Annisa Diah - Ip2
Annisa Diah - Ip2
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Pendidikan Pancasila
Penyusun :
160565201048
Tanjungpinang
Tahun 2016
1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan atas ke hadirat Illahi Rabbi, berkat rahmat
dan karunia-Nya saya dapat menyelesaikan salah satu tugas mata kuliah
Pendidikan Pancasila dengan judul Membangun Karakter Generasi Muda
Berbasis Multikultural dan Kearifan Lokal.
Tak lupa pada kesempatan ini izinkan saya mengucapkan terima kasih dan
penghargaan setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu,
sehingga tugas ini dapat terselesaikan, semoga amal ibadahnya mendapat balasan
yang setimpal dari Allah SWT.
Tiada lain harapan saya agar karya tulis ini dapat bermanfaat, khususnya
bagi saya dan para pembaca pada umumnya.
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR 2
BAB I PENDAHULUAN 4
2.2. Tujuan 6
3.2. Perkembangan Pendidikan Karakter Bangsa Masa Orde Lama dan Baru 8
BAB IV REKOMENDASI 18
BAB V KESIMPULAN 28
3
BAB VI DAFTAR PUSTAKA 29
4
BAB I
PENDAHULUAN
5
ke dalam sistem jaringan global. Globalisasi dalam kehidupan politik, ekonomi,
sosial, dan budaya dapat memberikan dampak positif maupun negatif bagi bangsa
Indonesia sebab dengan kecanggihan teknologi itu seluruh informasi yang datang
dari berbagai belahan dunia dapat diakses dengan mudah. Tidak jarang globalisasi
juga melahirkan peristiwa negatif terhadap melemahnya kearifan budaya lokal.
Apabila tidak diantisipasi dengan memperkuat filter budaya dan agama, maka
globalisasi akan dapat merugikan terhadap eksistensi nilai-nilai budaya bangsa
yang merupakan kekayaan sebagai potensi pembangunan dan kemajuan bangsa
Indonesia.
6
BAB II
IDENTIFIKASI MASALAH
2.2. Tujuan
7
BAB III
PEMBAHASAN MASALAH
8
dan warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga
masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau
bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi
oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan
karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pendidikan nilai, yakni
pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia
sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda.
Oleh karena itu pendidikan karakter harus digali dari landasan idiil
Pancasila, dan landasan konstitusional UUD 1945. Sejarah Indonesia
memperlihatkan bahwa pada tahun 1928, ikrar Sumpah Pemuda menegaskan
tekad untuk membangun nasional Indonesia. Mereka bersumpah untuk berbangsa,
bertanah air, dan berbahasa satu yaitu Indonesia. Ketika merdeka dipilihnya
bentuk negara kesatuan. Kedua peristiwa sejarah ini menunjukan suatu kebutuhan
yang secara sosio-politis merefleksi keberadaan watak pluralisme tersebut.
Kenyataan sejarah dan sosial budaya tersebut lebih diperkuat lagi melalui arti
simbol Bhinneka Tunggal Ika pada lambang negara Indonesia.
9
kaki sendiri. Beliau mengajak bangsa dan seluruh rakyat Indonesia untuk tidak
bergantung pada bangsa lain, melainkan harus menjadi bangsa yang mandiri.
Ajakan untuk menjadi bangsa yang mandiri ini dilanjutkan dengan program
Trisakti, yaitu kemandirian di bidang politik, ekonomi, dan budaya.
Pada masa orde baru, keinginan untuk menjadi bangsa yang bermartabat
tidak pernah surut. Presiden Soeharto, sebagai pemimpin orde baru, menghendaki
bangsa Indonesia senantiasa bersendikan pada nilai-nilai Pancasila dan ingin
menjadikan warga negara Indonesia menjadi manusia Pancasila melalui penataran
P-4 (pedoman, penghayatan dan pengamalan Pancasila). Secara filosofis
penataran ini sejalan dengan kehendak pendiri negara, yaitu ingin menjadikan
rakyat Indonesia sebagai manusia Pancasila, namun secara praksis penataran ini
dilakukan dengan metodologi yang tidak tepat karena menggunakan cara-cara
indoktrinasi dan tanpa keteladanan yang baik dari para penyelenggara negara
sebagai prasyarat keberhasilan penataran P-4. Sehingga bisa dipahami jika pada
akhirnya penataran P-4 ini mengalami kegagalan, meskipun telah diubah
pendekatannya dengan menggunakan pendekatan kontekstual.
10
diperkenalkan bidang kajian Pendidikan Kewarganegaraan yang baru dengan
nama Pendidikan Moral Pancasila yang disingkat PMP. Label PMP yang
diharuskan ada dalam kurikulum di semua tingkat pendidikan sejak Taman
Kanak-kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi, meski tidak secara khusus menunjuk
pada satu bidang studi, namun telah ditafsirkan sebagai satu mata pelajaran
tersendiri.
11
3.3. Perkembangan Pendidikan Karakter Warga Negara di Era Reformasi
12
multikulturalisme adalah cara pandang kebudayaan yang diwujudkan secara
konkret dalam kehidupan yang nyata.
13
mengabaikan hak-hak dan eksistensi budaya yang ada. Dengan kata lain,
penekanan utama multikultural adalah kesetaraan budaya.
14
Jadi multikulturalisme berkaitan dengan pengertian, penerimaan dan
penghargaan terhadap perbedaan dalam kesederajatan baik individu maupun
kelompok yang berkaitan dengan pendapat, agama, ide, bahasa, tradisi, adat
istiadat, dan unsur-unsur nilai budaya lainnya.
Dari beberapa pengertian yang diberikan oleh para ahli di atas, terdapat
pengertian yang mendunia, yaitu multikulturalisme sebagai pandangan dunia yang
kemudian diwujudkan ke dalam politic of recognition. Hal seperti itu disampaikan
oleh Parek dalam bukunya National Cultural and Multiculturalisme, yang secara
jelas membedakan lima macam multikulturalisme, sebagai berikut :
15
diposisikan sejajar dan setara. Tidak ada yang lebih tinggi dan tidak ada yang
lebih dominan. Semua kebudayaan pada dasarnya mempunyai kearifan-kearifan
yang tidak dapat dinilai dari segi positif-negatif dan tidak dapat dijelaskan melalui
kaca mata kebudayaan lainnya.
16
e) Mampu memberi arah pada perkembangan budaya.
17
telah hidup berdampingan sejak abad ke XVI ketika kerajaan Bali berpusat di
Gelgel (Klungkung), di bawah kepemimpinan Dalem Waturenggong. Jejak
pluralisme Bali salah satunya digambarkan Saleh Saidi dalam Lingua Fanca,
yaitu dalam bentuk akulturasi Islam dan Hindu di Bali. Akulturasi tersebut
terdapat pada penamaan, bahasa dan istilah, dan sastra (geguritan). Akulturasi
dalam sastra diindikasikan oleh geguritan yang mengambil unsur-unsur Melayu
namun ditulis dalam bahasa dan aksara Bali. Pluralisme di Bali juga ditandai oleh
masuknya berbagai agama ke Bali, diantaranya Islam, Kristen, Kong Hu Cu dan
Budha Teravada. Dalam kehidupan sosial, orang-orang China disebut sebagai
nyama kelihan (saudara tua) dan orang-orang Islam disebut nyama selam (saudara
kita yang beragama Islam).
18
BAB IV
REKOMENDASI
19
penolakan terhadap rasa yang berlebihan, buruk sangka, rasisme, tribalisme, dan
menerima keanekaragaman yang ada.
20
sesama tanpa memandang golongan, status sosial, agama, dan kemampuan
akademik. (Farida Hanum, 2005).
21
membedakan. Maknanya, perbedaan itu perlu diterima sebagai suatu kewajaran
dan perlu sikap toleransi agar masing-masing dapat hidup berdampingan secara
damai tanpa melihat adanya perbedaan.
22
mau berbagi dengan yang lain sebagai entitas dari bangsa yang sama. Kearifan
lokal yang digali, dipoles, dikemas dan dipelihara dengan baik bisa berfungsi
sebagai alternatif pedoman hidup masyarakat Indonesia serta dapat digunakan
untuk menyaring nilai-nilai baru atau asing agar tidak bertentangan dengan
kepribadian bangsa dan menjaga keharmonisan hubungan manusia dengan
Tuhannya, alam sekitar, dan sesamanya.
