Anda di halaman 1dari 44

KAJIAN DATA PENGINDERAAN JAUH

MULTIRESOLUSI UNTUK IDENTIFIKASI FITUR


TIPOLOGI PESISIR

LAPORAN PENELITIAN

Oleh :
Sigit Heru Murti BS

Penelitian ini dibiayai oleh :


Dana Hibah Penelitian Tahun 2011
Program Studi S-2 Penginderaan Jauh
Fakultas Geografi UGM

FAKULTAS GEOGRAFI
YOGYAKARTA
2011

0
BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Salah satu penggunaan data penginderaan jauh dalam bidang survei


dan pemetaan sumberdaya alam adalah untuk membantu dalam proses
inventarisasi dan evaluasi sumberdaya alam pesisir. Inventarisasi
sumberdaya pesisir perlu dilaksanakan mengingat kompleksnya ekosistem
tersebut, terutama yang dimiliki oleh Indonesia. Ekosistem ini mencakup
ekosistem samudera, perairan pantai, selat, teluk, gugusan terumbu karang,
gugusan pulau-pulau kecil, pesisir, muara, delta, rumput laut, padang lamun,
hutan mangrove, dan daerah pasang surut. Ekosistem tersebut merupakan
sumberdaya yang potensial untuk perikanan, pertambangan, pertanian,
kehutanan, perhubungan, dan pariwisata. Namun demikian, sampai saat ini
belum seluruh potensi tersebut diinventarisasi dan dipetakan dengan baik.
Oleh karena itu kegiatan inventarisasi dan evaluasi sumberdaya pesisir perlu
terus dilaksanakan untuk melengkapi ketersediaan data dasar dengan cepat,
akurat dan up to date untuk menunjang tercapainya perencanaan dan
pengelolaan sumberdaya pesisir yang berkelanjutan. Salah satu alternatif
terbaik dalam membantu proses inventarisasi dan evaluasi sumberdaya alam
pesisir dengan relatif cepat, murah, akurat, dan aktual adalah dengan
menggunakan data penginderaan jauh.

Zona pesisir mempunyai manfaat ekonomis yang signifikan yang


dihasilkan dari kekayaan dan keanekaragaman ekosistem. Saat ini wilayah
pesisir masih merupakan daerah pemukiman yang padat penduduknya dan
kompleks penggunaan lahannya. Lebih dari 60 persen penduduk tinggal di
pesisir, yang membawa konsekuensi tingginya eksploitasi sumberdaya alam.
Di Indonesia, kegiatan manusia di wilayah pesisir mempunyai intensitas yang
cukup tinggi, seperti industri, perkotaan, permukiman, pertambangan,
sehingga menimbulkan konflik penggunaan lahan antara satu dengan yang
lainnya.Sehubungan dengan hal tersebut, perlu disusun suatu informasi yang

1
dapat mencerminkan kondisi sumberdaya alam di wilayah pesisir Indonesia
dalam konteks spasial dan temporal. Informasi ini nantinya akan dijadikan
baseline dalam mengambil keputusan dalam rangka manajemen sumberdaya
alam pesisir yang berkelanjutan. Sumberdaya alam pesisir ini dapat
direpresentasikan melalui kondisi tipologi pesisirnya. Tujuan dari penelitian
ini adalah melakukan kajian terhadap data penginderaan jauh multiresolusi
dalam melakukan identifikasi fitur tipologi di Indonesia yang secara langsung
maupun tidak langsung berhubungan dengan keragaman sumberdaya alam.

Fitur tipologi pesisir Indonesia ini dibuat berdasarkan data


penginderaan jauh multiresolusi, terutama yang berasal dari sistem
penginderaan jauh pasif. Tipologi pesisir ini diharapkan mampu memberikan
informasi yang sifatnya menyeluruh dengan tingkat kedetilan yang sesuai
dengan spesifikasi data penginderaan jauh yang digunakan untuk
mengidentifikasinya. Hal ini penting sebagai dasar untuk menyusun
perencanaan dan pengelolaan terutama di wilayah pesisir pada tingkat
nasional maupun lokal. Data penginderaan jauh multiresolusi ini dipilih
sedemikian rupa sehingga mampu mengakomodasi peraturan tentang
tingkat kedetailan peta untuk tata ruang wilayah pada PP10/2000, yaitu
1:250.000, 1:100.000 dan 1:50.000, 1:25.000, dan 1:10.000.

Penelitian ini mencakup beberapa daerah dengan kondisi pesisir yang


berbeda-beda. Laporan ini menyajikan hasil kajian yang dilakukan pada
Pulau Panjang yang terletak di Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah.
Pulau Panjang merupakan salah satu pilot area dari beberapa sampel area
pesisir yang akan dikaji pada penelitian berikutnya. Sampel area pesisir yang
digunakan pada rangkaian penelitian ini diharapkan mampu mewakili variasi
kondisi tipologi pesisir yang ada di Indonesia.

2
1.2. Perumusan Masalah
Belum diketahui kemampuan data penginderaan jauh multiresolusi
dalam melakukan identifikasi fitur tipologi pesisir di Pulau Panjang dan
informasi apa saja yang sebaiknya muncul pada tiap skala pemetaan.

1.3. Pertanyaan Penelitian


Sejauh mana kemampuan data penginderaan jauh multiresolusi dalam
melakukan identifikasi fitur tipologi pesisir di Pulau Panjang dan informasi
fitur tipologi pesisir apa sajakah yang sebaiknya muncul pada tiap skala
pemetaan?

1.4. Tujuan Penelitian


Mengkaji kemampuan data penginderaan jauh multiresolusi dalam
melakukan identifikasi fitur tipologi pesisir di Pulau Panjang dan
memberikan informasi mengenai fitur tipologi pesisir Pulau Panjang yang
sebaiknya muncul pada tiap skala pemetaan.

1.3. Manfaat Penelitian


Manfaat dari penelitian ini adalah untuk memberikan penjelasan dan
informasi mengenai kemampuan data penginderaan jauh dalam melakukan
identifikasi fitur tipologi pesisir di Indonesia pada berbagai skala pemetaan
sesuai dengan PP10/2000, yaitu 1:250.000, 1:100.000 dan 1:50.000,
1:25.000, dan 1:10.000. Pada laporan ini, kasus yang dibahas adalah Pulau
kecil yang dikelilingi oleh ekosistem terumbu karang yaitu Pulau Panjang,
Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah.

1.4. Ruang lingkup


Pedoman ini berisi ketentuan mengenai spesifikasi teknis, metode
survei dan pemetaan, sistem klasifikasi tipologi pesisir dan prosedur
penyajian Peta Tipologi Wilayah Pesisir di Indonesia pada berbagai skala
pemetaan sesuai dengan PP10/2000, yaitu 1:250.000, 1:100.000 dan
1:50.000, 1:25.000, dan 1:10.000.

3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penginderaan Jauh


Penginderaan jauh adalah adalah ilmu dan teknik untuk memperoleh
informasi tentang suatu obyek, daerah atau fenomena melalui analisis data
yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan obyek,
daerah, atau fenomena yang dikaji (Lilesandet al. 2004).Definisi tersebut
mengandung arti bahwa penginderaan jauh mempunyai hubungan yang
sangat erat dengan pengukuran radiasi elektromagnetik yang dipancarkan
atau dipantulkan dari obyek-obyek di permukaan bumi. Berbagai macam
obyek di bumi mempunyai karakteristik yang berbeda dalam memancarkan
atau memantulkan kembali radiasi elektromagnetik yang diterima dari sinar
matahari. Dengan mengetahui cara bagaimana obyek yang berbeda akan
memantulkan radiasi elektromagnetik maka dapat diidentifikasi tipe-tipe
dan kondisi permukaan dari suatu benda serta dapat diukur intensitas
radiasi elektromagnetik dengan menggunakan alat-alat pada sistem
penginderaan jauh.
Secara umum sistem penginderaan jauh terdiri dari serangkaian
komponen berupa sumber tenaga, atmosfer, obyek, sensor, perolehan data
dan pengguna data. Penginderaan jauh pada umumnya menggunakan
sumber tenaga berupa tenaga elektromagnetik. Pengenalan objek pada citra
penginderaan jauh dapat dilakukan dengan menyidik (tracing) karakteristik
spektral objek yang tergambar pada citra. Objek akan tampak cerah pada
citra apabila obyek tersebut banyak memantulkan atau memancarkan
tenaga. Sebaliknya obyek akan tampak lebih gelap apabila memantulkan atau
memancarkan tenaga lebih sedikit. Dengan melakukan analisis data yang
terkumpul, maka dapat diperoleh informasi tentang obyek, daerah atau
fenomena yang dikaji. Keberhasilan aplikasi penginderaan jauh terletak pada
dapat diterima atau tidaknya hasil penginderaan jauh itu oleh para pengguna
data (Sutanto, 1986).

