrasi sel-sel ganas pada hepar. Asites
dapat ditemukan pada sebagian kasus dimana terdapat kadar protein yang tinggi
dan di temukan sel ganas. Jika sel-sel kanker telah menginfiltrasi sistem portal
maka dapat ditemukan adanya hipertensi portal. Nyeri abdomen yang hebat
dapat muncul apabila terdapat ruptur yang mengakibatkan munculnya
hemoperitoneum (Murray-Lyon, 1983; Schafer dan Sorrell, 1999; Miyamoto et
al, 1991).
Pasien dengan karsinoma hepatoseluler non-sirosis biasanya memiliki
gejala yang berbeda. Tumor sering dibiarkan tumbuh dengan sedikit retriksi.
Gejala yang menyertai biasanya berhubungan dengan keganasan yang sudah
berlangsung lama dan gejala karena adanya pertumbuhan tumor termasuk
malaise, anoreksia, penyusutan otot, nyeri perut kuadran kanan atas, dan
adanya distensi perut. Rasa nyeri bersifat konstan, seringkali terasa sangat
hebat dan kadang memburuk setelah makan. Pembesaran atau distensi perut
akibat adanya pembesaran hati dengan atau tanpa asites. Gejala pada saluran
pencernaan seperti anoreksia, perut kembung, serta konstipasi atau diare
biasanya terjadi karena adanya kolestasis atau adanya produksi zat-zat aktif,
seperti prostaglandin, yang dihasilkan oleh sel kanker (Murray-Lyon, 1983;
Schafer dan Sorrell, 1999; Sherlock dan Dooley, 1993).
Pada kasus yang sangat jarang pada karsinoma hepatoseluler (<5%)
didapati sindroma paraneoplastik yang merupakan efek hormonal serta
imunitas dari tumor. Peningkatan efek sistemik telah dilaporkan sejak pertama
kali ditemukan adanya hipoglikemia akibat karsinoma hepatoseluler pada tahun
1929. Hipoglikemia dapat ditemukan pada 30% pasien. Pasien dengan
hipoglikenia dapat dibagi menjadi 2 kategori, yaitu tipe A merupakan tipe yang
paling sering pada pasien dengan tumor yang berdiferensiasi buruk dan
anoreksia serta adanya penurunan berat badan drastis. Hipoglikemia biasanya
terjadi sebagai gejala terminal dan mudah dikontrol. Hal ini diakibatkan karena
sedikitnya jumlah jaringan hati yang berfungsi normal untuk menjaga sintesis
glukosa. Sedangkan pada pasien dengan tipe B, hipoglikemia terjadi ketika
pasien berada pada kondisi yang baik dengan tumor berdiferensiasi baik.
Biasanya pasien dengan tipe B kesulitan untuk menjaga kadar glukosa darah,
meskipun sudah mengkonsumsi diet tinggi karbohidrat, kortikosteroid dan
diazoxide. Pada pasien dengan hiperkalsemia biasanya dikarenakan adanya
pseudo-hiperparatiroidisme. Sel tumor yang mengandung zat menyerupai
parathormon sehingga kadar parathormon dalam serum meningkat (Attali et al,
1984; Hsu et al, 2002; Murray-Lyon, 1983).

