Makalah Tutorial Kasus 4 SSS
Makalah Tutorial Kasus 4 SSS
BLOK SSS
DISUSUN OLEH :
Tutorial C-1
2015-2016
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan segala
rahmat dan ridho-Nya. Karena atas rahmat dan ridho-Nyalah makalah tutorial KASUS 4 :
EPISTAKSIS DAN SINUSITIS ini dapat selesai tepat pada waktunya.
Kami berharap agar makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak serta dapat
menambah ilmu pengetahuan dan wawasan tentang penyakit yang terjadi di bagian hidung.
Kami memohon kritik serta saran untuk menyempurnakan makalah ini, juga
permohonan maaf atas semua kesalahan kami, karena semua kebenaran semata-mata hanya
milik Sang Maha Benar, Allah SWT.
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar...........................................................i
BAB 1 PENDAHULUAN
1.3 Tujuan...........................................1
BAB II PEMBAHASAN
2.2 Sinusitis................................................................................................................5
2.5 Epistaksis............................................................................................................15
3.1 Kesimpulan.........................................29
3.2 Saran...................................................................................................................29
PENDAHULUAN
Di hidung terdapat banyak sekali pembuluh darah. Hal tersebut memungkinan sering
terjadinya epistaksis. Epistaksis atau yang sering dikenal di masyarakat dengan kata mimisan,
merupakan perdarahan hidung. Epistaksis bukan suatu penyakit, melainkan gejala suatu
kelainan. Epistaksis sering ditemukan pada anak-anak, hal ini dapat terjadi akibat trauma,
infeksi hidung dan sinus paranasal, tumor, benda asing dan rinolit, idiopatik, penyakit
kardiovaskular, kelainan darah, infeksi sistemik, gangguan endrokin, kelainan congenital.
Epistaksis juga dapat menyebabkan komplikasi, baik akibat epistaksis sendiri maupun akibat
penanggulangan.
1.3 TUJUAN
PEMBAHASAN
LEMBAR 1
Anamnesis
Saat anda bertugas di IGD datang seorang laki-laki, Tn. E, berusia 50 tahun dengan keluhan
perdarahan dari lubang hidung kanan 5 jam SMRS. Saat datang terlihat perdarahan hidung
kanan sudah berhenti. Sebelumnya pasien sedang membuang ingus, tiba-tiba merasa darah
mengalir dari lubang hidung kanan, jumlah tidak banyak. Riwayat hidung tersumbat sejak 4
tahun yang lalu, disertai ingus yang mengalir ke tenggorok. Tn. E juga mengeluh nyeri pada
pipi kanannya sejak 1 minggu terakhir. Telinga berdenging dan pandangan ganda tidak ada,
riwayat bersin-bersin disertai hidung gatal bila kena debu atau udara dingin tidak ada.
Riwayat hipertensi, sakit gula tidak ada. Gigi berlubang tidak ada.
LEMBAR 2
Pemeriksaan Fisik
RR = 20x/menit T = 36,5 C
Status Generalis
Kepala : normocephali
Status Lokalis
Telinga kanan dan kiri : liang telinga lapang, membran timpani utuh, reflex cahaya (+)
Hidung
Rhinoskopi anterior :
Kavum nasi kanan : sempit, konka inferior hiperemis dan oedem, tampak mukopus
pada meatus medius, septum lurus, clotting (+) pada septum bagian anterior
Kavum nasi kiri : lapang, konka inferior eutrofi, septum lurus, perdarahan aktif tidak
ada, meatus medius terbuka, tidak tampak sekret
Rhinoskopi posterior :
Tidak ditemukan massa, post nasal drip (+)
Transiluminasi : suram pada pipi kanan
Faring : dalam batas normal
Tonsil : dalam batas normal
Pemeriksaan Penunjang
2.2 SINUSITIS
Definisi
Penyakit yang terjadi di daerah sinus. Sinus itu sendiri adalah rongga udara yang
terdapat di area wajah yang terhubung dengan hidung. Fungsi dari rongga sinus sendiri
adalah untuk menjaga kelembapan hidung dan menjaga pertukaran udara di daerah hidung
Rongga Sinus :
Etiologi
Epidemiologi
Diagnosis
1. Anamnesis
Tanda khas ialah adanya pus di meatus medius (pada sinusitis maksila dan etmoid anterior
dan frontal)
Tatalaksana
Mepercepat penyembuhan
Mencegah komplikasi
Mencegah perubahan menjadi kronis
Prinsip pengobatan ialah membuka sumbatan di KOMsehingga dreinase dan ventilasi sinus
sinus pulih secara alami.
