Anda di halaman 1dari 20

PENGANTAR ILMU DAN TEKNOLOGI MARITIM

HUKUM LAUT

DI SUSUN OLEH:

Zuraidah 130155201025
Fatemawati 130155201034
Umi Kalsum 130155201055
Azwir Febriansyah 130155201063
Ogi 130155201075
Harry Awanda 140155201038

TEKNIK INFORMATIKA

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI

2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis limpahkan kehadirat Allah SWT, karena atas


pertolongannya_Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
Teknologi Maritime ini tepat pada waktu yang telah direncanakan. Tak lupa
sholawat serta salam Penulis haturkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta
keluarga dan sahabat, semoga selalu dapat menuntun penulis pada ruang dan
waktu yang lain.

Dalam penyelesaian makalah ini tidak jarang penlis menemukan kesulitan-


kesulitan. Akan tetapi, berkat motivasi dan dukungan dari berbagai pihak,
kesulitan-kesulitan itu akhirnya dapat diatasi. Maka dari itu, melalui kesempatan
ini penulis menyampaikan rasa terima kasih sebanyak-banyaknya kepada berbagai
pihak yang telah membantu penulis.

Penulis menyadari selesainya makalah ini, masih jauh dari kesempurnaan.


Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis
harapkan. Akhirnya penulis berharap agar malakah ini bermanfaat bagi pembaca.

Tanjungpinang, 23 Maret 2017

Penulis

2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tidak ada cabang hukum internasional yang lebih banyak mengalami
perubahan secara revolusioner selama empat dekade terakhir, dan khususnya
selama satu setengah dekade terakhir, selain dari pada hukum laut dan jalur-jalur
maritim (maritime highways). Penandatanganan akhir pada tanggal 10 Desember
1982, di Montego Bay - Jamaica, oleh sejumlah besar negara (tidak kurang dari
seratus delapan belas negara) yang terwakili dalam Konferensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa Ketiga tentang Hukum Laut 1973 sampai 1982 (UNCLOS) guna
menyusun suatu ketentuan hukum internasional yang komprehensif berkaitan
dengan hukum laut dibawah judul Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
mengenai Hukum Laut, mungkin merupakan perkembangan paling penting dalam
keseluruhan sejarah ketentuan hukum internasional berkenaan dengan lautan
bebas. Dalam kaitan ini, yang perlu dikemukakan hanyalah bahwa sebagian
terbesar dari Konvensi, yang memuat ketentuan-ketentuan hukum yang cukup
penting didalamnya, meskipun hukum yang lama banyak yang berubah
karenanya, saat ini tampaknya menuntut konsensus umum dari masyarakat
internasional.

Dalam hal ini harus disadari bahwa siapapun tidak dapat melompat,
dengan tanpa banyak melakukan pembahasan, kepada suatu analisis atas
Konvensi 1982 ini seakan-akan konvensi itu sendiri sudah cukup menjelaskan
tentang rezim hukum internasional mengenai laut, dasar laut dan wilayah-wilayah
maritim dewasa ini. Mengutip pendapat seorang ahli sejarah terkenal, Dr. A. L.
Rowse, landasan dari semua perkembangan ilmu sosial adalah sejarah; dari
sanalah ilmu-ilmu sosial itu menemukan, baik dalam kadar yang lebih besar
maupun lebih kecil, pokok permasalahan dan bahan-bahan, verifikasi dan
kontradiksi. Selain dari sejarah yang harus dipahami, pengertian dari hukum laut
baik itu hukum laut nasional maupun hukum laut internasional juga harus
dipahami terlebih dahulu

3
1.2. Rumusan Masalah

Masalah yang akan di bahas dalam makalah ini adalah:

