Ketikan Aprian
Ketikan Aprian
Adanya information
opacity menyebabkan bank enggan untuk menyalurkan dananya ke UKM
kalaupun bersedia, bank akan meminta imbal hasil yang lebih tinggi
sebagai kompensasi potensi meningkatnya jumlah kredit bermasalah
sebagai akibat kesalahan memilih debitur (adverse selection). Untuk
meminimalisasi resiko ini, bank seharusnya menggunakan alat seleksi
yang efektif untuk membedakan mana debitur yang akan menjadi gagal
bayar atau lancer setelah bank menyetujui permohonan pembiayaannya.
Information opacity dari UKM bukan hanya menjadi masalah bagi bank
pada waktu seleksi, namun juga terjadi selama periode pembiayaan
berjalan. Ditambah lagi, nilai pembiayaan yang diberikan ke UKM
umumnya adalah kecil-kecil, namun jumlahnya sangat banyak. Kondisi ini
disebut dengan granularity dan menyebabkan biaya pengawasan yang
sangat besar bagi bank. Pada akhirnya, hal ini dapat menurunkan efisiensi
operasionalitas bank itu sendiri. Oleh karena itu, bank yang melayani
sector UKM dipaksa untuk memiliki alat pengawasan yang efektif dan
efisien.
Jadi basis penetapan nilai utang adalah pada harga yang terbentuk dan
bukan pada nilai atau harga perolerhan jual belinya. Dengan sifat ini akad-
akad ini sering kali disebut sebagai quasi-fixed income based product.
Sekali harga telah ditetapkan, maka sisa pembayaran langsung menjadi
utang debitur dan tidak boleh mengalami perubahan setelahnya. Denda,
dalam bentuk penalti, atas keterlambatan pembayaran utang tidak boleh
menjadi sumber pendapatan bank. Penyaluran dana dendas (penalti)
tidak boleh menghilangkan identitas debitur yang didenda.
Konsekuensinya adalah pada waktu menetapkan margin, sebagai satu-
satunya sumber pendapatan, bank harus mempertimbangkan berbagai
kemungkinan perubahan kondisi pasar agar tingkat marginnya tetap
kompetitif terhadap debitur maupun kepada nasabah.
Berbeda dengan kelompok akad berbasis pertukaran (jual beli dan ijarah),
realisasi bagi hasil pada akad-akad syirkah, yakni mudharabah dan
musyarakah, sangat fleksibel mengikuti dinamika pasar. Keyika pasar
sedang baik dan bertumbuh, maka bank akian memperoleh imbal hasilm
lebih besar, dan demikian pula dengan nasabah. Sebaliknya, ketika
kondisi bisnis sedang lesu dan stagnan, bahkan negative, bank akan
mentransfer risiko tersebut kepada nasabah. Sekilas, akad ini sangat
menguntukngkan bagi bank. Namun jika terlena daslas kondisi teoritis ini,
dikemudian hari, bank askan ditinggalkan nasabahnya dan berpindahke
bank lain yang memberikan tingkat imbal hasuil yang lebih baik. Dengan
logika ini, sangat wajar jika sampai saat ini, struktur portofolio
pembiayaan bank Islam di Indonesia masih didominasi akad berbasis jual
beli, yakni murabahah. Sebabnya adalah murabhah menjamin tingkat
pengembalian yang lebih pasti melalui margin yang ditetapkan di awal.