Anda di halaman 1dari 23

TINJAUAN PUSTAKA

TRAUMA VASKULER
PERIFER
(EKSTREMITAS)

Disusun Oleh

dr. M. Hidayat Budi Kusumo

BAGIAN BEDAH THORAKS VASKULAR


UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
STASE JUNI 2013
DAFTAR ISI

1. Daftar Isi .. 1
..
2. BAB I. Pendahuluan .. 2
..
3. BAB II. Trauma Arteri .. 4
4. 14
BAB III. Manajemen Trauma Arteri ...

Daftar Pustaka

1
BAB I
PENDAHULUAN

Sekitar 90% dari Cedera arteri perifer terjadi pada ekstremitas.


Sebagian besar cedera arteri sipil pada ekstremitas atas, cedera
ekstremitas bawah sering pada perang. Pada Perang Dunia II, cedera
arteri ekstremitas sering dilakukan ligasi, sehingga pada cedera arteri
poplitea memiliki tingkat amputasi adalah 73%. Hughes melakukan
perbaikan cedera arteri perifer pada Perang Korea. Rich melaporkan
perbaikan cedera arteri pada Perang Vietnam, menurunkan angka
amputasi cedera arteri poplitea menjadi 32% dan dalam dekade
berikutnya dapat mengurangi kehilangan ekstremitas pada keadaan
sipil menjadi kurang dari 10% sampai 15%. Namun, cacat jangka
panjang, Terutama yang berhubungan dengan cedera tulang dan saraf,
dapat dijumpai 20% sampai 50% pasien.

2
BAB II
TRAUMA ARTERI

MEKANISME CEDERA
Akibat awal dan akhir cedera vaskular tergantung besar agen
yang melukai atau mekanisme cedera. Menentukan mekanisme
cedera, baik trauma tumpul,trauma tembus-kecepatan tinggi maupun
rendah merupakan hal yang paling penting sehingga ahli bedah dapat
dengan tepat menentukan diagnostik dan manajemen yang tepat.
Cedera arteri perifer saat ini paling sering diakibatkan trauma tembus
oleh luka tembak di 64%, luka pisau di 24%, dan ledakan senapan di
12%.
Cedera akibat senjata api berkecepatan tinggi menghasilkan
energi ke jaringan sekitar, atau fragmentasi proyektil atau tulang, dan
efek ledakan yang menyebabkan cedera vaskuler. Penelitian
eksperimental telah Menunjukkan korelasi positif antara kecepatan
moncong dan Luas mikroskopis dan "panjang" atau kerusakan pada
dinding pembuluh darah. Dalam banyak hal, luka tesis meniru rendah
cedera senapan kecepatan dalam kombinasi menghancurkan mereka
dari cedera jaringan penetrasi dan tumpul.
Kecelakaan kendaraan bermotor dan jatuh dari ketinggian
merupakan penyebab cedera tumpul dan meningkat seiring
meningkatnya mobilitas masyarakat modern. Morbiditas cedera
vaskular tumpul dapat diperbesar dengan fraktur, dislokasi, dan
kerusakan otot dan saraf yang terjadi.

PATHOFISIOLOGI
Trauma pada arteri dapat tumpul maupun tajam. Pada trauma
tumpul terjadi peregangan arteri sehingga terjadi disrupsi tunika intima
atau sampai media sehingga tersisa tunika externa yang berisiko tinggi

3
untuk terbentuk trombus. Jika tidak terjadi oklusi dapat terbentuk
intimal flap, pseudoaneurisma pada cedera arteri parsial atau AV
fistula. Intimal flap dapat progresi terbentuk trombus.

Kerusakan vaskuler akibat trauma ini bervariasi, dapat terjadi


laserasi, transeksi, kontusi sederhana maupun disertai komplikasi
(spasme, intimal flap, aneurisma, hematom subintimal), AV fistula, dan
pseudoaneurism dengan konsekuensi klinis yang berbeda-beda.
Laserasi dan transeksi merupakan komplikasi paling sering terjadi
berkisar antara 80-85%.
Trauma tembus (penetraning trauma) dapat terjadi transeksi
total, sehingga terbentuk trombosis akibat spasme. Pada transeksi
parsial, meskipun terjadi kontraksi dan spasme akan tetapi tidak
adekuat, sehingga perdarahan akan tetap berlanjut, meskipun pada
awalnya perdarahan telah terkontrol, perdarahan kembali dapat terjadi
setelah resusitasi akibat peningkatan tekanan arteri.

