Epistaksis Referat Edit
Epistaksis Referat Edit
EPISTAKSIS
Disusun Oleh :
Zulhida Yuni
20090310203
Februari 2014
Dokter Pembimbing,
Assalamualaikum Wr. Wb
1. Allah SWT,
2. dr. Yunie Wulandarrie, Sp.THT-KL.M.Kes sebagai dosen kepaniteraan
klinik Fakultas Kedokteran Muhammadiyah Yogyakarta di RSUD Kota
Salatiga yang telah membimbing penulis selama menjalani
kepaniteraan klinik dan bimbingan referat ini.
3. Ibu dan Bapak yang telah mendidik dan membesarkan kami
4. Semua karyawan RSUD Kota Salatiga yang telah memberikan
bantuan kepada penulis
5. Teman teman koass Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta terutama yang telah memberikan
dukungan dan bantuan kepada penulis
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL...............................................................................
HALAMAN
PENGESAHAN....................................................................
KATA
PENGANTAR..............................................................................
DAFTAR
ISI...............................................................................................
..............
DAFTAR
GAMBAR......................................................................................
...........
BAB I.
PENDAHULUAN............................................................................
..............
2.1
Anatomi......................................................................................
.........
2.2 Vaskularisasi
Hidung....................................................................................
2.3 Innervasi
Hidung........................................................................................
....
2.4 Fisiologi
Hidung........................................................................................
.....
2.5
Epistaksis....................................................................................
...............
2.5.1 Definisi...............................................................
2.5.2 Etiologi
2.5.3 Patofisiologi
2.5.5 Penatalaksanaan
2.5.7 Prognosis
BAB I
PENDAHULUAN
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang
dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi
untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang
terdiri dari os nasal, processus frontalis os maksila, dan processus nasalis
os frontalis. Kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang
rawan yaitu sepasang kartilago nasalis lateralis superior, sepasang
kartilago nasalis lateralis inferior, tepi anterior kartilago septum.
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dipisahkan
oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri.
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding. Dinding medial hidung ialah
septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Septum
dilapisis oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periosteum
pada bagian tulang sedangkan di luarnya dilapisi oleh mukosa hidung.
1. Jalan nafas
Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas
setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah
nasofaring, sehingga aliran udara berbentuk lengkungan.
Pada ekspirasi, udara masuk melalui knka dan kemudian mengikuti
jalan yang sama seperti udara inspirasi. Akan tetapi di bagian
depan aliran udara memecah, sebagian akan melalui nares anterior
dan sebagian lain ke belakang bergabung dengan aliran dari
nasofaring.
2. Alat pengatur kondisi udara
Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk
mempersiapkan udara yang akan masuk ke dalam alveolus paru.
Fungsi ini dilakukan dengan cara mengatur kelembapan udara dan
mengatur suhu. Mengatur kelembapan udara dilakukan dengan
adanya mucous blanket. Pada musim panas, udara hampir jenuh
oleh uap air, penguapan dari lapisan ini sedikit, sedangkan pada
musim dingin akan terjadi sebaliknya. Mengatur sushu
dimungkinkan karena banyaknya pembuluh darah di bawah epitel
dan adanya permukaan konka dan septum yang luas, sehingga
radiasi dapat berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu
udara setelah melalui hidung kurang lebih 37C.
3. Penyaring udara
Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu
dan bakteri dan dilakukan oleh rambut pada vestibulum nasi, silia
dan mucous blanket. Debu dan bakteri akan melekat pada mucous
blanket dan partikel besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin.
Mucous blanket akan dialirkan ke nasofaring oleh gerakan silia.
Terdapat enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri,
yaitu lysoenzyme.
4. Indra penciuman
Hidung juga bekerja sebagai indra penciuman dengan adanya
mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior, dan
sepertiga bagias atas septum. Partikel bau mencapai daerah ini
dengan cara difusi dengan mucous blanket atau bila menarik nafas
kuat.
5. Untuk resonansi suara
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika
berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan
resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara sengau
(rinolalia).
