Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Salah satu kejahatan yang sering terjadi di Indonesia adalah kekerasan


dalam rumah tangga (KDRT). Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yaitu
setiap perbuatan terhadap anggota keluarga, yang berakibat timbulnya
kesengsaraan atas penderitaan secara fisik, seksual, psikologi, dan perampasan
kemerdekaan seseorang melawan hukum dalam lingkungan rumah tangga. Ada
beberapa faktor penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, antara lain
hidup dalam kemiskinan/ himpitan ekonomi, sejak kecil terbiasa melihat dan
mengalami kekerasan dalam rumah tangga, pemabuk, frustasi, kelainan jiwa, tidak
adanya pengertian antara suami isteri mengenai hak dan kewajiban dalam
membina keluarga.1

Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau biasa juga disebut sebagai


kekerasan domestik (domestic violence) merupakan suatu masalah yang sangat
khas karena kekerasan dalam rumah tangga terjadi pada semua lapisan masyarakat
mulai dari masyarakat berstatus sosiaal rendah sampai masyarakat berstatus sosial
tinggi. Sebagian besar korban KDRT adalah perempuan, apakah istri atau anak
perempuan dan pelakunya biasanya ialah suami (walaupu ada juga korban justru
sebaliknya) atau orang-orang yang tersubordinasi di dalam rumah tangga itu.1

Kekerasan dalam rumah tangga memiliki tren yang terus meningkat dari
tahun ketahun. Data yang diperoleh dari Jurnal Perempuan edisi ke 45,
menunjukkan bahwa dari tahun 2001 terjadi 258 kasus Kekerasan Dalam Rumah
Tangga. Tahun 2002 terjadi sebanyak 226 kasus, pada tahun 2003 sebanyak 272
kasus, tahun 2004 terjadi 328 kasus dan pada tahun 2005 terjadi 455 kasus
Kekerasan Dalam Rumah Tangga.2 Pada tahun 2007, KDRT cenderung turun
namun belum signifikan yaitu masih 87,32 persen dengan jumlah kasus 284.
Hingga Desember 2008, jumlah kasus KDRT masih tinggi yakni 279 kasus

1
dengan korban perempuan sebanyak 275 kasus. Pelaku KDRT masih didominasi
oleh suami sebesar 76,98 persen dan 6,12 persen dilakukan oleh mantan suami,
sisanya 4,68 persen dilakukan oleh orang tua, anak, dan saudara dan 9,35 persen
oleh pacar atau teman dekat.2

Lebih dari setengah korban KDRT mendapatkan lebih dari satu jenis luka
pada lebih dari satu lokasi pada tubuh korban. Ini sesuai dengan teori yang
menyebutkan bahwa korban KDRT pada umumnya mengalami kekerasan yang
berulang dengan berbagai macam jenis kekerasan yang umumnya tumpul dan
dilakukan oleh pelaku pada lokasi tubuh yang berbeda. 4 Kejadian KDRT dapat
menyebabkan morbiditas, mortalitas, dan tidak menutup kemungkinan akan
mempengaruhi kesehatan mental pada korban. Kasus KDRT yang tidak ditangani
secara tuntas akan menimbulkan lingkaran kekerasan. Pola ini berarti kekerasan
akan terus berulang, bahkan korban kekerasan suatu saat dapat menjadi pelaku
kekerasan.3

Indonesia memiliki UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan


Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) yang kemudian mulai
diberlakukan tahun 2005. Kehadiran UU PKDRT dengan tegas menyatakan
tindakan kekerasan fisik, psikologis, seksual dan penelantaran yang dilakukan di
dalam lingkup rumah tangga sebagai sebuah tindak pidana. Bahkan Undang-
Undang ini melindungi hak perempuan untuk bebas dari marital rape atau
perkosaan dalam perkawinan. Undang-Undang ini tidak hanya dilengkapi dengan
pengaturan sanksi tetapi juga tentang hukum acaranya karena KDRT adalah isu
yang membutuhkan penanganan khusus. Termasuk di dalamnya adalah tentang
kewajiban negara memberikan perlindungan segera kepada korban yang melapor.
Ini adalah sebuah terobosan hukum yang sangat penting bagi upaya penegakan
Hak Asasi Manusia (HAM) pada umumnya, mengingat sampai hari ini pun belum
ada lagi sistem perlindungan untuk saksi dan korban.3

Kekerasan Dalam Rumah Tangga menjadi kasus yang tak pernah habis
dibahas karena meskipun berbagai instrumen hukum, mulai dari Internasional
sampai pada tingkat nasional belum mampu menekan angka kasus Kekerasan

2
Dalam Rumah Tangga yang terjadi, karena terdapat permasalahan pada kultur atau
mind set masyarakat Indonesia yang masih menganggap permasalahan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga adalah masalah internal keluarga sehingga sangat sedikit
mereka yang menjadi korban berani bersuara. Korban kekerasan dakam rumah
tangga biasanya enggan untuk melaporkan kejadian yang menimpa dirinya karena
tidak tahu kemana harus mengadu.

1.2. Rumusan Masalah

1. Apa definisi dari Kekerasan Dalam Rumah Tangga?

2. Bagaimana gambaran Epidemiologi dari KDRT?

3. Apa Etiologi dari KDRT?

4. Apa saja Dampak dari KDRT?

5. Bagaimana Ketentuan Pidana tentang KDRT?

6. Bagaimana Perlindungan Saksi dan Korban KDRT?

7. Apa pengertian dari Delik?

1.3. Tujuan Penulisan

a. Tujuan Umum

Agar masyarakat secara umum dapat memahami apa yang


termasuk tindakan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan mengetahui
sanksi pidana dari tindakan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

b. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui definisi dari Kekerasan Dalam Rumah Tangga?