4
Tipe Cedera Presentasi Klinis
Laserasi parsial Pulsasi lemah, hematoma, perdarahan

Transeksi Pulsasi distal hilang, iskemia

Kontusi Normal pada awalnya progress menjadi


trombosis

Pseudoaneurima atau AV Normal pada awalnya bruit/thrill, pulsasi


fistula lemah

Kompresi external Pulsasi lemah, setelah reposisi menjadi


normal

Gambaran klinis yang dapat dijumpai pada trauma arteri adalah


(1) perdarahan eksternal, (2) iskemia, (3) hematom pulsatil, (4)
perdarahan disertai tanda syok.

5
Perdarahan eksternal merupakan temuan yang sangat jarang
dan sering diakibatkan oleh luka tembak kecepatan tinggi dan terjadi
kerusakan jaringan lunak luas sehingga efek tamponade jaringan tidak
ada.
Akut iskemia merupakan temuan paling sering, akibat luka
tusuk, luka tembak kecepatan rendah, trauma tumpul (fraktur atau
dislokasi). Tanda klinis iskemia akut, antara lain: rest pain, parestesi,
paralisis, pale (pucat) dan poikilotermi. Iskemi otot 4-6 jam tanpa aliran
darah masih dapat reversibel, akan tetapi saraf jauh lebih sensitif
terhadap kondisi iskemi. Dengan kembalinya aliran darah dapat terjadi
cedera reperfusi akibat terlepasnya mediator inflamasi dan reactive
oxygen species (ROS) dan menyebabkan cedera paru akut atau gagal
ginjal. Disamping itu iskemi lama pada otot dapat menyebabkan
rhabdomyolisis dan terlepasnya kalium dan myoglobulin ke sistemik.
Pseudoaneurisma atau AV fistula dicurigai jika ditemukan trauma
tembus dengan hematom pulsatil disertai dengan bruit atau thrill.
Pseudoaneurism membesar perlahan dan menimbulkan gejala lokal
berupa nyeri, kompresi saraf, trombosis atau embolisasi.
Pesudoaneurisma kecil (<2 mm) dapat mengalami resolusi spontan.
AV fistula dapat membesar perlahan dan menyebabkan edema
lokal dan stasis vena. Jika AV fistula ini membesar dapat menyebabkan
gagal jantung kongestif.

KLASIFIKASI
Menurut Vollmar, trauma arteri dikasifikasikan seperti dibawah:
1) TRAUMA LANGSUNG
a) Trauma Tajam
i) Laserasi, luka tusuk, luka tembak
ii) Trauma iatrogenik (tindakan angiografi, operasi, injeksi intra
arteri)
Mekanisme terjadinya trauma arteri jenis ini adalah selalu dari
luar atau tunika eksterna ke dalam (tunika intima).

6
Menurut F. Linder dan J. Vollmar, terdapat tiga jenis derajat
kerusakan arteri (Vollmar, 1980)
Derajat I: Perlukaan tunika eksterna dan mungkin tunika media
dinding pembuluh darah dimana lumen tetap utuh atau tidak
terjadi kebocoran. Secara klinis tidak didapatkan perdarahan
ataupun tanda-tanda iskemik perifer, tetapi trauma derajat ini
dapat berbahaya jika terjadi ruptur sekunder dinding pembuluh
darah, dimana akan timbul
aneurisma traumatika
Derajat II: Luka tusuk atau iris
yang menembus lumen arteri tanpa
memotong seluruh dinding
pembuluh darah. Secara klinis akan
terjadi perdarahan arteri yang
hebat dan mungkin didapatkan
tanda-tanda iskemik perifer.

7
Derajat III: Luka arteri yang secara sempurna memisahkan
dinding pembuluh darah. Pada trauma derajat ini akan terjadi
penghentian perdarahan secara spontan akibat dari kontraksi
dinding arteri jika yang mengalami trauma adalah arteri yang
seukuran dengan arteri brachialis atau arteri femoralis atau
diameternya < 8 mm.
Perlukaan arteri karena trauma langsung memiliki 3
karakteristik:
1. Luka luar berhubungan langsung secara topografi dengan
arteri
2. Terdapat tanda-tanda perdarahan arteri, kecuali derajat I
dan kadang-kadang derajat III

8
3. Letak perlukaan arteri pada umumnya jelas dan sering
dapat direparasi dengan penjahitan langsung tanpa
transplantasi vaskular.
b) Trauma Tumpul
Berdasarkan penyebabnya dibagi menjadi 3:
i) Kontusi (Trombosis)
ii) Kompresi (Hematoma, patah tulang)
iii) Konstriksi (Terjerat)
Mekanisme dari kerusakan dinding arteri karena trauma tumpul
langsung berlawanan arah dengan trauma tajam langsung yaitu
dari dalam ke luar dinding pembuluh darah atau dari tunika
intima ke tunika eksterna.
Menurut Sencert, 1965, terdapat 3 jenis derajat kerusakan arteri
(Vollmar,1980).
Derajat I : Robeknya tunika
intima atau lapisan dalam
dinding arteri. Secara klinis
tidak terdapat perdarahan
dan obstruksi dari aliran
darah sehingga tidak
terdapat tanda iskemik
perifer. Robeknya tunika
intima terutama pada arteri
kecil mungkin dapat
menimbulkan thrombosis arteri akut atau subakut. Pada robekan
intima yang dapat terjadi flap valvular di dalam lumen dan
berakibat obstruksi arteri serta tanda-tanda iskhemik perifer.
Bila hal ini terjadi pada arteri besar mungkin dapat sembuh
spontan.
Derajat II : Kerusakan dinding arteri pada tunika intima dan
media. Secara klinis tidak terdapat tanda-tanda kehilangan
darah tetapi untuk jangka panjang dapat menimbulkan

9
aneurisma pada arteri di daerah pelvis atau terjadi
thrombosis pada dinding arteri.
Derajat III : Merupakan kerusakan dinding arteri terberat
berupa perobekan total dari dinding arteri dan tepi dari tunika
intima maupun media mengalami retraksi lapisan beberapa cm,
sedangkan tunika adventitia yang menutupinya tetap
utuh. Dari luar tampak bentukan Hourglass dan jangan
dikelirukan dengan bagian dari spame arteri. Secara klinik dapat
terjadi thrombosis spontan dan memberikan gejala oklusi arteri
akut. Pada aorta dan cabang-cabang yang besar tidak terjadi
obstruksi tetapi sering menimbulkan perdarahan. Mekanisme
selanjutnya dapat terjadi hematoma sub adventitia dan berakhir
dengan ruptur dari tunika adventitia.
Gambaran umum trauma tumpul sebagai berikut :
1. Sering tidak terdapat luka di kulit.
2. Tanda obstruksi arteri akut dengan iskaemik perifer
merupakan tanda klinis utama.
3. Diagnosis sering merupakan komplikasi gabungan
trauma lain terutama patah tulang.
4. Dibandingkan trauma tajam, maka kerusakan dinding
arteri karena trauma tumpul lebih luas dan jarang bisa
dikoreksi dengan jahit langsung, umumnya memerlukan
graft.

2) TRAUMA TIDAK LANGSUNG


Termasuk di dalamnya adalah spasma arteri, perlukaan arteri
karena peregangan
maupun deselerasi (pada aorta thoracalis)
a) Spasme arteri
Spasme arteri traumatik adalah kejang pembuluh darah arteri
setempat atau kontraksi otot media setempat, yang disebabkan
oleh trauma mekanis walaupun arteri tersebut utuh. Kebanyakan
mengenai arteri di daerah ekstremitas dan pada umumnya

