Anda di halaman 1dari 39

BAB I

NAHDLATUL ULAMA
A. Arti Nahdlatul Ulama
Nahdhatul `Ulama secara epistimologis mempunyai arti Kebangkitan Ulama
atau Bangkitnya Para Ulama , sebuah organisasi yang didirikan sebagai tempat
berhimpun seluruh Ulama dan umat Islam. Sedangkan menurut istilah Nahdhatul `Ulama
adalah jam`iyah Diniyah yang berhaluan Ahlussunah wal Jama`ah yang didirikan di
Surabaya oleh para ulama pondok pesantren pada tanggal 16 Rajab 1344 H bertepatan
dengan tanggal 31 Januari 1926. Di antara para ulama pendiri jamiyyah Nahdhatul
`Ulama adalah:

1. KH. Muhammad Hasyim Asyari (Tebuireng Jombang)


2. KH. Abdul Wahab Hasbullah (Tambak Beras Jombang)
3. KH. Bisri Syamsuri (Denanyar Jombang)
4. KH. Raden Asnawi (Kudus)
5. KH. Makshum (Lasem)
6. KH. Ridlwan (Semarang)
7. KH. Nawawi (Pasuruan)
8. KH. Nahrowi (Malang)
9. KH. Ridlwan (Surabaya)
10. KH. Mas Alwi Abdul Aziz (Surabaya)
11. KH. Abdullah Ubaid (Surabaya)
12. KH. Abdul Halim (Cirebon)
13. KH. Ndoro Munthaha (Bangkalan, Madura)
14. KH. Dahlan (Kertosono)
15. KH. Abdullah Faqih (Maskumambang, Dukun, Gresik)
Atas usul KH. Mas Alwi Abdul Aziz, Jamiyyah yang didirikan oleh ulama Ahlus
sunnah wal jamaah ini diberi nama Nahdhatul Ulama, yang disingkat NU. Nama ini dipilih
dengan beberapa alasan, antara lain:
1. Nahdhatul `Ulama berarti kebangkitan para ulama
2. Istilah kebangkitan mengandung arti yang lebih aktif dari pada Pwerkumpulan atau
perhimpunan.
3. Yang bangkit dan diajak untuk selalu bangkit adalah para ulama. Mereka adalah panutan
ummat, sehingga dengan kebangkitan ulama ummatpun akan mengikutinya.
4. Dengan kebangkitan yang dipimpin oleh para ulama, maka arah kebangkitan jelas untuk
kejayaan islam dan kaum muslimin.

B. Arti Lambang Nahdlatul Ulama


Setiap organisasi atau perkumpulan pasti mempnyai lambang sebagai simbul yang
menggambarkan asas (dasar), tujuan dan cita-cita dari organisasi tersebut. Nahdhatul
Ulama sebagai organisasi keagamaan dan kemasyarakatan juga memiliki lambang yang
ditetapkan sejak awal berdirinya.
Lambang Nahdhatul `Ulama dicptakan oleh KH.
Ridlwan Abdullah, seorang ulama yang mempunyai keahlian
dalam bidang seni lukis dan kaligrafi. Sudah menjadi
kebiasaan para ulama bahwa untuk mewujudkan
harapannya, selalu diawali dengan istikharah. Demikianlah
yang dilakukan oleh KH. Ridlwan Abdullah ketika diminta untuk menciptakan lambang
Nahdhatul `Ulama (NU). Sehingga lambang Nahdhatul `Ulama (NU) bukan sekedar hasil
perenungan, namun lebih dari itu adalah hasil istikharah dari penciptanya.
Lambang Nahdhatul `Ulama terdiri atas gambar bola dunia yang dilingkari tali
tersimpul, dan dikitari oleh sembilan bintang. Lima bintang terletak melingkar dai atas
garis katulistiwa yang terbesar di antaranya terletak ditengah atas. Sedangkan empat
bintang lainnya terletak melingkar dibawah katulistiwa. Nama Nahdhatul `Ulama ditulis
dalam huruf arab yang melintang dari sebelah kanan bola dunia kesebelah kiri. Semua
terlukis dengan warna putih di atas dasar hijau.
Adapun arti dan maksud dari lambang Nahdlatul Ulama adalah:
1. Gambar Bola Dunia : Melambangkan bumi tempat kita hidup, berjuang dan beramal
didunia ini. Di samping itu, mengingatkan bahwa asal mula kejadian manusia adalah dari
tanah dan akan kembali ketanah.
2. Gambar Peta : yang tampak pada bola dunia adalah peta Indonesia yang melambangkan
bahwa Nahdlatul Ulama didirikan di Indonesia dan berjuang untuk kejayaan Negara
Republik Indonesia.
3. Gambar tali bersimpul: melambangkan persatuan yang kokoh dan ikatan dibawahnya
berarti hubungan antara sesama manusia (hamlum minan nas) dan antara manusia
dengan Tuhan (Hablum minallah). Sedangkan jumlah untaian talinya sebanyak 99 buah
yang melamangkan Asmaul Husna.
4. Gambar bintang besar di atas garis katulistiwa melambangkan kepemimpinan Nabi
Muhammad s.a.w. Sedangkan empat bintang lainnya melambangkan kepemimpinan
KH.ulafaur Rasyidin. Adapun empat bintang dibawah garis katulistiwa melambangkan
madzhab empat, yaitu (Hanafi, Maliki, Syafii dan Hambali). Jumlah bintang seluruhnya
ada sembilan buah yang melambangkan wali songo sebagai tokoh penyebar agama islam
di pulau Jawa.
5. Tulisan Huruf Arab Nahdlatul Ulama : menunjukkan nama organisasi yang berarti
Kebangkitan Ulama.
6. Warna Dasar Hijau: melambangkan Kesuburan tanah air Indonesia, sedangkan warna
gambar dan tulisan putih melambangkan kesucian.
Dari uraian arti lambang tersebut di atas, dapat diketahui bahwa Nahdlatul Ulama
merupakan organisasi keagamaan islam (jamiyyah diniyah islamiyah) yang selalu setia
mengikuti ajaran Nabi Muhammad s.a.w. para sahabatnya dan menganut salah satu dari
madzhab empat. Di samping itu Nahdlatul Ulama didirikan sebagai lanjutan dari
perjuangan wali songo dalam menyebarkan ajaran islam di Indonesia.

C. Tujuan Nahdlatul Ulama


Tujuan merupakan bagian yang terpenting dalam suatu organisasi. Karena itu
tujuan organisasi harus dirumuskan dengan jelas, sehingga tidak terjadi penyimpangan
dari kehendak dan cita-cita yang telah ditetapkan oleh para pendiri (muassis) nya.
Sesuai sifat dasarnya sebagai jamiyyah diniyah ijtimaiyah yang berhaluan Ahlus
sunnah wal jamaah, Nahdlatul Ulama senantiasa menyesuaikan diri dengan tuntutan
perkembangan zaman, namun tetap berada dalam jalur yang digariskan oleh Khittah
Nahdliyah. Adapun tujuan Nahdlatul Ulama adalah berlakunya ajaran Islam yang
menganut faham Ahlus sunah wal jamaah dan menurut salah satu dari madzhab empat
untuk terwujudnya tatanan masyarakat yang demokratis dan berkeadilan demi
kemaslahatan dan kesejahteraan umat.
Dari rumusan tersebut di atas, maka Nahdlatul Ulama sebagai jamiyyah diniyah
ijtimaiyah mempunyai tujuan sebagai berikut:
1. Terwujudnya kesejahteraan kehidupan masyarakat
2. Terwujudnya penegakan keadilan
3. Terwujudnya system demokrasi yang berakhlakul karimah.

D. Usaha-usaha Nahdlatul Ulama


Untuk mewujudkan tujuannya, Nahdlatul Ulama (NU) melaksanakan usaha-usaha
sebagai berikut:
1. Di bidang agama, mengusahakan terlaksananya ajaran islam menurut faham Ahlussunah
wal Jama`ah dalam masyarakat dengan melaksanakan dakwah islamiyah dan amar
ma`ruf nahi munkar serta meningkatkan ukhuwwah islamiyah.
2. Di dalam bidang pendidikan, pengajaran dan kebudayaan, mengusahakan terwujudnya
penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran serta pengembangan kebudayaan yang
sesuai dengan ajaran Islam untuk membina umat agar menjadi muslim yang bertaqwa,
berbudi luhur, berpengetahuan luas dan terampil, serta berguna bagi agama, bangsa dan
negara.
3. Di dalam bidang ekonomi, mengusahakan terwujudnya pembangunan ekonomi dengan
mengupayakan pemerataan kesempatan untuk berusaha dan menikmati hasil-hasil
pembangunan, dengan mengutamakan tumbuh dan berkembangnya ekonomi kerakyatan.
4. Di dalam bidang sosial, mengupayakan tertwujudnya kesejahteraan lahir dan batin bagi
rakyat Indonesia.
5. Mengembangkan usaha-usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat banyak guna
terwujudnya Khaira Ummah.
Semua kegiatan dan usaha yang diperjuangkan oleh Nahdlatul Ulama yang
tersebut di atas, bukan semata-mata untuk kepentingan warga NU. Akan tetapi untuk
mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera.

LATIHAN SOAL

A. Jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini dengan memilih jawaban A,B,C atau D dengan jawaban yang
baik dan benar!
1. Secara epistimologis Nahdlatul Ulama mempunyai arti............
a. Ulama Bangkit c. Kebangkitan Ulama
b. Para Ulama d. Kebangkitan
2. Dibawah ini adalah salah satu tokoh yang mengusulkan Jamiyyah yang didirikan oleh ulama Ahlus sunnah
wal jamaah ini diberi nama Nahdhatul Ulama, yang disingkat NU adalah..........
a. KH. Nawawi c. KH. Hasyim Asyari
b. KH. Mas Alwi Abdul Aziz d. KH. Ridlwan
3. Mengupayakan tertwujudnya kesejahteraan lahir dan batin bagi rakyat Indonesia merupakan salah satu
usaha-usaha Nahdlatul Ulama dalam bidang.........
a. Keagamaan c. pendidikan
b. Budaya d. Sosial
4. Gambar bintang besar di atas garis katulistiwa dalam lambang Nahdlatul Ulama adalah melambangkan
kepemimpinan................
a. Nabi Muhammad c. Khulafaur rashidin
b. Wali songo d. Ulama
5. Pencipta lambang Nahdlatul Ulama adalah............
a. KH. Ridlwan c. KH. Nawawi
b. KH. Wahab Hasbullah d. KH. Makhsum
6. Nahdlatul Ulama adalah organisasi sosial keagamaan yang berfaham.............
a. Mutazilah c. Asariyah
b. Ahlusunnah Wal jamaah d. Almaturidiyah
7. Pada tanggal 31 Januari 1926 Komite Hijaz bersidang dengan keputusan mengukuhkan komite hijaz untuk
membentuk organisasi.......
a. Nahdlatul Ulama c. Komite hijaz
b. Tafwirul afkar d. Pemuda
8. Habluminallah wa habluminannas adalah salah satu makna yang terdapat dalam lambang NU yaitu berupa
..
a. lima bintang di atas garis katulistiwa
b. tali yang mengitari bola dunia
c. bola dunia
d. tali yang tersimpul
9. Manusia dari tanah dan akan kembali ke tanah , dalam Lambang NU disimbulka berupa................
a. Lima bintang di atas garis khatulistiwa
b. tali yang mengitari bola dunia
c. tali yang tersimpul
d. Gambar Bola Dunia
10. 1. KH. Abdurrahman Wahid
2. KH. Bisri Syamsuri
3. KH. Hasyim Muzadi
4. KH. Asnawi Kudus
5. KH. Alwi Abdul Aziz
Tokoh-tokoh pendiri NU ditunjukkan pada nomor......
a. 2,3,4 c. 1,2,3
b. 1,2,5 d. 2,4,5

B. Jawablah pertanyaan di bawah ini dengan baik dan benar!


1. Jelaskan arti dari Nahdlatul Ulama!
2. Sebutkan tujuan-tujuan didirikannya Nahdlatul ulama!
3. Usaha-usaha apa yang dilakukan oleh Nahdlatul ulama dalam bidang keagamaan, sosial,dan budaya!
4. Jelaskan usaha-usaha Nahdlatul Ulama dalam bidang pendidikan!
5. Sebutkan tokoh-tokoh pendiri Nahdlatul Ulama!

