Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH

MEMBANGUN KARAKTER GENERASI MUDA BERBASIS


MULTIKULTURAL DAN KEARIFAN LOKAL

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Pendidikan Pancasila

Penyusun :

Annisa Diah Dwi Cendikia

160565201048

JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL dan ILMU POLITIK

UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI

Tanjungpinang

Tahun 2016

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan atas ke hadirat Illahi Rabbi, berkat rahmat
dan karunia-Nya saya dapat menyelesaikan salah satu tugas mata kuliah
Pendidikan Pancasila dengan judul Membangun Karakter Generasi Muda
Berbasis Multikultural dan Kearifan Lokal.

Makalah ini memuat pengertian pendidikan karakter, perkembangan


pendidikan karakter bangsa di era orde lama, orde baru hingga era reformasi,
pengertian dan makna multikultural serta kearifan lokal, realitas kemajemukan
Indonesia, makna dan tujuan pendidikan multikultural, membangun pendidikan
karakter melalui kearifan lokal, dan yang terakhir pendidikan karakter bagi
pembangunan dan daya saing bangsa.

Tentu saja dalam penyusunan makalah ini masih terdapat banyak


kekurangan, baik dari segi bahasa, isi materi dan tata cara pengetikannya,
sehingga saran yang membangun sangat saya harapkan bagi penyempurnaan
penyusunan karya tulis yang akan datang.

Tak lupa pada kesempatan ini izinkan saya mengucapkan terima kasih dan
penghargaan setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu,
sehingga tugas ini dapat terselesaikan, semoga amal ibadahnya mendapat balasan
yang setimpal dari Allah SWT.

Tiada lain harapan saya agar karya tulis ini dapat bermanfaat, khususnya
bagi saya dan para pembaca pada umumnya.

Tanjungpinang, November 2016

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR 2

BAB I PENDAHULUAN 4

1.1. Latar Belakang


4

BAB II IDENTIFIKASI MASALAH 6

2.1. Rumusan Masalah 6

2.2. Tujuan 6

BAB III PEMBAHASAN 7

3.1. Pendidikan Karakter 7

3.2. Perkembangan Pendidikan Karakter Bangsa Masa Orde Lama dan Baru 8

3.3. Perkembangan Pendidikan Karakter Warga Negara di Era Reformasi 11

3.4. Pengertian Multikultural 11

3.5 Makna Kearifan Lokal 15

3.6. Realitas Kemajemukan Indonesia 16

BAB IV REKOMENDASI 18

4.1. Pendidikan Multikultural dan Perilaku Bangsa 18

4.2. Tujuan Pendidikan Multikultural 20

4.3. Membangun Pendidikan Karakter Melalui Kearifan Lokal 21

4.4. Pendidikan Karakter Bagi Pembangunan dan Daya Saing Bangsa 23

BAB V KESIMPULAN 28

3
BAB VI DAFTAR PUSTAKA 29

4
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pendidikan karakter bangsa mempunyai peran strategis dalam


pembangunan nasional. Regulasi pendidikan karakter diatur dalam UU No. 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pada pasal 3 disebutkan bahwa
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia,sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara
yang demokratis serta bertanggung jawab.

Bagi suatu bangsa, karakter adalah nilai-nilai keutamaan yang melekat


pada setiap individu warga negara dan kemudian menjadi ciri personalitas dan
identitas kolektif bangsa. Karakter berfungsi sebagai kekuatan mental dan etika
yang mendorong suatu bangsa merealisasikan cita-cita kebangsaannya dan
menampilkan keunggulan-keunggulan komparatif, kompetitif, serta dinamis di
antara bangsa-bangsa lain. Menurut Rencana Induk Pengembangan Pendidikan
Karakter Bangsa Kementerian Pendidikan RI, ada 3 aspek pembentuk karakter
luhur, diantaranya :

1) Agama, Pancasila, UUD 1945 dan UU Sisdiknas


2) Teori pendidikan, Psikologi, nilai dan sosial budaya
3) Pengalaman terbaik dan praktik nyata.

Namun, pada kenyataannya praktik ketiga aspek atau patokan karakter


luhur tersebut sangat menyimpang. Sedangkan, di sisi lain tantangan kehidupan
global sudah mulai terasa dampaknya bagi kehidupan masyarakat Indonesia.

Globalisasi yang ditandai dengan kecanggihan di bidang teknologi


komunikasi, informasi, dan transportasi membawa negara-negara di dunia masuk

5
ke dalam sistem jaringan global. Globalisasi dalam kehidupan politik, ekonomi,
sosial, dan budaya dapat memberikan dampak positif maupun negatif bagi bangsa
Indonesia sebab dengan kecanggihan teknologi itu seluruh informasi yang datang
dari berbagai belahan dunia dapat diakses dengan mudah. Tidak jarang globalisasi
juga melahirkan peristiwa negatif terhadap melemahnya kearifan budaya lokal.
Apabila tidak diantisipasi dengan memperkuat filter budaya dan agama, maka
globalisasi akan dapat merugikan terhadap eksistensi nilai-nilai budaya bangsa
yang merupakan kekayaan sebagai potensi pembangunan dan kemajuan bangsa
Indonesia.

Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk baik dari


segi budaya, agama, maupun bahasa yang memiliki nilai-nilai luhur sebagai
kearifan lokalnya. Beberapa masyarakat adat masih tetap eksis memelihara
kearifan lokalnya sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari
dan menjadi dasar bagi solusi terhadap permasalahan yang terjadi di
masyarakatnya. Tarik menarik nilai-nilai etnisitas di tingkat lokal dan nilai-nilai
kosmopolitanisme di tingkat global jika tidak dikelola dengan baik akan menjadi
ancaman yang bersifat disharmoni dan merusak keutuhan dan kesatuan bangsa.

6
BAB II

IDENTIFIKASI MASALAH

2.1. Rumusan Masalah

Apa itu pendidikan karakter?


Bagaimana perkembangan pendidikan karakter di era orde lama, orde baru
hingga era reformasi?
Apa makna multikultural dan kearifan lokal?
Bagaimana realitas kemajemukan di Indonesia?
Apa makna dan tujuan dari pendidikan multikultural?
Bagaimana membangun pendidikan karakter melalui kearifan lokal?
Apa manfaat pendidikan karakter bagi pembangunan dan daya saing
bangsa?

2.2. Tujuan

Tujuan dari penulisan makalah ini diantaranya :

Mengetahui arti dari pendidikan karakter


Memahami perkembangan pendidikan karakter di era orla, orba, hingga
reformasi
Mengetahui makna dari multikultural dan kearifan lokal
Memahami realitas kemajemukan di Indonesia
Mengetahui makna dan tujuan dari pendidikan multikultural
Memahami pendidikan karakter melalui kearifan lokal
Mengetahui manfaat pendidikan karakter bagi pembangunan dan daya
saing bangsa.

