D. PEMERIKSAAN FISIK
1. KU/ KES
Tampak lemas, kesadaran compos mentis.
2. Tanda Vital
a. Nadi : 92x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
b. Pernafasan : 22x/menit, costoabdominal, reguler
c. Suhu : 39.8 oC
d. TD : 120/80 mmHg
3. Status gizi
a. BB : 55 kg
b. TB : 160 cm
c. IMT : 21. 4
d. Kesan status gizi : baik
4. Kulit
Turgor kulit kembali dalam satu detik.
5. Kepala
Kepala dalam batas normal.
6. Mata
Injeksi konjungtiva (+) , sklera , kornea, pupil, iris, lensa dalam batas normal.
Air mata normal, mata cekung (-)
7. Hidung
Nafas cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-), deformitas hidung (-),
massa (-)
8. Mulut
Mukosa bukkal basah (+).
9. Telinga
Telinga luar, tengah, dalam dalam batas normal
10. Tenggorokan
Tonsil , dan pharing dalam batas normal. Hiperemis (-).
11. Leher
Trakea ditengah, pembesaran kelenjar tiroid (-), pembesaran kelenjar limfe
(-), distensi vena jugularis (-).
12. Thoraks
Simetris, retraksi interkostal (-), retraksi subkostal (-)
a. Cor : Inspeksi : ictus cordis tak tampak
Palpasi : ictus cordis tak kuat angkat
Perkusi : batas kiri atas : SIC II LPSS
batas kiri bawah : SIC V LMCS
batas kanan atas : SIC II LPSD
batas kanan bawah : SIC IV LPSD
batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi: S1>S2, regular, gallop (-), murmur (-)
b. Pulmo :
1) Statis (depan dan belakang)
I : pengembangan dada kanan = kiri
Pal : fremitus raba kanan = kiri
Per : sonor/sonor
A : suara dasar vesikuler (+/+)
suara tambahan RBH (-/-), wheezing (-/-)
2) Dinamis (depan dan belakang)
I : pergerakan dada kanan = kiri
Pal : fremitus raba kanan = kiri
Per : sonor/sonor
A : suara dasar vesikuler (+/+)
suara tambahan RBH (-/-), wheezing (-/-)
13. Abdomen
I : dinding perut sejajar dengan dinding dada
A : bising usus (+) meningkat
Per : timpani, pekak alih (-), pekak sisi (-)
Pal : supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tak teraba
14. Sistem Collumna Vertebralis
I : deformitas (-), skoliosis (-), kiphosis (-), lordosis (-)
Pal :nyeri tekan (-)
15. Ektremitas: palmar eritema(-/-) capilarry refill 1 detik.
akral dingin - - oedem - -
- - - -
Articulatio genue dextra et sinistra :
I : oedem (-), eritema (-),hambatan dalam berjalan (-).
P : nyeri (-), hangat (-), krepitasi (-).
16. Sistem genitalia: dalam batas normal
17. Pemeriksaan Neurologik
Fungsi Luhur : dalam batas normal
Fungsi Vegetatif : dalam batas normal
Fungsi Sensorik : dalam batas normal
Fungsi Motorik :
K 5 5 T N N RF ++ RP - -
5 5 N N ++ - -
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Dilakukan pemeriksaan penunjang berupa Darah lengkap dan AIM
Leptospira IgM rapid test dengan hasil positif (+).
G. RESUME
Pasien datang ke IGD Puskesmas Pekuncen hari Rabu tanggal 26 April
2017 dengan keluhan demam sejak 3 hari sebelum masuk IGD. Demam
muncul mendadak dan dirasakan sepanjang hari hingga disertai rasa
menggigil, pasien telah minum obat penurun demam (paracetamol) namun
demam hanya turun sebentar kemudian muncul kembali. Pasien juga
mengeluhkan nyeri kepala yang dirasakan berdenyut di sekitaran mata,
mata merah dan terasa panas serta berair. Selain itu pasien merasa badan di
daerah punggung dan kaki terasa kaku-kaku. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan nadi 92x/menit, laju pernafasan 22x/menit, suhu 39.80C,Tensi
120/80 mmHg, terdapat injeksi konjungtiva, sedangkan pemeriksaan lain
dalam batas normal.