4
Perkembangan teknologi penginderaan jauh dewasa ini cukup pesat
dengan munculnya citra penginderaan jauh dengan berbagai resolusi spasial,
resolusi radiometrik, resolusi spetral yang tinggi. Perkembangan
pemanfaatan yang pesat tidak lepas dari keunggulan yang dimiliki citra
penginderaan jauh. Beberapa keunggulan data penginderaan jauh antara
lain:
1. Data penginderaan jauh mampu menggambarkan fenomena dari
permukaan bumi dengan wujud dan letak objek yang mirip dengan
wujud dan letaknya di permukaan bumi dengan relatif lengkap
dan meliputidaerah luas dan permanen.
2. Data penginderaan jauh jenis tertentu dapat menghasilkan
kenampakan tiga dimensi dari permukaan bumi apabila
pengamatannya dilakukan secara stereoskopis.
3. Data penginderaan jauh dapat menampilkan karakteristik intrinsik
objek yang tidak dapat diidentifikasi dengan pengamatan
langsung.
4. Data penginderaan jauh dapat memberikan informasi permukaan
bumi pada daerah yang sulit dijangkau secara terrestrial dengan
relatif cepat.
5. Data penginderaan jauh mempunyai kemampuan untuk merekam
daerah yang sama sehingga memungkinkan untuk analisis
multitemporal.
Pada gambar 2.1. dan 2.2, Phinn et al (2006) menunjukkan bagaimana
sistem penginderaan jauh pasif merekam pantulan energi oleh obyek-obyek
yang ada di pesisir.

5
Gambar 2.1. Konseptual model faktor-faktor yang mempengaruhi interaksi energi
pada proses pencitraan dalam penginderaan jauh.

Gambar 2.2. Interaksi energi pada proses pencitraan dalam penginderaan jauh pada
kondisi air jernih dan keruh

6
Gambar 2.3. Pola Respon Spektral beberapa Obyek (Jensen, 2004)

Setiap benda pada dasarnya mempunyai struktur partikel yang


berbeda, baik mikro maupun makro. Perbedaan struktur ini mempengaruhi
pola respon spektralnya. Oleh karena itu, pengenalan dan perbedaan respon
spektral dapat dijadikan landasan bagi pembedaan obyek. Cara memberikan
respon terhadap gelombang elektromagnetik yang mengenainya berbeda-
beda, baik dari satu jenis ke jenis lain maupun dari spektrum ke spektrum
lain. Terdapat pola respon spektral obyek yang merupakan hasil dari
berbagai penelitian di lapangan dan di laboratorium. Pola inilah yang
menjadikan dasar pemilihan saluran untuk kajian obyek tertentu (Gambar
2.3).
Sutanto (1986) membedakan citra penginderaan jauh atas citra foto
dan citra non foto. Citra foto yang biasa disebut foto udara yang dapat berupa
foto ultraviolet, foto pankromatik, foto inframerah, dan foto multispektral;
sedangkan citra non-foto merupakan citra hasil perekaman dengan sistem
penyiaman. Lillesand et al., (2004) membedakan penginderaan jauh
berdasarkan cara pengumpulan datanya dan cara analisisnya. Berdasarkan

7
cara pengumpulan datanya, sistem penginderaan jauh dibedakan atas tenaga
(menggunakan tenaga pantulan atau tenaga pancaran), sensor (sensor
fotografik atau sensor non fotografik) dan wahana (airbone dan spaceborne)
yang digunakan. Berdasarkan analisis datanya maka penginderaan jauh
dapat dibedakan atas cara interpretasinya, yaitu interpretasi secara visual
dan interpretasi secara numerik (data digital).
Data penginderaan jauh dapat berupa citra dan atau non-citra.
Menurut Purwadhi (2001) secara definitif citra penginderaan jauh adalah
gambaran suatu obyek dari pantulan atau pancaran radiasi elektromagnetik
obyek, yang direkam dengan cara optik, elektro-optik, optik-mekanik, atau
elektronik. Citra penginderaan jauh merupakan gambaran yang mirip dengan
wujud aslinya atau paling tidak berupa gambaran planimatriknya, sehingga
citra merupakan keluaran suatu sistem perekaman data dapat bersifat optik,
analog, dan digital. Data non citra dapat berupa grafik, diagram, dan numerik.
Citra digital adalah citra yang diperoleh, disimpan, dimanipulasi dan
ditampilkan dengan basis logika biner. Citra digital penginderaan jauh adalah
citra yang menggambarkan kenampakan permukaan (atau dekat
permukaan) bumi, dan yang diperoleh melalui proses perekaman pantulan
atau pancaran gelombang elektromagnetik secara tidak serentak dengan
sensor pelarik yang terpasang pada suatu wahana ruang angkasa
(Danoedoro, 1996). Pada umunya, citra non fotografik yang direkam dalam
bentuk elemen-elemen gambar (pixel = picture element). Elemen-elemen
gambar (pixel) menyatakan tingkat keabuan atau tingkat warna yang
terekam pada citra. Informasi yang terkandung dalam pixel tersebut bersifat
diskrit (atau dengan ukuran presisi tertentu). Diskrit dalam pengolahan data
nilai keabuan dan titik-titik kooordinat dinyatakan dengan presisi angka
terhingga. Citra bersifat digital dapat secara langsung disimpan pada suatu
pita magnetik. Citra digital direkam menggunakan sensor non kamera
(scanner, radiometer, spectrometer), detektornya adalah detektor elektronik,
dan tenaga elektromagnetik yang digunakan lebih luas dibandingkan dengan

8
citra fotografik. Spektrum gelombang elektromagnetik yang digunakan dalam
perekaman citra digital adalah spektrum tampak, ultraviolet, inframerah
dekat, inframerah termal dan gelombang mikro. Pengolahan citra digital
dilakukan dengan bantuan komputer yang bekerja dengan angka-angka
presisi terhingga maka dalam pengolahan citra digital hanya citra bersifat
diskrit yang dapat diolah dengan komputer (Purwadhi, 2001).
Menurut Estes dan Simonett dalam Sutanto (1997) interpretasi citra
merupakan perbuatan mengkaji foto udara dan atau citra dengan maksud
untuk mengidentifikasi obyek dan menilai arti pentingnya obyek tersebut. Di
dalam interpretasi citra, penafsir citra mengkaji citra dengan berupaya
melalui proses penalaran untuk mendeteksi, mengidentifikasi, dan menilai
arti pentingnya obyek yang tergambar pada citra.Dalam pengenalan obyek
yang tergambar pada citra, ada tiga rangkaian kegiatan yang diperlukan yaitu
deteksi, identifikasi dan analisis. Deteksi ialah pengamatan atas adanya suatu
obyek misalnya pada gambaran sungai terdapat obyek yang bukan air.
Identifikasi ialah upaya mencirikan obyek yang telah dideteksi dengan
menggunakan keterangan yang cukup, sedangkan pada tahap analisis
dikumpulkan keterangan lebih lanjut (Lintz dan Simonett, 1976 dalam
Sutanto, 1986).
Menurut Purwadhi (2001) interpretasi penginderaan jauh dapat
dilakukan dengan dua cara yaitu interpretasi secara manual dan interpretasi
secara digital. Interpertasi secara manual adalah interpretasi data
penginderaan jauh yang mendasarkan pada pengenalan ciri (karakteristik)
obyek secara keruangan (spasial). Karakteristik obyek yang tergambar pada
citra dapat dikenali berdasarkan unsur-unsur interpretasi seperti rona atau
warna, bentuk, pola, ukuran, letak dan asosiasi kenampakan objek.
Interpretasi dilakukan terhadap citra foto atau non-fotografi yang sudah
dikonversi kedalam bentuk foto (gambar/piktorial). Interpretasi secara
digital menurut Lillesand et al. (2004) merupakan evaluasi kuantitatif
tentang informasi spektral dengan bantuan komputer. Dasar interpretasi

9
digital berupa klasifikasi pixel berdasarkan nilai spektralnya dan dapat
dilakukan dengan cara statistik. Setiap kelas kelompok pixel dicari kaitannya
terhadap obyek atau gejala di permukaan bumi.
Khusus untuk pemanfaatan penginderaan jauh pada obyek air,
terdapat berapa hal yang harus diperhatikan, yaitu :
1. Di dalam kolom air, suhu air akan semakin menurun dengan semakin
bertambahnya kedalaman perairan yang disebabkan oleh semakin
melemahnya transfer panas yang bersumber dari cahaya matahari
bersamaan dengan terjadinya berbagai proses fisika di kolom air.
2. Berbeda dengan distribusi vertikal suhu di kolom air, distribusi
nutrien di kolom air semakin tinggi dengan semakin bertambahnya
kedalaman yang disebabkan oleh berbagai proses fisik dan kimia serta
biologis perairan.
3. Hubungan antara input nutrien dari daratan dengan konsentrasi
nutrien dan respons biologis di perairan pesisir penerima tidak terjadi
secara linear, namun dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti
hidrodinamika perairan (arus, pasang surut, dan daya bilas), faktor
ketersediaan cahaya di kolom air dan keberadaan organisme grazer.
4. Cahaya dengan panjang gelombang antara 400 sampai 700 nm adalah
cahaya yang mampu digunakan oleh tanaman dan fitoplankton untuk
berfotosintesis dan disebut sebagai Photosynthetically Active
Radiation (PAR). Daya tembus cahaya ke dalam kolom air sangat
berbeda berdasarkan panjang gelombang. Cahaya panjang gelombang
sangat tinggi akan diserap di beberapa centimeter pertama di
permukaan air sementara cahaya matahari yang mampu menembus
paling dalam adalah cahaya biru.

