Anda di halaman 1dari 21

I.

KELUHAN UTAMA DI BIDANG THT-KL


A. Telinga
- Gangguan pendengaran/pekak (tuli)
- Suara berdenging (tinitus)
- Telinga terasa penuh
- Nyeri telinga (otalgia)
- Keluar cairan (otorrhea)
- Telinga gatal (itching)
- Benda asing di dalam telinga (corpal)
B. Hidung
- Hidung tersumbat
- Sekret di hidung (rhinorrhea)
- Sering bersin-bersin (sneezing)
- Rasa nyeri di daerah wajah dan kepala (facial pain)
- Perdarahan dari hidung (epistaksis)
- Gangguan penghidu (anosmia/hiposmia)
- Hidung berbau (foetor ex nasi)
- Benda asing di dalam hidung (corpal)
- Suara sengau (nasolalia)
C. Tenggorok
- Nyeri tenggorok
- Nyeri menelan (odinofagia)
- Batuk
- Suara serak
- Merasa banyak dahak di tenggorokan
- Sulit menelan (disfagia)
- Merasa ada yang menyumbat atau mengganjal (sense of lump in
the neck)
- Amandel (tonsilitis)
- Bau mulut (halitosis)
- Benda asing di tenggorok (corpal)
D. Kepala-leher
- Pusing berputar
- Sesak
- Benjolan di leher
- Gangguan keseimbangan

II. EPISTAKSIS (PERDARAHAN DARI HIDUNG)


A. PATOFISIOLOGI
Perdarahan hidung diawali oleh pecahnya pembuluh darah di
dalam selaput mukosa hidung. Delapan puluh persen perdarahan berasal
dari pembuluh darah Pleksus Kiesselbach (area Little). Pleksus
Kiesselbach terletak di septum nasi bagian anterior, di belakang
persambungan mukokutaneus tempat pembuluh darah yang kaya
anastomosis.1Pada umumnya terdapat dua sumber perdarahan pada
hidung, yaitu dari bagian anterior dan posterior.2
1. Epistaksis anterior dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach, merupakan
sumber perdarahan paling sering dijumpai anak-anak. Dapat juga
berasal dari arteri ethmoid anterior. Perdarahan dapat berhenti sendiri
(spontan) dan dapat dikendalikan dengan tindakan sederhana.2,3,4

Gambar 1. Epistaksis anterior2

2. Epistaksis posterior, berasal dari arteri sphenopalatina dan arteri


ethmoid posterior. Perdarahan cenderung lebih berat dan jarang
berhenti sendiri, sehingga dapat menyebabkan anemia, hipovolemi
dan syok. Sering ditemukan pada pasien dengan penyakit
kardiovaskular.2,3,4

Gambar 2. Epistaksis posterior2


Vaskularisasi Hidung
Suplai darah cavum nasi berasal dari sistem karotis yaitu arteri
karotis eksterna dan karotis interna. Arteri karotis eksterna memberikan
suplai darah terbanyak pada cavum nasi melalui :
1. Arteri sphenopalatina, cabang terminal arteri maksilaris yang berjalan
melalui foramen sphenopalatina yang memperdarahi septum tiga
perempat posterior dan dinding lateral hidung.
2. Arteri palatina desenden memberikan cabang arteri palatina mayor,
yang berjalan melalui kanalis incisivus palatum durum dan menyuplai
bagian inferoanterior septum nasi. Sistem karotis interna melalui arteri
oftalmika mempercabangkan arteri ethmoid anterior dan posterior
yang mendarahi septum dan dinding lateral superior.1