7
BAB III

PEMBAHASAN MASALAH

3.1. Pendidikan Karakter

Secara historis-geneologis, pencetus pendidikan karakter yang


menekankan dimensi etis-spiritual dalam proses pembentukan pribadi ialah
pedagog Jerman FW Foerster (1869-1966). Ada empat ciri dasar dalam
pendidikan karakter menurut Foerster, yaitu :

1) Keteraturan interior dengan setiap tindakan diukur berdasar hierarki nilai.


Nilai menjadi pedoman normatif setiap tindakan.
2) Koherensi yang memberi keberanian, membuat seseorang teguh pada
prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut
terhadap risiko. Koherensi merupakan dasar yang membangun rasa
percaya satu sama lain. Tidak adanya koherensi meruntuhkan kredibilitas
seseorang.
3) Otonomi, di situ seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai
menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Hal itu dapat dilihat melalui penilaian atas
keputusan pribadi tanpa terpengaruh oleh desakan dari pihak lain.
4) Keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang
guna mengingini apa yang dipandang baik. Kesetiaan merupakan dasar
bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih. Karakter itulah yang
menentukan bentuk seorang pribadi dalam segala tindakannya.

Selain itu, pendidikan karakter merupakan suatu sistem penanaman nilai-


nilai karakter kepada generasi muda yang meliputi komponen pengetahuan,
kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut.
Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai the deliberate use of all dimensions
of school life to foster optimal character development.

Menurut T. Ramli (2003), pendidikan karakter memiliki esensi dan makna


yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah
membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat,

8
dan warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga
masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau
bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi
oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan
karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pendidikan nilai, yakni
pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia
sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda.

Oleh karena itu pendidikan karakter harus digali dari landasan idiil
Pancasila, dan landasan konstitusional UUD 1945. Sejarah Indonesia
memperlihatkan bahwa pada tahun 1928, ikrar Sumpah Pemuda menegaskan
tekad untuk membangun nasional Indonesia. Mereka bersumpah untuk berbangsa,
bertanah air, dan berbahasa satu yaitu Indonesia. Ketika merdeka dipilihnya
bentuk negara kesatuan. Kedua peristiwa sejarah ini menunjukan suatu kebutuhan
yang secara sosio-politis merefleksi keberadaan watak pluralisme tersebut.
Kenyataan sejarah dan sosial budaya tersebut lebih diperkuat lagi melalui arti
simbol Bhinneka Tunggal Ika pada lambang negara Indonesia.

Dari mana memulai dibelajarkannya nilai-nilai karakter bangsa, dari


pendidikan informal, dan secara pararel berlanjut pada pendidikan formal dan
nonformal. Tantangan saat ini dan ke depan bagaimana kita mampu menempatkan
pendidikan karakter sebagai sesuatu kekuatan bangsa. Oleh karena itu kebijakan
dan implementasi pendidikan yang berbasis karakter menjadi sangat penting dan
strategis dalam rangka membangun bangsa ini. Hal ini tentunya juga menuntut
adanya dukungan yang kondusif dari pranata politik, sosial, dan budaya bangsa.

3.2. Perkembangan Pendidikan Karakter Bangsa Masa Orde Lama dan


Orde Baru

Setelah Indonesia merdeka, khususnya pada masa orde lama, keinginan


untuk menjadi bangsa berkarakter terus dikumandangkan oleh pemimpin nasional.
Presiden Soekarno senantiasa membangkitkan semangat rakyat Indonesia untuk
menjadi bangsa yang berkarakter melalui program Berdikari, yaitu berdiri diatas

9
kaki sendiri. Beliau mengajak bangsa dan seluruh rakyat Indonesia untuk tidak
bergantung pada bangsa lain, melainkan harus menjadi bangsa yang mandiri.
Ajakan untuk menjadi bangsa yang mandiri ini dilanjutkan dengan program
Trisakti, yaitu kemandirian di bidang politik, ekonomi, dan budaya.

Semangat untuk menjadi bangsa yang berkarakter ditegaskan oleh Ir.


Soekarno dengan mencanangkan nation and character building dalam rangka
membangun dan mengembangkan karakter bangsa Indonesia guna mewujudkan
cita-cita bangsa, yaitu masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
Secara spesifik beliau menegaskan dalam amanat Pembangunan Semesta
Berencana tentang pentingnya karakter ini sebagai mental investment, yang
mengatakan bahwa kita jangan melupakan aspek mental Pancasila dalam
pelaksanaan pembangunan.

Pada masa orde baru, keinginan untuk menjadi bangsa yang bermartabat
tidak pernah surut. Presiden Soeharto, sebagai pemimpin orde baru, menghendaki
bangsa Indonesia senantiasa bersendikan pada nilai-nilai Pancasila dan ingin
menjadikan warga negara Indonesia menjadi manusia Pancasila melalui penataran
P-4 (pedoman, penghayatan dan pengamalan Pancasila). Secara filosofis
penataran ini sejalan dengan kehendak pendiri negara, yaitu ingin menjadikan
rakyat Indonesia sebagai manusia Pancasila, namun secara praksis penataran ini
dilakukan dengan metodologi yang tidak tepat karena menggunakan cara-cara
indoktrinasi dan tanpa keteladanan yang baik dari para penyelenggara negara
sebagai prasyarat keberhasilan penataran P-4. Sehingga bisa dipahami jika pada
akhirnya penataran P-4 ini mengalami kegagalan, meskipun telah diubah
pendekatannya dengan menggunakan pendekatan kontekstual.

Pembentukan karakter masyarakat pada masa era orde baru diperkuat


dalam dokumen politik yang dikenal sebagai Garis-garis Besar Haluan Negara
atau yang biasa disingkat GBHN, sebagai produk ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga tertinggi negara menurut UUD
1945 ketika itu. Pada GBHN pertama Orde Baru, yaitu GBHN 1973,

10
diperkenalkan bidang kajian Pendidikan Kewarganegaraan yang baru dengan
nama Pendidikan Moral Pancasila yang disingkat PMP. Label PMP yang
diharuskan ada dalam kurikulum di semua tingkat pendidikan sejak Taman
Kanak-kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi, meski tidak secara khusus menunjuk
pada satu bidang studi, namun telah ditafsirkan sebagai satu mata pelajaran
tersendiri.

Besarnya kepentingan rejim kekuasaan terhadap Pendidikan


Kewarganegaraan model PMP tersebut, mengakibatkan terjadinya reduksionisme
misi mata kajian itu dalam kerangka membentuk warga negara yang baik. Reduksi
itu tampak ketika pendidikan Pancasila yang dieksplisitkan dengan label PMP,
seakan-akan menjadi mata pelajaran satu-satunya bidang studi yang harus
bertanggung jawab terhadap pembentukan karakter warga negara, khususnya
kepada generasi muda. Semua merupakan konsekuensi dari tujuan pendidikan
nasional sebagai bagian mencapai tujuan pembangunan nasional.