2.2. Konsep Pesisir

Snead (1982) menyatakan, bahwa pesisir ialah daerah yang


membentang di pedalaman dari laut, umumnya sejauh perubahan

10
topografi pertama di permukaan daratan. CERC (1984) menyebutkan, bahwa
pesisir yaitu sebidang lahan dengan lebar tidak tentu (dapat beberapa
kilometer) yang membentang dari garis pantai ke arah pedalaman hingga
perubahan besar pertama kali pada kenampakan lapangan. Ritter et al (1995)
mengemukakan, bahwa pesisir ialah mintakat fisiografis yang relatif luas,
yang membentang sejauh ratusan kilometer di sepanjang garis pantai dan
seringkali beberapa kilometer ke arah pedalaman dari pantai. Lebih tegas
lagi konsep pesisir yang dikernukakan oleh Thurman (1978), yaitu sebidang
lahan yang membentang di pedalaman dari garispesisir(coastline) sejauh
pengaruh laut yang dibuktikan pada bentuklahannya.

Lebih lanjut Thurman (1978), Snead (1982), dan CERC (1984)


menjelaskan, bahwa garispesisir(coastline) ialah garis yang membentuk
batas antara pesisir dan pantai. Garis pesisir (coastline) berbeda dengan garis
pantai (shoreline). Jika garis pesisir membatasi pesisir dan pantai yang
kedudukannya relatif tetap, maka garis pantai membatasi darat dan
permukaan laut yang kedudukannya selalu berubah dan sangat fluktuatif
bergantung pada pasang surut dan besarnya gelombang. Pada suatu saat,
garis pesisir dapat berimpit dengan garis pantai. Berimpitnya kedua garis
tersebut terjadi ketika laut mengalami pasang dengan gelombang yang relatif
besar.

Untuk mengidentifikasi karakteristik pesisir haruslah terlebih dahulu


disamakan cara pandangnya atau pendekatan yang digunakan. Pesisir yang
dipandang dari pendekatan geomorfologi dimungkinkan sekali berlainan
dengan pesisir ketika dipandang dari pendekatan biologi, klimatologi, atau
hidrologi.

Dipandang dari pendekatan geomorfologi, pesisir dapat diidentifikasi


dari bentuklahannya yang secara genetik berasal dari proses marin,
fluviomarin, organik, atau aeoliomarin. Dipandang dari pendekatan biologi,
karakteristik pesisir dapat diketahui dari persebaran ke arah darat biota

11
pantai, baik persebaran vegetasi maupun persebaran hewan pantai.
Dipandang dari pendekatan klimatologi, karakteristik pesisir ditentukan
berdasarkan pengaruh angin laut (sea breeze). Dipandang dan pendekatan
hidrologi, karakteristik pesisir ditentukan seberapa jauh pengaruh pasang air
laut yang masuk ke darat.

Ketchum (1973) mengemukakan pengertian tentang daerah


kepesisiran, yaitu suatu jalur daratan yang kering dan ruang lautan di
sekitamya (daratan berair atau tenggelam) yang pada jalur itu proses-
proses daratan dan penggunaan lahan secara langsung mempengaruhi
proses-proses dan pemanfaatan lautan, dan sebaliknya. Kay (1999)
memberikan ciri pokok daerah kepesisiran, yaitu:

Daerah kepesisiran mencakup komponen-komponen darat dan laut,


Mempunyai batas darat dan laut yang ditentukan oleh tingkat
pengaruh darat pada laut dan pengaruh laut pada darat
Tidak memiliki lebar, kedalaman, dan ketinggian yang seragam.

CERC (1984) memberikan batas ke arah laut bagi daerah kepesisiran


adalah pada lokasi awal pertama kali gelombang pecah terjadi ketika surut
terendah. Daerah kepesisiran (coastalarea) mencakup pesisir (coast), pantai
(shore), dan perairan laut dekat pantai (nearshore).

Secara umum dapat disimpulkan bahwa wilayah pesisir merupakan


suatu area yang sangat dinamis dan mudah berubah. Faktor-faktor yang
mempengaruhi dinamika pesisir tersebut antara lain: (a) angin, (b)
gelombang, (c) tipe dan karakteritik pantai, (d) sedimen, (e) transport
sedimen sepanjang pantai, dan (f) perubahan garis pantai.

2.3. Pemanfaatan Penginderaan Jauh untuk Kajian Pesisir

Salah satu isu utama pemanfaatan penginderaan jauh untuk kajian


pesisir adalah sejauh mana data penginderaan jauh multiresolusi dapat
dimanfaatkan secara optimal untuk mengkaji berbagai fitur tipologi pesisir.

12
Dalam pemanfaatan penginderaan jauh untuk kajian pesisir terdapat dua
bagian penting yang harus dipahami secara terintegrasi, yaitu pemahaman
tentang penginderaan jauh (jenis citra, resolusi, teknik interpretasi) dan
pemahaman tentang pesisir (tipe, karakteristik, proses pembentukannya),
sehingga akan timbul pemahaman tentang pemanfaatan penginderaan jauh
untuk kajian pesisir secara optimal.
Aplikasi penginderaan jauh dalam bidang pesisir mencakup
pemetaan, pengukuran, pemodelan, dan pemantauan aktifitas laut dan
pesisir secara efektif dan efisien. Aplikasi penginderaan jauh untuk daerah
pesisir pernah dikaji oleh beberapa peneliti diantaranya mengenai: terumbu
karang, wetland, kajian mengenai tanaman mangrove, lamun, coastal
upwelling, pengukuran batimetri, macro-algae, eutrofikasi, dan aktivitas
manusia seperti budidaya tambak air payau, keramba jaring apung, polusi
air, algae bloom, dan yang lainnya. Kegiatan ini memfokuskan pada
penggunaan teknologi penginderaan jauh untuk mengkaji dinamika dan
identifikasi fitur tipologi pesisir yang ada di wilayah pesisir Indonesia.
Wilayah pesisir merupakan suatu area yang sangat kompleks dan
dinamis yang dipengaruhi oleh variabel fisik, biotik, sosial ekonomi dan
interaksi antara ketiga variebel tersebut. Interaksi antara kompnen-
komponen pengaruh tersebut pada akhirnya akan membentuk suatu tipe
pesisir tertentu yang memiliki potensi dan permasalahan wilayah yang khas.
Untuk dapat memahami hal tersebut perlu dilakukan zonasi pada wilayah
pesisir untuk menyederhanakan kompleksitas wilayah pesisir, sehingga
nantinya dapat dilakukan analisis secara mendalam. Zonasi yang dilakukan
tersebut akan membentuk suatu unit analisis yang harus dapat diamati atau
dikenali dari citra penginderaan jauh, dimana pola pembentukan unit analisis
tersebut dalam penginderaan jauh dapat dilakukan menggunakan
pendekatan holistik ataupun parametrik. Unit analisis ini tersusun dari fitur
tipologi pesisir yang ada diwilayah yang dikaji. Pada akhirnya dari proses

13
tersebut dapat dihasilkan tipologi pesisir sebagai dasar analisis potensi dan
permasalahan wilayah pesisir.

14
BAB III METODE

Dalam penentuan tipe atau tipologi pesisir seperti apa yang sesuai
untuk wilayah Indonesia pada umumnya dan Pulau Panjang pada khususnya,
terdapat dua faktor utama yang harus dipertimbangkan. Faktor yang
pertama adalah proses pembentukan pesisir, dan kemampuan data
penginderaan jauh dalam memberikan informasi fitur tipologi pesisir. Proses
pembentukan pesisir dilihat dari faktor genesa terbagi dalam delapan
kelompok, yaitu : (a) struktural, (b) marin, (c) vulkanik, (d) solusional, (e)
organisme, (f) aeolian, dan (g) fluvial. Masing-masing genesa tersebut akan
membentuk karakteristik dan tipologi pantai yang khas.

Faktor penginderaan jauh meliputi tiga hal, yaitu jenis data,


pendekatan dan teknik analisis. Jenis data dalam penginderaan jauh sangat
terkait dengan resolusi spasial, spektral, temporal dan radiometrik yang
dimiliki oleh citra penginderaan jauh. Salah satu aspek penting yang
berhubungan langsung dengan resolusi spasial pada data penginderaan jauh
adalah skala. Dalam identifikasi fitur tipologi wilayah pesisir, skala peta akan
sangat mempengaruhi detail informasi yang disajikan. Semakin besar skala
peta maka informasi yang ditampilkan akan semakin detil dan begitu juga
sebaliknya. Dengan kata lain, data penginderaan jauh yang dibutuhkan
sebagai input dalam pembuatan peta tipologi wilayah pesisir pada berbagai
skala juga akan berbeda-beda. Tabel 3.1 menunjukkan kebutuhan data
penginderaan jauh pada berbagai skala pemetaan yang tercantum pada
PP10/2000.