Gambar 3. Vaskularisasi hidung5


Gambar 4. Pleksus Kiesselbach1

B. GAMBARAN KLINIS DAN PEMERIKSAAN


1. Anamnesis
Pasien sering menyatakan bahwa perdarahan berasal dari
bagian depan dan belakang hidung. Perhatian ditujukan pada bagian
hidung tempat awal terjadinya perdarahan atau pada bagian hidung
yang terbanyak mengeluarkan darah.4
Kebanyakan kasus epistaksis timbul sekunder trauma yang
disebabkan oleh mengorek hidung menahun atau mengorek krusta
yang telah terbentuk akibat pengeringan mukosa hidung berlebihan.
Penting mendapatkan riwayat trauma terperinci. Riwayat pengobatan
atau penyalahgunaan alkohol terperinci harus dicari. Banyak pasien
minum aspirin secara teratur untuk banyak alasan. Aspirin merupakan
penghambat fungsi trombosit dan dapat menyebabkan pemanjangan
atau perdarahan. Penting mengenal bahwa efek ini berlangsung
beberapa waktu dan bahwa aspirin ditemukan sebagai komponen
dalam sangat banyak produk. Alkohol merupakan senyawa lain yang
banyak digunakan, yang mengubah fungsi pembekuan secara
bermakna.2
2. Pemeriksaan fisik
Alat-alat yang diperlukan untuk pemeriksaan adalah lampu
kepala, spekulum hidung, alat penghisap, pinset bayonet, kapas, kain
kassa. Untuk pemeriksaan yang adekuat pasien harus ditempatkan
dalam posisi dan ketinggian yang memudahkan pemeriksa bekerja.
Harus cukup sesuai untuk mengobservasi atau mengeksplorasi sisi
dalam hidung.2
Dengan spekulum hidung dibuka dan dengan alat pengisap
dibersihkan semua kotoran dalam hidung baik cairan, sekret maupun
darah yang sudah membeku; sesudah dibersihkan semua lapangan
dalam hidung diobservasi untuk mencari tempat dan faktor-faktor
penyebab perdarahan. Setelah hidung dibersihkan, dimasukkan kapas
yang dibasahi dengan larutan anestesi lokal yaitu larutan pantokain 2%
atau larutan lidokain 2% yang ditetesi larutan adrenalin 1/1000 ke
dalam hidung untuk menghilangkan rasa sakit dan membuat
vasokontriksi pembuluh darah sehingga perdarahan dapat berhenti
untuk sementara.3,4,6 Sesudah 10 sampai 15 menit kapas dalam hidung
dikeluarkan dan dilakukan evaluasi.6
Pasien yang mengalami perdarahan berulang atau sekret
berdarah dari hidung yang bersifat kronik memerlukan fokus
diagnostik yang berbeda dengan pasien dengan perdarahan hidung
aktif yang prioritas utamanya adalah menghentikan perdarahan.
Pemeriksaan yang diperlukan berupa:2,4
a) Rinoskopi anterior
Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari
anterior ke posterior. Vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi,
dinding lateral hidung dan konkha inferior harus diperiksa dengan
cermat.
Gambar 5. Rhinoskopi Anterior
b) Rinoskopi posterior
Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting
pada pasien dengan epistaksis berulang dan sekret hidung kronik
untuk menyingkirkan neoplasma
c) Pengukuran tekanan darah
Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis
hipertensi, karena hipertensi dapat menyebabkan epistaksis yang
hebat dan sering berulang.
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan awal berupa visualisasi langsung yang dilengkapi
sumber cahaya yang baik, spekulum nasal, dan penyedot nasal
seharusnya sudah cukup pada sebagian besar pasien sehingga pada
sebagian besar kasus, pemeriksaan penunjang tidak diperlukan atau
tidak membantu pada epistaksis untuk yang pertama kalinya atau
jarang berulang dan disertai dengan riwayat mengorek hidung atau
trauma terhadap hidung. Tetapi, pemeriksaan penunjang diperlukan
bila terjadi pendarahan hebat atau dicurigai terdapat koagulopati.
a) Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menilai kondisi


pasien dan masalah medis penyebab epistaksis, biasanya tidak
dilakukan bila pendarahan bersifat minor dan tidak berulang. Bila
terdapat riwayat pendarahan berat yang berulang, kelainan platelet,
atau neoplasia, dilakukan pemeriksaan darah lengkap. Bleeding
time adalah pemeriksaan skrining yang baik untuk kecurigaan
terdapatnya kelainan pendarahan. Pemeriksaan International
Normalized Ratio (INR)atau prothrombin time (PT) dilakukan bila
pasien dicurigai mengkonsumsi warfarin atau menderita penyakit
liver.

b) Pemeriksaan radiologi

Pemeriksaan CT scan (Computed Tomography Scanning)


atau MRI (Magnetic Resonance Imaging) diindikasikan untuk
menilai anatomi dan menentukan kehadiran dan perluasan dari
rinosinusitis, benda asing, dan neoplasma.

c) Nasofaringoskopi atau endoskopi

Pemeriksaan ini dapat dilakukan bila tumor dicurigai


sebagai penyebab pendarahan.