H. DIAGNOSIS HOLISTIK
1. Aspek Personal
Idea : Pasien mengeluh demam, nyeri kepala, badan kaku
terutama pada bagian paha dan punggung, mata merah
Concern : Pasien merasa badannya tidak nyaman dan lemas, hingga
ibu mertua dan kakak ipar pasien khawatir dengan kondisi
pasien
Expectacy : Pasien dan keluarga pasien mempunyai harapan agar
penyakit pasien dapat segera sembuh dan dapat segera
beraktivitas lagi.
Anxiety : Pasien dan keluarga pasien khawatir penyakit pasien tidak
sembuh-sembuh karena demam tidak kunjung turun. serta
pasien dan keluarga pasien khawatir penyakit ini menular
dan akan menulari angggota keluarga yang lain.
2. Aspek Klinis
Diagnosis : Leptospirosis
Gejala klinis yang muncul : Demam hingga mengigil, nyeri kepala,
badan terasa kaku terutama pada bagian paha dan punggung, serta mata
merah
Diagnosa banding : Demam Tifoid, DHF
3. Aspek Faktor Risiko Intrinsik Individu
a. Kebiasaan pasien lupa untuk mencuci tangan sebelum dan setelah
makan. Maupun setelah beraktivitas di luar rumah
b. Terbiasa memasak dan meletakan bahan masakan dibawah (lantai)
yang kebersihannya kurang, serta kebiasaan lupa mencuci kembali
bahan masakan tersebut
4. Aspek Faktor Risiko Ekstrinsik Individu
a. Status sosial ekonomi keluarga pasien yang rendah, menyebabkan
kondisi hunian tidak memenuhi kriteria rumah sehat dan buruknya
lingkungan, antara lain pencahayaan, ventilasi, dan plafon, kebersihan
dan keadaan lingkungan rumah secara umum yang kurang sehat.
b. Rumah yang bersebelahan dengan kandang ayam juga memudahkan
tercemarnya lingkungan rumah oleh kotoran ayam.
c. Curah hujan yang tinggi pada saat ini menimbulkan genangan air di
sekitar rumah dan kandang ayam.
d. Banyaknya tikus yang terdapat disekitaran rumah pasien menjadi
factor risiko penularan penyakit ini. Pasien mengaku dirumahnya
terdapat banyak tikus yang berkeliaran di atap rumah. Sebelum
terkena sakit pasien sempat mengambil bahan makanan yang diambil
oleh tikus. Pasien mengaku lupa mencuci tangan setelah itu.
5. Aspek Skala Penilaian Fungsi Sosial
Skala penilaian fungsi sosial pasien adalah 3, karena pasien mulai
terganggu dalam melakukan aktivitas dan kegiatan sehari-hari seperti
biasanya, antara lain berdagang serta berkumpul dengan keluarganya.
I. PENATALAKSANAAN
1. Personal Care
a. Aspek kuratif
1) Medikamentosa
a) PO Doksisiklin 100 mg
b) PO Paracetamol 500mg 3x1 tab
2) Non Medika mentosa
a) Karena pasien demam, tidak nafsu makan dan minum. sehingga
pasien diberikan terapi cairan melalui intra vena dengan Ringer
Laktat (RL) 30 tpm untuk mencegah terjadinya dehidrasi pada
pasien.
b) Diet lunak tinggi kalori tinggi protein
3) KIE (konseling, informasi dan edukasi)
Pasien dan keluarganya perlu diedukasi mengenai:
1 Memberi informasi mengenai penyebab dan cara penularan
leptospira serta pencegahan dan tatalaksana dari penyakit
leptospirosis
2 Selalu mencuci tangan dengan sabun setelah makan maupun
setelah melakukan kegiatan diluar rumah
3 Mencegah munculnya genangan-genangan air disekitar rumah
dan kandang ayam serta menjaga kebersihan disekitar
lingkungan rumah
4 Menjelaskan mengenai syarat-syarat rumah sehat secara
lengkap, beberapa contohnya antara lain mengenai adanya
kandang ayam di dekat rumah dan toilet yang tidak higienis.
