Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH TUTORIAL

KASUS 4 : EPISTAKSIS DAN SINUSITIS

BLOK SSS

DISUSUN OLEH :

Tutorial C-1

TUTOR : dr. Winda

Allya Inayatul R (1310211003) Amri Muzammil (1310211123)

Siti Maysaroh (1310211018) Ayu Wulandari (1310211146)

Riduan Rijky (1310211033) Aletha Ayu (1310211140)

Namiroh Dima Ash Sholihat (1310211054) Annisa Rahma Chany (1310211170)

Ega Meilyta Andriani Putri (1310211105) Tarida Putri Rahmadani (1310211192)

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL


VETERAN JAKARTA

2015-2016
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan segala
rahmat dan ridho-Nya. Karena atas rahmat dan ridho-Nyalah makalah tutorial KASUS 4 :
EPISTAKSIS DAN SINUSITIS ini dapat selesai tepat pada waktunya.

Kami berharap agar makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak serta dapat
menambah ilmu pengetahuan dan wawasan tentang penyakit yang terjadi di bagian hidung.

Kami memohon kritik serta saran untuk menyempurnakan makalah ini, juga
permohonan maaf atas semua kesalahan kami, karena semua kebenaran semata-mata hanya
milik Sang Maha Benar, Allah SWT.

Jakarta, Marer 2016

Penyusun
DAFTAR ISI

Kata Pengantar...........................................................i

Daftar Isi ......................................ii

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang..........................................1

1.2 Rumusan Masalah.....................................1

1.3 Tujuan...........................................1

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Over View Case...................................................................................................3

2.2 Sinusitis................................................................................................................5

2.3 Sinusitis Frontalis Akut.......................................................................................9

2.4 Sinusitis Kronik..................................................................................................11

2.5 Epistaksis............................................................................................................15

2.6 Polip Nasal..........................................................................................................25

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan.........................................29

3.2 Saran...................................................................................................................29

Daftar Pustaka ...............................30


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Di hidung terdapat banyak sekali pembuluh darah. Hal tersebut memungkinan sering
terjadinya epistaksis. Epistaksis atau yang sering dikenal di masyarakat dengan kata mimisan,
merupakan perdarahan hidung. Epistaksis bukan suatu penyakit, melainkan gejala suatu
kelainan. Epistaksis sering ditemukan pada anak-anak, hal ini dapat terjadi akibat trauma,
infeksi hidung dan sinus paranasal, tumor, benda asing dan rinolit, idiopatik, penyakit
kardiovaskular, kelainan darah, infeksi sistemik, gangguan endrokin, kelainan congenital.
Epistaksis juga dapat menyebabkan komplikasi, baik akibat epistaksis sendiri maupun akibat
penanggulangan.

1.2 RUMUSAN MASALAH

1. Apa yang dimaksud dengan epistaksis dan sinusitis?

2. Apa yang menyebabkan terjadinya epistaksis dan sinusitis?

3. Apa saja yang termasuk dalam klasifikasi epistaksis dan sinusitis?

4. Bagaimana gejala klinis dari epistaksis dan sinusitis?

5. Bagaimana cara mendiagnosis epistaksis dan sinusitis?

6. Bagaimana penatalaksanaan dari epistaksis dan sinusitis?

1.3 TUJUAN

1. Mengetahui apa epistaksis dan sinusitis.

2. Mengetahui penyebab terjadinya epistaksis dan sinusitis.

3. Mengetahui yang termasuk dalam klasifikasi epistaksis dan sinusitis.


4. Mengetahui gejala klinis epistaksis dan sinusitis.

5. Mengetahui cara mendiagnosis epistaksis dan sinusitis.

6. Mengetahui penatalaksanaan epistaksis dan sinusitis.


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 OVER VIEW CASE

LEMBAR 1

Anamnesis

Saat anda bertugas di IGD datang seorang laki-laki, Tn. E, berusia 50 tahun dengan keluhan
perdarahan dari lubang hidung kanan 5 jam SMRS. Saat datang terlihat perdarahan hidung
kanan sudah berhenti. Sebelumnya pasien sedang membuang ingus, tiba-tiba merasa darah
mengalir dari lubang hidung kanan, jumlah tidak banyak. Riwayat hidung tersumbat sejak 4
tahun yang lalu, disertai ingus yang mengalir ke tenggorok. Tn. E juga mengeluh nyeri pada
pipi kanannya sejak 1 minggu terakhir. Telinga berdenging dan pandangan ganda tidak ada,
riwayat bersin-bersin disertai hidung gatal bila kena debu atau udara dingin tidak ada.
Riwayat hipertensi, sakit gula tidak ada. Gigi berlubang tidak ada.

LEMBAR 2

Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum : pasien tampak sakit sedang

Kesadaran : compos mentis

Tanda Vital : TD = 120/80 N=88x/menit

RR = 20x/menit T = 36,5 C

Status Generalis

Kepala : normocephali

Mata : anemis +/+

Thorak dan abdomen: dalam batas normal


Ekstremitas dan kulit: dalam batas normal

Status Lokalis

Wajah : nyeri tekan (+) pada pipi kanan

Telinga kanan dan kiri : liang telinga lapang, membran timpani utuh, reflex cahaya (+)

Hidung

Rhinoskopi anterior :
Kavum nasi kanan : sempit, konka inferior hiperemis dan oedem, tampak mukopus
pada meatus medius, septum lurus, clotting (+) pada septum bagian anterior
Kavum nasi kiri : lapang, konka inferior eutrofi, septum lurus, perdarahan aktif tidak
ada, meatus medius terbuka, tidak tampak sekret
Rhinoskopi posterior :
Tidak ditemukan massa, post nasal drip (+)
Transiluminasi : suram pada pipi kanan
Faring : dalam batas normal
Tonsil : dalam batas normal