Gambar 6.Tampilan endoskopi epistaksis posterior4

C. DIAGNOSIS BANDING
Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab-sebab lokal dan umum
atau kelainan sistemik:1,2,3,4
1. Lokal
a. Trauma
Perdarahan dapat terjadi karena trauma ringan misalnya
mengorek hidung, benturan ringan, bersin atau mengeluarkan ingus
terlalu keras, atau sebagai akibat trauma yang lebih hebat seperti
kena pukul, jatuh atau kecelakaan lalu lintas. Trauma karena sering
mengorek hidung dapat menyebabkan ulserasi dan perdarahan di
mukosa bagian septum anterior. Selain itu epistaksis juga bisa
terjadi akibat adanya benda asing tajam atau trauma pembedahan.6
Epistaksis sering juga terjadi karena adanya spina septum
yang tajam. Perdarahan dapat terjadi di tempat spina itu sendiri
atau pada mukosa konka yang berhadapan bila konka itu sedang
mengalami pembengkakan.Bagian anterior septum nasi, bila
mengalami deviasi atau perforasi, akan terpapar aliran udara
pernafasan yang cenderung mengeringkan sekresi hidung.
Pembentukan krusta yang keras dan usaha melepaskan dengan jari
menimbulkan trauma digital. Pengeluaran krusta berulang
menyebabkan erosi membrana mukosa septum dan kemudian
perdarahan.
Benda asing yang berada di hidung dapat menyebabkan
trauma local, misalnya pada pipa nasogastrik dan pipa nasotrakea
yang menyebakan trauma pada mukosa hidung.Trauma hidung dan
wajah sering menyebabkan epistaksis. Jika perdarahan disebabkan
karena laserasi minimal dari mukosa biasanya perdarahan yang
terjadi sedikit tetapi trauma wajah yang berat dapat menyebabkan
perdarahan yang banyak.1,3
b. Infeksi lokal
Epistaksis bisa terjadi pada infeksi hidung dan sinus
paranasal seperti rhinitis atau sinusitis.1 Infeksi akan menyebabkan
inflamasi yang akan merusak mukosa. Inflamasi akan
menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah setempat
sehingga memudahkan terjadinya perdarahan di hidung.1,4
c. Neoplasma
Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya
sedikit dan intermiten, kadang-kadang ditandai dengan mukus yang
bernoda darah, Hemangioma, angiofibroma dapat menyebabkan
epistaksis berat. Karena pada tumor terjadi pertumbuhan sel yang
abnormal dan pembentukan pembuluh darah yang baru
(neovaskularisasi) yang bersifat rapuh sehingga memudahkan
terjadinya perdarahan.2,4
d. Kelainan kongenital
Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis
ialah perdarahan telangiektasis heriditer (hereditary hemorrhagic
telangiectasia/Osler's disease). Juga sering terjadi pada Von
Willendbrand disease. Telengiectasis hemorrhagic hereditary
adalah kelainan bentuk pembuluh darah dimana terjadi pelebaran
kapiler yang bersifat rapuh sehingga memudah kan terjadinya
perdarahan.2
Jika ada cedara jaringan, terjadi kerusakan pembuluh darah
dan akan menyebabkan kebocoran darah melalui lubang pada
dinding pembuluh darah. Pembuluh dapat rusak dekat permukaan
seperti saat terpotong. Atau dapat rusak di bagian dalam tubuh
sehingga terjadi memar atau perdarahan dalam.6
Jika pembuluh darah terluka, ada empat tahap untuk
membentuk bekuan darah yang normal.6

Gambar 7a. Pembekuan darah normal


Gambar 7b. Pembekuan darah tidak normal

Tahap 1 Pembuluh darah terluka dan mulai mengalami


perdarahan.
Tahap 2 Pembuluh darah menyempit untuk memperlambat
aliran darah ke daerah yang luka.
Tahap 3 Trombosit melekat dan menyebar pada dinding
pembuluh darah yang rusak. Ini disebut adesi
trombosit. Trombosit yang menyebar melepaskan zat
yang mengaktifkan trombosit lain didekatnya
sehingga akan menggumpal membentuk sumbat
trombosit pada tempat yang terluka. Ini disebut
agregasi trombosit.
Tahap 4 Permukaan trombosit yang teraktivasi menjadi
permukaan tempat terjadinya bekuan darah. Protein
pembekuan darah yang beredar dalam darah
diaktifkan pada permukaan trombosit membentuk
jaringan bekuan fibrin.
Protein ini (Faktor I, II, V, VII, VIII, IX, X, XI, XII dan
XIII dan Faktor Von Willebrand ) bekerja seperti kartu domino,
dalam reaksi berantai. Ini disebut cascade.
VWD dapat terjadi pada dua tahap terakhir pada proses
pembekuan darah.2,6
1. Pada tahap ke 3, seseorang dapat berkemungkinan tidak
memiliki cukup Faktor Von Willebrand (VWF) di dalam
darahnya atau faktor tersebut tidak berfungsi secara normal.
Akibatnya VWF tidak dapat bertindak sebagai perekat untuk
menyangga trombosit di sekitar daerah pembuluh darah yang
mengalami kerusakan. Trombosit tidak dapat melapisi dinding
pembuluh darah.