Dekongestan
Topikal : sol efedrin 1% tetes hidung, oxymethazoline 0,025% tetes hidung untuk anak atau
0,05% semprot hidung. Jangan digunakan lebih dari 5 hari.
Irigasi sinus maksila : bila resopsi sekret sinus maksila tidak adekuat
Ekstrasi gigi dan perawatan gigi bila pada sinusitis maksila dentogen
Komplikasi
Komplikasi sinusitis yang berat biasanya terjadi pada sinusitis akut atau sinusitis kronis
dengan eksarsebasi akut, berupa komplikasi orbita atau intrakranial.
- Kelainan orbita,disebabkan oleh sinus paranasal yang ebrdejatan dengan mata, yaitu
sinus ethmoid, kemudian frontal dan maksila.
- Kelainan intrakranial, dapat berupa meningitis, abses ekstradural/subdural, abses otak
dan trombosis sinus kavernosus
Prognosis
Dubia ad bonam
Definisi
Sinusitis frontalis adalah peradangan pada sinus frontal yang terjadi di bawah 4
minggu. Sinusitis frontalis akut hampir selalu bersama-sama dengan infeksi sinus etmoidalis
anterior.
Etiologi
Biasanya didahului dengan adanya infeksi virus pada saluran nafas bagian atas yang
diikuti dengan invasi bakteri
Edema meatus media terhadap infeksi sinus maksila atau etmoid yang ipsilateral
Manifestasi Klinis
Office headache: nyeri kepala yang khas yang muncul pada saat jam kerja.
Tenderness. terasa tekanan pada regio frontal dan canthus medial yang menimbulkan
rasa nyeri.
Nasal discharge
Diagnosis
Anamnesis
Px Fisik
Px Penunjang
Radiologi daerah opak atau gambaran fluid level pada sinus yang terkena
Tatalaksana
Medikamentosa
Steroid
Analgetik
Pembedahan
Prognosis
Beberapa studi menunjukkan perbaikan sampai 25% kasus sinusitis frontalis dengan
pengobatan yang tepat dan operasi.
Definisi
Epidemiologi
Etiologi
Berbagai faktor
Kronis lebih sering : serangan bakteri di sinus, baik bakteri yang bersifat aerob
ataupun anaerob.
GERD
Gejala Klinis
Sakit kepala,
Batuk,
Kekakuan saat pemeriksaan fisik palpasi/ perkusi pada sinus paranasal terutama sinus
yang terinfeksi.
Diagnosis
Anamnesa
Pemeriksaan transiluminasi untuk sinus maksila dan sinus frontal, yakni pada daerah
sinus yang terinfeksi terlihat suram atau gelap
radiologik, posisi rutin yang dipakai adalah posisi Waters, PA dan Lateral.
Pemeriksaan CT Scan
Rinoskopi anterior :
Etmoiditis kronis yang hampir selalu menyertai sinusitis frontalis atau maksilaris
Tatalaksana
Faktor predisposisinya
Jika ditemukan :tata laksana yang sesuai dan diberi terapi tambahan. Jika ada
perbaikan maka pemberian antibiotik mencukupi 10-14 hari.
Jika tidak ditemukan : terapi sesuai pada episode akut lini II + terapi tambahan.
Sambil menunggu ada atau tidaknya perbaikan, diberikan antibiotik alternative 7 hari
atau buat kultur.
Pada sinusitis maksila dilakukan pungsi dan irigasi sinus, sedang sinusitis ethmoid,
frontal atau sfenoid dilakukan tindakan pencucian Proetz
Pembedahan :
ethmoid ethmoidektomi
Radikal
Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF). Prinsipnya dengan membuka dan
membersihkan daerah kompleks ostiomeatal.
Seseorang yang mengalami pembedahan sinus bisa kembali ke aktivitas biasa sekitar
5 sampai7 hari setelah pembedahan dan sembuh total rata-rata 4 sampai 6 minggu.
Di banyak kasus inflamasi harus ditangani dengan pengobatan jangka panjang untuk
mencegah kekambuhan.