Selamat Mengerjakan
BAB II
PENDIRI NAHDLATUL ULAMA

A. Tokoh-tokoh di balik berdirinya Nahdlatul Ulam


KH. Muhammad Khalil bin KH. Abdul Lathif bin KH.
Hamim bin KH. Abdul Karim bin KH.Muharram bin KH. Asrar
Karamah bin KH. Abdullah bin Sayid Sulaiman.
Sayid Sulaiman adalah cucu Syarif Hidayatullah atau
Sunan Gunung Jati Cirebon. Syarif Hidayatullah itu putera
Sultan Umdatuddin Umdatullah Abdullah yang memerintah di
Cam (Campa). Ayahnya adalah Sayid Ali Nurul Alam bin Sayid
Jamaluddin al-Kubra.
KH. Muhammad Khalil dilahirkan pada 11 Jumadil akhir 1235 Hijriah atau 27
Januari 1820 Masehi di Kampung Senenan, Desa Kemayoran, Kecamatan Bangkalan,
Kabupaten Bangkalan, Pulau Madura, Jawa Timur. Beliau berasal dari keluarga Ulama
dan digembleng langsung oleh ayahnya sendiri. Setelah menginjak dewasa beliau
talim/belajar diberbagai pondok pesantren. Sekitar tahun 1850-an, ketika usianya
menjelang tiga puluh, KH. Muhammad Kholil belajar kepada KH. Muhammad Nur di
Pondok-pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur. Dari Langitan beliau pindah ke Pondok
pesantren Cangaan, Bangil, Pasuruan. Kemudian beliau pindah ke Pondok-pesantren
Keboncandi. Selama belajar di pondok-pesantren ini beliau belajar pula kepada KH. Nur
Hasan yang menetap di Sidogiri, 7 kilometer dari Keboncandi. KH. Nur Hasan ini,
sesungguhnya, masih mempunyai pertalian keluarga dengannya.
Sewaktu menjadi Santri KH. Muhammad Kholil telah menghafal beberapa matan,
seperti Matan Alfiyah Ibnu Malik (Tata Bahasa Arab). disamping itu juga beliau juga
seorang hafiz al-Quran. Beliau mampu membaca alquran dalam Qiraat Sabah (tujuh
cara membaca al-Quran. Pada 1276 Hijrah/1859 Masihi, KH. Muhammad Kholil Belajar di
Makkah. Di Makkah KH. Muhammad Khalil al-Maduri belajar dengan Syeikh Nawawi al-
Bantani (Guru Ulama Indonesia dari Banten). Di antara gurunya di Makkah ialah Syeikh
Utsman bin Hasan ad-Dimyathi, Sayid Ahmad bin Zaini Dahlan, Syeikh Mustafa bin
Muhammad al-Afifi al-Makki, Syeikh Abdul Hamid bin Mahmud asy-Syarwani . Beberapa
sanad hadis yang musalsal diterima dari Syeikh Nawawi al-Bantani dan Abdul Ghani bin
Subuh bin Ismail al-Bimawi (Bima, Sumbawa). Syeikh Muhammad Kholil Sewaktu Belajar
di Mekkah Seangkatan dengan KH. Hasym Asyari, KH. Wahab Hasbullah dan KH.
Muhammad Dahlan namum Ulama-ulama Dahulu punya kebiasaan Memanggil Guru
sesama Rekannya, dan KH. Muhammad Kholil yang Dituakan dan dimuliakan diantara
mereka.
Sewaktu berada di Makkah untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, Syeikh
Muhammad Kholil bekerja mengambil upah sebagai penyalin kitab-kitab yang diperlukan
oleh para pelajar. Diriwayatkan bahwa pada waktu itulah timbul ilham antara mereka
bertiga, yaitu: Syeikh Nawawi al-Bantani, Syeikh Muhammad Kholil al-Maduri dan Syeikh
Saleh as-Samarani (Semarang) menyusun kaedah penulisan huruf Pegon. Huruf Pegon
ialah tulisan Arab yang digunakan untuk tulisan dalam bahasa Jawa, Madura dan Sunda.
Huruf Pegon tidak ubahnya tulisan Melayu/Jawi yang digunakan untuk penulisan bahasa
Melayu. karena Syeikh Muhammad Kholil cukup lama belajar di beberapa pondok-
pesantren di Jawa dan Makkah, maka sewaktu pulang dari Makkah, beliau terkenal
sebagai ahli/pakar nahwu, fiqih, thariqat ilmu-ilmu lainnya.
Untuk mengembangkan pengetahuan keislaman yang telah diperolehnya, Syeikh
Muhammad Kholil selanjutnya mendirikan pondok-pesantren di Desa Cengkebuan, sekitar
1 kilometer arah Barat Laut dari desa kelahirannya. Syeikh Muhammad Kholil al-Maduri
adalah seorang ulama yang bertanggungjawab terhadap pertahanan, kekukuhan dan
maju-mundurnya agama Islam dan bangsanya. Beliau sadar benar bahwa pada
zamannya, bangsanya adalah dalam suasana terjajah oleh bangsa asing yang tidak
seagama dengan yang dianutnya.
Beliau dan keseluruhan suku bangsa Madura seratus peratus memeluk agama
Islam, sedangkan bangsa Belanda, bangsa yang menjajah itu memeluk agama Kristian.
Sesuai dengan keadaan beliau sewaktu pulang dari Makkah telah berumur lanjut,
tentunya tidak melibatkan diri dalam medan perang, memberontak dengan senjata
tetapi mengkaderkan pemuda di pondok pesantren yang didirikannya. Syeikh Muhammad
Kholil sendiri pernah ditahan oleh penjajah Belanda kerana dituduh melindungi
beberapa orang yang terlibat melawan Belanda di pondok pesantrennya. Beberapa tokoh
ulama maupun tokoh-tokoh kebangsaana lainnya yang terlibat memperjuangkan
kemerdekaan Indonesia tidak sedikit yang pernah mendapat pendidikan dari Syeikh
Muhammad Kholil al-Maduri .
Dalam peristiwa 10 November, Mbah Kholil bersama kiai-kiai besar seperti Bisri
Syamsuri, Hasyim Asyari, Wahab Chasbullah dan Mbah Abas Buntet Cirebon,
mengerahkan semua kekuatan gaibnya untuk melawan tentara Sekutu. Hizib-hizib yang
mereka miliki, dikerahkan semua untuk menghadapi lawan yang bersenjatakan lengkap
dan modern. Sebutir kerikil atau jagung pun, di tangan kiai-kiai itu bisa difungsikan
menjadi bom berdaya ledak besar. Tak ketinggalan, Mbah Kholil mengacau konsentrasi
tentara Sekutu dengan mengerahkan pasukan lebah gaib piaraannya. Di saat ribuan ekor
lebah menyerang, konsentrasi lawan buyar.
Saat konsentrasi lawan buyar itulah, pejuang kita bergantian menghantam lawan.
Hasilnya terbukti, dengan peralatan sederhana, kita bisa mengusir tentara lawan yang
senjatanya super modern.
Kesaktian lain dari Mbah KH. Kholil, adalah kemampuannya membelah diri. Dia
bisa berada di beberapa tempat dalam waktu bersamaan. Pernah ada peristiwa aneh
saat beliau mengajar di pesantren. Saat berceramah, Mbah Kholil melakukan sesuatu
yang tak terpantau mata. Tiba-tiba baju dan sarung beliau basah kuyub, cerita KH.
Ghozi.
Para santri heran. Sedangkan beliau sendiri cuek, tak mau menceritakan apa-apa.
Langsung ngloyor masuk rumah, ganti baju. Teka-teki itu baru terjawab setengah bulan
kemudian. Ada seorang nelayan sowan Mbah KH. Kholil. Dia mengucapkan terimakasih,
karena saat perahunya pecah di tengah laut, langsung ditolong Mbah KH. Kholil.
Kedatangan nelayan itu membuka tabir. Ternyata saat memberi pengajian, Mbah
Kholil dapat pesan agar segera ke pantai untuk menyelamatkan nelayan yang perahunya
pecah. Dengan karomah yang dimiliki, dalam sekejap beliau bisa sampai laut dan
membantu si nelayan itu, papar KH. Ghozi yang kini tinggal di Wedomartani Ngemplak
Sleman Jogyakarta.
Di antara sekian banyak murid KH. Muhammad Khalil al-Maduri yang cukup
menonjol dalam sejarah perkembangan agama Islam dan bangsa Indonesia ialah KH.
Hasyim Asyari (pendiri Pondok-pesantren Tebuireng, Jombang, dan penggagas Nahdhatul
Ulama / NU). KH. Abdul Wahhab Hasbullah (pendiri Pondok-pesantren Tambakberas,
Jombang) KH. Bisri Syamsuri (pendiri Pondok-pesantren Denanyar) dan KH. Mashum
(pendiri Pondok-pesantren Lasem, Rembang, adalah ayahanda KH. Ali Mashum), KH.
Bisri Mustofa (pendiri Pondok-pesantren Rembang), dan KH. Asad Syamsul `Arifin
(pengasuh Pondok-pesantren Asembagus Situbondo).

1. Geo Sosiologi Politik


Masa hidup Kiai Khalil, tidak luput dari gejolak perlawanan terhadap penjajah.
Tetapi, dengan caranya sendiri Kiai Khalil melakukan perlawanan; pertama, ia
melakukannya dalam bidang pendidikan. Dalam bidang ini, Kiai Khalil mempersiapkan
murid-muridnya untuk menjadi pemimpin yang berilmu, berwawasan, tangguh dan
mempunyai integritas, baik kepada agama maupun bangsa. Ini dibuktikan dengan
banyaknya pemimpin umat dan bangsa yang lahir dari tangannya, salah satu di
antaranya: Kiai Hasyim Asyari, Pendiri Pesantren Tebuireng.
Cara yang kedua, Kiai Khalil tidak melakukan perlawanan secara terbuka,
melainkan ia lebih banyak berada di balik layar. Realitas ini tergambar, bahwa ia tak
segan-segan untuk memberi suwuk (mengisi kekuatan batin, tenaga dalam) kepada
pejuang, pun Kiai Khalil tidak keberatan pesantrennya dijadikan tempat persembunyian.
Ketika pihak penjajah mengetahuinya, Kiai Khalil ditangkap dengan harapan para
pejuang menyerahkan diri. Tetapi, ditangkapnya Kiai Khalil, malah membuat pusing
pihak Belanda, karena ada kejadian-kejadian yang tidak bisa mereka mengerti, seperti
tidak bisa dikuncinya pintu penjara, sehingga mereka harus berjaga penuh supaya para
tahanan tidak melarikan diri.
Di hari-hari selanjutnya, ribuan orang datang ingin menjenguk dan memberi
makanan kepada Kiai Khalil, bahkan banyak yang meminta ikut ditahan bersamanya.
Kejadian tersebut menjadikan pihak Belanda dan sekutunya merelakan Kiai Khalil untuk
di bebaskan saja.

2. Kiprahnya Dalam Pembentukan Nahdlatul Ulama


Peran Kiai Khalil dalam melahirkan NU, pada dasarnya tidak dapat diragukan lagi,
hal ini didukung dari suksesnya salah satu dari muridnya, KH. Hasyim Asyari, menjadi
tokoh dan panutan masyarakat NU. Namun demikian, satu yang perlu digaris bawahi
bahwa Kiai Khalil bukanlah tokoh sentral dari NU, karena tokoh tersebut tetap pada KH.
Hasyim Asyari sendiri. Mengulas kembali ringkasan sejarah mengenai pembentukan NU,
ini berawal pada tahun 1924, saat di Surabaya terdapat sebuah kelompok diskusi yang
bernama Tashwirul Afkar (potret pemikiran), yang didirikan oleh salah seorang kiai muda
yang cukup ternama pada waktu itu: Kiai Wahab Hasbullah. Kelompok ini lahir dari
kepedulian para ulama terhadap gejolak dan tantangan yang di hadapi umat Islam kala
itu, baik mengenai praktik-praktik keagamaan maupun dalm bidang pendidikan dan
politik.
Pada perkembangannya kemudian, peserta kelompok diskusi ingin mendirikan
Jamiyah (organisasi) yang ruang lingkupnya lebih besar daripada hanya sebuah
kelompok diskusi. Maka, dalam berbagai kesempatan, Kiai Wahab selalu
menyosialisasikan ide untuk mendirikan Jamiyah itu. Dan hal ini tampaknya tidak ada
persoalan, sehingga diterima dengan cukup baik ke semua lapisan. Tak terkecuali dari
Kiai Hasyim Asyari; Kiai yang paling berpengaruh pada saat itu.
Namun, Kiai Hasyim, awalnya, tidak serta-merta menerima dan merestui ide
tersebut. Terbilang hari dan bulan, Kiai Hasyim melakukan shalat istikharah untuk
memohon petunjuk Allah, namun petunjuk itu tak kunjung datang.
Sementara itu, Kiai Khalil, guru Kiai Hasyim, yang juga guru Kiai Wahab, diam-
diam mengamati kondisi itu, dan ternyata ia langsung tanggap, dan meminta seorang
santri yang masih terbilang cucunya sendiri, dipanggil untuk menghadap kepadanya.
Saat ini, Kiai Hasyim sedang resah, antarkan dan berikan tongkat ini kepadanya.
Kata Kiai Khalil sambil menyerahkan sebuah tongkat. Baik, Kiai. Jawab Kiai Asad
sambil menerima tongkat itu.
Bacakanlah kepada Kiai Hasyim ayat-ayat ini:
)1 )
( 17)1

(21)1( 20)1 ( 19)1( 18
(23)1 ( )22)1 )
Pesan Kiai Khalil.
Asad segera pergi ke Tebuireng, ke kediaman Kiai Hasyim, dan di situlah berdiri
pesantren yang diasuh oleh Kiai Hasyim. Mendengar ada utusan Kiai Khalil datang, Kiai
Hasyim menduga pasti ada sesuatu, dan ternyata dugaan tersebut benar adanya. Kiai,
saya diutus Kiai Khalil untuk mengantarkan dan menyerahkan tongkat ini kepada Kiai.
Kata Asad, pemuda berusia sekitar 27 tahun itu, sambil mengeluarkan sebuah tongkat,
dan Kiai Hasyim langsung menerimanya dengan penuh perasaan.
Ada lagi yang harus kau sampaikan? Tanya Kiai Hasyim.Ada Kiai, jawab Asad.
Kemudian ia menyampaikan ayat yang disampaikan Kiai Khalil.
Mendengar ayat yang dibacakan Asad, hati Kiai Hasyim tergetar. Matanya
menerawang, terbayang wajah Kiai Khalil yang tua dan bijak. Kiai Hasyim menangkap
isyarat, bahwa gurunya tidak keberatan kalau ia dan teman-temannya mendirikan
Jamiyah. Sejak saat itu, keinginan untuk mendirikan Jamiyah semakin dimatangkan.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, setahun telah berlalu, namun Jamiyah yang
diidam idamkankan itu tak kunjung lahir. Sampai pada suatu hari, pemuda Asad muncul
lagi.
Kiai, saya diutus oleh Kiai Khalil untuk menyampaikan tasbih ini, kata Asad.
Kiai juga diminta untuk mengamalkan Ya Jabbar, Ya Qahhar (lafadz asmaul husna)
setiap waktu, tambah Asad. Sekali lagi, pesan gurunya diterima dengan penuh
perasaan. Kini hatinya semakin mantap untuk mendirikan Jamiyah. Namun, sampai tak
lama setelah itu, Kiai Khalil meninggal, dan keinginan untuk mendirikan Jamiyah belum
juga bisa terwujud. Baru setahun kemudian, tepatnya 16 Rajab 1344 H., jabang bayi
yang ditunggu-tunggu itu lahir dan diberi nama Jamiyah Nahdlatul Ulama (NU). Dan di
kemudian hari, jabang bayi itu pun menjadi raksasa.
Tapi, bagaimana Kiai Hasyim menangkap isyarat adanya restu dari Kiai Khalil
untuk mendirikan NU dari sepotong tongkat dan tasbih? Tidak lain dan tak bukan karena
tongkat dan tasbih itu diterimanya dari Kiai Khalil, seorang Kiai alim yang diyakini
sebagai salah satu Wali Allah.

3. Respon KH M Khalil Bangkalan terhadap penjajahan Belanda


Madura adalah benteng pertahanan Islam Indonesia. Dengan pandangan ini,
sepatutnya kita dapat melihat bahwa, di daerah Madura terdapat seorang ulama yang
memiliki kecintaan yang luar biasa terhadap ilmu dan agama Islam. Sehingga publik
memberikannya julukan Syaikhona. Ialah syaikhona Khalil Bangkalan yang dimaksudkan.
Kiai Khalil merupakan tokoh dan pejuang Islam nusantara, yang hidup pada masa
penjajahan kolonial Belanda. Tentu tidak dapat dilepaskan dari keterlibatan dan gejolak
perjuangan melawan Belanda. Namun demikian, kiai Khalil tidak langsung terlibat dalam
medan pertempuran fisik, melainkan lebih berperan di belakang layar sebagai tokoh
kharismatik yang memiliki daya penggerak massa. Pondok pesantrennya, bukan hanya
sebagai tempat mengajar dan mendidik santri, melainkan juga sering dijadikan tempat
untuk mendiskusikan strategi perjuangan melawan kolonial Belanda. Bahkan para
pejuang dari tanah jawa, kerap menjadikan pesantren kiai Khalil sebagai tempat
penyusunan strategi melawan Belanda, hingga 20 tahun sebelum proklamasi
kemerdekaan RI.
Sebagai ulama dan intelektual nusantara, secara nyata, kiai Khalil menolak
bahkan ikut terlibat mendorong masyarakat untuk mengusir penjajah Belanda dari bumi
nusantara.