E. Patogenesis
Hepatokarsinogenesis dikenal sebagai proses tahapan yang sangat
rumit dan hampir setiap jalur yang terlibat dalam proses karsinogenesis akan
mempengaruhi derajat pada karsinoma hepatoseluler. Oleh karena itu, tidak ada
mekanisme molekuler tunggal yang dominan atau patognomonik pada
karsinoma hepatoseluler (Tanaka dan Arii, 2012).
Hepatokarsinogenesis dianggap suatu proses yang berasal dari sel-sel
induk hati (namun, peran sel induk hati sebagai sel yang berkembang menjadi
karsinoma hepatoseluler masih dalam perdebatan) atau berasal dari sel
hepatosit yang matang dan merupakan perkembangan dari penyakit hati kronis
yang didorong oleh stres oksidatif, inflamasi kronis dan kematian sel yang
kemudian diikuti oleh proliferasi terbatas/dibatasi oleh regenerasi, dan
kemudian remodeling hati permanen (Bertino et al, 2013).
Mekanisme hepatokarsinogenesis tidak sepenuhnya dipahami. Namun,
seperti kebanyakan tumor solid lainnya, pengembangan dan perkembangan
kanker hati yang diyakini disebabkan oleh akumulasi perubahan genetik yang
mengakibatkan perubahan ekspresi pada gen yang terkait kanker, seperti
onkogen atau gen supresor tumor, serta gen lainnya yang terlibat dalam jalur
regulasi (Saffroy et al, 2006).
Karsinoma hepatoseluler merupakan salah satu tumor dengan faktor
etiologi yang paling dikenal. Karsinoma hepatoseluler umumnya merupakan
perkembangan dari hepatitis kronis atau sirosis dimana ada mekanisme
peradangan terus menerus dan regenerasi dari sel hepatosit (Saffroy et al,
2006). Cedera hati kronis yang disebabkan oleh HBV, HCV, konsumsi alkohol
yang kronis, steatohepatitis alkohol, hemokromatosis genetik, sirosis bilaris
primer dan adanya defisiensi -1 antitrypsin menyebabkan kerusakan hepatosit
permanen yang diikuti dengan kompensasi besar-besaran oleh sel proliferasi
dan regenerasi dalam menanggapi stimulasi sitokin. Akhirnya, fibrosis dan
sirosis berkembang dalam pengaturan remodelling hati secara permanen,
terutama didorong oleh sintesis komponen matriks ekstraseluler dari sel-sel
stellata hati (Bertino et al, 2013).
Dalam lingkungan yang bersifat karsinogenik, perkembangan nodul
hiperplastik dan displastik akan segera menjadi kondisi pre-neoplastik. Namun,
diduga akumulasi dari berbagai peristiwa molekuler yang berurutan pada
berbagai tahap penyakit hati (jaringan normal hati, hepatitis kronis, sirosis,
nodul hiperplastik dan displastik dan kanker) hanya dipahami secara parsial
saja. Patogenesis secara molekul dari karsinoma hepatoseluler melibatkan
genetik atau terjadi penyimpangan epigenetik yang berbeda dan terdapat
perubahan dalam beberapa jalur sinyal yang mengarah pada heterogenitas
penyakit dalam hal biologis dan perilaku klinis. Bukti saat ini menunjukkan
bahwa dalam hepatokarsinogenesis, terdapat dua mekanisme utama yang
terlibat, yaitu sirosis dan yang berhubungan dengan regenerasi hati setelah
adanya kerusakan hati kronis yang disebabkan oleh beberapa faktor (infeksi
hepatitis, toksin atau gangguan metabolisme), serta adanya sejumlah mutasi
DNA yang menyebabkan gangguan dari keseimbangan onkogenesis-
onkosupresor dari sel yang mengarah ke perkembangan sel-sel neoplastik.
Beberapa jalur penting dari sinyal seluler telah diamati menjadi bagian dari
keterlibatan onkogenetic pada karsinoma hepatoseluler. Jalur sinyal utama
pada karsinoma hepatoseluler adalah RAF / MEK/ERK, PI3K/AKT/mTOR,
NTB/catenin, IGF, HGF/c-MET dan faktor pertumbuhan yang mengatur
sinyal angiogenik (Bertino et al, 2013).
Hepatokarsinogenesis dimulai pada lesi pre-neoplastik seperti nodul
makroregeneratif, nodul diplastik low-grade dan high grade. Percepatan
proliferasi hepatosit dan pengembangan populasi hepatosit monoklonal terjadi
pada semua kondisi pre-neoplastik. Akumulasi perubahan genetik dalam lesi
pre-neoplastik diyakini mengarah terjadinya karsinoma hepatoseluler.
Perubahan genom yang terjadi secara acak akan terakumulasi dalam hepatosit
yang displastik dan hepatosit pada karsinoma hepatoseluler. Meskipun
perubahan genetik dapat terjadi secara bebas dari kondisi etiologi, beberapa
mekanisme molekuler lebih sering berkaitan dengan etiologi spesifik (Saffroy
et al, 2006).