2. Pada tahap ke 4, VWF membawa Faktor VIII. Faktor VIII


adalah salah satu protein yang dibutuhkan untuk membentuk
jaringan yang kuat. Tanpa adanya faktor VIII dalam dalam
jumlah yang normal maka proses pembekuan darah akan
memakan waktu yang lebih lama. Akibatnya VWF tidak dapat
bertindak sebagai perekat untuk menyangga trombosit di
sekitar daerah pembuluh darah yang mengalami kerusakan.

e. Pengaruh lingkungan
Kelembaban udara yang rendah dapat menyebabkan iritasi
mukosa. Epistaksis sering terjadi pada udara yang kering dan saat
musim dingin yang disebabkan oleh dehumidifikasi mukosa nasal
selain itu bisa di sebabkan oleh zat-zat kimia yang bersifat korosif
yang dapat menyebabkan kekeringan mukosa sehingga pembuluh
darah gampang pecah.4,5
f. Deviasi septum
Deviasi septum ialah suatu keadaan dimana terjadi
peralihan posisi dari septum nasi dari letaknya yang berada di garis
medial tubuh. Selain itu dapat menyebabkan turbulensi udara yang
dapat menyebabkan terbentuknya krusta. Pembuluh darah
mengalami ruptur bahkan oleh trauma yang sangat ringan seperti
mengosok-gosok hidung.2,3
2. Sistemik
a. Kelainan darah
Beberapa kelainan darah yang dapat menyebabkan
epistaksis adalah trombositopenia, hemofilia dan leukemia.
Trombosit adalah fragmen sitoplasma megakariosit yang tidak
berinti dan dibentuk di sumsum tulang. Trombosit berfungsi untuk
pembekuan darah bila terjadi trauma. Trombosit pada pembuluh
darah yang rusak akan melepaskan serotonin dan tromboksan
A(prostaglandin), hal ini menyebabkan otot polos dinding
pembuluh darah berkonstriksi. Pada awalnya akan mengurangi
darah yang hilang. Kemudian trombosit membengkak, menjadi
lengket, dan menempel pada serabut kolagen dinding pembuluh
darah yang rusak danmembentuk plug trombosit. Trombosit juga
akan melepas ADP untuk mengaktivasi trombosit lain, sehingga
mengakibatkan agregasi trombosit untuk memperkuat plug.
Trombositopenia adalah keadaan dimana jumlah trombosit kurang
dari 150.000/ l. Trombositopenia akan memperlama waktu
koagulasi dan memperbesar resiko terjadinya perdarahan dalam
pembuluh darah kecil di seluruh tubuh sehingga dapat terjadi
epistaksis pada keadaan trombositopenia.1,4
Hemofilia adalah penyakit gangguan koagulasi herediter
yang diturunkan secara X-linked resesif. Gangguan terjadi pada
jalur intrinsik mekanisme hemostasis herediter, dimana terjadi
defisiensi atau defek dari faktor pembekuan VIII (hemofilia A) atau
IX (hemofilia B). Darah pada penderita hemofilia tidak dapat
membeku dengan sendirinya secara normal. Proses pembekuan
darah berjalan amat lambat. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya
epistaksis.
Leukemia adalah jenis penyakit kanker yang menyerang
sel-sel darah putih yang diproduksi oleh .sumsum tulang (bone
marrow). Sumsum tulang atau bone marrow ini dalam tubuh
manusia memproduksi tiga tipe sel darah diantaranya sel darah
putih (berfungsi sebagai daya tahan tubuh melawan infeksi), sel
darah merah (berfungsi membawa oksigen kedalam tubuh) dan
trombosit (bagian kecil sel darah yang membantu proses
pembekuan darah). Pada Leukemia terjadi peningkatan
pembentukan sel leukosit sehingga menyebabkan penekanan atau
gangguan pembentukan sel-sel darah yang lain di sumsum tulang
termasuk trombosit. Sehingga terjadi keadaan trombositpenia yang
menyebabkan perdarahan mudah terjadi.1,2,4
Obat-obatan seperti terapi antikoagulan, aspirin dan
fenilbutazon dapat pula mempredisposisi epistaksis berulang.
Aspirin mempunyai efek antiplatelet yaitu dengan menginhibisi
produksi tromboksan, yang pada keadaan normal akan mengikat
molekul-molekul trombosit untuk membuat suatu sumbatan pada
dinding pembuluh darah yang rusak. Aspirin dapat menyebabkan
peoses pembekuan darah menjadi lebih lama sehingga dapat terjadi
perdarahan. Oleh karena itu,aspirin dapat menyebabkan epistaksis.3
b. Penyakit kardiovaskuler
Hipertensi dan kelainan pembuluh darah, seperti pada
aterosklerosis, sirosis hepatis, diabetes melitus dapat menyebabkan
epistaksis. Epistaksis akibat hipertensi biasanya hebat, sering
kambuh dan prognosisnya tidak baik.1,3,4
1) Hipertensi

Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik


lebih dari 140 mmHG dan tekanan darah diastolic lebih dari 90
mmhg. Epistaksis sering terjadi pada tekanan darah tinggi
karena kerapuhan pembuluh darah yang di sebabkan oleh
penyakit hipertensi yang kronis terjadilah kontraksi pembuluh
darah terus menerus yang mengakibatkan mudah pecahnya
pembuluh darah yang tipis.

2) Arteriosklerosis
Pada arteriosklerosis terjadi kekakuan pembuluh darah.
Jika terjadi keadaan tekanan darah meningkat, pembuluh darah
tidak bisa mengompensasi dengan vasodilatasi, menyebabkan
rupture dari pembuluh darah.

3) Sirosis hepatis

Hati merupakan organ penting bagi sintesis protein-


protein yang berkaitan dengan koagulasi darah, misalnya:
membentuk fibrinogen, protrombin, faktor V, VII, IX, X dan
vitamin K. Pada sirosis hepatis fungsi sintesis protein-protein
dan vitamin yang dibutuhkan untuk pembekuan darah
terganggu sehingga mudah terjadinya perdarahan. Sehingga
epistaksis bisa terjadi pada penderita sirosis hepatis.

4) Diabetes mellitus

Terjadi peningkatan gula darah yang meyebabkan


kerusakan mikroangiopati dan makroangiopati. Kadar gula
darah yang tinggi dapat menyebabkan sel endotelial pada
pembuluh darah mengambil glukosa lebih dari normal sehingga
terbentuklah lebih banyak glikoprotein pada permukaannya dan
hal ini juga menyebabkan basal membran semakin menebal dan
lemah. Dinding pembuluh darah menjadi lebih tebal tapi lemah
sehingga mudah terjadi perdarahan. Sehingga epistaksis dapat
terjadi pada pasien diabetes mellitus.
c. Infeksi akut
Demam berdarah
Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks
antigen-antibodi selain mengaktivasi sistem komplemen, juga
menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivitasi sistem
koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah. Kedua
faktor tersebut akan menyebabkan perdarahan pada DBD. Agregasi
trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-
antibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran
ADP (adenosin di phosphat), sehingga trombosit melekat satu sama
iain. Hal ini akan menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES
(reticulo endothelial system) sehingga terjadi trombositopenia.
Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran platelet
faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif (KID =
koagulasi intravaskular deseminata), ditandai dengan peningkatan
FDP (fibrinogen degredation product) sehingga terjadi penurunan
faktor pembekuan. Oleh karena itu epistaksis sering terjadi pada
kasus demam berdarah.1,3,4
d. Gangguan hormonal
Pada saat hamil terjadi peningkatan estrogen dan
progestron yang tinggi di pembuluh darah yang menuju ke semua
membran mukosa di tubuh termasuk di hidung yang menyebabkan
mukosa bengkak dan rapuh dan akhirnya terjadinya epistaksis.1
e. Alkoholisme
Alkohol dapat menyebabkan sel darah merah menggumpal
sehingga menyebabkan terjadinya sumbatan pada pembuluh darah.
Hal ini menyebabkan terjadinya hipoksia dan kematian sel. Selain
itu hal ini menyebabkan peningkatan tekanan intravascular yang
dapat mengakibatkan pecahnya pembuluh darah sehingga dapat
terjadi epistaksis.4