2. Untuk mengetahui Epidemiologi dari KDRT?

3. Untuk mengetahui Etiologi dari KDRT?

3
4. Untuk mengetahui Dampak dari KDRT?

5. Untuk mengetahui Ketentuan Pidana tentang KDRT?

6. Untuk mengetahui Perlindungan Saksi dan Korban KDRT?

7. Untuk mengetahui pengertian dari Delik?

BAB II

4
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah setiap perbuatan


terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan
atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah
tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau
perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga
(UU Peghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga No. 23 Tahun 2004 Pasal 1
angka 1 (UU PKDRT).5

Menurut UU PKDRT No. 23 Tahun 2004 Pasal 2 lingkup rumah tangga meliputi:5

a Suami, isteri, dan anak


b Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orangsuami,
istri, dan anak karena hubungan darah, perkawinan,persusuan,
pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau
c Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah
tangga tersebut.

2.2 Epidemiologi

Komnas Perempuan mencatat pada tahun 2005, kekerasan terhadap


perempuan sebanyak 20.391 kasus yang ditangani oleh lembaga layanan di 29
propinsi. Angka tersebut menunjukkan peningkatan 45%, jika dibandingkan tahun
2004 yaitu 14.020 kasus, diantaranya 2470 (dua ribu empat ratus tujuh puluh)
termasuk kasus KDRT (Kussunaryatun, 2006: 60). Sedangkan data pemerintah
sebagaimana dikutip oleh Djannah (2006: 26) tentang kasus kekerasan yang
terjadi di seluruh Indonesia dalam tahun 1997-1999 berjumlah 835 kasus. Dari
jumlah tersebut, 673 merupakan kasus perkosaan, 96 kasus pelecehan seksual, dan
66 adalah kasus kekerasan dalam rumah tangga.6

Data komnas Perempuan (2005), menunjukkan bahwa dari tahun 2001


terjadi 258 kasus kekerasan dalam rumah tangga. Tahun 2002 terjadi sebanyak

5
226 kasus, pada tahun 2003 sebanyak 272 kasus, tahun 2004 terjadi 328 kasus dan
pada tahun 2005 terjadi 455 kasus kekerasan dalam rumah tangga. Kekerasan
dalam rumah tangga menjadi kasus yang tak pernah habis dibahas karena
meskipun berbagai instrumen hukum, mulai dari internasional sampai pada
tingkat nasional belum mampu menekan angka kasus kekerasan dalam rumah
tangga yang terjadi. Dari data di atas dapat kita ketahui bahwa dari tahun ke tahun
kekerasan dalam rumah tangga cenderung meningkat dan kekerasan yang
dihadapai perempuan juga meningkat. Sedangkan dari sumber yang sama
Menurut Departemen Kehakiman Amerika Serikat, antara tahun 1998 dan 2002 :
dari 3,5 juta kejahatan kekerasan yang dilakukan terhadap anggota keluarga,
tercatat 49 % di antaranya merupakan kejahatan terhadap pasangan, 84 % dari
pasangan korban pelecehan adalah perempuan.

Data Komnas Perempuan menunjukkan bahwa pada awal tahun 2004


menunjukkan peningkatan serius dalam jumlah kasus kekerasan berbasis gender
yang menimpa perempuan. Pada tahun 2001 terdapat 3.169 kasus yang dilaporkan
ke lembaga pengada layanan tersebut. Pada tahun 2002 angka itu meningkat
menjadi 5.163 kasus dan tahun 2003 terdapat 5.934 kasus. Sedangkan tahun 2006,
catatan dari Ketua Komnas Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Kamala
Chandrakirana) menunjukkan kekerasan terhadap perempuan (KTP) sepanjang
tahun 2006, mencapai 22.512 kasus, dan kasus terbanyak adalah kekerasan dalam
rumah tangga sebanyak 16.709 kasus atau 76%.5

2.3 Bentuk-Bentuk KDRT

Mengacu kepada UU No. 23 Tahun 2004 Pasal 5 tentang Penghapusan


Kekerasan dalam Rumah tangga, kekerasan dalam rumah tangga dapat berwujud:7

a. Kekerasan Fisik
b. Kekerasan Psikis
c. Kekerasan Seksual

6
d. Penelantaran rumah tangga

a. Kekerasan fisik menurut UU No. 23 Tahun 2004 Pasal 6


Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit,
jatuh sakit, atau luka berat. Kekerasan fisik yang dialami korban seperti:
pemukulan menggunakan tangan maupun alat seperti (kayu, parang),
membenturkan kepala ke tembok, menjambak rambut, menyundut dengan
rokok atau dengan kayu yang bara apinya masih ada, menendang,
mencekik leher.
b. Kekerasan psikis menurut UU No. 23 Tahun 2004 Pasal 7
Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan,
hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa
tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
Kekerasan psikis berupamakian,ancaman cerai, tidak memberi nafkah,
hinaan, menakut-nakuti, melarang melakukan aktivi- tas di luar rumah.
c. Kekerasan seksual menurut UU No. 23 Tahun 2004 Pasal 8
Kekerasan seksual meliputi pemaksaan hubungan seksual yang
dilakukan terha- dap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga
tersebut, maupun pemak- saan hubungan seksual terhadap salah seorang
dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial
dan/atau tujuan tertentu. Kekerasan sek- sual seperti memaksa isteri
melakukan hubungan seksual walaupun isteri dalam kondisi lelah dan
tidak siap termasuk saat haid, memaksa isteri melakukan hubungan seks
dengan laki-laki lain.
d. Penelantaran rumah tangga menurut UU No. 23 Tahun 2004 Pasal 9
Penelantaran rumah tangga adalah seseorang yang menelantarkan
orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang
berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib
memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang
tersebut. Selain itu, penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang
mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau
melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga
korban berada di bawah kendali orang tersebut. Penelantaran seperti
meninggalkan isteri dan anak tanpa memberikan nafkah, tidak

7
memberikan isteri uang dalam jangka waktu yang lama bahkan bertahun-
tahun.

4 Etiologi Kekerasan dalam Rumah Tangga

Yang menyebabkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)


antara lain :8

a. Fakta bahwa lelaki dan perempuan tidak diposisikan setara dalam


masyarakat. Kita umumnya percaya bahwa lelaki berkuasa atas
perempuan. Dalam rumah tangga ini berarti suami atas isteri. Isteri adalah
sepenuhnya milik suami, sehingga selalu harus berada dalam kontrol
suami.

b. Masyarakat masih membesarkan anak dengan mendidiknya agar mereka


yakin bahwa mereka harus kuat dan berani serta tanpa ampun. Lelaki
dilatih untuk merasa berkuasa atas diri dan orang sekelilingnya. Itulah
kejantanan. Jika mereka menyimpang dari peran tersebut, mereka
dikategorikan sebagai lelaki lemah. Dan hal ini sangat melukai harga diri
dan martabat lelaki. Setelah mereka tumbuh menjadi lelaki dewasa dan
menikah, masyarakat semakin mendorong mereka menaklukan isteri. jika
gagal, berarti kejantanannya terancam. Nilai inilah yang mendorong suami
untuk mempergunakan cara apapun, termasuk cara kekerasan demi
menundukkan isterinya. Jika kita tetap membesarkan anak lelaki kita
seperti ini, kita termasuk golongan yang melanggengkan budaya
kekerasan.

c. Kebudayaan kita mendorong perempuan atau isteri supaya bergantung


pada suami, khususnya secara ekonomi. Hal ini membuat perempuan
hampir sering diperlakukan semena-mena sesuai kehendak atau mood
suaminya.

8
d. Masyarakat tidak menganggap kekerasan dalam rumah tangga sebagai
persoalan sosial, tetapi persoalan pribadi suami isteri. Orang lain tidak
boleh ikut campur. Kepercayaan ini ditunjang sepenuhnya oleh masyarakat
yang dengan sengaja menutup mata terhadap fakta kekerasan dalam rumah
tangga yang lazim terjadi. Masyarakat menganggap masalah kekerasan
dalam rumah tangga adalah masalah pribadi atau masalah rumah tangga
orang lain yang tidak layak mencampurinya.

e. Pemahaman yang keliru terhadap ajaran agama yang menganggap bahwa


laki-laki boleh menguasi perempuan. Tafsiran semacam ini mengakibatkan
pemahaman turunan bahwa agama juga membenarkan suami melakukan
pemukulan terhadap isteri dalam rangka mendidik. Hal ini diberikan
kepadanya karena suami mempunyai kedudukan yang lebih tinggi. Suami
adalah pemimpin, pemberi nafkah serta mempunyai kelebihan-kelebihan
kodrat yang merupakan anugerah Tuhan.

Elli N Hasbianto juga mengatakan, secara garis besar kekerasan dalam


rumah tangga terjadi karena beberapa faktor :8

a. Budaya Patriakat. Budaya ini meyakini bahwa laki-laki adalah superior


dan perempuan inferior sehingga laki-laki dibenarkan untuk menguasai
dan mengontrol perempuan.

b. Interpretasi yang keliru atas ajaran agama. Sering ajaran agama yang
menempatkan laki-laki sebagai pemimpin diinterpretasikan sebagai
pembolehan mengontrol dan menguasai isterinya.

c. Pengaruh role model. Anak laki-laki yang tumbuh dalam lingkungan


keluarga yang ayah suka memukul/kasar kepada ibunya, cenderung akan
meniru pola tersebut kepada pasangannya.

2.5 Dampak Kekerasan dalam Rumah Tangga

9
Kekerasan sebagaimana tersebut di atas terjadi dalam rumah tangga,
maka penderitaan akibat kekerasan ini tidak hanya dialami oleh istri saja
tetapi juga anak-anaknya. Adapun dampak kekerasan dalam rumah tangga
yang menimpa istri adalah :9

a. Kekerasan fisik langsung atau tidak langsung dapat mengakibatkan istri


menderita rasa sakit fisik dikarenakan luka sebagai akibat tindakan
kekerasan tersebut.

b. Kekerasan seksual dapat mengakibatkan turun atau bahkan hilangnya


gairah seks, karena istri menjadi ketakutan dan tidak bisa merespon secara
normal ajakan berhubungan seks.

c. Kekerasan psikologis dapat berdampak istri merasa tertekan, shock,


trauma, rasa takut, marah, emosi tinggi dan meledak-ledak, kuper, serta
depresi yang mendalam.

d. Kekerasan ekonomi mengakibatkan terbatasinya pemenuhan kebutuhan


sehari-hari yang diperlukan istri dan anak-anaknya.