4. Metode pengajaran KH M Khalil Bangkalan


Sebagaimana metode dan gaya pengajaran gurunya, tuan guru Dawuh, ternyata
Khalil Bangkalan juga melakukan hal yang sama. Cara mengajarnya di sembarang
tempat, unik, kondisional dan spontan. Dalam memberi pelajaran tidak harus
dipesantren, terkadang ketika sedang sambil berjalan dengan santrinya, terkadang
sambil di bawah pohon, dipinggir sungai, di atas bukit.
Namun, karena KH. Khalil Bangkalan memiliki lembaga pendidikan pondok
pesantren, publik lebih mengenalnya dalam pemberian pelajaran dengan sistem sorogan,
bandongan dan semacamnya.
Model pengajaran KH. Khalil Bangkalan dapat kita amati dari beberapa cerita
karamah yang ditulis Saifur Rahman dan Mohammad Rifa, bahkan ketika KH. Khalil
Bangkalan terjun dan melihat masyarakat Bangkalan dan sekitarnya, kerap memberikan
pendidikan kepada para santri dan masyarakat. Model pembelajarannya lahir dari
lingkungan hidup dan alam sekitarnya. Dengan demikian, proses pembelajaran yang
dilakukan kiai Khalil Bangkalan tidak selamanya menggunakan kitab kuning dan berada di
masjid dan surau. Bahkan lebih dari itu, proses pendidikannya di lakukan di lingkungan
nyata yang lebih luas. Namun yang jelas, model pengajaran dengan uswah hasanah
menjadi penghias model pendidikan ala kiai Khalil Bangkalan.

5. Peta konsep pemikiran pendidikan KH M Khalil Bangkalan


Kata-kata peta memiliki makna gambar lukisan, diagram atau bagan. Sedangkan
pemikiran dalam kamus ilmiah lebih menggunakan kata penalaran, yang memiliki
makna; proses pemikiran secara logis untuk menarik kesimpulan dari suatu kenyataan
sebelumnya.
Sehingga makna dari peta pemikiran di sini adalah, diagram pemikiran logis
tentang pendidikan Islam oleh KH M Khalil Bangkalan. Sebagai salah satu tokoh yang
tidak terbantahkan dalam melakukan penguatan proses islamisasi yang terjadi di tanah
jawa dan Madura. Tentunya dengan mendirikan pondok pesantren kademangan sebagai
tempat penggodokan kader-kader muslim di masanya dan setelahnya, bahkan sampai
saat ini.
Peta Pemikiran kiai M Khalil Bangkalan; bertumpu pada Al Quran dan Al Hadist,
dasar paradigmatik keilmuannya ilmu alat/ ilmu nahwu-sharrof, ilmu fiqh dan ushul fiqh,
ilmu tauhid dan ilmu ahlak, pesantren dan kaderisasi ulama untuk mencetak intelektual
muslim yang bersikap kritis dan menolak terhadap penjajahan Belanda dan Jepang,
sebagai bukti imperialisme eropa terhadap nusantara. Ketundukan kepada Allah dan
Rasul serta ketaatan kepada orang tua serta guru, menjadi bagian sikap hidup yang
dipeganginya.
6. Tarekat dan Fiqh
Kiai Kholil adalah salah satu Kiai yang belajar lebih daripada satu Madzhab saja.
Akan tetapi, di antara Madzhab-mazdhab yang ada, ia lebih mendalami Madzhab Syafii
di dalam Ilmu Fiqh. Pada masa kehidupan Kiai Kholil, yaitu akhir abad-19 dan awal abad-
20, di daerah Jawa, khususnya Madura, sedang terjadi perdebatan antara dua golongan
pada saat itu. Pada awal abad-20, seperti telah diungkapkan sebelumnya, di daerah
Jawa sedang terjadi penyebaran ajaran Tarekat Naqsyabandiyah, Qadiriyah wa-
Naqsyabandiyah, Naqsyabandiyah Muzhariyah dan lain-lain. Akan tetapi, tidaklah dapat
dipungkiri mengenai keterlibatan Kiai Khalil dalam tarekat, terbukti bahwa Kiai Khalil
dikenal pertamakali dikarenakan kelebihannya dalam hal tarekat, dab juga memberikan
dan mengisi ilmu-ilmu kanuragan kepada para pejuang.
Di sisi lain, Kiai Khalil pun diakui sebagai salah satu Kiai yang dapat
menggabungkan tarekat dan Fiqh, yang kebanyakan ulama pada saat itu melihat dua hal
tersebut bertentangan seperti Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, salah satu ulama
yang notabene seangkatan dengan Kiai Khalil. Memang, Kiai Khalil hidup pada masa
penyebaran tarekat begitu gencar-gencarnya, sehingga kebanyakan ulama pada saat itu,
mempunyai dan memilki ilmu-ilmu kanuragan, dan tidak terkecuali Kiai Khalil. Namun
demikian, perbedaan antara Kiai Khalil dengan kebanyakan Kiai yang lainnya; bahwa Kiai
Khalil tidak sampai mengharamkan atau pun menyebutnya sebagai perlakuan syirik dan
bidah bagi penganut tarekat. Kiai Khalil justru meletakkan dan menggabungkan antara
ke duanya (tarekat dan Fiqh).
Dalam penggabungan dua hal ini, Kiai Khalil menundukkan tarekat di bawah Fiqh,
sehingga ajaran-ajaran tarekat mempunyai batasan-batasan tersendiri yaitu fiqh. Selain
itu, ajaran tarekat juga tidak menjadi ajaran yang tanpa ada batasannya. Namun, yang
cukup disayangkan adalah, tidak banyaknya referensi yang menjelaskan tentang cara
atau pun pola-pola dalam penggabungan tarekat dan fiqh oleh Kiai Khalil tersebut.

7. Peninggalan
Dalam bidang karya, memang hampir tidak ada literatur yang menyebutkan
tentang karya Kiai Khalil; akan tetapi Kiai Khalil meninggalkan banyak sejarah dan
sesuatu yang tidak tertulis dalam literatur yang baku. Ada pun peninggalan Kiai Khalil
diantaranya:
Pertama, Kiai Khalil turut melakukan pengembangan pendidikan pesantren
sebagai pendidikan alternatif bagi masyarakat Indonesia. Pada saat penjajahan Belanda,
hanya sedikit orang yang dibolehkan belajar, itu pun hanya dari golongan priyayi saja; di
luar itu, tidaklah dapat belajar di sekolah. Dari sanalah pendidikan pesantren menjadi
jamur di daerah Jawa, dan terhitung sangat banyak santri Kiai Khalil yang setelah lulus,
mendirikan pesantren. Seperti Kiai Hasyim (Pendiri Pesantren Tebuireng), Kiai Wahab
Hasbullah (Pendiri Pesantren Tambakberas), Kiai Ali Mashum (Pendiri Pesantren Lasem
Rembang), dan Kiai Bisri Musthafa (Pendiri Pesantren Rembang). Dari murid-murid Kiai
Khalil, banyak murid-murid yang dikemudian hari mendirikan pesantren, dan begitu
seterusnya sehingga pendidikan pesantren menjadi jamur di Indonesia.
Kedua, selain Pesantren yang Kiai Khalil tinggal di Madura khususnya, ia juga
meninggalkan kader-kader Bangsa dan Islam yang berhasil ia didik, sehingga akhirnya
menjadi pemimpin-pemimpin umat.
K.H. Muhammad Khalil, adalah satu fenomena tersendiri. Dia adalah salah seorang
tokoh pengembang pesantren di Nusantara. Sebagian besar pengasuh pesantren,
memiliki sanad (sambungan) dengan para murid Kiai Khalil, yang tentu saja memiliki
kesinambungan dengan Kiai Khalil. Beliau wafat pada tanggal 29 Ramadhan 1343 H
dalam usia 91 tahun karena usia lanjut. Hampir semua pesantren di Indonesia yang ada
sekarang masih mempunyai sanad dengan pesantren K.H. Muhammad Khalil.
Diantara peninggalan-peninggalan yang berupa tulisan atau kitab yang pernah di
tulis oleh K.H. Muhammad Khalil diantaranya adalah:
1) Kitab silah fi bayannikah
2) Kitab al Matnus Syarif.
3) Kitab terjemah Alfiyah
4) Kitab Asmaul Husna
5) Shalawat kiai Khalil Bangkalan
6) Wirid-wirid kiai Khalil Bangkalan
7) Lembaran berupa doa-do dan hizib

B. KH. Hasyim Asyari

KH. Hasyim Al Asyari adalah seorang ulama pendiri


Nahdlatul Ulama (NU), organisasi kemasyarakatan terbesar di
Indonesia. Ia juga pendiri pesantren Tebuireng, Jawa Timur
dan dikenal sebagai tokoh pendidikan pembaharu pesantren.
Selain mengajarkan agama dalam pesantren, ia juga
mengajar para santri-santri membaca buku-buku ilmu
pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato. Karya dan
jasa Kiai Hasyim Asyari tidak lepas dari nenek moyangnya
yang secara turun-temurun memimpin pesantren. Ayahnya
bernama Kiai Asyari, pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan
Jombang. Ibunya bernama Halimah. Dari garis ibu, Kiai Hasyim Asyari merupakan
keturunan Raja Brawijaya VI, yang juga dikenal dengan Lembu Peteng, ayah Jaka Tingkir
yang menjadi Raja Pajang (keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir).
1. Kelahiran Dan Masa Kecil
Tidak jauh dari jantung kota Jombang ada sebuah dukuh yang bernama Ngedang
Desa Tambak Rejo yang dahulu terdapat Pondok Pesantren yang konon pondok tertua di
Jombang, dan pengasuhnya Kiai Usman. Beliau adalah seorang kiai besar, alim dan
sangat berpengaruh, istri beliau Nyai Layyinah dan dikaruniai enam anak:
1) Halimah (Winih)
2) Muhammad
3) Leler
4) Fadli
5) Arifah
Halimah kemudian dijodohkan dengan seorang santri ayahandanya yang bernama
Asyari, ketika itu Halimah masih berumur 4 tahun sedangkan Asyari hampir beruisa 25
tahun. Mereka dikarunia 10 anak:
1) Nafiah
2) Ahmad Saleh
3) Muhammad Hasyim
4) Radiyah
5) Hasan
6) Anis
7) Fatonah
8) Maimunah
9) Maksun
10) Nahrowi, dan
11) Adnan.
Muhammad Hasyim, lahir pada hari Selasa Tanggal 24 Dzulqodah 1287 H,
bertepatan dengan tanggal 14 Pebruari 1871 M. Masa dalam kandungan dan kelahiran
KH. M. Hasyim Asyari, nampak adanya sebuah isyaroh yang menunjukkan kebesarannya.
diantaranya, ketika dalam kandungan Nyai Halimah bermimpi melihat bulan purnama
yang jatuh kedalam kandungannya, begitu pula ketika melahirkan Nyai Halimah tidak
merasakan sakit seperti apa yang dirasakan wanita ketika melahirkan.
Di masa kecil beliau hidup bersama kakek dan neneknya di Desa Gedang, ini
berlangsung selama enam tahun. Setelah itu beliau mengikuti kedua orang tuanya yang
pindah ke Desa Keras terletak diselatan kota Jomabng dan di desa tersebut Kiai Asyari
mendirikan pondok pesantren yang bernama Asyariyah. Principle of early learning (sulit
tergantikan dari unsur-unsur asing), mungkin teori ini layak disandang oleh beliau,
berdasarkan kehidupan beliau yang mendukung yaitu hidup dilingkungan pesantren,
sehingga wajar kalau nilai-nilai pesantren sangat meresap pada dirinya, begitu pula
nilai-nilai pesantren dapat dilihat bagimana ayahanda dan bundanya memberikan
bimbingan kepada santri, dan bagaimana para santri hidup dengan sederhana penuh
dengan keakraban dan saling membantu.

2. Belajar Pada Keluarga

Perjalanan keluarga beliau pulalah yang memulai pertama kali belajar ilmu-ilmu
agama baik dari kakek dan neneknya. Desa Keras membawa perubahan hidup yang
pertama kali baginya, disini mula-mula ia menerima pelajaran agama yang luas dari
ayahnya yang pada saat itu pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Asyariyah. Dengan
modal kecerdasan yang dimiliki dan dorongan lingkungan yang kondusif, dalam usia yang
cukup muda, beliau sudah dapat memahami ilmu-ilmu agama, baik bimbingan keluarga,
guru, atau belajar secara autodidak. Ketidak puasannya terdahap apa yang sudah
dipelajari, dan kehausan akan mutiara ilmu, membuatnya tidak cukup hanya belajar
pada lingkungan keluarganya. Setelah sekitar sembilan tahun di Desa Keras (umur 15
tahun) yakni belajar pada keluarganya, beliau mulai melakukuan pengembaraanya
menuntut ilmu.