F. Diagnosis
1. Anamnesis
Sebagian besar penderita yang datang berobat sudah dalam fase
lanjut dengan keluhan nyeri perut kanan atas. Sifat nyeri ialah nyeri tumpul,
terus-menerus, kadang- kadang terasa hebat apabila bergerak. Di samping
keluhan nyeri perut ada pula keluhan seperti benjolan di perut kanan atas
tanpa atau dengan nyeri, perut membuncit karena adanya asites dan keluhan
yang paling umum yaitu merasa badan semakin lemah, anoreksia, perasaan
lekas kenyang, feses hitam, demam, bengkak kaki, perdarahan dari dubur
(Sujono, 2000).
2. Pemeriksaan Fisik
Biasanya hati terasa besar dan berbenjol -benjol, tepi tidak rata,
tumpul, kadang-kadang terasa nyeri bila ditekan. Bila letak tumor di lobus
kiri maka pembesaran hati terlihat di epigastrium, tapi bila tumor tersebut
terletak di lobus kanan maka pembesaran hati terlihat di hipokhondrium
kanan (Sujono, 2000).
3. Pemeriksaan Laboratorium
Temuan pada pemeriksaan laboratorium pada karsinoma
hepatoseluler sering tidak ditemukan adanya keabnormalan. Enzim aspartat
aminotransferase (AST) dan alanin aminotransferase (ALT) biasanya masih
dalam batas normal atau mengalami hanya sedikit peningkatan. Alkalin
fosfatase (AP) dan -glutamiltransferase sering ditemukan abnormal, tetapi
peningkatannya tidak melebihi 2 atau 3 kalinya. Enzim laktat dehidrogenase
(LDH) dapat meningkat pada pasien dengan metastasis hati, khususnya
yang berasal dari hematogen (LaBrecque, 2003).
Tes laboratorium yang cukup spesifik pada kasus karsinoma
hepatoseluler adalah kadar -fetoprotein (AFP) dalam serum yang
meningkat pada 70 90% pasien karsinoma hepatoseluler. Kadar AFP dapat
dijadikan pendekatan diagnostik pada karsinoma hepatoseluler jika
kadarnya sangat tinggi (>1000 mg/ml) atau ketika kadarnya meningkat.
Namun pada saat ini terbukti AFP memiliki spesifitas maupun sensifitas
yang tidak cukup tinggi untuk mendukung diagnosis karena AFP juga
meningkat pada keganasan laur diluar karsinoma hepatoseluler. Selain -
fetoprotein, tumor marker lainnya yang berhubungan dengan karsinoma
hepatoseluler adalah carcinoembryonic antigen (CEA). CEA akan
meningkat pada hampir seluruh bentuk penyakit hati kronis dan memiliki
kadar yang tinggi pada metastasis tumor pada hati. CEA ini berguna dalam
mendiagnosis karsinoma hepatoseluler meskipun kadarnya meningkat hanya
pada 60% kasus (Atterbury 1984; Hirlan, 2011; LaBrecque, 2003).
4. Pencitraan
Pemeriksaan imaging yang dapat dilakukan pada karsinoma
hepatoseluler di antaranya adalah Ultrasonography (USG), Color Doppler
Flow Imaging Ultrasonography, Computerized Tomography Scann (CT
Scann), Magnetic Resonance Imaging (MRI), Angiography, Scintigraphy
dan Positron Emission Tomography (PET) yang menggunakan radio isotop.
Pemilihan alat mana saja yang akan digunakan dari sederetan alat-alat ini
dapat disesuaikan dengan kondisi penderita (Richard L and Mark S, 2001).
a) Ultrasonography (USG)
Pemeriksaan imaging yang dapat dilakukan pada awal diagnosis
karsinoma hepatoseluler adalah pemeriksaan ultrasonography (USG).
Dengan USG hitam putih (grey scale) yang sederhana (conventional),
hati yang normal tampak berwarna keabuan dan texture merata
(homogen). Bila terdapat kanker akan terlihat nodul berwarna
kehitaman atau berwarna kehitaman campur keputihan yang jumlahnya
bervariasi, berkapsul atau tidak berkapsul. Selain itu, tampilan lain
USG yang khas untuk karsinoma hepatoseluler kecil adalah gambaran
mosaik, formasi septum, bagian perifer sonolusen (ber-halo), bayangan
lateral yang dibentuk oleh pseudokapsul fibrotik, serta penyangatan eko
posterior. Berbeda dari
metastasis, karsinoma
hepatoseluler dengan
diameter kurang dari dua
sentimeter mempunyai gambaran bentuk cincin yang khas. Sensitivitas
USG conventional untuk neoplasma hati hanya 60%, sebab tak dapat
melihat adanya pembuluh darah baru (neo-vascular) (Abdul R, 1994).

Gambar 1. Stadium dini kanker hati berupa nodul diameter 3cm

USG color Doppler atau Color Doppler Flow Imaging (CDFI)


sangat berguna untuk membedakan karsinoma hepatoseluler dari tumor
hepatik lain. USG ini selain mampu melihat pembuluh darah di sekitar
kanker juga mampu pula memperlihatkan kecepatan dan arah aliran
darah di dalam pembuluh darah, sehingga dapat ditentukan resistensi
index dan pulsatily index yang dengan demikian dapat memastikan
apakah pembuluh darah yang mengelilingi nodule tersebut adalah benar
neo-vascularisasi dan berapa banyak jumlahnya. Dengan dapat
dipastikan keberadaan neo-vascularisasi ini maka akurasi diagnosa
kanker meningkat jadi 80%. Tumor yang berada di bagian atas-
belakang lobus kanan mungkin tidak dapat terdeteksi oleh USG.
Demikian juga yang berukuran terlalu kecil dan isoekoik ( Hussodo,
2009).
Gambar 2. USG karsinoma hepatoseluler, tampak nodul hipoecoic dengan
diameter 2,3 cm pada pasien laki-laki umur 67 th.