6. Membantu proses bicara
Hidung membantu proses pembentukan kata kata. Kata dibentuk
oleh lidah, bibir, dan palatum molle. Pada pembentukan konsonan
nasal rongga mulut tertutup dan hidung terbuka, palatum molle
akan turun untuk aliran udara.
7. Refleks nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan
dengan saluran cerna, kardiovaskuler, dan pernafasan. Misalnya
iritasi mukosa hidung menyebabkan refleks bersin dan nafas
terhenti. Rangsang bau tertentu menyebabkan sekresi kelenjar liur,
lambung, dan pankreas.
2.5 Epistaksis
2.5.1 Definisi
2.5.2 Etiologi
1) Lokal
a) Trauma
Perdarahan dapat terjadi karena trauma ringan misalnya
mengorek hidung, benturan ringan, bersin atau mengeluarkan
ingus terlalu keras, atau sebagai akibat trauma yang lebih hebat
seperti kena pukul, jatuh atau kecelakaan lalu lintas. Selain itu
epistaksis juga bisa terjadi akibat adanya benda asing tajam atau
trauma pembedahan.
Epistaksis sering juga terjadi karena adanya spina septum
yang tajam. Perdarahan dapat terjadi di tempat spina itu sendiri
atau pada mukosa konka yang berhadapan bila konka itu sedang
mengalami pembengkakan. Bagian anterior pernafasan yang
cenderung mengeringkan sekresi hidung. Pembentukan krusta
yang keras dan usaha melepaskan dengan jari menimbulkan
trauma digital. Pengeluaran krusta berulang menyebabkan erosi
membrana mukosa septum dan kemudian perdarahan.
Benda asing yang berada di hidung dapat menyebabkan
trauma lokal, misalnya pada pipa nasogastrik dan pipa
nasotrakea yang menyebabkan trauma pada mukosa hidung.
Trauma hidung dan wajah sering menyebabkan epistaksis. Jika
perdarahan disebabkan karena laserasi minimal dari mukosa
biasanya perdarahan yang terjadi sedikit tetapi trauma wajah
yang berat dapat menyebabkan perdarahan yang banyak.
b) Infeksi lokal
Epistaksis bisa terjadi pada infeksi hidung dan sinus paranasal
seperti rhinitis atau sinusitis. Bisa juga pada infeksi spesifik
seperti rinitis jamur, tuberkulosis, lupus, sifilis atau lepra.
Infeksi akan menyebabkan inflamasi yang akan merusak
mukosa. Inflamasi akan menyebabkan peningkatan
permeabilitas pembuluh darah setempat sehingga memudahkan
terjadinya perdarahan di hidung.
c) Neoplasma
Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya
sedikit dan intermitten, kadang kadang ditandai dengan mukus
yang bernoda darah, Hemangioma, angiofibroma dapat
menyebabkan epistaksis berat. Karena pada tumor terjadi
pertumbuhan sel yang abnormal dan pembentukan pembuluh
darah yang baru (neovaskularisasi) yang bersifat rapuh sehingga
memudahkan terjadinya perdarahan.
Gambar 3 : Epistaksis pada Neoplasma
d) Kelainan kongenital
Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis ialah
perdarahan telangiektasis heriditer (hereditary hemorrhagic
telangiectasia/ Oslers disease). Juga sering terjadi pada Von
Willendbrand Disease. Telengiectasis Hemorragic Hereditary
adalah kelainan bentuk pembuluh darah dimana terjadi
pelebaran kapiler yang bersifat rapuh sehingga memudahkan
terjadinya perdarahan.
f) Pengaruh lingkungan
Kelembaban udara yang rendah dapat menyebabkan iritasi
mukosa. Epistaksis sering terjadi pada udara yang kering dan
saat musim dingin yang disebabkan oleh dehumidifikasi mukosa
nasal selain itu bisa disebabkan oleh zat zat kimia yang
bersifat korosif yang dapat menyebabkan kekeringan mukosa
sehingga pembuluh darah gampang pecah.
2) Sistemik
a) Kelainan darah
Kelainan darah penyebab epistaksis antara lain leukemia,
trombositopenia, bermacam macam anemia serta hemofilia.
b) Penyakit kardiovaskuler
Hipertensi dan kelainan pembuluh darah, seperti pada
aterosklerosis, sirosis hepatis, diabetes melitus dapat
menyebabkan epistaksis. Epistaksis akibat hipertensi biasanya
hebat, sering kambuh dan prognosisnya tidak baik.
