Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Epidemiologi
Etiologi
Penyebab terjadinya anemia hemolitik ialah akibat penghancuran (hemolisis) eritrosit yang
berlebihan. Pada prinsipnya anemia hemolisis dapat terjadi karena : 1). Defek molecular
hemoglobinopati atau enzimopati; 2). Abnormalitas struktur dan fungsi membran-membran;
3). Faktor lingkungan seperti trauma mekanik atau antibodi.5
Berdasarkan etiologinya anemia hemolisis dapat dikelompokkan menjadi : 4,5,7
Berdasarkan ketahanan hidupnya dalam sirkulasi darah resipien, Anemia hemolisis dapat
dikelompokkan menjadi : 1). Anemia hemolisis intrakorpuskular. Sel eritrosit pasien tidak
dapat bertahan hidup di sirkulasi darah resipien yang kompatibel, sedangkan sel eritrosit
kompatibel normal dapat bertahan hidup di sirkulasi darah pasien; 2). Anemia hemolisis
ekstrakorpuskular. Sel eritrosit pasien dapat bertahan hidup di sirkulasi darah resipien yang
kompatibel, tetapi sel eritrosit kompatibel normal tidak dapat bertahan hidup di sirkulasi
darah pasien.6,7,
Berdasarkan ada tidaknya keterlibatan immunoglobulin pada kejadian hemolisis, anemia
hemolisis dikelompokkan menjadi : 2,5
Klasifikasi
Berdasarkan pencetusnya :
1. Intrinsik : kelainan terletak dalam sel sendiri
a. Kelainan membran sel : sferositosis/ovalositosis herediter.
b. Hemaglobinopati
c. Talasemia
d. Defisiensi enzim (glukosa 6-fosfat-dehidrogenase = G6PD), piruvat kinase (PK), atau
enzim lain pada metabolisme Embden Meyerhoff).
I. Gangguan Intrakorpuskuler
Anemia hemolitik karena factor di dalam eritrosit sendiri (intrakorpuskuler), yang sebagian
besar bersifat herediter-familier
A. Herediter-Familier
1. Gangguan membrane eritrosit (membranopati)
a. Hereditary spherocytosis
Merupakan anemia hemolitik herediter diturunkan secara autosom dominan, paling umum di
Eropa Utara disebabkan cacat protein struktural dari membran sel darah merah / defek
membran. Sumsum tulang membuat sel darah merah normal yang bikonkaf tetapi sel darah
kehilangan membrannya saat beredar melalui limpa dan sistem RES. Ratio permukaan sel
terhadap volume berkurang dan sel menjadi lebih sferis sehingga kurang elastic melalui
mikrosirkulasi dimana sferosit pecah lebih dini.
Tes Khusus:
Fragilitas osmotik meningkat.
Autohemolitik meningkat
Coombs direct test negatif.
Cr51 destruksi oleh limpa terbanyak.
Panah hitam: Bentuk Sferositosis
b. Hereditary elliptocytosis
c. Hereditary stomatocytosis
2. Gangguan metabolism/enzim eritrosit (enzimopati)
Diturunkan secara resesif otosomal homozigot. Sel darah merah lisis karena pembentukan
ATP berkurang. Sel darah merah lisis karena pembentukan ATP berkurang. Anemia ringan
dengan hemoglobin 4-10g/dl disebabkan pergeseran kurva disosiasi O2 ke kanan akibat
kenaikan 2,3 DPG dalam sel.
B. Didapat
Paroxysmal nocturnal hemoglobinuria (PNH)
Hemoglobinuria Paroksismal Nokturnal adalah anemia hemolitik yang jarang terjadi, yang
menyebabkan serangan mendadak dan berulang dari penghancuran sel darah merah oleh
sistem kekebalan.
Penghancuran sejumlah besar sel darah merah yang terjadi secara mendadak (paroksismal),
bisa terjadi kapan saja, tidak hanya pada malam hari (nokturnal), menyebabkan hemoglobin
tumpah ke dalam darah.Ginjal menyaring hemoglobin, sehingga air kemih berwarna gelap
(hemoglobinuria).
Anemia ini lebih sering terjadi pada pria muda, tetapi bisa terjadi kapan saja dan pada jenis
kelamin apa saja. Penyebabnya masih belum diketahui. Penyakit ini bisa menyebabkan kram
perut atau nyeri punggung yang hebat dan pembentukan bekuan darah dalam vena besar dari
perut dan tungkai.
Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan laboratorium yang bisa menemukan adanya sel
darah merah yang abnormal, khas untuk penyakit ini.
Anemia hemolitik karena factor di luar eritrosit (ekstrakorpuskuler), yang sebagian besar
bersifat didapat (acquired).
A. Didapat
1. Imun
a. Autoimun
Warm antibody type
Cold antibody type
b. Aloimun
Hemolytic transfusion reactions
Hemolytic disease of newborn
Allograft (bonemarrow transpalantation)
2. Drug associated
4. Mikroangiopatik
a. Thrombotic Thrombocytopenic purpura (TTP)
b. Hemolytic uremic syndrome (HUS)
c. Disseminated intravascular coagulation (DIC)
d. Pre-eklampsia
5. March hemoglobinuria
6. Infesksi
a. Malaria
b. Clostridia
7. Bahan kimia dan fisik
a. Obat
b. Bahan kimia dan rumah tangga
c. Luka bakar luas
8. Hipersplenisme
Anemia hemolitik dapat disebabkan oleh 2 faktor yang berbeda yaitu faktor intrinsik & faktor
ekstrinsik.
Faktor Intrinsik
Yaitu kelainan yang terjadi pada sel eritrosit. Kelainan karena faktor ini dibagi menjadi tiga
macam yaitu:
1. Karena kekurangan bahan baku pembuat eritrosit
2. Karena kelainan eritrosit yang bersifat kongenital contohnya thalasemia & sferosis
kongenital
3. Abnormalitas dari enzim dalam eritrosit
Faktor Ekstrinsik
Patogenesis
Umur SDM normal ialah 100-120 hari. Dengan bertambahnya umur sel mulai terjadi
glikolisis, aktivitas enzim menurun dan kadar ATP, kalium serta lipid membran menurun
pula. Karena rangkaian proses ini, sel darah merah tidak dapat mempertahankan bentuk dan
hidupnya dan terjadilah hemolisis. Keadaan/penyakit baik yang kongenital maupun didapat
dapat memperpendek umur eritrosit.5,7
Manifestasi Klinis
Anemia ini bervariasi dari yang ringan sampai berat (mengancam jiwa). Pasien mengeluh
fatig dan keluhan ini dapat terlihat bersama dengan angina atau gagal jantung kongestif. Pada
Pemeriksaan fisik, biasanya dapat ditemukan ikterus dan splenomegali. Apabila pasien
mempunyai penyakit dasar seperti LES atau leukemia limfositik kronik, gambaran klinis
penyakit tersebut dapat terlihat.
Penegakan diagnosis anemia hemolisis memerlukan anamnesis dan pemeriksaan fisis yang
teliti. Pasien mungkin mengeluh kuning dan urinnya kecoklatan seperti warna teh pekat,
meski jarang terjadi. Riwayat pemakaian obat-obatan dan terpajan toksin serta riwayat
keluarga merupakan informasi penting yang harus ditanyakan saat anamnesis. 3,4,5
Pada pemeriksaan fisis ditemukan : 5,6
Diagnosis
Penegakkan diagnosa anemia hemolitik berdasarkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik serta
pemeriksaan penunjang, dimana bisa diketahui kausa penyebab dari anemia hemolitik itu
sendiri. 3,4
Diagnosis Banding
a. Anemia Pasca Perdarahan 6
b. Leukimia 6
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan anemia hemolitik disesuaikan dengan penyebabnya. Bila karena reaksi
toksik-imunologik yang didapat diberikan adalah kortikosteroid (prednison, prednisolon),
kalau perlu dilakukan splenektomi. Apabila keduanya tidak berhasil, dapat diberikan obat-
obat sitostatik, seperti klorambusil dan siklofosfamid.
Anemia hemolitik diterapi sesuai penyebabnya. Pada anemia hemolitik autoimun diterapi
dengan :
a. Kortikosteroid 1-1,5 mg/kgBB/hari
b. Splenektomi
c. Imunosupresi, Azatioprin 50-200 mg/hari
d. Danazol 600-800 mg/hari
e. Terapi transfusi
Pada anemia hemolitik non imun, terapi diberikan berdasarkan klasifikasi. 2,5,7
a. Defisiensi G6PD
Pada pasien dengan defisiensi G6PD tipe A-, tidak perlu terapi khusus kecuali terapi untuk
infeksi yang mendasari. Pada hemolisis berat, yang biasa terjadi pada varian Mediteranian,
mungkin diperlukan transfuse darah
b. Defek Jalur Embden Meyerhof
Sebagian besar pasien tidak membutuhkan terapi kecuali dengan hemolisis berat harus
diberikan asam folat 1 mg/hari. Transfusi darah diperlukan ketika krisis hipoplastik.
c. Malaria
Terapi anemia pada infeksi malaria pada dasarnya dengan mengeradikasi parasit penyebab.
