Anda di halaman 1dari 28

SISTEM IMUNITAS & HEMATOLOGI

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN RHEUMATOID


ARTHRITIS

Ns. Argitya Righo, S.Kep

DISUSUN OLEH :

1. Muthia Nanda Sari I1032141001 9. Lily Seftiani I1032141021


2. Siska Putri Utami I1032141007 10. Syahroni I1032141023
3. Avelintina B.C I1032141008 11. Deviliani I1032141026
4. Aulia Safitri I1032141010 12. Iqbal Hambali I1032141032
5. Yossy Claudia E I1032141011 13. Rima Putri A I1032141043
6. Jansen Pangkawira I1032141013 14. Zalina
7. Makhyarotil A I1032141015
8. Nur Indah W 1032141016

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS TANJUNGPURA PONTIANAK

2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul Asuhan Keperawatan Klien dengan Rheumatoid Arthritis.

Adapun penyusunan makalah ini merupakan salah satu bentuk tugas terstruktur pada
mata kuliah Sistem Imunitas & Hematologi. Dalam kesempatan ini, penyusun mengucapkan
terimakasih kepada

1. Bapak Ns. Argitya Righo, S.Kep selaku dosen pembimbing yang telah membimbing kami
dalam penyusunan makalah ini.

2. Teman-teman anggota kelompok yang telah berkerja sama untuk menyelesaikan makalah
ini, serta semua pihak yang telah turut membantu, memberikan bimbingan, serta
memberikan motivasi kepada penyusun sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan
baik.

Penyusun sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu,
penyusun mengharapkan saran dan kritik yang membangun agar makalah ini lebih baik lagi.
Semoga makalah ini dapat menjadi sarana belajar dan bermanfaat bagi masyarakat pada
umumnya dan khususnya bagi pembaca.

Pontianak, Maret 2017

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

3. 1. Latar Belakang
Keberhasilan pembangunan suatu Negara merupakan harapan semua bangsa.
Hal ini dapat terlihat dari peningkatan taraf hidup dan perhatian kesehatan
masyarakat. Namun peningkatan-peningkatan taraf hidup dan perhatian kesehatan
masyarakat dapat mengakibatkan terjadinya transisi epidemiologi dalam bidang
kesehatan akibat meningkatnya jumlah angka kesakitan karena penyakit degenerative,
seperti penyakit rheumatic.
Menurut Arthritis Foundation (2015), sebanyak 22% atau lebih dari 50 juta
orang dewasa di Amerika Serikat berusia 18 tahun atau lebih didiagnosa arthritis. Dari
data tersebut, sekitar 3% atau 1,5 juta orang dewasa mengalami RA (Arthritis
Foundation, 2015). RA terjadi pada 0,5-1% populasi orang dewasa di negara maju
(Choy, 2012). Prevalensi RA di Indonesia menurut hasil penelitian yang dilakukan
oleh Nainggolan (2010), jumlah penderita RA di Indonedsia tahun 2009 adalah 23,6%
sampai 31,3%.
Penyakit rheumatoid arthritis (RA) merupakan salah satu penyakit autoimun
berupa inflamasi arthritis pada pasien dewasa (Singh et al., 2015). Gangguan yang
terjadi pada pasien rheumatoid arthritis lebih besar kemungkinannya untuk terjadi
pada suatu waktu tertentu dalam kehidupan pasien. Rheumatoid arthritis dapat
mengancam jiwa pasien atau hanya menimbulkan gangguan kenyamanan, dan
masalah yang disebabkan oleh penyakit rheumatoid arthritis tidak hanya berupa
keterbatasan yang tampak jelas pada mobilitas dan aktivitas hidup sehari-hari tetapi
juga efek sistemik yang tidak jelas yang dapat menimbulkan kegagalan organ atau
mengakibatkan masalah seperti rasa nyeri, keadaan mudah lelah, perubahan citra diri
serta gangguan tidur. Lebih lanjut awitan keadaan ini bersifat akut dan perjalanan
penyakitnya dapat ditandai oleh periode remisi (suatu periode ketika gejala penyakit
berkurang atau tidak terdapat) dan eksaserbasi (suatu periode ketika gejala penyakit
terjadi atau bertambah berat). Bertambah beratnya gejala penyakit rheumatoid arthritis
sehingga mengakibatkan terjadi perubahan aktivitas pada pasien (Smeltzer & Bare,
2002)
Penyakit rheumatik yang disebut artritis (radang sendi). Dalam ilmu kesehatan
radang sendi ini di kenal dengan Rheumatoid arthritis. Rheumatoid arthritis
merupakan penyakit kronis yang menyebabkan nyeri, kekakuan, pembengkakan dan
keterbatasan gerak serta fungsi dari banyak sendi. Rheumatoid arthritis dapat
mempengaruhi sendi apapun, Sendi-sendi kecil di tangan dan kaki cenderung paling
sering terlibat. Pada rheumatoid arthritis kekakuan paling sering terburuk di pagi hari.
Hal ini dapat berlangsung satu sampai dua jam atau bahkan sepanjang hari (Panji,
2015).
Hal yang terburuk pada penderita rheumatoid arthritis adalah pengaruh
negatifnya terhadap kualitas kehidupan. Bahkan kasus rheumatoid arthritis yang tidak
begitu parah pun dapat menghilangkan kemampuan seseorang untuk produktif dan
fungsional seutuhnya. Rheumatoid arthritis dapat mengakibatkan tidak mampu
melakukan aktivitas sehari-hari seutuhnya (Gordon, 2002)
3. 2. Rumusan Masalah
a. Apa definisi rheumatoid arthritis?
b. Bagaimana epidemiologi rheumatoid arthritis?
c. Bagaimana stadium rheumatoid arthritis?
d. Apa etiologi rheumatoid arthritis?
e. Bagaimana faktor resiko rheumatoid arthritis?
f. Bagaimana patofisiologi rheumatoid arthritis?
g. Bagaimana manifestasi klinis rheumatoid arthritis?
h. Bagaimana pemeriksaan penunjang pada rheumatoid arthritis?
i. Bagaimana penatalaksanaan rheumatoid arthritis?
j. Apa komplikasi rheumatoid arthritis?
k. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien rheumatoid arthritis?
3. 3. Tujuan
a. Mengetahui definisi rheumatoid arthritis
b. Mengetahui epidemiologi rheumatoid arthritis
c. Mengetahui stadium rheumatoid arthritis
d. Mengetahui etiologi rheumatoid arthritis
e. Mengetahui faktor resiko rheumatoid arthritis
f. Mengetahui patofisiologi rheumatoid arthritis
g. Mengetahui manifestasi klinis rheumatoid arthritis
h. Mengetahui pemeriksaan penunjang pada rheumatoid arthritis
i. Mengetahui penatalaksanaan rheumatoid arthritis
j. Mengetahui komplikasi rheumatoid arthritis

BAB II
TINJAUAN TEORI

2. 1. Definisi
Artritis rheumatoid adalah penyakit sistemik yang mengenai banyak organ
tubuh ditandai terutama oleh destruksi synovial proliferative dari banyak sendi.
Sinovium proliferative yang menghancurkan kartilago artikularis disebut pannus dan
secara radiografi terjadi osteopenia periartikularis dan penyempitan rongga sendi
konsentrik. 90% dari pasien rheumatoid mempunyai faktor anti-gamma-globulin,
disebut faktor rheumatoid diukur dengan tes fiksasi lateks. (Schwartz, 2000)
Artritis Reumatoid atau Rheumatoid arthritis (RA) adalah penyakit autoimun
sistemik. RA merupakan salah satu kelainan multisistem yang etiologinya belum
diketahui secara pasti dan dikarateristikkan dengan destruksi sinovitis. Penyakit ini
merupakan peradangan sistemik yang paling umum ditandai dengan keterlibatan sendi
yang simetris (Panji, 2015)
Rheumatoid arthritis (RA) merupakan penyakit reumatik autoimun dengan
proses peradangan menahun yang tersebar diseluruh tubuh, mencakup keterlibatan
sendi dan berbagai organ di luar persendian. Peradangan kronis di persendian
menyebabkan kerusakan struktur sendi yang terkena. Peradangan sendi biasanya
mengenai beberapa persendian (poliartritis) sekaligus. Peradangan terjadi akibat
proses sinovitis (radang selaput sendi) serta pembentukan pannus (jaringan granulasi
yang juga ikut merusak sendi) yang mengakibatkan kerusakan pada rawan sendi dan
tulang di sekitarnya, terutama di persendian tangan dan kaki yang sifatnya simetris
(terjadi pada dua sisi) (Utami, 2013).
Penyakit ini merupakan peradangan sistemik yang paling umum ditandai
dengan keterlibatan sendi yang simetris (Dipiro, 2008). Penyakit RA ini merupakan
kelainan autoimun yang menyebabkan inflamasi sendi yang berlangsung kronik dan
mengenai lebih dari lima sendi (poliartritis) (Pradana, 2012).
2. 2. Epidemiologi
Prevalensi RA relatif konstan yaitu berkisar antara 0,5-1% di seluruh dunia
(Suarjana, 2009). Dalam ilmu penyakit dalam Harrison edisi 18, insidensi dan
prevalensi RA bervariasi berdasarkan lokasi geografis dan diantara berbagai grup
etnik dalam suatu negara. Misalnya, masyarakat asli Ameika, Yakima, Pima, dan
suku-suku Chippewa di Amerika Utara dilaporkan memiliki rasio prevalensi dari
berbagai studi sebesar 7%. Prevalensi ini merupakan prevalensi tertinggi di dunia.
Beda halnya, dengan studi pada populasi di Afrika dan Asia yang menunjukkan
prevalensi lebih rendah sekitar 0,2%-0,4% (Longo, 2012). Prevalensi RA di India dan
di negara barat kurang lebih sama yaitu sekitar 0,75% (Suarjana, 2009).
Sedangkan, di Jerman sekitar sepertiga orang menderita nyeri sendi kronik
mulai dari usia 20 tahun dan juga seperduanya berusia 40 tahun. Satu dari penyebab
utama nyeri yang timbul, dengan konsekuensi yang serius, merupakan RA . RA
adalah penyakit inflamasi reumatik yang paling sering dengan prevalensi 0,5%
sampai 0,8% pada populasi dewasa. Insidensinya meningkat seiring usia, 25 hingga
30 orang dewasa per 100.000 pria dewasa dan 50 hingga 60 per 100.000 wanita
dewasa (Schneider, 2013). Studi RA di Negara Amerika Latin dan Afrika
menunjukkan predominansi angka kejadian pada wanita lebih besar dari pada laki-
laki, dengan rasio 6-8:1 (Longo, 2012).
Di Cina, Indonesia dan Filipina prevalensinya kurang dari 0,4% baik didaerah
urban ataupun rural. Hasil survey yang dilakukan di Jawa Tengah mendapatkan
prevalensi RA sebesar 0,2% di daerah rural dan 0,3% di daerah urban. Sedangkan
penelitian yang dilakukan di Malang pada penduduk berusai diatas 40 tahun
mendapatkan prevalensi RA sebesar 0,5% didaerah kotamadya dan 0,6% didaerah
kabupaten. Di poliklinik reumatologi RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta, kasus
baru RA merupakan 4,1% dari seluruh kasus baru pada tahun 2000 dan pada periode
januari s/d juni 2007 didapatkan sebanyak 203 kasus RA dari jumlah seluruh
kunjungan sebanyak 12.346 orang (15,1%). Prevalensi RA lebih banyak ditemukan
pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki dengan rasio 3:1 dan dapat terjadi
pada semua kelompok umur, dengan angka kejadian tertinggi didapatkan pada dekade
keempat dan kelima (Suarjana, 2009).
Prevalensi RA yang hanya sebesar 1 sampai 2 % diseluruh dunia, pada wanita
di atas 50 tahun prevalensinya meningkat hampir 5%. Puncak kejadian RA terjadi
pada usia 20-45 tahun. Berdasarkan penelitian para ahli dari universitas Alabama, AS,
wanita yang memderita RA mempunyai kemungkintan 60% lebih besar untuk
meninggal dibanding yang tidak menderita penyakit tersebut (Afriyanti, 2011).
Dari data presurvey di Dinas Kesehatan Provinsi Lampung didapatkan bahwa
penyakit RA menjadi salah satu dari 10 penyakit terbesar sejak tahun 2011. Pada
presurvey ini dilakukan pengamatan data sejak tahun 2007 sampai dengan 2012. RA
muncul pada tahun 2011 menempati urutan kedelapan dengan angka diagnosa
sebanyak 17.671 kasus (5,24%) dan naik ke urutan keempat pada tahun 2012 dengan
50.671 kasus (7,85%) (Dinkes, 2011).
Dan dari profil kesehatan di dinas kesehatan sejak tahun 2007-2011
didapatkan penyakit RA muncul menjadi salah satu dari 10 penyakit terbesar di kota
Bandar Lampung pada tahun 2009 di urutan keempat dengan presentase sebesar
5,99%, tahun 2010 menjadi urutan ketiga sebesar 7,2% dan tahun 2011 pada urutan
keempat dengan presentasi sebesar 7,11% (Dinkes, 2011).
2. 3. Stadium
Ditinjau dari stadium penyakitnya, ada tiga stadium pada RA yaitu (Nasution,
2011):
a. Stadium sinovitis.
Artritis yang terjadi pada RA disebabkan oleh sinovitis, yaitu inflamasi
pada membran sinovial yang membungkus sendi. Sendi yang terlibat umumnya
simetris, meski pada awal bisa jadi tidak simetris. Sinovitis ini menyebabkan erosi
permukaan sendi sehingga terjadi deformitas dan kehilangan fungsi (Nasution,
2011). Sendi pergelangan tangan hampir selalu terlibat, termasuk sendi interfalang
proksimal dan metakarpofalangeal (Suarjana, 2009).
b. Stadium destruksi
Ditandai adanya kontraksi tendon saat terjadi kerusakan pada jaringan
sinovial (Nasution, 2011).
c. Stadium deformitas
Pada stadium ini terjadi perubahan secara progresif dan berulang kali,
deformitas dan gangguan fungsi yang terjadi secara menetap (Nasution, 2011).
2. 4. Etiologi
Etiologi RA belum diketahui dengan pasti. Namun, kejadiannya dikorelasikan
dengan interaksi yang kompleks antara faktor genetik dan lingkungan (Suarjana,
2009)
a. Genetik, berupa hubungan dengan gen HLA-DRB1 dan faktor ini memiliki angka
kepekaan dan ekspresi penyakit sebesar 60% (Suarjana, 2009).
b. Hormon Sex, perubahan profil hormon berupa stimulasi dari Placental
Corticotraonin Releasing Hormone yang mensekresi dehidropiandrosteron
(DHEA), yang merupakan substrat penting dalam sintesis estrogen plasenta. Dan
stimulasi esterogen dan progesteron pada respon imun humoral (TH2) dan
menghambat respon imun selular (TH1). Pada RA respon TH1 lebih dominan
sehingga estrogen dan progesteron mempunyai efek yang berlawanan terhadap
perkembangan penyakit ini (Suarjana, 2009).
c. Faktor Infeksi, beberapa agen infeksi diduga bisa menginfeksi sel induk semang