Tabel 3.1 Kebutuhan data penginderaan jauh pada berbagai skala pemetaan

Resolusi spasial Skala Peta


No Citra
(m) Dasar Tematik
1 Geoeye-1, Quickbird, 15 1:10.000 1:50.000 Lebih besar 1:10.000
Worldview-2,
IKONOS
2 Rapideye, ALOS 5 - 10 1:50.000 - 1:100.000 1:10.000 1:25.000
AVNIR-2, SPOT 4,
SPOT 5

15
3 ASTER, SPOT 1, 10 - 20 1:100.000 1:200.000 1:25.000 1:50.000
SPOT 2, SPOT 3
4 Landsat 5 TM, 20 - 30 1:200.000 - 1:300.000 1:50.000 1:100.000
Landsat 7 ETM+, ALI,
Hyperion
6 MODIS 100 - 250 1:1.000.000 - Lebih kecil sama dengan
1:2.500.000 1:250.000
Sumber: Scanex, 2009; Sutanto, 2010

Dalam penelitian ini, berbagai data multiresolusi digunakan untuk


mewakili level skala yang akan diwakilinya yaitu MODIS (Skala kecil
1:250.000), Landsat 7 ETM+ (Skala menengah 1:100.000 1:50.000), dan
Quickbird (Skala 1:25.000 1:10.0000). Pendekatan yang dapat digunakan
dalam membentuk tipologi pesisir adalah landscape, bentuklahan, penutup
lahan, penggunaan lahan dan sebagainya, sedangkan teknik analisis yang
dapat digunakan dalam penginderaan jauh adalah interpretasi visual dan
interpretasi secara digital menggunakan klasifikasi multispektral atau
berbagai transformasi indeks yang ada.

Metode ekstraksi data penginderaan jauh yang dapat dipergunakan


dan dikembangkan untuk identifikasi tipe pesisir dalam penelitian ini
bertumpu pada 2 metode utama, yaitu : (a) interpretasi secara visual dan (b)
interpretasi secara digital. Interpretasi secara visual menggunakan
kemampuan sinoptik citra penginderaan jauh untuk menampilkan gambaran
obyek di muka bumi secara utuh yang kemudian dikenali menggunakan
unsur-unsur interpretasi. Teknik ekstraksi informasi ini cocok digunakan
untuk pemetaan pada citra skala kecil dan citra skala detil (sangat besar).
Tingkat keberhasilan atau ketelitian interpretasi ini sangat ditentukan oleh
kemampuan interpreter yang didukung oleh latar belakang bidang ilmu yang
sesuai dan pengalaman dalam melakukan interpretasi. Setelah proses
interpretasi selesai dilaksanakan maka diperlukan proses pengujian hasil di
lapangan untuk mengetahui ketelitian interpretasi dan memperoleh
informasi tambahan yang tidak dapat diperoleh dari citra penginderaan jauh.

16
Metode ekstraksi informasi selanjutnya adalah interpretasi secara
digital menggunakan kemampuan nilai piksel citra penginderaan jauh dalam
mengenali dan membedakan obyek. Beberapa teknik ekstraksi data yang
termasuk dalam metode ini adalah klasifikasi multispektral, transformasi
indeks citra, dan sebagainya. Teknik ekstraksi informasi ini cocok digunakan
untuk pemetaan pada citra skala kecil dan citra skala menengah. Seperti
halnya dengan interpretasi visual, kemampuan interpreter sangat
menentukan keberhasilan interpretasi ini, serta tetap diperlukan proses
pengujian hasil di lapangan untuk mengetahui ketelitian interpretasi dan
memperoleh informasi tambahan yang tidak dapat diperoleh dari citra
penginderaan jauh.

17
BAB IV DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN

Pulau Panjang secara adminstratif merupakan bagian dari Kabupaten


Jepara Jawa Tengah yang secara geografis terletak antara 110o3729,96 BT
110o3753,83 BT dan 6o3424,82 LS 6o3440,32 LS. Pulau Panjang
terletak 1,5 km di sebelah barat dari Pantai Kartini, Teluk Awur dan Teluk
Penyu dan dapat dicapai melalui dermaga yang ada di Pantai Kartini dan
Pantai Bandengan. Luas Pulau Panjang adalah 7 hektar dan untuk
mengelilingi pulau hanya dibutuhkan waktu kurang lebih 15 - 20 menit
dengan berjalan kaki melalui jalan paving yang disediakan

4.1 Morfodinamika dan Perubahan Garis Pantai


4.1.1 Dinamika Kondisi Perairan Laut Dangkal di Pulau Panjang
Pulau panjang merupakan pulau kecil yang dikelilingi terumbu
karang. Kondisi terumbu karang di pulau ini cenderung tidak begitu baik,
terutama pada terumbu karang yang berbatasan langsung dengan garis
pantai (back reef) sudah hancur. Terumbu karang dengan kondisi yang baik
hanya ditemui di sekitar reef cut. Tidak yakin apakah pada terumbu karang
di Pulau Panjang terdapat reef crest dan kalaupun ada kemungkinan
kondisinya juga sudah rusak akibat aktivitas penambangan, pelayaran
maupun pariwisata. Reef crest merupakan bagian terumbu karang yang
paling sering muncul ke permukaan saat surut dikarenakan lokasinya yang
sangat dangkal. Perahu paling sering kandas pada area ini dan
menghancurkan terumbu karangnya. Pada back reef, rusaknya terumbu
karang disebabkan oleh manusia dari aktivitas wisata, penambangan karang,
pelayaran, dan konstruksi.
Aktivitas wisata yang menyebabkan rusaknya terumbu karang antara
lain adalah pembuangan sampah ke perairan terumbu karang. Hal ini
dapat diketahui dengan banyak dijumpainya sampah-sampah plastik
yang ada diperairan tepi pantai Pulau Panjang. Selain itu para

18
wisatawan yang datang ke Pulau Panjang sering kali mengambil
karang untuk dibawa pulang.
Aktivitas pelayaran termasuk diantaranya adalah transportasi wisata,
yaitu berupa perahu motor yang mengantar para wisatawan juga
berperan dalam rusaknya terumbu karang di Pulau Panjang. Badan
perahu akan merusak terumbu karang saat melewatinya terutama
saat air laut surut (low-tide), pembuangan jangkar saat perahu
merapat ke dermaga juga secara langsung akan menghancurkan
terumbu karang. Limbah dari oli perahu ikut mencermari perairan
saat perahu melewatinya. Limbah oli dapat mematikan organisme
yang ada di perairan tersebut.
Penambangan terumbu karang dilakukan secara ilegal oleh para
nelayan yang umumnya terjadi pada malam hari saat petugas Polair
lengah. Nelayan penambangan terumbu karang ini pada umumnya
tidak berasal dari Kabupaten Jepara melainkan dari wilayah lain
seperti Kabupaten Demak. Para nelayan penjarah terumbu karang ini
menggunakan linggis untuk mengambil terumbu karang.
Konstruksi bangunan penahan arus dan gelombang yang ada di Pulau
Panjang bertujuan untuk menahan laju abrasi yang terjadi di
sepanjang garis pantai barat. Bangunan penahan gelombang ini
dibangun dalam bentuk bronjong dan ditempatkan tepat didepan
garis pantai. Selain itu juga dibangun dermaga baru bersamaan
dengan dibangunnya bangunan penahan arus dan gelombang
tersebut. Pada satu sisi bangunan ini bermanfaat karena dapat
menahan laju abrasi di sepanjang garis pantai Pulau Panjang namun
disisi lain dampak ekologis yang berupa kerusakan ekosistem pesisir
yang ditimbulkan juga cukup berat. Pembangunan bangunan penahan
gelombang ini merusak cukup banyak terumbu karang yang berada
disekitar garis pantai. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya pecahan
karang yang ada dibagian belakang (landward margin) bangunan

19
penahan gelombang tersebut (Gambar 4.1.). Tampaknya terjadi
aktivitas pengerukan pada area terumbu karang pada saat
pembangunan bangunan penahan gelombang tersebut. Namun hal ini
dilakukan demi menjaga kestabilan dan menyelematkan garis pantai
Pulau Panjang yang mengalami abrasi secara intensif.

Gambar 4.1. Hancuran karang akibat pembuatan Bronjong untuk menahan abrasi

Kondisi secara umum, substrat disekitar garis pantai dan lagoon Pulau
Panjang didominasi oleh pasir dengan sedikit alga dengan lifeformturf dan
fleshy. Karang mati yang ditumbuhi alga juga banyak ditemui di area back
reef. Pada beberapa bagian pulau di area lagoon dapat ditemukan juga
substrat berupa batu yang dilapisi oleh turf alga (bedrock) dan sedikit
lumpur. Jenis alga yang ditemukan antara lain adalah alga coklat
(phaeophyta), alga hijau (chlorophyte), dan alga merah (rhodophyta). Alga
coklat (phaeophyta) merupakan jenis alga yang paling banyak dijumpai.
Lamun dapat dijumpai pada sisi timur, selatan dan utara pulau.
Fenomena cukup unik yang ditemukan di sepanjang pantai Pulau
Panjang adalah adanya tumbuhan mangrove yang tumbuh di depan (seaward
margin) reef platform. Reef platform adalah rataan terumbu karang yang
sudah terekspos oleh udara dan membentuk dataran kalsium karbonat yang
keras. Reef platform merupakan fosil dari terumbu karang yang mengalami
pengangkatan ataupun turunnya muka air laut (perlu penelitian lebih lanjut
untuk mengetahui dengan pasti penyebab terbentuknya reef platform di

20
Pulau Panjang) Tumbuhan mangrove pada kondisi normal tidak seharusnya
tumbuh pada seaward margin dari terumbu karang, melainkan ada di
landward margin dari terumbu karang. Beberapa akar dari tumbuhan
mangrove tersebut juga tumbuh pada reef platform tersebut. Kondisi ini
tidak memungkinkan karena terumbu karang dan mangrove mempunyai
zonasi yang sangat jelas. Hal yang mungkin adalah proses yang terjadi pada
keduanya berlangsung pada waktu yang berbeda. Dalam hal ini proses
terbentuknya reef platform lebih dahulu dibanding tumbuhnya tumbuhan
mangrove di area tersebut.