1. Hipertensi
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik lebih
dari 140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90
mmHg. Epistaksis sering terjadi pada tekanan darah tinggi
karena kerapuhan pembuluh darah yang disebabkana oleh
penyakit hipertensi yang kronis terjadilah kontraksi
pembuluh darah terus menerus yang mengakibatkan
mudah pecahnya pembuluh darah yang tipis.
2. Arteriosklerosis
Pada arteriosklerosis terjadi kekakuan pembuluh darah. Jika
terjadi keadaan tekanana darah meningkat, pembuluh
darah tidak bisa mengompensasi dengan vasodilatasi,
menyebabkan rupture dari pembuluh darah.
3. Sirosis hepatis
Hati merupakan organ penting bagi sintesis protein
protein yang berkaitan dengan koagulasi darah, misalnya :
membentuk fibrinogen, protrombin, faktor V, VII, IX, X dan
vit K. Pada sirosis hepatis fungsi sintesis protein protein
dan vitamin yang dibutuhkan untuk pembekuan darah
terganggu sehingga mudah terjadinya perdarahan.
Sehingga epistaksis bisa terjadi pada penderita sirosis
hepatis.
4. Diabetes mellitus
Terjadi peningkatan gula darah yang menyebabkan
kerusakan mikroangiopati dan makroangiopati. Kadar gula
darah yang tinggi dapat menyebabkan sel endothelial pada
pembuluh darah mengambil glukosa lebih dari normal
sehingga terbentuklah lebih banyak glikoprotein pada
permukaannya dan hal ini juga menyebabkan basal
membran semakin menebal dan lemah. Dinding pembuluh
darah menjadi lebih tebal tapi lemah sehingga mudah
terjadi perdarahan. Sehingga epistaksis dapat terjadi pada
pasien diabetes mellitus.
c) Infeksi sistemik akut
Demam berdarah, demam typhoid, influenza, morbili, demam
tifoid
d) Gangguan hormonal
Pada saat hamil terjadi peningkatan estrogen dan progestron
yang tinggi di pembuluh darah yang menuju ke semua
membran mukosa di tubuh termasuk di hidung yang
menyebabkan mukosa bengkak dan rapuh dan akhirnya
terjadinya epistaksis.
2.5.3 Patofisiologi
Menentukan sumber perdarahan amat penting, meskipun kadang
kadang sukar ditanggulangi. Pada umumnya terdapat dua sumber
perdarahan, yaitu dari bagian anterior dan posterior.
1) Epistaksis anterior
Kebanyakan berasal dari pleksus Kiesselbach di septum bagian
anterior atau dari arteri etmoidalis anterior. Perdarahan pada
septum anterior biasanya ringan karena keadaan mukosa yang
hiperemis atau kebiasaan mengorek hidung dan kebanyakan terjadi
pada anak, seringkali berulang dan dapat berhenti sendiri.
2) Epistaksis posterior
Dapat berasal dari arteri etmoidalis posterior atau arteri
sphenopalatina. Perdarahan biasanya lebih hebat dan jarang dapat
berhasil sendiri. Sering ditemukan pada pasien dengan hipertensi,
arteriosklerosis atau pasien dengan penyakit kardiovaskuler karena
pecahnya arteri sphenopalatina.
Gambar 5 : Epistaksis Anterior dan Posterior
a) Rinoskopi anterior
Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari anterior ke
posterior, vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi , dinding
lateral hidung dan konkha inferior harus diperiksa dengan cermat.
b) Rinoskopi posterior
Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada
pasien dengan epistaksis berulang dan sekret hidung.
c) Pengukuran tekanan darah
Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis
hipertensi, karena hipertensi dapat menyebabkan epistaksis yang
hebat dan sering berulang.
d) Rontgen sinus dan CT- Scan atau MRI
Rontgen sinus dan CT- scan atau MRI penting mengenali neoplasma
atau infeksi
e) Endoskopi hidung untuk melihat atau menyingkirkan kemungkinan
penyakit lainnya.
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA