Bab I-III KDRT Pro G
Bab I-III KDRT Pro G
PENDAHULUAN
Kekerasan dalam rumah tangga memiliki tren yang terus meningkat dari
tahun ketahun. Data yang diperoleh dari Jurnal Perempuan edisi ke 45,
menunjukkan bahwa dari tahun 2001 terjadi 258 kasus Kekerasan Dalam Rumah
Tangga. Tahun 2002 terjadi sebanyak 226 kasus, pada tahun 2003 sebanyak 272
kasus, tahun 2004 terjadi 328 kasus dan pada tahun 2005 terjadi 455 kasus
Kekerasan Dalam Rumah Tangga.2 Pada tahun 2007, KDRT cenderung turun
namun belum signifikan yaitu masih 87,32 persen dengan jumlah kasus 284.
Hingga Desember 2008, jumlah kasus KDRT masih tinggi yakni 279 kasus
1
dengan korban perempuan sebanyak 275 kasus. Pelaku KDRT masih didominasi
oleh suami sebesar 76,98 persen dan 6,12 persen dilakukan oleh mantan suami,
sisanya 4,68 persen dilakukan oleh orang tua, anak, dan saudara dan 9,35 persen
oleh pacar atau teman dekat.2
Lebih dari setengah korban KDRT mendapatkan lebih dari satu jenis luka
pada lebih dari satu lokasi pada tubuh korban. Ini sesuai dengan teori yang
menyebutkan bahwa korban KDRT pada umumnya mengalami kekerasan yang
berulang dengan berbagai macam jenis kekerasan yang umumnya tumpul dan
dilakukan oleh pelaku pada lokasi tubuh yang berbeda. 4 Kejadian KDRT dapat
menyebabkan morbiditas, mortalitas, dan tidak menutup kemungkinan akan
mempengaruhi kesehatan mental pada korban. Kasus KDRT yang tidak ditangani
secara tuntas akan menimbulkan lingkaran kekerasan. Pola ini berarti kekerasan
akan terus berulang, bahkan korban kekerasan suatu saat dapat menjadi pelaku
kekerasan.3
Kekerasan Dalam Rumah Tangga menjadi kasus yang tak pernah habis
dibahas karena meskipun berbagai instrumen hukum, mulai dari Internasional
sampai pada tingkat nasional belum mampu menekan angka kasus Kekerasan
2
Dalam Rumah Tangga yang terjadi, karena terdapat permasalahan pada kultur atau
mind set masyarakat Indonesia yang masih menganggap permasalahan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga adalah masalah internal keluarga sehingga sangat sedikit
mereka yang menjadi korban berani bersuara. Korban kekerasan dakam rumah
tangga biasanya enggan untuk melaporkan kejadian yang menimpa dirinya karena
tidak tahu kemana harus mengadu.
a. Tujuan Umum
b. Tujuan Khusus
3
4. Untuk mengetahui Dampak dari KDRT?
BAB II
4
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Menurut UU PKDRT No. 23 Tahun 2004 Pasal 2 lingkup rumah tangga meliputi:5
2.2 Epidemiologi
5
226 kasus, pada tahun 2003 sebanyak 272 kasus, tahun 2004 terjadi 328 kasus dan
pada tahun 2005 terjadi 455 kasus kekerasan dalam rumah tangga. Kekerasan
dalam rumah tangga menjadi kasus yang tak pernah habis dibahas karena
meskipun berbagai instrumen hukum, mulai dari internasional sampai pada
tingkat nasional belum mampu menekan angka kasus kekerasan dalam rumah
tangga yang terjadi. Dari data di atas dapat kita ketahui bahwa dari tahun ke tahun
kekerasan dalam rumah tangga cenderung meningkat dan kekerasan yang
dihadapai perempuan juga meningkat. Sedangkan dari sumber yang sama
Menurut Departemen Kehakiman Amerika Serikat, antara tahun 1998 dan 2002 :
dari 3,5 juta kejahatan kekerasan yang dilakukan terhadap anggota keluarga,
tercatat 49 % di antaranya merupakan kejahatan terhadap pasangan, 84 % dari
pasangan korban pelecehan adalah perempuan.
a. Kekerasan Fisik
b. Kekerasan Psikis
c. Kekerasan Seksual
6
d. Penelantaran rumah tangga
7
memberikan isteri uang dalam jangka waktu yang lama bahkan bertahun-
tahun.
8
d. Masyarakat tidak menganggap kekerasan dalam rumah tangga sebagai
persoalan sosial, tetapi persoalan pribadi suami isteri. Orang lain tidak
boleh ikut campur. Kepercayaan ini ditunjang sepenuhnya oleh masyarakat
yang dengan sengaja menutup mata terhadap fakta kekerasan dalam rumah
tangga yang lazim terjadi. Masyarakat menganggap masalah kekerasan
dalam rumah tangga adalah masalah pribadi atau masalah rumah tangga
orang lain yang tidak layak mencampurinya.
b. Interpretasi yang keliru atas ajaran agama. Sering ajaran agama yang
menempatkan laki-laki sebagai pemimpin diinterpretasikan sebagai
pembolehan mengontrol dan menguasai isterinya.