Pemeriksaan Penunjang

Darah : Hb 11,4 g/dl

Rongent : pada posisi Waters, tampak perselubungan dan penebalan mukosa


sinus maksilaris kanan disertai gambaran air fluid level pada sinus
maksilaris kanan

2.2 SINUSITIS

Definisi
Penyakit yang terjadi di daerah sinus. Sinus itu sendiri adalah rongga udara yang
terdapat di area wajah yang terhubung dengan hidung. Fungsi dari rongga sinus sendiri
adalah untuk menjaga kelembapan hidung dan menjaga pertukaran udara di daerah hidung

Rongga Sinus :

Sinus frontal,terletak diatas di bagian tengah dari masing masing alis


Sinus maxillary, terletak diantara tulang pipi , tepat di samping hidung
Sinus etmoid , terletak di antara mata ,tepat di belakang tulang hidung
Sinus sphenoid , terletak di belakang sinus ethmoid dan di belakang mata

Etiologi

BAKTERI (Streptococcus pneumoniae, Haemophillus influenza, Streptococcus group


A,Staphylococcus aureus, Neisseria, Klebsiella, Basil gram -, Pseudomonas )
Virus (Rhinovirus, influenza virus, parainfluenza virus )
Bakteri anaerob : fusobakteria
Jamur : Aspergillus

Epidemiologi

Sinusitis dianggap sebagai salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering di


seluruh dunia.
Sinusitis menyerang 1 dari 7 orang dewasa United States
Pravalensi tertinggi pada usia dewasa umur 18-75 tahun
Pada anak anak 5-10 tahun

Diagnosis

1. Anamnesis

2. Pemeriksaan fisik menggunakan rhinoskopi anterior posterior.

Tanda khas ialah adanya pus di meatus medius (pada sinusitis maksila dan etmoid anterior
dan frontal)

3. Pemeriksaan penunjang: CT scan

Tatalaksana

Tujuan utama penatalaksanaan sinusitis yaitu :

Mepercepat penyembuhan
Mencegah komplikasi
Mencegah perubahan menjadi kronis

Prinsip pengobatan ialah membuka sumbatan di KOMsehingga dreinase dan ventilasi sinus
sinus pulih secara alami.

- Penatalaksanaan sinusitis akut :


antibiotik

Lini pertama : amoxyciline, trimethoprin, sulfamethoxazol (cotrimoxazole), dan


erythromysine
Lini kedua : bila ditemukankuman menghasilkan enzyme beta-laktamase dilakukan
kombinasi amoxyxiline + clavulanic acid, cefaclor atau cephalosporine generasi II atau III
oral

Antibiotik diberikan minimal 2 minggu

Dekongestan

Topikal : sol efedrin 1% tetes hidung, oxymethazoline 0,025% tetes hidung untuk anak atau
0,05% semprot hidung. Jangan digunakan lebih dari 5 hari.

Sistemik : fenil propsndsmin, pseudo-epedhrin

Mukolitik N-acetytileystein, bromhexin

Analgetik/antipiretik bila perlu

Antihistamin : diberikan pada penderita dengan latar belakang alergi

Irigasi sinus maksila : bila resopsi sekret sinus maksila tidak adekuat

Ekstrasi gigi dan perawatan gigi bila pada sinusitis maksila dentogen

Penatalaksanan sinusitis kronik :


- Terutama menghilangkan faktor penyebab. Perlu pembedahaan untuk patoogi
di KOM. Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF) untuk
mengembalikanfungsi drenasendan ventilasi sinus
- Irigasi sinus maksila (untuk sinusitis maksila)
- Bedah coldwell law untuk sinusitis maksila kronik
- Pemberian antibiotik disesuaikan dengan kuman penhyebab, terutama juga
untuk eradikasi kuman penghasil B-laktamase dan kuman anaerob. Dapat
diberikan amoxyxiline + clavulanic acid, cephalosporinegenerasi II/III oral,
climdamycine. Bila diperlukan penambahan metronidazole untuk infeksi
kuman anaerob.

Komplikasi

Komplikasi sinusitis yang berat biasanya terjadi pada sinusitis akut atau sinusitis kronis
dengan eksarsebasi akut, berupa komplikasi orbita atau intrakranial.

- Kelainan orbita,disebabkan oleh sinus paranasal yang ebrdejatan dengan mata, yaitu
sinus ethmoid, kemudian frontal dan maksila.
- Kelainan intrakranial, dapat berupa meningitis, abses ekstradural/subdural, abses otak
dan trombosis sinus kavernosus

Prognosis

Dubia ad bonam

2.3 SINUSITIS FRONTALIS AKUT

Definisi

Sinusitis frontalis adalah peradangan pada sinus frontal yang terjadi di bawah 4
minggu. Sinusitis frontalis akut hampir selalu bersama-sama dengan infeksi sinus etmoidalis
anterior.
Etiologi

Masuknya air ke dalam sinus saat berenang atau menyelam

Biasanya didahului dengan adanya infeksi virus pada saluran nafas bagian atas yang
diikuti dengan invasi bakteri

Trauma eksternal pada sinus seperti fraktur atau luka penetrasi

Edema meatus media terhadap infeksi sinus maksila atau etmoid yang ipsilateral

Manifestasi Klinis

Frontal headache (nyeri pada regio frontal).

Office headache: nyeri kepala yang khas yang muncul pada saat jam kerja.

Tenderness. terasa tekanan pada regio frontal dan canthus medial yang menimbulkan
rasa nyeri.

