Anda di halaman 1dari 6

Sungai Progo memiliki daerah aliran seluas 2.

380 km 2 dengan
panjang sungai 140 kilometer. Sungai Progo melintas dari bagian tengah
Jawa Tengah yang berhulu di Gunung Sindoro, melewati Provinsi Jawa
Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta dan berhilir di Samudera
Hindia. Sumber air Sungai Progo selain dari hulu utama yaitu Gunung
Sindoro juga bersumber dari Gunung Merapi, Gunung Menoreh, Gunung
Merbabu, dan Gunung Sumbing. Sebanyak 75% daerah aliran Sungai
Progo berada di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Sebagian besar daerah aliran Sungau Progo dimanfatkan sebagai


lahan pertanian, dengan dominasi pertanian lahan basah yaitu sawah.
Sumber daya air yang melimpah membuat daerah aliran Sungai Progo
merupakan daerah yang baik sebagai daerah pertanian lahan basah.
Sumber daya air telah dimanfaatkan secara optimal guna menunjang
kegiatan pertanian seperti dengan dibangunnya bendungan-bendungan
untuk sarana irigasi sawah.

Debit rerata bulanan Sungai Progo tercatat di beberapa tempat yaitu


di Kali Bawang 58,50 m3/dt, di Duwet 44,78 m3/dt, Badran 17,60 m3/dt
dan di Borobudur 30,30 m3/dt. Sedangkan debit maximum yang tercatat
di Stasiun Duwet sebesar 213,00 m 3/dt dan minimum 1,06 m 3/dt, di
stasiun Kalibawang tercatat maksimum sebesar 331 m 3/dt dan minimum
sebesar 12,00 m3/dt. Stasiun Badran maksimum 103 m3/dt dan minimum
5,76 m3/dt, Stasiun Borobudur maksimum 205 m3/dt dan minimum 6,56
m3/dt.

Kondisi morfologi dari Sungai Progo dipengaruhi oleh Gunung Merapi


sehingga Sungai Progo memiliki material dari lahar dingin. Aliran debris
lahar dingin berpotensi mengubah morfologi aliran Sungai Progo secara
signifikan. Tidak hanya aliran sepanjang sungai saja yang menerima
dampak banjir lahar dingin, tetapi bangunan di sepanjang aliran sungai
juga menerimanya.

Di sepanjang aliran Sungai Progo juga terdapat penambangan pasir


(sand mining) yaitu kegiatan pengambilan material sungai berupa pasir
yang dilakukan dengan atau tanpa alat bantu oleh warga sekitar Sungai
Progo yang bertujuan untuk memenuhi kepentingan ekonomi. Hal
tersebut dilakukan karena semakin tingginya permintaan pasar akan
kebutuhan pasir tersebut maka berdampak pada semakin banyaknya
penambang pasir di daerah Sungai Progo tanpa memperhatikan dampak
lingkungan sekitar. Dengan adanya kegiatan pengambilan material
sungai dengan jumlah yang berlebihan juga akan menyebabkan dampak
alam yang lain, yaitu sering disebut dengan istilah degradasi atau
tergerusnya material sungai akibat dari beberapa faktor, yaitu oleh debit
air yang cukup besar atau oleh kegiatan penambangan pasir itu sendiri
yang berlebihan. Contoh dari dampak agradasi dan degradasi yang
terjadi di sepanjang aliran Sungai Progo khususnya pada bagian hilir
tersebut yaitu seperti masuknya material pasir yang menumpuk di area
Saluran Mataram, tidak berfungsinya Intake Sapon dan amblesnya
beberapa pilar pada jembatan Srandakan.

Secara stratigrafi, daerah Kulon Progo, yang merupakan salah satu


daerah yang dilewati oleh Sungai Progo, jika diurutkan dari formasi yang
paling tua ke muda terdiri dari Formasi Nanggulan, kemudian
terendapkan secara tidak selaras litologi Formasi Jonggrangan dan
Formasi Sentolo.