D. PENATALAKSANAAN
Tujuan pengobatan epistaksis adalah untuk menghentikan
perdarahan. Hal-hal yang penting dicari tahu adalah:2,4,7
1. Riwayat perdarahan sebelumnya.
2. Lokasi perdarahan.
3. Apakah darah terutama mengalir ke tenggorokan (ke posterior) atau
keluar dari hidung depan (anterior) bila pasien duduk tegak.
4. Lamanya perdarahan dan frekuensinya
5. Riwayat gangguan perdarahan dalam keluarga
6. Hipertensi
7. Diabetes melitus
8. Penyakit hati
9. Gangguan koagulasi
10. Trauma hidung yang belum lama
11. Obat-obatan, misalnya aspirin, fenil butazon
Tiga prinsip utama dalam menanggulangi
epistaksis yaitumenghentikan perdarahan, mencegah komplikasi dan
mencegah berulangnya epistaksis. Kalau ada syok, perbaiki dulu kedaan
umum pasien(6). Tindakan yang dapat dilakukan antara lain:2,3,6
a. Perbaiki keadaan umum penderita, penderita diperiksa dalam posisi
duduk kecuali bila penderita sangat lemah atau keadaaan syok.
b. Pada anak yang sering mengalami epistaksis ringan, perdarahan dapat
dihentikan dengan cara duduk dengan kepala ditegakkan, kemudian
cuping hidung ditekan ke arah septum selama beberapa menit (metode
Trotter).

Gambar 8. Metode Trotter


c. Tentukan sumber perdarahan dengan memasang tampon anterior yang
telah dibasahi dengan adrenalin dan pantokain/ lidokain, serta bantuan
alat penghisap untuk membersihkan bekuan darah.
d. Pada epistaksis anterior, jika sumber perdarahan dapat dilihat dengan
jelas, dilakukan kaustik dengan larutan nitras argenti 20%-30%, asam
trikloroasetat 10% atau dengan elektrokauter. Sebelum kaustik
diberikan analgesia topikal terlebih dahulu.
e. Bila dengan kaustik perdarahan anterior masih terus berlangsung,
diperlukan pemasangan tampon anterior dengan kapas atau kain kasa
yang diberi vaselin yang dicampur betadin atau zat antibiotika. Dapat
juga dipakai tampon rol yang dibuat dari kasa sehingga menyerupai
pita dengan lebar kurang cm, diletakkan berlapis-lapis mulai dari
dasar sampai ke puncak rongga hidung. Tampon yang dipasang harus
menekan tempat asal perdarahan dan dapat dipertahankan selama 1-2
hari.

Gambar 9.Tampon anterior

f. Perdarahan posterior diatasi dengan pemasangan tampon posterior


atau tampon Bellocq, dibuat dari kasa dengan ukuran lebih kurang
3x2x2 cm dan mempunyai 3 buah benang, 2 buah pada satu sisi
dan sebuah lagi pada sisi yang lainnya. Tampon harus menutup
koana (nares posterior). Setiap pasien dengan tampon Bellocque
harus dirawat.

Gambar 10. Tampon Bellocque

g. Sebagai pengganti tampon Bellocq dapat dipakai kateter Foley


dengan balon. Balon diletakkan di nasofaring dan dikembangkan
dengan air.
Gambar 11. Tampon posterior dengan Kateter Foley

h. Di samping pemasangan tampon, dapat juga diberi obat-obat


hemostatik. Akan tetapi ada yang berpendapat obat-obat ini sedikit
sekali manfaatnya.
i. Ligasi arteri dilakukan pada epistaksis berat dan berulang yang
tidak dapat diatasi dengan pemasangan tampon posterior. Untuk itu
pasien harus dirujuk ke rumah sakit.