Selama periode Orde Baru, pendidikan sebagai instrumen pembentukan


karakter warga negara menampakkan wujudnya dalam standarisasi karakter warga
negara. Standasarisasi itu mencerminkan civic virtues (kebajikan-kebajikan warga
negara) yang disajikan dalam mata pelajaran PMP atau PPKn dengan memasukan
tafsir Pancasila menurut P4 sebagai kontennya. P4 inilah yang kemudian menjadi
keharusan bagi pedoman tingkah laku warga negara. Walaupun Tap MPR No.
II/MPR/1978 Pasal 1 menjelaskan bahwa Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila tidak merupakan tafsir Pancasila sebagai Dasar Negara
sebagaimana tercermin dalam Pembukaan UUD 1945, Batang Tubuh dan
Penjelasannya, namun pada kenyataannya P4 terlihat menjadi lebih penting dari
Pancasila itu sendiri. Pada akhirnya, unsur normatif dan anti konflik terhadap
perbedaan-perbedaan kehidupan di masyarakat cenderung dihindari bahkan
dianggap tabu, karena P4 selalu menekankan keharmonisan, keseimbangan hidup
dalam format kehidupan kekeluargaan yang menjadi main ideas kekuasaan rejim
Orde Baru.

11
3.3. Perkembangan Pendidikan Karakter Warga Negara di Era Reformasi

Keprihatinan terhadap kondisi pendidikan karakter dan kewarganegaraan


semasa Orde Baru telah melahirkan sejumlah inisiatif untuk melakukan
pembaharuan. Di masa transisi setelah Ketetapan MPR mengenai P4 dicabut pada
Sidang Istimewa MPR November 1998, keinginan membangun karakter bangsa
terus berkobar bersamaan dengan munculnya euforia politik sebagai wujud dari
runtuhnya rezim orde baru. Keinginan menjadi bangsa yang demokratis, bebas
dari korupsi, kolusi dan nepotisme menghargai serta taat hukum merupakan
beberapa karakter bangsa yang diinginkan dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.

Menurut Yudhoyono (2010), pembangunan karakter (character building)


amatlah penting. Kita ingin membangun manusia Indonesia yang berakhlak,
berbudi pekerti, dan mulia. Bangsa kita ingin memiliki peradaban yang unggul
dan mulia. Peradaban yang demikian dapat kita raih apabila masyarakat kita juga
merupakan masyarakat yang baik (good society), manusia yang berakhlak baik,
manusia yang bermoral, dan beretika baik, serta manusia yang bertutur dan
berperilaku baik pula. Upaya yang tepat untuk itu adalah melalui pendidikan,
karena pendidikan memiliki peran penting dan sentral dalam pengembangan
potensi manusia, termasuk potensi mental. Melalui pendidikan diharapkan terjadi
transformasi yang dapat mengembangkan karakter positif, serta mengubah watak
dari yang tidak baik menjadi baik. Ki Hajar Dewantara dengan tegas menyatakan
bahwa pendidikan merupakan daya upaya untuk memajukan tumbuhnya budi
pekerti (kekuatan batin, karakter) serta pikiran (intellect), dan tubuh anak.
Disinilah pentingnya pendidikan karakter.

3.4. Pengertian Multikultural

Istilah multikulturalisme menurut Saifuddin (2006:139) mencakup


sedikitnya tiga unsur, yaitu terkait dengan kebudayaan, merujuk kepada pluralitas
kebudayaan, dan cara tertentu untuk merespon pluralitas tersebut. Dengan begitu

12
multikulturalisme adalah cara pandang kebudayaan yang diwujudkan secara
konkret dalam kehidupan yang nyata.

Lawrence A Blum, seorang profesor filsafat di University of


Massachusetts di Amherst mendefinisikan multikulturalisme meliputi sebuah
pemahaman, penghargaan dan penilaian atas budaya seseorang, serta sebuah
penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain. Penilaian
terhadap budaya-budaya orang lain, bukan dalam arti menyetujui seluruh aspek
dari budaya-budaya tersebut, melainkan mencoba melihat bagaimana sebuah
budaya yang asli dapat mengekspresikan nilai bagi anggota-anggotanya sendiri.

Tuntutan pengembangan masyarakat multikultural tidak dapat dilepaskan


dari kebutuhan warga negara. Memasuki abad ke-21, warga negara suatu bangsa
dihadapkan pada berbagai perubahan dan ketidakpastian seiring dengan
perkembangan zaman, baik dari segi politik, sosial, ekonomi, pendidikan,
kebudayaan, dan lainnya. Perubahan merupakan bagian yang melekat dalam
kehidupan manusia dan terjadi secara terus menerus. Dalam dimensi manusia,
perubahan yang terjadi menyangkut perubahan langsung atau tak langsung dengan
pemikiran, sikap, dan tindakan manusia dalam lingkup global, memberi konteks
terhadap pemikiran, sikap dan tindakan manusia.

Multikulturalisme adalah landasan budaya yang terkait dengan pencapaian


civility (keadaban), yang amat esensial bagi terwujudnya demokrasi yang
berkeadaban, dan keadaban yang demokratis. Demokrasi yang bertahan dan
berkelanjutan umumnya terdapat di negara-negara yang memiliki pandangan
multikultural dan kemudian menerapkan multikulturalisme dalam berbagai
kebijakan. Kebijakan-kebijakan responsif dan afirmatif sebagai bentuk ''politics of
recognition'' yang menjadi dasar multikulturalisme memberikan insentif dalam
penumbuhan dan penguatan perasaan ''kesatuan dalam keragaman'' (Hefner,
2007:5 Azra, 2006).

Menurut Irmawan Abdullah, multikulturalisme adalah faham yang


menekankan pada kesederajatan dan kesetaraan budaya-budaya lokal tanpa

13
mengabaikan hak-hak dan eksistensi budaya yang ada. Dengan kata lain,
penekanan utama multikultural adalah kesetaraan budaya.

Masdar Hilmy mengatakan multikulturalisme adalah sebuah konsep di


mana sebuah komunitas dalam konteks kebangsaan dapat mengakui keberagaman,
perbedaan dan kemajemukan budaya baik ras, suku dan agama. Sebuah konsep
yang memberikan pemahaman bahwa, sebuah bangsa yang plural atau majemuk
atau bangsa yang dipenuhi dengan budaya-budaya yang beragam. Dan bangsa
multikultural adalah bangsa yang kelompok-kelompok etnik atau budaya yang ada
dapat hidup berdampingan secara damai yang ditandai oleh kesediaan untuk
menghormati budaya lain.