Bengkak kelopak mata

Nasal discharge

Diagnosis

Anamnesis

Px Fisik

Rinoskopi mukopus di meatus medius

Px Penunjang

Transiluminasi suram atau gelap

Radiologi daerah opak atau gambaran fluid level pada sinus yang terkena

Tatalaksana

Medikamentosa

Antimikroba antibiotik golongan penisilin 10-14 hari


Dekongestan ostium sinus untuk drainase

Steroid

Analgetik

Pencucian rongga hidung dengan NaCl atau pemanasan (diatermi)

Pembedahan

Trepanasi sinus frontal

Prognosis

Tidak menyumbang angka kematian kecuali terkomplikasi.

Sekitar 40% kasus sembuh sendiri tanpa bantuan antibiotik.

Angka kesembuhan spontan dari sinusitis viral mencapai 98%.

Beberapa studi menunjukkan perbaikan sampai 25% kasus sinusitis frontalis dengan
pengobatan yang tepat dan operasi.

2.4 SINUSITIS KRONIK

Definisi

Peradangan pada sinus paranasalis yang dapat menyebabkan penimbunan lendir di


rongga sinus dan dapat menjadi media pertumbuhan bakteri.
Kronik berlangsung selama 3 bulan atau lebih dengan gejala yang terjadi selama
lebih dari 20 hari.

Epidemiologi

Sinusitis kronis lebih jarang kira-kira 1 dalam 1000 orang

Bayi di bawah 1 tahun tidak menderita sinusitis

Etiologi

Berbagai faktor

Kronis lebih sering : serangan bakteri di sinus, baik bakteri yang bersifat aerob
ataupun anaerob.

Sistemik : aids, Cystic Fibrosis, Kartagener Syndroms ( yg menyerang kekebalna


tubuh )

GERD

Gejala Klinis

Demam > 37C,

Sakit kepala,

Badan lemas ataupun pegal-pegal,

Batuk,

Nyeri kepala dan beberapa area di wajah

Pembengkakan dan/atau eritema,

Kekakuan saat pemeriksaan fisik palpasi/ perkusi pada sinus paranasal terutama sinus
yang terinfeksi.

Mata: edema periorbital.

Sekresi mukopurulen yang berbau dan terkadang bercampur darah,

Pembengkakan dan eritema mukosa nasal,


Tersumbatnya saluran pernafasan timbul suara sengau, anomali anatomi seperti :
penyimpangan septum nasi, pembesaran turbinasi dan polip.

Post nasal drip,

Nyeri pada gigi geraham atas homolateral,

Adanya rasa tidak nyaman di tenggorokan.

Dapat terjadi otitis media pada anak-anak,

Gangguan pendengaran akibat tersumbatnya tuba eustachius.

Diagnosis

Anamnesa

Pemeriksaan rinoskopi anterior dan posterior

Pemeriksaan transiluminasi untuk sinus maksila dan sinus frontal, yakni pada daerah
sinus yang terinfeksi terlihat suram atau gelap

radiologik, posisi rutin yang dipakai adalah posisi Waters, PA dan Lateral.

Pungsi sinus maksilaris

Sinoskopi sinus maksilaris

Pemeriksaan histopatologi dari jaringan yang diambil pada waktu dilakukan


sinoskopi.

Pemeriksaan meatus medius dan meatus superior dengan menggunakan naso-


endoskopi.

Pemeriksaan CT Scan

Rinoskopi anterior :

Sekret kental, purulen dari meatus medius atau meatus superior,

Polip, tumor atau komplikasi sinusitis.

Pada rinoskopi posterior :


sekret purulen di nasofaring atau turun ke tenggorok.

Dari pemeriksaan endoskopi fungsional dan CT Scan :

Etmoiditis kronis yang hampir selalu menyertai sinusitis frontalis atau maksilaris

Tatalaksana

Faktor predisposisinya

Jika ditemukan :tata laksana yang sesuai dan diberi terapi tambahan. Jika ada
perbaikan maka pemberian antibiotik mencukupi 10-14 hari.

Jika tidak ditemukan : terapi sesuai pada episode akut lini II + terapi tambahan.
Sambil menunggu ada atau tidaknya perbaikan, diberikan antibiotik alternative 7 hari
atau buat kultur.

Ada perbaikan :antibiotik mencukupi 10-14 hari,

Tidak ada perbaikan evaluasi kembali dengan pemeriksaan naso-endoskopi, sinuskopi

Diatermi gelombang pendek di daerah sinus yang sakit.

Pada sinusitis maksila dilakukan pungsi dan irigasi sinus, sedang sinusitis ethmoid,
frontal atau sfenoid dilakukan tindakan pencucian Proetz

Pembedahan :

Maksila operasi Cadhwell-luc

ethmoid ethmoidektomi

Sfenoid dan frontal operasi Killian

Radikal
Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF). Prinsipnya dengan membuka dan
membersihkan daerah kompleks ostiomeatal.

Menghirup uap dari sebuah vaporizer atau semangkuk air panas.

Obat semprot hidung yang mengandung larutan garam .

Kompres hangat di daerah sinus yang terkena.


Prognosis

Prognosis kronik sinusitis tergantung dari penyebabnya.

Sering kali pengobatan dan tindakan pembedahan diperlukan untuk mengurangi


inflamasi.

Seseorang yang mengalami pembedahan sinus bisa kembali ke aktivitas biasa sekitar
5 sampai7 hari setelah pembedahan dan sembuh total rata-rata 4 sampai 6 minggu.

Di banyak kasus inflamasi harus ditangani dengan pengobatan jangka panjang untuk
mencegah kekambuhan.