a. Formasi Nanggulan
Formasi Nanggulan merupakan formasi tertua di Kulon Progo,
dimana formasi ini terletak di Desa Nanggulan yang berada di kaki
sebelah timur pegunungan Kulon Progo. Litologi penyusun formasi
ini terdiri dari Batupasir dengan sisipan lignit, napal pasiran,
batulempung dengan konkresi limonit, sisipan napal dan
batugamping, batupasir dan tuf serta kaya akan fosil foraminifera
dan moluska, dengan ketebalan sekitar 30 meter. Menurut Marks
(1957), Formasi Nanggulan dapat dibagi menjadi tiga anggota
yang secara statigrafi dari bawah ke atas, yaitu:
1) Anggota Axinea (Axinea Beds)
Anggota axinea terletak paling bawah dengan ketebalan
mencapai 40 meter, dimana memiliki tipe penciri laut dangkal
dengan litologi penyusunnya terdiri dari batupasir interkalasi
lignit, kemudian tertutup oleh batupasir dengan kandungan
fosil pelecypoda yang cukup melimpah, dan Axinea dunkeri
Boetgetter yang dominan.
2) Anggota Yogyakarta (Yogyakarta Beds)
Anggota Yogyakarta memiliki litologi penyusun berupa Napal
pasiran, serta batuan dan lempung dengan konkresi yang
bersifat gampingan. Formasi ini terendapkan secara selaras di
atas Anggota Axinea dengan ketebalan sekitar 60 meter.
Formasi ini banyak terdapat fosil gastropoda dengan fosil
penciri Nummulities Djogjakartae.
3) Anggota Discocyclina (Discocyclina Beds)
Lapisan ini memiliki ketebalan 200 meter dengan
menumpang selaras di atas Anggota Yogyakarta yang tersusun
batuan napal dan batugamping berselingan dengan batupasir
dan serpih. Semakin ke atas, kandungan foraminifera
planktonik yang melimpah dengan fosil penciri Discocyciina
omphalus. Formasi Nanggulan memiliki kisaran umur antara
Eosen Tengah sampai Oligosen Atas (Hartono, 1969, vide
Wartono Raharjo dkk, 1977).
b. Formasi Andesit Tua
Formasi Andesit Tua terdiri dari breksi andesit, tuff, aglomerat
dan sisipan aliran lava andesit. Kepingan tuff napalan yang
merupakan hasil rombakan dari lapisan yang lebih tua dijumpai di
kaki Gunung Mudjil di dekat bagian bawah formasi ini. Terletak
secara tidak selaras di atas formasi nanggulan dnegan ketebalan
sekitar 500 meter. Litologinya merupakan hasil proses vulkanisme
gunung api purba yang disebut sebagai Gunung Api Andesit Tua
oleh Van Bemmelen (1949). Gunung api tersebut antara lain
Gunung Menoreh di bagian utara, Gunung Gajah yang berada di
bagian tengah pegunungan, dan Gunung Ijo yang berada di bagian
selatan Pegunugan Kulon Progo.
c. Formasi Jonggrangan
Formasi Jonggrangan tersusun oleh konglomerat, napal tuffan, dan
batupasir gampingan dengan kandungan moluska serta
batulempung dan sisipan lignit di bagian bawah. Di bagian atas
komposisinya batu gamping berlapis dan batugamping koral.
Ketebalan lapisan ini antara 250-400 meter yang berumur miosen
bawah-tengah dan terletak secara tidak selaras di atas formasi
Kebo Butak.
d. Formasi Sentolo
Litologi penyusun formasi ini terdiri dari aglomerat dan napal
yang berada di bagian paling bawah, semakin ke atas berubah
menjadi batugamping berlapis dengan fasies neritik. Di sini juga
ditemukan batugamping koral yang letaknya setempat dengan
umur sama dengan Formasi Jonggrangan. Berdasarkan
pengamatan fosil Globigerina insueta yang dijumpai di bagian
bawah menunjukkan umur yang mewakili zona N8 atau Miosen
Bawah oleh Darwin Kadar (1975, vide Wartono Rahardjo, dkk,
1977)

Struktur geologi yang berkembang di daerah ini ada dua macam,


yaitu struktur kubah dan ketidakselarasan. Pegunungan Kulon Progo
merupakan sebuah dome (kubah) besar yang memanjang ke arah barat
daya timur laut sepanjang 32 km dan melebar ke arah tenggara
barat laut selebar 15 20 km. Pada kaki selatan Gunung Menoreh dapat
ditemukan sinklinal dan sebuah sesar dengan arah barat timur yang
memisahkan Gunung Menoreh dengan Gunung Ijo serta pada sekitar
zona sesar. Pada batasan antara Eosen atas dari Formasi Nanggulan
dengan Formasi Andesit Tua yang berumur Oligosen terdapat
ketidakselarasan berupa disconfirmity.

Provenance merupakan bagian yang sangat penting dalam hal ini


karena berfungsi untuk mengetahui batuan asal sehingga dapat
menghasilkan endapan tersebut dengan kelimpahan yang besar.
Selanjutnya, komposisi atau kandungan mineral diidentifikasi batuan
asalnya dengan cara pemisahan kandungan mineral berat dan ringan,
kemudian dilakukan penentuan komposisi dengan cara pemisahan
kandungan mineral berat dan ringan kemudian dilakukan pengamatan
menggunakan mikroskop binokuler. Melalui cara tersebut, diketahui
bahwa tipe batuan asal endapan pasir dan kerakal adalah batuan beku
intermediet (andesit) pada tatanan busur magmatik yang berasal dari
hasil erupsi Gunung Merapi, Merbabu dan Sumbing serta campuran dari
batuan dari formasi andesit tua.
DAFTAR PUSTAKA

Dana, Cendi Diar Permata, dkk. 2016. Analisis Granulometri, Morfologi


Butir, dan Batuan Asal pada Endapan Pasir-Kerakal di Sepanjang
Aliran Sungai Progo D. I. Yogyakarta. Departemen Teknik Geologi
Fakultas Teknik Unviersitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia. 2010. Keputusan Menteri


Pekerjaan Umum Nomor 590/KPTS/M/2010 Pola Pengelolaan
Sumber Daya Air Wilayah Sungai Progo-Opak-Serang. Menteri
Pekerjaan Umum, Jakarta.

Syamsu, Fandi Reza, Nursetiawan, dan Puji Harsanto. 2016. Assesment


Morfologi Sungai Progo. Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Yogyakarta.

Van Bemmelen, R.W..1970. The Geology of Indonesia, volume 1.


A.Haque, Netherlands.

Anda mungkin juga menyukai