10
terjadi resolusi spontan dalam waktu 24-48 jam pada sekmen
miogenik yang spasma. Jarang diikuti oleh kerusakan jaringan
karena iskaemik. Tanda-tanda klinis khusus berupa rasa dingin
sementara, pucat, dan pulsasi hilang pada ekstremitas yang
terkena. Pada umumnya terjadi segera atau kadang-kadang
terlambat dan menetap untuk beberapa jam atau hari. Beberapa
penyebab antara lain tindakan arteriografi dan manipulasi saat
operasi, juga karena kompresi arteri oleh hematoma atau
segmen tulang patah atau robeknya dinding pembuluh darah.
Pada kesempatan yang lain, spasme arteri terjadi karena
vasokonstriksi perifer sebagai reaksi umum dari perubahan
sistem kardiovaskular yang diakibatkan oleh syok. Diagnosis
spasme arteri harus dilakukan secara hati-hati hanya dengan
menyingkirkan lesi vaskular organik oleh arteriografi atau
eksplorasi bedah.
Terapi spasme arteri berupa :
1. Aplikasi lokal solusio 2,5 5 % papaverine sulfate
2. Dilatasi mekanis dengan injeksi NaCl 0,9 % intra arteri
dengan tekanan atau baloon fogarty
3. Blok simpatis atau injeksi intra arteri obat anti spasmodik
b) Perlukaan arteri karena peregangan
Kejadian trauma vaskular tidak langsung karena peregangan
jarang terjadi, kebanyakan berhubungan dengan dislokasi sendi
besar seperti sendi bahu, pelvis dan lutut atau pada pemisahan
segmen patah tulang yang berat. Mekanisme perlukaan dinding
arteri berupa robeknya lapisan pipa intima sementara pembuluh
arteri masih dilindungi oleh materi adventitia seperti
pseudoplasma. Kerusakan dinding arteri sering luas atau
multifokal dan harus dilakukan operasi eksplorasi dengan loop
endarteriektomi atau arteriografi intra peratif. Tindakan bedah
pada umumnya dilakukan rekonstruksi pembuluh darah dengan
graft interposisi.

11
DIAGNOSIS
PEMERIKSAAN FISIK
Presentasi klinis cedera ekstremitas bervariasi. Sebagian kecil
pasien dengan hard sign. Pada pasien dengan tanda-tanda cedera
arteri yang jelas, eksplorasi pembedahan segera, tanpa diagnostik
lebih lanjut, dapat dikerjakan. Jika diperlukan arteriografi, arteriografi
intraoperatif dapat dilakukan untuk mengidentifikasi lokasi dan luas
cedera.

HARD SIGNS SOFT SIGNS


Perdarahan pulsatil Riwayat perdarahan
Thrill Gangguan neurologis
Bruit Penurunan pulsasi dibandingkan sisi
Distal pulsasi absen kontralateral
Expanding Berdekatan dengan cedera tulang / luka
hematoma tembus

Sebagian besar cedera arteri secara klinis sulit terdiagnosis


(tersembunyi/occult). Pada awalnya, kerusakan jaringan lunak akibat
perang yang dekat dengan bundel neurovaskular rutin dilakukan
eksplorasi. Ketika diterapkan pada kasus sipil, sebagian besar kasus
tidak ditemukan kelainan vaskuler hingga 84% dan pasien-pasien ini
telah menjalani operasi nontherapeutic dan mengakibatkan morbiditas
tambahan.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Doppler indeks dan Arteriografi
Arteriografi merupakan gold standard untuk pemeriksaan
penunjang vaskuler di sebagian besar pusat trauma, modalitas
diagnostik ini menggantikan eksplorasi luka tembus ekstremitas.
Arteriogram normal (90%) dapat dijumpai jika tidak ditemukan tanda
khas. Selain itu, arteriograms invasif dan nefrotoksik akibat media
kontras.

12
Beberapa studi telah mendokumentasikan bahwa arteriografi
selektif lebih sesuai dan aman bagi pasien yang diduga mengalami
cedera arteri ekstremitas. Pasien dengan satu atau lebih temuan
abnormal pada pemeriksaan fisik, 30% cedera arteri teridentifikasi oleh
arteriografi, sedangkan hanya 11% kelainan ringan jika tidak ada
kelaianan pada pemeriksaan fisik. Sebuah studi lanjutan menyatakan
penderita dengan cedera arteri besar pada arteriografi terjadi defisit
pulsasi atau ABI bawah 1.
Pada trauma tumpul ekstremitas, arteriografi dilakukan dapat
dilakukan jika ditemui defisit pulsasi atau penurunan capillary refill .
Trauma tumpul pada pasien dengan dislokasi lutut, 23% cedera
a. poplitea secara arteriografi, terjadi pulsasi a. dorsalis pedis yang
abnormal (sensitivitas 85% dan spesifisitas 93%), bahkan diperlukan
intervensi. Pemeriksan ABI memiliki sensitivitas 87% dan spesifisitas
97%.