2.5 EPISTAKSIS

Definisi

Epistaksis berasal dari bahasa Yunani epistazo yang berarti hidung berdarah.
Penanganan epistaksis dengan menekan ala nasi telah diperkenalkan sejak zaman Hipokrates.
Cave Michael (1871), James Little (1879) dan Wilhelm Kiesselbach merupakan ahli-ahli
yang pertama kali mengidentifikasi cabang-cabang pembuluh darah yang berada di bagian
anterior septum nasi sebagai sumber epistaksis.
Epidemiologi

Dikutip dari Dewar, Mitchell menemukan 4,5% dari 374 orang yang dirawat dengan
hipertensi, memiliki riwayat epistaksis.2 Sedangkan Herkner dkk melaporkan dari 213 orang
pasien yang datang ke unit gawat darurat dengan epistaksis, ditemukan 33 orang pasien
(15,5%) dengan peningkatan tekanan darah.

Etiologi

Pada banyak kasus, tidak mudah untuk mencari penyebab terjadinya epistaksis.
Etiologi epistaksis dapat dari banyak faktor. Secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi
dua, yaitu faktor lokal dan faktor sistemik.

a. Faktor Lokal

Beberapa faktor lokal yang dapat menyebabkan terjadinya epistaksis antara lain:

Trauma nasal.

Obat semprot hidung (nasal spray). Penggunaan obat semprot hidung secara terus menerus,
terutama golongan kortikosteroid, dapat menyebabkan epistaksis intermitten. Terdapat
kerusakan epitel pada septum nasi. Epitel ini akan mudah berdarah jika krusta terlepas.
Pemakaian fluticasone semprot hidung selama 4-6 bulan, belum menimbulkan efek samping
pada mukosa.

Kelainan anatomi: adanya spina, krista dan deviasi septum.

Tumor intranasal atau sinonasal. Sering ditandai dengan adanya riwayat epistaksis yang
berulang.

Iritasi zat kimia, obat-obatan atau narkotika. Seperti dekongestan topikal dan kokain.

Iritasi karena pemakaian oksigen: Continuous Positive Airway Pressure (CPAP).

Kelainan vaskuler. Seperti kelainan yang dikenal dengan Wageners granulomatosis


(kelainan yang didapat).

b. Faktor Sistemik
Hipertensi tidak berhubungan secara langsung dengan epistaksis. Arteriosklerosis
pada pasien hipertensi membuat terjadinya penurunan kemampuan hemostasis dan kekakuan
pembuluh darah. Penyebab epistaksis yang bersifat sistemik antara lain:

Sindrom Rendu Osler Weber (hereditary hemorrhagic telangectasia) merupakan kelainan


bawaan yang diturunkan secara autosom dominan. Trauma ringan pada mukosa hidung akan
menyebabkan perdarahan yang hebat. Hal ini disebabkan oleh melemahnya gerakan
kontraktilitas pembuluh darah serta terdapatnya fistula arteriovenous.

Efek sistemik obat-obatan golongan antikoagulansia (heparin, warfarin) dan antiplatelets


(aspirin, clopidogrel).

Kegagalan fungsi organ seperti uremia dan sirosis hepatis.

Atheroslerosis, hipertensi dan alkohol.

Kelainan hormonal. Seperti kelebihan hormon adrenokortikosteroid atau hormon


mineralokortikoid, pheochromocytoma, hyperthyroidism atau hypothyroidism, kelebihan
hormon pertumbuhan dan hyperparathyroidism.

Patofisiologi

Pemeriksaan arteri kecil dan sedang pada orang yang berusia menengah dan lanjut,
terlihat perubahan progresif dari otot pembuluh darah tunika media menjadi jaringan kolagen.
Perubahan tersebut bervariasi dari fibrosis interstitial sampai perubahan yang komplet
menjadi jaringan parut. Perubahan tersebut memperlihatkan gagalnya kontraksi pembuluh
darah karena hilangnya otot tunika media sehingga mengakibatkan perdarahan yang banyak
dan lama. Pada orang yang lebih muda, pemeriksaan di lokasi perdarahan setelah terjadinya
epistaksis memperlihatkan area yang tipis dan lemah. Kelemahan dinding pembuluh darah ini
disebabkan oleh iskemia lokal atau trauma.

Pleksus kiesselbach yang dikenal dengan little area berada diseptum kartilagenous
anterior dan merupakan lokasi yang paling sering terjadi epistaksis anterior. Sebagian besar
arteri yang memperdarahi septum beranastomosis di area ini.

Sebagian besar epistaksis (95%) terjadi di little area. Bagian septum nasi anterior
inferior merupakan area yang berhubungan langsung dengan udara, hal ini menyebabkan
mudah terbentuknya krusta, fisura dan retak karena trauma pada pembuluh darah tersebut.
Walaupun hanya sebuah aktifitas normal dilakukan seperti menggosok-gosok hidung dengan
keras, tetapi hal ini dapat menyebabkan terjadinya trauma ringan pada pembuluh darah
sehingga terjadi ruptur dan perdarahan. Hal ini terutama terjadi pada membran mukosa yang
sudah terlebih dahulu mengalami inflamasi akibat dari infeksi saluran pernafasan atas, alergi
atau sinusitis.

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik serta pemeriksaan
penunjang.