1. Hukum Laut Nasional?


2. Pengertian Hukum Laut Internasional?
3. United Nations Convention Law of the Sea (UNCLOS)?
a. UNCLOS I?
b. UNCLOS II?
c. UNCLOS III?
d. Negara yang sudah meratifikasi UNCLOS?
4. Pembagian Area Laut Suatu Negara Berdasarkan UNCLOS
a. Base Line (Garis Pangkal)?
b. Internal Waters (Perairan Pedalaman)?
c. Teritorial Sea (Laut Teritorial)?
d. Contiguous Zone (Zona Tambahan)?
e. Exclusive Economic Zone (Zona Ekonomi Eksklusif)?
f. Continental Shelf (Landasan Kontinen)?
g. High Sea (Laut Lepas)?
5. Exclusive Economic Zone (Zona Ekonomi Eksklusif)?
a. Negara yang mempunyai Leading Exclusive Economic Zone?
b. Pengertian Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI)?
c. Hak & Kewajiban Indonesia atas ZEEI?
d. Hak dan Kewajiban Negara lain atas ZEEI?
6. Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI)?

1.3. Tujuan Penulisan

Tujuan dibuatnya makalah ini adalah untuk mengetahui:

1. Mengetahui Bagaimana Hukum Laut Baik Nasional Serta


Internasional Dan Pembagian Wilayah Laut Berdasarkan UNCLOSE.

1.4. Manfaat Penulisan

Manfaat yang diperoleh dari pembuatan makalah ini adalah:

1. Menambah Wawasan Dan Pengetahuan dalam Mengetahui Bagaimana


Hukum Laut Baik Nasional Serta Internasional Dan Pembagian Wilayah
Laut Berdasarkan UNCLOSE.

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Hukum Laut Nasional


Sebelum melihat pengetian hukum laut nasional terlebih dahulu kita

melihat pengertian laut. Laut adalah keseluruhan rangkaian air asin yang

menggenangi permukaan bumi, tetapi definisi ini hanya bersifat fisik

5
semata. Sedangkan laut menurut definisi hukum adalah keseluruhan air

laut yang berhubungan secara bebas di seluruh permukaan bumi.


Menurut Dr. Wirjono Prodjodikoro SH, menyatakan bahwa pemakaian

istilah Hukum Lauttanpa penjelasan akan menimbulkan keragu-raguan,

bahkan mungkin ada kesalahpahaman. Terutama sekali, oleh karena dalam

perpustakaan ilmu pengetahuan hukum di Negeri Belanda dengan tidak

sedikit pengaruhnya di Indonesia istilah Zee-recht biasanya terpakai

dalam arti yang lebih sempit daripada yang dimaksudkan oleh Dr. Wirjono

Prodjodikoro SH, dengan istilah Hukum Laut.


Ada misalnya dua buku, yang satu dari Mr. W. L. P. A. Molengraaff,

yang lain dari Mr. H. F. A. Vollmar, yang secara monografi meninjau hal

yang mereka namakan Zee-recht. Dan lagi ada buku kecil dari Mr. F. G.

Scheltema tentang Het Nieuwe Zeerecht. Ternyata yang ditinjau oleh

tiga penulis tadi ialah peraturan-peraturan hukum yang ada hubungannya

dengan pelajaran kapal di laut dan teristimewa mengenai pengangkutan

orang atau barang dengan kapal laut.


Juga sekiranya dapat dikatakan, bahwa hal yang mereka tinjau itu,

hanyalah pada pokoknya peraturan-peraturan hukum yang berada di dalam

lingkungan privaatrecht (Hukum Perdata), tidak meliputi peraturan

hukum yang berada dalam lingkungan public recht (hukum public).