Gambar 3. Color doppler US, menunjukkan aliran darah ke tumor di


postero-anterior segmen dari lobus kanan.
Gambar 4. Color doppler US pada KHS, tampak aliran darah ke tumor di
antero-inferior segmen pada lobus kanan.

b) CT Scan dan MRI


Imaging study lain yang diperlukan untuk menegakkan
diagnosis karsinoma hepatoseluler adalah pemeriksaan Multidetector
CT scan atau MRI yang diperkuat dengan kontras. Pemeriksaan CT
Scan dapat menilai seluruh segmen hati dalam satu potongan gambar
serta dapat membuat gambar kanker dalam tiga dimensi dan empat
dimensi dengan sangat jelas dan dapat pula memperlihatkan hubungan
kanker dengan jaringan tubuh sekitarnya. Sedangkan pemeriksaan
dengan MRI dipilih sebagai alternatif bila ada gambaran CT scan yang
meragukan atau pada penderita yang berisiko bahaya radiasi sinar X
dan pada penderita yang mempunyai kontraindikasi terhadap pemberian
zat kontras sehingga pemeriksaan CT angiography tak memungkinkan,
padahal diperlukan gambar peta pembuluh darah (Rasad S, 2005).
Ciri khas pencitraan pada karsinoma hepatoseluler adalah
enhanced pada fase arterial dan washout pada fase vena. Dasar
fisiologis dari fenomena ini adalah bahwa karsinoma hepatoseluler
diberi pasokan nutrisi oleh darah arteri. Dengan demikian, selama fase
arteri, sel hati disuplai oleh arteri dan vena portal, sedangkan sel
tumor hanya mendapat pasokan nutrisi dari darah arteri. Darah pada
vena porta di hati akan mengencerkan agen kontras. Namun hal tersebut
tidak terjadi pada tumor, sehingga tumor akan menunjukkan konsentrasi
yang lebih tinggi dari kontras sehingga terlihat lebih terang daripada
hati di sekitarnya. Selama fase vena, sel hati diberi makan oleh darah
portal yang mengandung kontras, dan darah arteri yang tidak lagi berisi
kontras. Tumor mendapat pasokan nutrisi dari darah arteri yang juga
tidak memiliki agen kontras. Dengan demikian, sel hati akan menjadi
lebih terang dari lesi, atau dalam istilah lain pada lesi akan
menunjukkan fenomena washout kontras (Hirlan, 2011; Sherman,
2008).
Gambar 5. MD-CT Scan pada wanita 57 tahun dengan riwayat
hepatitis B, tampak nodul karsinoma hepatoselular

Gambar 6. CT-scan dengan kontras memperlihatkan masa pada karsinoma


hepatoselular

Nodul dengan lesi < 1 cm pada USG, khususnya pada sirosis


hati, memiliki kemungkinan yang kecil untuk menjadi karsinoma
hepatoseluler. Bahkan kemungkinan adanya keganasan berkurang jika
lesi tersebut tidak menunjukkan penyerapan kontras secara dinamis.
Meskipun jika CT atau MRI menunjukkan adanya vaskularisasi arteri,
daerah tervaskularisasi tersebut kemungkinan tidak sesuai dengan fokus
karsinoma hepatoseluler. Walaupun begitu, kemungkinan untuk menjadi
ganas kapan saja masih tinggi. Sehingga, nodul ini perlu ditindaklanjuti
secara teratur tiap beberapa bulan untuk dapat mendeteksi pertumbuhan
perubahan menjadi ganas dan diperiksa tiap 3-6 bulan. Jika setelah
lebih dari 1 atau 2 tahun tidak ada pertumbuhan maka dapat dikatakan
bahwa lesi tersebut bukan merupakan karsinoma hepatoseluler (Burrel
et al, 2003; Fracanzani et al, 2001; Iwasaki et al, 1998; Jeong et al,
2002; Nakasima dan Kojiro, 1987; Takayama et al, 1990).

Gambar 7. Alur pemeriksaan jika nodul < 1 cm

Jika nodul berdiameter lebih dari 1 cm, harus ditindaklanjuti


dengan pemeriksaan MSCT 4 fase atau MRI yang diperkuat dengan
kontras, diagnosis dianggap tegak bila dijumpai gambaran nodul
hipervaskular pada fase arterial diikuti dengan washout pada fase vena.
Bila gambaran tidak khas, misalnya nodul hipovaskular, sebaiknya
diulang dengan modalitas pencitraan yang ke-2 (Hirlan, 2011).

c) Angiografi
Hanya dilakukan pada penderita kanker hati yang dari hasil
pemeriksaan USG dan CT scan diperkirakan masih ada tindakan terapi
bedah atau non-bedah yang masih mungkin dilakukan untuk
menyelamatkan penderita. Pada setiap pasien yang akan menjalani
operasi reseksi hati harus dilakukan pemeriksaan angiografi. Dengan
angiografi ini dapat dilihat berapa luas kanker yang sebenarnya. Lebih
lengkap lagi bila dilakukan CT angiography yang dapat memperjelas
batas antara kanker dan jaringan sehat di sekitarnya (Rasad S, 2005).
Gambar 8. Celiac angiogram menunjukkan pembuluh darah hepar dengan multipel karsinoma
hepatoseluler sebelum terapi (kiri), dan sesudah terapi (kanan) menunjukkan
penurunan vaskular dan respon terapi.