Kekerasan juga dapat berdampak pada anak-anak. Adapun dampak-


dampak itu dapat berupa efek yang secara langsung dirasakan oleh anak,
sehubungan dengan kekerasan yang ia lihat terjadi pada ibunya, maupun
secara tidak langsung. Bahkan, sebagian dari anak yang hidup di tengah
keluarga seperti ini juga diperlakukan secara keras dan kasar karena kehadiran
anak terkadang bukan meredam sikap suami tetapi malah sebaliknya.

Menyaksikan kekerasan adalah pengalaman yang amat traumatis bagi


anak-anak. Kekerasan dalam rumah tangga yang dialami anak-anak membuat
anak tersebut memiliki kecenderungan seperti gugup, gampang cemas ketika
menghadapi masalah, sering ngompol, gelisah dan tidak tenang, jelek
prestasinya di sekolah, mudah terserang penyakit seperti sakit kepala, perut,
dan asma, kejam kepada binatang, Ketika bermain sering meniru bahasa yang
kasar, berperilaku agresif dan kejam, suka minggat, dan suka melakukan
pemukulan terhadap orang lain yang tidak ia sukai.9

10
Kekerasan dalam rumah tangga yang ia lihat adalah sebagai pelajaran
dan proses sosialisasi bagi dia sehingga tumbuh pemahaman dalam dirinya
bahwa kekerasan dan penganiayaan adalah hal yang wajar dalam sebuah
kehidupan berkeluarga. Pemahaman seperti ini mengakibatkan anak
berpendirian bahwa:9

a. Satu-satunya jalan menghadapi stres dari berbagai masalah adalah


dengan melakukan kekerasan.

b. Tidak perlu menghormati perempuan

c. Menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan berbagai persoalan


adalah baik dan wajar

d. Menggunakan paksaan fisik untuk mendapatkan sesuatu yang


diinginkan adalah wajar dan baik-baik saja.

Di samping dampak secara langsung terhadap fisik dan psikologis


sebagaimana disebutkan di atas, masih ada lagi akibat lain berupa hubungan
negatif dengan lingkungan yang harus ditanggung anak seperti :9

a. Harus pindah rumah dan sekolah jika ibunya harus pindah rumah
karena menghindari kekerasan.

b. Tidak bisa berteman atau mempertahankan teman karena sikap ayah


yang membuat anak terkucil.

c. Merasa disia-siakan oleh orang tua

2.6 Aspek Hukum Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Perkembangan dewasa ini menunjukkan bahwa tindak kekerasan secara


fisik, psikis, seksual, dan penelantaran rumah tangga semakin sering terjadi
sehingga dibutuhkan perangkat hukum yang memadai untuk menghapus
kekerasan dalam rumah tangga. Pembaruan hukum yang berpihak pada kelompok
rentan atau tersubordinasi, khususnya perempuan, menjadi sangat diperlukan

11
sehubungan dengan banyaknya kasus kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah
tangga. Pembaruan hukum tersebut diperlukan karena undang-undang yang ada
belum memadai dan tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum masyarakat.

Undang-Undang tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga ini terkait erat


dengan beberapa peraturan perundang-undangan lain yang sudah berlaku
sebelumnya, antara lain:10

1. UU 1/1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta


Perubahannya

2. UU 8/1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

3. UU 1/1974 tentang Perkawinan

4. UU 7/1984 tentang 28 Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan


Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on the
Elimination of All Forms of Discrimination Against Women)

5. UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Undang-Undang ini, selain mengatur ihwal pencegahan dan


perlindungan serta pemulihan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga,
juga mengatur secara spesifik kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga
dengan unsur-unsur tindak pidana yang berbeda dengan tindak pidana
penganiayaan yang diatur dalam KUHP. Selain itu, Undang-Undang ini juga
mengatur ihwal kewajiban bagi aparat penegak hukum, tenaga kesehatan,
pekerja sosial, relawan pendamping, atau pembimbing rohani untuk
melindungi korban agar mereka lebih sensitif dan responsif terhadap
kepentingan rumah tangga yang sejak awal diarahkan pada keutuhan dan
kerukunan rumah tangga. Untuk melakukan pencegahan kekerasan dalam
rumah tangga, Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang
pemberdayaan perempuan melaksanakan tindakan pencegahan, antara lain,
menyelenggarakan komunikasi, informasi, dan edukasi tentang pencegahan
kekerasan dalam rumah tangga.10

12
Perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana kurang
mendapat perhatian undang-undang, baik hukum pidana materil maupun
hukum acara pidana (hukum pidana formil) dibandingkan dengan
perlindungan hukum terhadap tersangka dan terdakwa. Hal itu
dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya:

a. faktor undang-undang

b. kesadaran hukum korban

c. fasilitas pendukung

d. sumber daya manusia.