Lain dari pada penulis-penulis tersebut, Dr. Wirjono Prodjodikoro SH,

bermaksud meninjau peraturan-peraturan hukum yang tidak terbatas pada

lingkungan privaatrecht, melainkan meliputi juga hal-hal yang oleh

penulis-penulis tersebut diserahkan peninjauannya kepada penulis-penulis

tentang hukum internasional publik, seperti misalnya Mr. J. P. A. Francois

6
dan L. Oppenheim-H. Lautterpacht, yaitu antara lain mengenai teritoriale

zee (perairan territorial di laut) atau hal mencari ikan di laut lebih-lebih

Dr. Wirjono Prodjodikoro SH, tidak membatasi peninjauan pada hukum

privaat, oleh karena hukum adat di Indonesia pada aslinya tidak menyadari

adanya perincian hukum secara pembedaan antara privaatrecht dan

publicrecht. Demikianlah agar jelas semula, bahwa istilah hukum laut

dalam arti luas yaitu meliputi segala peraturan hukum yang ada

hubungannya dengan laut, sedang pembatasan peninjauan terletak pada hal

yaitu hanya hukum laut bagi Indonesia, artinya sekedar berlaku untuk

Republik Indonesia dan para warganya


C. Sejarah Hukum Laut Nasional
Keputusan Mahkamah Internasional tahun 1951
Cara penentuan laut territorial di sekeliling kepulauan Indonesia

menurut cara yang kita perbincangkan sekarang mau tidak mau akan

mengambil sebagai suatu garis dasar (base-line) suatu garis lurus yang

menghubungkan titik ujung terluar dari pada kepulauan Indonesia. Cara

penarikan straight base-lines from point to point ini mendapat

pengakuan dalam hukum intenasional denga keputusan Mahkamah

Internasional dalam Anglo-Norwegian Fisheries Case pada tanggal 18

Desember 1951. Cara penentuan base-line yang ditetapkan dalam Royal

Norwegian Degree dari tanggal 12 Juli ini dibenarkan oleh Mahkamah

yang menyatakan that the base-lines fixed by the said degree were not

contrary to international law.


Sangat menarik adalah sebab yang mendorong Mahkamah

Internasional untuk mengambil keputusan itu katanya disebabkan oleh

7
geographical realities dan juga dipengaruhi oleh economics interest

peculiar to a region, the reality and importance of which are clearly

evidenced by long usage. Walaupun keadaan geografis Indonesia

berlainan yakni garis-garis yang menghubungkan titik ujung akan jauh

lebih panjang dari pada garis terpanjang yang diketengahkan dalam

pertikaian antara Inggris dan Norwegia itu (44 mil), namun keadaan

Indonesia sebagai suatu pulau cukup unik untuk dapat membenarkan cara

penentuan garis pangkal (base-line) yang serupa. Yang penting dalam

Anglo Norwegian Fisheries Case ini adalah bahwa suatu cara penarikan

garis pangkal yang lain dari pada cara yang klasik (yaitu menurut garis air

rendah) telah mendapat pengakuan dari Mahkamah Internasional.


Jadi yang kita lakukan adalah peninjauan kembali dari pada base-line

(garis pangkal) yang disesuaikan dengan keadaan Indonesia sebagai suatu

kepulauan (archipelago).
Dengan demikian kita memperbaiki Undang-undang yang dahulu

hanya mengutamakan kesamaan hukum antara Indonesia sebagai

oversees gebiedsdeel dengan Negeri Belanda dalam lingkungan Het

Koninkrijk der Nederlanden, dari pada kepentingan integritet territorial

dari pada Indonesia sebagai suatu negara kepulauan dan kepentingan

rakyat (dilihat dari sudut ekonomi yaitu lautan sebagai sumber kekayaan

alam). Untuk menjamin kelancaran Negeri yang sangat penting untuk

menyangkal tuduhan-tuduhan negara-negara lain bahwa kita menghalang-

halangi pelayaran bebas, perlu adanya jaminan bahwa : ..lalu lintas

8
yang damai di lautan pedalaman bagi kapal asing dijamin selama tidak

membahayakan kedaulatan dan keselamatan negara Indonesia

2.2 Pengertian Hukum Laut Internasional


Laut, terutama lautan samudera, mempunyai sifat istimewa bagi manusia.

Begitu pula hukum laut, oleh karena hukum pada umumnya adalah

rangkaian peraturan-peraturan mengenai tingkah laku orang-orang sebagai

anggota masyarakat dan bertujuan mengadakan tata tertib diantara

anggota-anggota masyarakat itu. Laut adalah suatu keluasan air yang

meluas diantara berbagai benua dan pulau-pulau di dunia. Tidak dapat

dikatakan dalam pengertian biasa, bahwa di atas atau didalam air yang

amat meluas itu, ada orang manusia berdiam atau menetap. Sebenarnya

laut merupakan jalan raya yang menghubungkan transportasi keseluruh

pelosok dunia. Melalui laut, masyarakat internasional dan subjek-subjek

hukum internasional lainnya yang memiliki kepentingan dapat melakukan

perbuatan-perbuatan hukum dalam hal pelayaran, perdagangan sampai

penelitian ilmu pengetahuan.