5. Biopsi
Biopsi aspirasi dengan jarum halus (fine needle aspiration biopsy)
terutama ditujukan untuk menilai apakah suatu lesi yang ditemukan pada
pemeriksaan radiologi imaging dan laboratorium AFP itu benar pasti suatu
hepatoma. Pada pasien dengan lesi yang lebih kecil dari 1 cm, kurang dari
50% dari lesi tersebut berpotensi menjadi ganas, dan tingkat hasil negatif
palsu yang tinggi. Dengan demikian, dianjurkan dilakukan manajemen
konservatif dengan follow-up yang ketat dan tidak dilakukan biopsi (Llovet
JM, Fuster J, Bruix J, 2004).
Pada pasien dengan lesi berukuran 1- 2 cm, biopsi harus dilakukan;
pasien ini memiliki risiko yang signifikan mengarah pada suatu keganasan.
Jika hasilnya positif, maka danjurkan untuk dilakukan reseksi, transplantasi,
atau terapi ablatif. Seperti pada lesi yang lebih kecil, ada tingkat hasil
negatif palsu yang signifikan, sehingga perlu dilakukan follow-up yang
ketat sebagai tindak lanjut pada pasien dengan hasil biopsi negatif.
Pasien dengan lesi lebih besar dari 2 cm, sirosis, hasil pencitraan
yang khas, dan peningkatan nilai AFP dapat diterapi tanpa harus melakukan
biopsi. Pada pasien ini, risiko penyebaran tumor harus diperhitungkan
(Llovet JM, Fuster J, Bruix J, 2004).

G. Tatalaksana
Terdapat beberapa modalitas pengelolaan karsinoma hepatosleuler. Pada
dasarnya modalitas tersebut dapat dibagi menjadi modalitas yang bertujuan
untuk kuratif, paliatif, dan suportif. Pemilihan pengelolaan didasarkan pada
penyakit hati yang mendasari, status kapasitas fungsi hati, status fisik pasien,
ukuran dan jumlah nodul. Staging system tersebut sangat penting selain untuk
menilai keberhasilan terapi juga berguna untuk menilai prognosis (Hirlan,
2011).
Beberapa staging system yang dikenal saat ini adalah klasifikasi TNM,
Okuda Staging, The Chinese University Prognostic Index (CUPI), Cancer of
the Liver Italian Program (CLIP), French staging system, dan The Barcelona-
Clinic Liver Cancer (BCLC) staging . Klasifikasi TNM bukan merupakan gold
standard. Di antara klasifikasi-klasifikasi baru, keberagamanan gambaran
survival didiskripsikan pada stadium terbaik (3-year survival dari 80% hingga
25%) yang merefleksikan bahwa beberapa penelitian termasuk kebanyakan
pasien dengan penyakit stadium lanjut, dengan sedikit pasien yang
mendapatkan pengelolaan. CUPI, CLIP, dan French Staging System disusun
untuk pasien dengan stadium lanjut. Sistem BCLC merupakan sistem yang
banyak dianut saat ini. Sistem BCLC ini telah disahkan oleh beberapa
kelompok di Eropa dan Amerika Serikat, dan direkomendasikan sebagai
klasifikasi yang terbaik sebagai pedoman pengelolaan, khususnya untuk pasien
dengan stadium awal yang bisa mendapatkan terapi kuratif. Sistem ini
menggunakan variabel-variabel yang berhubungan dengan stadium tumor,
status fungsional hati, status fisik pasien, dan gejala-gejala yang berhubungan
kanker. Hubungan antara keempat variabel tersebut akan menggambarkan
hubungannya dengan algoritma pengelolaan (Hirlan, 2011).
Gambar 9. Alur tatalaksana karsinoma hepatoseluler berdasarkan The
BarcelonaClinic Liver Cancer (BCLC) staging

1. Reseksi hepatik
Untuk pasien dalam kelompok non -sirosis yang biasanya mempunyai
fungsi hati normal pilihan utama terapi adalah reseksi he patik. Namun untuk
pasien sirosis diperlukan kriteria seleksi karena operasi dapat memicu
timbulnya gagal hati yang dapat menurunkan angka harapan hidup. Parameter
yang dapat digunakan untuk seleksi adalah skor Child-Pugh dan derajat
hipertensi portal atau kadar bilirubin serum dan derajat hipertensi portal saja.
Subjek dengan bilirubin normal tanpa hipertensi portal yang bermakna,
harapan hidup 5 tahunnya dapat mencapai 70%. Kontraindikasi tindakan ini
adalah adanya metastasis ekstrahepatik karsinoma hepatoseluler difus atau
multifocal, sirosis stadium lanjut dan penyakit penyerta yang dapat
mempengaruhi ketahanan pasien menjalani operasi (Husodo, 2009).