Transfusi darah segera, sangat dianjurkan pada pasien dewasa dengan Hb <7 g/dl. Preparat
asam folat sering diberikan pada pasien. Pemberian besi sebaiknya ditunda sampai terbukti
adanya defisiensi besi.
Prognosis
Prognosis pada pasien dengan anemia hemolitik tergantung pada penyakit yang mendasari. 6,7
Pada pasien dengan anemia hemolitik autoimun tipe hangat , hanya sebgaian kecil pasien
yang mengalami penyembuhan komplit dan sebagian besar memiliki perjalanan penyakit
yang berlamgsung kronik, namun terkendali. Sedangkan pada pasien dengan anemia
hemolitik autoimun tipe dingin dengan sindrom kronik akan memiliki survival yang baik dan
cukup stabil.7
Pencegahan
Tindakan pencegahan dapat berupa : 5, 7
Pemeriksaan laboratorium jika ditemukan gejala
Pendidikan kesehatan
Perbaikan gizi
Hidup bersih dan sehat
DAFTAR PUSTAKA
1. Behrman, Kliegman, Arvin. Penyakit Darah. Dalam: Nelson, Ilmu Kesehatan Anak.
Edisi 15. Jakarta : EGQ.2007. Hal. 1677-98.
3. Hassan R, Alatas. Anemia. Dalam : Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jilid 1. Edisi
11. Jakarta: FKUI. 2007. Hal 429-57.
5. Price S, Wilson L. Gangguan Sistem hematologi. Dalam: Ilmu Penyakit Dalam. Jilid
II. Edisi IV. Jakarta: FKUI. 2007. Hal. 256-62.
7. Tranggana S. Anemia. Dalam: Buku Ajar Hematologi Anak. Edisi 1. Januari. 2009.
Hal. 7-30
Anemia hemolitik autoimun ada dua jenis, tipe hangat dan tipe dingin.
Tipe Hangat
Yaitu hemolitik autoimun yang terjadi pada suhu tubuh optimal (37 derajat celcius). Anemia
Hemolitik Antibodi Hangat adalah suatu keadaan dimana tubuh membentuk autoantibodi
yang bereaksi terhadap sel darah merah pada suhu tubuh.
Autoantibodi ini melapisi sel darah merah, yang kemudian dikenalinya sebagai benda asing
dan dihancurkan oleh sel perusak dalam limpa atau kadang dalam hati dan sumsum tulang.
Penyakit ini lebih sering terjadi pada wanita. Sepertiga penderita anemia jenis ini menderita
suatu penyakit tertentu (misalnya limfoma, leukemia atau penyakit jaringan ikat, terutama
lupus eritematosus sistemik) atau telah mendapatkan obat tertentu, terutama metildopa.
Gejalanya seringkali lebih buruk daripada yang diperkirakan, mungkin karena anemianya
berkembang sangat cepat. Limpa biasanya membesar, sehingga bagian perut atas sebelah kiri
bisa terasa nyeri atau tidak nyaman.
Sekitar sepertiga penderita memberikan respon yang baik terhadap pengobatan tersebut.
Penderita lainnya mungkin memerlukan pembedahan untuk mengangkat limpa, agar limpa
berhenti menghancurkan sel darah merah yang terbungkus oleh autoantibodi. Pengangkatan
limpa berhasil mengendalikan anemia pada sekitar 50% penderita. Jika pengobatan ini gagal,
diberikan obat yang menekan sistem kekebalan (misalnya siklosporin dan siklofosfamid).
Transfusi darah dapat menyebabkan masalah pada penderita anemia hemolitik autoimun.
Bank darah mengalami kesulitan dalam menemukan darah yang tidak bereaksi terhadap
antibodi, dan transfusinya sendiri dapat merangsang pembentukan lebih banyak lagi antibodi.
Manifestasi klinis: gejala tersamar, gejala2 anemia, timbul perlahan, menimbulkan demam
bahkan ikterik. Jika diperiksa urin pada umumnya berwarna gelap karena hemoglobinuri.