4.1.2 Perubahan Garis Pantai di Pulau Panjang


Perubahan garis pantai pada suatu wilayah pesisir dapat disebabkan
oleh proses Akresi maupun Abrasi. Akresi merupakan bertambahnya daratan
ke arah laut, sehingga luas perairan berkurang sedangkan Abrasi adalah
berkurangnya daratan akibat proses alam maupun manusia. Abrasi dapat
dikatakan juga sebagai mundurnya garis pantai ke arah darat akibat erosi
gelombang dan menyebabkan luas perairan bertambah.
Proses yang terjadi di Pulau Panjang adalah proses Abrasi. Abrasi
yang terjadi di Pulau Panjang sudah termasuk intensif. Hasil penelitian dari
Dislutkan Kabupaten Jepara menunjukkan kerusakan wilayah pesisir akibat
abrasi mencapai beberapa hektar. Penyebab dari abrasi yang terjadi di Pulau
Panjang ini dapat dibagi menjadi penyebab alami dan akibat ulah manusia.
Akibat alami adalah gelombang laut yang besar terutama pada musim barat.
Abrasi yang disebabkan oleh ulah manusia adalah rusaknya terumbu karang
akibat pengambilan karang dan aktivitas pelayaran.
Kerusakan yang parah tiap tahunnya adalah saat diadakan Lebaran
Kupatan dimana ribuan wisatawan mengambil terumbu karang untuk
dibawa pulang meskipun telah dilarang. Rusaknya terumbu karang ini
menyebabkan gelombang laut dengan leluasa menghantam garis pantai
Pulau Panjang. Terumbu karang yang sejatinya merupakan bagian dari
coastal defense bersama dengan lamun dan mangrove, jika dalam kondisi

21
sehat mampu menahan gelombang laut dari laut lepas dan mengurangi
kekuatannya sebelum mencapai pantai. Gelombang laut yang lemah ini tidak
akan cukup kuat untuk mengabrasi pantai. Fungsi coastal defense dari
terumbu karang ini biasanya ada pada area reef crest. Adanya proses abrasi
yang intensif pada pantai menunjukkan tidak berfungsinya area reef crest
sebagai penahan gelombang akibat kerusakan yang terjadi atau memang
karena reef crest tidak terbentuk disana dan hanya ada reef cut yang tidak
cukup baik untuk menahan gelombang. Proses abrasi ini semakin parah
karena tidak adanya suplai material dari darat untuk menggantikan material
yang terabrasi oleh gelombang.
Saat ini langkah yang dilakukan untuk menahan laju abrasi adalah
dengan membangun bangunan penahan gelombang dalam bentuk Bronjong
sepanjang 670 meter disisi barat Pulau Panjang (Gambar 4.2). Pantai sisi
barat pulau diprioritaskan karena abrasi paling parah terjadi di lokasi ini.
Pembangunan bronjong ini diharapkan mampu menahan laju abrasi dan
menstabilkan pantai di Pulau Panjang meskipun dalam proses pembuatannya
menghancurkan banyak terumbu karang di area back reef. Usaha lain adalah
penanaman 150 pohon yang difokuskan pada sekitar pantai dan sekitar
makam Syeikh Abu Bakar. Jenis pohon yang ditanam adalah mangrove dan
pohon nyamplung yang berfungsi untuk menahan gelombang, menghijaukan
kawasan pesisir, menstabilkan substrat, dan mampu menangkap sedimen.

Gambar 4.2. Bronjong sepanjang 670 meter dibangun untuk menahan abrasi

22
4.2 Dinamika Pemanfaatan Lahan Pulau Panjang
Tidak banyak variasi pemanfaatan lahan yang ada di Pulau Panjang.
Tidak banyaknya variasi pemanfaatan lahan ini dikarenakan oleh kondisi
wilayah dari Pulau Panjang yang termasuk pulau kecil dengan luas tidak
lebih dari 7 hektar. Tidak adanya penduduk yang secara permanen tinggal di
Pulau Panjang menyebabkan dinamika pemanfaatan lahan tidak intensif.
Perubahan pemanfaatan lahan juga tidak banyak terjadi karena aktivitas
pencari rezeki bergerak pada bidang jasa dan perdagangan bukan pada
pengolahan sumberdaya seperti perikanan dan pertanian. Pemanfaatan
lahan di Pulau Panjang antara lain Hutan, Mercusuar, Jasa dan Perdagangan,
dermaga, Bangunan penahan gelombang, Makam, Masjid, Lahan Terbuka, dan
Semak Belukar (Gambar 4.3).

(a) (d)

(b) (e)

(c) (f)

23
Gambar 4.3. Beberapa pemanfaatan lahan di Pulau Panjang (a) Dermaga (b)
Bronjong penahan gelombang (c) Pariwisata (d) Semak Belukar (e) Lahan Terbuka
(f) Hutan.

4.3 Dinamika Sosial Ekonomi


Penghuni yang ada di Pulau ini hanyalah pedagang, nelayan, dan para
pekerja dinas perhubungan yang bukanlah penghuni permanen melainkan
hanya pencari nafkah. Pedagang dan nelayan bergerak dibidang pariwisata
meskipun sebagian nelayan juga bergerak di bidang perikanan tangkap di
perairan Pulau Panjang. Pekerja lain yang tinggal disana antara lain adalah
petugas Mercu suar dan pekerja konstruksi. Pekerja konstruksi ini hanya
berada di Pulau Panjang saat ada pembangunan infrastruktur seperti
penahan gelombang, dermaga, jalan paving, Masjid, dan bangunan Mercu
suar. Umumnya mereka tinggal dengan membangun tenda di sekitar lokasi
pembangunan.
Aktivitas dinamika penduduk yang utama adalah pariwisata yang
merupakan potensi utama dari Pulau Panjang. Pulau Panjang merupakan
salah satu lokasi wisata bahari dan wisata religi yang ada di Kabupaten
Jepara. Para wisatawan dapat mencapai Pulau Panjang dari Pantai Kartini
atau Pantai Bandengan dengan menggunakan perahu motor khusus untuk
wisata Sapta Pesona. Beberapa aktivitas wisata yang dapat dilakukan di
Pulau Panjang antara lain adalah menyelam (diving), snorkeling, mandi di
laut, memancing, berkemah, pengamatan burung, berkunjung ke masjid dan
ziarah ke makam Syekh Abu Bakar.
Potensi wisata andalan dari Pulau Panjang antara lain adalah pantai
yang landai dan berpasir putih, berjalan-jalan mengelilingi pulau dengan
melewati jalan paving yang mengelilingi pulau, laut dangkal berterumbu
karang, dan melihat burung (bird watching). Hutan yang rimbun di Pulau
Panjang menarik berbagai macam burung untuk tinggal (Gambar 4.4).
Beberapa jenis burung yang tinggal di hutan Pulau Panjang antara lain
Burung Blekok, Camar dan Bangau. Rencana kedepan, Pemda Jepara ingin

24
menjadikan Pulau Panjang ini menjadi kawasan konservasi alam terutama
untuk tumbuh-tumbuhan. Selain wisata alam, Pulau Panjang juga
menawarkan wisata religi pada makam Syekh Abu Bakar.

(a)

(b)

Gambar 4.4. Beberapa potensi pariwisata di Pulau Panjang (a) Pantai pasir putih dan
terumbu karang laut dangkal (b) Hutan rimbun untuk bird watching (c) Makam
Syekh Abu Bakar

Adanya aktivitas pariwisata ini digunakan oleh penduduk lokal untuk


mengais rejeki. Transportasi laut di Pulau Panjang menggunakan perahu
motor tradisional dijalankan oleh penduduk lokal. Tarif sewa per perahu
adalah 50 ribu 70 ribu dengan kapasitas 15 orang per perahu. Untuk tarif
individual berkisar kurang lebih 10 15 ribu per orang. Pada musim puncak
liburan, terutama saat Lebaran Kupatan (Pesta Lomban) tiap perahu dapat
menghasilkan 2 juta 3 juta rupiah. Warung makan dan tempat berjualan
yang lokasinya terletak di sekitar Masjid dan Makan Syekh Abu Bakar juga
dikelola oleh penduduk lokal Kabupaten Jepara (Gambar 4.5). Jumlah

25
pedagang yang paling banyak terjadi pada Lebaran Kupatan seminggu
setelah Idul Fitri. Para pedagang tersebut pada umumnya menjual ikan segar,
kupat, lepet dan berbagai jenis makanan. Hal ini dikarenakan meningkatnya
jumlah wisatawan yang berkunjung ke Pulau Panjang baik dari wilayah
Kabupaten Jepara maupun wilayah sekitarnya seperti Kabupaten Pati,
Demak, Kudus, dan Purwodadi. Beberapa wisatawan Mancanegara terkadang
juga datang untuk menyaksikan acara Lebaran Kupatan ini.

(a)

Gambar 4.5. Pemanfaatan aktivitas pariwisata oleh penduduk (b)


lokal (a) Warung
makan (b) Transportasi laut.