13
Color-Flow Duplex Ultrasonography
Color-flow duplex (CFD) ultrasonography dapat digunakan
sebagai penunjang tambahan atau pengganti arteriography. CFD
memiliki kelebihan noninvasive dan tidak nyeri, portable, dan
memungkinkan untuk dilakukan pemeriksaan follow-up tanpa
morbiditas dan relatif murah. Akan tetapi CFD memiliki kelemahan,
yaitu sangat operator dependent.

Computed Tomographic Angiography (CTA)


CTA memiliki keunggulan berupa pemeriksaan secara simultan
struktur tubuh dan lokasi disekitarnya dengan single examination.
Beberapa pusat trauma melaporkan kegunaan CTA tidak hanya untuk
diagnosis cedera vaskular ekstremitas, tetapi juga untuk perencanaan
operasi, akan tetapi jika akan dilakukan intervensi endovascular perlu
dipertimbangkan mengenai penggunaan kontras.

14
BAB III
MANAJEMEN CEDERA ARTERI

Manajemen Nonoperative
Manajemen cedera arteri minimal, nonocclusive, asimtomatik
yang terdeteksi oleh arteriografi masih kontroversial. Beberapa ahli
bedah bersikeras semua cedera arteri yang terdeteksi harus diperbaiki,
sedangkan beberapa melakukan pendekatan nonoperative apabila
dijumpai kriteria klinis dan radiologis, berupa:
1. Cedera kecepatan rendah,
2. Disrupsi dinding minimal (<5 mm) pada kerusakan intima dan
pseudoaneurysm,
3. Sirkulasi distal baik, dan
4. Tidak ada perdarahan aktif.
Bila pendekatan nonoperatif dipilih, follow-up pencitraan
pembuluh darah dilakukan untuk evaluasi penyembuhan atau
stabilisasi dan biasanya mengalami resolusi spontan dalam 12 minggu.

Endovaskular
Selain untuk diagnosis, dengan munculnya perangkat
endovascular baru, angiografi dapat digunakan untuk terapi cedera
vaskular dari rekonstruksi vaskular dengan stent atau untuk
mengontrol perdarahan dengan embolisasi koil. Endovascular bisa

15
digunakan sebagai jembatan untuk terapi definitif setelah pasien pulih
dari cedera lainnya

Embolisasi Transcatheter
Transcatheter embolisasi dengan kumparan atau agen
hemostatik dapat digunakan pada beberapa cedera arteri, seperti
fistula arteriovenosa aliran rendah, pseudoaneurisma, dan perdarahan
aktif arteri terutama pada area yang sulit. Kumparan berguna untuk
oklusi perdarahan dan fistula arteriovenosa.

Endografts
Pendekatan endovascular yang lain pada cedera ekstremitas
menggunakan teknologi endograft. Dengan menggabungkan perangkat
fiksasi seperti stent dengan graft, yang digunakan untuk memperbaiki
pseudoaneurisma atau fistula arteriovenosa besar. Kelemahan
intervensi endovascular berhubungan dengan endografts yang
digunakan yang dapat terjadi migrasi, endoleak, atau in-stent stenosis.