Maka pada hakekatnya lain dari pada di benua-benua dan di pulau-

pulau, adalah sukar bahkan barangkali tidak mungkin ditengah-tengah

lautan terdiri suatu masyarakat tertentu, apalagi suatu negara. Dengan

demikian pada hakekatnya, segala peraturan hukum yang berlaku dalam

tiap-tiap negara, selayaknya terhenti berlaku apabila melewati batas

menginjak pada laut. Tetapi bagi orang-orang manusia yang berdiam di

tepi laut, sejak dahulu kala, ada dirasakan dapat dan berhak menguasai

sebagian kecil dari laut yang terbatas pada pesisir itu. Ini justru oleh

9
karena didasarkan tidak ada orang lain yang berhak atas laut selaku suatu

keluasan air.
Maka ada kecenderungan untuk memperluas lingkaran berlakunya

peraturan-peraturan hukum di tanah pesisir itu sampai meliputi sebagian

dari laut yang berada di sekitarnya. Sampai berapa jauh kearah laut

peraturan-peraturan hukum dari tanah pesisir ini berlaku, adalah hal yang

mungkin menjadi soal, terutama apabila tidak jauh dari tanah pesisir itu

ada tanah pesisir dibawah kekuasaan negara lain. Maka dengan ini sudah

mulai tergambar suatu persoalan internasional, apabila orang menaruh

perhatian pada hukum mengenai laut. Maka dapat dimaknai bahwa hukum

laut internasional adalah kaidah-kaidah hukum yang mengatur hak dan

kewenangan suatu negara atas kawasan laut yang berada dibawah

yurisdiksi nasionalnya (national jurisdiction).


2.3 United Nations Convention Law of the Sea (UNCLOS)
a. UNCLOS I
b. UNCLOS II
c. UNCLOS III
d. Negara yang sudah meratifikasi UNCLOS
2.4 Pembagian Area Laut Suatu Negara Berdasarkan UNCLOS
Dalam UNCLOS 1982 disebutkan adanya 6 (enam) wilayah laut yang

diakui dan ditentukan dari suatu garis pangkal yaitu :


a. Base Line ( Garis Pangkal )
Garis pangkal dalam UNCLOS 1982 (pasal 5), mempunyai

pengertian yang merujuk pada pengertian garis pangkal normal,

yang merupakan kedudukan garis air rendah (low water line)

sepanjang pantai. Garis pangkal tersebut harus dicantumkan dalam

peta skala besar resmi suatu negara pantai atau diberikan dalam

10
bentuk koordinat geografis, yang selanjutnya diumumkan secara

resmi serta diserahkan salinannya kepada Sekjen PBB.


UNCLOS 1982 memberikan kebebasan kepada setiap negara

pantai untuk menentukan garis pangkal yang akan digunakan untuk

menetapkan batas wilayah perairan negaranya. Untuk menentukan

garis pangkal dalam menetapkan batas laut antara dua negara,

diperlukan kesepakatan dari negara yang bersangkutan, selama

masih sesuai dengan aturan yang terdapat dalam UNCLOS 1982.


Sebelum menentukan garis pangkal, terlebih dahulu menentukan

titik-titik dasar yang digunakan sebagai dasar dalam menentukan

garis pangkal yang akan digunakan.Titik dasar merupakan titik-

titik yang mempunyai koordinat geografis yang dapat digunakan

untuk membentuk suatu garis pangkal, dimana batas maritim suatu

negara akan ditentukan.


Dalam UNCLOS 1982, disebutkan bahwa garis pangkal

harus ditunjukkan pada peta dengan skala yang memadai, lengkap

dengan daftar koordinat geografisnya. Oleh karena itu, titik

pangkal yang membentuknya harus ditentukan dengan sistem

koordinat yang sesuai dengan tingkat ketelitian yang handal.

