Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Pendahuluan
Pelaku usaha dan pemerintah daerah dinilai masih mengabaikan masalah lingkungan. Hal ini
terlihat dari masih adanya kawasan industri di Semarang yang beroperasi tanpa terlebih dahulu
memenuhi kewajiban di Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal). Selain itu, sejumlah
industri di Semarang juga masih banyak yang belum secara rutin, yaitu enam bulan sekali,
menyampaikan laporan kepada Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda)
Semarang. Kalau sebuah kawasan industri sudah beroperasi sebelum melakukan studi Amdal,
Bapedalda tidak bisa berbuat apa-apa.
Hal serupa juga dilakukan pengelola lingkungan industri kecil (LIK) di Bugangan Baru. Keadaan
tersebut, menurut Wahyudin, mengakibatkan Bapedalda tidak bisa mengetahui perkembangan di
kedua kawasan industri tersebut. Padahal, perkembangan sebuah kawasan industry sangat perlu
diketahui oleh Bapedalda agar instansi tersebut dapat memprediksi kemungkinan pencemaran
yang bisa terjadi. Ia menambahkan, industri kecil, seperti industri mebel, sebenarnya berpotensi
menimbulkan pencemaran lingkungan. Namun, selama ini, orang terlalu sering hanya menyoroti
industry berskala besar.
Bab II
Analisa Kasus
Pencegahan pencemaran dari kawasan industri diatur dlm UU, seperti terlihat dalam Pasal 20
UUPLH disebutkan:
1. Tanpa suatu keputusan izin, setiap orang dilarang melakukan pembuangan limbah ke
media lingkungan hidup.
2. Setiap orang dilarang membuang limbah yang berasal dari luar wilayah Indonesia ke
media lingkungan hidup Indonesia.
5. Ketentuan pelaksanaan pasal ini diatur lebih lanjut dengan peraturan perundang-
undangan.
2. Untuk melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat
menetapkan pejabat yang berwenang melakukan pengawasan.
3. Dalam hal wewenang pengawasan diserahkan kepada Pemerintah Daerah, Kepala Daerah
menetapkan pejabat yang berwenang melakukan pengawasan.
Dalam hal perizinan juga mengatur tentang pengelolaan limbah sebagaimana tercantum dalam
pasal 16-17:
Pasal 16
1. Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib melakukan pengelolaan limbah
hasil usaha dan/atau kegiatan.
2. Penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
menyerahkan pengelolaan limbah tersebut kepada pihak lain.
3. Ketentuan pelaksanaan pasal ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 17 :
1. Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib melakukan pengelolaan bahan
berbahaya dan beracun.
2. Pengelolaan bahan berbahaya dan beracun meliputi: menghasilkan, mengangkut,
mengedarkan, menyimpan, menggunakan dan/atau membuang.
3. Ketentuan mengenai pengelolaan bahan berbahaya dan beracun diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
Dalam pasal 5 ayat (1) UUPLH mengakui hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan
sehat. Di samping kewajiban dalam pasal 6 UUPLH:
Menurut Suparto Wijoyo dengan melihat ruang lingkup pasal 5 ayat (1) UUPLH merupakan
argumentasi hukum yang substantive bagi sesorang untuk melakukan gugatan lingkungan
terhadap pemenuhan kedua fungsi hak perseorangan termasuk forum pengadilan.
Dalam kasus pencemaran oleh kawasan industry kecil di Semarang ini memang belum ada upaya
hukum yang dilakukan. Hal ini dikarenakan kurangnya peran pemerintah salam hal pengawasan
serta belum adanya keberanian masyarakat untuk mengangkat kasus ini. Walupun mereka
merasakan dampak negatif dari pencemaran limbah tersebut.
Namun masyarakat ataupun LSM dapat mengajukan upaya hukum dalam menyelesaikan kasus
ini. Dalam hubungan dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup, penegakkan hukum dibidang lingkungan hidup dapat diklasifikasikan
kedalam 3 (tiga) kategori yaitu :
Sanksi Administrasi
Dalam UU No 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, salah satu instrumen
hukum yang berperan bila kita bicara tentang penegakkan hukum lingkungan adalah hukum
administrasi. Instrumen hukum administratif berbeda dengan instrumen lainnya, oleh karena
penyelesaiannya adalah di luar lembaga peradilan. Dengan demikian, efektivitasnya sangat tinggi
dalam pencegahan perusakan lingkungan. Sanksi administratif tercantum dalam pasal 25
Berdasarkan ketentuan diatas pelanggar dapat diperingati agar berbuat sesuai izin dan apabila
tidak, akan dikenakan sanksi yang paling keras pencabutan izin usaha perusahaan pengalengan
ikan yang terbukti membuang limbah ke pesisir Kepala Daerah dapat mengajukan usul untuk
mencabut izin usaha dan/atau kegiatan kepada pejabat yang berwenang. Selain itu pihak yang
berkepentingan dapat mengajukan permohonan kepada pejabat yang berwenang untuk mencabut
izin usaha dan/atau kegiatan karena merugikan kepentingannya (lihat pasal 27 ayat 1,2,3
UUPLH). Upaya adminisrtatif adalah upaya tercepat karena tidak memerlukan proses peradilan.
Dalam kasus pengerusakan lingkungan upaya ini terasa lebih relevan mengingat pencemaran
lingkungan hidup memerlukan upaya yang cepat agar kerugian yang ditimbulkan tidak terus
bertambah.