9
Kekerasan sebagaimana tersebut di atas terjadi dalam rumah tangga,
maka penderitaan akibat kekerasan ini tidak hanya dialami oleh istri saja
tetapi juga anak-anaknya. Adapun dampak kekerasan dalam rumah tangga
yang menimpa istri adalah :9
10
Kekerasan dalam rumah tangga yang ia lihat adalah sebagai pelajaran
dan proses sosialisasi bagi dia sehingga tumbuh pemahaman dalam dirinya
bahwa kekerasan dan penganiayaan adalah hal yang wajar dalam sebuah
kehidupan berkeluarga. Pemahaman seperti ini mengakibatkan anak
berpendirian bahwa:9
a. Harus pindah rumah dan sekolah jika ibunya harus pindah rumah
karena menghindari kekerasan.
11
sehubungan dengan banyaknya kasus kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah
tangga. Pembaruan hukum tersebut diperlukan karena undang-undang yang ada
belum memadai dan tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum masyarakat.
12
Perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana kurang
mendapat perhatian undang-undang, baik hukum pidana materil maupun
hukum acara pidana (hukum pidana formil) dibandingkan dengan
perlindungan hukum terhadap tersangka dan terdakwa. Hal itu
dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya:
a. faktor undang-undang
c. fasilitas pendukung
13
terkoordinasi memberikan perlindungan hokum terhadap kasus KDRT dan
termasuk lembaga-lembaga social yang bergerak dalam perlindungan terhadap
perempuan.11
14
alternatif bagi korban KDRT. Selain itu juga dengan sistem sanksi alternatif
yang tercantum dalam Undang-Undang No. 23 tahun 2004 bagi masyarakat
pada umumnya yang awam di bidang hukum dapat menimbulkan salah tafsir
dimana mereka yang melakukan kekerasan dalam rumah tangga dapat
memilih penjatuhan sanksi bila tidak ingin dipenjara maka dapat dengan
membayar pidana denda saja maka mereka akan bebas dari jeratan hukum.
Selain itu, pencantuman sanksi maksimal saja tanpa mencantumkan batas
minimal dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Pelaku bisa saja
hanya dijatuhi dengan pidana paling minimun dan ringan bagi korban
yang tidak sebanding dengan perbuatan yang dilakukan oleh pelaku, sehingga
korban enggan untuk mengadukan tindak kekerasan dalam rumah tangga yang
dialaminya yang dianggap akhirnya hanya akan membuang-buang waktu
dan tidak dapat memenuhi rasa keadilan korban.11
Pasal 44:
15
lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp 45.000.000,00
(empat puluh lima juta rupiah).
4) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit
atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata
pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 5.000.000,00
(lima juta rupiah).
Pasal 45
2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit
atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata
pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 3.000.000,00
(tiga juta rupiah).
Pasal 46
Pasal 47
Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya
melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana
16
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit Rp
12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) atau denda paling banyak
Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Pasal 48
Pasal 49
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda
paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), setiap orang yang :
Pasal 50
17
Pasal 51
Pasal 52
Pasal 53
b. Pekerja Sosial;
18
d. Pembimbing Rohani. Pekerja Sosial, Relawan Pendamping, dan/ atau
Pembimbing Rohani wajib memberikan pelayanan kepada korban
dalam bentuk pemberian konseling untuk menguatkan dan/atau
memberikan rasa aman bagi korban.
19
undangan.Dari ketentuan ini, lembaga sosial mendapat kesempatan untuk
berperan dalam melakukan upaya pemulihan korban KDRT.
a) Pelayanan kesehatan
b) Pendampingan korban
c) Konseling
d) Bimbingan rohani
e) Resosialisasi
20
Pada ayat 1 pasal 21 UU No. 23 Tahun 2004 petugas kesehatan
diminta untuk memeriksa kesehatan korban sesuai dengan standar
profesinya. Petugas kesehatan disini terutama adalah seorang dokter.
Standar profesi dari seorang dokter umum tentu tidak sama dengan standar
profesi dari dokter spesialis Forensik. Standar profesi yang wajib mampu
dilakukan seorang dokter umum dalam bidang kedokteran forensik dan
medikolegal yang menyangkut KDRT adalah deskripsi luka, pemeriksaan
derajat luka, pemeriksaan anus. Apabila korban KDRT tersebut meninggal,
seorang dokter umum harus mampu melakukan pemeriksaan label mayat,
pemeriksaan baju mayat, pemeriksaan lebam mayat, pemeriksaan kaku
mayat, pemeriksaan tanda-tanda asfiksia, pemeriksaan gigi mayat,
pemeriksaan lubang-lubang pada, pemeriksaan korban trauma dan deskripsi
luka, pemeriksaan patah tulang, pemeriksaan tanda tenggelam.