5 Selalu menutup makanan dan minuman maupun bahan
makanan yang akan dimasak
6 Menjelaskan cara membuang sampah yang baik dengan
menutup tempat pembuangan sampah
7 Menjelaskan pentingnya menjaga nutrisi melalui makanan
yang sehat dan bergizi, memenuhi kebutuhan karbohidrat,
lemak, protein, vitamin, dan mineral.
b. Aspek Preventif
1) Menjelaskan mengenai kriteria rumah sehat serta memberi saran-
saran yang dapat diterapkan dan tepat guna
2) Memberikan anjuran pola hidup bersih dan sehat
3) Menjelaskan pentingnya penggunanan alat pelindung diri untuk
mencegah masuknya leptospira ke tubuh
4) Memasang perangkap tikus untuk mencegah penyebaran penyakit
leptospirosis
c. Aspek Promotif
a) Memberi informasi mengenai penyebab dan cara penularan
leptospira hingga menyebabkan penyakit leptospirosis, serta
pencegahan dan tatalaksana leptospirosis
b) Memberi informasi mengenai komplikasi penyakit leptospirosis
serta pentingnya penanganan tepat dan dini dalam kasus
leptospirosis
d. Aspek Rehabilitatif
Monitoring terhadap keluhan pasien, keadaan umum, tanda vital, serta
tanda komplikasi leptospirosis
2. Family Care
a. Memotivasi keluarga untuk menjaga lingkungan yang sehat dan bersih.
b. Memberikan edukasi pengetahuan kepada keluarga mengenai
perjalanan penyakit leptospirosis, pencegahan penularan dan
pemantauan penyakit leptospirosis berkelanjutan, sehingga mendukung
kontrol dan pengobatan pasien.
c. Dukungan moral dari keluarga dalam pengendalian dan penyembuhan
penyakit pasien, pemantauan penyakit leptospirosis secara
berkelanjutan.
d. Memberikan anjuran kepada anggorta keluarga lainnya yang berisiko
tinggi untuk pola hidup sehat dan menjaga kebersihan.
3. Community Care
a. Memotivasi lingkungan untuk menjaga lingkungan yang sehat dan
bersih, karena lingkungan yang tidak sehat akan memicu faktor risiko
penyebaran penyakit leptospirosis
b. Memberikan pengetahuan kepada masyarakat mengenai penyakit
leptospirosis, baik tanda gejala penyakit tersebut dan perjalanan
alamiahnya melalui penyuluhan.
c. Memotivasi komunitas untuk memberikan dukungan psikologis
terhadap pasien mengenai penyakitnya.