26
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Identifikasi Fitur Tipologi Pesisir Pulau Panjang

5.1.1. Skala Kecil (<= 1:250.000)


Sampel citra yang digunakan untuk ekstraksi informasi pesisir pada
skala 1:250.000 atau lebih kecil adalah citra Modis dengan resolusi spasial
500 meter. Citra Modis dengan resolusi spasial 250 meter tidak digunakan
karena hanya memiliki dua band yaitu band merah dan band inframerah
dekat (NIR) yang tujuannya adalah untuk transformasi NDVI. Dua band tidak
efektif jika digunakan untuk menyusun komposit warna yang terdiri dari tiga
slot warna R-G-B.
Pada citra modis dengan resolusi 250 meter maupun 500 meter, tidak
ada kenampakan di Pulau Panjang yang dapat diidentifikasi. Pada level ini,
klasifikasi pesisir Pulau Panjang tidak dapat diidentifikasi dengan baik
karena resolusi spasial citra yang digunakan terlalu kasar. Pulau Panjang
yang luasnya hanya 7 hektar (0,07 km2) hanya muncul dalam beberapa
piksel. Jika dihitung dari skalanya yaitu 1:250.000, maka 1 cm mewakili 2,5
km dan 1 milimeter mewakili 250 meter, sedangkan ukuran terkecil dari
objek yang muncul pada peta adalah 2 milimeter, sehingga pada skala
1:250.000 luas terkecil yang dapat dipetakan adalah 2 x 2 milimeter
dikalikan ukuran penyebut skala:

Luas minimal pada peta:


2 x 2 mm = 4 mm2
Luas minimal di lapangan
4 mm2 x 250.0002 = 250000000000 mm2 = 0,25 km2 = 25 hektar

Ukuran terkecil yang dapat dipetakan adalah 25 hektar sedangkan


luas pulau hanya 7 hektar sehingga Pulau Panjang tidak akan muncul pada
peta skala 1:250.000. Skala 1:250.00 dan lebih kecil tidak dapat digunakan
untuk melakukan identifikasi pemanfaatan lahan di Pulau Panjang. Gambar
5.1 adalah citra MODIS teluk Kesembu yang meliputi Kota Jepara dan Pulau

27
Panjang. Lingkaran merah menunjukkan lokasi Pulau Panjang yang tidak
tampak pada citra Modis.

Gambar 5.1. Citra MODIS komposit 643. Tidak ada informasi pesisir dari Pulau
Panjang yang dapat diidentifikasi dari level skala ini (<= 1:250.000)

Hal inilah yang mendasari pembagian klasifikasi pesisir berdasarkan


skala pemetaan untuk pulau berukuran besar dan pulau berukuran kecil.
Apabila klasifikasi untuk pulau besar dan pulau kecil disamakan, maka untuk
level skala ini tidak akan memunculkan informasi apapun dari pulau yang
berukuran kecil seperti Pulau Panjang.

5.1.2. Skala Sedang (1:100.000 1:50.000)


Sampel citra yang digunakan untuk ekstraksi informasi pesisir pada
skala 1:100.000 hingga 1:50.000 adalah Landsat 7 ETM+ dengan resolusi
spasial 30 meter. Citra ini mempunyai 6 saluran optis dan 1 saluran
emisivitas termal (60 meter untuk ETM+). Perbedaan seri ETM+ dengan seri
landsat terdahulu (MSS dan TM) adalah terletak pada keberadaan saluran
pankromatik dengan resolusi spasial 15 meter pada Landsat 7 ETM+. Citra
lain yang dapat digunakan pada skala ini adalah Landsat MSS dan TM, ALI,
ASTER, SPOT 2, SPOT 4, ALOS, Hyperion, dan AVIRIS.

28
Skala yang digunakan pada penelitian ini adalah 1:50.000, dan ukuran
terkecil yang dapat dipetakan adalah 4 mm2 x 50.0002 yaitu 0,01 km2 (1
hektar). Pulau Panjang dengan luas 7 hektar dapat terpetakan pada skala
tersebut. Pada citra Landsat kenampakan Pulau Panjang mulai terlihat
meskipun kasar. Bentuk pulau, pemanfaatan dan penutupan lahan, serta
bentuklahan pesisirnya mulai terlihat. Pada skala inilah identifikasi pulau
Panjang dimulai dengan kategori klasifikasi yang paling sederhana yaitu
pesisir dan non-pesisir namun jika kondisi areanya memungkinkan maka
tipe pesisir dan kelas bentuklahannya dapat dimasukkan.

Berdasarkan citra Landsat, dapat dilihat bahwa Pulau Panjang


termasuk dalam tipe pantai Organik, yaitu pantai yang terbentuk oleh
aktivitas tumbuhan atau hewan. Pesisir Pulau Panjang terbentuk oleh
terumbu karang dan pasir putihnya berasal dari endapan kalsium karbonat
yang disekresikan oleh polip terumbu karang dan hewan lain. Kunci
interpretasinya adalah terdapatnya terumbu karang yang mengelilingi pulau
dan adanya pasir putih pada pantai (gisik) nya. Kenampakan penciri ini
paling baik diidentifikasi menggunakan komposit warna asli yaitu R-G-B 321
untuk citra Landsat. Hal ini karena terumbu karang sebagai objek yang
terletak dibawah air hanya dapat diidentifkasi menggunakan saluran
spektral yang mampu melakukan penetrasi ke tubuh air yaitu saluran
tampak. Pasir putih juga mudah diidentifikasi pada komposit warna asli
karena warnanya yang khas yaitu putih cerah.
Informasi selanjutnya adalah bentuklahan pesisir. Bentuklahan pesisir
yang ada di Pulau Panjang dan dapat diidentifikasi pada skala 1:50.000
adalah terumbu karang tepi (fringing reef) dan Pulau coral (Coral island/Cay).
Kunci interpretasi untuk terumbu karang tepi adalah adanya terumbu karang
yang mengelilingi pulau dengan dipisahkan oleh lagoon yang sempit.
Terumbu karang dapat dikenali dengan melihat lokasinya terletak dibawah
air, berwarna hijau muda kecoklatan, dan bertekstur kasar. Pada skala
1:50.000 (1 mm = 50 meter) atau lebih kecil, terumbu karang bercampur

29
dengan lamun, alga dan pasir. Identifikasi pada skala ini terutama pada area
yang kecil haruslah secara spasial dengan melihat kondisi perairan dangkal
secara keseluruhan. Bentuklahan Cay meskipun terlihat dan dapat
diidentifikasi, namun dalam prakteknya pembedaan kondisi pulau secara
lebih detil tidak terlalu efektif karena lebar pantainya yang sempit sehingga
pada piksel citra Landsat ETM+ hanya tergambar satu hingga tiga piksel.
Identifikasi detail pada skala ini tidak efektif jika diterapkan pada pulau
berukuran kecil karena pantainya biasanya tidak terlalu lebar.
Teknik interpretasi yang digunakan adalah interpretasi visual karena
kenampakan tipe pantai dan bentuklahan merupakan fenomena spasial yang
lebih akurat diinterpretasi secara visual dengan bantuan kunci-kunci
interpretasi diatas. Transformsi citra dapat digunakan untuk mempertajam
kenampakan terumbu karang dan objek bawah air lain untuk memudahkan
identifikasi. Beberapa transformasi yang biasa digunakan antara lain depth
invariant index dari Lyzenga (1978), Bierwirth et al. (1993), PCA (Palapa,
2002; Mishra et al., 2006; Wicaksono, 2008) dan integrated model dari
Wicaksono (2010). Gambar 5.2 menunjukkan hasil interpretasi bentuklahan
Pulau Panjang.

Gambar 5.2. Hasil interpretasi visual fitur tipologi bentuklahan pesisir pada skala
1:50.000

30
5.1.3. Skala Besar (1:25.000 - 1:10.000)

Sampel citra yang digunakan untuk esktrasi informasi pesisir pada


skala >1:10.000 adalah citra Quickbird dengan resolusi spasial 2,4 meter
untuk multispektral. Quickbird mempunyai 4 saluran spektral optis dari biru
hingga inframerah dekat. Citra lain yang dapat digunakan pada skala ini
adalah ALOS AVNIR Pan-sharpened, SPOT 5 Pan-sharpened, IKONOS, Geoeye,
Orbview, Worldview, dan CASI.
Pada skala besar bentuklahan pesisir seperti pasir pantai tampak jauh
lebih jelas. Batas antara pulau coral dengan garis pantai, yang membatasinya
dengan terumbu karang tepi menjadi jauh lebih tegas. Pada skala ini
informasi klasifikasi pesisir haruslah lebih detail dengan menambahkan
beberapa informasi antara lain penutup lahan dan pemanfaatan lahan.
Perbedaan penutup lahan dan pemanfaatan lahan pada tiap satuan
bentuklahan akan memerlukan cara manajemen yang berbeda karena
permasalahan yang muncul juga berbeda.
Pemanfaatan lahan pada skala ini dapat diturunkan dari penutup
lahannya maupun secara langsung karena resolusi spasial dari citra yang
digunakan mencukupi untuk itu. Penutup lahan yang dapat diidentifikasi
pada skala ini adalah vegetasi kerapatan tinggi, vegetasi kerapatan sedang,
pasir putih, terumbu karang, lamun dan lahan terbangun. Tekniknya
interpretasinya dapat secara visual maupun digital. Secara visual dengan
bantuan komposit 321 atau 432. Secara digital dapat menggunakan
klasifikasi multispektral dan transformasi citra. Klasifikasi multispektral
dengan menggunakan bantuan training area sebagai input proses klasifikasi
multispektral. Pemilihan training area dapat dilakukan dengan interpretasi
visual maupun dengan hasil pengamatan lapangan. Transformasi citra dapat
berupa Indeks vegetasi yang dapat digunakan untuk menurunkan penutup
lahan berdasarkan tutupan lahannnya. Penutup lahan dapat diturunkan
menjadi penggunaan lahan (Tabel5.1). Transformasi penghilangan efek
kolom air dapat diterapkan pada objek bawah air untuk mempertajam

31
kenampakan objek bawah air seperti terumbu karang, lamun, dan alga.
Gambar 5.3menunjukkan citra Quickbird Pulau Panjang dan gambar 5.4 hasil
klasifikasi pesisirnya menggunakan interpretasi visual.