2. Transpantasi hati
Bagi pasien karsinoma hepatoseluler dan sirosis hati, transplantasi hati
memberikan kemungkinan untuk menyingkirkan tumor dan menggantikan
parenkim hati yang mengalami disfungsi. Dilaporkan survival analisis 3 tahun
mencapai 80% bahkan dengan perbaikan seleksi pasien dan terapi perioperatif
dengan obat antiviral seperti lamivudin, ribavirin dan interferon dapat dicapai
survival analisis 5 tahun 92%. Kematian pasca transplantasi tersering
disebabkan oleh rekurensi tumor bahkan mungkin diperkuat oleh obat anti
rejeksi yang harus diberikan. Tumor yangberdiameter kurang dari 3cm lebih
jarang kambuh dibandingkan dengan tumor yang diameternya lebih dari 5cm
(Husodo, 2009).
3. Ablasi Tumor Perkutan
Injeksi etanol perkutan (PEI) merupakan teknik terpilih untuk tumor
kecil karena efikasinya tinggi, efek sampingnya rendah serta relatif murah.
Dasar kerjanya adalah menimbulkan dehidrasi, nekrosis, oklusi vaskular dan
fibrosis. Untuk tumor (diameter <5cm). PEI bermanfaat untuk pasien dengan
tumor kecil namun resektabilitasnya terbatas karena adanya sirosis hati non-
child A (Husodo,2009).
Radiofrequency ablation (RFA) menunjukkan angka keberhasilan
yang lebih tinggi daripada PEI dan efikasinya tertinggi untuk tumor yang
lebih besar dari 3cm, namun tetap tidak berpengaruh terhadap harapan hidup
pasien. Selain itu, RFA lebih mahal dan efek sampingnya lebih banyak
ditemukan dibandingkan dengan PEI (Husodo,2009).
Guna mencegah terjadinya rekurensi tumor, pemberian asam
poliprenoik (polyprenoic acid) selama 12 bulan dilaporkan dapat menurunkan
angka rekurensi pada bulan ke -38 secara bermakna dibandingkan dengan
kelompok plasebo (kelompok plasebo 49%, kelompok terapi PEI atau reseksi
kuratif 22%) (Husodo,2009).
4. Terapi Paliatif
Sebagian besar pasien HCC di diagnosis pada stadium menengah
lanjut (intermediate-advanced stage) yang tidak ada terapi standarnya.
Berdasarkan metaanalisis, pada stadium ini hanya TAE/TACE (transarterial
embolization/chemo embolization) saja yang menunjukkan penurunan
pertumbuhan tumor serta dapat meningkatkan harapan hidup pasien dengan
karsinoma hepatoseluler yang tidak resektabel. TACE dengan frekuensi 3
hingga 4 kali setahun dianjurkan pada pasien yang fungsi hatinya cukup baik
(Child-Pugh) serta tumor multinodular asimtomatik tanpa invasi vascular atau
penyebaran ekstrahepatik, yang tidak dapat diterapi secara radikal.
Sebaliknya bagi pasien yang dalam keadaan gagal hati (Child-Pugh B-C),
serangan iskemik akibat terapi ini dapat mengakibatkan efek samping yang
berat (Husodo, 2009).
Adapun beberapa jenis terapi lain untuk karsinoma hepatoseluler yang
tidak resektabel seperti imunoterapi dengan interferon, terapi antiesterogen,
antiandrogen, oktreotid, radiasi internal, kemoterapi art erial atau sistemik
masih memerlukan penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan penilaian yang
pasti (Husodo, 2009).

H. Prognosis
Pada umumnya prognosis karsinoma hepatoseluler adalah jelek. Tanpa
pengobatan kematian rata-rata terjadi sesudah 6 -7 bulan setelah timbul keluhan
pertama. Dengan pengobatan, hidup penderita dapat diperpanjang sekitar 11-12
bulan. Bila karsinoma hepatoseluler dapat dideteksi secara dini, usaha-usaha
pengobatan seperti pembedahan dapat segera dilakukan misalnya dengan cara
sub-segmenektomi, maka masa hidup penderita dapat menjadi lebih panjang
lagi (Siregar.A.Gontar, 2011).
Sebaliknya, penderita karsinoma hepatoseluler fase lanjut mempunyai
masa hidup yang lebih singkat. Kematian umumnya disebabkan oleh karena
koma hepatik, hematemesis dan melena, syok yang sebelumnya didahului
dengan rasa sakit hebat karena pecahnya karsinoma hepatoseluler. Oleh karena
itu langkah -langkah terhadap pencegahan karsinoma hepatoseluler haruslah
dilakukan. Pencegahan yang paling utama adalah menghindarkan infeksi
terhadap HBV dan HCV serta menghindari konsumsi alkohol untuk mencegah
terjadinya sirosis (Siregar.A.Gontar, 2011).
BAB III
PENUTUP