Menurut sosiolog UI, Parsudi Suparlan menjelaskan bahwa


multikulturalisme adalah sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan
perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan.
Oleh karena itu konsep multikulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan
konsep keanekaragaman secara suku-bangsa (etnis) atau kebudayaan suku bangsa
yang menjadi ciri khas masyarakat majemuk, karena multikulturalisme
menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Dengan gagasan
di atas akan terbentuk sebuah persepsi yang hidup dalam masyarakat bahwa
budaya bukanlah suatu kemutlakan yang harus dipertahankan. Dalam arti, budaya
tumbuh dan berkembang seiring dengan berkembangnya masyarakat itu sendiri
yang tentunya dipengaruhi oleh faktor eksternal yang mengelilingi kehidupan.
Kebudayaan yang tumbuh dalam sebuah komunitas dipandang sebagai sebuah
kemutlakan yang harus diakui dan diagungkan keberadaannya. Beliau juga
mengartikan lebih spesifik mengenai masyarakat multikulturalisme Indonesia
(Indonesian multiculral Society) adalah masyarakat yang bercorak majemuk
(plural society) dalam corak masyarakat Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika
bukan lagi keanekaragaman kelompok etnis atau suku bangsa, agama dan budaya
melainkan keanekaragaman kebudayaan yang ada di dalam masyarakat Indonesia.

14
Jadi multikulturalisme berkaitan dengan pengertian, penerimaan dan
penghargaan terhadap perbedaan dalam kesederajatan baik individu maupun
kelompok yang berkaitan dengan pendapat, agama, ide, bahasa, tradisi, adat
istiadat, dan unsur-unsur nilai budaya lainnya.

Dari beberapa pengertian yang diberikan oleh para ahli di atas, terdapat
pengertian yang mendunia, yaitu multikulturalisme sebagai pandangan dunia yang
kemudian diwujudkan ke dalam politic of recognition. Hal seperti itu disampaikan
oleh Parek dalam bukunya National Cultural and Multiculturalisme, yang secara
jelas membedakan lima macam multikulturalisme, sebagai berikut :

a. Multikulturalisme isolasionis yang mengacu kepada masyarakat dimana


berbagai kelompok kultural menjalankan hidup secara otonom dan terlibat
dalam interaksi satu sama lain.
b. Multikulturalisme akomodatif, yakni masyarakat plural yang memiliki
kultural kaum minoritas.
c. Multikulturalisme otonomis, yaitu masyarakat plural yang dimana
kelompok-kelompok kultural utama berusaha mewujudkan kesetaraan
(equality) dengan budaya dominan yang mengharapkan kehidupan otonom
dalam kerangka politik yang secara kolektif dapat diterima. Fokus
kelompok-kelompok kultural terakhir ini adalah untuk mempertahankan
cara hidup mereka, yang memiliki hak yang sama dengan kelompok
dominan dan berusaha menciptakan suatu masyarakat dimana semua
kelompok dapat eksis sebagai mitra.
d. Multikulturalisme kritikal atau interaktif, ialah masyarakat plural dimana
kelompok-kelompok tidak terlalu fokus dengan kehidupan kultural
otonom, tetapi lebih menuntut penciptaan kultur kolektif yang
mencerminkan dan menegaskan perspektif-perspektif distingtif mereka.
e. Multikulturalisme kosmopolitan, yakni paham yang berusaha
menghapuskan batas-batas kultur untuk menciptakan sebuah masyarakat
dimana setiap individu tidak lagi terikat oleh kelompok budaya tertentu.
Dari beberapa pengertian di atas, dapat di tarik sebuah kesimpulan yaitu
hak yang paling utama dari makna dan pemahaman multikulturalisme adalah
kesejajaran. Masing-masing budaya dari manusia atau kelompok etnis harus

15
diposisikan sejajar dan setara. Tidak ada yang lebih tinggi dan tidak ada yang
lebih dominan. Semua kebudayaan pada dasarnya mempunyai kearifan-kearifan
yang tidak dapat dinilai dari segi positif-negatif dan tidak dapat dijelaskan melalui
kaca mata kebudayaan lainnya.

3.5. Makna Kearifan Lokal

Indonesia memiliki keragaman etnis, suku, dan adat istiadat dengan


karakteristik yang khas serta unik sehingga melahirkan sebuah kearifan lokal
yang menjadi ciri khas masing-masing daerah. Kearifan lokal terbentuk dari dua
kata, yaitu kearifan (wisdom) dan lokal (local). Secara umum, local wisdom dapat
dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana.
Kearifan lokal adalah pengetahuan atau pandangan hidup masyarakat setempat
yang memiliki hubungan dengan pemenuhan kebutuhan hidup, baik secara materi
maupun sosial, dimana kearifan lokal ini menjadi titik penghubung dari generasi
satu ke generasi berikutnya, karena kearifan lokal merupakan konsep, ide, dan
gagasan yang senantiasa ditransisikan kepada generasi berikutnya, sehingga
terbangun suatu keserasian dalam menata hidup dan lingkungan. Dengan kata
lain, kearifan lokal merupakan hasil dari proses adaptasi secara turun-temurun
dalam periode yang sangat lama terhadap suatu lingkungan tempat tinggal.

Berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009, kearifan lokal adalah


nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat diantaranya untuk
melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari. Kearifan lokal
umumnya berbentuk lisan atau tulisan dalam suatu sistem sosial masyarakat.
Kearifan lokal berkaitan erat dengan kondisi geografis atau lingkungan alam
dengan nilai-nilai yang dapat menjadi modal utama dalam membangun
masyarakat. Ciri-ciri kearifan lokal diantaranya :

a) Dapat bertahan terhadap budaya luar


b) Memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar
c) Mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam
budaya asli
d) Mempunyai kemampuan mengendalikan

16
e) Mampu memberi arah pada perkembangan budaya.

Secara garis besar, fungsi kearifan lokal ialah :

a) Untuk konservasi dan pelestarian sumber daya alam


b) Pengembangan sumber daya manusia
c) Pengembangan kebudayaan serta ilmu pengetahuan.

3.6. Realitas Kemajemukan Indonesia

Indonesia merupakan negara yang majemuk, terdiri dari berbagai macam


suku bangsa, bahasa, dan budaya yang secara arkeologis telah memiliki akar
multikulturalisme sejak 2000-2500 tahun yang lalu. Melalui temuan-temuan
artefaktual, pada periode itu telah terjadi kontak antara masyarakat Nusantara
dengan masyarakat dari India (Asia Selatan), Vietnam, maupun China. Dari abad
kesatu sampai abad ke-17, Nusantara telah mendapat pengaruh kebudayaan asing
dari India (Hindu dan Budha), Arab (Islam), dan Eropa (Kristen Katolik dan
Protestan). Adaptasi kebudayaan-kebudayaan asing tersebut ke dalam kebudayaan
asli terus berlangsung dan memperkaya kemultikulturan Indonesia.