Farmakologi
Terapi farmakologi hanya berperan sebagai pengobatan suportif dalam
menangani pasien dengan epistaksis.
1. Vasokonstriktor topikal

Obat tersebut bekerja pada reseptor alfa adrenergik pada mukosa


nasal yang menyebabkan vasokonstriksi.
Oxymetazoline 0.05% (Afrin) dioleskan langsung pada membran
mukosa nasal, dimana akan menstimulasi reseptor alfa adrenergik dan
menyebabkan vasokonstriksi. Dekongesi terjadi tanpa perubahan drastis
pada tekanan darah, distribusi vaskular, atau stimulasi jantung.
Oxymetazoline dapat dikombinasi dengan lidokain 4% untuk memberikan
efek anestesi dan vasokonstriksi nasal yang efektif. Dosis 2 tetes atau
semprotan per kavum nasi sebanyak 2 kali sehari, dosis maksimum adalah
2 kali dosis anjuran per 24 jam dan durasi maksimum adalah 3-5 hari.
2. Anestesi topikal
Ketika obat anestesi diberikan bersamaan dengan obat
vasokonstriktor, maka efek anestesinya akan diperpanjang dan ambang
nyeri meningkat.
Lidokain 4% (xylocaine) mengurangi permeabilitas ion natrium di
membran neuronal, sehingga menghambat depolarisasi dan menghambat
transmisi impuls saraf. Dosis 1-3 mL setiap pemberian, dosis maksimum 3
mg/kg, tidak boleh diberikan dengan interval kurang dari 2 jam.
3. Salep antibiotik

Salep antibiotik digunakan untuk mencegah infeksi lokal dan


memberikan kelembapan lokal.
Salep mupirocin 2% (bactroban nasal) menghambat pertumbuhan
bakteri dengan mengambat RNA dan sintesis protein. dioleskan pada area
yang terkena tiga kali sehari.
4. Agen kauterisasi

Agen kauterisasi menggumpalkan protein sehingga mengurangi


pendarahan. Silver nitrat menggumpalkan protein dan membuang jaringan
granulasi juga mempunyai efek anti-bakteri. Kapas yang telah dililitkan
pada aplikator dicelupkan ke dalam larutan lalu dioleskan pada area yang
terkena 2-3 kali per minggu selama 2-3 minggu.
Pasien Epitaksis

Kardiovaskuler
Spontan Tumor Kelainan darah/ Infeksi Trauma
hormonal

Angiofibroma, Rhinosinusitis
Hemofilia, HT, DM,
Carsinoma kronis, DBD
anemia, aterosklerosis,
nasofaring, leukimia sirosis
hemangioma

Pantau KUVS (waspada syok, aspirasi), stabilkan KU, posisikan duduk, pasang infuse.
Pasang tampon adrenalin 1/1000 + lidokain 2% selama 10-15 menit (pada hipertensi pasang
tampon tanpa adrenalin, tekanan ringan)

Observasi ulang/ Epitaksis Posterior


Epitaksis Anterior Diagnosa

- Darah hanya mengalir dari


- Darah yang mengalir dari
lubang hidung depan dan
lubang hidung depan.
belakang (ludah campur darah/
- Titik perdarahan dapat hematemesis
ditentukan, bila perdarahan
- Pasang tampon anterior dan
berhenti.
bellocq dengan antibiotic dan
- Bila perdarahan berlanjut antiseptic selama 2 hari
pasang tampon anterior
dengan antibiotic dan
antiseptic selama 2 hari.
Plan
Stabilkan KUVS, cari dan obati penyakit yang mendasari, cek darah lengkap,
rontgen, CT Scan
DAFTAR PUSTAKA

1. Kucik CJ, Timothy C. Management of epistaxis. American Family Physician, 2005; 71


(2).
2. Anias CR. Epistaxis. Otorrhinolaryngology.
http://www.medstudents.com.br/otor/otor3.htm diakses November 2016.
3. Schlosser RJ. Epistaxis. New England Journal Of Medicine, 2009; 83 (3).
4. Evans JA. Epistaxis: Treatment & Medication. eMedicines Specialities.
http://emedicine.medscape.com/article/764719-treatment diakses November 2016
5. Iskandar N, Supardi EA. (eds) Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan.
Edisi Keempat, Jakarta FKUI, 2000; 91, 127-31.
6. Freeman R. Nosebleed. Health Information Home.
http://my.clevelandclinic.org/disorders/Nosebleed/hic_Nosebleed_Epistaxis.aspx diakses
November 2016.
7. Adam GL, Boies LR, Higler PA. (eds) Buku Ajar Penyakit THT, Edisi Keenam,
Philadelphia : WB Saunders, 1989. Editor Effendi H. Cetakan III. Jakarta, Penerbit EGC,
1997.

Anda mungkin juga menyukai