Berdasarkan Undang-Undang No 23 Tahun 2004 tentang PKDRT pada


pasal 1 butir 1 menyebutkan bahwa Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah
setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat
timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis,
dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan
perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum
dalam lingkup rumah tangga. Demikian juga pada pasal 2 ayat 1 menyebutkan
bahwa lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi (a) Suami,
isteri, dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri); (b) Orang-orang yang
mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud dalam
huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan
perwalian, yang menetap dalam rumah tangga (mertua, menantu, ipar dan
besan); dan/atau (c) Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap
dalam rumah tangga tersebut (Pekerja Rumah Tangga). Selain Undang-
Undang No. 23 Tahun 2004 tentang PKDRT, Peraturan Pemerintah No. 4
Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban
KDRT, Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2005 tentang Komisi Nasional
terhadap Perempuan, Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tentang
perlindungan Saksi dan Korban, dan Peraturan perundang-undangan lainnya
yang memberikan tugas dan fungsi kepada lembaga-lembaga yang

13
terkoordinasi memberikan perlindungan hokum terhadap kasus KDRT dan
termasuk lembaga-lembaga social yang bergerak dalam perlindungan terhadap
perempuan.11

Undang-undang ini bertujuan meminimalisir tindak pidana KDRT


dan pada akhirnya adalah terwujudnya posisi yang sama dan sederajat di
antara sesama anggota keluarga. Posisi yang seimbang antara suami dan istri,
anak dengan orang tua, dan juga posisi yang setara antara keluarga inti
dengan orang-orang yang baik secara langsung maupun tidak langsung
menjadi bagian dari keluarga sementara saat itu dalam keluarga. Seperti
pembantu rumah tangga maupun sanak saudara yang kebetulan tinggal
dalam keluarga tersebut dengan tidak memberi pembatasan apakah mereka
laki-laki atau perempuan.11

Dalam Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga


hanya beberapa pasal dari tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(yang tergolong ringan) yang menjadi delik aduan, selebihnya merupakan
delik biasa (berdasarkan pasal 15 UU PKDRT). Tetapi pada prakteknya,
karena sulitnya membuktikan dan menemukan saksi, maka kemudian menjadi
delik aduan. Demi terwujudnya keadilan dan jaminan kepastian hukum
perlu adanya kejelasan bahwa tindakan-tindakan kekerasan internal rumah
tangga bukan hanya merupakan delik aduan tetapi delik pidana umum.11

Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga


bertujuan memberikan perlindungan terhadap korban kekerasan yang
terjadi dalam rumah tangga. Tetapi pada kenyataannya, perlindungan yang
diberikan belum memadai, terutama karena sanksi bagi pelaku yang tidak
tepat. Dilihat dari sudut politik kriminil, maka tidak terkendalinya
perkembangan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga yang semakin
meningkat, justru dapat disebabkan oleh tidak tepatnya jenis sanksi pidana
yang dipilih dan ditetapkan. Terdapat beberapa pasal dalam Undang-Undang
tersebut yang tidak dapat dilaksanakan karena sanksi hukum yang tidak sesuai
dan tidak ada peraturan pelaksanaannya seperti rumah aman dan rumah

14
alternatif bagi korban KDRT. Selain itu juga dengan sistem sanksi alternatif
yang tercantum dalam Undang-Undang No. 23 tahun 2004 bagi masyarakat
pada umumnya yang awam di bidang hukum dapat menimbulkan salah tafsir
dimana mereka yang melakukan kekerasan dalam rumah tangga dapat
memilih penjatuhan sanksi bila tidak ingin dipenjara maka dapat dengan
membayar pidana denda saja maka mereka akan bebas dari jeratan hukum.
Selain itu, pencantuman sanksi maksimal saja tanpa mencantumkan batas
minimal dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Pelaku bisa saja
hanya dijatuhi dengan pidana paling minimun dan ringan bagi korban
yang tidak sebanding dengan perbuatan yang dilakukan oleh pelaku, sehingga
korban enggan untuk mengadukan tindak kekerasan dalam rumah tangga yang
dialaminya yang dianggap akhirnya hanya akan membuang-buang waktu
dan tidak dapat memenuhi rasa keadilan korban.11

2.7 Ketentuan Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Ketentuan Pidana bagi pelaku KDRT diatur dalam pasal 44 sd 53 UU


nomor 23 tahun 2004:7

Pasal 44:

1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup


rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling
banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).

2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling
banyak Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).

3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)


mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling

15
lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp 45.000.000,00
(empat puluh lima juta rupiah).

4) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit
atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata
pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 5.000.000,00
(lima juta rupiah).

Pasal 45

1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup


rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling
banyak Rp 9.000.000,00 (sembilan juta rupiah).

2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit
atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata
pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 3.000.000,00
(tiga juta rupiah).

Pasal 46

Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama
12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh
enam juta rupiah).

Pasal 47

Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya
melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana

16
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit Rp
12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) atau denda paling banyak
Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

Pasal 48

Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan Pasal 47


mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan
sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan
sekurangkurangnya selama 4 (empat) minggu terus menerus atau 1 (satu)
tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau
mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan pidana penjara paling lama 20 (dua
puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta
rupiah) dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 49

Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda
paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), setiap orang yang :

a menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1);
b menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(2).

Pasal 50

Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini hakim dapat


menjatuhkan pidana tambahan berupa :

a pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan


pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun
pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku;
b penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan
lembaga tertentu.

17
Pasal 51

Tindak pidana kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44


ayat (4) merupakan delik aduan.

Pasal 52

Tindak pidana kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45


ayat (2) merupakan delik aduan.

Pasal 53

Tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46


yang dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya merupakan delik
aduan.