Seberapa jauh tingkat ketelitian ini tidak diterangkan secara jelas

dalam UNCLOS 1982, maka tingkat ketelitian penentuan titik

pangkal adalah semaksimal mungkin yang dapat dicapai oleh suatu

negara.
Terdapat beberapa macam garis pangkal yang ditetapkan dalam

UNCLOS 1982, yaitu :


1. Garis Pangkal Biasa (Normal Baseline)

11
Menurut UNCLOS 1982 (pasal 5, 6, 11 dan 13) garis pangkal

normal didefinisikan sebagai garis air rendah sepanjang tepian

daratan sekaligus pulau, atol dan batas instalasi pelabuhan

permanen yang ditandai dengan simbol yang sesuai pada peta laut

skala besar.
Air rendah yang dimaksud dalam Undang-undang No.6 tahun 1996

tentang Perairan Indonesia, garis pangkal normal didefinisakan

sebagai garis air rendah sepanjang pantai, sedangkan pada

Peraturan Pemerintah No.38 tahun 2002, tentang Daftar Koordinat

Geografis Titik-titik Pangkal Kepulauan Indonesia, garis pangkal

normal disebut dengan garis pangkal biasa. Ilustrasi dari garis

pangkal normal dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Garis Pangkal Normal (Septyan, 2010)


Pada pasal 6 UNCLOS 1982 disebutkan bahwa untuk negara-

negara pantai yang memiliki karang di sekitarnya, garis pangkal

normal ditetapkan pada garis air rendah yang menghadap pada peta

laut yang diakui secara resmi oleh negara pantai yang

bersangkutan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 2.3.

Hal penting yang perlu diketahui di sini adalah bahwa yang

12
dimaksud dengan karang adalah karangkarang kering yang selalu

berada di atas permukaan laut baik pada waktu pasang naik

maupun turun. (Agoes, 1996)

Gambar 2.3 Garis pangkal normal pada pulau yang memiliki

karang (Samudro,
2001)

2. Garis Pangkal Lurus (Straight Baseline)


Dalam proses penentuan garis pangkal seringkali dijumpai kondisi pantai
yang sangat kompeks, sehingga bila batas perairan suatu negara ditentukan
dengan menarik garis pangkal normal akan sangat merugikan negara tersebut.
Oleh karena itu, UNCLOS 1982 mengizinkan negara pantai untuk
menentukan batas perairannya yang ditarik dengan menggunakan sistem garis
pangkal lurus.
Pengertian garis pangkal lurus menurut UNCLOS 1982 pasal 7 adalah suatu
sistem yang terdiri dari garis-garis lurus yang menghubungkan titik-titik
tertentu pada garis air rendah yang merupakan titik terluar dari negara pantai.

13
Penarikan garis pangkal lurus ini dapat ditentukan bila telah dilakukan survei
terhadap kedinamikaan pantai. Survei dapat dilakukan secara langsung dengan
melihat kondisi pantai atau dengan menggunakan teknologi penginderaan
jauh, yaitu dengan menggunakan citra satelit yang kemudian citra tersebut
diolah sehingga dapat ditentukan sifat dari pantai tersebut. Ilustrasi dari garis
pangkal lurus dapat dilihat pada gambar 2.4.

Gambar 2.4 Garis Pangkal Lurus (Djunarsjah,2007)


Berikut ini adalah hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam penentuan garis
pangkal lurus :
Persyaratan teknis penarikan garis pangkal lurus dari titik-titik terluar, untuk
kasus wilayah yang terdiri dari banyak pulau kecil.
Panjang garis pangkal lurus maksimal untuk penarikan batas laut.
Cara penarikan garis pangkal lurus pada suatu instalasi yang secara permanen
berada diatas permukaan laut (contoh: mercusuar) atau apabila elevasi surut
terletak dalam wilayah laut suatu negara.
Cara penarikan garis pangkal lurus elemicin rupia sehingga tilak emoting
wilayah negara yang berates.
3. Garis Penutup (Closing Line)
Pada prinsipnya garis penutup merupakan garis pangkal lurus yang
menghubungkan titik-titik pada muara sungai, teluk, instalasi pelabuhan dan