3. Mengembara ke Berbagai Pesantren


Dalam usia 15 tahun, perjalanan awal menuntut ilmu, Muhammad Hasyim belajar
ke pondok-pondok pesantren yang masyhur di tanah Jawa, Khususnya Jawa Timur. Di
antaranya adalah Pondok Pesantren Wonorejo di Jombang, Wonokoyo di Probolinggo,
Tringgilis di Surabaya, dan Langitan di Tuban (sekarang diasuh oleh KH. Abdullah Faqih),
kemudian Bangkalan, Madura, di bawah bimbingan Kiai Muhammad Khalil bin Abdul Latif
(Syaikhuna Khalil).
Ada cerita yang cukup mengagumkan tatkala KH. M. Hasyim Asyari ngangsu
kawruh dengan Kiai Khalil. Suatu hari, beliau melihat Kiai Khalil bersedih, beliau
memberanikan diri untuk bertanya. Kiai Khalil menjawab, bahwa cincin istrinya jatuh di
WC, Kiai Hasyim lantas usul agar Kiai Khalil membeli cincin lagi. Namun, Kiai Khalil
mengatakan bahwa cincin itu adalah cincin istrinya. Setelah melihat kesedihan diwajah
guru besarnya itu, Kiai Hasyim menawarkan diri untuk mencari cincin tersebut didalam
WC. Akhirnya, Kiai Hasyim benar-benar mencari cincin itu didalam WC, dengan penuh
kesungguhan, kesabaran, dan keikhlasan, Akhirnya Kiai Hasyim menemukan cincin
tersebut. Alangkah bahagianya Kiai Khalil atas keberhasilan Kiai Hasyim itu. Dari
kejadian inilah Kiai Hasyim menjadi sangat dekat dengan Kiai Khalil, baik semasa
menjadi santrinya maupun setelah kembali kemasyarakat untuk berjuang. Hal ini
terbukti dengan pemberian tongkat saat Kiai Hasyim hendak mendirikan Jamiyah
Nahdlatul Ulama (NU) yang dibawa oleh KH. Asad Syamsul Arifin (pengasuh Pondok
Pesantren Syafiiyah Situbondo).
Setelah sekitar lima tahun menuntut ilmu di tanah Madura (tepatnya pada tahun
1307 H/1891 M), Akhirnya beliau kembali ke tanah Jawa, belajar di pesantren Siwalan,
Sono Sidoarjo, dibawah bimbingan KH. Yaqub yang terkenal ilmu nahwu dan shorofnya.
Selang beberapa lama, Kiai Yaqub semakin mengenal dekat santri tersebut dan semakin
menaruh minat untuk dijadikan menantunya.
Pada tahun 1303 H/1892 M., Kiai Hasyim yang saat itu baru berusia 21 tahun
menikah dengan Nyai Nafisah, putri Kiai Yaqub. Tidak lama setelah pernikahan tersebut,
beliau kemudian pergi ke tanah suci Makkah untuk menunaikan ibadah haji bersama istri
dan mertuanya. Disamping menunaikan ibadah haji, di Makkah beliau juga
memperdalam ilmu pengetahuan yang telah dimilkinya, dan menyerap ilmu-ilmu baru
yang diperlukan. Hampir seluruh disiplin ilmu agama dipelajarinya, terutama ilmu-ilmu
yang berkaitan dengan hadits Rasulullah SAW yang menjadi kegemarannya sejak di tanah
air.
Perjalanan hidup terkadang sulit diduga, gembira dan sedih datang silih berganti.
Demikian juga yang dialami Kiai Hasyim Asyari di tanah suci Makkah. Setelah tujuh
bulan bermukim di Makkah, beliau dikaruniai putra yang diberi nama Abdullah. Di tengah
kegembiraan memperoleh buah hati itu, sang istri mengalami sakit parah dan kemudian
meninggal dunia. empat puluh hari kemudian, putra beliau, Abdullah, juga menyusul
sang ibu berpulang ke Rahmatullah. Kesedihan beliau yang saat itu sudah mulai dikenal
sebagai seorang ulama, nyaris tak tertahankan. Satu-satunya penghibur hati beliau
adalah melaksanakan thawaf dan ibadah-ibadah lainnya yang nyaris tak pernah berhenti
dilakukannya. Disamping itu, beliau juga memiliki teman setia berupa kitab-kitab yang
senantiasa dikaji setiap saat. Sampai Akhirnya, beliau meninggalkan tanah suci, kembali
ke tanah air bersama mertuanya.

4. Kematangan Ilmu di Tanah Suci


Kerinduan akan tanah suci rupanya memanggil beliau untuk kembali lagi pergi ke
kota Makkah. Pada tahun 1309 H/1893 M, beliau berangkat kembali ke tanah suci
bersama adik kandungnya yang bernama Anis. Kenangan indah dan sedih teringat
kembali tatkala kaki beliau kembali menginjak tanah suci Makkah. Namun hal itu justru
membangkitkan semangat baru untuk lebih menekuni ibadah dan mendalami ilmu
pengetahuan. Tempat-tempat bersejarah dan mustajabah pun tak luput dikunjunginya,
dengan berdoa untuk meraih cita-cita, seperti Padang Arafah, Gua Hira, Maqam
Ibrahim, dan tempat-tempat lainnya. Bahkan makam Rasulullah SAW di Madinah pun
selalu menjadi tempat ziarah beliau. Ulama-ulama besar yang tersohor pada saat itu
didatanginya untuk belajar sekaligus mengambil berkah, di antaranya adalah Syaikh
Suab bin Abdurrahman, Syaikh Muhammad Mahfud Termas (dalam ilmu bahasa dan
syariah), Sayyid Abbas Al-Maliki al-Hasani (dalam ilmu hadits), Syaikh. Nawawi Al-Bantani
dan Syaikh Atib Al-Minang Kabawi (dalam segala bidang keilmuan).
Upaya yang melelahkan ini tidak sia-sia. Setelah sekian tahun berada di Makkah,
beliau pulang ke tanah air dengan membawa ilmu agama yang nyaris lengkap, baik yang
bersifat maqul maupun manqul, sebagai bekal untuk beramal dan mengajar di kampung
halaman.

5. Mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng


Sepulang dari tanah suci sekitar Tahun1313 H/1899 M, beliau memulai mengajar
santri, beliau pertama kali mengajar di Pesantren Ngedang yang diasuh oleh mendiang
kakeknya, sekaligus tempat dimana ia dilahirkan dan dibesarkan. Setelah itu beliau
mengajar di Desa Muning Mojoroto Kediri. Disinilah beliau sempat menikahi salah
seoarang putri Kiai Sholeh Banjar Melati. Akhirnya, karena berbagai hal, pernikahan
tersebut tidak berjalan lama sehingga Kiai Hasyim kembali lagi ke Jombang.
Ketika telah berada di Jombang beliau berencana membangun sebuah pesantren
yang dipilihnya, yaitu sebuah tempat di Dusun Tebuireng yang pada saat itu merupakan
sarang kemaksiatan dan kekacauan. Pilihan itu tentu saja menuai tanda tanya besar
dikalangan masyarakat, akan tetapi semua itu tidak dihiraukannaya. Nama Tebuireng
pada asalnya Kebo ireng (kerbau hitam). Ceritanya, Di dearah tersebut ada seekor
kerbau yang terbenam didalam Lumpur, dimana tempat itu banyak sekali lintahnya,
ketika ditarik didarat, tubuh kerbau itu sudah berubah warna yang asalnya putih
kemerah-merahan berubah menjadi kehitam-hitaman yang dipenuhi dengan lintah.
Konon semenjak itulah daerah tadi dinamakan Keboireng yang Akhirnya berubah menjadi
Tebuireng.
Pada tanggal 26 Robiul Awal 1317 H/1899 M, didirikanlah Pondok Pesantren
Tebuireng, bersama rekan-rekan seperjuangnya, seperti Kiai Abas Buntet, Kiai Sholeh
Benda Kereb, Kiai Syamsuri Wanan Tara, dan beberapa Kiai lainnya, segala kesuliatan
dan ancaman pihak-pihak yang benci terhadap penyiaran pendidikan Islam di Tebuireng
dapat diatasi.
KH. M. Hasyim Asyari memulai sebuah tradisi yang kemudian menjadi salah satu
keistimewaan beliau yaitu menghatamkan kitab shakhihaini Al-Bukhori dan Muslim
dilaksanakan pada setiap bulan suci ramadlan yang konon diikuti oleh ratusan kiai yang
datang berbondong-bondong dari seluruh jawa. Tradisi ini berjalan hingga sampai
sekarang (penggasuh PP. Tebuireng KH. M. Yusuf Hasyim). Pada awalnya santri Pondok
Tebuireng yang pertama berjumlah 28 orang, kemudian bertambah hingga ratusan orang,
bahkan diakhir hayatnya telah mencapai ribuan orang, alumnus-alumnus Pondok
Tebuireng yang sukses menjadi ulama besar dan menjadi pejabat-pejabat tinggi negara,
dan Tebuireng menjadi kiblat pondok pesantren.

6. Mendirikan Nahdlatul Ulama


Disamping aktif mengajar beliau juga aktif dalam berbagai kegiatan, baik yang
bersifat lokal atau nasional. Pada tanggal 16 Saban 1344 H/31 Januari 1926 M, di
Jombang Jawa Timur didirikanlah Jamiyah Nahdlatul Ulama (kebangkitan ulama)
bersama KH. Bisri Syamsuri, KH. Wahab Hasbullah, dan ulama-ulama besar lainnya,
dengan azaz dan tujuannya: Memegang dengan teguh pada salah satu dari madzhab
empat yaitu Imam Muhammad bin Idris Asyafii, Imam Malik bin Anas, Imam Abu Hanifah
An-Nuam dan Ahmad bin Hambali. Dan juga mengerjakan apa saja yang menjadikan
kemaslahatan agama Islam. KH. Hasyim Asyari terpilih menjadi rois akbar NU, sebuah
gelar sehingga kini tidak seorang pun menyandangnya. Beliau juga menyusun qanun asasi
(peraturan dasar) NU yang mengembangkan faham ahli sunnah waljamaah.
Nahdlatul ulama sebagai suatu ikatan ulama seluruh Indonesia dan
mengajarkan berjihad untuk keyakinan dengan sistem berorganisasi. Memang
tidak mudah untuk menyatukan ulama yang berbeda-beda dalam sudut
pandangnya, tetapi bukan Kiai Hasyim kalau menyerah begitu saja, bahwa beliau
melihat perjuangan yang dilakukan sendiri-sendiri akan lebih besar membuka
kesempatan musuh untuk mengancurkannya, baik penjajah atau mereka yang
ingin memadamkan sinar dan syiar Islam di Indonesia, untuk mengadudombanya
antar sesama. Beliau sebagai orang yang tajam dan jauh pola pikirnya dalam hal
ini, melihat bahaya yang akan dihadapkannya oleh umat Islam, dan oleh karena
itu beliau berfikir mencari jalan keluarnya yaitu dengan membentuk sebuah
organisasi dengan dasar-dasar yang dapat diterima oleh ulamaulama lain.
Jamiyah ini berpegang pada faham ahlu sunnah wal jamaah, yang mengakomodir
pada batas-batas tertentu pola bermadzhab, yang belakangan lebih condong pada
manhaj dari pada sekedar qauli. Pada dasawarsa pertama NU berorentasi pada persoalan
agama dan kemasyarakatan. Kegiatan diarahkan pada persoalan pendidikan, pengajian
dan tabligh. Namun ketika memasuki dasawarsa kedua orentasi diperluas pada
persoalan-persolan nasional. Hal tersebut terkait dengan keberadaannya sebagai
anggota federasi Partai dan Perhimpunan Muslim Indonesia (MIAI) NU bahkan pada
perjalanan sejarahnya pernah tampil sebagai salah satu partai polotik peserta pemilu,
yang kemudian menyatu dengan PPP, peran NU dalam politik praktis ini kemudian
dianulir dengan keputusan Muktamar Situbondo yang menghendaki NU sebagai organisasi
sosial keagamaan kembali pada KH.ittahnya.

7. Pejuang Kemerdekaan
Peran KH. M. Hasyim Asyari tidak hanya terbatas pada bidang keilmuan dan
keagamaan, melainkan juga dalam bidang sosial dan kebangsaan, beliau terlibat secara
aktif dalam perjuangan membebaskan bangsa dari penjajah belanda.
Pada tahun 1937 beliau didatangi pimpinan pemerintah belanda dengan
memberikan bintang mas dan perak tanda kehormatan tetapi beliau menolaknya.
Kemudian pada malam harinya beliau memberikan nasehat kepada santri-santrinya
tentang kejadian tersebut dan menganalogikan dengan kejadian yang dialami Nabi
Muhammad SAW yang ketika itu kaum Jahiliyah menawarinya dengan tiga hal, yaitu:

Kursi kedudukan yang tinggi dalam pemerintahan


Harta benda yang berlimpah-limpah
Gadis-gadis tercantik
Akan tetapi Nabi SAW menolaknya bahkan berkata: Demi Allah, jika mereka
kuasa meletakkan matahari ditangan kananku dan bulan ditangan kiriku dengan tujuan
agar aku berhenti dalam berjuang, aku tidak akan mau menerimanya bahkan nyawa
taruhannya. Akhirnya KH. M. Hasyim Asyari mengaKH.iri nasehat kepada santri-
santrinya untuk selalu mengikuti dan menjadikan tauladan dari perbuat Nabi Muhammad
SAW.
Masa-masa revolusi fisik di Tahun 1940, memang merupakan kurun waktu terberat
bagi beliau. Pada masa penjajahan Jepang, beliau sempat ditahan oleh pemerintah
fasisme Jepang. Dalam tahanan itu beliau mengalami penyiksaan fisik sehingga salah
satu jari tangan beliau menjadi cacat. Tetapi justru pada kurun waktu itulah beliau
menorehkan lembaran dalam tinta emas pada lembaran perjuangan bangsa dan Negara
republik Indonesia, yaitu dengan diserukan resolusi jihad yang beliau memfatwakan pada
tanggal 22 Oktober 1945, di Surabaya yang lebih dikenal dengan hari pahlawan nasional.
Begitu pula masa penjajah Jepang, pada tahun 1942 Kiai Hasyim dipenjara
(Jombang) dan dipindahkan penjara Mojokerto kemudian ditawan di Surabaya. Beliau
dianggap sebagai penghalang pergerakan Jepang. Setelah Indonesia merdeka Pada tahun
1945 KH.M. Hasyim Asyari terpilih sebagai ketua umum dewan partai Majlis Syuro
Muslimin Indonesia (MASYUMI) jabatan itu dipangkunya namun tetap mengajar di
pesantren hingga beliau meninggal dunia pada tahun 1947.

8. Keluarga Dan Sisilah


Hampir bersamaan dengan berdirinya Pondok Pesantren Tebuireng (1317 H/1899
M), KH. M. Hasyim Asyari menikah lagi dengan Nyai Nafiqoh putri Kiai Ilyas pengasuh
Pondok Pesantren Sewulan Madiun. Dari perkawinan ini kiai hasyim dikaruniai 10 putra
dan putri yaitu:
Hannah
Khoiriyah
Aisyah
Azzah
Abdul Wahid
Abdul hakim (Abdul Kholiq)
Abdul Karim
Ubaidillah
Mashurroh
Muhammad Yusuf.
Menjelang akhir Tahun 1930, KH. M. Hasyim Asyari menikah kembali dengan Nyai
Masruroh, putri Kiai Hasan, pengasuh Pondok Pesantren Kapurejo, Kecamatan Pagu
Kediri, dari pernikahan tersebut, beliua dikarunia 4 orang putra-putri yaitu:
1) Abdul Qodir
2) Fatimah
3) Chotijah
4) Muhammad Yakub

9. Garis keturunan KH. M. Hasyim Asyari (Nenek ke-sembilan)


Muhammad Hasyim bin Asyari bin Abdul Wahid (Pangeran Sambo) bin Abdul Halim
(Pangeran Benowo) bin Abdul Rahman (Mas Karebet/Jaka Tingkir) yang kemudian
bergelar Sultan Hadiwijaya bin Abdullah (Lembu Peteng) yang bergelar Brawijaya VI.