J. Flow Sheet
Tabel 2. Flow Sheet Ny. S (26 tahun)
No Tanggal Problem Tanda Vital Planning
1 Rabu Demam N:92 x/menit IVFD RL 30
26/04/2017 disertai rasa RR:22 tpm Diet lunak
07.30 menggigil, x/menit tinggi kalori
badan terasa S:39.80 C tinggi protein
kaku terutama TD:120/80 PO Doksisiklin
punggung dan 100 mg 2x1
kaki, nyeri tablet
kepala dan PO
mata merah Paracetamol
500 mg 3x1
tablet
2 Kamis Demam, N:89x/menit IVFD RL 20
27/04/2017 badan terasa RR:20 (terapi
07.00 linu-linu dan x/menit rumatan) tpm
kaku, nyeri S:38.70 C Diet lunak
kepala, mata TD: 110/70 tinggi kalori
merah hingga tinggi protein
terasa perih PO Doksisiklin
untuk 100 mg 2x1
membuka tablet
mata PO
Paracetamol
500 mg 3x1
tablet
3 Jumat Demam terasa N:80 x/menit IVFD RL 20
28/04/2017 naik turun, RR:20 (terapi
07.00 turun setelah x/menit rumatan) tpm
minum obat S:39,10 C Diet lunak
saja, badan TD: 120/70 tinggi kalori
terasa linu- tinggi protein
linu dan kaku, PO Doksisiklin
nyeri kepala, 100 mg 2x1
mata merah tablet
hingga terasa PO
perih untuk Paracetamol
membuka 500 mg 3x1
mata tablet
A. Fungsi Holistik
1. Fungsi Biologis
Ny. S adalah Extended family dengan Tn. P (30 tahun) sebagai
kepala keluarga yang bekerja sebagai Buruh pabrik. Ny. S (26 tahun)
adalah istri dari Tn. P, Ibu dan bapak mertua beserta anak Tn P tinggal
bersama didalam rumah tersebut. Dapat disimpulkan pada keluarga ini
terdapat Bapak mertua, ibu mertua, suami dan pasien serta1 anak yang
hidup bersama.
2. Fungsi Psikologis
Hubungan antara pasien dengan keluarganya harmonis. Kadang-
kadang ia bertengkar wajar dengan suami atau ibu mertua.
3. Fungsi Sosial
Saat sakit ini, pasien sulit melakukan aktivitas sehari-hari. Pasien
biasanya pergi ke rumah tetangga untuk berjualan ataupun ke Purwokerto
unuk membeli pakaian yang akan dijual kembali. Hubungan pasien dengan
tetangga sekitarnya cukup baik.
4. Fungsi Ekonomi dan Pemenuhan Kebutuhan
Pasien berasal dari keluarga ekonomi kelas menengah kebawah.
Suami pasien bekerja sebagai buruh pabrik di Jakarta dengan penghasilan
(Rp 2.000.000,00/bulan). Pasien yang bekerja sebagai pedagang pakaian,
penghasilan tiap bulan tidak tetap sekitar (Rp 300.000,00/bulan). Pasien
dan keluarga pasien hidup sedehana dalam mencukupi keperluan hidup
sehari-hari. Biaya pengobatan di sarana pelayanan kesehatan menggunakan
biaya sendiri.
Dapat disimpulkan bahwa bentuk keluarga Ny.S adalah Extended
family. Keluarga Ny.S adalah keluarga yang cukup harmonis, dan merupakan
keluarga dengan perekonomian kelas menengah kebawah.
B. Fungsi Fisiologis (A.P.G.A.R Score)
ADAPTATION
Dalam menghadapi masalah selama ini penderita mendapatkan
dukungan berupa nasehat dari keluarganya. Jika penderita menghadapi suatu
masalah pasien menceritakan kepada orangtuanya.
PARTNERSHIP
Komunikasi terjalin satu sama lain. Setiap ada permasalahan didiskusikan
bersama dengan anggota keluarga lainnya, komunikasi dengan anggota keluarga
berjalan dengan baik.
GROWTH
Antar anggota keluarga selalu mendukung pasien. Anggota keluarga
selalu mendukung pola makan, dan pengobatan yang dianjurkan demi
kesehatan Ny S.
AFFECTION
Pasien merasa hubungan kasih sayang dan interaksi dengan suami, mertua,
orang tua, kakak, adik dan anak berjalan dengan lancar. Pasien juga sangat
menyayangi keluarganya, begitu pula sebaliknya. Dalam hal mengekspresikan
perasaan atau emosi, antar anggota keluarga berusaha untuk selalu jujur.
Apabila ada hal yang tidak berkenan di hati, maka anggota keluarga akan
mencoba untuk segera menyampaikan tanpa dipendam, sehingga
permasalahan dapat segera selesai.
RESOLVE
Rasa kasih sayang yang diberikan kepada pasien cukup, baik dari keluarga
maupun dari saudara-saudara. Pasien merasa senang apabila suami, mertua, kakak
dan anak berkumpul di rumah walaupun hanya untuk menonton televisi atau makan
bersama.