MANAJEMEN OPERATIF
Prinsip Umum
Antibiotik preoperatif untuk gram-positif diberikan sebelum
membuat sayatan kulit. Pada pasien dengan cedera tulang, juga
diberikan untuk organisme gram negatif. Mengantisipasi kebutuhan
untuk angiogram intraoperatif atau manipulasi tulang, digunakan meja
operasi yang kompatibel untuk fluoroskop. Seluruh ekstremitas yang
cedera dipersiapkan sampai proksimal yang memadai jika diperlukan
revaskularisasi. Selain itu, ekstremitas sehat juga dimasukkan dalam
bidang operasi jika dipperlukan vena autogenous graft. Pada
kebanyakan kasus, pengambilan graft vena dari ekstremitas yang
cedera harus dihindari karena dapat terjadi juga cedera vena dan
berpotensi pembengkakan yang memburuk pasca-operasi.
Tujuan awal intervensi operasi dalah mendapatkan kontrol
proksimal, terutama kasus pendarahan. Sayatan ekstremitas dibuat

16
secara longitudinal, langsung di atas vasa yang luka, dan diperpanjang
ke proksimal atau distal jika diperlukan. Kontrol arteri proksimal dan
distal harus ditemukan sebelum eksplorasi. Jika kontrol proksimal tidak
ditemukan, seperti pada aksila dan subklavia, oklusi endoluminal
sementara dengan balon arteri dengan bantuan fluoroscopi. Pneumatik
tourniquet proksimal cedera dapat membantu meminimalkan
kehilangan darah.
Setelah kontrol didapatkan, dilakukan evaluasi derajat cedera
arteri, vena, saraf dan kerusakan jaringan. Debridement adalah kunci
keberhasilan untuk memperolah outcome yang baik. Cedera tumpul
atau tajam, kerusakan intima dapat melebihi area cedera. Evakuasi
trombus dengan Fogarty, baik proksimal dan distal cedera arteridapat
dilakukan. Sebaiknya jangan overinflate, untuk meminimalkan
kerusakan lapisan endotel dan spasme arteri atau menimbulkan
trombosis baru. Spoel proksimal dan distal lumen arteri dengan larutan
salin-heparin. Heparinisasi sistemik, untuk cedera a. poplitea,
membantu mencegah trombosis jika tidak ada kontraindikasi.

Shunts intraluminal
Shunting intraluminal temporer dapat dilakukan pada cedera
ekstremitas iskemik yang prosedur revaskularisasinya tertunda karena
akan dilakukan fiksasi fraktur, cedera jaringan lunak yang kompleks,
atau cedera yang mengancam jiwa. Teknik ini memulihkan perfusi
ekstremitas dini yang dapat mengurangi kemungkinan kerusakan
iskemik dan trombosis distal. Debridement, fasciotomy, fiksasi fraktur,
neurorrhaphy, atau perbaikan vena dapat dikerjakan, sebelum
rekonstruksi arteri. Penggunaan shunt intraluminal arteri dan vena
dapat mengurangi kemungkinan fasciotomy dan tingkat amputasi.
Oklusi dini terjdi jika terdapat gangguan aliran vena sebelum dilakukan
shunt. Sindrom kompartemen yang tidak ditangani setelah shunting
arteri dapat menyebabkan oklusi shunt, sehingga fasciotomi profilaksis
atau pemantauan kompartemen ketat perlu dilakukan, jika iskemia

17
sudah lama terjadi sebelum dilakukan shunt. Angulasi atau loop shunt
dapat meningkatkan resistensi aliran dan menimbulkan trombosis.

Perbaikan Arteri
Golden periode untuk repair arteri dengan iskemia hangat (warm
ischemia) adalah kurang dari 6 jam untuk mencegah kerusakan
permanen jaringan, akan tetapi interval ini juga dipengaruhi oleh
beberapa faktor, antara lain: tinggi letak cedera, kelainan vaskular
sebelumnya, patensi kolateral, dan operasi ekstremitas sebelumnya.

18
Pemilihan jenis perbaikan arteri ditentukan berdasarkan derajat
kerusakan arteri. Perbaikan kerusakan arteri dapat dilakukan dengan
lateral suture patch angioplasty, end-to-end anastomosis, interposition
graft, atau, jika terdapat kerusakan arteri/jaringan lunak yang
ekstensive dapat dilakukan bypass graft. Cangkokan vena autogenous
dapat digunakan untuk memperbaiki cedera arteri. Bahan cangkok
prostetik, expanded polytetrafluoroethylene (ePTFE) juga dapat
digunakan sebagai pengganti cangkok autogenous.
Anastomosis arteri distal yang berada pada atau di bawah
poplitea, kegagalan yang terjadi sering pada penderita dengan ePTFE
terutama jika penyebabnya adalah trauma tumpul dan sering berakhir
dengan amputasi. Faktor risiko amputasi paska perbaikan arteri: graft
bypass oklusi, cedera kombinasi pada atas dan bawah lutut,
kompartemen tegang, transeksi arteri, dan berhubungan dengan
fraktur. Vena saphena magna dari ekstremitas yang sehat merupakan
bahan graft yang paling baik, kecuali jika vena autogenous tidak
memadai atau tidak tersedia, baru dipikirkan untuk menggunakan
ePTFE.

