Sejarah Sekularisme
Gagasan sekularisme (pemisahan agama dari politik) pertama kali muncul di
Barat sebagai kritik terhadap dominasi Gereja pada Abad Pertengahan. Ketika itu
Gereja Kristen menjadi institusi dominan. Dengan pembentukan Sistem Kepausan
(papacy power) oleh Gregory I (540-609 M), Paus dijadikan sumber kekuasaan
agama dan kekuasaan dunia dengan otoritas mutlak tanpa batas dalam seluruh
sendi kehidupan; khususnya aspek politik, sosial dan pemikiran (Idris, 1991: 75-80;
Ulwan, 1996: 73). Dominasi ini ternyata penuh dengan penyimpangan dan
penindasan melalui persekongkolan Gereja dan raja/kaisar; mengakibatkan
kemandegan ilmu pengetahuan dan merajalelanya surat pengampunan dosa.
Kemudian muncul upaya koreksi atas Gereja yang disebut gerakan Reformasi Gereja
(1294-1517), dengan tokohnya semisal Marthin Luther (w. 1546), Zwingly (w. 1531)
dan John Calvin (w. 1564). Gerakan ini disertai dengan kemunculan para pemikir
Renaissans pada abad XVI seperti Machiaveli (w. 1528) dan Michael Montaigne (w.
1592). Mereka menentang dominasi Gereja, menghendaki agama disingkirkan dari
kehidupan dan menuntut kebebasan. Selanjutnya pada era Pencerahan
(Enlightenment) abad XVII-XVIII, seruan untuk memisahkan agama dari kehidupan
semakin mengkristal dengan tokohnya Montesquieu (w. 1755), Voltaire (w. 1778)
dan Rousseau (1778). Puncak penentangan terhadap Gereja ini adalah terjadinya
perang selama 30 tahun, yang diakhiri dengan adanya Perjanjian Westphali 1846.
Melalui perjanjian ini, akhirnya secara total Gereja dipisahkan dari masyarakat,
negara dan politik (Qashash, 1995: 30-31). Sejak itulah lahir sekularisme yang
menjadi dasar ideologi dan peradaban Barat.
Sekularisme di Indonesia
Sekularisme masuk ke Indonesia secara paksa melalui proses penjajahan,
khususnya oleh pemerintah Hindia Belanda. Prinsip negara sekular telah termaktub
dalam Undang-Undang Dasar Belanda tahun 1855 ayat 119 yang menyatakan,
bahwa Pemerintah bersikap netral terhadap agama, artinya tidak memihak salah
satu agama atau mencampuri urusan agama (Suminto, 1986: 27).
Prinsip sekular dapat ditelusuri pula dari rekomendasi Snouck Hurgronje
kepada Pemerintah Kolonial untuk melakukan Islam Politiek, yaitu kebijakan
Pemerintah Kolonial dalam menangani masalah Islam di Indonesia. Kebijakan ini
menindas Islam sebagai ekspresi politik. Inti Islam Politiek adalah: (1) dalam bidang
ibadah murni, Pemerintah hendaknya memberikan kebebasan sepanjang tidak
mengganggu kekuasaan Pemerintah Belanda; (2) dalam bidang kemasyarakatan,
Pemerintah hendaknya memanfaatkan adat kebiasaan masyarakat agar rakyat
mendekati Belanda; (3) dalam bidang politik atau kenegaraan, Pemerintah harus
mencegah setiap upaya yang akan membawa rakyat pada fanatisme dan ide Pan
Islam (Suminto, 1986: 12).
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tahun 1945 seharusnya menjadi
momentum untuk menghapus penjajahan secara total, termasuk mencabut
pemikiran sekular yang ditanamkan penjajah. Sayang sekali, ini tidak terjadi.
Revolusi Kemerdekaan Indonesia hanyalah mengganti rejim penguasa, bukan
mengganti sistem atau ideologi penjajah. Pemerintahan memang berganti, tetapi
ideologi tetap sekular. Karena itu sejak awal Indonesia adalah negara sekular.
Alhasil, gagasan sekularisme (pemisahan agama dari politik) sebagaimana
yang diutarakan oleh Presiden Jokowi tak lain sekadar mengekor ke peradaban
Barat; mengikuti dan melanggengkan arahan penjajah.
Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? Hukum siapakah yang lebih baik
daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS al-Maidah [5]: 50).
Karena itu pula, saatnya kita mencampakkan sekularisme, lalu kita ganti
dengan akidah dan syariah Islam. Hanya saja, penegakkan syariah Islam
membutuhkan institusi pemerintahan Islam. Itulah Khilafah ala minhaj an-
Nubuwwah. Khilafah inilah yang harus segera kita tegakkan. []
Komentar al-Islam:
MUI: Politik Tanpa Agama akan Buat Manusia Jadi Serigala (Republika.co.id,
29/3/2017).
1; Apa yang dinyatakan MUI di atas sebetulnya sudah terjadi dalam sistem
politik demokrasi saat ini. Pihak yang kuat memangsa pihak yang lemah.
2; Penguasa menjadikan rakyat sebagai mangsa yang terus ditindas dengan
berbagai kebijakan yang zalim seperti: membebani rakyat dengan ragam
pajak, kenaikan harga BBM, gas, listrik; menyerahkan kekayaan milik rakyat
kepada pihak asing; dll.
3; Hanya dalam sistem Khilafah yang menerapkan syariah secara kaffah, politik
benar-benar ditujukan untuk melayani kepentingan rakyat dan mewujudkan
kemaslahatan mereka.