Anamnesis

- Umur

- Keadaan umum

- Tensi dan nadi

- Trauma

- Tumor

- Deviasi septum/spina septum

- Infeksi

- Kelainan kongenital

- Hipertensi

- Kelainan darah

- Perubahan tekanan atmosfir mendadak

- Gangguan endokrin

Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik perlu diperhatikan keadaan umum pasien, apakah sangat
lemah ataukah ada tanda-tanda syok, sebagai akibat banyaknya darah yang keluar bila
mungkin lakukan pemeriksaan rinoskopi anterior dengan pasien dalam posisi duduk.
Untuk melakukan pemeriksaan yang adekuat, pasien harus ditempatkan pada
ketinggian yang memudahkan pemeriksaan bekerja, harus cukup untuk menginspeksi sisi
dalam hidung. Sisi anterior hidung harus diperiksa dengan spekulum hidung. Spekulum harus
disokong dengan jari telunjuk pada ala nasi. Kemudian pemeriksa menggunakan tangan yang
satu lagi untuk mengubah posisi kepala pasien untuk melihat semua bagian hidung. Hidung
harus dibersihkan dari bekuan darah dan debris secara memuaskan dengan alat penghisap.
Lalu dioleskan senyawa vasokonstriktif topikal seperti efedrin atau kokain untuk
mengerutkan mukosa hidung. Pemeriksaan harus dilakukan dalam cara teratur dari anterior
ke posterior. Vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi, dinding lateral hidung dan konka
inferior harus diperiksa dengan cermat.

Sumber perdarahan dapat ditentukan dengan memasang tampon yang telah dibasahi
dengan larutan pantokain 2% dan beberapa tetes adrenalin 1/1000. setelah beberapa menit
tampon diangkat dan bekuan darah dibersihkan dengan alat penghisap.

Pemeriksaan Penunjang

Jika perdarahan sedikit dan tidak berulang, tidak perlu dilakukan pemeriksaan
penunjang. Jika perdarahan berulang atau hebat lakukan pemeriksaan lainnya untuk
memperkuat diagnosis epistaksis.

- Pemeriksaan darah tepi lengkap.

- Fungsi hemostatis

- EKG

- Tes fungsi hati dan ginjal

- Pemeriksaan foto hidung, sinus paranasal, dan nasofaring.

- CT scan dan MRI dapat diindikasikan untuk menentukan adanya rinosinusitis, benda
asing dan neoplasma

Tatalaksana

Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu menghentikan perdarahan,


mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis.
Pasien yang datang dengan epistaksis diperiksa dalam posisi duduk, sedangkan kalau
sudah terlalu lemah dibaringkan dengan meletakkan bantal di belakang punggung, kecuali
bila sudah dalam keadaan syok. Sumber perdarahan dicari dengan bantuan alat penghisap
untuk menyingkirkan bekuan darah. Kemudian diberikan tampon kapas yang telah dibasahi
dengan adrenalin 1: 10.000 dan lidokain atau pantokain 2 %. Kapas ini dimasukkan ke dalam
rongga hidung untuk menghentikan perdarahan dan mengurangi rasa sakit pada saat tindakan
selanjutnya. Tampon ini dibiarkan selama 3 - 5 menit. Dengan cara ini dapat ditentukan
apakah sumber perdarahan letaknya di bagian anterior atau posterior.

Pada penanganan epistaksis, yang terutama diperhatikan adalah perkiraan jumlah dan
kecepatan perdarahan. Pemeriksaan hematokrit, hemoglobin dan tekanan darah harus cepat
dilakukan. Pada pasien dalam keadaan syok, kondisi ini harus segera diatasi. Jika ada
kecurigaan defisiensi faktor koagulasi harus dilakukan pemeriksaan hitung trombosit, masa
protrombin dan masa tromboplastin (APTT), sedangkan prosedur diagnosis selanjutnya
dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan. Bila terjadi kehilangan darah yang banyak dan cepat,
harus difikirkan pemberian transfusi sel-sel darah merah (packed red cell) disamping
penggantian cairan.

A. Epistaksis Anterior

1. Katerisasi

Sebelum dilakukan kauterisasi, rongga hidung dianestesi lokal dengan menggunakan


tampon kapas yang telah dibasahi dengan kombinasi lidokain 4% topikal dengan epinefrin 1 :
100.000 atau kombinasi lidokain 4% topikal dan penilefrin 0.5 %. Tampon ini dimasukkan
dalam rongga hidung dan dibiarkan selama 5 10 menit untuk memberikan efek anestesi
lokal dan vasokonstriksi. Kauterisasi secara kimia dapat dilakukan dengan menggunakan
larutan perak nitrat 20 30% atau dengan asam triklorasetat 10%. Becker (1994)
menggunakan larutan asamtriklorasetat 40 70%. Setelah tampon dikeluarkan, sumber
perdarahan diolesi dengan larutan tersebut sampai timbul krusta yang berwarna kekuningan
akibat terjadinya nekrosis superfisial. Kauterisasi tidak dilakukan pada kedua sisi septum,
karena dapat menimbulkan perforasi. Selain menggunakan zat kimia dapat digunakan
elektrokauter atau laser. Yang (2005) menggunakan electrokauter pada 90% kasus epistaksis
yang ditelitinya.

2. Tampon Anterior
Apabila kauter tidak dapat mengontrol epistaksis atau bila sumber perdarahan tidak
dapat diidentifikasi, maka diperlukan pemasangan tampon anterior dengan menggunakan
kapas atau kain kassa yang diberi vaselin atau salap antibiotik. Tampon ini dipertahankan
selama 3 4 hari dan kepada pasien diberikan antibiotik spektrum luas. Vaghela (2005)
menggunakan swimmers nose clip untuk penanggulangan epistaksis anterior.

B. Epistaksis Posterior

Perdarahan dari bagian posterior lebih sulit diatasi, sebab biasanya perdarahan hebat
dan sulit dicari sumber perdarahan dengan rinoskopi anterior. Epistaksis posterior dapat
diatasi dengan menggunakan tampon posterior, bolloon tamponade , ligasi arteri dan
embolisasi.