19
KOMPLIKASI
Reperfusion Injury
Segera setelah reperfusi ekstremitas merupakan faktor penentu
penting keberhasilan penanganan paska cedera. Saat reperfusi, radikal
bebas dihasilkan mengganggu enzim superoxide dismutase, glutation
peroksidase, katalase dan, mengakibatkan cedera sel dan kematian.
Secara klinis, dapat ditemukan edema otot cepat dan nekrosis
pada kompartemen yang tegang. Secara eksperimental pemberian
superoksida dismutase, katalase, manitol, dan allopurinol dapat
menghambat proses patogenesis ini dan mencegah cedera reperfusi.
Pemberian heparin sebelum reperfusi ekstremitas iskemik juga
dapat mengurangi risiko cedera reperfusi, efek menguntungkan
meliputi pencegahan trombosis distal dan kolateral. Kejadian amputasi
secara signifikan lebih tinggi pada pasien yang tidak menerima
antikoagulan perioperatif, sehingga seorang ahli bedah harus waspada
efek dari cedera reperfusi, dan pemberian infus manitol atau heparin
sistemik harus dipertimbangkan sebelum melakukan reperfusi tungkai

20
iskemik. Manifestasi klinis hipertensi kompartemen pada cedera
reperfusi, harus ditangani secara agresif.

Sindrom Kompartemen
Sindrom kompartemen merupakan manifestasi klinis yang sering
dijumpai pada cedera reperfusi paska cedera ekstremitas traumatis.
Potensi terjadinya sindrom kompartemen tergantung pada vasa yang
cedera, waktu dari cedera sampai perbaikan arteri, serta kerusakan
vena, tulang, dan cedera jaringan lunak. Insiden sindrom kompartemen
dan kebutuhan untuk fasciotomy paska trauma ekstremitas meningkat
jika terjadi oklusi arteri poplitea, dan waktu dari cedera sampai
perbaikan arteri > 6 jam.

DAFTAR PUSTAKA

1. Coimbra R, dan Hoyt DB. Vascular Trauma. Dalam:


Cronenwett JL, Johnston KW, Cambria RP, Gloviczki P,
Messina LM, Mills Sr JL, et al. eds. Rutherford's vascular
surgery, 7th ed, Elsevier, 2010
2. Vogel, TR, dan Jurkovich, GJ. Injuries to The Peripheral
Blood Vessels. Dalam: Souba WW, Fink, Jurkovich GJ,

21
Kaiser, Pearce, Pemberton et.al. eds. ACS Surgery:
Principles and Practice, 5ed, WebMD, 2005. Hal: 1-13
3. Frykberg ER dan Schinco MA. Peripheral Vascular Injury.
Dalam: Feliciano DV, Mattox KL, dan Ernest EM. eds.
Trauma, 6ed. McGraw-Hill, 2008
4. Lopez PP, dan Ginzberg E. Vascular Trauma. Dalam:
Norton JA, Barie PS, Bollinger RR, Chang AE, Lowry SF,
Mulvihill SJ, et.al. eds. Surgery - Basic Science and
Clinical Evidence, 2ed, Springer, NY, 2008. Hal: 521-44
5. Hobson II RW, Wilson SE, dan Veith F eds. Vascular
Surgery-Principles and Practice, 3ed, Marcel Dekker, New
York, 2004
6. John Benjamin Murphy (1857-1916): An American Surgical
Phenomenon. SURG INNOV March 2006 13: 1-3
7. Friedman, David M. The Immortalists: Charles Lindbergh,
Dr. Alexis Carrel, and Their Daring Quest to Live Forever.
HarperCollins, New York, 2007.

22

Anda mungkin juga menyukai