10. Wafatnya Sang Tokoh


Pada Tanggal 7 Ramadhan 1366 M. jam 9 malam, beliau setelah mengimami Shalat
Tarawih, sebagaimana biasanya duduk di kursi untuk memberikan pengajian kepada ibu-
ibu muslimat. Tak lama kemudian, tiba-tiba datanglah seorang tamu utusan Jenderal
Sudirman dan Bung Tomo. Sang Kiai menemui utusan tersebut dengan didampingi Kiai
Ghufron, kemudian tamu itu menyampaikan pesan berupa surat. Entah apa isi surat itu,
yang jelas Kiai Hasyim meminta waktu semalam untuk berfikir dan jawabannya akan
diberikan keesokan harinya.
Namun kemudian, Kiai Ghufron melaporkan
situasi pertempuran dan kondisi pejuang yang
semakin tersudut, serta korban rakyat sipil yang kian
meningkat. Mendengar laporan itu, Kiai Hasyim
berkata, Masya Allah, Masya Allah kemudian
beliau memegang kepalanya dan ditafsirkan oleh Kiai
Ghufron bahwa beliau sedang mengantuk. Sehingga
para tamu pamit keluar.
Akan tetapi, beliau tidak menjawab, sehingga Kiai Ghufron mendekat dan
kemudian meminta kedua tamu tersebut untuk meninggalkan tempat, sedangkan dia
sendiri tetap berada di samping Kiai Hasyim Asyari. Tak lama kemudian, Kiai Ghufron
baru menyadari bahwa Kiai Hasyim tidak sadarkan diri. Sehingga dengan tergopoh-
gopoh, ia memanggil keluarga dan membujurkan tubuh Kiai Hasyim. Pada saat itu,
putra-putri beliau tidak berada di tempat, misalnya Kiai Yusuf Hasyim yang pada saat itu
sedang berada di markas tentara pejuang, walaupun kemudian dapat hadir dan dokter
didatangkan (Dokter Angka Nitisastro).
Tak lama kemudian baru diketahui bahwa Kiai Hasyim terkena pendarahan otak.
Walaupun dokter telah berusaha mengurangi penyakitnya, namun Tuhan berkehendak
lain pada kekasihnya itu. KH. M. Hasyim Asyari wafat pada pukul 03.00 pagi, Tanggal 25
Juli 1947, bertepatan dengan Tanggal 07 Ramadhan 1366 H. Inna LiLlahi wa Inna Ilaihi
Rajiun.
Kepergian beliau ketempat peristirahatan terakhir, diantarkan bela sungkawa yang
amat dalam dari hampir seluruh lapisan masyarakat, terutama dari para pejabat sipil
maupun militer, kawan seperjuangan, para ulama, warga NU, dan Khususnya para santri
Tebuireng. Umat Islam telah kehilangan pemimpin besarnya yang kini berbaring di pusara
beliau di tenggah Pesantrn Tebuireng. Pada saat mengantar kepergianya, sahahabat dan
saudara beliau, KH. Wahab hazbulloh, sempat mengemukakan kata sambutan yang pada
intinya menjelaskan prinsip hidup beliau, yakni, berjuang terus dengan tiada mengenal
surut, dan kalau perlu zonder istirahat.
11. Karya Kitab Klasik

Peninggalan lain yang sangat berharga adalah sejumlah kitab yang beliau tulis
disela-sela kehidupan beliau didalam mendidik santri, mengayomi ribuan umat,
membela dan memperjuangkan bumi pertiwi dari penjajahan. Ini merupakan bukti riil
dari sikap dan perilakunya, pemikiranya dapat dilacak dalam beberapa karyanya yang
rata-rata berbahasa Arab.
Tetapi sangat disayangkan, karena kurang lengkapnya dokumentasi, kitab-kitab
yang sangat berharga itu lenyap tak tentu rimbanya. Sebenarnya, kitab yang beliau tulis
tidak kurang dari dua puluhan judul. Namun yang bisa diselamatkan hanya beberapa
judul saja, diantaranya:
1. Al-Nurul Mubin Fi Mahabati Sayyidi Mursalin. Kajian kewajiban beriman, mentaati,
mentauladani, berlaku ikhlas, mencinatai Nabi SAW sekaligus sejarah hidupnya.
2. Al-Tanbihat al-Wajibat Liman Yashnau al-Maulida Bi al-Munkarat. Kajian mengenai
maulid nabi dalam kaitannya dengan amar maruf nahi mungkar.
3. Risalah Ahli Sunnah Wal Jamaah. Kajian mengenai pandangan terhadap bidah, Konsisi
salah satu madzhab, dan pecahnya umat menjadi 73 golongan
4. Al-Durasul Muntasyiroh Fi Masail Tisa asyaraoh. Kajian tentang wali dan thoriqoh yang
terangkum dalam sembilan belas permasalahan.
5. Al-Tibyan Fi Nahyian Muqathaah al-Arham Wa al-Aqrab Wa al-Akhwal. Kajian tentang
pentingnya jalinan silaturahmi antar sesama manusia
6. Adabul Alim Wa Muataalim. Pandangan tentang etika belajar dan mengajar didalam
pendidikan pesantrren pada khususnya
7. Dlau al-Misbah Fi Bayani Ahkami Nikah. Kajian hukum-hukum nikah, syarat, rukun, dan
hak-hak dalam perkawinan
8. Ziyadah Taliqot. Kitab yang berisikan polemic beliau dengan Syaikh. Abdullah bin yasir
Pasuruaan.

C. KH. Abdul Wahab Hasbullah


KH. Wahab Hasbullah merupakan seorang ulama besar Indonesia. Beliau lahir pada
bulan Maret 1888, di Tambakberas, Jombang, Jawa Timur dan wafat pada 29 Desember
1971. Beliau merupakan seorang ulama yang menekankan pentingnya kebebasan dalam
keberagamaan terutama kebebasan berpikir dan berpendapat. Untuk itu kyai Wahab
membentuk kelompok diskusi Tashwirul Afkar (Pergolakan Pemikiran) di Surabaya pada
1941.
Mula-mula kelompok ini mengadakan kegiatan dengan
peserta yang terbatas. Tetapi berkat prinsip kebebasan berpikir
dan berpendapat yang diterapkan dan topik-topik yang
dibicarakan harus mempunyai jangkauan kemasyarakatan yang
luas, dalam waktu singkat kelompok ini menjadi sangat populer dan menarik perhatian
di kalangan pemuda. Banyak tokoh Islam dari berbagai kalangan bertemu dalam forum
itu untuk mendebatkan dan memecahkan permasalahan pelik yang dianggap penting.
Tashwirul Afkar tidak hanya menghimpun kaum ulama pesantren. Ia juga menjadi
ajang komunikasi dan forum saling tukar informasi antar tokoh nasionalis sekaligus
jembatan bagi komunikasi antara generasi muda dan generasi tua. Karena sifat
rekrutmennya yang lebih mementingkan progresivitas berpikir dan bertindak, maka jelas
pula kelompok diskusi ini juga menjadi forum pengkaderan bagi kaum muda yang
gandrung pada pemikiran keilmuan dan dunia politik.
Bersamaan dengan itu, dari rumahnya di Kertopaten, Surabaya, Kyai Wahab
bersama KH. Mas Mansur menghimpun sejumlah ulama dalam organisasi Nahdlatul
Wathan (Kebangkitan Tanah Air) yang mendapatkan kedudukan badan hukumnya pada
1916. Dari organisasi inilah Kyai Wahab mendapat kepercayaan dan dukungan penuh dari
ulama pesantren yang kurang-lebih sealiran dengannya. Di antara ulama yang berhimpun
itu adalah Kyai Bisri Syamsuri Jombang, Kyai Abdul Halim Leimunding, Cirebon, Kyai Haji
Alwi Abdul Aziz, Kyai Ma'shum dan Kyai Cholil Lasem.
Kebebasan berpikir dan berpendapat yang dipelopori kyai Wahab dengan
membentuk Tashwirul Afkar merupakan warisan terpenting kyai Wahab kepada kaum
muslim Indonesia. Kyai Wahab telah mencontohkan kepada generasi penerusnya bahwa
prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat dapat dijalankan dalam nuansa
keberagamaan yang kental. Prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat tidak akan
mengurangi ruh spiritualisme umat beragama dan kadar keimanan seorang muslim.
Dengan prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat, kaum muslim justru akan mampu
memecahkan problem sosial kemasyarakatan dengan pisau analisis keislaman. Kini, di
tengah nuansa keberagamaan masyarakat yang terjebak pada dogmatisme, kita
merindukan hadirnya kembali sosok kyai Wahab Hasbullah dengan Tashwirul Afkar-nya
yang telah mencerahkan dan mencerdaskan umat dengan prinsip kebebasan berpikirnya.
1. Pemikir dan Pejuang
Sepulang dari Mekkah, Wahab dinikahkan dengan putri kiai Musa, Maimunah.
Setelah menikah, Wahab menetap di Kertopaten Surabaya serta mulai aktif di kegiatan
kemasyarakatan. Bukan Wahab jika tak gelisah saat melihat kenyataan sosial waktu itu,
apalagi Indonesia dalam "cengkraman" penjajah Belanda. Kiai Wahab lalu berpikir keras
bagaimana caranya menyumbangkan pikiran untuk memperbaiki keadaan. Dari sinilah,
Wahab bersama Kiai Mas Mansur, kawan mengaji di Mekkah kemudian membentuk
kelompok diskusi Tashwirul Afkar (Pergolakan Pemikiran) di Surabaya (1914)
Awalnya, kelompok ini hanya mengadakan kegiatan dengan peserta terbatas. Tapi
berkat prinsip kebebasan yang diterapkan dan topik yang dibicarakan menjangkau
lingkup kemasyarakatan, dalam waktu singkat kelompok yang didirikan bersama Mas
Mansyur ini sudah sangat populer dan menarik perhatian di kalangan pemuda. Bahkan
tak sedikit tokoh Islam dari berbagai kalangan bertemu di forum ini membicarakan
permasalahan pelik yang dianggap penting (urgen) untuk dibahas.
Selain membidani lahirnya Tashwirul Afkar, masih bersama Mas Mansur, Wahab
menghimpun ulama dalam organisasi Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air). Dari
organisasi yang memiliki badan hukum 1916 ini, Wahab mendapat restu dari ulama, di
antara adalah kiai M. Bisri Syamsuri Jombang, kiai Abdul Halim Leimunding, Cirebon, kiai
H. Alwi Abdul Aziz, kiai Ma'shum dan kiai Cholil Lasem.
Adapun untuk menampung aspirasi kalangan pemudanya, disediakan wadah
Syubbanul Wathan (Pemuda Tanah Air) yang didirikan tahun 1924, yang di dalam wadah
itu ada nama Abdullah Ubaid. Organisasi ini, kemudian menjadi cikal bakal Gerakan
Pemuda Ansor yang berdiri tahun 1934. Dalam kelompok ini, Wahab mulai memimpin dan
menggerakkan gelora pemikiran berdasarkan paham agama dan jiwa nasionalisme.
Rupanya, duet Wahab-Mas Mansur tidak sehaluan terus. Akhirnya, retak dan keduanya
pun berpisah. Jika tidak, mungkin "jalan sejarah" ormas Islam atau lebih besar lagi umat
Islam Indonesia akan "berbicara lain". Tetapi, kemunduran Mas Mansur tak menjadikan
Wahab patah arang. Jiwanya yang bebas, selalu ingin mencari penyelesaian masalah,
menjadikan Wahab melakukan kontak dengan tokoh-tokoh pergerakan dan keagamaan.
Karena itu, saat kaum pelajar Surabaya mendirikan Islam Studie Club, yang banyak
dihadiri kaum pergerakan, Wahab tak menyia-nyiakan kesempatan. Dari forum inilah,
Wahab akhirnya berkawan akrab dengan Dr. Soetomo.
Sudah jadi hal umum dan lumrah jika di dalam sebuah organisasi selalu ada
gesekan. Demikian juga dalam Tashwirul Afkar, Nahdlatul Wathan, Syubbanul Wathan,
maupun Islam Studie Club solidaritas di mana Wahab berada dalam ruang dan lingkup
organisasi tersebut. Kendati demikian Wahab bersikap terbuka. Setidaknya, di situlah
perjuangan kiai Wahab diasah sehingga tak membuat kiai satu ini tergilas zaman.
2. Mendirikan NU
Tanggal 31 Januari 1926, di Surabaya tokoh-tokoh Komite Hijaz, di antaranya
adalah kiai Wahab, kiai M. Bisri Syamsuri, kiai Ridwan (Semarang), kiai Haji Raden
Asnawi Kudus, kiai Nawawi Pasuruan, kiai Nachrowi Malang, serta kiai Alwi Abdul Aziz
Surabaya mengadakan urun rembuk. Dari hasil itu, disimpulkan dua hal pokok.
Pertama, mengirimkan delegasi ke Kongres Dunia Islam di Mekkah untuk meminta
kepada Raja Saud supaya hukum-hukum menurut mazhab 4; Hanafi, Maliki, Syafi'i dan
Hambali tetap mendapat perlindungan dan kebebasan dalam wilayah serta kekuasaan
raja.
Kedua, membentuk jam'iyah bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) yang
bertujuan menegakkan syariat Islam yang berhaluan ke salah satu empat mazhab.
Adapun nama "Nahdlatul Ulama" itu merupakan usulan dari KH. Alwi Abdul Aziz. Pada
saat penyusunan kepengurusan, kiai Wahab tak bersedia menduduki jabatan Rois Akbar.
Wahab merasa cukup untuk sebuah jabatan Katib 'Am (Sekretaris Umum) Syuriah. Sedang
jabatan tertinggi organisasi baru ini diserahkan kepada KH. Hasyim Asy'ari, sedangkan
Presiden (Ketua) Tanfidziyah dipegang Hasan Gipo. Itulah, kiprah Wahab dalam memberi
sumbangan saat Nahdlatul Ulama lahir.
Sedang di masa awal kemerdekaan, Wahab bersama kalangan pergerakan lain,
seperti Ki Hajar Dewantoro, Dr. Douwes Dekker, dan Dr Rajiman Wedyodiningrat duduk
dalam Dewam Pertimbangan Agung, lalu berkali-kali duduk di kursi parlemen sampai
akhir hayatnya pada 1971. Peran cukup menonjol dari kiai Wahab dalam hal ini sebagai
negosiator antara pihak NU dan pemerintah. Sebagai seorang negosiator, wajar saja jika
Wahab kemudian sangat dekat dengan presiden dan pejabat tinggi lainnya.
Gebrakan lain di tubuh intern NU, ketika bersama-sama tokoh muda lainnya,
seperti; kiai Wahid Hasyim dan Idham Chalid menjadikan NU sebagai partai politik untuk
bersaing dengan partai lain, yang lebih dahulu mapan dalam gelanggang politik. Usul
kiprah NU sebagai partai itu diterima secara bulat dalam Muktamar NU 1952.
Karena itu, tak lama kemudian dalam Pemilu 1955, NU ikut pemilu dan berhasil
mengukir sejarah. Sebab NU keluar sebagai salah satu partai besar di samping PKI, PNI
dan Masyumi. Memang, Wahab bukan satu-satunya tokoh penting dalam membesarkan
NU, tapi peranan Wahab cukup menonjol. Apalagi, Wahab dikenal kompeten sebagai
pengatur strategi perjuangan NU yang piawai dalam pergolakan, dari pembentukan MIAI
(Majelis Islam A'la Indonesia), GAPPI (Gabungan Partai Politik Indonesia), Masyumi sampai
NU keluar dari partai Islam itu. Di sini, Wahab terlibat pergumulan dengan tokoh-tokoh,
seperti Mas Mansur, Dr. Sukiman, Abikusno Cokrosuyoso, Mr. Sartono, Sukarjo
Wiryopranoto, Amir Syarifuddin dan lain-lain.
3. Membangun Tradisi Jurnalistik di NU
Apakah kiprah Wahab cuma sampai di situ? Ternyata tidak! Sebab, bukan sosok
kiai Wahab kalau tak selalu memutar otak, gelisah ketika punya cita-cita brilian namun
belum bisa terwujud. Karena itu, saat NU belum berkiprah di dunia percetakan dan
jurnalistik, kiai Wahab bersama tokoh-tokoh NU lain, membeli sebuah percetakan, serta
gedung untuk dijadikan pusat aktivitas NU, yang terletak di Jalan Sasak 23 Surabaya.
Dari gedung ini, dirintis tradisi jurnalistik modern dalam NU. Semua ini semata-
mata dilandasi pemikiran Wahab yang sebenarnya amat sederhana, yaitu bagaimana
menyebarkan gagasan NU agar secara lebih efektif dan efisien bisa diterima umat, sebab
selama itu kiprah dakwah dan penyebaran gagasan dan pemikiran di tubuh NU hanya
dijalankan melalui "dakwah panggung" dan pengajaran di pesantren-pesantren.
Dari percetakan itu, dalam waktu berikutnya terbitlah majalah tengah bulanan
dengan nama Suara Nahdlatul Ulama. Hampir selama tujuh tahun, majalah satu ini
dipimpin oleh kiai Wahab. Dari teknis redaksional majalah ini, lalu disempurnakan kiai
Mahfudz Siddiq, menjadi Berita Nahdlatul Ulama. Di samping itu, terbit pula Suluh
Nahdlatul Ulama di bawah asuhan Umar Burhan. Tidak cuma itu, sebab masih ada
Terompet Ansor yang dipimpin Tamyiz Khudlory dan majalah bahasa Jawa Penggugah,
dipimpin kiai Raden Iskandar yang setelah itu digantikan oleh Saifuddin Zuhri.
Tak dapat diingkari, dari kiprah beberapa penerbitan di atas kemudian dalam
sejarah dan tradisi kepenulisan di NU, boleh dikata telah melahirkan jurnalis-jurnalis,
seperti Asa Bafaqih, Saifuddin Zuhri serta Mahbub Junaidi. Juga, NU sendiri memiliki
surat kabar prestisius seperti Duta Masyarakat.
Karena itu, sekali lagi, posisi dan peran kiai Wahab dalam NU adalah memegang
andil besar karena meletakkan dasar-dasar organisasi NU dalam hampir semua sektor;
dari mulai tradisi intelektual, peletak dasar struktur Syuriah dan Tanfidziyah di NU,
jurnalistik sampai siasat bertempur di "medan perang".
Mungkin benar yang pernah diucapkan oleh kiai Wahab, yang sampai sekarang
masih populer, "Kalau kita mau keras harus punya keris." Keris dalam hal ini diibaratkan
sebagai suatu kekuatan. Kekuatan di sini, tentu saja tak hanya kekuatan dari segi fisik,
melainkan kekuatan politik, militer dan juga kekuatan mental (batin). Sebab kita semua
tahu, tanpa "kekuatan", apa artinya sebuah cita-cita?
4. Hidup dalam Tiga Zaman
Sebagai seorang kiai yang multidimensional, kiai Wahab dicatat sempat hidup
dalam 3 era, zaman pergerakan kemerdekaan, zaman sesudah proklamasi kemerdekaan
(Orla) dan zaman Orde Baru. Sepanjang tiga zaman itu, Wahab merasakan bagaimana
pahit dan getirnya hidup, terutama di zaman penjajahan. Toh, Wahab dikenal sebagai
seorang kiai yang memiliki kharisma, namun tidak lepas juga dari ejekan, fitnah dan
hinaan. Di samping itu, tentu saja sanjungan dan kehormatan.