1. Tampon Posterior

Prosedur ini menimbulkan rasa nyeri dan memerlukan anestesi umum atau setidaknya
dengan anestesi lokal yang adekuat. Prinsipnya tampon dapat menutup koana dan terfiksasi di
nasofaring untuk menghindari mengalirnya darah ke nasofaring. Kemudian dilakukan
pemasangan tampon anterior. Tekhnik ini pertama sekali diperkenalkan oleh Bellocq, dengan
menggunakan tampon yang diikat dengan tiga pita (band). Masukkan kateter karet kecil
melalui hidung kedalam faring, kemudian ujungnya dipegang dengan cunam dan dikeluarkan
dari mulut agar dapat diikat pada kedua ujung pita yang telah disediakan. Kateter ditarik
kembali melalui rongga hidung sehingga tampon tertarik ke dalam koana melalui nasofaring.
Bantuan jari untuk memasukkan tampon kedalam nasofaring akan mempermudah tindakan
ini. Apabila masih tampak perdarahan keluar dari rongga hidung, maka dapat pula
dimasukkan tampon anterior ke dalam kavum nasi. Kedua pita yang keluar dari nares anterior
kemudian diikat pada sebuah gulungan kain kasa didepan lubang hidung, supaya tampon
yang terletak di nasofaring tidakbergerak. Pita yang terdapat di rongga mulut dilekatkan pada
pipi pasien. Gunanya untuk menarik tampon keluar melalui mulut setelah 2 3 hari.

2. Tampon Balon

Pemakaian tampon balon lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan pemasangan


tampon posterior konvensional tetapi kurang berhasil dalam mengontrol epistaksis posterior.
Ada dua jenis tampon balon, yaitu: kateter Foley dan tampon balon yang dirancang khusus.
Setelah bekuan darah dari hidung dibersihkan, tentukan asal perdarahan. Kemudian lakukan
anestesi topikal yang ditambahkan vasokonstriktor. Kateter Foley no. 12 - 16 F diletakkan
disepanjang dasar hidung sampai balon terlihat di nasofaring. Kemudian balon diisi dengan
10 -20 cc larutan salin dan kateter Foley ditarik kearah anterior sehingga balon menutup
rongga hidung posterior. Jika dorongan terlalu kuat pada palatum mole atau bila terasa sakit
yang mengganggu, kurangi tekanan pada balon. Selanjutnya dipasang tampon anterior dan
kateter difiksasi dengan mengunakan kain kasa yang dilekatkan pada cuping hidung. Apabila
tampon balon ini gagal mengontrol perdarahan, maka dilakukan pemasangan tampon
posterior.

3. Ligasi Arteri

Penanganan yang paling efektif untuk setiap jenis perdarahan adalah dengan meligasi
pembuluh darah yang ruptur pada bagian proksimal sumber perdarahan dengan segera. Tetapi
kenyataannya sulit untuk mengidentifikasi sumber perdarahan yang tepat pada epistaksis
yang berat atau persisten. Ada beberapa pendekatan ligasi arteri yang mensuplai darah ke
mukosa hidung.

a. Ligasi Arteri Karotis Eksterna

Ligasi biasanya dilakukan tepat dibagian distal a. tiroid superior untuk melindungi
suplai darah ke tiroid dan memastikan ligasi arteri karotis eksterna. Tindakan ini dapat
dilakukan dibawah anestesi lokal. Dibuat insisi horizontal sekitar dua jari dibawah batas
mandibula yang menyilang pinggir anterior m. sternokleidomastoideus. Setelah flap
subplatisma dielevasi, m. sternokleidomastoideus di retraksi ke posterior dan diseksi
diteruskan ke arah bawah menuju selubung karotis. Lakukan identifikasi bifurkasio karotis
kemudian a. karotis eksterna dipisahkan. Dianjurkan untuk melakukan ligasi dibawah a.
faringeal asendens, terutama apabila epistaksisberasal dari bagian posterior hidung atau
nasofaring. Arteri karotis eksterna diligasi dengan benang 3/0 silk atau linen.

b. Ligasi Arteri Maksilaris Interna

Ligasi arteri maksilaris interna dapat dilakukan dengan pendekatan transantral.


Pendekatan ini dilakukan dengan anestesi lokal atau umum lalu dilakukan insisi Caldwell
Luc dan buat lubang pada fosa kanina. Setelah dijumpai antrum maksila, secara hati-hati
buang dinding sinus posterior dengan menggunakan pahat kecil, kuret atau bor, dimulai dari
bagian inferior dan medial untuk menghindari trauma orbita. Setelah terbentuk jendela
(window) pada tulang, lakukan insisi pada periostium posterior. Dengan operating
microscope pada daerah itu lakukan observasi untuk melihat adanya pulsasi yang
menandakan letak arteri. Jaringan lemak dan jaringan ikat pada fosa pterigopalatina didiseksi
dengan menggunakan hemostat, alligator clips, bayonet forcep dengan bipolar electrocauter
dan nervehook. Setelah a. maksila interna diidentifikasi, arteri ini diretraksi dengan
menggunakan nervehook dan identifikasi cabang-cabangnya. Dibuat nasoantral window dan
masukkan tampon yang telah diberi salap antibiotik selama 24 jam.

Maceri (1984) menjelaskan pendekatan transoral untuk ligasi a. maksilaris interna.