(host) dan merubah reaktivitas atau respon sel T sehingga muncul timbulnya
penyakit RA (Suarjana, 2009).
d. Heat Shock Protein (HSP), merupakan protein yang diproduksi sebagai respon
terhadap stres. Protein ini mengandung untaian (sequence) asam amino homolog.
Diduga terjadi fenomena kemiripan molekul dimana antibodi dan sel T mengenali
epitop HSP pada agen infeksi dan sel Host. Sehingga bisa menyebabkan
terjadinya reaksi silang Limfosit dengan sel Host sehingga mencetuskan reaksi
imunologis (Suarjana, 2009).
e. Faktor Lingkungan, salah satu contohnya adalah merokok (Longo, 2012).
Penyebab penyakit rheumatoid arthritis belum diketahui secara pasti, namun
faktor predisposisinya adalah mekanisme imunitas (antigen-antibodi), faktor
metabolik, dan infeksi virus. Faktor hormon juga memainkan peranan besar seseorang
mendapatkan rheumatoid arthritis. Perempuan lebih rentan terhadap penyakit
dibandingkan laki-laki dan penyakitnya mungkin akan diperparah ketika sang wanita
sedang hamil atau menyusui. Selain itu, telah terlihat bahwa ketika seorang wanita
mengambil kontrasepsi, itu akan mengubah kemungkinan sedang berkembang
penyakit. (Zamroni, 2016)
Pada saat ini RA diduga disebabkan oleh faktor autoimun dan infeksi.
Autoimun ini bereaksi terhadap kolagen tipe II; faktor infeksi mungkin disebabkan
oleh karena virus dan organisme mikroplasma atau grup difterioid yang menghasilkan
antigen tipe II kolagen dari tulang rawan sendi penderita. (Mansjour, 2001).
2. 5. Faktor Resiko
Faktor resiko yang berkaitan dengan peningkatan terjadinya artritis
rheumatoid adalah jenis kelamin perempuan, ada riwayat keluarga yang menderita
artritis reumatoid, umur lebih tua, paparan salisilat, kondisi sosial ekonomi rendah dan
merokok. Beberapa keadaan berkaitan dengan penurunan resiko seperti
mengkonsumsi makanan tinggi vitamin D, konsumsi teh, dan penggunaan kontrasepsi
oral. Tiga dari empat perempuan dengan artritis rheumatoid mengalami perbaikan
gejala yang bermakna selama kehamilan dan biasanya akan kambuh kembali setelah
melahirkan (Zamroni, 2016).
Faktor resiko dalam peningkatan terjadinya RA antara lain jenis kelamin
perempuan, ada riwayat keluarga yang menderita RA, umur lebih tua, paparan
salisilat dan merokok. Resiko juga mungkin terjadi akibat konsumsi kopi lebih dari
tiga cangkir sehari, khusunya kopi decaffeinated (suarjana, 2009). Obesitas juga
merupakan faktor resiko (Symmons, 2006).
2. 6. Patofisiologi
Seperti penyakit autoimun umumnya, pada artritis rheumatoid kelainan
genetik dan gangguan dari faktor lingkungan menyebabkan gagalnya toleransi sistem
imun terhadap antigen diri sendiri. Faktor genetik menyumbang 50% faktor resiko
munculnya artritis reumatoid. HLA-DRB1 dan PTPN22 adalah gen yang berkaitan
dengan penyakit tersebut. Faktor lingkungan seperti infeksi berbagai jenis virus,
bakteri, dan jamur serta merokok (Zamroni, 2016).
Kerusakan sendi pada artritis rheumatoid dimulai dari proliferasi makrofag
dan fibroblas synovial yang dipengaruhi oleh sitokin inflamasi setelah adanya faktor
pencetus berupa autoimun atau infeksi. Sebelum itu, sel T CD4+ mengalami respon
atau reaktivitas yang abnormal akibat interaksi dengan MHCII-SE (major
histocompatibility complex class II) dan peptida pada APC (antigen presenting cells)
sinovium atau sistemik. Selanjutnya sel T akan memproduksi sitokin proinflamasi
seperti IL-1, IL-8, IL-6, IL-17, TNF-, TGF-, dan sitokin lainnya yang akan
merangsang produksi metaloproteinase, ekspresi RANK ligand, osteoklastogenesis,
mengaktivasi monosit/makrofag sinovial, dan sel B. Peran sel B adalah membantu
aktifasi sel T dan memproduksi faktor reumatoid yang sebagian besar merupakan IgM
(sedikit IgA) yang melawan IgG diri sendiri, atau yang sering disebut sebagai anti-
IgG autoantibodies. Adanya faktor reumatoid berkaitan dengan penyakit artikular
yang lebih agresif dan ekstra artikular yang lebih sering dengan angka morbiditas dan
mortalitas yang tinggi. Limfosit menginfiltrasi daerah perivaskular dan terjadi
proliferasi sel-sel endotel, yang selanjutnya terjadi neovaskularisasi. Pembuluh darah
pada sendi yang terlibat mengalami oklusi oleh bekuan-bekuan kecil atau sel-sel
inflamasi. Terjadi pertumbuhan yang tidak normal pada jaringan synovial yang
mengalami inflamasi sehingga membentuk jaringan pannus. Pannus menginvasi dan
merusak tulang rawan sendi dan tulang sendi. Sitokin, interleukin, proteinase dan
faktor pertumbuhan yang sudah dilepaskan akan mengakibatkan destruksi sendi dan
komplikasi sistemik (Zamroni, 2016).
Sel T dan sel B merupakan respon imunologi spesifik. Sel T merupakan
bagian dari sistem immunologi spesifik selular berupa Th1, Th2, Th17, Treg, Tdth,
CTL/Tc, NKT. Sitokin dan sel B merupakan respon imunologi spesifik humoral, sel B
berupa IgG, IgA, IgM, IgE, IgD (Baratwidjaja, 2012).
Hasil penelitian mutakhir telah diketahui bahwa timbulnya penyakit ini
akibat proses imunologis di persendian. Kejadian ini diawali dari antigen penyebab
RA yang ada pada membran sinovial yang diproses oleh antigen presenting cells
(APC). Setelah mengalami berbagai proses imunologis, antibodi yang dihasilkan akan
membentuk kompleks imun dan masuk ke dalam ruang sendi sehingga menyebabkan
peningkatan permeabilitas mikrovaskular, masuknya sel radang dan pengendapan
fibrin pada membran sinovial. Proses fagositosis oleh sel radang terhadap kompleks
imun tadi akan menghasilkan radikal bebas oksigen (RBO), leukotrien, prostaglandin,
dan protease neutral yang menyebabkan kerusakan rawan sendi dan tulang. RBO juga
menyebabkan penurunan viskositas cairan sendi, merusak kolagen dan proteoglikan
rawan sendi. Proses kerusakan sendi akan berlangsung terus selama antigen
penyebabnya tetap ada. Rheumatoid faktor yang positif juga menyebabkan proses
peradangan berlanjut terus. Rheumatoid faktor adalah salah satu antibodi yang terkait
dengan progresivitas penyakit RA. Masuknya sel radang pada membran sinovial juga
menyebabkan terbentuknya pannus, yaitu jaringan granulasi yang juga ikut merusak
sendi. (Utami, 2013)
2. 7. Manifestasi Klinis
Pasien yang mengalami rheumatoid arthritis akan menunjukan tanda dan gejala
seperti:
a. Nyeri persendian
b. Bengkak (rheumatoid nodule)
c. Kekakuan pada sendi terutama setelah bangun tidur pada pagi hari
d. Terbatasnya pergerakan
e. Sendi - sendi terasa panas
f. Anemia
g. Berat badan menurun
h. Kekuatan berkurang
2. 8. Pemeriksaan Penunjang
Diagnostik RA dapat menjadi suatu proses yang kompleks. Pada tahap dini
mungkin hanya akan ditemukan sedikit atau tidak ada uji laboratorium yang positif;
perubahan-perubahan pada sendi minor; dan gejala-gejalanya dapat hanya bersifat
sementara. Diagnosis tidak hanya bersandar pada satu karakteristik saja tetapi
berdasarkan pada suatu evaluasi dari sekelompok tanda dan gejala. Kriteria diagnostik
adalah sebagai berikut:
a. Kekakuan pagi hari (lamanya paling tidak 1 jam)
b. Artritis pada tiga sendi atau lebih
c. Artritis sendi-sendi jari tangan
d. Artritis yang simetris
e. Nodul rematoid
f. Faktor rematoid dalam serum
g. Perubahan-perubahan radiologik