Tabel 5.1. Penurunan kelas penggunaan lahan dari penutup lahan

No Penutup Lahan Penggunaan Lahan

1 Vegetasi kerapatan tinggi Hutan


2 Vegetasi kerapatan sedang Semak belukar
3 Pasir putih Lahan terbuka
4 Lahan terbangun Menara Suar
5 Terumbu karang Terumbu karang
6 Lamun Lamun

Gambar 5.3. Citra Quickbird Pulau Panjang komposit RGB 321

32
Gambar 5.4. Hasil Interpretasi fitur tipologi pesisir skala 1:10.000 dengan tambahan
informasi pemanfaatan lahan

5.2. Analisis Klasifikasi Tipologi Wilayah Pesisir

Sistem klasifikasi tipologi pesisir disusun berdasarkan parameter tipe


pesisir, bentuklahan, dan penggunaan lahan/penutup lahan yang
diintegrasikan dengan skala pemetaan yang akan dilakukan, yaitu skala kecil
(1 : 250.000), skala menengah (1 : 100.000 1 : 50.000) dan skala besar (1 :
25.000 1:10.000). Dari hasil penelitian pada Pulau Panjang, identifikasi fitur
tipologi pesisir Pulau Panjang memiliki klasifikasi tersendiri karena
informasi yang dapat ditampilkan mencakup kondisi tutupan bawah air yang
merupakan sumberdaya alam pesisir yang sangat penting, baik secara
ekonomis maupun ekologis. Berdasarkan sistem yang disusun ini, klasifikasi
tipologi pesisir untuk skala kecil terdiri dari 2 kategori, yaitu pesisir dan
bukan pesisir. Apabila kondisi pesisir memungkinkan dalam arti wilayah
pesisirnya cukup lebar dan tampak jelas pada citra yang bersangkutan maka
klasifikasi yang dipakai dapat ditambah dengan kategori tambahan, yaitu tipe
pesisir. Hal ini berlaku pula untuk klasifikasi pesisir pada skala menengah
dan skala besar. Untuk skala 1:100.000 informasi yang muncul adalah tipe
pesisir, bentuklahan skala 1:100.000, dan non pesisir. Pada skala 1:50.000
informasi pesisir menjadi lebih detail dengan tambahan informasi

33
penggunaan lahan pesisir 1:50.000 dan informasi bentuklahan menjadi lebih
detail yaitu klasifikasi bentuklahan skala 1:50.000. Sedangkan untuk skala
1:25.000 1:10.000 informasi tambahan yang muncul berasal dari
meningkatnya tingkat kedetilan informasi penggunaan atau penutup lahan.

Dari hasil penelitian dan pembahasan diatas dapat ditarik hasil


sementara mengenai fitur tipologi pesisir yang dapat diidentifikasi melalui
data penginderaan jauh multiresolusi. Hasil ini dianggap sementara karena
masih akan dibandingkan dengan penelitian selanjutnya pada kondisi
tipologi pesisir yang sama namun memiliki area yang lebih luas. Hal ini
bertujuan agar hasil penelitian ini mampu memberikan informasi yang dapat
dipercaya mengenai fitur tipologi pesisir yang dapat diidentifikasi melalui
data penginderaan jauh multiresolusi. Klasifikasi tipologi pesisir Pulau
Panjang berdasarkan skala pemetaan yang digunakan pada penelitian ini
secara detail disajikan pada Tabel 5.2. Sedangkan informasi turunan yang
diperoleh dari informasi fitur tipologi pesisir ini yaitu potensi dan
permasalahan dapat dilihat pada Lampiran 1.

Tabel 5.2.Klasifikasi Tipologi Pesisir berdasarkan Skala Pemetaan

Skala
1 : 250.000 1:100.000 1 : 50.000 1 : 25.000- 1: 10.000
Pesisir: Pesisir: Pesisir: Pesisir:
1. Tipe Pesisir 1. Tipe pesisir 1. Tipe Pesisir 1. Tipe Pesisir
Non pesisir 2. Bentuklahan pesisir 2. Bentuklahan 2. Bentuklahan
skala 1:100.000 pesisir skala pesisir skala
Non pesisir 1:50.000 1:50.000
3. Penggunaan Lahan 3. Penggunaan
pesisir pada skala Lahan pesisir
1:50.000 skala
Non pesisir 1:25.000-1 :
10.000
Non pesisir
Pesisir Organik Pantai Terumbu Karang Daratan: Daratan:
Penghalang (Barrier reef) Mangrove/Hutan rawa Mangrove/Hutan rawa
Pantai Terumbu Karang Tepi Semak/belukar Semak/belukar
(Fringing reef) Rumput/tanah kosong Rumput/tanah kosong
Faro Permukiman Permukiman
Atoll Hutan Hutan
Pulau Coral/Cay Tambak/kolam Tambak/kolam
Sand banks/Gosong laut Ladang/tegalan Ladang/tegalan
Kebun/Perkebunan Kebun/Perkebunan
Sawah tadah hujan Sawah tadah hujan

34
Sawah irigasi Sawah irigasi

Bawah air: Bawah air:


Terumbu karang Terumbu karang
Lamun Lamun:
Makro alga Kerapatan
Substrat telanjang: tinggi
Pasir Kerapatan
Batu sedang
Lumpur Kerapatan
Optically deep water rendah
Makro alga
Substrat telanjang:
Pasir
Batu
Lumpur
Optically deep water

35
BAB VI KESIMPULAN

Skala dan resolusi spasial dari data penginderaan jauh sangat mempengaruhi
level kedetailan dari informasi yang dapat diekstrak. Dalam tiap level skala, informasi
yang dapat ditampilkan tidaklah sama, dimana semakin kecil skala yang digunakan
maka informasi yang dapat diidentifikasi semakin sedikit. Hal ini masih harus
mempertimbangkan faktor luas area yang diidentifikasi. Pada bahasan ini Pulau
Panjang yang merupakan pulau kecil berterumbu karang (Cay) tidaklah cukup besar
untuk dapat diidentifikasi pada skala 1:250.000 atau lebih kecil, bahkan untuk skala
1:50.000 1:100.000 tidak banyak informasi yang dapat diambil. Informasi
bentuklahan sudah dapat diidentifikasi namun akurasi batas spasial antar kelas belum
dapat disajikan dengan baik. Pada pulau yang berukuran lebih luas, level skala ini
diperkirakan sudah mampu memberikan cukup banyak informasi bentuklahan secara
detail dengan batas spasial antar kelas yang cukup akurat.
Skala yang baik untuk identifikasi pulau ukuran kecil seperti Pulau Panjang
adalah skala lebih besar dari 1:25.000 yaitu 1:10.000, dan jika memungkinkan pada
skala 1:5000, atau 1:1000. Pada level skala tersebut klasifikasi pesisir dapat
diidentifikasi dengan tambahan informasi penutup maupun pemanfaatan lahan dengan
akurat karena batas spasial antar kelasnya sangat jelas. Sesuai dengan tujuan awal
penelitian ini yaitu mengkaji kemampuan data penginderaan jauh multiresolusi dalam
identifikasi fitur tipologi pesisir yang sebaiknya muncul pada tiap skala pemetaan pada
PP10/2000, dapat disimpulkan bahwa data penginderaan jauh mampu melakukan
identifikasi fitur tipologi pesisir yang mencakup tipe pesisir, bentuklahan, tutupan
bawah air (habitat bentik), dan penutup dan penggunaan lahan. Untuk lebih rinci
mengenai fitur tipologi yang dapat diidentifikasi melalui data penginderaan jauh
multiresolusi beserta informasi yang sesuai untuk tiap skala peta dapat dilihat pada
Tabel 6.1.