Sanksi Perdata
Ketentuan hukum penyelesaian perdata pada sengketa lingkungan dalam UUPLH terdapat dalam
pasal 30-39. Pada pasal Pasal 34 ayat (1) Setiap perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau
lingkungan hidup, mewajibkan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk membayar
ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu. Pada ayat (2) Selain pembebanan untuk
melakukan tindakan tertentu, hakim dapat menetapkan pembayaran uang paksa atas setiap hari
keterlambatan penyelesaian tindakan tertentu tersebut. Selanjutnya pasal 34 tidak menetapkan
lebih lanjut mengenai tata cara menggugat ganti kerugian. Pengaturan mengenai tanggunggugat
dan ganti rugi masih berlaku pasal 1365 BW.
Kesalahan
Kerugian (Schade)
Syarat lain dalam 1365 BW adalah adanya kerugian (Schade). Dlam syarat ini harus dibuktikan
adanya kerugian yang ditimbulkan dari pencemaran. Pada putusan MA tanggal 2 Juni 1971
Nomor 177 K/Sip/1971 disebutkan: Gugatan ganti rugi yang tidak dijelaskan dengan sempurna
dan tidak disertai pembuktian yang meyakinkan mengenai jumlah ganti rugi yang harus diterima
oleh pengadilan tidak dapat dikabulkan oleh pengadilan
Mengenai Ganti Rugi juga diatur dalam pasal Pasal 34 UUPLH: Setiap perbuatan melanggar
hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian
pada orang lain atau lingkungan hidup, mewajibkan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
untuk membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu.
Dalam UUPLH ini menganut asas tanggungjawab mutlak (strict liability). Pengertian
tanggungjawab mutlak adalah unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat
sebagai dasar pembayaran ganti rugi. Ketentuan ini merupkan lex specialis dalam gugatan
tentang perbuatan melanggar hukum pada umumnya.
Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang usaha dan kegiatannya menimbulkan dampak
besar dan penting terhadap lingkungan hidup, yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun,
dan/atau menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun, bertanggung jawab secara mutlak
atas kerugian yang ditimbulkan, dengan kewajiban membayar ganti rugi secara langsung dan
seketika pada saat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
Hubungan Kausal
Harus ada kaitan antara perbuatan yang melanggar hukum dengan terjadinya kerugian dengan
kata lain, pembuangan limbah tersebut harus terbukti mengakibatkan adanya kerugian pengusaha
berupa kematian tambak udang.
Relativitas
Tuntutan supaya suatu ketentuan larangan berdasarkan unang-undang atau suatu syarat dalam
iizin dipenuhi, hanya dapat diajukan oleh seorang yang bersangkutan atau terancam suatu
kepentingan yang dilindungi oleh ketentuan berdasarkan undang-undang atau ketentuan
perizinan. Mengenai siapa yang berhak melakukan gugatan. Masyarakat dan Organisasi
Lingkungan Hidup seperti LSM berhak untuk melakukan gugatan sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 37 UUPLH:
Sanksi Pidana
Dalam pemberian sanksi pidana UUPLH 1997 menetapkan sanksi maksimum, hal terebut
tercantum dalam Pasal 41:
Barang siapa yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan perbuatan yang
mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, diancam dengan pidana
penjara paling lama sepuluh tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
Dalam penerapan instrumen hukum pidana pada dasarnya bersifat sebagai upaya terakhir
(ultimum remidium), namun dalam penegakkan hukum lingkungan tidak selamanya bersifat
(ultimum remidium) karena tingkat kerusakan lingkungan di Indonesia sudah pada tingkat
memprihatinkan.
Untuk adanya perbuatan pidana di bidang Lingkungan Hidup, menurut pasal 41 sampai Pasal 47
UUPLH ditentukan agar memenuhi syarat-syarat :
1. adanya perbuatan yang memasukkan mahluk hidup, zat, energi atau komponen lain ke
dalam Lingkungan Hidup atau perbuatan yang menimulkan perubahan langsung atau
tidak langsung terhadap sifat fisik dan/ atau hayati Lingkungan Hidup
3. adanya unsur kesalahan dari perilaku baik karena kesengaajaan atau kelalaian;
4. adanya hubungan sebab akibat antara kesalahan pelaku dengan penurunan kualitas
Lingkungan Hidup sampai pada tingkat kurang / tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan
peruntukannya;
Dalam kasus Pencemaran di kawasan industri, pencemaran dilakukan bukan oleh individu saja
tetapi oleh beberapa orang atau perusahaan, mengenai pencemaran yang dilakukan secara
kolektif merujuk pada Pasal 46 UUPLH
Selain ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan
Undang-undang ini, terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup dapat pula dikenakan
tindakan tata tertib sesuai pasal 47 UUPLH
Saran
1. Segala bahan buangan yang beracun perlu pengolahan (treatment) dari Lingkungan
Indutri Kecil tersebut terlebih dahulu sebelum dibuang ke perairan, dan perairan tempat
pembuangan harus mempunyai kondisi oseanografi yang memadai. Industri-industri yang
mutlak harus didirikan di wilayah ini wajib memproses bahan-bahan buangan untuk
keperluan lain, sehingga dengan demikian dampak terhadap lingkungan dapat dibatasi