Diagnosis RA dikatakan positif apabila sekurang-kurangnya empat dari tujuh


kriteria ini dipenuhi. Empat kriteria yang disebutkan terdahulu harus sudah
berlangsung sekurang-kurangnya enam minggu. Pada sendi cairan sinovial normal
bersifat jernih, berwarna kuning muda dan hitungan sel darah putih kurang dari
200/mm. Pada RA cairan sinovial kehilangan viskositasnya dan hitungan sel darah
putih meningkat mencapai 15.000-20.000 mm. Hal ini membuat cairan menjadi tidak
jernih. Cairan semacam ini dapat membeku, tetapi bekuan biasanya tidak kuat dan
mudah pecah. Pemeriksaan laboratorium khusus untuk membantu menegakkan
diagnosis lainnya, misalnya gambaran immunoelectrophoresis HLA (Human
Lymphocyte Antigen) serta Rose-Wahler Test. (Price & Wilson, 2005).
2. 9. Penatalaksanaan
RA harus ditangani dengan sempurna. Penderita harus diberi penjelasan bahwa
penyakit ini tidak dapat disembuhkan (Sjamsuhidajat, 2010). Terapi RA harus dimulai
sedini mungkin agar menurunkan angka perburukan penyakit. Penderita harus dirujuk
dalam 3 bulan sejak muncul gejala untuk mengonfirmasi diganosis dan inisiasi terapi
DMARD (Disease Modifying Anti-Rheumatic Drugs) (Surjana, 2009). Terapi RA
bertujuan untuk :
- Untuk mengurangi rasa nyeri yang dialami pasien
- Mempertahakan status fungsionalnya
- Mengurangi inflamasi
- Mengendalikan keterlibatan sistemik
- Proteksi sendi dan struktur ekstraartikular
- Mengendalikan progresivitas penyakit
- Menghindari komplikasi yang berhubungan dengan terapi
Istirahatkan sendi yang sakit dengan pemasangan bidai, khususnya di malam
hari untuk mengurangi nyeri dan mencegah deformitas. Fisioterapi untuk
mempertahankan gerakan sendi penuh dan menguatkan otot-otot yang lemah.
Perhatian dini dan penyuluhan mengenai postur bisa mencegah deformitas kronis dan
degenerasi semua sendi yang terkena.
a. Terapi Farmakologi
Obat-obat yang digunakan untuk terapi artritis reumatoid bisa dibagi
secara luas menjadi obat dengan tujuan untuk mengurangi nyeri dan yang
menekan proses penyakit, kadang-kadang disebut sebagai obat antireumatik yang
memodifikasi penyakit (disease modifying antirheumatic drugs/DMARD)
1) Penghilang nyeri
Analgesik. Sederhana, seperti parasetamol, atau yang merupakan
gabungan seperti ko-proksamol atau ko-kodamol. Obat antiinflamasi
nonsteroid. Aspirin, walaupun murah dan efektif, memiliki tingkat toleransi
yang lebih rendah dari pada obat antiinfalamasi nonsteroid yang lebih baru.
Ibuprofen memiliki lebih sedikit efek samping gastrointensinal dibandingkan
dengan obat lain yang sejenis, namun cenderung kurang efektif. Piroksikam,
ketoprofen, indometasin, naproksen, dan diklofenak memiliki risiko efek
samping sedang, sedangkan azapropazon memiliki resiko tertinggi. Jika
terdapat intoleransi gastrointensinal bisa di tambah dengan memberikan bloker
H2 atau analog protaglandin E1 misoprostol. Inhibitor selektif siklo-oksigenase
2 (rofekoksib dan selekoksib) juga bisa memperbaiki toleransi
gastrointensinal.
2) Obat penekan proses penyakit
Kortikosteroid efektif dalam mengurangi gejala dan menekan aktivitas
penyakit, walaupun kekhawatiran mengenai efek sampingnya (osteoporosis,
peningkatan berat badan, hipertensi, diabetes, rheumatoid arthritis ) membatasi
penggunaannya. Suntikan steroid lokal pada sendi (tempat lain yang terasa
nyeri) bisa mengurangi nyeri. Natrium aurotiomalat diberikan melalui
suntikan intramuskular dengan dosis 50 mg/minggu sampai terdapat bukti
remisi (biasanya setelah pemberian total sebanyak 1 g, pengobatan biasanya
dihentikan. Pada pasien yang memberikan respon, interval dosisi di tingkatkan
secara bertahap setiap bulan. Pengobatan bsa dilanjutkan sampai mencapai 5
tahun, walaupun masih setengah pasien yang menjalani terapi ini setelah 2
tahun. Diperlukan pemeriksaan darah urinalisis rutin. Leukopenia dan
tromosipetonia, atau proteinuria (akibat glomerulonefritis membranosa),
biasanya bersifat reversibel jika pemberian emas dihentikan. Timbulnya ruam
merupakan tanda bahwa terapi harus dihentikan. Penisilinamin. Memiliki kerja
yang sama seperti emas. Efek samping berupa trombositopenia,
proteinurinaria, dan ruam sering timbul namun pada beberapa kasus
pengobatan bisa dilanjutkan dengan dosis yang lebih rendah, atau dihentikan
kemudian diberikan kembali. Klorokuin dan hidroklorokuin cenderung
ditoleransi lebih baik daripada emas atau penisilinamin. Retinopati jarang
timbul jika pemberin tidak melebihi dosis yang dianjurkan (klorokuin 4
mg/kg/hari; hidroklorokuin 6 mg/kh/hari). Sulfasalazin dipecah menjadi asam
5-aminosalisilat dan sulfapiridin oleh bakteri dalam usus besar.
Penggunaannya terbatas karena adanya intoleransi gastriontensinal, ruam, dan
gangguan hematologis. Leukopenia dan trombositopenia biasanya terjadi pada
3-6 bulan pertama, dan reversibel dengan dihentikannya pengobatan. Obat
imunosupresan (metotreksat, azatioprin, siklofosfamid, siklofosfamid
siklosporin A, klorambusil) semuanya telah digunakan pada artritis reumatoid
aktif, baik sebagai obat tunggal maupun gabungan dengan kortikosteroid atau