23
Sehingga kearifan lokal dapat didefinisikan sebagai kebijaksanaan atau
nilai-nilai luhur yang terkandung dalam kekayaan-kekayaan budaya lokal, baik
berupa tradisi, hingga semboyan hidup. Pendidikan karakter berbasis kearifan
lokal adalah pendidikan yang mengajarkan kita untuk selalu dekat dengan situasi
konkrit yang dihadapi sehari-hari. Model pendidikan karakter berbasis kearifan
lokal merupakan contoh pendidikan yang mempunyai relevansi tinggi bagi
kecakapan pengembangan hidup, dengan berpijak pada pemberdayaan
keterampilan serta potensi lokal pada setiap daerah.
24
Olah Raga dan Kinestetik (Physical and kinestetic development)
Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development)
Keempat proses psikososial tersebut memiliki keterkaitan dan saling
melengkapi, yang bermuara pada pembentukan karakter yang menjadi perwujudan
dari nilai-nilai luhur. Masing-masing proses itu secara konseptual dapat
diperlakukan sebagai suatu klaster atau gugus nilai luhur yang didalamnya
terkandung sejumlah nilai. Keempat proses psikologis tersebut, satu dengan yang
lainnya saling terkait dan saling memperkuat. Karena itu setiap karakter, seperti
juga sikap, selalu bersifat multipleks atau berdimensi jamak. Pengelompokan nilai
tersebut sangat berguna untuk kepentingan perencanaan. Dalam proses intervensi
(pembelajaran, pemodelan, dan penguatan) serta proses habituasi (pensuasanaan,
pembiasaan, dan penguatan) yang pada akhirnya menjadi karakter, keempat
kluster nilai luhur tersebut akan terintegrasi melalui proses internalisasi dan
personalisasi pada diri masing-masing individu.
Pengembangan nilai atau karakter dapat dilihat pada dua latar, yaitu pada
latar makro dan latar mikro. Latar makro bersifat nasional yang mencakup
keseluruhan konteks perencanaan dan implementasi pengembangan nilai atau
karakter yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan pendidikan nasional.
Secara makro pengembangan karakter dibagi dalam tiga tahap, yakni
perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi hasil. Pada tahap perencanaan
dikembangkan perangkat karakter yang digali, dikristalisasikan, dan dirumuskan
dengan menggunakan berbagai sumber, diantaranya :
1) Filosofis, yakni Pancasila, UUD 1945, dan UU N0.20 Tahun 2003 beserta
ketentuan perundang-undangan turunannya.
2) Teoritis, yaitu teori tentang otak, psikologis, pendidikan, nilai dan moral,
serta sosiokultural
3) Empiris, berupa pengalaman dan praktik terbaik, antara lain tokoh-tokoh,
satuan pendidikan formal dan nonformal unggulan, pesantren, kelompok
kultural, dan lainnya.
Pada tahap implementasi dikembangkan pengalaman belajar dan proses
pembelajaran yang bermuara pada pembentukan karakter dalam diri peserta didik.
Proses ini dilaksanakan melalui proses pemberdayaan dan pembudayaan
sebagaimana digariskan sebagai salah satu prinsip penyelenggaraan pendidikan
25
nasional. Proses ini berlangsung dalam tiga pilar pendidikan yakni dalam satuan
pendidikan formal dan nonformal, keluarga, dan masyarakat. Dalam masing-
masing pilar pendidikan akan ada dua jenis pengalaman belajar yang dibangun
melalui dua pendekatan yakni intervensi dan habituasi. Dalam intervensi
dikembangkan suasana interaksi belajar dan pembelajaran yang sengaja dirancang
untuk mencapai tujuan pembentukan karakter dengan menerapkan kegiatan yang
terstruktur. Agar proses pembelajaran tersebut berhasil guna, peran pendidik
sebagai sosok panutan sangat penting dan menentukan. Sementara itu dalam
habituasi diciptakan situasi dan kondisi serta penguatan yang memungkinkan
peserta didik pada satuan pendidikannya, rumahnya, dan lingkungan
masyarakatnya membiasakan diri berperilaku sesuai nilai sehingga terbentuk
karakter yang telah diinternalisasi dan dipersonalisasi dari dan melalui proses
intervensi. Proses pemberdayaan dan pembudayaan yang mencakup pemberian
contoh, pembelajaran, pembiasaan, dan penguatan harus dikembangkan secara
sistemik, holistik, dan dinamis.