Didalam undang-undang ini juga dinyatakan bahwa, tinak pidana


kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4) merupakan
delik aduan (Pasal 51). Demikian juga tindak pidana kekerasan psikis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) merupakan delik aduan (Pasal
52). Demikian juga halnya, tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 46 yang dilakukan oleh suami terhadap istri atau
sebaliknya merupakan delik aduan (Pasal 53).

2.8 Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Untuk kepentingan pemulihan, korban dapat memperoleh pelayanan


dari:10

a. Tenaga Kesehatan; Tenaga kesehatan wajib memeriksa korban sesuai


dengan standar profesi, dan dalam hal korban memerlukan perawatan,
tenaga kesehatan wajib memulihkan dan merehabilitasi kesehatan
korban.

b. Pekerja Sosial;

c. Relawan Pendamping; dan/atau

18
d. Pembimbing Rohani. Pekerja Sosial, Relawan Pendamping, dan/ atau
Pembimbing Rohani wajib memberikan pelayanan kepada korban
dalam bentuk pemberian konseling untuk menguatkan dan/atau
memberikan rasa aman bagi korban.

UU Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 41

Tenaga kesehatan wajib memeriksa korban sesuai dengan standar


profesinya.Dalam hal korban memerlukan perawatan, tenaga kesehatan wajib
memulihkan danmerehabilitasi kesehatan korban.

UU Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 42

Dalam rangka pemulihan terhadap korban, tenaga kesehatan, pekerja


sosial, relawan pendamping dan/atau pembimbing rohani dapat melakukan
kerja sama. Yang dimaksud dengan upaya pemulihan korban Peraturan
Pemerintah RI No. 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama
Pemulihan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga pada Pasal 1 ayat 1 ialah:
Segala upaya untuk penguatan korban kekerasan dalam rumah tangga agar
lebih berdaya baik secara fisik maupun psikis. PP PKPKKDRT Pasal 2 ayat 1
menyebutkan bahwa Penyelenggaraan pemulihan ialah Segala tindakan yang
meliputi pelayanan dan pendampingan korban KDRT. PP PKPKKDRT Pasal 2
ayat 1 menyebutkan : Bahwa penyelenggaraan pemulihan terhadap korban
dilaksanakan oleh instansi pemerintah dan pemerintah daerah serta lembaga
sosial sesuai dengan tugas danfungsi masing-masing, termasuk menyediakan
fasilitas yang diperlukan untuk pemulihan korban.

Hal yang sama disebutkan dalam PP RI Pasal 19 yang menyebutkan :

Untuk penyelenggaraan pemulihan, pemerintah dan pemerintah daerah


sesuai dengantugas dan fungsi masing-masing dapat melakukan kerjasama
dengan masyarakat ataulembaga sosial, baik nasional maupun internasional
yang pelaksanaannya sesuaidengan ketentuan peraturan perundang-

19
undangan.Dari ketentuan ini, lembaga sosial mendapat kesempatan untuk
berperan dalam melakukan upaya pemulihan korban KDRT.

PP PKPKDRT Pasal 4 menyebutkan Penyelenggaraan kegiatan


pemulihan korban meliputi :10

a) Pelayanan kesehatan

b) Pendampingan korban

c) Konseling

d) Bimbingan rohani

e) Resosialisasi

2.9 Peran Dokter dalam Tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga


Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Pasal 21
menyebutkan bahwa :7
1) Dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada korban, tenaga
kesehatan harus:
a. memeriksa kesehatan korban sesuai dengan standar profesinya;
b. membuat laporan tertulis hasil pemeriksaan terhadap korban dan
visum et repertum atas permintaan penyidik kepolisian atau surat
keterangan medis yang memiliki kekuatan hukum yang sama sebagai
alat bukti.
2) Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di
sarana kesehatan milik pemerintah, pemerintah daerah, atau
masyarakat.
Pasal 21 tersebut tergolong dalam BAB VI UU No. 23 Tahun 2004
yaitu perlindungan terhadap korban KDRT. Yang bertugas memberikan
perlindungan pada korban KDRT sebagaimana bunyi pasal 17 UU No.23
Tahun 2004 adalah pihak kepolisian yang dapat berkerja sama dengan
tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau
pembimbing rohani untuk mendampingi korban.

20
Pada ayat 1 pasal 21 UU No. 23 Tahun 2004 petugas kesehatan
diminta untuk memeriksa kesehatan korban sesuai dengan standar
profesinya. Petugas kesehatan disini terutama adalah seorang dokter.
Standar profesi dari seorang dokter umum tentu tidak sama dengan standar
profesi dari dokter spesialis Forensik. Standar profesi yang wajib mampu
dilakukan seorang dokter umum dalam bidang kedokteran forensik dan
medikolegal yang menyangkut KDRT adalah deskripsi luka, pemeriksaan
derajat luka, pemeriksaan anus. Apabila korban KDRT tersebut meninggal,
seorang dokter umum harus mampu melakukan pemeriksaan label mayat,
pemeriksaan baju mayat, pemeriksaan lebam mayat, pemeriksaan kaku
mayat, pemeriksaan tanda-tanda asfiksia, pemeriksaan gigi mayat,
pemeriksaan lubang-lubang pada, pemeriksaan korban trauma dan deskripsi
luka, pemeriksaan patah tulang, pemeriksaan tanda tenggelam.
Selain melakukan pemeriksaan, seorang dokter umum harus mampu
membuat laporan tertulis hasil pemeriksaan, berupa visum et repertum atau
surat keterangan medis atas permintaan dari penyidik yang digunakan
sebagai alat bukti dalam proses persidangan kasus KDRT. Dalam penulisan
visum et repertum, dokter umum harus mencantumkan deskripsi luka,
menentukan derajat luka, dan membuat kualifikasi luka pada korban KDRT.
Karena semakin berat derajat luka pada korban maka tersangka KDRT akan
dijatuhkan pidana yang lebih berat.
Pada ayat 2 pasal 21 UU No. 23 Tahun 2004 dinyatakan bahwa
pemeriksaan tersebut dilakukan di sarana kesehatan milik pemerintah,
pemerintah daerah, atau masyarakat. Jadi penyidik tidak dapat membawa
korban KDRT ke rumah sakit atau klinik swasta untuk dilakukan
pemeriksaan dan mengajukan surat permintaan visum et repertum.