Demi mewujudkan diri sebagai sebuah bangsa, realitas kemakemukan


Nusantara berkeinginan untuk bersaty dalam sebuah NKRI melalui Bhinneka
Tunggal Ika. Sebaliknya, manajemen kebangsaan selama ini belum berhasil
menempatkan kebhinnekaan sebagai kekayaan bangsa, melainkan kebhinnekaan
dianggap sebagai sebuah ancaman. Manajemen kebangsaan pada saat ini di
warnai oleh corak feodalistik, otoriter, sentralistik bahkan diskriminatif, baik yang
diwarisi dari kerajaan-kerajaan tradisional di Nusantara maupun warisan
kolonialis Belanda. Hal itu mengalahkan tatanan masyarakat merdeka yang
hendak diwujudkan, yaitu tatanan masyarakat yang berorientasi ke masa depan, ke
kehidupan bersama yang egaliter, sejahtera, dan demokratis.

Bali dalam peta kebhinnekaan Indonesia adalah sebuah contoh pulau


multikultural yang menarik. Sebuah pulau dengan masyarakat Hinduis, komunitas
minor di tengah komunitas mayor Islam, namun ke dalam membentuk
kebhinnekaan dengan akar multikulturalisme yang panjang. Muslim dan Hindu

17
telah hidup berdampingan sejak abad ke XVI ketika kerajaan Bali berpusat di
Gelgel (Klungkung), di bawah kepemimpinan Dalem Waturenggong. Jejak
pluralisme Bali salah satunya digambarkan Saleh Saidi dalam Lingua Fanca,
yaitu dalam bentuk akulturasi Islam dan Hindu di Bali. Akulturasi tersebut
terdapat pada penamaan, bahasa dan istilah, dan sastra (geguritan). Akulturasi
dalam sastra diindikasikan oleh geguritan yang mengambil unsur-unsur Melayu
namun ditulis dalam bahasa dan aksara Bali. Pluralisme di Bali juga ditandai oleh
masuknya berbagai agama ke Bali, diantaranya Islam, Kristen, Kong Hu Cu dan
Budha Teravada. Dalam kehidupan sosial, orang-orang China disebut sebagai
nyama kelihan (saudara tua) dan orang-orang Islam disebut nyama selam (saudara
kita yang beragama Islam).

Persoalannya sekarang adalah realitas kemajemukan dan kearifan


multikultural yang telah berakar dan dikembangkan oleh nenek moyang kini telah
terkontaminasi bahkan terciderai. Bukannya menjadi faktor pemerkaya budaya
bangsa melainkan menjadi faktor pemicu konflik yang menuju perpecahan.

18
BAB IV

REKOMENDASI

4.1. Pendidikan Multikultural dan Perilaku Bangsa

Perilaku bangsa merupakan soft skill, yakni seperangkat kemampuan yang


mempengaruhi individu dalam berinteraksi dengan orang lain. Soft skill perlu
dipelajari dan dilatih yang dalam proses sosiologi disebut sebagai proses
sosialisasi, sehingga menjadi bagian dari kepribadian bangsa. Karakter dan jati
diri bangsa sangat penting disosialisasikan kepada generasi muda sejak dini untuk
membentuk perilaku bangsa. Maju-mundurnya suatu bangsa sangat bergantung
pada kualitas generasi muda sebagai penerus kelangsungan bangsa. Dengan
begitu, penting merintis implementasi pendidikan multikultural dalam
membangun perilaku bangsa agar masa yang akan datang generasi penerus
memiliki perilaku yang mampu dan cerdas dalam menyikapi kemajemukan dalam
kehidupan bernegara di Indonesia yang multikultural.

Nieto (2000 : 140) mengungkapkan penting untuk menguji bagaimana


budaya dapat mempengaruhi belajar dan prestasi seseorang. Karena setiap
individu dibesarkan dalam lingkungan budayanya masing-masing, yang mungkin
saja membuat mereka berbeda dalam cara berpikir, minat, tingkah laku, bahasa,
maupun kemampuan akademiknya. Perbedaan-perbedaan ini apabila tidak
dikelola dengan baik dapat menjadi hambatan psikologis maupun sosiologis pada
generasi muda sehingga dapat menimbulkan konflik dan praktik diskriminasi
dikalangan generasi muda.

Dalam konteks kehidupan multikultural, pemahaman yang berdimensi


multikultural harus dihadirkan untuk memperluas wacana pemikiran manusia
yang selama ini masih mempertahankan egoisme kebudayaan, agama, maupun
kelompok. Memelihara pluralitas kebudayaan dan keberagaman budaya ialah
interaksi sosial dan politik antara orang-orang yang berbeda cara hidup dan cara
pandangnya dalam suatu masyarakat. Idealnya, pluralisme kebudayaan berarti

19
penolakan terhadap rasa yang berlebihan, buruk sangka, rasisme, tribalisme, dan
menerima keanekaragaman yang ada.

Sikap saling menerima, menghargai nilai, budaya, keyakinan yang berbeda


tidak otomatis tumbuh dan berkembang dengan sendirinya. Apalagi jika dalam
diri seseorang ada kecenderungan untuk mengharapkan orang lain menjadi seperti
dirinya. Sikap saling menerima dan menghargai akan cepat berkembang jika
dilatih dan dididikkan pada generasi muda dalam sistem pendidikan. Melalui
pendidikan, sikap menghargai terhadap perbedaan direncanakan dengan baik,
generasi muda dilatih dan disadarkan akan pentingnya menghargai orang lain dan
budayanya.

Hal terpenting dalam pendidikan multikultural adalah seorang pendidik


tidak hanya dituntut menguasai dan mampu secara professional mengajar mata
pelajaran atau mata kuliah yang diajarkan. Lebih dari itu, seorang pendidik juga
harus mampu menanamkan nilai-nilai dari pendidikan multikultural layaknya
demokrasi, humanisme, keadilan gender, kemampuan berbeda pendapat, dan
pluralisme budaya. Dasar psikologi pendidikan multikultural menekankan pada
perkembangan pemahaman diri yang lebih besar, konsep diri yang lebih positif,
dan kebanggaan pada identitas pribadi. Generasi muda akan merasa baik tentang
dirinya karena terbuka dan menerima dalam berinteraksi dengan orang lain dan
menghormati budaya dan identitasnya.

Adapun Howard (1993) berpendapat bahwa pendidikan multikultural


memberi kompetensi multikultural. Pada masa awal kehidupan generasi muda,
waktu banyak dilalui di daerah etnis dan kulturnya masing-masing. Kesalahan
dalam mentransformasi nilai, aspirasi, etikat dari budaya tertentu, sering
berdampak pada primordialisme kesukuan, agama, bahkan golongan. Melalui
pendidikan multikultural sejak dini, diharapkan generasi muda mampu menerima
dan memahami perbedaan budaya yang berdampak pada perbedaan usage,
folkways, mores, dan customs. Dengan pendidikan multikultural generasi muda
mampu menerima perbedaan, kritik, serta memiliki rasa empati, toleransi pada

20
sesama tanpa memandang golongan, status sosial, agama, dan kemampuan
akademik. (Farida Hanum, 2005).