Dalam konteks makro kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia,
pelaksanaan pendidikan karakter merupakan komitmen seluruh sektor kehidupan,
bukan hanya sektor pendidikan nasional. Keterlibatan aktif dari sektor-sektor
pemerintahan lainnya, khususnya sektor keagamaan, kesejahteraan, pemerintahan,
komunikasi dan informasi, kesehatan, hukum serta hak asasi manusia, bahkan
pemuda dan olahraga juga sangat dimungkinkan.
Pada tahap evaluasi hasil, dilakukan asesmen program untuk perbaikan
berkelanjutan yang dirancang dan dilaksanakan untuk mendeteksi aktualisasi
karakter dalam diri generasi muda sebagai indikator bahwa proses pembudayaan
dan pemberdayaan karakter itu berhasil dengan baik, menghasilkan sikap yang
kuat, dan pikiran yang argumentative.
Pada konteks mikro, pendidikan karakter berpusat pada satuan pendidikan
formal dan nonformal secara holistik. Satuan pendidikan formal dan nonformal
merupakan wilayah utama yang secara optimal memanfaatkan dan
memberdayakan semua lingkungan belajar yang ada untuk menginisiasi,
memperbaiki, menguatkan, dan menyempurnakan secara terus-menerus proses
pendidikan karakter. Pendidikan seharusnya melakukan upaya sungguh-sungguh
26
dan senantiasa menjadi gerbang utama dalam upaya pembentukan karakter
manusia Indonesia yang sesungguhnya. Secara mikro pengembangan karakter
dibagi dalam empat pilar, diantaranya kegiatan belajar-mengajar di kelas, kegiatan
keseharian dalam bentuk pengembangan budaya satuan pendidikan formal dan
nonformal. kegiatan kokurikuler atau ekstrakurikuler, serta kegiatan keseharian di
rumah dan masyarakat. Dalam kegiatan belajar-mengajar di kelas, pengembangan
karakter dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan terintegrasi dalam semua
materi pembelajaran. Khusus, untuk materi pembelajaran Pendidikan Agama dan
Pendidikan Kewarganegaraan memang misinya adalah mengembangkan nilai dan
sikap. Untuk kedua materi pembelajaran tersebut, karakter dikembangkan sebagai
dampak pembelajaran dan juga dampak pengiring. Sedangkan untuk materi
pembelajaran lainnya, yang secara formal memiliki misi utama selain
pengembangan karakter, wajib dikembangkan kegiatan yang memiliki dampak
pengiring bagi berkembangnya karakter dalam diri generasi muda. Dalam hal ini,
peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan harus mau mengembangkan diri
secara terus-menerus. Dalam lingkungan satuan pendidikan formal dan nonformal
dikondisikan agar lingkungan fisik dan sosiokultural satuan pendidikan formal
dan nonformal memungkinkan para generasi muda bersama dengan warga satuan
pendidikan formal dan nonformal lainnya terbiasa membangun kegiatan
keseharian yang mencerminkan perwujudan karakter yang dituju. Dalam kegiatan
kokurikuler atau ekstrakurikuler perlu dikembangkan proses pembiasaan dan
penguatan dalam rangka pengembangan karakter.