2.5 EPISTAKSIS
Definisi
Epistaksis berasal dari bahasa Yunani epistazo yang berarti hidung berdarah.
Penanganan epistaksis dengan menekan ala nasi telah diperkenalkan sejak zaman Hipokrates.
Cave Michael (1871), James Little (1879) dan Wilhelm Kiesselbach merupakan ahli-ahli
yang pertama kali mengidentifikasi cabang-cabang pembuluh darah yang berada di bagian
anterior septum nasi sebagai sumber epistaksis.
Epidemiologi
Dikutip dari Dewar, Mitchell menemukan 4,5% dari 374 orang yang dirawat dengan
hipertensi, memiliki riwayat epistaksis.2 Sedangkan Herkner dkk melaporkan dari 213 orang
pasien yang datang ke unit gawat darurat dengan epistaksis, ditemukan 33 orang pasien
(15,5%) dengan peningkatan tekanan darah.
Etiologi
Pada banyak kasus, tidak mudah untuk mencari penyebab terjadinya epistaksis.
Etiologi epistaksis dapat dari banyak faktor. Secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi
dua, yaitu faktor lokal dan faktor sistemik.
a. Faktor Lokal
Beberapa faktor lokal yang dapat menyebabkan terjadinya epistaksis antara lain:
Trauma nasal.
Obat semprot hidung (nasal spray). Penggunaan obat semprot hidung secara terus menerus,
terutama golongan kortikosteroid, dapat menyebabkan epistaksis intermitten. Terdapat
kerusakan epitel pada septum nasi. Epitel ini akan mudah berdarah jika krusta terlepas.
Pemakaian fluticasone semprot hidung selama 4-6 bulan, belum menimbulkan efek samping
pada mukosa.
Tumor intranasal atau sinonasal. Sering ditandai dengan adanya riwayat epistaksis yang
berulang.
Iritasi zat kimia, obat-obatan atau narkotika. Seperti dekongestan topikal dan kokain.
b. Faktor Sistemik
Hipertensi tidak berhubungan secara langsung dengan epistaksis. Arteriosklerosis
pada pasien hipertensi membuat terjadinya penurunan kemampuan hemostasis dan kekakuan
pembuluh darah. Penyebab epistaksis yang bersifat sistemik antara lain:
Patofisiologi
Pemeriksaan arteri kecil dan sedang pada orang yang berusia menengah dan lanjut,
terlihat perubahan progresif dari otot pembuluh darah tunika media menjadi jaringan kolagen.
Perubahan tersebut bervariasi dari fibrosis interstitial sampai perubahan yang komplet
menjadi jaringan parut. Perubahan tersebut memperlihatkan gagalnya kontraksi pembuluh
darah karena hilangnya otot tunika media sehingga mengakibatkan perdarahan yang banyak
dan lama. Pada orang yang lebih muda, pemeriksaan di lokasi perdarahan setelah terjadinya
epistaksis memperlihatkan area yang tipis dan lemah. Kelemahan dinding pembuluh darah ini
disebabkan oleh iskemia lokal atau trauma.
Pleksus kiesselbach yang dikenal dengan little area berada diseptum kartilagenous
anterior dan merupakan lokasi yang paling sering terjadi epistaksis anterior. Sebagian besar
arteri yang memperdarahi septum beranastomosis di area ini.
Sebagian besar epistaksis (95%) terjadi di little area. Bagian septum nasi anterior
inferior merupakan area yang berhubungan langsung dengan udara, hal ini menyebabkan
mudah terbentuknya krusta, fisura dan retak karena trauma pada pembuluh darah tersebut.
Walaupun hanya sebuah aktifitas normal dilakukan seperti menggosok-gosok hidung dengan
keras, tetapi hal ini dapat menyebabkan terjadinya trauma ringan pada pembuluh darah
sehingga terjadi ruptur dan perdarahan. Hal ini terutama terjadi pada membran mukosa yang
sudah terlebih dahulu mengalami inflamasi akibat dari infeksi saluran pernafasan atas, alergi
atau sinusitis.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik serta pemeriksaan
penunjang.
Anamnesis
- Umur
- Keadaan umum
- Trauma
- Tumor
- Infeksi
- Kelainan kongenital
- Hipertensi
- Kelainan darah
- Gangguan endokrin
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik perlu diperhatikan keadaan umum pasien, apakah sangat
lemah ataukah ada tanda-tanda syok, sebagai akibat banyaknya darah yang keluar bila
mungkin lakukan pemeriksaan rinoskopi anterior dengan pasien dalam posisi duduk.