Untuk menilai fungsi fisiologis keluarga ini digunakan A.P.G.A.R Score
dengan nilai hampir selalu = 2, kadang = 1, hampir tidak pernah = 0.
A.P.G.A.R Score dilakukan pada masing-masing anggota keluarga dan
kemudian dirata-rata untuk menentukan fungsi fisiologis keluarga secara
keseluruhan. Nilai rata-rata 1-4 = jelek, 4-6 = sedang, 7-10 = baik. Penilaian
A.P.G.A.R.
Tabel 3. Nilai APGAR dari Keluarga Ny S
A.P.G.A.R Ny. S Tn. P Ny. N Tn. M
A Saya puas bahwa saya dapat 2 2 2 2
kembali ke keluarga saya bila
saya menghadapi masalah
P Saya puas dengan cara keluarga 2 1 2 1
saya membahas dan membagi
masalah dengan saya
G Saya puas dengan cara keluarga 1 2 1 1
saya menerima dan mendukung
keinginan saya untuk melakukan
kegiatan baru atau arah hidup
yang baru
A Saya puas dengan cara keluarga 2 2 2 2
saya mengekspresikan kasih
sayangnya dan merespon emosi
saya seperti kemarahan,
perhatian dll.
R Saya puas dengan cara keluarga 2 2 1 1
saya dan saya membagi waktu
bersama-sama
TOTAL 9 9 8 7
Rerata nilai skor APGAR keluarga Ny. S adalah (9+9+8+7)/4 = 8,25. Secara
keseluruhan total poin dari skor APGAR keluarga pasien adalah 33, sehingga
rata-rata skor APGAR dari keluarga pasien adalah 8,25. Hal ini menunjukkan
bahwa fungsi fisiologis yang dimiliki keluarga pasien berada dalam keadaan
baik.
Kesimpulan :
Dalam keluarga Ny. S fungsi patologis yang positif adalah fungsi budaya,
fungsi ekonomi, fungsi edukasi, dan fungsi medical.
D. Family Genogram
60 57
6 57
4
30
19 18 14 13
26 23
Gambar 1. Genogram keluarga
Ny. S
2
Keterangan
: Pasien : Laki-laki
Ny. S
Tn. M Ny.N
An. G
Tn. P
Kesimpulan :
Hubungan antara anggota keluarga di keluarga Ny. S dinilai harmonis
dan saling mendukung.
IV. IDENTIFIKASI FAKTOR-FAKTORYANG MEMPENGARUHI
KESEHATAN
Pengetahuan :
Kurangnya Lingkungan:
pengetahuan pada Kondisi rumah
pasien penyakit dan lingkungan
yang tidak sehat.
Fungsi
Sikap: Fisiologis :
Menganggap Skor APGAR
penyakit demam keluarga pasien
biasa dan akan semuh baik
dengan obat yang
Keluarga Ny. S
dibeli sendiri
Pelayanan
Kesehatan:
Jika sakit berobat
ke puskesmas
Tindakan:
Tidak membuka
jendela rumah, jarang
membersihkan
kandang ayam dan Penularan:
halaman. Pasien Keluarga pasien
membiarkan mengetahui tidak
genangan yang ada mengetahui penyakit
disekitar rumah tersebut berasal dan
ditularkan melalui apa.
Kamar tidur
Kamar tidur 4
3
Kamar tidur 2
Ruang
tamu dan
Ruang
Kamar tidur Keluarga
1
A. Masalah medis :
1. Leptospirosis
B. Masalah nonmedis :
1. Pendapatan perkapita yang relatif cukup (Rp575.000,00).
2. Pasien sering lupa mencuci tangan sebelum dan setelah makan, maupun
setelah berkativitas diluar rumah
3. Pasien belum mengetahui faktor resiko, pola penularan, dan pengobatan
Ekonomi menengah ke bawah
mengenai penyakit leptospirosis, begitupun dengan keluarga pasien.
4. Keadaan dan kebersihan lingkungan rumah yang kurang sehat, berdebu
dan kamar mandi yang kotor serta adanya kandang ayam dekat rumah.
5. Terdapat dapur kayu bakar yang berdekatan dengan penampungan air,
disertai kondisi lantai yang kotor dan adanya beberapa genangan air.
Kriteria penilaian:
8 : tidak penting
9 : agak penting
10 : cukup penting
11 : penting
12 : sangat penting
E. Prioritas Masalah
Berdasarkan kriteria matriks diatas, maka urutan prioritas masalah
keluarga Ny. S adalah sebagai berikut :
1. Pengetahuan tentang penyakit rendah
2. Perilaku pasien tidakmencuci tangan
3. Kondisi rumah dan lingkungan sekitar yang tidak sehat
4. Kondisi ekonomi keluarga adalah kelas menengah kebawah
Prioritas masalah yang diambil adalah tingkat pengetahuan pasien dan
keluarga tentang penyakit yang diderita masih rendah.
VI. RENCANA PEMBINAAN KELUARGA
G. Hasil Evaluasi
1. Evaluasi Formatif
Pelaksanaan kegiatan dilakukan pada 5 orang yang terdiri dari,
pasien Ny. S, suami pasien Tn. P, anak pasien, mertua pasien Tn. M dan
Ny. N. Metode yang digunakan berupa konseling edukasi tentang penyakit
leptospirosis mulai dari definisi, etiologi, faktor resiko, cara penularan,
edukasi PHBS serta pencegahan bagi orang-orang yang tinggal di sekitar
Ny. S terutama yang tinggal serumah dengan pasien.
2. Evaluasi Promotif
Sasaran konseling sebanyak 5 orang yaitu, pasien, suami pasien,
anak pasien, bapak mertua dan ibu mertua. Ditambah beberapa warga yang
tinggal di sekitar rumah pasien. Waktu pelaksanaan kegiatan pada Senin, 1
Mei 2017 dan Selasa, 2 Mei 2017 di rumah pasien. Konseling berjalan
dengan lancar dan pasien merasa puas karena merasa lebih diperhatikan
dengan adanya kunjungan ke rumahnya untuk memberikan edukasi
tentang penyakit yang sedang di derita Ny. S. Beserta beberapa warga
yang antusias untuk mengetahui penyakit yang sedang banyak di derita
warga sekitar.
3. Evaluasi Sumatif
Sebelum dilakukan konseling pasien dan keluarga mengaku belum
memahami penyakit yang diderita Ny. S sehingga dengan adanya
konseling pasien merasa puas dan senang karena menjadi lebih paham
tentang penyakitnya. Setelah konseling dilakukan tanya jawab,
narasumber memberikan 10 pertanyaan dan pasien beserta keluarga dapat
menjawab 8 pertanyaan dengan tepat sehingga tingkat pengetahuan pasien
meningkat menjadi 80% dari sebelumnya yang hanya 30%.
VII. TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh
patogen spirochaeta, genus Leptospira. Spirochaeta ini pertama kali diisolasi
di Jepang oleh Inada setelah sebelumnya digambarkan oleh Adolf Weil tahun
1886. Weil menemukan bahwa penyakit ini menyerang manusia dengan
gejala demam, ikterus, pembesaran hati dan limpa, serta kerusakan ginjal.
Penyakit ini disebut juga sebagai Weil disease, Canicola fever, Hemorrhagic
jaundice, Mud fever, atau Swineherd disease (Andani, 2014).
Menurut WHO (2003), leptospirosis adalah penyakit menular yang
disebabkan oleh bakteri patogen Leptospira, yang ditularkan secara langsung
maupun tidak langsung dari hewan ke manusia, sehingga penyakit ini
digolongkan dalam zoonosis. Berdasarkan cara transmisinya, leptospirosis
merupakan salah satu direct zoonoses (host to host transmission) karena
penularannya hanya memerlukan satu vertebrata saja. Penyakit ini bisa
berkembang di alam pada hewan baik liar maupun domestik dan manusia
merupakan infeksi terminal.