14
sebagainya yang panjang garis penutup tersebut tidak lebih dari 24 mil laut.
Dalam UNCLOS 1982, terdapat tiga macam garis penutup, yaitu :

Garis Penutup Sungai


Dalam UNCLOS 1982 pasal 9, dijelaskan bahwa apabila terdapat suatu sungai
mengalir langsung ke laut, maka garis pangkal yang ditarik adalah suatu garis
lurus yang melintasi mulut sungai atau muara sungai antara titiktitik pada
garis air rendah kedua tepi sungai yang menonjol dan berseberangan. Dalam
PP No.38 tahun 2002 pasal 7, dijelaskan juga bahwaperairan yang terletak
pada sisi dalam garis penutup adalah perairan pedalaman dan perairan yang
terletak pada sisi luar garis penutup tersebut adalah laut teritorial. Ilustrasi dari
garis penutup sungai dapat dilihat pada gambar 2.5.

Gambar 2.5 Garis Penutup Sungai (Djunarsjah, 2007)

Garis Penutup Teluk


Dalam UNCLOS 1982 pasal 10, teluk didefinisikan sebagai suatu lekukan
pantai dimana luasnya sama atau lebih luas dari luas setengah lingkaran yang
mempunyai garis tengah yang melintasi mulut lekukan tersebut. UNCLOS
1982 hanya memperbolehkan garis penutup pada teluk yang diakui baik secara
historis maupun secara yuridis menjadi bagian dari suatu negara pantai. Dalam

15
penarikan garis penutup teluk tidak boleh melebihi 24 mil laut. Bila memang
setelah ditarik garis penutup teluk jaraknya adalah lebih dari 24 mil laut, maka
yang digunakan adalah garis pangkal normal ataupun garis pangkal lurus
sesuai dengan sifat dari pantai negara yang bersangkutan.Ilustrasi dari garis
penutup teluk dapat dilihat pada Gambar 2.6.

Gambar 2.6 Garis Penutup Teluk (Djunarsjah, 2007)

Garis Penutup Pelabuhan


Dalam PP No.38 tahun 2002 pasal 8, dijelaskan bahwa pada daerah pelabuhan,
garis pangkal untuk mengukur lebar laut teritorial adalah garisgaris lurus
sebagai penutup daerah pelabuhan, yang meliputi bangunan permanen terluar
yang merupakan bagian integral sistem pelabuhan sebagai bagian dari pantai.
Garis penutup pelabuhan ditarik antara titik-titik terluar pada garis air rendah
pantai dan titik-titik terluar bangunan permanen terluar yang merupakan
bagian integral sistem pelabuhan.
Perairan yang terletak pada sisi dalam garis penutup pelabuhan adalah
perairan pedalaman dan perairan yang terletak pada sisi luar garis penutup

16
pelabuhan adalah laut teritorial.Ilustrasi dari garis penutup pelabuhan dapat
dilihat pada gambar 2.7.

Gambar 2.7 Garis Penutup Pelabuhan (Djunarsjah, 2007)

4. Garis Pangkal Kepulauan (Archipelagic Baseline)


Garis pangkal kepulauan didefinisikan sebagai garis pangkal lurus yang
menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau atau karang-karang terluar
yang digunakan untuk menutup seluruh atau sebagian dari negara kepulauan.
Negara kepulauan dapat menarik garis pangkal lurus kepulauan yang
menghubungkan titik-titik terluar pulau-pulau dan karang kering terluar
kepulauan itu, dengan ketentuan adalah sebagai berikut :
Dalam garis pangkal demikian termasuk pulau-pulau utama dan suatu daerah
dimana perbandingan antara daerah perairan dan daerah daratan, termasuk
atol, adalah antara satu berbanding satu (1 : 1) sampai dengan sembilan
berbanding satu (9 : 1).