2.10 Perlindungan Saksi dan Korban KDRT

Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan


Kekerasan dalam Rumah Tangga Pasal 10, korban berhak mendapatkan:7

21
a. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian kejaksaan, pengadilan,
advokat, lembaga sosial atau pihak lainnya baik sementara maupun
berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan
b. Pelayanan kesehatan perintah perlindungan dari pengadilan
c. Penanganan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis
d. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap
tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang0undangan
e. Pelayanan bimbingan rohani

Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan


Kekerasan dalam Rumah Tangga Pasal 15, setiap orang yang mendengar,
melihat atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga
melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk:

a. Mencegah berlangsungnya tindak pidana


b. Memberikan perlindungan kepada korban
c. Memberikan pertolongan darurat, dan
d. Membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan

Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan


Korban yang selanjutnya disebut dengan UU PSK berlaku sejak tanggal 11
Agustus 2006 setelah diundangkan di Lembaran Negara RI no. 64 Tahun 2006
Pokok Materi UU PSK ini meliputi perlindungan dan hak asasi korban, lembaga
perlindungan saksi dan korban, syarat dan tata cara pemberian pentingnya dan
bantuan, serta ketentuan pidana UU PSK ini dikeluarkan karena membutuhkan
perlindungan yang efektif, profesional, dan proporsional terhadap saksi dan
kroban. Perlindungan saksi dan korban dilakukan berdasarkan asas penghargaan
atas harkat dan martabat manusia, rasa aman, keadilan, tindak kriminatif, dan
kepastian hkum. Perlindungan saksi dan korban berlaku pada semua tahap proses
peradilan pidana dalam lingkungan peradilan yang bertujuan untuk memberikan
rasa aman pada saksi dan/ atau korban dalam memberikan keterangan pada setiap
proses peradilan pidana.

22
Perlindungan saksi dan korban juga dilakukan karena adanya hak-hak
seorang saksi dan korban yang harus dilindungi seperti:

a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga dan harta


bendanya, serata bebas dari ancama yang berkenaan dengan kesaksian
yang akan, sedang atau telah diberikannya
b. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan
dukungan keamanan
c. Memberikan keterangan tanpa tekanan
d. Pendapat penerjemah
e. Bebas dari pertanyaan yang menjerat
f. Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus
g. Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan
h. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan
i. Mendapat identitas baru
j. Mendapatkan tempat kediaman baru
k. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai kebutuhan
l. Mendapat nasihat hukum
m. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu
perlindungan berakhir, dan/atau
n. Bantuan medis dan rehabilitasi psikososial dalam hal saksi dan korban
mengalami pelanggaran hak asasi manusia yang berat

2.11 Delik Aduan pada KDRT

Tindak pidana KDRT antara suami dan istri yang tidak menimbulkan

halangan atau penyakit termasuk dalam delik aduan, delik aduan terjadi

apabila ada pengaduan atau laporan dari orang yang menjadi korban tindak

pidana. Dalam hal ini korba berhak melaporkan secara langsung KDRT

kepada kepolisian baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian

perkara atau korban memberikan kuasa kepdada keluarga atau yang lain untuk

melaporkan KDRT kepada pihak kepolisan baik di tempat korban berada

maupun ditempat kejadian perkara. 12

23
Kekerasan rumah tangga antara suami istri yang tidak menyebabkan

luka halangan untuk menjalankan pekerjaannya atau luka berat termasuk delik

aduan. Delik aduan adalah suatu enanganan kasus oleh pihak yang berwajib

berdasarkan pada pengaduan korban.12

Delik adua bisa ditarik kembali apabila si pelapor menarik laporannya,

misalnya karea ada perdamaian atau perjanjian damai yang diketahu oleh

penyidik bila telah masuk tingkat penyidikan. Penarikan aduan atau laporan

yang terjadi dalam kasus KDRT didasarkan pada keadaan korban ag merasa

ingin menyelamatkan rumah tangganya dari perceraian. 12

Delik aduan adalah suatu perkara atau kasus yang baru dapat di

telusuri, ditangani, ditindak oleh pihak berwajib Polri, jika sudah ada laporan

da pengaduan yang secara resmi di lakukan oleh pihak korban dalam arti kata

lain polisi baru akan bertindak atau melanjuti kasus tersebut kalau ada

pengaduan resmi dari pihak individu yang merasa dirugikan kepada ihak

berwajib, didalam KDRT delik aduan hanya dalam ruan lingkup suami istri

saja yang tidak meyeabkan luka pada untuk mengerjakan sesuatu. Dalam

kasus KDRTsering hanya sampai proses mediasi saja karena kebanyakan

korban mencabut laporan karena pertimbangan keluarga. 12

24
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah setiap perbuatan


terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau
penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam
lingkup rumah tangga. Kekerasan dalam rumah tangga dapat berwujud
kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan penelantaran rumah
tangga.