obat golongan lain untuk memungkinkan pemberian dalam dosis yang lebih
rendah. Pengobatan yang menetralkan efek TNF- (infliksimab, suatu antibodi
monoklonal kimerik terhadap TNF- , dan etanersept suatu gabungan protein
rekombinan yang terdiri atas reseptor tumor necrosis factor (TNF) terlarut
yang b=terikat pada bagian Fc dari IgG1 manusia terbukti memperbaiki gejala,
dan dalam gabungan dengan metoreksat bisa menghentika kerusakan sendi
yang progesif.
b. Terapi Non-Farmakologi
1) Penatalaksanaan bedah
Terapi bedah dilakukan pada keadaan kronis, bila ada nyeri berat
dengan kerusakan sendi yang ekstensif, keterbatasan gerak yang bermakna,
dan terjadi ruptur tendo. Metode bedah yang digunakan berupa sinevektomi
bila destruksi sendi tidak luas, bila luas dilakukan artrodesis atu artroplasti.
Pemakaian alat bantu ortopedis digunakan untuk menunjang kehidupan sehari-
hari (Sjamsuhidajat, 2010).
Jika berbagai cara pengobatan telah dilakukan dan tidak berhasil serta
terdapat alasan yang cukup kuat, dapat dilakukan pengobatan pembedahan.
Jenis pengobatan ini pada pasien AR umumnya bersifat ortopedik, misalnya
sinovektomi (penghapusan lapisan sendi atau sinovinum), artrodesis, total hip
replacement, memperbaiki deviasi ulnar, dan sebagainya. Pada titik tertentu,
penggantian sendi total dibutuhkan. Dalam kasus ekstrim, total lutut,
penggantian pinggul, penggantian pergelangan kaki, penggantian bahu, dan
lain-lain dapat dilakukan.
Sinovektomi (khususnya pada sendi lutut), meluruskan kembali dan
memperbaiki tendon, sendi buatan (sendi panggul, lutut, jari-jari tangan)
artrodesis munhkin perlu dilakukan pada nyeri atau deformitas yang berat.
Anjuran ahli mengenai rehabilitas memungkinkan pasien dengan tingkat
kecacatan berat agar dapat ditolerir untuk tetap tinggal di rumah, bahkan
dalam keadaan bahagia. Kemungkinan terjadinya depresi tidak boleh
terlewatkan.
Proses pembedahan lain yang mungkin dilakukan antara lain
arthrodesis (fusi gabungan) dapat membawa stabilitas dan menghilangkan rasa
sakit, tetapi hanya dengan harga mobilitas sendi menurun. Synovectomy
(pengangkatan destruktif, berkembang biak sinovium, biasanya di pergelangan
tangan, jari, dan lutut) dapat menghentikan atau menunda perjalanan penyakit.
2) Latihan-latihan Spesifik
Latihan ini dapat bermanfaat dalam mempertahankan fungsi sendi.
Latihan ini mencakup gerakan aktif dan pasif pada semua sendi yang sakit,
sedikitnya dua kali sehari. Obat-obatan untuk menghilangkan nyeri mungkin
perlu diberikan sebelum memulai latihan. Kompres panas pada sendi-sendi
yang sakit dan bengkak mungkin dapat mengurangi nyeri. Mandi parafin
dengan suhu yang bisa diatur dan mandi dengan suhu panas dan dingin dapat
dilakukan dirumah. Latihan dan terapi panas ini paling baik diatur oleh pekerja
kesehatan yang sudah mendapatkan latihan khusus, seperti fisioterapis atau
terapis kerja. Latihan berlebihan dapat merusak struktur penunjang sendi yang
memang sudah lemah oleh adanya penyakit. (Utami, 2013)
3) Rehabilitasi
Merupakan tindakan untuk mengembalikan kemampuan penderita RA
dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Cara-cara rehabilitasi antara lain
mengistirahatkan sendi yang sakit, pemanasan, pendinginan, meningkatkan
ambang rasa sakit dengan arus listrik, dan sebagainya. Kegemukan (obesitas)
yang merupakan beban bagi persendian yang menopang berat badan, harus
dihindari dan penderita harus mempertahankan berat badan ideal. (Utami,
2013).
4) Pendidikan
Diberikan kepada pasien, keluarganya, dan siapa saja yang
berhubungan dengan pasien. Pendidikan yang diberikan meliputi pengertian
tentang patofisiologi, penyebab dan prognosis penyakit ini, semua komponen
dalam program penatalaksanaan termasuk regimen obat yang kompleks,
sumber-sumber bantuan untuk mengatasi penyakit ini, dan metode-metode
efektif tentang penatalaksanaan yang diberikan oleh tim kesehatan (Utami,
2013).
2. 10. Komplikasi
a. Infeksi
Pasien dengan RA memiliki risiko lebih besar untuk infeksi. Obat imunosupresif
akan lebih meningkatkan risiko.
b. Masalah gastrointestinal
Pasien dengan RA mungkin mengalami gangguan perut dan usus. Kanker perut
dan kolorektal dalam tingkat yang rendah telah dilaporkan pada pasien RA.
c. Osteoporosis
Kondisi ini lebih umum daripada rata-rata pada wanita postmenopause dengan
RA, pinggul yang sangat terpengaruh. Risiko osteoporosis tampaknya lebih tinggi
daripada rata-rata pada pria dengan RA yang lebih tua dari 60 tahun.
d. Penyakit paru-paru
Sebuah studi kecil menemukan prevalensi tinggi peradangan paru dan fibrosis
pada pasien yang baru didiagnosis RA, namun temuan ini dapat dikaitkan dengan
merokok.
e. Penyakit jantung
RA dapat mempengaruhi pembuluh darah dan meningkatkan risiko penyakit
jantung iskemik koroner.
f. Sindrom Felty
Kondisi ini ditandai dengan splenomegali, leukopenia dan infeksi bakteri
berulang. Ini mungkin merupakan respon disease-modifying antirheumatic drugs
(DMARDs).
g. Limfoma dan kanker lainnya
RA terkait perubahan sistem kekebalan tubuh mungkin memainkan peran.
Pengobatan yang agresif untuk RA dapat membantu mencegah kanker tersebut
(Shiel, 2011).