Di lingkungan keluarga dan masyarakat diupayakan terjadi proses
penguatan dari orang tua beserta tokoh-tokoh masyarakat terhadap perilaku
berkarakter mulia yang dikembangkan di satuan pendidikan formal dan nonformal
sehingga menjadi kegiatan keseharian di rumah dan di lingkungan masyarakat
masing-masing. Hal ini dapat dilakukan lewat komite sekolah, pertemuan wali
murid, kunjungan wali murid yang berhubungan dengan kumpulan kegiatan
sekolah dan keluarga. Salah satu fungsi strategis dari kegiatan ini adalah dalam
rangka pengembangan kapasitas yang bertujuan meningkatkan peran serta fungsi
organisasi, sistem dan perorangan dalam pelaksanaan penelitian dan
27
pengembangan pendidikan karakter di lingkup Dinas Pendidikan. Pengembangan
kapasitas tersebut ditempuh melalui pelatihan, workshop, penyusunan modul self
learning dan pengembangan inspirasi melalui best practices.
28
BAB V
KESIMPULAN
Karakter tidak otomatis berkembang pada diri generasi muda. Perlu ada
rekayasa sosial yang dirancang dan dilaksanakan secara sadar dengan arah yang
jelas. Rekayasa sosial ini semakin penting, karena karakter bersifat multidimensi
yang memerlukan partisipasi dari berbagai pihak. Rekayasa sosial untuk
pembangunan karakter perlu direncanakan dan dilaksanakan sebaik dan secermat
mungkin. Proses ini berlangsung amat panjang, bahkan berlangsung sepanjang
massa khususnya melalui pendidikan.
Multikultural berbicara tentang identitas dan perbedaan, pentingnya kesadaran
akan sesuatu yang khas pada diri kita yang membedakannya kita dengan yang
lainnya.
Karakter bangsa dibentuk oleh berbagai campuran dari sifat-sifat yang ada,
seperti sosialibilitas, ketulusan, kejujuran, kebanggaan, keterbukaan, kerja keras,
serta semangat untuk berprestasi. Karakter bangsa akan muncul sebagai
keterpaduan dan keseimbangan dari berbagai karakteristik moral tersebut. Suatu
karakter bangsa mesti dikembangkan berdasarkan nilai-nilai tradisi yang dimiliki
bangsa itu sendiri, dipadukan dengan konteks bangsa yang ada seperti, lembaga-
lembaga, kebiasaan-kebiasaan, dan kebudayaan bangsa serta agama yang dianut.
Secara keseluruhan, pendidikan karakter harus memberikan kontribusi pada upaya
pencapaian tujuan pembangunan karakter bangsa, yaitu mewujudkan masyarakat
yang berkeTuhanan Yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab,
berjiwa persatuan Indonesia, berjiwa kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta berkeadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
29
BAB VI
DAFTAR PUSTAKA
Ardika, I Wayan. 2004; Bukti-bukti Arkeologi Terbentuknya Akar
Multikulturalisme, Balimangsi Press, Denpasar.
Blum, A Lawrence. 2001; Antirasisme, Multikulturalisme, dan Komunitas Antar-
Ras, PT. Tiara Wacana, Yogyakarta.
Hefner, Robert W. 2007; Politik Multikulturalisme: Menggugat Realitas
Kebangsaan, Kanisius, Yogyakarta.
Hilmy, Masdar. Edisi 12; Menggagas Paradigma Pendidikan Multikulturalisme,
Mataram.
Yaqin, M. Ainul. 2007; Pendidikan Multikultural, Cross Cultural Understanding
untuk Demokrasi dan Keadilan, Pilar Media, Yogyakarta.
Addin. 2013; Pendidikan Multikultural: Pengertian, Prinsip, dan Relevansinya
dengan Tujuan Pendidikan Islam, Universitas Nahdlatul Ulama, Surakarta.
Nurul Zuriah, Rahmad Widodo, Hari Sunaryo. 2016; Model Pendidikan Karakter
Berbasis Nilai Kearifan Lokal dan Civic Virtue Sebuah Rekayasa Sosial,
SENASPRO.
Borba, Michele. 2008; Membangun Kecerdasan Moral.
Hanum, Farida. 2009; Pendidikan Multikultural Sebagai Sarana Pembentuk
Karakter Bangsa, Makalah, Universitas Negeri Yogyakarta. Yogyakarta.
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pengabdian/farida-hanum-msi-dr/pend-
multikultural-sebagai-pembentuk-karakter-bangsa-2010.pdf (diunduh tanggal 12
November 2016)
30