Bisa juga terjadi splenomegali, hepatomegali dan limfadenopati. Pemeriksaan Lab: Coombs
test direk positif.
Prognosis: hanya sedikit yang bisa sembuh total, sebagian besar memiliki perjalanan penyakit
yang kronis namun terkendali. Survival 70%. Komplikasi bisa terjadi, seperti emboli paru,
infark limpa, dan penyakit kardiovaskuler. Angka kematian 15-25%.
Terapi: (1) pemberian kortikosteroid 1-1,5 mg/kgBB/hari, jika membaik dalam 2 minggu
dosis dikurangi tiap minggu 10-20 mg/hari. (2) splenektomi, jika terapi kortikosteroid tidak
adekuat; (3) imunosupresi: azatioprin 50-200 mg/hari atau siklofosfamid 50-150 mg/hari; (4)
terapi lain: danazol, imunoglobulin; (5) tansfusi jika kondisinya mengancam jiwa (misal Hb
<3mg/dl)
Tipe Dingin
Anemia Hemolitik Antibodi Dingin adalah suatu keadaan dimana tubuh membentuk
autoantibodi yang bereaksi terhadap sel darah merah dalam suhu ruangan atau dalam suhu
yang dingin. Anemia jenis ini dapat berbentuk akut atau kronik.
Bentuk yang akut sering terjadi pada penderita infeksi akut, terutama pneumonia tertentu atau
mononukleosis infeksiosa. Bentuk akut biasanya tidak berlangsung lama, relatif ringan dan
menghilang tanpa pengobatan.
Bentuk yang kronik lebih sering terjadi pada wanita, terutama penderita rematik atau artritis
yang berusia diatas 40 tahun. Bentuk yang kronik biasanya menetap sepanjang hidup
penderita, tetapi sifatnya ringan dan kalaupun ada, hanya menimbulan sedikit gejala.
Cuaca dingin akan meningkatkan penghancuran sel darah merah, memperburuk nyeri sendi
dan bisa menyebabkan kelelahan dan sianosis (tampak kebiruan) pada tangan dan lengan.
Penderita yang tinggal di daerah bercuaca dingin memiliki gejala yang lebih berat
dibandingkan dengan penderita yang tinggal di iklim hangat.
terjadi pada suhu tubuh dibawah normal. Antibodi yang memperantarai biasanya adalah IgM.
Antibodi ini akan langsung berikatan dengan eritrosit dan langsung memicu
fagositosis.Manifestasi klinis: gejala kronis, anemia ringan (biasanya Hb:9-12g/dl), sering
dijumpai akrosianosis dan splenomegali.pemeriksaan lab: anemia ringan, sferositosis,
polikromasia, tes coomb positif, spesifisitas tinggi untuk antigen tertentu seperti anti-I, anti-
Pr, anti-M dan anti-P.Prognosis:baik, cukup stabil. Terapi hindari udara dingin, terapi
prednison, klorambusil 2-4 mg/hari, dan plasmaferesis untuk mengurangi antibodi IgM.
1. PATOFISIOLOGI
Ada 2 mekanisme yang menyebabkan anemia hemolitik autoimun. Yaitu aktivasi komplemen
dan aktivasi mekanisme seluler, atau kombinasi keduanya.
(1) Kalau klasik biasanya diaktifkan oleh antibodi IgM, IgG1, IgG2 dan IgG3. Mulai dari C1,
C4, dst hingga C9, nanti ujungnya terbentuklah kompleks penghancur membran yg terdiri
dari molekul C5b,C6,C7,C8 dan beberapa molekul C9. Kompleks ini akan menyusup ke
membran sel eritrosit dan mengganggu aliran transmembrannya, sehingga permeabilitas
membran eritrosit normal akan terganggu, akhirnya air dan ion masuk, eritrosit jadi bengkak
dan ruptur.
(2) Untuk aktivasi alternativ hanya berbeda urutan pengaktivannya, ujungnya antar molekul
C5b yang akan menghancurkan membran eritrosit.
2. aktivasi mekanisme seluler. Mekanismenya, jika ada eritrosit yang tersensitisasi oleh
komponen sistem imun seperti IgG atau kompemen, namun tidak terjadi aktivasi
sistem komplemen lebih lanjut, maka ia akan difagositosis langsung oleh sel-sel
retikuloendotelial. Proses ini dikenal dg mekanisme immunoadhearance.
Anemia hemolisis