Leptospirosis merupakan penyakit zoonosis yang terjadi terutama di
negara-negara tropis atau subtropis. Kejadian leptospirosis dikaitkan dengan
perubahan iklim, masyarakat dengan timpat tinggal kumuh, dan berkaitan
dengan pekerjaan tertentu. Gejala klinis yang mungkin timbul bervariasi antar
individu mulai dari gejala ringan hingga berat. Leptospirosis terkadang jarang
dilaporkan karena sulit untuk mendiagnosis secara klinis dan keterbatasan
fasilitas laboratorium (WHO, 2003).
B. Epidemiologi
International Leptospirosis Society menyatakan Indonesia sebagai
negara dengan insidensi leptospirosis tinggi dan peringkat ketiga didunia
untuk mortalitas. Di Indonesia leptospirosis ditemukan di DKI Jakarta, Jawa
Barat, Jawa Tengah, DIY, Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, Riau,
Sumatera Barat, Sumatera Utara, Bali, NTB, Sulawesi Selatan, Sulawesi
Utara, Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur. Pada kejadian banjir besar di
Jakarta tahun 2002, dilaporkan lebih dari 100 kasus leptospirosis dengan 20
kematian (Zein, 2009).
Leptospirosis masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia
terutama di daerah rawan banjir. Musim penghujan dan banjir dikhawatirkan
berpotensi menimbulkan kejadian luar biasa (KLB) Leptospirosis. Kejadian
luar biasa (KLB) Leptospirosis terjadi di Kabupaten Kota Baru Kalimantan
Selatan pada tahun 2014. Peningkatan kasus terjadi di Provinsi Jawa Tengah
dan DKI Jakarta setelah terjadi banjir besar yang cukup lama. Menurut Profil
Data Kesehatan Indonesia Indonesia tahun 2011, leptospirosis di Indonesia
mengalami peningkatan baik jumlah kasus maupun kematian pada 3 tahun
terakhir (2009-2011). Dilaporkan pada tahun 2011, jumlah kasus sebanyak
857 orang, kasus meninggal 82 orang, dan crude fatality rate (CFR) 9,57%.
Provinsi Jawa Tengah adalah penyumbang kedua untuk jumlah kasus (184
orang) dan kematian (33 orang) setelah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
(Kemenkes, 2015).
Leptospirosis di Kabupaten Banyumas pertama kali terjadi di
Kecamatan Kebasen pada bulan Mei 2010. Tahun 2010 hanya terdapat satu
kasus, namun tahun 2011 meningkat menjadi 6 kasus, meliputi 1 kasus pada
bulan Maret di Kecamatan Purwojati, 1 kasus pada bulan Mei di Kecamatan
Gumelar, 1 kasus di Bulan Juni di Kecamatan Kembaran, 1 kasus pada Bulan
November di Kecamatan Ajibarang, dan 2 kasus di Bulan Desember yang
terjadi di Kecamatan Banyumas dan Rawalo. Tahun 2012 menurun menjadi 3
kasus, meliputi 1 kasus terjadi pada bulan Juli di Kecamatan Sumpiuh, 1 kasus
pada bulan Agustus di Kecamatan Pekuncen, dan 1 kasus terjadi di bulan Juni
di Kecamatan Cilongok. Tahun 2013 dilaporkan terdapat 4 kasus di bulan Mei
yang terjadi di Kecamatan Sumpiuh. Pada tahun 2014, terjadi 4 kasus
leptospirosis yaitu di 1 kasus di Kecamatan Kedung Banteng dan 4 kasus di
Kecamatan Kemranjen. Terdapat peningkatan kejadian Leptospirosis pada
tahun 2015 yaitu sebanyak 14 kasus. Sebanyak 2 kasus terjadi di Kecamatan
Kalibagor, 2 kasus terjadi di Kecamatan Sokaraja, 5 kasus di Kecamatan
Pekuncen, 1 kasus di Kecamatan Rawalo, 2 kasus di Kecamatan Patikraja, 1
kasus di Kecamatan Purwokerto Barat, dan 1 kasus di Kecamatan Kebasen.
