Anda di halaman 1dari 4

TUGAS

Disusun oleh:

Nama : Denada Heliza Widiani

NIM : A0D016029

Prodi : D3 Perpajakan/A

D3 PERPAJAKAN

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS MATARAM

2017
Contoh kasus SKPKB
PT X mempunyai tahun buku sama dengan tahun takwin memasukkan SPT Tahunan PPh
Badan untuk tahun pajak 2013 tepat pada waktunya yang disertai dengan setoran akhir.
Pada bu1an Juni 2015 dikeluarkan SKPKB yang menunjukkan kekurangan pajak yang
terutang sebesar Rp 5.000.000,- (dua juta rupiah). Berdasarkan ketentuan di atas maka atas
kekurangan tersebut dikenakan sanksi bunga 2% ( dua persen) per bulan.
Walaupun SKPKB tersebut diterbitkan lebih dari 2 (dua) tahun sejak berakhirnya tahun pajak,
sanksi bunga yang dikenakan atas kekurangan tersebut hanya untuk masa dua tahun dengan
perhitungan sebagai berikut :
- Kekurangan pajak yang terutang Rp 5.000.000,-
- Bunga 2 tahun = 2% x 2 x 12 x Rp 5.000.000,- Rp 960.000,- (+)
Masih harus dibayar Rp 7.400.000,-
Contoh kasus SKPKBT
Pada tahun 1996 Pak Marto memperoleh penghasilan dari persewaan mobil miliknya kepada
PT Maju Perkasa, sebesar Rp15.000.000. Pak Marto tidak melaporkan penghasilan sewa
mobil tersebut di SPT Tahunan PPh Orang Pribadi Tahun Pajak 1996. Pada saat dilakukan
pemeriksaan pajak atas SPT Tahunan PPh orang pribadi tahun pajak 1996, Pak Marto tidak
memberikan data atau keterangan kepada fiskus mengenai penghasilan sewa mobil yang
belum dilaporkan di SPT. Akhirnya, pada tahun 1998 fiskus menerbitkan SKPKB PPh Orang
Pribadi tahun pajak 1996 kepada Pak Marto tanpa memperhitungkan adanya penghasilan
sewa mobil yang belum dilaporkan.
Tahun 1999 fiskus mendapatkan data berupa bukti Pemotongan PPh pasal 23 atas penghasilan
sewa mobil yang dipotong oleh PT. Maju Perkasa. Dalam Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 itu
disebutkan penghasilan bruto sewa mobil yang diperoleh Pak Marto sebesar Rp15.000.000,
telah dipotong PPh Pasal 23 dengan tarif 6% atau sebesar Rp900.000 (misal terjadi dalam
kurun waktu berlakunya KEP-59/PJ.1/1996.
Dengan Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 tersebut Pak Marto terbukti tidak melaporkan
penghasilan sewa mobil yang telah diperoleh pada tahun 1996 sebesar Rp15.000.000 di
dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadi Tahun Pajak 1996. Pada saat dilakukan pemeriksaan
atas SPT PPh tahun pajak 1996, Pak Marto juga tidak memberikan data atau mengungkapkan
mengenai adanya penghasilan sewa mobil yang belum dilaporkan di SPT PPh-nya. Dengan
demikian, Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 yang dibuat oleh PT. Maju Perkasa dapat
dipergunakan sebagai data baru (novum) untuk melakukan pemeriksaan ulang dan menjadi
dasar penerbitan SKPKBT PPh Orang Pribadi tahun pajak 1996 kepada Pak Marto.
Pemeriksaan atas SPT PPh Orang Pribadi tahun pajak 1996 dan SKPKB diterbitkan tahun
1998 dengan jumlah Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp150.000.000. PPh terutang sebesar
Rp 36.250.000 telah dibayar lunas oleh Pak Marto. Maka perhitungan SKPKBT menjadi
sebagai berikut:

Penghasilan Kena Pajak sesuai SKPKB terdahulu Rp 150.000.000


Koreksi Positif Penghasilan Sewa Mobil Rp 15.000.000 +/+
Penghasilan Kena Pajak dalam SKPKBT Rp 165.000.000
PPh Tahunan Pajak 1996 yang terutang Rp 40.750.000

Kredit Pajak
- PPh yang telah dilunasi sebelumnya Rp 36.250.000
- Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 atas penghasilan Rp 900.000 +/+
Sewa mobil dari PT. Maju Perkasa
Jumlah kredit pajak Rp 37.150.000

Jumlah PPh yang kurang di bayar Rp 3.600.000


Sanksi sesuai ketentuan pasal 15 (2) UU KUP
100% X Rp 3.600.000 = Rp 3.600.000 +/+
Jumlah yang masih harus dibayar menurut
SKPKBT PPh Orang Pribadi Tahun Pajak 1996 Rp 7.200.000
Keterangan:
- Contoh kasus terjadi pada tahun pajak 1996, sehingga penghitungan PPh terutang
menggunakan tarif berdasarkan Pasal 17 UU Nomor 7 Tahun 1983 yang telah diubah
dengan UU Nomor 10 Tahun 1994.
- Penghasilan sewa mobil dikoreksi positif sebagai penghasilan Wajib Pajak,sehingga
Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 atas penghasilan sewa mobil tersebut harus
diperhitungkan sebagai kredit pajak.

Anda mungkin juga menyukai