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1. Pengkajian
a. Anamnesis
Identitas penderita meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama,
pendidikan, pekerjaan, alamat, status perkawinan, suku bangsa, nomor register,
tanggal masuk rumah sakit dan diagnosa medis.
b. Keluhan Utama
Nyeri, bengkak, dan kehilangan mobilitas pada persendian.
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Ditemukan tanda dan gejala dari artritis reumatoid adalah riwayat nyeri
otot, kelelahan, penurunan berat badan, dan penurunan kesehatan juga mungkin
terdapat pada pasien artritis reumatoid. Kekakuan sendi setelah imobilisasi yang
lama, seperti bangun tidur pada pagi hari, dengan durasi kekakuan biasanya lebih
dari 30 menit.
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Adanya riwayat penyakit artritis rheumatoid, faktor risiko artritis
rheumatoid adalah jenis kelamin perempuan, kondisi sosial ekonomi rendah dan
merokok.
e. Riwayat Kesehatan Keluarga
Riwayat keluarga yang menderita artritis rheumatoid.
3.2. Pemeriksaan Fisik
Manifestasi klinis RA terbagi menjadi 2 kategori yaitu manifestasi artikular
dan manifestasi ekstraartikular (Suarjana, 2009).
Manfestasi artikular RA terjadi secara simetris berupa inflamasi sendi, bursa,
dan sarung tendo yang dapat menyebabkan nyeri, bengkak, dan kekakuan sendi, serta
hidrops ringan (Sjamsuhidajat, 2010). Tanda kardinal inflamasi berupa nyeri,
bengkak, kemerahan dan teraba hangat mungkin ditemukan pada awal atau selama
kekambuhan, namun kemerahan dan perabaan hangat mungkin tidak dijumpai pada
RA kronik (Surjana, 2009). Sendi-sendi besar, seperti bahu dan lutut, sering menjadi
manifestasi klinis tetap, meskipun sendi-sendi ini mungkin berupa gejala
asimptomatik setelah bertahun-tahun dari onset terjadinya (Longo, 2012).
Secara umum, manifestasi RA mengenai hampir seluruh bagian tubuh.
Manifestasi ekstraartikular pada RA, meliputi (Longo, 2012):
a. Konstitusional, terjadi pada 100% pasien yang terdiagnosa RA. Tanda dan
gejalanya berupa penurunan berat badan, demam >38,3oc , kelelahan (fatigue),
malaise, depresi dan pada banyak kasus terjadi kaheksia, yang secara umum
merefleksi derajat inflamasi dan kadang mendahului terjadinya gelaja awal pada
kerusakan sendi (Longo, 2012).
b. Nodul, terjadi pada 30-40% penderita dan biasanya merupakan level tertinggi
aktivitas penyakit ini. Saat dipalpasi nodul biasanya tegas, tidak lembut, dan dekat
periosteum, tendo atau bursa. Nodul ini juga bisa terdapat di paru-paru, pleura,
pericardium, dan peritonuem. Nodul bisanya benign (jinak), dan diasosiasikan
dengan infeksi, ulserasi dan gangren (Longo, 2012).
c. Sjogrens syndrome, hanya 10% pasien yang memiliki secondary sjogrens
syndrome. Sjogrens syndrome ditandai dengan keratoconjutivitis sicca (dry eyes)
atau xerostomia (Longo, 2012).
d. Paru (pulmonary) contohnya adalah penyakit pleura kemudian diikuti dengan
penyakit paru interstitial (Longo, 2012).
e. Jantung (cardiac) pada <10% penderita. Manifestasi klinis pada jantung yang
disebabkan oleh RA adalah perikarditis, kardiomiopati, miokarditis, penyakti
arteri koreoner atau disfungsi diastol (Longo, 2012).
f. Vaskulitis, terjadi pada <1% penderita, terjadi pada penderita dengan penyakit RA
yang sudah kronis (Longo, 2012).
g. Hematologi berupa anemia normositik, immmune mediated trombocytopenia dan
keadaan dengan trias berupa neutropenia, splenomegaly,dan nodular RA sering
disebut dengan felty syndrome. Sindrom ini terjadi pada penderita RA tahap akhir
(Longo, 2012).
h. Limfoma, resiko terjadinya pada penderita RA sebesar 2-4 kali lebih besar
dibanding populasi umum. Hal ini dikarenakan penyebaran B-cell lymphoma
sercara luas (Longo, 2012).
3.3. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis tidak hanya bersandar pada satu karakteristik saja tetapi
berdasarkan pada suatu evaluasi dari sekelompok tanda dan gejala. Kriteria diagnostik
adalah sebagai berikut:
a. Kekakuan pagi hari (lamanya paling tidak 1 jam)
b. Artritis pada tiga sendi atau lebih
c. Artritis sendi-sendi jari tangan
d. Artritis yang simetris
e. Nodul rematoid
f. Faktor rematoid dalam serum
g. Perubahan-perubahan radiologik
Diagnosis RA dikatakan positif apabila sekurang-kurangnya empat dari tujuh
kriteria ini dipenuhi. Empat kriteria yang disebutkan terdahulu harus sudah
berlangsung sekurang-kurangnya enam minggu. Pada sendi cairan sinovial normal
bersifat jernih, berwarna kuning muda dan hitungan sel darah putih kurang dari
200/mm. Pada RA cairan sinovial kehilangan viskositasnya dan hitungan sel darah
putih meningkat mencapai 15.000-20.000 mm. Hal ini membuat cairan menjadi tidak
jernih. Cairan semacam ini dapat membeku, tetapi bekuan biasanya tidak kuat dan
mudah pecah. Pemeriksaan laboratorium khusus untuk membantu menegakkan
diagnosis lainnya, misalnya gambaran immunoelectrophoresis HLA (Human
Lymphocyte Antigen) serta Rose-Wahler Test. (Price & Wilson, 2005).
Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan untuk diagnosa RA antara lain,
pemeriksaan serum untuk IgA, IgM, IgG , antibodi anti-CCP dan RF, analisis cairan
sinovial, foto polos sendi, MRI, dan ultrasound (Longo, 2012).
3. 4. Analisa Data

DATA ETIOLOGI MASALAH


1. Nyeri otot Etiologi dan faktor resiko RA Nyeri b.d agen biologis
2. Kekakuan sendi
3. Bengkak Reaksi peradagan

Nyeri
1. Kekakuan sendi Reaksi peradangan Resiko cidera b.d gangguan
2. Terbatasnya sensasi
Synovial menebal
pergerakan
Pannus

Inflitrasi ke dalam os

Kerusakan kartilago tulang

Hambatan nutrisi pada
kartilago

Tendon dan ligamen
melemah

Mudah lukasi dan sublukasi

Hilangnya kekuatan otot
1. Kurang pajanan Etiologi dan faktor resiko RA Defisiensi pengetahuan b.d
informasi kurang pengetahuan
Reaksi peradagan

Kurang informasi tentang
proses penyakit
1. Deformitas sendi Etiologi dan faktor resiko RA Gangguan citra tubuh b.d
2. Bengkak gangguan fungsi tubuh
Reaksi peradagan
(Artritis rheumatoid)
Synovial menebal

Pannus

Nodul

Deformitas sendi
1. Terbatasnya Pannus Hambatan mobilitas fisik b.d
pergerakan kaku sendi
Infiltrasi ke dalam os
2. Kekakuan sendi
Hambatan nutrisi pada
kartilago

Kartilago nekrosis

Erosi kartilago

Adhesi pada permukaan

Ankilosis fibrosa

Ankilosis tulang

Terbatasnya gerakan

3. 5. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri b.d agen cedera biologis (Artritis rheumatoid)
b. Resiko cedera b.d gangguan sensasi
c. Defisiensi pengetahuan b.d kurang pengetahuan
d. Gangguan citra tubuh b.d gangguan fungsi tubuh (Artritis rheumatoid)
e. Hambatan mobilitas fisik b.d kaku sendi
3. 6. Intervensi Keperawatan