Untuk melakukan pemeriksaan yang adekuat, pasien harus ditempatkan pada
ketinggian yang memudahkan pemeriksaan bekerja, harus cukup untuk menginspeksi sisi
dalam hidung. Sisi anterior hidung harus diperiksa dengan spekulum hidung. Spekulum harus
disokong dengan jari telunjuk pada ala nasi. Kemudian pemeriksa menggunakan tangan yang
satu lagi untuk mengubah posisi kepala pasien untuk melihat semua bagian hidung. Hidung
harus dibersihkan dari bekuan darah dan debris secara memuaskan dengan alat penghisap.
Lalu dioleskan senyawa vasokonstriktif topikal seperti efedrin atau kokain untuk
mengerutkan mukosa hidung. Pemeriksaan harus dilakukan dalam cara teratur dari anterior
ke posterior. Vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi, dinding lateral hidung dan konka
inferior harus diperiksa dengan cermat.
Sumber perdarahan dapat ditentukan dengan memasang tampon yang telah dibasahi
dengan larutan pantokain 2% dan beberapa tetes adrenalin 1/1000. setelah beberapa menit
tampon diangkat dan bekuan darah dibersihkan dengan alat penghisap.
Pemeriksaan Penunjang
Jika perdarahan sedikit dan tidak berulang, tidak perlu dilakukan pemeriksaan
penunjang. Jika perdarahan berulang atau hebat lakukan pemeriksaan lainnya untuk
memperkuat diagnosis epistaksis.
- Fungsi hemostatis
- EKG
- CT scan dan MRI dapat diindikasikan untuk menentukan adanya rinosinusitis, benda
asing dan neoplasma
Tatalaksana
Pada penanganan epistaksis, yang terutama diperhatikan adalah perkiraan jumlah dan
kecepatan perdarahan. Pemeriksaan hematokrit, hemoglobin dan tekanan darah harus cepat
dilakukan. Pada pasien dalam keadaan syok, kondisi ini harus segera diatasi. Jika ada
kecurigaan defisiensi faktor koagulasi harus dilakukan pemeriksaan hitung trombosit, masa
protrombin dan masa tromboplastin (APTT), sedangkan prosedur diagnosis selanjutnya
dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan. Bila terjadi kehilangan darah yang banyak dan cepat,
harus difikirkan pemberian transfusi sel-sel darah merah (packed red cell) disamping
penggantian cairan.
A. Epistaksis Anterior
1. Katerisasi
2. Tampon Anterior
Apabila kauter tidak dapat mengontrol epistaksis atau bila sumber perdarahan tidak
dapat diidentifikasi, maka diperlukan pemasangan tampon anterior dengan menggunakan
kapas atau kain kassa yang diberi vaselin atau salap antibiotik. Tampon ini dipertahankan
selama 3 4 hari dan kepada pasien diberikan antibiotik spektrum luas. Vaghela (2005)
menggunakan swimmers nose clip untuk penanggulangan epistaksis anterior.
B. Epistaksis Posterior
Perdarahan dari bagian posterior lebih sulit diatasi, sebab biasanya perdarahan hebat
dan sulit dicari sumber perdarahan dengan rinoskopi anterior. Epistaksis posterior dapat
diatasi dengan menggunakan tampon posterior, bolloon tamponade , ligasi arteri dan
embolisasi.
1. Tampon Posterior
Prosedur ini menimbulkan rasa nyeri dan memerlukan anestesi umum atau setidaknya
dengan anestesi lokal yang adekuat. Prinsipnya tampon dapat menutup koana dan terfiksasi di
nasofaring untuk menghindari mengalirnya darah ke nasofaring. Kemudian dilakukan
pemasangan tampon anterior. Tekhnik ini pertama sekali diperkenalkan oleh Bellocq, dengan
menggunakan tampon yang diikat dengan tiga pita (band). Masukkan kateter karet kecil
melalui hidung kedalam faring, kemudian ujungnya dipegang dengan cunam dan dikeluarkan
dari mulut agar dapat diikat pada kedua ujung pita yang telah disediakan. Kateter ditarik
kembali melalui rongga hidung sehingga tampon tertarik ke dalam koana melalui nasofaring.