Terdapat beberapa hal yang menyebabkan terjadinya kekerasan dalam


rumah tangga seperti fakta bahwa lelaki dan perempuan tidak diposisikan
setara dalam masyarakat, masyarakat masih membesarkan anak dengan
mendidiknya agar mereka yakin bahwa mereka harus kuat dan berani serta
tanpa ampun (lelaki dilatih untuk merasa berkuasa atas diri dan orang
sekelilingnya), kebudayaan kita mendorong perempuan atau isteri supaya
bergantung pada suami, masyarakat tidak menganggap kekerasan dalam
rumah tangga sebagai persoalan sosial, dan pemahaman yang keliru terhadap
ajaran agama yang menganggap bahwa laki-laki boleh menguasi perempuan.

25
Dampaknya dapat berupa kekerasan fisik, kekerasan seksual,kekerasan
psikologis,kekerasan ekonomi (terbatasinya pemenuhan kebutuhan sehari).

Ketentuan Pidana bagi pelaku KDRT diatur dalam pasal 44 sd 53 UU


nomor 23 tahun 2004. Untuk kepentingan pemulihan, korban dapat
memperoleh pelayanan dari tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan
pendamping dan/atau pembimbing rohani. Peran seorang dokter dalam
menanggulangi tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga diatur dalam pasal 21
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

3.2 Saran

Setelah membahas beberapa aspek dari Kekerasan Dalam Rumah


Tangga, maka kami menyarankan :

1. Bagi korban kekerasan dalam rumah tangga

Sebagai korban hendaknya berbagi dengan anggota keluarga, teman,


atau melapor ke LSM bahkan langsung ke pihak berwajib mengenai apa
yang sudah dialaminya. Korban dapat bercerita dengan pihak yang
dianggapnya mampu untuk menjaga dan membantu memecahkan masalah
yang sedang dihadapi. Bagi Masyarakat yang mengetahui adanya
tindak kekerasan diharapkan dapat membantu. Masyarakat
mengadakan kesepakatan antar warga untuk mengatasi masalah-masalah
kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi di lingkungan sekitar, melalui
penyuluhan warga. Masyarakat dapat membantu korban untuk melaporkan
kepada ketua RT dan polisi.

2. Bagi instasi terkait seperti LSM atau Kepolisian

Untuk menurunkan kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga maka


masyarakat perlu digalakkan pendidikan mengenai HAM dan
pemberdayaan perempuan, menyebarkan informasi dan mempromosikan

26
prinsip hidup sehat, anti kekerasan terhadap perempuan dan anak serta
menolak kekerasan sebagai cara untuk memecahkan masalah, mengadakan
penyuluhan untuk mencegah kekerasan, mempromosikan kesetaraan
jender, mempromosikan sikap tidak menyalahkan korban melalui media.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ghufron, Khavidz Faza. 2015. Skripsi Variasi Kasus Kekerasan Yang


Diperiksa Di UPKT Sekar Arum RSU dr.Sardjito Yogyakarta Pada Tahun
2011 2013 Ditinjau Dari Forensik Klinik. Fakultas Kedokteran Universitas
Gadjah Mada: Yogyakarta
2. Jurnal Perempuan. 2006. Diskriminasi Itu Bernama Kekerasan Terhadap
Perempuan. Yayasan Jurnal Perempuan Cetakan Pertama, Jakarta, Januari
2006 ISSN : 1410-153X: Jakarta
3. Komisi Nasional Perempuan. Teror dan kekerasan terhadap perempuan:
hilangnya kendali negara, catatan KTP tahun 2010. Jakarta: Komnas
Permpuan; 2011.
4. Baker RB, Sommers MS. Physical injury from intimate partner violence:
measurement strategies and challenges. JOGNN. 2008;37:228-33.
5. Purwati, 2015. Dampak Kekerasan Dalam Rumah Tangga Terhadap Tingkat
Perawatan Diri.
6. Rahmawati, 2014. Menulis Ekspresif Sebagai Strategi Mereduksi Stres Untuk
Anak-Anak Korban Kekerasan Dlam Rumah Tangga (KDRT). Malang:
Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang.
7. Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2004, tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
8. Kurniawan, A. 2012. Perlindungan Hukum Terhadap Isteri yang Menjadi
Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga oleh Suami. Fakultas Hukum
Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Jakarta.

27
9. Putri, F., Putri, A., Artanto, A., Basjahputra, P., Danico, H., Henry, H. 2010.
Aspek Medikolegal Kekerasan dalam Rumah Tangga. Bagian Kedokteran
Forensik Universitas Diponegoro. Semarang.
10. Jamaa, La. 2014. Perlindungan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Dalam Hukum Pidana Indonesia. Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN
Ambon. Maluku.
11. Ramadani, M., Yuliani, F., 2015. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
Sebagai Salah Satu Isu Kesehatan Masyarakat Secara Global. Jurnal
Kesehatan Masyarakat Andalas. Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas
Andalas, Padang, Sumatra Barat.
12. Eko, Dony. 2010. Pertanggungjawaban Istri Sebagai Pelaku Kekerasan
Rumah Tangga. Surabaya: Universitas Pembangunan Nasional Veteran
Jawa Timur.

28

Anda mungkin juga menyukai