Hampir sepanjang hidup kiai satu ini, perhatian, pemikiran, harta dan tenaga,
sepenuhnya dicurahkan untuk mewujudkan cita-cita Islam dan bangsa Indonesia ini
melalui NU. Tak heran kalau, demi takjim dan pengabdian penuh itulah, kiai Wahab
bahkan tidak pernah absen dalam Muktamar NU selama 25 kali.

Karena itu, meski sedang sakit, kiai Wahab masih berkeinginan bisa menghadiri
Muktamar ke-25 di Surabaya dan berharap besar memberikan suaranya bagi partai NU
dalam pemilu tahun 1971. Keinginan itu ternyata dikabulkan Allah. Dan, sekali lagi
dalam Muktamar Surabaya, kiai kondang ini terpilih sebagai Rois 'Am PB Syuriah NU.

Tetapi, empat hari kemudian, setelah Muktamar Surabaya, ulama yang banyak
berjasa dalam organisasi NU serta terhadap bangsa Indonesia ini, dipanggil Allah, tepat
tanggal 29 Desember 1971. Tentunya, tak ada kata yang pantas untuk melepaskan
kepergian kiai satu ini, selain kesedihan serta rasa kehilangan dan ketakjiman. Lebih
dari itu, yang lebih penting adalah "acuan" bagi umat NU untuk meneladani kiprah dan
perjuangan yang pernah dilakukan dan diukir sepanjang hidupnya. Sebuah kiprah mulia
yang tidak sia-sia untuk diteladani.

D. KH.Bisyri Syamsuri
KH. Bisyri Syamsuri dilahirkan di desa Tayu, Pati, Jawa
Tengah pada 28 Dzul Hijjah 1304 bertepatan dengan 18
September 1886 M. Beliau adalah putra ketiga dari pasangan
suami istri Kyai Syamsuri dan Nyai Mariah. Pada usia tujuh
tahun KH. Bisyri Syamsuri mulai belajar agama secara teratur
yang diawali dengan belajar membaca Al Qur'an secara
mujawwad (dengan bacaan tajwid yang benar) pada Kyai
Shaleh di desa Tayu. Pelajaran membaca Al Qur'an ini
ditekuninya sampai beliau berusia sembilan tahun. Kemudian beliau melanjutkan
pelajarannya ke pesantren Kajen. Guru beliau bernama Kyai Abdul Salam, seorang
Huffadz yang juga terkenal penguasaannya di bidang Fiqih. Dibawah bimbingan ulama ini
beliau mempelajari dasar-dasar tata bahasa Arab, fiqih, tafsir, dan hadits.

Pada usia lima belas tahun KH. Bisyri Syamsuri berpindah pesantren lagi, belajar
pada Kyai Khalil di Demangan Bangkalan. Kemudian pada usia 19 tahun beliau
meneruskan pelajarannya ke pesantren Tebuireng Jombang. Dibawah bimbingan KH.
Hasyim Asy'ari beliau mempelajari berbagai ilmu agama Islam. Kecerdasan dan ketaatan
beliau menyebabkan tumbuhnya hubungan yang sangat erat antara beliau dengan
hadratus Syaikh. untuk masa-masa selanjutnya.

Setelah enam tahun lamanya belajar di Tebuireng, pada usia 24 tahun beliau
berangkat melanjutkan pendidikan ke Makkah. Beliau bersahabat dengan KH. Abdul
Wahab Hasbullah sejak di pesantren Kademangan sampai di tanah suci Makkah. Ketika
Adik KH. Abdul Wahab Hasbullah yang bemama Nur Khadijah menunaikan ibadah haji
bersama ibunya pada tahun 1914, KH. Abdul Wahab Hasbullah menjodohkan adiknya
dengan KH. Bisyri Syamsuri, dan pada tahun itu juga beliau pulang ke tanah air.

Kepulangan ke tanah air itu membawa beliau kepada pilihan untuk kembali ke
Tayu atau menetap di Tambakberas. Atas permintaan keluarga Nur Khadijah, beliau
menetap di Tambakberas Jombang. Setelah dua tahun menetap dan membantu mengajar
di Pesantren Tambakberas, pada tahun 1917 beliau pindah ke desa Denanyar. Di tempat
ini beliau bertani sambil mengajar, yang kemudian berkembang menjadi sebuah
pesantren. Semula pesantren ini hanya mendidik santri laki-laki, tetapi pada tahun 1919
beliau mencoba membuka pengajaran Khusus bagi para santri wanita. Percobaan ini
temyata mempunyai pengaruh bagi perkembangan pesantren, khususnya di JawaTimur.
Karena sebelumnya memang tidak pernah ada pendidikan khusus untuk santri putri.

KH. Bisyri Syamsuri termasuk salah seorang ulama yang ikut mengambil bagian
dalam kelahiran Nahdlatul Ulama dan selama hidupnya selalu mencurahkan tenaga dan
pikirannya untuk kebesaran Nahdlatul Ulama. Beliau juga dikenal sebagai pejuang yang
dengan gigih menentang penjajahan Belanda dan Jepang. Pada masa perang
kemerdekaan beliau ikut terjun di medan tempur melawan tentara Belanda dan
menjabat sebagai ketua Markas Pertahanan Hizbullah-Sabilillah di Jawa Timur,
merangkap sebagai wakil ketua Markas Ulama Jawa timur yang dipimpin oleh KH. Abdul
Wahab Hasbullah.

KH. Bisyri Syamsuri adalah seorang ulama besar yang memiliki sifat sederhana dan
rendah hati. Meskipun demikian beliau dikenal sebagai ulama yang teguh pendirian dan
memegang prinsip. Dalam menjalankan tugas beliau selalu istiqamah dan tidak mudah
goyah, terutama dalam memutuskan suatu perkara yang berhubungan dengan syari'at
Islam. setiap hukum suatu persoalan yang sudah Jelas dalilnya dari Al Quran, Hadits,
Ijma atau Qiyas keputusan beliau selalu tegas dan tidak bisa ditawar-tawar.

Di dalam kepengurusan NU semula beliau menjadi salah seorang a'wan syuriyah.


Pada Muktamar NU ke-13 tahun 1950 beliau diangkat sebagai salah seorang Rais
Syuriyah. Kemudian setelah KH. Abdul Wahab Hasbullah wafat pada tahun 1971
Musyawarah Ulama secara bulat memilih beliau menjadi Rais Am PBNU sampai beliau
wafat pada hari Jum'at 25 April 1980 dalam usia 94 tahun. Makam beliau berada di
komplek Pondok Pesantren Manbaul Maarif Denanyar Jombang, Jawa Timur.

1. Perintis Kesetaraan Gender


Rasanya tidak berlebihan kalau Kyai Bisri Syamsuri disebut sebagai pejuang
kesetaraan gender, khususnya di kalangan pesantren. Kyai Bisrilah orang pertama yang
mendirikan kelas khusus untuk santri-santri wanita di pesantren yang didirikannya.
Walalupun baru diikuti perempuan-perempuan di desanya.

Di zaman yang masih kental dengan nilai-nilai patrimonial waktu itu, apa yang
dilakukan Kyai Bisri termasuk kategori aneh. Untung sang guru yang sangat
dihormatinya, hadratus Syaikh KH. Hasyim Asyari tidak menentang terobosan yang
dilakukannya. Kalau saja hadratus Syaikh melarang, niscaya Kyai Bisri Syamsuri tidak
akan melanjutkan langkah fenomenal yang telah dibuatnya. Hal ini semata-mata karena
takdzimnya yang begitu mendalam kepada sang guru yang selalu dipanggilnya kyai.

2. Ahli dan Pecinta Fiqh


Karakter sebagai pecinta Fiqh terbentuk ketika Kyai Bisri nyantri kepada KH Kholil
Bangkalan, dan semakin menguat setelah nyantri di Tebuireng. Kyai Bsiri memang
sengaja mendalami pokok-pokok pengambilan hukum agama dalam fiqh, terutama
literatur fiqh lama.

Tidak mengherankan jika Kyai Bisri begitu kukuh dalam memegangi kaidah-kaidah
hukum fiqh, dan begitu teguh dalam mengkontekstualisasikan fiqh kepada kenyataan-
kenyataan hidup secara baik. Walaupun begitu, Kyai Bisri tidak kaku dan kolot dalam
berinteraksi dengan masyarakat. Hal itu setidaknya terlihat dari upayanya dalam
merintis pesantren yang dibangunnya di Denanyar.

3. Politisi Tangguh
Persinggungannya dengan politik praktis diawali ketika bergabung dengan Komite
Nasional Indonesia Pusat (KNIP) mewakili Masyumi, menjadi anggota Dewan Konstituante
dan puncaknya ketika dipercaya menjadi Ketua Majelis Syuro PPP ketika NU secara
formal tergabung dalam partai berlambang kabah itu.

Salah satu prestasi yang paling mengesankan, ketika Kyai Bisri Syamsuri berhasil
mendesakkan disyahkannya UU perkawinan hasil rancangannya bersama-sama ulama NU.
Padahal sebelumnya pemerintah sudah membuat rancangan undang-undang perkawinan
ke Dewan Perwakilan Rakyat.

Kini, masyarakat merindukan kembali hadirnya seorang kyai plus seperti KH.
Bisri Syamsuri. Kapankah kerinduan itu terobati.
BAB III
KEPENGURUSAN NAHDLATUL ULAMA
A. Tingkat Kepengurusan NU
Tingkat kepengurusan dalam organisasi Nahdlatul Ulama terdiri atas Pengurus
Besar (PB) untuk tingkat pusat, Pengurus Wilayah (PW) untuk tingkat propinsi, Pengurus
Cabang (PC) untuk tingkat Kabupaten/Kota. Pengurus Cabang Istimewa (PCI) untuk
tingkat kepengurusan di luar negeri, Pengurus Wakil Cabang (MWC) untuk tingkat
Kecamatan, Pengurus Ranting (PR) untuk tingkat Desa/Kelurahan dan pengurus anak
ranting (PARNU).