Sampai bulan Juni 2016 sudah terjadi 7 kasus Leptospirosis di Kabupaten
Banyumas yaitu 1 kasus di Kecamatan Purwokerto Selatan, 4 kasus di
Kecamatan Somagede, 1 kasus di Kecamatan Banyumas, dan 1 kasus di
Kecamatan Cilongok (Rejeki et al, 2013; Dinkes Banyumas, 2016).
C. Etiologi
Leptospirosis disebabkan oleh kontak dengan air, tanah, dan lumpur
yang tercemar oleh bakteri Leptospira, atau konsumsi makanan yang
terkontaminasi. Leptospira masuk melalui kulit yang terluka atau membran
mukosa. Menurut aspek cara transmisinya Leptospirosis merupakan salah
satu direct zoonosis (host to host transmision) karena penularannya hanya
memerlukan satu vertebrata. Penularan pada manusia merupakan infeksi
terminal. Dari aspek ini penyakit ini termasuk golongan anthropozoonoses
karena manusia merupakan dead end infeksi (Widarso et al., 2008).
Leptospira merupakan bakteri yang patogenik dan saprofitik. Bakteri
patogenik merupakan bakteri yang memiliki potensial untuk menyebabkan
penyakit pada hewan dan manusia. Bakteri saprofitik merupakan bakteri yang
hiduo bebasa dan biasanya tidak menyebabkan penyakit. Leptopira yang
patogenik dapat hidup di tubulus renalis paha hewan tertentu. Leptopira
saprofitik dapat ditemukan di daerah yang lembab dan basah yaitu berkisar
antara permukaan air, lumpur, hingga air keran. Saprofitik halofilik (salt-
loving) dapat ditemukan di air laut (Widarso et al., 2008).
Leptospirosis berbentuk spiral, hal yang membedakan dengan
spirochaeta lainnya adalah adanya kait pada ujungnya. Leptospira masuk
dalam ordo Spirochaetales, family Leptospiraceae, dan genus Leptospira.
Bakteri ini memiliki panjang 6-20 m dan diameter 0,1 m. Bakteri ini
terlalu kecil untuk dilihat dibawah mikroskop biasa sehingga hanya dapat
dilihat dibawah mikroskop lapangan gelap. Semua leptospirosis terlihat sama
saja denga sedikit perbedaan minor sehingga melihat morfologinya saja tidak
akan bisa membedakan antara leptospira patogenik, saprofitik, atau antara
sesama jenis leptospira patogenik (Widarso et al., 2008).
Penularan dapat terjadi melalui kontak melalui mukosa atau kulit yang
terluka dengan air, tanah yang lembab, atau vegetasi yang terkontaminasi urin
hewan yang terinfeksi. Infeksi juga dapat terjadi melalui ingesti atau inhalasi
dari makanan yang terkena urin reservoir. Maksa inkubasi biasanya terjadi
sekitar 10 hari (2-30 hari) (Widarso et al., 2008).
Bakteri leptospira dapat hidup dan berkembang biak dalam tubuh
hewan tertentu yang selanjutnya disebut sebagai reservoir. Beberapa hewan
vertebrae merupakan host alami bakteri leptospira yang hidup di ginjal
mereka. Walaupun leptospirosis tidak membahayakan bagi host alaminya
namun tetap dapat menimbulkan infeksi bagi manusia. Setelah menginfeksi
hewan, leptospira akan beredar mengikuti aliran darah dan menginvasi
jaringan dan organ. Sistem imun hewan reservoir diharapkan dapat
mengeliminasi bakteri leptospira, namun bakteri ini dapat bertahan dalam
tubulus ginjal dan terbuang melalui urin hewan tersebut (Widarso et al.,
2008).