Plane of buccinator dimasuki melalui insisi gingivobukal. Jaringan lemak bukal dibuang, dan
identifikasi perlekatan m. temporalis ke prosessus koronoid mandibula. Lakukan diseksi
tumpul pada daerah ini dan identifikasi a. maksila interna. Selanjutnya arteri dipisahkan,
dijepit atau diligasi. Prosedur ini berguna apabila pendekatan transantral tidak dapat
dilakukan oleh karena trauma sinus atau malignansi. Kelemahan dari prosedur ini adalah
lokasi ligasi terletak lebih ke proksimal dibandingkan dengan pendekatan transantral
sehingga lebih memungkinkan untuk terjadinya kegagalan. Komplikasi utama pendekatan ini
adalah pembengkakan pipi dan trismus yang dapat berlangsung selama tiga bulan.10 Shah
(2005) menggunakan clip titanium pada arteri sphenopalatine untuk mengatasi epistaksis
posterior.15

c. Ligasi Arteri Etmoidalis

Perdarahan yang berasal dari bagian superior konka media paling baik diterapi dengan
ligasi a. etmoidalis anterior atau posterior, atau keduanya. Ligasi dilakukan pada tempat arteri
keluar melalui foramen etmoidalis anterior dan posterior yang berada pada
suturafrontoetmoid. Foramen etmoidalis anterior berada kira-kira 1,5 cm posterior dari krista
lakrimalis posterior. Foramen etmoidalis posterior berada hanya 4 - 7 mm. sebelah anterior n.
optikus.

Insisi etmoid eksterna dilakukan untuk mencapai daerah ini. Retraktor orbita
digunakan untuk meretraksi periostium orbita dan sakus lakrimalis. Diseksi dilakukan
disebelah posterior disepanjang garis sutura pada lamina subperiosteal. Dua klem arteri
diletakkan pada a. etmoidalis anterior, dan rongga hidung dievaluasi kembali. Jika perdarahan
berhenti, a. etmoidalis posterior tidak diganggu untuk menghindari trauma n. optikus. Tetapi
bila perdarahan persisten, a. etmoidalis posterior diidentifikasi dan diklem. Hidarkan
pemakaian kauter untuk menghindari trauma.
d. Angiografi dan Embolisasi

Sokoloff (1974) pertama kali memperkenalkan teknik embolisasi perkutan pada a.


maksilaris interna dengan menggunakan absorbable gelatin sponge untuk epistaksis yang
persisten. Beberapa laporan terakhir mendiskusikan kegunaan angiografi dalam menentukan
sumber perdarahan. Merland, (1980) melaporkan penggunaan embolisasi untuk pengobatan
telangiektasi hemoragik herediter, epistaksis (primer dan traumatik), angiofibroma
nasofaring, tumor ganas dan penyakit pendarahan. Mereka menjumpai kesulitan dalam
melakukan embolisasi a. etmoidalis tetapi tindakan ini lebih menguntungkan bila
dibandingkan dengan ligasi a. maksila interna oleh karena terjadinya obliterasi dibagian distal
arteri. Komplikasi embolisasi mencakup paralisis fasial dan hemiplegi. Rasa nyeri pada
wajah dan trismus juga sering dijumpai. Beberapa material telah digunakan untuk embolisasi
tetapi absorbable gelatin sponge merupakan zat yang paling sering digunakan. Walaupun
tekhnik ini masih kontroversi, ada kesepakatan bahwa embolisasi pada penanganan epistaksis
dilakukan bila terapi lainnya gagal dan apabila ada kontraindikasi untuk operasi.

Komplikasi

1. Komplikasi epistaksis :Hipotensi, hipoksia, anemia, aspirasi pneumonia


2. Komplikasi kauterisasi : Sinekia, perforasi septum
3. Komplikasi pemasangan tampon : Sinekia, rinosinusitis, sindrom syok toksik,
Perforasi septum, tuba eustachius tersumbat, aritmia (overdosis kokain atau lidokain)
4. Komplikasi embolisasi : Perdarahan hematom, nyeri wajah, hipersensitivitas, paralisis
fasialis, infark miokard
5. Komplikasi ligasi arteri : kebas pada wajah, sinusitis, sinekia, infark miokard

Prognosis

Prognosis epistaksis bagus tetapi bervariasi. Dengan terapi yang adekuat dan kontrol
penyakit yang teratur, sebagian besar pasien tidak mengalami perdarahan ulang. Pada
beberapa penderita, epistaksis dapat sembuh spontan tanpa pengobatan. Hanya sedikit
penderita yang memerlukan pengobatan yang lebih agresif.
2.6 POLIP NASAL

Definisi

Massa lunak yang mengandung banyak cairan dalam rongga hidung, warna putih
keabuan, yang dapat terjadi akibat inflamasi mukosa

Kelainan mukosa hidung dan sinus paranasal terutama pada kompleks osteomeatal
(KOM) di meatus nasi medius berupa massa lunak yang bertangkai (tonjolan pada
jaringan permukaan mukosa), bentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabu-abuan
(bentuknya mirip dengan buah anggur bening lonjong bertangkai).

Etiologi dan Faktor Predisposisi

Etiologi : idiopatik

Diduga faktor predisposisi : rhinitis alergi atau penyakit atopi

Diduga ada 3 faktor yg berperan :

- Peradangan. Peradangan mukosa hidung dan sinus paranasal yang kronik dan
berulang.

- Vasomotor. Gangguan keseimbangan vasomotor.

- Edema. Peningkatan tekanan cairan interstitial sehingga timbul edema mukosa


hidung. edema ini dapat dijelaskan oleh fenomena Bernoulli.

Klasifikasi

Polip hidung Tunggal:

Jumlah polip hanya sebuah.

Berasal dari sel-sel permukaan dinding sinus tulang pipi (maxilla).

Polip Hidung Multiple:

Jumlah polip lebih dari satu.

Dapat timbul di kedua sisi rongga hidung.