17
Panjang garis pangkal kepulauan tidak boleh melebihi 100 mil laut, kecuali
bahwa hingga 3% dari jumlah seluruh garis pangkal yang mengelilingi setiap
kepulauan dapat melebihi kepanjangan tersebut, hingga pada suatu
kepanjangan maksimum 125 mil laut.
Penarikan garis pangkal kepulauan tidak boleh menyimpang dari konfigurasi
umum negara kepulauan. Garis pangkal kepulauan tidak boleh ditarik dari dan
ke elevasi surut (low tide elevation), kecuali jika di tempat tersebut telah
didirikan mercusuar atau bangunan permanen lainnya yang selalu muncul di
atas permukaan laut baik pada saat surut maupun pada saat pasang tertinggi.
Negara Kepulauan berkewajiban menetapkan garis pangkal kepulauan pada
peta dengan skala yang cukup untuk menetapkan posisinya. Peta atau daftar
koordinat geografis harus diumumkan sebagaimana mestinya dan satu salinan
dari setiap peta atau daftar koordinat geografis harus didepositkan pada
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa.Ilustrasi dari garis pangkal
kepulauan dapat dilihat pada gambar 2.8.

Gambar 2.8 Garis Pangkal Kepulauan (Djunarsjah, 2007)

18
a. Internal Waters (Perairan Pedalaman)
Dalam pasal 8 ayat (1) United Nations Conventions on the Law of the
Sea (UNCLOS 1982) disebutkan bahwa yang dinamakan Perairan
Pedalaman adalah perairan pada sisi darat garis pangkal laut teritorial.
Pasal tersebut selengkapnya berbunyi, perairan pada sisi darat garis
pangkal laut territorial merupakan bagian perairan pedalaman negara
tersebut.[1] Sedangkan dalam pasal 3 (4) UU No. 6 Tahun 1996
Tentang Perairan Indonesia disebutkan bahwa, Perairan Pedalaman
Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada sisi darat dari garis
air rendah dari pantai-pantai Indonesia, termasuk kedalamnya semua
bagian dari perairan yang terletak pada sisi darat dari suatu garis
penutup sebagaimana dimaksud dalam pasal 7. Perairan Pedalaman
Indonesia terdiri atas: laut pedalaman, dan perairan darat.
b. Teritorial Sea (Laut Teritorial)
Dalam pasal 3 UNCLOS 1982 disebutkan bahwa negara setiap
negara pantai berhak menetapkan lebar Laut Teritorialnya hingga suatu
batas yang tidak boleh melebihi 12 mil laut, diukur dari garis pangkal
yang telah ditentukan. Dalam wilayah Laut Teritorial, negara
mempunyai kedaulatan penuh, kecuali hak lintas damai bagi kapal-
kapal niaga dan kapal-kapal perang asing (pasal 17 UNCLOS 1982).
Semua kapal-kapal asing yang melintasi Laut Teritorial suatu negara
wajib mematuhi semua peraturan dan undang-undang dari negara
terkait dan juga peraturan-peraturan internasional yang terkait dengan
pencegahan tabrakan di laut (pasal 21 UNCLOS 1982).

2.5 Exclusive Economic Zone ( Zona Ekonomi Eksklusif )


a. Negara yang mempunyai Leading Exclusive Economic Zone
b. Pengertian Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI)
c. Hak & Kewajiban Indonesia atas ZEEI
d. Hak dan Kewajiban Negara lain atas ZEEI
2.6 Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI)

19
maskun S.H. L.L.M, (2012). jalur-jalur laut Indonesia
http://www.negarahukum.com/hukum/jalur-jalur-laut-indonesia.html Diakses
pada Senin, 8 Mei 2017.

Pembagian Wilayah Laut. http://digilib.itb.ac.id/files/disk1/455/jbptitbpp-gdl-


federicoad-22706-3-2012ta-2.pdf diakses pada tanggal 7 Mei 2017.

muhammadmusnur, (2012). pengertian-hukum-laut-nasional-dan


http://muhammadmusnur.blogspot.co.id/2012/04/pengertian-hukum-laut-nasional-
dan.html Diakses pada Senin, 8 Mei 2017.

20

Anda mungkin juga menyukai