4.2. Tujuan Pendidikan Multikultural

Merujuk pada pendapatan Parekh (1997), multikulturalisme meliputi tiga


hal. Yang pertama, berkenaan dengan budaya, kedua merujuk pada keragaman
yang ada dan ketiga berkenaan dengan tindakan spesifik pada respon terhadap
keragaman tersebut. Akhiran isme menandakan suatu doktrin normatif yang
diharapkan bekerja pada setiap orang dalam konteks masyarakat dengan beragam
budaya. Proses dan cara bagaimana multikulturalisme sebagai doktrin normatif
menjadi ada dan implementasi gagasan-gagasan multikultural yang telah
dilakukan melalui kebijakan-kebijakan politis, dalam hal ini kebijakan
pendidikan.

Tujuan utama pendidikan multikultural adalah mengubah pendekatan


pembelajaran menuju arah memberi peluang yang sama terhadap generasi muda.
Sehingga tidak ada yang dikorbankan demi persatuan. Untuk itu, kelompok-
kelompok haruslah damai, saling memahami, mengakhiri perbedaan, tetapi tetap
menekankan pada tujuan umum untuk mencapai persatuan.

Perbedaan-perbedaan pada generasi muda yang harus diakui dalam


pendidikan multikultural, diantaranya mencakup penduduk minoritas etnis dan
ras, kelompok-kelompok pemeluk agama, perbedaan jenis kelamin, kondisi
ekonomi, daerah asal, ketidakmampuan fisik atau mental, kelompok umur, dan
lainnya. Melalui pendidikan multikultural ini generasi muda diberi kesempatan
dan pilihan untuk mendukung serta memperhatikan satu atau beberapa budaya,
seperti sistem nilai, gaya hidup, atau bahasa. Perlunya peningkatan kesadaran
bahwa semua generasi muda memiliki karakteristik karena usia, agama, gender,
kelas sosial, etnis, ras bahkan budaya tertentu yang melekat pada diri masing-
masing. Pendidikan multikultural berkaitan dengan ide bahwa semua generasi
muda tanpa memandang karakteristik-karakteristik tersebut memiliki kesempatan
yang sama. Perbedaan itu harus diterima secara wajar dan bukan untuk

21
membedakan. Maknanya, perbedaan itu perlu diterima sebagai suatu kewajaran
dan perlu sikap toleransi agar masing-masing dapat hidup berdampingan secara
damai tanpa melihat adanya perbedaan.

4.3. Membangun Pendidikan Karakter Melalui Kearifan Lokal

Sejarah menunjukkan, masing-masing etnis dan suku memiliki kearifan


lokal sendiri. Misalnya saja suku Batak kental dengan keterbukaan, Jawa nyaris
identik dengan kehalusan, suku Madura memiliki harga diri yang tinggi, dan etnis
Cina terkenal dengan keuletan. Lebih dari itu, masing-masing memiliki keakraban
dan keramahan dengan lingkungan alam yang mengitari mereka. Kearifan lokal
itu timbul melalui proses panjang sehingga akhirnya terbukti, hal itu mengandung
kebaikan bagi kehidupan mereka. Keterujiannya dalam sisi ini membuat kearifan
lokal menjadi budaya yang mentradisi, melekat kuat pada kehidupan masyarakat.
Artinya, sampai batas tertentu ada nilai-nilai perenial yang berakar kuat pada
setiap aspek lokalitas budaya ini. Semua, terlepas dari perbedaan intensitasnya,
visi terciptanya kehidupan bermartabat, sejahtera dan damai. Dalam bingkai
kearifan lokal ini, masyarakat bereksistensi, dan berkoeksistensi satu dengan yang
lain.

Masyarakat Indonesia sudah sepatutnya untuk kembali kepada jati diri


mereka melalui pemaknaan kembali dan rekonstruksi nilai-nilai luhur budaya
mereka. Upaya yang perlu dilakukan adalah menguak makna substantif kearifan
lokal. Seperti keterbukaan dikembangkan dan kontekstualisasikan menjadi
kejujuran dan nilai-nilai turunannya. Kehalusan diformulasi sebagai keramah-
tamahan yang tulus. Harga diri diletakkan dalam upaya pengembangan prestasi
dan demikian seterusnya. Pada saat yang sama, hasil rekonstruksi ini perlu
dibumikan dan disebarluaskan ke dalam generasi muda bahkan seluruh
masyarakat sehingga menjadi identitas kokoh bangsa, bukan sekadar menjadi
identitas suku atau masyarakat tertentu. Maka dari itu, ketulusan perlu dijadikan
modal dasar bagi segenap unsur bangsa. Ketulusan untuk mengakui kelemahan
diri masing-masing, dan ketulusan untuk membuang egoisme, keserakahan, serta

22
mau berbagi dengan yang lain sebagai entitas dari bangsa yang sama. Kearifan
lokal yang digali, dipoles, dikemas dan dipelihara dengan baik bisa berfungsi
sebagai alternatif pedoman hidup masyarakat Indonesia serta dapat digunakan
untuk menyaring nilai-nilai baru atau asing agar tidak bertentangan dengan
kepribadian bangsa dan menjaga keharmonisan hubungan manusia dengan
Tuhannya, alam sekitar, dan sesamanya.

Persoalannya adalah bagaimana mengimplementasikan kearifan lokal


untuk membangun pendidikan karakter? Oleh karena itu, perlunya revitalisasi
budaya lokal yang relevan untuk membangun pendidikan karakter. Sebab kearifan
lokal di daerah pada dasarnya akan mampu mengantarkan generasi muda untuk
mencintai daerahnya. Kecintaan mereka pada daerahnya akan mewujudkan
ketahanan daerah. Ketahanan daerah adalah kemampuan suatu daerah yang
ditunjukkan oleh kemampuan warganya untuk menata diri sesuai dengan konsep
yang diyakini kebenarannya dengan jiwa yang tangguh, semangat yang tinggi,
serta dengan cara memanfaatkan alam secara bijaksana.

Anak bangsa di negeri ini sudah sewajarnya diperkenalkan dengan


lingkungan yang paling dekat di desanya, kecamatan, dan kabupaten, setelah itu
barulah tingkat nasional dan internasional. Melalui pengenalan lingkungan yang
paling kecil, maka generasi muda akan dengan mudah mencintai desanya. Mereka
yang mecintai desanya akan mau bekerja bahkan mengabdi bagi desanya. Melalui
kearifan lokal juga, generasi muda akan memahami perjuangan nenek moyangnya
dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan. Nilai-nilai kerja keras, pantang mundur,
dan tak kenal menyerah perlu diajarkan pada generasi muda. Dengan begitu,
pendidikan karakter melalui kearifan lokal seharusnya mulai diperkenalkan oleh
kepada generasi muda sedini mungkin. Proses interaksi yang melibatkan semua
pihak dalam kearifan lokal sama saja dengan mempelajari karakteristik dari materi
yang dikaji sehingga generasi muda secara langsung dapat menggali karakter
peristiwa kelokalan itu.