Carcinoma hepatocellular merupakan kanker hati primer yang paling sering


ditemukan dan menjadi penyebab kematian nomor dua untuk kasus kematian yang
disebabkan oleh kanker. Riwayat infeksi penyakit hepatitis B, hepatitis C, sirosis, serta
konsumsi alkohol, dan obat-obatan terlarang menjadi faktor resiko terjadinya
carcinoma hepatocellular. Manifestasi klinis yang ditimbulkan umumnya sangat
bervariasi dan berhubungan dengan sejauh mana luas kanker ini pada hati saat
didiagnosis, antara lain nyeri perut kanan atas, ikterik, ensefalopati, edema, dan ascites.
Gejala lain yang dapat menyertai pada keganasan adalah malaise, anoreksia,
penyusutan otot, serta konstipasi atau diare. Penegakan diagnosis carcinoma
hepatocellular didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan
penunjang laboratorium dan radiodiagnostik. Pemeriksaan radiologi yang digunakan
antara lain USG, CT Scan, serta MRI. Tatalaksana untuk carcinoma hepatocellular
pada dasarnya ditujukan sebagai terapi modalitas kuratif, paliatif, dan suportif.
Pemilihan pengelolaan didasarkan pada penyakit hati yang mendasari, status kapasitas
fungsi hati, status fisik pasien, ukuran dan jumlah nodul.
Daftar Pustaka