NO Diagnosa NOC NIC


Keperawatan
1 Nyeri b.d agen Pain level Pain Management
cedera biologis Pain control Lakukan pengkajian nyeri
Comfort level secara komperhensif
(Artritis Kriteria Hasil :
rheumatoid) Mampu mengontrol nyeri termasuk lokasi,

(tahu penyebab nyeri, karakteristik,

mampu menggunakan durasi,frekuensi, kualitas,

teknik non farmakologi dan faktor presipitasi


Observasi reaksi nonverbal
untuk mengurangi nyeri,
dari ketidaknyamanan
mencari bantuan) Gunakan teknik komunikasi
Melaporkan bahwa nyeri
berkurang dengan terapeutik untuk
menggunakan mengetahui pengalaman
manajemen nyeri nyeri pasien
Mampu mengenali nyeri Kaji kultur yang
(skala, intensitas, mempengaruhi respon nyeri
Evaluasi pengalaman nyeri
frekuensi dan tanda
nyeri) masa lampau
Menyatakan rasa nyaman Evaluasi bersama pasien

setelah nyeri berkurang dan tim kesehatan lain


tentang ketidakefektifan
kontrol nyeri masa lampau
Bantu pasien dan keluarga
untuk mencari dan
menemukan dukungan
Kontrol lingkungan yang
dapat mempengaruhi nyeri
seperti suhu ruangan,
pencahayaan dan
kebisingan
2. Risiko Cedera b.d Risk Control Environtment Management
gangguan sensasi Kriteria Hasil : (Manajemen lingkungan)
Klien terbebas dari Sediakan lingkungan yang
cedera aman untuk pasien
Klien mampu Identifikasi kebutuhan
menjelaskan cara atau keamanan pasien, sesuai
metode untuk mencegah dengan kondisi fisik dan
injury atau cedera fungsi kognitif pasien dan
Klien mampu
riwayat penyakit terdahulu
menjelaskan faktor resiko
pasien.
dari lngkungan atau Menghindarkan lingkungan
perilaku personal yang berbahaya(misalnya
Mampu memodifikasi
memindahkan perabotan)
gaya hidup untuk Memasang side rail tempat
mencegah injury tidur
Menggunakan fasilitas Menyediakan tempat tidur
kesehatan yang ada. yang nyaman dan bersih
Mampu mengenali status
kesehatan Menempatkan saklar lampu
di tempat yang mudah
dijangkau pasien
Membatasi pengunjung
Manganjurkan keluarga
untuk menemani pasien
Mengontrol lingkungan
dari kebisingan
Memindahkan barang-
barang yang dapat
membahayakan
Berikan penjelasan pada
pasien dan keluarga atau
pengunjung adanya
perubahan status kesehatan
dan penyebab penyakit.
3. Defisiensi Knowledge : disease Teaching : disease Process
pengetahuan b.d Berikan penilaian tentang
process
kurang Knowledge : health tingkat pengetahuan pasien

pengetahuan behavior tentang proses penyakit


Kriteria Hasil : yang spesifik
Pasien dan keluarga Jelaskan patofisiologi dari
menyatakan pemahaman penyakit dan bagaimana hal
tentang penyakit, kondisi, ini berhubungan dengan
prognosis dan program anatomi dan fisiologi,
pengobatan dengn cara yang tepat
Pasien dan keluarga Gambarkan proses
mampu melaksanakan penyakit, dengan cara yang
prosedur yang dijelaskan tepat
secara benar Identifikasi kemungkinan
Pasien dan keluarga penyebab, dengan cara
mempu menjelaskan yang tepat
kembali apa yang Sediakan informasi pada
dijelaskan secara benar pasien tentang kondisi,
Pasien dan keluarga dengan cara yang cepat
mampu menjelaskan Hindari jaminan yang
kembali apa yang kosong
dijelaskan perawat/ tim Sediakan bagi keluarga atau

kesehatan lainnya SO informasi tentang


kemajuan pasien dengan
cara yang tepat
Diskusikan perubahan gaya
hidup yang mungkin
diperlukan untuk mencegah
komplikasi di masa yang
akan datang dan atau proses
pengontrolan penyakit
Diskusikan pilihan terapi
atau penanganan
Dukung pasien untuk
mengeksplorasi atau
mendapatkan second
opinion dengan carayang
tepat atau diindikasikan
Rujuk pasien pada group
atau agensi di komunitas
lokal, dengan cara yang
tepat
Intruksikan pasien
mengenai tanda dan gejala
untuk melaporkan pada
pemberi perawatan
kesehatan, dengan cara
yang tepat.
4. Gangguan citra Body image Body image enchancement
tubuh b.d gangguan Self esteem Kaji secara verbal dan
Kriteria Hasil : nonverbal respon klien
fungsi tubuh Body image positif
(Artritis Mampu mengidentifikasi terhadap tubuhnya
Monitor frekuensi
rheumatoid) kekuatan personal
Mendeskripsikan secara mengkritik dirinya
Jelaskan tentang
faktual perubahan fungsi
pengobatan, perawatan,
tubuh kemajuan dan prognosis
Mempertahankan penyakit
interaksi sosial Dorong klien
mengngkapkan
perasaannya
Identifikasi arti
pengurangan melalui
pemakaian alat bantu
Fasilitasi kontak dengan
individu lain dalam
kelompok kecil
5. Hambatan Joint Movement : Active Exercise therapy :
mobilitas fisik b.d Mobility level ambulation
Self care : ADLs
kaku sendi
Transfer performance Monitoring vital sign
Kriteria Hasil sebelum/sesudah latihan
Klien meningkat dalam
dan lihat respon pasien
aktivitas fisik
pada saat latihan
Mengerti tujuan dari
Konsultasikan denganterapi
peningkatan mobilitas
fisik tentang rencana
Memverbalisasikan
ambulasi sesuai dengan
peraaan dalam
kebutuhan
meningkatkan kekuatan Bantu klien untuk
dan kemampuan
menggunakan tongkat saat
berpindah
berjalan dan cegah terhadap
Memperagakan
cedera
penggunaan alat Ajarkan pasien atau tenaga
Bantu untuk mobilisasi
kesehatan lain tentang
(walker)
teknik ambulasi
Kaji kemampuan pasien
dalam mobilisasi
Latih pasien dalam
pemenuhan kebutuhan
ADLs secara mandiri sesuai
dengan kemampuan
Dampingi dan bantu pasien
saat mobilisasi dan bantu
penuhi kebutuhan ADLs
pasien
Berikan alat bantu jika
klien memerlukan
Ajarkan pasien bagaimana
merubah posisi dan berikan
bantuan jika diperlukan

BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Artritis Reumatoid atau Rheumatoid arthritis (RA) adalah penyakit autoimun
sistemik. RA merupakan salah satu kelainan multisistem yang etiologinya belum
diketahui secara pasti dan dikarateristikkan dengan destruksi sinovitis. Penyakit ini
merupakan peradangan sistemik yang paling umum ditandai dengan keterlibatan sendi
yang simetris (Panji, 2015).
Penyebab penyakit rheumatoid arthritis belum diketahui secara pasti, namun
faktor predisposisinya adalah mekanisme imunitas (antigen-antibodi), faktor
metabolik, dan infeksi virus. Faktor hormon juga memainkan peranan besar seseorang
mendapatkan rheumatoid arthritis. Perempuan lebih rentan terhadap penyakit
dibandingkan laki-laki dan penyakitnya mungkin akan diperparah ketika sang wanita
sedang hamil atau menyusui.
Hasil penelitian mutakhir telah diketahui bahwa timbulnya penyakit ini akibat
proses imunologis di persendian. Kejadian ini diawali dari antigen penyebab RA yang
ada pada membran sinovial yang diproses oleh antigen presenting cells (APC).
Setelah mengalami berbagai proses imunologis, antibodi yang dihasilkan akan
membentuk kompleks imun dan masuk ke dalam ruang sendi sehingga menyebabkan
peningkatan permeabilitas mikrovaskular, masuknya sel radang dan pengendapan
fibrin pada membran sinovial.
Menurut Rubenstein (2007) tujuan terapi adalah : pertama-tama
mengendalikan gejala nyeri dan kaku, memungkinkan pasien mempertahankan
kehidupan sehari-hari senormal mungkin; dan kedua, supresi sinovitis dan peradangan
sistemik pada penyakit yang lebih berat. Penilaian sosial untuk menilai pekerjaan,
bantuan keluarga, dan keadaan di rumah sangat esensial saat merencanakan terapi.
Jika berbagai cara pengobatan telah dilakukan dan tidak berhasil serta terdapat
alasan yang cukup kuat, dapat dilakukan pengobatan pembedahan. Jenis pengobatan
ini pada pasien AR umumnya bersifat ortopedik, misalnya sinovektomi (penghapusan
lapisan sendi atau sinovinum), artrodesis, total hip replacement, memperbaiki deviasi
ulnar, dan sebagainya. Pada titik tertentu, penggantian sendi total dibutuhkan. Dalam
kasus ekstrim, total lutut, penggantian pinggul, penggantian pergelangan kaki,
penggantian bahu, dan lain-lain dapat dilakukan.

4.2. Saran
Sebagai perawat kita seharusnya menguasai konsep penyakit artritis
rheumatoid agar dapat membuat asuhan kepewatan yang sesuai, pendidikan kesehatan
yang mencakup penatalaksaan dalam suatu penyakit termasuk artiritis rheumatoid,
oleh sebab itu penguasaan terkait tanda gejala penyakit, terapi, pencegahan, dan
lainnya harus dikuasai agar dapat pula menjadi bahan untuk memberikan pendidikan
kesehatan kepada klien.
DAFTAR PUSTAKA

Afriyanti, Fajriah Nur. 2011. Tingkat Pengetahuan Lansia Tentang Penyakit Rheumatoid
Arthtritis di Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) Budi Mulia 1 Cipayung Jakarta
Tahun 2009. Jakarta: Universitas Islam Negeri.

Baratawidjaja, KG., Rengganis, Iris. 2012. Imunologi Dasar Edisi ke-10. Jakarta: FKUI.

Dinkes. 2011. Profil Data Kesehatan Kota Bandar Lampung tahun 2011. Lampung: Dinas
Kesehatan Provinsi Lampung.

Gordon, N. F. 2002. Radang Sendi. Jakarta: PT Raja Grafindo.

Longo, Dan L. MD., Kasper, Dennis L. MD., et al. 2012. Harrisons Principle of Internal
Medicine Ed. 18 Chapter 231: Rheumatoid Arthritis. Amerika Serikat: McGraw-Hill
Companies, Inc.

Lutfi Chabib, Zullies Ikawati, Ronny Martien, Hilda Ismail. 2016. Review Rheumatoid
Arthritis: Terapi Farmakologi,Potensi Kurkumin dan Analognya, serta
Pengembangan Sistem Nanopartikel. Jurnal Pharmascience, Vol 3 (1).
http://jps.ppjpu.unlam.ac.id. Di akses tanggal 18 Maret 2017.

Mansjoer, Arief, dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1. Jakarta : Media Aesculapius.

Nainggolan, Olwin. 2009. Prevalensi dan Determinan Penyakit Rematik di Indonesia:


Puslitbang Biomedis dan Farmasi Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan RI.

Nasution, Jani. 2011. Pola Aktivitas Pasien Rheumatoid Arthritis di Poliklinik Penyakit
Dalam Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan. http://repository.usu.ac.id.
Di akes tanggal 18 Maret 2017.

Panji, Agus. 2015. Hubungan Manajemen Diri Dengan Tingkat Kecemasan Pada Pasien
Rheumatoid Artritis Di Upt. Puskesmas Rubaru. https://scholar.google.co.id. Diakses
tanggal 18 Maret 2017.

Pradana, Septian Yudo. 2012. Sensitifitas dan Spesitifitas Kriteria ACR 1987 Dan
ACR/EULAR 2010 Pada Penderita Artirits Reumatoid di RSUP Dr. Kariadi
Semarang. Semarang: Universitas Diponegoro.

Price S A,Wilson L M. 2005. Patofisiologi Volume 2. Jakarta: EGC

Rubenstein, David, David Wayne, John Bradley. 2007. Lecture Notes: Kedokteran Klinis.
Jakarta: Penerbit Erlangga

Schneider, Matthias., Krger, Klaus. 2013 Rheumatoid ArthritisEarly Diagnosis and


Disease Management. Jerman: Deutsches rzteblatt International.

Schwartz, Seymour I. 2000. Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah. Jakarta: EGC

Shiel, Jr.W.C. 2011. Rheumatoid Arthritis. diambil dari


http://www.emedicinehealth.com/rheumatoid_arthritis/article_em.htm, diakses pada
tanggal 20 maret 2017.

Sjamsuhidajat, R, et al. 2010. Buku Ajar ilmu Bedah Sjamsuhidajat-de Jong Edisi 3. EGC.
Jakarta.

Smeltzer C. Suzanne,Burnner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.
Jakarta: EGC
Suarjana, I Nyoman. 2009. Artritis Reumatoid Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi
V. Jakarta: Interna Publishing.

Symmons, Deborah., Mathers, Colin., Pfleger Bruce. 2006. The Global Burden of
Rheumatoid Arthritis In The Year 2000.
www.who.int/healthinfo/statistics/bod_rheumatoidarthritis.pdf. Di akses tanggal 18
Maret 2017.

Utami, Etika Sri. 2013. Persepsi Lanjut Usia Terhadap Faktor-Faktor Penyebab Rheumatoid
Arthritis di Dusun Kledoan Desa Sumberejo Kecamatan Ngablak Kabupaten
Magelang. http://repository.uksw.edu. Diakses tanggal 18 Maret 2017.

Pathway

Faktor terjadi RA: genetic, lingkungan (infeksi bakteri, jamur, virus, merokok)

Dihasilkan antibody
Adanya antigen penyebab RA Proses Membentuk
oleh proses APC di membrane imunologis Komplek imun
sinovial

Nyeri akut Reaksi inflamasi Peningkatan permeabilitas Masuk ke


mikrovaskular, masuknya ruang sendi
sel inflamasi dan
Sinovial menebal pengendapan fibrin pada
Gangguan membran sinovial
citra tubuh
Terbentuk Pannus Infiltrasi ke dalam os
Subcondria
Deformitas
Nodul
Sendi
Hambatan nutrisi pada kartilago
artikularis

Kurang pajanan Kerusakan Kartilago


Defisiensi
informasi Hilangnya
kartilagokekuatan
tulang Hambatan nekrosis
pengetahuan ototResiko cedera Terbatasnya
Kekakuan gerakan
Adhesi
mobilitas fisik Ankilosis
pada
Erosi
permukaan
Ankilosis
kartilago
fibrosa tulang

Anda mungkin juga menyukai