Bantuan jari untuk memasukkan tampon kedalam nasofaring akan mempermudah tindakan
ini. Apabila masih tampak perdarahan keluar dari rongga hidung, maka dapat pula
dimasukkan tampon anterior ke dalam kavum nasi. Kedua pita yang keluar dari nares anterior
kemudian diikat pada sebuah gulungan kain kasa didepan lubang hidung, supaya tampon
yang terletak di nasofaring tidakbergerak. Pita yang terdapat di rongga mulut dilekatkan pada
pipi pasien. Gunanya untuk menarik tampon keluar melalui mulut setelah 2 3 hari.
2. Tampon Balon
3. Ligasi Arteri
Penanganan yang paling efektif untuk setiap jenis perdarahan adalah dengan meligasi
pembuluh darah yang ruptur pada bagian proksimal sumber perdarahan dengan segera. Tetapi
kenyataannya sulit untuk mengidentifikasi sumber perdarahan yang tepat pada epistaksis
yang berat atau persisten. Ada beberapa pendekatan ligasi arteri yang mensuplai darah ke
mukosa hidung.
Ligasi biasanya dilakukan tepat dibagian distal a. tiroid superior untuk melindungi
suplai darah ke tiroid dan memastikan ligasi arteri karotis eksterna. Tindakan ini dapat
dilakukan dibawah anestesi lokal. Dibuat insisi horizontal sekitar dua jari dibawah batas
mandibula yang menyilang pinggir anterior m. sternokleidomastoideus. Setelah flap
subplatisma dielevasi, m. sternokleidomastoideus di retraksi ke posterior dan diseksi
diteruskan ke arah bawah menuju selubung karotis. Lakukan identifikasi bifurkasio karotis
kemudian a. karotis eksterna dipisahkan. Dianjurkan untuk melakukan ligasi dibawah a.
faringeal asendens, terutama apabila epistaksisberasal dari bagian posterior hidung atau
nasofaring. Arteri karotis eksterna diligasi dengan benang 3/0 silk atau linen.
Perdarahan yang berasal dari bagian superior konka media paling baik diterapi dengan
ligasi a. etmoidalis anterior atau posterior, atau keduanya. Ligasi dilakukan pada tempat arteri
keluar melalui foramen etmoidalis anterior dan posterior yang berada pada
suturafrontoetmoid. Foramen etmoidalis anterior berada kira-kira 1,5 cm posterior dari krista
lakrimalis posterior. Foramen etmoidalis posterior berada hanya 4 - 7 mm. sebelah anterior n.
optikus.
Insisi etmoid eksterna dilakukan untuk mencapai daerah ini. Retraktor orbita
digunakan untuk meretraksi periostium orbita dan sakus lakrimalis. Diseksi dilakukan
disebelah posterior disepanjang garis sutura pada lamina subperiosteal. Dua klem arteri
diletakkan pada a. etmoidalis anterior, dan rongga hidung dievaluasi kembali. Jika perdarahan
berhenti, a. etmoidalis posterior tidak diganggu untuk menghindari trauma n. optikus. Tetapi
bila perdarahan persisten, a. etmoidalis posterior diidentifikasi dan diklem. Hidarkan
pemakaian kauter untuk menghindari trauma.
d. Angiografi dan Embolisasi
Komplikasi
Prognosis
Prognosis epistaksis bagus tetapi bervariasi. Dengan terapi yang adekuat dan kontrol
penyakit yang teratur, sebagian besar pasien tidak mengalami perdarahan ulang. Pada
beberapa penderita, epistaksis dapat sembuh spontan tanpa pengobatan. Hanya sedikit
penderita yang memerlukan pengobatan yang lebih agresif.
2.6 POLIP NASAL
Definisi
Massa lunak yang mengandung banyak cairan dalam rongga hidung, warna putih
keabuan, yang dapat terjadi akibat inflamasi mukosa
Kelainan mukosa hidung dan sinus paranasal terutama pada kompleks osteomeatal
(KOM) di meatus nasi medius berupa massa lunak yang bertangkai (tonjolan pada
jaringan permukaan mukosa), bentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabu-abuan
(bentuknya mirip dengan buah anggur bening lonjong bertangkai).
Etiologi : idiopatik
- Peradangan. Peradangan mukosa hidung dan sinus paranasal yang kronik dan
berulang.