Abdul Rasyad. 2006. Pentingnya Peranan Radiologi Dalam Deteksi Dini dan
Pengobatan Kanker Hati Primer. USU Press. Sumatra.
Abdul Rasyid. Satu Kasus Karsinoma Hepato Selular Diameter Lebih dari 10 cm
Diagnostik dan Terapi. Majalah Radiologi Indonesia Thn III No. 1 1994.
Altekruse SF, McGlynn KA, Reichman ME. Hepatocellular carcinoma incidence,
mortality, and survival trends in the United States from 1975 to 2005. J
Clin Oncol 2009; 27: 148591.
Attali P, Houssin D, Roche A, Buffet C, Bismuth H, Etienne JP. Hepatic arterial
embolization for malignant hypercalcemia in hepatocellular carcinoma.
Dig Dis Sci. 1984;29:466.
Atterbury CE. Neoplasms of The Liver and Biliary Tract. Eastwood GL, editor.
Core Textbook of Gastroenterology. Philadelpia: J.B. Lippincott Company.
1984
Bertino G, Carlo DI, Ardiri A, Calvagno GS, Demma Shirin, Malaguarnera G,
Bertino N, et al. Systemic therapies in hepatocellular carcinoma. Future
Oncol [Internet]. 2013; 9(10): 1533-1548. Available from:
http://www.medscape.com/viewarticle/812561_3
Bolondi L., Gaiani S., Celli N., Golfieri R., et al. Characterization of small nodules
in cirrhosis by assessment of vascularity: The problem of hypovascular
hepatocellular carcinoma. Hepatology 2005; 42: 27 34.
Bruix J, Sherman M; American Association for the Study of Liver Diseases.
Management of hepatocellular carcinoma: an update. Hepatology
2011;53:1020-2.
Burrel M, Llovet JM, Ayuso C, Iglesias C, Sala M, Miquel R, et al. MRI
angiography in superior to helical CT for detection of HCC prior to liver
transplantation: An explant correlation. Hepatology. 2003;38(4):1034-42
Carrilho FJ, Kikuchi L, Branco F, Goncalves CS, Mattos AA; Brazilian HCC Study
Group. Clinical and epidemiological aspects of hepatocellular carcinoma in
Brazil. Clinics (Sao Paulo). 2010; 65: 128590.
Dhanasekaran R, Limaye A, Cabrera R. Hepatocellular carcinoma: current trends
in worldwide epidemiology, risk factors, diagnosis, and therapeutics. Hepat
Med 2012; 4: 1937.
El-Serag HB. Epidemiology of viral hepatitis and hepatocellular carcinoma.
Gastroenterology 2012; 142: 126473.
El Serag HB, Rudolph KL. Hepatocellular carcinoma: epidemiology and molecular
carcinogenesis. Gastroenterology 2007; 132: 255776.
European Association for The Study Of The Liver, European Organisation for
Research And Treatment of Cancer. EASL-EORTC clinical practice
guidelines: management of hepatocellular carcinoma. J Hepatol 2012; 56:
90843.
Ferlay J, Soerjomataram I, Ervik M, et al. GLOBOCAN 2012 v1.0. Estimated
cancer incidence, mortality, and prevalence worldwide.
Hirlan. Karsinoma Hepatoseluler (KHS). Hirlan, Purnomo HD, editor. Semarang
Gastroenterohepatology Update 2011 Current Issues in
Gastroenterohepatologi: From Theory to Clinical Practice. Semarang:
Badan Penerbit Universitas Diponegoro. 2011
Howlader N, Noone AM, Krapcho M, et al. (eds). SEER Cancer Statistics Review,
1975-2010, National Cancer Institute. Bethesda, MD, Available at
http://seer.cancer.gov/csr/1975_2010/, based on November 2012 SEER
Hsu Ys, Chien RN, Yeh CT, Sheen IS, Chiou HY, Chu CM, et al. Long-term
outcome after spontaneous HbeAg seroconversion in patients with
chronic hepatitis B. Hepatology. 2002;35(6):1522-27
Jacobson R.D., 2009. Hepatocelluler Carcinoma. Diakses dari
http://emedicine.medscape.com/article/369226-overview
Jeong YY, Mitchell DG, Kamishima T. Small (<20mm) enhancing hepatic
nodules seen on arterial phase MR imaging of the cirrhotic liver:
Cllinical implications. AJR Am J Roentgenol. 2002;178(6):1327-34
LaBrecque DR. Mass Lesions & Neoplasia of the Liver. Friedman LS, McQuaid
KR, Grendell JH, editor. Current Diagnosis & Treatment in
Gastroenterology. Singapore: McGraw-Hill Education. 2003
Llovet JM, Fuster J, Bruix J. The Barcelona approach: diagnosis, staging, and
treatment of hepatocellular carcinoma. Liver Transpl. 2004 Feb. 10(2
Suppl 1):S115-20.
Miyamoto M, Sudo T, Kuyama T. Spontaneous rupture of hepatocellular
carcinoma: A review of 172 Japanese cases. Am J Gastroenterol. 1991;86:
87
Murray-Lyon IM. Primary and secondary cancer of the liver. Gazet JC, editor.
Carcinoma of the Liver, Biliary Tract and Pancreas. London: Edward
Arnold. 1983
Nakashima T, Kojiro M. Hepatocellular carcinoma. Tokyo: Springer Verlag. 1987
Rasad S., 2005. Radiologi Diagnostik. FKUI; Jakarta.
Rasyid A. Temuan Ultrasonografi Kanker Hati Hepato Selular (Hepatoma). The
Journal of Medical School University of Sumatera Utara. Vol 39. No 2
Juni 2006.
Richard L. Baron, M.D. and Mark S. Peterson M.D. Screening the Cirrhotic Liver
for Hepatocellular Carcinoma with CT and MR Imaging: Opportunities
and Pitfalls. RSNA 2001 Volume 21: 117 132.
Rifai A., 1996. Karsinoma Hati. dalam Soeparman (ed). Ilmu Penyakit Dalam Jilid
1 edisi ketiga. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
S. D. Ryder. Guidelines for the diagnosis and treatment of hepatocellular
carcinoma (HCC) in adults. Gut 2003; 52 56.
Saffroy R, Lemoine A, Debuire B. Mechanisms of hepatocarcinogenesis. Atlas of
Genetics and Cytogenetics in Oncology and Haematology [Internet]. 2006.
Availablefrom:http://atlasgeneticsoncology.org/Deep/Hepatocarcinogenesis
ID20055.html
Schafer DF, Sorrell MF. Hepatocellular carcinoma. Lancet. 1999;353: 12537
Sherlock S, Dooley J. Disease of the Liver and Biliary System. London: Blackwell
Scientific Publications. 1993
Sherman M. Hepatocellular Carcinoma: Epidemiology, Screening, and Prevention.
Kelsen DP, Daly JM. Kern SE, Levin B, Tepper JE, Cutsem VE, editor.
Principles And Practice of Gastrointestinal Oncology. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins, a Wolters Kluwer business. 2008
Shiina S, Tateishi R, Arano T, et al. Radiofrequency ablation for hepatocellular
carcinoma: 10-year outcome and prognostic factors. Am J Gastroenterol
2012; 107: 56977.
Shiina S, Tateishi R, Imamura M, et al. Percutaneous ethanol injection for
hepatocellular carcinoma: 20-year outcome and prognostic factors. Liver
Int 2012; 32: 143442.
Singgih B., Datau E.A., 2006, Hepatoma dan Sindrom Hepatorenal. Diakses dari
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/08_150_HepatomaHepatorenal.pdf/0
8_150_HepatomaHepatorenal.html
Sloane D, Chen H, Howell C. Racial disparity in primary hepatocellular
carcinoma: tumor stage at presentation, surgical treatment and survival. J
Natl Med Assoc 2006; 98: 19349.
Soresi M., Maglirisi C., Campgna P., et al. Alphafetoprotein in the diagnosis of
hepatocellular carcinoma. Anticancer Research. 2003;23;1747-53.
Takayama T, Kosuge T, Yamazaki S, Hasegawa H, Okazaki N, Takayasu K, et al.
Malignant transformation of adenomatous hyperplasia to hepatocellular
carcinoma. Lancet. 1990;336(8724):1150-3
Tanaka S, Arii S. Molecular targeted therapies in hepatocellular carcinoma. Semin
Oncol. 2012;39: 486492
Tariq Parvez., Babar Parvez., and Khurram Parvaiz et al. Screening for
Hepatocellular Carcinoma. Jounal JCPSP September 2004 Volume 14 No.
09.
Thomas MB, Jaffe D, Choti MM, et al. Hepatocellular carcinoma: consensus
recommendations of the NationalCancer Institute Clinical Trials Planning
Meeting. J Clin Oncol 2010; 28: 39944005.

Anda mungkin juga menyukai