23
Sehingga kearifan lokal dapat didefinisikan sebagai kebijaksanaan atau
nilai-nilai luhur yang terkandung dalam kekayaan-kekayaan budaya lokal, baik
berupa tradisi, hingga semboyan hidup. Pendidikan karakter berbasis kearifan
lokal adalah pendidikan yang mengajarkan kita untuk selalu dekat dengan situasi
konkrit yang dihadapi sehari-hari. Model pendidikan karakter berbasis kearifan
lokal merupakan contoh pendidikan yang mempunyai relevansi tinggi bagi
kecakapan pengembangan hidup, dengan berpijak pada pemberdayaan
keterampilan serta potensi lokal pada setiap daerah.

4.4. Pendidikan Karakter bagi Pembangunan dan Daya Saing Bangsa

Karakter seseorang dalam proses perkembangan dan pembentukannya


dipengaruhi oleh dua factor, yakni faktor lingkungan (nurture) dan faktor bawaan
(nature). Tinjauan teoretis perilaku berkarakter secara psikologis merupakan
perwujudan dari potensi Intellegence Quotient (IQ), Emotional Quentient (EQ),
Spritual Quotient (SQ) dan Adverse Quotient (AQ) yang dimiliki oleh seseorang.
Sedangkan seseorang yang berkarakter menurut pandangan agama pada dirinya
terkandung potensi-potensi, yaitu sidiq, amanah, fathonah, dan tablig. Berkarakter
menurut teori pendidikan apabila seseorang memiliki potensi kognitif, afektif, dan
psikomotor yang teraktualisasi dalam kehidupannya. Adapun menurut teori sosial,
seseorang yang berkarakter mempunyai logika dan rasa dalam menjalin hubungan
intra personal, dan hubungan interpersonal dalam kehidupan bermasyarakat.

Perilaku seseorang yang berkarakter pada hakekatnya merupakan


perwujudan fungsi totalitas psikologis yang mencakup seluruh potensi individu
manusia (kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik) dan fungsi totalitas
sosialkultural dalam konteks interaksi (dalam keluarga, satuan pendidikan, dan
masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat. Konfigurasi karakter dalam
konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dapat
dikelompokan, yakni :

Olah Hati (Spiritual and emotional development)


Olah Pikir (intellectual development)

24
Olah Raga dan Kinestetik (Physical and kinestetic development)
Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development)
Keempat proses psikososial tersebut memiliki keterkaitan dan saling
melengkapi, yang bermuara pada pembentukan karakter yang menjadi perwujudan
dari nilai-nilai luhur. Masing-masing proses itu secara konseptual dapat
diperlakukan sebagai suatu klaster atau gugus nilai luhur yang didalamnya
terkandung sejumlah nilai. Keempat proses psikologis tersebut, satu dengan yang
lainnya saling terkait dan saling memperkuat. Karena itu setiap karakter, seperti
juga sikap, selalu bersifat multipleks atau berdimensi jamak. Pengelompokan nilai
tersebut sangat berguna untuk kepentingan perencanaan. Dalam proses intervensi
(pembelajaran, pemodelan, dan penguatan) serta proses habituasi (pensuasanaan,
pembiasaan, dan penguatan) yang pada akhirnya menjadi karakter, keempat
kluster nilai luhur tersebut akan terintegrasi melalui proses internalisasi dan
personalisasi pada diri masing-masing individu.
Pengembangan nilai atau karakter dapat dilihat pada dua latar, yaitu pada
latar makro dan latar mikro. Latar makro bersifat nasional yang mencakup
keseluruhan konteks perencanaan dan implementasi pengembangan nilai atau
karakter yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan pendidikan nasional.
Secara makro pengembangan karakter dibagi dalam tiga tahap, yakni
perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi hasil. Pada tahap perencanaan
dikembangkan perangkat karakter yang digali, dikristalisasikan, dan dirumuskan
dengan menggunakan berbagai sumber, diantaranya :
1) Filosofis, yakni Pancasila, UUD 1945, dan UU N0.20 Tahun 2003 beserta
ketentuan perundang-undangan turunannya.
2) Teoritis, yaitu teori tentang otak, psikologis, pendidikan, nilai dan moral,
serta sosiokultural
3) Empiris, berupa pengalaman dan praktik terbaik, antara lain tokoh-tokoh,
satuan pendidikan formal dan nonformal unggulan, pesantren, kelompok
kultural, dan lainnya.
Pada tahap implementasi dikembangkan pengalaman belajar dan proses
pembelajaran yang bermuara pada pembentukan karakter dalam diri peserta didik.
Proses ini dilaksanakan melalui proses pemberdayaan dan pembudayaan
sebagaimana digariskan sebagai salah satu prinsip penyelenggaraan pendidikan

25
nasional. Proses ini berlangsung dalam tiga pilar pendidikan yakni dalam satuan
pendidikan formal dan nonformal, keluarga, dan masyarakat. Dalam masing-
masing pilar pendidikan akan ada dua jenis pengalaman belajar yang dibangun
melalui dua pendekatan yakni intervensi dan habituasi. Dalam intervensi
dikembangkan suasana interaksi belajar dan pembelajaran yang sengaja dirancang
untuk mencapai tujuan pembentukan karakter dengan menerapkan kegiatan yang
terstruktur. Agar proses pembelajaran tersebut berhasil guna, peran pendidik
sebagai sosok panutan sangat penting dan menentukan. Sementara itu dalam
habituasi diciptakan situasi dan kondisi serta penguatan yang memungkinkan
peserta didik pada satuan pendidikannya, rumahnya, dan lingkungan
masyarakatnya membiasakan diri berperilaku sesuai nilai sehingga terbentuk
karakter yang telah diinternalisasi dan dipersonalisasi dari dan melalui proses
intervensi. Proses pemberdayaan dan pembudayaan yang mencakup pemberian
contoh, pembelajaran, pembiasaan, dan penguatan harus dikembangkan secara
sistemik, holistik, dan dinamis.
Dalam konteks makro kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia,
pelaksanaan pendidikan karakter merupakan komitmen seluruh sektor kehidupan,
bukan hanya sektor pendidikan nasional. Keterlibatan aktif dari sektor-sektor
pemerintahan lainnya, khususnya sektor keagamaan, kesejahteraan, pemerintahan,
komunikasi dan informasi, kesehatan, hukum serta hak asasi manusia, bahkan
pemuda dan olahraga juga sangat dimungkinkan.
Pada tahap evaluasi hasil, dilakukan asesmen program untuk perbaikan
berkelanjutan yang dirancang dan dilaksanakan untuk mendeteksi aktualisasi
karakter dalam diri generasi muda sebagai indikator bahwa proses pembudayaan
dan pemberdayaan karakter itu berhasil dengan baik, menghasilkan sikap yang
kuat, dan pikiran yang argumentative.
Pada konteks mikro, pendidikan karakter berpusat pada satuan pendidikan
formal dan nonformal secara holistik. Satuan pendidikan formal dan nonformal
merupakan wilayah utama yang secara optimal memanfaatkan dan
memberdayakan semua lingkungan belajar yang ada untuk menginisiasi,
memperbaiki, menguatkan, dan menyempurnakan secara terus-menerus proses
pendidikan karakter. Pendidikan seharusnya melakukan upaya sungguh-sungguh