Klasifikasi
Pada umumnya berasal dari permukaan dinding rongga tulang hidung bagian atas
(etmoid).
Gejala Klinis
Diagnosis
Anamnesis :
- Hidung tersumbat.
Gejala sekunder. Bila disertai kelainan jaringan & organ di sekitarnya seperti post
nasal drip, sakit kepala, nyeri muka, suara nasal (bindeng), telinga rasa penuh,
mendengkur, gangguan tidur
Rinoskopi anterior. Mudah melihat polip yang sudah masuk ke dalam rongga hidung.
Dengan pemeriksaan rhinoskopi anterior biasanya polip sudah dapat dilihat, polip
yang masif seringkali menciptakan kelainan pada hidung bagian luar.
Biopsi. Kita anjurkan jika terdapat massa unilateral pada pasien berusia lanjut,
menyerupai keganasan (mikros) dan erosi tulang ( foto polos rontgen ).
Grade
Grade 2 : Polip sudah keluar dari meatus media, tampak di rongga hidung tapi
belum menyebabkan obstruksi total
Tujuan utama pengobatan pada kasus polip nasi ialah menghilangkan keluhan-
keluhan yang dirasakan oleh pasien.
Kortikosteroid pada polip yang masih kecil dan belum memasuki rongga hidung.
Caranya bisa sistemik, intranasal atau kombinasi keduanya. Gunakan kortikosteroid
sistemik dosis tinggi dan dalam jangka waktu singkat.
Berikan antibiotik jika ada tanda infeksi. Berikan anti alergi jika pemicunya dianggap
alergi.
Untuk polip stadium 1 dan 2, sebaiknya diberikan kortikosteroid intranasal selama 4-6
minggu.
Bila reaksinya baik, pengobatan ini diteruskan sampai polip atau gejalanya hilang.
Bila reaksinya terbatas atau tidak ada perbaikan maka diberikan juga kortikosteroid
sistemik.
Polip dapat diberikan prednisolon dengan dosis total 570 mg yang dibagi dalam
beberapa dosis, yaitu 60 mg/hari selama 4 hari, kemudian dilakukan tapering off 5 mg
per hari.
Antibiotik sebagai terapi kombinasi pada polip hidung bisa kita berikan sebelum dan
sesudah operasi. Berikan antibiotik bila ada tanda infeksi dan untuk langkah
profilaksis pasca operasi.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Epistaksis adalah perdarahan yang terjadi pada hidung. Epistaksis dapat disebabkan
oleh berbagai macam hal, salah satunya sinusitis. Tiga prinsip utama dalam menanggulangi
epistaksis yaitu menghentikan perdarahan, mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya
epistaksis.
Sedangkan sinusitis adalah peradangan yang terjadi pada rongga sinus, biasanya
disebabkan oleh mikroorganisme baik bakteri, virus, ataupun jamur. Sinusitis dapat
didiagnosis dengan anamnesis, pemeriksaan fisik (rhinoskopi) dan pemeriksaan penunjang
(CT-Scan). Tujuan utama penatalaksanaan sinusitis yaitu mempercepat penyembuhan,
mencegah komplikasi, dan mencegah perubahan menjadi kronis. Terapi yang diberikan bisa
dengan pemberian obat-obatan tergantung kausanya.
3.2 SARAN
Dibutuhkan penelitian lebih lanjut mengenai epistaksis dan sinusitis, dengan harapan
untuk bisa mengetahui obat-obatan dan cara yang lebih efektif untuk mengatasi penyakit
tersebut. Dokter perlu memberikan penjelasan terhadap pasien mengenai epistaksis dan
sinusitis, mulai dari apa itu epistaksis dan sinusitis sampai cara penanganannya. Selain itu,
dokter juga perlu melakukan edukasi kepada pasien tentang bagaimana cara pemakaian obat
agar pemakaian obat dapat lebih efisien.
DAFTAR PUSTAKA
Adams, George L. Boies, Lawrence R. Higler, Peter A. 1997. Boies : Buku Ajar Penyakit
THT. Ed.6. Jakarta : EGC
Soepardi, Efiaty Arsyad. Iskandar, Nurbaiti. 2006. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga-
Hidung-Tenggorok Kepala Leher. Jakarta : Balai Penerbit FKUI