Pada umumnya berasal dari permukaan dinding rongga tulang hidung bagian atas
(etmoid).

Gejala Klinis

Penderita biasanya mengeluhkan hidung tersumbat, penurunan indra penciuman, dan


gangguan pernafasan. Akibatnya penderita bersuara sengau.
Lokasi plg sering berasal sinus maksila (antrum) dapat keluar melalui ostium sinus
maksilla dan masuk ke ronga hidung dan membesar di koana dan nasopharing

Diagnosis

Anamnesis :

- Hidung tersumbat.

- Terasa ada massa didalam hidung.

- Sukar membuang ingus.

- Gangguan penciuman : anosmia & hiposmia.

Gejala sekunder. Bila disertai kelainan jaringan & organ di sekitarnya seperti post
nasal drip, sakit kepala, nyeri muka, suara nasal (bindeng), telinga rasa penuh,
mendengkur, gangguan tidur

Pemeriksaan fisik. Terlihat deformitas hidung luar.

Rinoskopi anterior. Mudah melihat polip yang sudah masuk ke dalam rongga hidung.
Dengan pemeriksaan rhinoskopi anterior biasanya polip sudah dapat dilihat, polip
yang masif seringkali menciptakan kelainan pada hidung bagian luar.

Foto polos rontgen &CT-scan. Untuk mendeteksi sinusitis.


terutama diindikasikan pada kasus polip yang gagal diterapi dengan medikamentosa.

Biopsi. Kita anjurkan jika terdapat massa unilateral pada pasien berusia lanjut,
menyerupai keganasan (mikros) dan erosi tulang ( foto polos rontgen ).

Grade

Grade 0 : Tidak ada polip

Grade 1 : Polip terbatas pada meatus media

Grade 2 : Polip sudah keluar dari meatus media, tampak di rongga hidung tapi
belum menyebabkan obstruksi total

Grade 3 : Polip sudah menyebabkan obstruksi total


Tatalaksana

Tujuan utama pengobatan pada kasus polip nasi ialah menghilangkan keluhan-
keluhan yang dirasakan oleh pasien.

Kortikosteroid pada polip yang masih kecil dan belum memasuki rongga hidung.
Caranya bisa sistemik, intranasal atau kombinasi keduanya. Gunakan kortikosteroid
sistemik dosis tinggi dan dalam jangka waktu singkat.

Berikan antibiotik jika ada tanda infeksi. Berikan anti alergi jika pemicunya dianggap
alergi.

Untuk polip stadium 1 dan 2, sebaiknya diberikan kortikosteroid intranasal selama 4-6
minggu.

Bila reaksinya baik, pengobatan ini diteruskan sampai polip atau gejalanya hilang.
Bila reaksinya terbatas atau tidak ada perbaikan maka diberikan juga kortikosteroid
sistemik.

Polip dapat diberikan prednisolon dengan dosis total 570 mg yang dibagi dalam
beberapa dosis, yaitu 60 mg/hari selama 4 hari, kemudian dilakukan tapering off 5 mg
per hari.

Polipektomi merupakan tindakan pengangkatan polip menggunakan senar polip


dengan bantuan anestesi lokal. Kategori polip yang diangkat adalah polip yang besar
namun belum memadati rongga hidung.

Etmoidektomi atau bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/FESS) merupakan


tindakan pengangkatan polip sekaligus operasi sinus. Kriteria polip yang diangkat
adalah polip yang sangat besar, berulang, dan jelas terdapat kelainan di kompleks
osteomeatal.

Antibiotik sebagai terapi kombinasi pada polip hidung bisa kita berikan sebelum dan
sesudah operasi. Berikan antibiotik bila ada tanda infeksi dan untuk langkah
profilaksis pasca operasi.
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Epistaksis adalah perdarahan yang terjadi pada hidung. Epistaksis dapat disebabkan
oleh berbagai macam hal, salah satunya sinusitis. Tiga prinsip utama dalam menanggulangi
epistaksis yaitu menghentikan perdarahan, mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya
epistaksis.

Sedangkan sinusitis adalah peradangan yang terjadi pada rongga sinus, biasanya
disebabkan oleh mikroorganisme baik bakteri, virus, ataupun jamur. Sinusitis dapat
didiagnosis dengan anamnesis, pemeriksaan fisik (rhinoskopi) dan pemeriksaan penunjang
(CT-Scan). Tujuan utama penatalaksanaan sinusitis yaitu mempercepat penyembuhan,
mencegah komplikasi, dan mencegah perubahan menjadi kronis. Terapi yang diberikan bisa
dengan pemberian obat-obatan tergantung kausanya.

3.2 SARAN

Dibutuhkan penelitian lebih lanjut mengenai epistaksis dan sinusitis, dengan harapan
untuk bisa mengetahui obat-obatan dan cara yang lebih efektif untuk mengatasi penyakit
tersebut. Dokter perlu memberikan penjelasan terhadap pasien mengenai epistaksis dan
sinusitis, mulai dari apa itu epistaksis dan sinusitis sampai cara penanganannya. Selain itu,
dokter juga perlu melakukan edukasi kepada pasien tentang bagaimana cara pemakaian obat
agar pemakaian obat dapat lebih efisien.

DAFTAR PUSTAKA

Adams, George L. Boies, Lawrence R. Higler, Peter A. 1997. Boies : Buku Ajar Penyakit
THT. Ed.6. Jakarta : EGC
Soepardi, Efiaty Arsyad. Iskandar, Nurbaiti. 2006. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga-
Hidung-Tenggorok Kepala Leher. Jakarta : Balai Penerbit FKUI

Anda mungkin juga menyukai