36
Tabel 6.1. Informasi fitur tipologi pesisir pada tiap skala pemetaan sesuai PP10/2000
No Tingkat Resolusi
Skala Jenis Citra Fitur Tipologi Pesisir
Perencanaan Spasial
1 Provinsi 1:250.000 >100 meter MODIS Pesisir + Tipe pesisir
Non pesisir

2 Kabupaten 1:100.000 30 - 100 Landsat MSS Tipe pesisir


meter Landsat 5 TM Bentuklahan Pesisir skala
Landsat7ETM+ 1:100.000
ALI
Hyperion

3 Kota 1:50.000 10- 30 meter ASTER Tipe pesisir


SPOT 1-5 Bentuklahan Pesisir skala 1:50.000
ALOS AVNIR-2
Penggunaan lahan skala 1:50.000

4 Kota 1:10.000 <10 meter Quickbird Tipe pesisir


1:25.000 Geoeye-1 Bentuklahan Pesisir skala 1:50.000
Worldview-2
IKONOS Penggunaan lahan skala 1:25.000
ALOS AVNIR-2
SPOT 5
Rapideye

37
DAFTAR PUSTAKA

Bierwirth PN, Lee TJ, andBurne RV, 1993, Shallow Sea-Floor Reflectance and Water
Depth Derived by Unmixing Multispectral Imagery,Photogrammetric Engineering
and Remote Sensing, 59(3): 331-338

CERC,1984, Beach and Nearshore Survey Data: 1981-1984 CERC (Costal Engineering
Research Center) Field Research Facility,Final Report

Danoeodoro, 1996, Pengolahan Citra Digital : Teori dan Aplikasinya dalam Bidang
Penginderaan Jauh,Diktat Kuliah,Fakultas Geografi Universitas GadjahMada :
Yogyakarta.

Jensen JR, 2004,Introduction Digital Image Processing, Prentice-Hall : New Jersey

KayR, & Alder,1999,Coastal Planning and Management, London: EF&N Spoon

Ketchum,1973,Microwave Remote Sensing of Sea Ice, American Geophysical Union, 2000


Florida Avenue, NW Washington

Lillesand TM, Kiefer RW, and Chipman JW,2004,Remote Sensing and Image
Interpretation (5ed), John Wiley and Sons : New York

Lyzenga, 1978, Passive Remote-Sensing Techniques for Mapping Water Depth and
Bottom Features, Applied Optics Vol. 17: 379-383.

Mishra D, Narumalani S, Rundquist D, and Lawson M, 2006, Benthic Habitat Mapping in


Tropical Marine Environments Using QuickBird Multispectral
Data,Photogrammetric Engineering & Remote Sensing Vol. 72(9): 10371048.

Palapa J, 2002, Pengolahan Citra Digital CASI-Themap Untuk Identifikasi dan Pemetaan
Terumbu karang (Coral Reef) di Pulau Harapan, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta.
Skripsi. Facultas GeografiUniversitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Phinn SR, Hough S, Anstee M,Roelfsema C M,and Dekker A, 2006,Assessment of the


capabilities of remote sensing for mapping intertidal seagrass beds within the Great
Barrier Reef Townsville, Reef and Rainforest CRC's

Purwadhi, 2001,Interpretasi Citra Digital, PT Grasindo. Jakarta

Ritter, 1995, Puget Sound intertidal Habitat Inventory 1995: Vegetation and shoreline
Characteristic Classification Method,Unpublished Report, Washington State
Departement of Natural History Olympia

Snead, 1982,Coastal Landforms and Surface Features: Photographic atlas and Glossary.
Hutvhinson Ross, Vergara, MC

38
Sutanto, 1986,Penginderaan Jauh Jilid I, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta

Sutanto,1987,Penginderaan Jauh Jilid 2, Gadjah Mada University Press,Yogyakarta

Thurman, 1978,Very High resolution Mapping of River-immersed Topography by Remote


Sensing.

Wicaksono P, 2008, Kajian Pengolahan Citra Digital Resolusi Sedang untuk Pemetaan
Kondisi Kesehatan Terumbu Karang - Studi Kasus di Kepulauan Karimunjawa,
Skripsi,Fakultas GeografiUniversitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Wicaksono P, 2010, Integrated Model of Water Column Correction Technique for


Improving Satellite-Based Benthic Habitat Mapping. Master Thesis. Faculty of
Geography Gadjah Mada University, Yogyakarta.

39
LAMPIRAN 1
Tabel Potensi dan Permasalahan pada Pulau Panjang
Tabel Potensi dan Permasalahan Pulau Panjang Pada Skala Kecil (1: 250.000)

Teknik
Klasifikasi Potensi Permasalahan
Identifikasi
1. Non-pesisir - - -

2. Pesisir A. Biofisik A. Biofisik Pulau ukuran kecil


Tidak teridentifikasi Tidak teridentifikasi seperti Pulau
B. Sosial Ekonomi B. Sosial Ekonomi Panjang tidak dapat
Tidak teridentifikasi Tidak teridentifikasi teridentifikasi pada
skala kecil

40
Tabel Potensi dan Permasalahan Pulau Panjang Pada Skala Menengah (1:100.000 50.000)

Klasifikasi Potensi Permasalahan Teknik Identifikasi


1. Non-pesisir - - -
2. Pesisir Organik
A. Pulau A. Biofisik A. Biofisik Interpretasi
Terumbu Sumber pasir Kenaikan muka visual
Karang (Coral air laut Interpretasi
Island/Cay) B. Sosial Ekonomi Penghilangan visual citra
Objek wisata pulau multitemporal
Jasa dan (penambangan
perdagangan maupun kenaikan
muka air laut)
Minim air tanah
karena recharge
area kecil
Intrusi air laut
B. Sosial Ekonomi
Sampah dan
limbah pariwisata

B. Terumbu Karang A. Biofisik A. Biofisik Interpretasi


Tepi (Fringing Nursery ground Intrusi air tawar visual
Reef) Penahan abrasi Eutrofikasi Interpretasi
Tempat pemijahan Sedimentasi dan visual citra
biota laut kekeruhan multitemporal
Sumber makanan Kenaikan suhu air Transformasi
untuk biota laut laut citra
Sumber biodiversitas B. Sosial Ekonomi Pengolahan
Habitat bagi banyak Penambangan citra digital
biota laut karang secara Analisis GIS
Produktivitas tinggi illegal
(primer dan Aktivitas
sekunder) pariwisata dan
B. Sosial Ekonomi pelayaran yang
Perikanan tangkap secara tidak
Wisata bahari langsung merusak
Mariculture Perikanan tangkap
secara illegal
Dredging, filling

41
Tabel Potensi dan Permasalahan Pulau Panjang Pada Skala Besar (1:25.000 - 1:10.000)

Klasifikasi Potensi Permasalahan Teknik Identifikasi


1. Non-pesisir - - -
2. Pulau Coral (Coral
Island/Cay)
A. Semak Belukar A. Biofisik A. Biofisik Interpetasi visual
Penahan abrasi Intrusi air laut Pengolahan citra
Habitat biota pesisir B. Sosial Ekonomi digital
Sumber biodiversitas Sumber nyamuk (satu tanggal dan
B. Sosial Ekonomi multitemporal)
Pakan ternak

B. Lahan Terbuka (pasir A. Biofisik A. Biofisik Interpretasi visual


putih) Tempat pendaratan Abrasi Pengolahan citra
penyu dan bertelur Intrusi air laut digital
B. Sosial Ekonomi B. Sosial Ekonomi (satu tanggal dan
Objek wisata Pencurian telur multitemporal)
Jasa dan penyu
perdagangan Sampah dan limbah
Peternakan pariwisata dan
Sumber pasir aktivitas peternakan
Penambangan pasir
secara berlebihan
C. Hutan A. Biofisik A. Biofisik Interpretasi visual
Iklim mikro Intrusi air laut Pengolahan citra
Habitat biota pesisir B. Sosial Ekonomi digital
terutama burung Penjarahan hutan (satu tanggal dan
Sumber biodivesitas Konversi lahan multitemporal)
Konservasi alam menjadi non hutan
Menjaga cadangan air
tanah
Menahan abrasi
B. Sosial Ekonomi
Sumber kayu
Objek wisata
3. Terumbu Karang Tepi
(Fringing Reef)
A. Terumbu Karang A. Biofisik A. Biofisik Interpretasi visual
Nursery ground Pemutihan terumbu satu tanggal dan
Penahan abrasi karang multitemporal
Tempat pemijahan Eutrofikasi Pengolahan citra
biota laut Sedimentasi dan digital
Sumber makanan kekeruhan Transformasi citra
untuk biota laut Kenaikan suhu air Analisis GIS
Sumber biodiversitas laut
Habitat bagi banyak Intrusi air tawar
biota laut B. Sosial Ekonomi
Produktivitas tinggi Dredging, Filling
(primer dan Penangkapan ikan
sekunder) dengan peralatan

42
B. Sosial Ekonomi illegal
Objek wisata Penambangan karang
Perikanan tangkap secara illegal
Mariculture Aktivitas pariwisata
dan pelayaran yang
secara tidak langsung
merusak

B. Lamun A. Biofisik A. Biofisik Interpretasi visual


Menjernihkan air Intrusi air tawar satu tanggal dan
Menangkap sedimen Eutrofikasi multitemporal
Longterm carbon sink Kenaikan suhu air Pengolahan citra
Tempat hidup biota laut digital
laut dan epifit B. Sosial Ekonomi Transformasi citra
Nursery ground dan Rusaknya lamun oleh Analisis GIS
pemijahan boat propeller pada
Menstabilkan substrat aktivitas pelayara,
Menahan abrasi perikanan dan
B. Sosial Ekonomi pariwisata
Sumber makanan Dredging, Filling
Pakan ternak
Dijadikan bahan
kertas
Bahan pupuk

43

Anda mungkin juga menyukai