Selain melakukan pemeriksaan, seorang dokter umum harus mampu
membuat laporan tertulis hasil pemeriksaan, berupa visum et repertum atau
surat keterangan medis atas permintaan dari penyidik yang digunakan
sebagai alat bukti dalam proses persidangan kasus KDRT. Dalam penulisan
visum et repertum, dokter umum harus mencantumkan deskripsi luka,
menentukan derajat luka, dan membuat kualifikasi luka pada korban KDRT.
Karena semakin berat derajat luka pada korban maka tersangka KDRT akan
dijatuhkan pidana yang lebih berat.
Pada ayat 2 pasal 21 UU No. 23 Tahun 2004 dinyatakan bahwa
pemeriksaan tersebut dilakukan di sarana kesehatan milik pemerintah,
pemerintah daerah, atau masyarakat. Jadi penyidik tidak dapat membawa
korban KDRT ke rumah sakit atau klinik swasta untuk dilakukan
pemeriksaan dan mengajukan surat permintaan visum et repertum.
21
a. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian kejaksaan, pengadilan,
advokat, lembaga sosial atau pihak lainnya baik sementara maupun
berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan
b. Pelayanan kesehatan perintah perlindungan dari pengadilan
c. Penanganan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis
d. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap
tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang0undangan
e. Pelayanan bimbingan rohani
22
Perlindungan saksi dan korban juga dilakukan karena adanya hak-hak
seorang saksi dan korban yang harus dilindungi seperti:
Tindak pidana KDRT antara suami dan istri yang tidak menimbulkan
halangan atau penyakit termasuk dalam delik aduan, delik aduan terjadi
apabila ada pengaduan atau laporan dari orang yang menjadi korban tindak
pidana. Dalam hal ini korba berhak melaporkan secara langsung KDRT
perkara atau korban memberikan kuasa kepdada keluarga atau yang lain untuk
23
Kekerasan rumah tangga antara suami istri yang tidak menyebabkan
luka halangan untuk menjalankan pekerjaannya atau luka berat termasuk delik
aduan. Delik aduan adalah suatu enanganan kasus oleh pihak yang berwajib
misalnya karea ada perdamaian atau perjanjian damai yang diketahu oleh
penyidik bila telah masuk tingkat penyidikan. Penarikan aduan atau laporan
yang terjadi dalam kasus KDRT didasarkan pada keadaan korban ag merasa
Delik aduan adalah suatu perkara atau kasus yang baru dapat di
telusuri, ditangani, ditindak oleh pihak berwajib Polri, jika sudah ada laporan
da pengaduan yang secara resmi di lakukan oleh pihak korban dalam arti kata
lain polisi baru akan bertindak atau melanjuti kasus tersebut kalau ada
pengaduan resmi dari pihak individu yang merasa dirugikan kepada ihak
berwajib, didalam KDRT delik aduan hanya dalam ruan lingkup suami istri
saja yang tidak meyeabkan luka pada untuk mengerjakan sesuatu. Dalam
24
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
25
Dampaknya dapat berupa kekerasan fisik, kekerasan seksual,kekerasan
psikologis,kekerasan ekonomi (terbatasinya pemenuhan kebutuhan sehari).
3.2 Saran
26
prinsip hidup sehat, anti kekerasan terhadap perempuan dan anak serta
menolak kekerasan sebagai cara untuk memecahkan masalah, mengadakan
penyuluhan untuk mencegah kekerasan, mempromosikan kesetaraan
jender, mempromosikan sikap tidak menyalahkan korban melalui media.
DAFTAR PUSTAKA
27
9. Putri, F., Putri, A., Artanto, A., Basjahputra, P., Danico, H., Henry, H. 2010.
Aspek Medikolegal Kekerasan dalam Rumah Tangga. Bagian Kedokteran
Forensik Universitas Diponegoro. Semarang.
10. Jamaa, La. 2014. Perlindungan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Dalam Hukum Pidana Indonesia. Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN
Ambon. Maluku.
11. Ramadani, M., Yuliani, F., 2015. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
Sebagai Salah Satu Isu Kesehatan Masyarakat Secara Global. Jurnal
Kesehatan Masyarakat Andalas. Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas
Andalas, Padang, Sumatra Barat.
12. Eko, Dony. 2010. Pertanggungjawaban Istri Sebagai Pelaku Kekerasan
Rumah Tangga. Surabaya: Universitas Pembangunan Nasional Veteran
Jawa Timur.
28