26
dan senantiasa menjadi gerbang utama dalam upaya pembentukan karakter
manusia Indonesia yang sesungguhnya. Secara mikro pengembangan karakter
dibagi dalam empat pilar, diantaranya kegiatan belajar-mengajar di kelas, kegiatan
keseharian dalam bentuk pengembangan budaya satuan pendidikan formal dan
nonformal. kegiatan kokurikuler atau ekstrakurikuler, serta kegiatan keseharian di
rumah dan masyarakat. Dalam kegiatan belajar-mengajar di kelas, pengembangan
karakter dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan terintegrasi dalam semua
materi pembelajaran. Khusus, untuk materi pembelajaran Pendidikan Agama dan
Pendidikan Kewarganegaraan memang misinya adalah mengembangkan nilai dan
sikap. Untuk kedua materi pembelajaran tersebut, karakter dikembangkan sebagai
dampak pembelajaran dan juga dampak pengiring. Sedangkan untuk materi
pembelajaran lainnya, yang secara formal memiliki misi utama selain
pengembangan karakter, wajib dikembangkan kegiatan yang memiliki dampak
pengiring bagi berkembangnya karakter dalam diri generasi muda. Dalam hal ini,
peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan harus mau mengembangkan diri
secara terus-menerus. Dalam lingkungan satuan pendidikan formal dan nonformal
dikondisikan agar lingkungan fisik dan sosiokultural satuan pendidikan formal
dan nonformal memungkinkan para generasi muda bersama dengan warga satuan
pendidikan formal dan nonformal lainnya terbiasa membangun kegiatan
keseharian yang mencerminkan perwujudan karakter yang dituju. Dalam kegiatan
kokurikuler atau ekstrakurikuler perlu dikembangkan proses pembiasaan dan
penguatan dalam rangka pengembangan karakter.
Di lingkungan keluarga dan masyarakat diupayakan terjadi proses
penguatan dari orang tua beserta tokoh-tokoh masyarakat terhadap perilaku
berkarakter mulia yang dikembangkan di satuan pendidikan formal dan nonformal
sehingga menjadi kegiatan keseharian di rumah dan di lingkungan masyarakat
masing-masing. Hal ini dapat dilakukan lewat komite sekolah, pertemuan wali
murid, kunjungan wali murid yang berhubungan dengan kumpulan kegiatan
sekolah dan keluarga. Salah satu fungsi strategis dari kegiatan ini adalah dalam
rangka pengembangan kapasitas yang bertujuan meningkatkan peran serta fungsi
organisasi, sistem dan perorangan dalam pelaksanaan penelitian dan

27
pengembangan pendidikan karakter di lingkup Dinas Pendidikan. Pengembangan
kapasitas tersebut ditempuh melalui pelatihan, workshop, penyusunan modul self
learning dan pengembangan inspirasi melalui best practices.

28
BAB V
KESIMPULAN
Karakter tidak otomatis berkembang pada diri generasi muda. Perlu ada
rekayasa sosial yang dirancang dan dilaksanakan secara sadar dengan arah yang
jelas. Rekayasa sosial ini semakin penting, karena karakter bersifat multidimensi
yang memerlukan partisipasi dari berbagai pihak. Rekayasa sosial untuk
pembangunan karakter perlu direncanakan dan dilaksanakan sebaik dan secermat
mungkin. Proses ini berlangsung amat panjang, bahkan berlangsung sepanjang
massa khususnya melalui pendidikan.
Multikultural berbicara tentang identitas dan perbedaan, pentingnya kesadaran
akan sesuatu yang khas pada diri kita yang membedakannya kita dengan yang
lainnya.
Karakter bangsa dibentuk oleh berbagai campuran dari sifat-sifat yang ada,
seperti sosialibilitas, ketulusan, kejujuran, kebanggaan, keterbukaan, kerja keras,
serta semangat untuk berprestasi. Karakter bangsa akan muncul sebagai
keterpaduan dan keseimbangan dari berbagai karakteristik moral tersebut. Suatu
karakter bangsa mesti dikembangkan berdasarkan nilai-nilai tradisi yang dimiliki
bangsa itu sendiri, dipadukan dengan konteks bangsa yang ada seperti, lembaga-
lembaga, kebiasaan-kebiasaan, dan kebudayaan bangsa serta agama yang dianut.
Secara keseluruhan, pendidikan karakter harus memberikan kontribusi pada upaya
pencapaian tujuan pembangunan karakter bangsa, yaitu mewujudkan masyarakat
yang berkeTuhanan Yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab,
berjiwa persatuan Indonesia, berjiwa kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta berkeadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.

29
BAB VI
DAFTAR PUSTAKA
Ardika, I Wayan. 2004; Bukti-bukti Arkeologi Terbentuknya Akar
Multikulturalisme, Balimangsi Press, Denpasar.
Blum, A Lawrence. 2001; Antirasisme, Multikulturalisme, dan Komunitas Antar-
Ras, PT. Tiara Wacana, Yogyakarta.
Hefner, Robert W. 2007; Politik Multikulturalisme: Menggugat Realitas
Kebangsaan, Kanisius, Yogyakarta.
Hilmy, Masdar. Edisi 12; Menggagas Paradigma Pendidikan Multikulturalisme,
Mataram.
Yaqin, M. Ainul. 2007; Pendidikan Multikultural, Cross Cultural Understanding
untuk Demokrasi dan Keadilan, Pilar Media, Yogyakarta.
Addin. 2013; Pendidikan Multikultural: Pengertian, Prinsip, dan Relevansinya
dengan Tujuan Pendidikan Islam, Universitas Nahdlatul Ulama, Surakarta.
Nurul Zuriah, Rahmad Widodo, Hari Sunaryo. 2016; Model Pendidikan Karakter
Berbasis Nilai Kearifan Lokal dan Civic Virtue Sebuah Rekayasa Sosial,
SENASPRO.
Borba, Michele. 2008; Membangun Kecerdasan Moral.
Hanum, Farida. 2009; Pendidikan Multikultural Sebagai Sarana Pembentuk
Karakter Bangsa, Makalah, Universitas Negeri Yogyakarta. Yogyakarta.
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pengabdian/farida-hanum-msi-dr/pend-
multikultural-sebagai-pembentuk-karakter-bangsa-2010.pdf (diunduh tanggal 12
November 2016)

30

Anda mungkin juga menyukai