1. Pengurus Besar NU (PBNU)


Pengurus besar merupakan kepengurusan organisasi Nahdlatul Ulama ditingkat
pusat dan berkedudukan di Ibu kota negara Republik Indonesia. Pengurus besar
merupakan penanggung jawab kebijaksanaan dalam pengendalian organisasi dan
pelaksanaan keputusan-keputusan muktamar.

2. Pengurus Wilayah NU (PWNU)


Pengurus Wilayah adalah kepengurusan ditingkat Porpinsi yang berkedudukan di
Ibu kota Propinsi.

Pengurus Wilayah dapat dibentuk, jika terdapat sekurang-kurangnya 5 (lima)


Cabang, dan permintaan pembentukannya disampaikan kepada Pengurus Besar disertai
keterangan tentang daerah yang bersangkutan dan jumlah cabangnya, setelah melalui
masa percobaan 3 bulan. Pengesahan Pengurus Wilayah dikeluarkan oleh Pengurus Besar.
Pengurus Wilayah berfungsi sebagai koordinator cabang-cabang di daerahnya dan
sebagai pelaksana kebijakan Pengurus Besar untuk daerahnya dan keputusan-keputusan
Konferensi Wilayah.

3. Pengurus Cabang NU (PCNU)


Pengurus Cabang adalah kepengurusan organisasi Nahdlatul Ulama ditingkat
kabupaten/kota yang berkedudukan ibu kotanya. Sedangkan Pengurus Cabang di luar
negeri kedudukannya ditetapkan oleh pengurus besar. Begitu juga dalam keadaan khusus
Pengurus Besar dapat membentuk Pengurus Cabang di luar ketentuan diatas karena
besarnya penduduk, luasnya daerah, sulitnya komunikasi, atau karena faktor
kesejarahan.
Pengurus Cabang dapat dibentuk jika terdapat sekurang-kurangnya 3 Majelis Wakil
Cabang, dan permintaan pembentukannya disampaikan kepada Pengurus Besar, yang
dikuatkan oleh Pengurus Wilayah dengan masa percobaan selama 3 bulan. Pengesahan
susunan Pengurus Cabang dikeluarkan oleh oleh Pengurus Besar setelah mendapat
persetujuan dari Pengurus Wilayah.
Pengurus Cabang memipin dan mengkoordinir Majelis Wakil Cabang dan Ranting-
ranting di daerahnya dan melaksanakan kebijakan Pengurus Wilayah dan Pengurus Besar
untuk daerahnya serta keputusan-keputusan Konferensi Cabang.

4. Pengurus Cabang Istimewa (PCINU)


Pengurus Cabang Istimewa (PCI) NU adalah kepengurusan yang berada di luar
negeri. Pembentukan Pengurus Cabang Istimewa (PCI) Nahdlatul Ulama dilakukan oleh
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) atas permohonan sekurang-kurangnya 40 orang
anggota.

5. Pengurus Majlis Wakil Cabang (MWCNU)


Pengurus MWC adalah tingkat kepengurusan organisasi Nahdlatul Ulama ditingkat
kecamatan atau daerah yang disamakan dengannya.
Majelis Wakil Cabang dapat dibentuk jika sekurang-kurangnya terdapat 4 ranting
dan pembentukannya disampaikan kepada Pengurus Wilayah yang dikuatkan oleh
Pengurus Cabang masa percobaan selama 3 bulan. Pengesahan susunan Pengurus Wakil
Cabang dikeluarkan oleh oleh Pengurus Wilayah setelah mendapatkan persetujuan dari
Pengurus Cabang.
Pengurus Majelis Wakil Cabang mengkoordinir Ranting-ranting di daerahnya dan
melaksanakan kebijakan Pengurus Cabang dan serta keputusan-keputusan Konferensi
Majlis Wakil Cabang.

6. Pengurus Ranting NU (PRNU)


Pengurus Ranting ialah tingkat kepengurusan organisasi Nahdlatul Ulama di
tingkat Desa/Kelurahan atau daerah yang disamakan dengannya. Dan apabila dipandang
perlu karena keadaan daerah atau penduduknya, maka dalah satu desa/kelurahan dapat
dibentuk lebih dari satu Ranting.
Pengurus Ranting dapat dibentuk jika sekurang-kurangnya terdapat 15 anggota.
Dan penetapan pembentukannya disampaikan kepada Pengurus Cabang dengan
dikuatkan oleh Pengurus Wakil Cabang, setelah melalui masa percobaan 3 bulan.
Pengesahan Susunan Pengurus Ranting dikeluarkan oleh Pengurus Cabang setelah
mendapat persetujuan Pengurus Majelis Wakil Cabang.
Pengurus Ranting memimpin dan membina anggota-anggota Nahdlatul Ulama di
daerahnya dan melaksanakan kebijaksanaan Pengurus Cabang dan Majelis WakilCabang
untuk daerahnya serta keputusan-keputusan rapat anggota.

7. Pengurus Anak Ranting NU (PARNU)


Pengurus Anak Ranting ialah tingkat kepengurusan organisasi Nahdlatul Ulama di
tingkat perdukuhan,lingkungan, majlis talim.
Pengurus Anak Ranting Nahdlatul Ulama dapat dibentuk jika sekurang-kurangnya
terdapat 25 anggota. Dan penetapan pembentukannya diusulkan oleh anggota melalui
Ranting kepada Pengurus Majlis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama.
Pembentukan anak ranting Nahdlatul Ulama diputuskan oleh Pengurus Majlis Wakil Cabang
Nahdlatul Ulama melalui rapat Harian Syuriyah dan Tanfidziyah.
Pengurus Majlis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama mengeluarkan Surat Keputusan setelah
melalui percobaan selama 3 (tiga) bulan.
BAB IV
BADAN OTONOM DALAM NAHDLATUL ULAMA

Badan otonom adalah perangkat organisasi Nahdlatul Ulama yang berfunsi


melaksanakan kebijakan Nahdlatul Ulama yang berkaitan dengan kelompok masyarakat
tertentu dan beranggotakan perorangan.
Diantara Badan Otonom yang dimiliki oleh Nahdlatul Ulama adalah sebagai berikut
:
1. Muslimat Nahdlatul Ulama (Muslimat NU)
Muslimat NU lahir pada Muktamar NU ke-15 di Surabaya pada tanggal 15 21 Juni
1940 dengan nama Nahdlatul Ulama Muslimat (NUM). Pada wakt itu Muslimat masih
menjadi bagian dari NU dan belum berdiri sendiri.
Baru pada Muktamar NU ke-16 di Purwokerto, Jawa Tengah, pada tanggal 26 29
Maret 1946, NUM disahkan menjadi organisasi yang berdiri sendiri dan menjadi Badan
Otonom (BANOM) Nahdlatul Ulama. Sehingga namanyapun juga berubah menjadi
Muslimat Nahdlatul Ulama disingkat menjadi Muslimat NU.
Muslimat NU didirikan dengan tujuan :
1) Terwujudnya wanita Islam yang bertaqwa kepada Allah SWT, berilmu, beramal, cakap
dan bertanggungjawab serta berguna bagi agama, nusa, dan bangsa.
2) Terwujudnya wanita islam yang sadar akan kewajiban dan haknya menurut ajaran islam,
baik secara pribadi maupun sebagaibagian dari anggota masyarakat.
3) Terlaksananya tujuan jamiyyah Nahdlatul Ulama dikalangan kaum wanita, sehingga
terwujud masyarakat adil dan makmur yang merata dan diridlai Allah SWT.
Dalam usaha mencapai tujuannya, Muslimat NU melakukan serangkaian kegiatan
antara lain:
1) Mempelajari dan memperdalam serta mengamalkan ajaran islam ala Ahlisunnah Wal
Jamaah dengan sungguh-sungguh dan sebaik-baiknya.
2) Mempersatukan gerak langkah kaum wanita umumnya dan wanita Nahdlatul Ulama pada
Khususnya dalam menciptakan masyarakat adil makmur yang diridlai Allah SWT.
3) Melaksanakan nilai-nilai budi pakerti utama dalam kehidupan sehari-hari
4) Meningkatkan kwalitas (mutu), harkat dan martabat wanita Indonesia umumnya dan
Muslimat NU Khususnya, guna memperkuat tanggungjawab terhadap agama, bangsa dan
negara
5) Mengusahakan agar wanita Indonesia mumnya dan Muslimat NU khususnya menjadi istri-
istri dan ibu-ibu yang baik guna pertumbuhan bangsa yang taat beragama
6) Bergerak secara aktif dalam lapangan peribadatan, sosial, kesehatan, pendidikan,
penerangan atau dawah, ekonomi dan usaha-usaha kemasyarakatan lainnya
7) Membina kerjasama dengan badan-badan dan organisasi wanita serta lembaga-lembaga
lain.
Muslimat NU mempunyai lambang organisasi yang
dilukiskan dalam bentuk sebuah Bola Dunia yang dilingkari tali
dikelilingi lima bintang yang terletak di atas garis katulistiwa
dan empat bintang yang terletak di bawah garis katulistiwa.
Sehingga jumlah bintang seluruhnya berjumlah sembilan buah. Di atasnya tertulis kata
MUSLIMAT. Sedangkan di ujung tali kiri dan kanan tertulis huruf NU. Lambang
Muslimat NU berwarna putih di atas dasar hijau, serta terdapat tulisan Nahdlatul
Ulama dengan huruf arab yang memanjang pada garis katulistiwa.
Dalam organisasi Muslimat NU tingkatan kepemimpinan di atur sebagai berikut:
1. Pimpinan Pusat (PP) untuk Tingkat Pusat
2. Pimpinan Wilayah (PW) untuk Tingkat Propinsi
3. Pimpinan Koordinator Daerah (PKORDA) untuk Tingkat eks Karesidenan
4. Pimpinan Cabang (PC) untuk Tingkat Kabupaten / Kota
5. Pimpinan Anak Cabang (PAC) untuk Tingkat Kecamatan
6. Pimpinan Ranting (PR) untuk Tingkat Kelurahan / Desa
Sedangkan permusyawaratan dalam Muslimat NU terdiri atas:
1. Kongres dan Rapat Kerja Nsional, untuk tingkat pusat/nasional
2. Konfrensi Wilayah dan Rapat Kerja Wilayah, untuk tingkat provinsi
3. Konfrensi cabang dan rapat kerja cabang, untuk tingkat Kabupaten atau Kota
4. Konfrensi Anak Cabang dan Rapat Kerja Anak Cabang, untuk tingkat Kecamatan
5. Rapat Anggota untuk tingkat Desa atau Kelurahan.
Disamping itu, Muslimat NU juga mempunyai perangkat-perangkat organisasi lain,
seperti :
1. Yayasan Kesejahteraan Muslimat (YKM), yang merupakan sarana organisasi untuk
mewujudkan program-program Muslimat NU dibidang sosial, kesehatan, kependudukan
dan lingkungan hidup
2. Yayasan Bina Bhakti Wanita (YBBW) yang melaksanakan program Muslimat NU dalam
bidang pendidikan dan didirikan atas kerja sama dengan Departemen Tenaga Kerja
3. Himpunan Daiyah Muslimat NU (HIDMAT NU), yang melaksanakan program Muslimat NU
dibidang dawah, bekerja sama dengan Nahdlatul Ulama.
Sebagai pedoman berorganisasi, Muslimat NU selain mempunyai Peraturan Dasar
dan Peraturan Rumah Tangga (PDPRT), juga mempunyai pedoman-pedoman lain dalam
bentuk Pola Dasar Pengembangan Perjuangan Muslimat NU, yang menyangkut
keberadaannya sebagai Khalifah fil ardli, sebagai warga negara Republik Indonesia,
maupun sebagai bagian warga nahdliyin. Beberapa pedoman, peraturan dan ketentuan-
ketentuan lain yang ada di organisasi Muslimat NU, dimungkinkan setiap kali mengalami
perubahan dan pengembangan. Hal ini untuk menyesuaikan dengan tuntutan perjuangan
dan perkembangan zaman.
2. Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor)
Gerakan Pemuda Ansor didirikan pada tanggal 14 Desember 1949 di Surabaya,
sebagai kelanjutan dari ANSHORU NAHDLATUL ULAMA (ANU) yang didirikan pada
tanggal 24 April 1934.
Jika ditelusuri, sejarah kelahiran dan perkembangan GP Ansor tidak bisaa
dipisahkan dari sejarah kelahiran Nahdlatul Ulama itu itu sendiri. Pada tahun 1924, di
Surabaya berdiri suatu organisasi pmuda yang diberi nama SYUBBANUL WATHAN
(Pemuda Tanah Air) dibawah pimpinan Abdullah Ubaid. Kegiatan utamanya ialah dawah
keliling, latihan kepemimpinan dan latihan bela diri.
Pada tahun 1930, Syubbanul Wathan melebur diri menjadi NAHDLATUS SYUBBAN
dan pada tahun 1931 namanya berubah menjadi PERSATUAN PEMUDA NAHDLATUL
ULAMA (PPNU). Setahun kemudian, kata Persatuan dihilangkan, menjadi Pemuda
Nahdlatul Ulama (PNU) dan kemudian berubah lagi menjadi ANSORU NAHDLATUL ULAMA
(ANU). Baru pada Muktamar NU ke-9 di Banyuwangi pada tanggal 21 26 April 1934 ANU
diterima menjadi bagian dari jamiiyah NU.
Selama revolusi fisik, ANU dibekukan. Akan tetapi kemudian muncul ide dari
Muhammad Husaini, seorang tokoh ANU dari surabaya, untuk menghidupkan kembali
ANU. Dalam pertemuan tersebut, dicapai kesepakatan untuk menghidupkan kembali ANU
dengan nama baru yaitu GERAKAN PEMUDA ANSOR yang disingkat menjadi GP ANSOR.
Gerakan Pemuda Ansor didirikan dengan tujuan antara lain:
1. Menyadarkan para pemuda islam akan kewajibannya memperjuangkan cita-cita islam
2. Meningkatkan mutu pendidikan dan pengajaran
3. Mempergiat pendidikan rohani dan jasmani dalam rangka mewujudkan masyarakat islam
4. Membimbing dan membantu tegaknya Kepanduan Ansor
5. Meningkatkan kerjasama dengan organisasi pemuda lainnya, baik di dalam maupun di
luar negeri
6. Meningkatkan berbagai kegiatan-kegiatan olah raga, kesenian
dan kemasyarakatan.
Lambang yang dipakai oleh GP Ansor ialah gambar segi tiga
sama sisi dengan garis tebal sebelah luar dan garis tipis sebelah
dalam. Di dalamnya terdapat Bulan sabit dengan sembilan bintang
yang mengelilinginya, satu diantaranya yang terbesar, terletak di atas bulan sabit
dengan lima garis sinar ke atas, tiga ke bawah, dengan tulisan ANSOR dibawahnya,
dan gambar tersebut terlukis dengan warna putih di atas dasar warna hijau :
Susunan kepengurusan dalam organisasi GP Ansor terdiri atas:
1. Pimpinan Pusat (PP GP Ansor) di tingkat pusat/nasional
2. Pimpinan Wilayah (PW GP Ansor) di tingkat Provinsi
3. Pimpinan Cabang (PC GP Ansor) di tingkat Kabupaten/Kota
4. Pimpinan Anak Cabang (PAC GP Ansor) di tingkat kecamatan dan
5. Pimpinan Ranting (PR GP Ansor) di tingkat Desa/Kelurahan.
Didalam organisasi GP Ansor dikenal istilah-istilah untuk forum-forum
permusyawaratan sebagai berikut :
1. Kongres untuk tingkat pusat/PP
2. Konferensi, untuk tingkat PW/Propinsi, PC/Kabupaten/ Kota, PAC/Kecamatan, dan
3. Rapat Anggota, untuk tingkat PR/Ranting.
Sebagaimana organisasi yang lain, GP Ansor juga mempunyai perangkat organisasi
yang berada di bawah naungannya. Adapun perangkat organisasi dalam GP Ansor yang
terpenting ialah BANSER, singkatan dari Barisan Ansor Serbaguna. Banser merupakan
pasukan yang terlatih yang berfungsi serba guna, terutama dibidang pertahanan dan
keamanan, baik untuk kepentingan GP Ansor sendiri, NU maupun masyarakat pada
umumnya. Banser mulai didirikan pada tahun 1968, bertepatan dengan Kongres GP Ansor
VII di Jakarta.
3. Fatayat Nahdlatul Ulama
Fatayat NU didirikan pada 7 Rajab 1369 H/ 24 April 1950. Akan tetapi rintisannya
sebenarnya sejak 1940. Diantara tokoh perintisnya adalah : murthasiyah (Surabaya),
KH.uzaimah Mansur (Gresik), dan Aminah (Sidoarjo). Fatayat NU resmi menjadi Badan
Otonom NU setelah disahkan dalam Muktamar NU ke-18, pada tanggal 20 April 3 Mei
1950 di Jakarta.
Tujuan Fatayat NU adalah:
1. Membentuk pemudi atau wanita muda islam bertaqwa kepada Allah SWT, berbudi luhur,
beramal, cakap, dan bertanggung jawab serta berguna bagi agama, nusa, dan bangsa.
2. Mewujudkan rasa kesetiaan terhadap asas, aqidah dan tujuan Nahdlatul Ulama dalam
menegakkan syariat islam.
3. Mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata serta diridlai Allah SWT.
Untuk mencapai tujuan tersebut di atas, Fatayat NU melakukan serangkaian usaha
sebagai berikut:
1. Menghimpun dan membina pemudi atau wanita muda islam dalam suatu organisasi.
2. Meningkatkan mutu pendidikan, pengajaran, ketrampilan dan memperluas ilmu
pengetahuan yang bermanfaat bagi agama, bangsa, dan negara.
3. Meningkatkan peranan wanita Indonesia daam segala bidang kehidupan beragama,
bernegara dan bermasyarakat.
4. Mempertinggi budi (aKH.lakul karimah) dalam kehidupan sehari-hari.
5. Menjalankan kegiatan dan menjalin kerjasama yang menunjang syiar islam dan
kesejahteraan masyarakat.
6. Membina persahabatan dengan organisasi lain, terutama organisasi pemuda dan wanita.
Lambang Fatayat NU adalah setangkai bunga melati tegak di
atas dua helai daun, sebuah bintang besar dikelilingi delapan bintang
kecil dengan dilingkari tali persatuan. Lambang ini dilukiskan dengan
warna putih di atas dasar hijau.
Kepengurusan Fatayat NU terdiri atas Pucuk Pimpinan (PP),
Pimpinan Wilayah (PW), Pimpinan Cabang (PC), Pimpinan Anak Cabang (PAC), Pimpinan
Ranting (PR). Kekuasaan tertinggi organisasi dipegang oleh kongres pada tingkat nasional
(PP), Konferensi Wilayah pada tingkat wilayah (PW), Konferensi Cabang pada tingkat
cabang (PC), Konferensi Anak Cabang pada tingkat anak cabang (PAC) dan Rapat Anggota
ditingkat Ranting (PR). Sedangkankeanggotaan Fatayat NU terdiri atas anggota biasa dan
anggota luar biasa.

4. Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU)


Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (disingkat IPNU) adalah badan otonom Nahldlatul
Ulama yang berfungsi untuk membantu melaksanakan kebijakan NU pada segmen pelajar
dan santri putra. IPNU didirikan di Semarang pada tanggal 20 Jumadil AKH.ir 1373 H/
bertepatan dengan tanggal 24 Pebruari 1954, yaitu pada Konferensi besar (Konbes) LP
Maarif NU. Pendiri IPNU adalah M. Shufyan Cholil (mahasiswa UGM), H. Musthafa (Solo),
Abdul Ghony Farida (Semarang) dan Thalhah Mansur.
Ketua Umum Pertama IPNU adalah M. Tholhah Mansoer yang terpilih dalam
Konferensi Segi Lima yang diselenggarakan di Solo pada 30 April-1 Mei 1954 dengan
melibatkan perwakilan dari Yogyakarta, Semarang, Solo, Jombang, dan Kediri.
Pada tahun 1988, sebagai implikasi dari tekanan rezim Orde Baru, IPNU mengubah
kepanjangannya menjadi Ikatan PelajarNahdlatul Ulama. Sejak saat itu, segmen garapan
IPNU meluas pada komunitas remaja pada umumnya. Pada Kongres XIV di Surabaya pada
tahun 2003, IPNU kembali mengubah kepanjangannya menjadi Ikatan Pelajar Nahdlatul
Ulama. Sejak saat itu babak baru IPNU dimulai. Dengan keputusan itu, IPNU bertekad
mengembalikan basisnya di sekolah dan pesantren.
Tujuan IPNU adalah terbentuknya pelajar bangsa yang bertaqwa kepada Allah
SWT, berilmu, beraKH.lak mulia dan berwawasan kebangsaan serta bertanggungjawab
atas tegak dan terlaksananya syariat Islam menurut faham ahlussunnah wal jamaah
yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Untuk mewujudkan tujuan tersebut, dilakukan serangkaian usaha, yaitu :
1. Menghimpun dan membina putra-putra Nahdlatul Ulama dalam satu wadah organisasi
2. Mempersiapkan kader-kader intelektual sebagai penerus perjuangan bangsa
3. Mengusahakan tercapainya tujuan organisasi dengan menyusun landasan perjuangan
sesuai dengan perkembangan masyarakat (maslahah al-ammah), guna terwujudnya
KH.aira ummah
4. Mengusahakan jalinan komunikasi dan kerjasama program dengan pihak lain selama
tidak merugikan organisasi.
Lambang IPNU berbentuk bulat dengan warna dasar hijau,
berlingkar kuning ditepinya dengan diapit dua lingkaran putih.
Dibagian atas tercantum huruf IPNU dengan titik diantaranya
dengan di apit oleh tiga garis lurus pendek yang satu diantaranya
lebih panjang pada bagian kanannya. Semua berwarna putih. Di
bawahnya terdapat bintang sembilan, lima terletak sejajar yang
satu diantaranya lebih besar terletak di tengah dan empat bintang lainnya terletak
mengapit membentuk sudut segitiga. Semua berwarna kuning. Diantara bintang yang
mengapit terdapat dua kitab dan dua bulu angsa bersilang berwarna putih.
Struktur organisasi Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) terdiri atas :
1. Pimpinan tertinggi IPNU di ibu kota Negara disebut Pimpinan Pusat IPNU (PP IPNU)
2. Pimpinan IPNU di provinsi disebut Pimpinan Wilayah IPNU (PW IPNU)
3. Pimpinan IPNU di kabupaten/kota disebut Pimpinan Cabang IPNU (PC IPNU)
4. Pimpinan IPNU di kecamatan disebut Pimpinan Anak Cabang IPNU (PAC IPNU)
5. Pimpinan IPNU di desa/kelurahan disebut Pimpinan Ranting IPNU (PR IPNU)
6. Pimpinan IPNU di Lembaga Pendidikan perguruan tinggi, pondok pesantren, SLTP/MTs,
SLTA/MA dan yang sederajat disebut Pimpinan Komisariat IPNU (PK IPNU).
Kekuasaan tertinggi organisasi dipegang oleh kongres pada tingkat nasional,
Konferensi wilayah pada tingkat wilayah, Konferensi Cabang pada tingkat Cabang,
Konferensi Anak Cabang pada tingkat anak cabang dan Rapat Anggota pada tingkat
Ranting. Sedangkan keanggotaan IPNU terdiri atas anggota biasa dan anggota istimewa.
5. Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU)
Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) adalah salah satu organisasi remaja
yang menghimpun Pelajar Putri NU. Organisasi ini didirikan pada tanggal 8 Rajab 1374 H
atau bertepatan dengan tanggal 2 Maret 1955 di Solo, Jawa Tengah. Salah seorang
pendirinya adalah Ny. Umrah Mahfudha. Semula organisasi ini merupakan bagian dari
lembaga pendidikan maarif, tetapi semenjak kongres di Surabaya pada tahun 1966,
IPPNU melepaskan diri dari LP. Maarif dan menjadi salah satu badan otonom Nahdlatul
Ulama.
Sebagai bagian dari badan otonom Nahdlatul Ulama, IPPNU mempunyai tiga fungsi
utama, yaitu :
1. Sebagai wadah berhimpun Pelajar Putri NU untuk melanjutkan semangat jiwa dan nilai-
nilai ke-NU-an.
2. Sebagai wadah komunikasi Pelajar Putri NU untuk menggalang uKH.uwah islamiyah dan
syiar islam.
3. Sebagai wadah kaderisasi Pelajar Putri NU untuk mempersiapkan kaderisasi bangsa.
Dari ketiga fungsi di atas, maka tujuan IPPNU adalah :
1. Terbentuknya kesempurnaan putri Indonesia yang beraKH.lakul karimah, dan bertaqwa
kepada Allah SWT.
2. Tegak dan berkembangnya syariat islam menurut faham Ahlus-sunnah wal jamaah
3. Terbentuknya kader bangsa yang berilmu dan berwawasan nasional
4. Terbentuknya masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
Untuk mewujudkan tujuan tersebut di atas, IPPNU melakukan usaha-usaha seperti :
1. Menghimpun dan membina Pelajar Putri islam dalam wadah organisasi.
2. Mempersiapkan kader-kader intelektual sebagai proses perjuangan bangsa.
3. Mengusahakan tercapainya tujuan organisasi dengan menyusun landasan perjuangan
sesuai dengan perkembangan masyarakat.
4. Membina persahabatan dengan organisasi putri islam pada Khususnya dan organisasi lain
pada umumnya selama tidak merugikan kepentingan organisasi IPPNU.
Lambang organisasi IPPNU berbentuk segitiga sama kaki
dengan ukuran alas sama dengan tinggi. Warna dasarnya hijau,
bergaris dua warna kuning di tepinya. Isi lambang terdiri atas:
Bintang sembilan. Satu diantaranya di tengah, empat buah
menurun di sisi sebelah kiri dan empat buah lainnya di sisi
sebelah kanan dan semuanya berwarna kuning. Di bawah bintang
terdapat dua buah kitab dan dua buah bulu ayam bersilang dengan warna putih. Di
bawah blu ayam terdapat tulisan IPPNU dengan lima titik di antaranya dan dilukis
dengan warna putih.
Struktur organisasi Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) terdiri atas :
1. Pimpinan tertinggi IPNU di ibu kota Negara disebut Pucuk Pimpinan IPPNU (PP IPPNU)
2. Pimpinan IPPNU di provinsi disebut Pimpinan Wilayah IPPNU (PW IPPNU)
3. Pimpinan IPPNU di tingkat kabupaten/kota disebut Pimpinan Cabang IPPNU (PC IPPNU)
4. Pimpinan IPPNU di kecamatan disebut Pimpinan Anak Cabang IPPNU (PAC IPPNU)
5. Pimpinan IPPNU di desa/kelurahan disebut Pimpinan Ranting IPPNU (PR IPPNU)
6. Pimpinan IPPNU di Lembaga Pendidikan perguruan tinggi, pondok pesantren, SLTP/MTs,
SLTA/MA dan yang sederajat disebut Pimpinan Komisariat IPPNU (PK IPPNU).
Kekuasaan tertinggi organisasi dipegang oleh kongres pada tingkat nasional,
Konferensi wilayah pada tingkat wilayah, Konferensi Cabang pada tingkat Cabang,
Konferensi Anak Cabang pada tingkat anak cabang dan Rapat Anggota pada tingkat
Ranting. Sedangkan keanggotaan IPNU terdiri atas anggota biasa dan anggota istimewa.
B. Badan Otonom Nahdlatul Ulama yang Berbasis Profesi dan Kekhususan
Diantara badan otonom yang dimiliki oleh Nahdlatul Ulama dalam bidang yang
berbasis profesi dan kekhususan adalah:
1. Jamiyyah Ahlit Thoriqoh Al-Mutabaroh An-Nahdliyah.
2. Jamiyyatul Qurro wal huffadz
3. Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU)
4. Serikat Buruh Muslimin Indonesia (SARBUMUSI)
5. Pagar Nusa Nahdlatul Ulama (PN NU)
6. Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (PERGUNU).

DAFTAR PUSTAKA
Anggaran Dasar Dan Anggaran Rumah Tangga Nahdlatul Ulama diterbitkan oleh
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama dan diperbanyak oleh PC. NU Kabupaten Blitar.

"KARISMA ULAMA, Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU", Editor: Saifullah Ma'shum,


Penerbit: Yayasan Saefuddin Zuhri dan Penerbit MIZAN.

Pendidikan Aswaja & Ke-NU-An Madrasah Tsanawiyah (MTs) Kelas 7, diterbitkan


oleh Pimpinan Wilayah Lembaga Pendidikan Maarif NU Jawa Timur.

Pendidikan Aswaja & Ke-NU-An Madrasah Ibtidaiyah (MI) Kelas 4, diterbitkan oleh
Pimpinan Wilayah Lembaga Pendidikan Maarif NU Jawa Timur.

Pendidikan Aswaja & Ke-NU-An Madrasah Ibtidaiyah (MI) Kelas 5, diterbitkan oleh
Pimpinan Wilayah Lembaga Pendidikan Maarif NU Jawa Timur.
Biografi dan Karamah KH M Khalil Bangkalan; Surat Kepada Anjing Hitam (2001)
cetakan edisi ke 2;
"KH Bisri Syamsuri, Pecinta Hukum Fiqh sepanjang Hayat", KH Abdurahman Wahid,
Majalah Amanah, 1989

Anda mungkin juga menyukai