Anda di halaman 1dari 4

mengelola bisnis (track record) yang memadai.

Adanya information
opacity menyebabkan bank enggan untuk menyalurkan dananya ke UKM
kalaupun bersedia, bank akan meminta imbal hasil yang lebih tinggi
sebagai kompensasi potensi meningkatnya jumlah kredit bermasalah
sebagai akibat kesalahan memilih debitur (adverse selection). Untuk
meminimalisasi resiko ini, bank seharusnya menggunakan alat seleksi
yang efektif untuk membedakan mana debitur yang akan menjadi gagal
bayar atau lancer setelah bank menyetujui permohonan pembiayaannya.

Information opacity dari UKM bukan hanya menjadi masalah bagi bank
pada waktu seleksi, namun juga terjadi selama periode pembiayaan
berjalan. Ditambah lagi, nilai pembiayaan yang diberikan ke UKM
umumnya adalah kecil-kecil, namun jumlahnya sangat banyak. Kondisi ini
disebut dengan granularity dan menyebabkan biaya pengawasan yang
sangat besar bagi bank. Pada akhirnya, hal ini dapat menurunkan efisiensi
operasionalitas bank itu sendiri. Oleh karena itu, bank yang melayani
sector UKM dipaksa untuk memiliki alat pengawasan yang efektif dan
efisien.

Masalah adverse selection dan granularity ini dapat menyebabkan bank


membatasi penyaluran dananya ke sektor UKM. Meskipun secara realitas,
UKM merupakan pilar utama pendorong pembangunan ekonomi di
Indonesia. UKM membantu menciptakan pertumbuhasn dan laspangasn
kerja. Selain itu, secara portofolio, UKM lebih fleksibel dan mudah
berdabtasi terhadap pasang surut dan arah permintaan pasar (Indonesia
policy briefs, 2005). Bahkan dilihat dari jumlah penyerapan tenaga kerja
dan kontribusinya pada perekonomian, uKM di Indonesia pada 2008 saja
sudah mencapai 43,46 juta unit (atau sekitar 99,9% dari total unit usaha)
dengan penyerapan tenaga kerja sebesar 79,01 juta orang (atau 99,4%
dari total angkatan kerja) dan berkontribusi sebesar 56,7% dari total PDB
nasional (BPS, 2008).
Meskipun demikian, bank Islam tetap berkoimitmen untuk
mengembangkan untuk mengembangkan sektor riil. Hal ini dapat
ditunjukan dengan porsi pembiayaan untuk UKM yang konsisten pada
level 70% dari portofolio pembiayaan yuang diberikan. Bukan rahasia lagi
bahwa sektor UKM merupakan sektor dengan imbal hasil yang sangat
tinggi, lebih tinggi dibandingkan korporasi. Al ghunmu bil ghurmi. High
risk high return. Itulah sunnatullah, jika ingin imbal hasil yang tinggi, maka
bersiaplah menanggung risiko yang tinggi. Jika bank Islam mampu
mengelola segmen ini dengan lebih baik, bukan tidak mungkin predikat
bank dengan pembiayaan mikro (mikro financing) terbaik dapat diambil
alih dari BRI. Untuk itu, selain infrastruktur untuk mampu menjamah
sektor UKM ini, dimana lazimnya ada di daerah urban, sitem manajemen
risiko bank Islam perlu disiapkan untuk meminimalisasi risiko salah pilih
(adverse selection) dan menekan biaya pengawasan yang diperlukan.

Karakteristik Akad pembiayaan

Dalam menyalurkan dananya bank konvensional menggunakan skema


kredit. Melalui skema ini, bank dapat meminta imbal hasil yang bersifat
pasti pada debitur dalam bentuk bunga. Dalam kondisi apa pun, bank
tetap berhak atas bunga sebagaimana kermbalinya modsal yang
dipinjamkan. Bahkan untuk menjamin kembalinya modal plus bunga,
bank dapat meminta jaminan berupa agunan atau jaminan pihak ketiga.
Dengan alat mitigasi ini, bank dapat meminimalkan risiko terjadinya moral
hazard yang mungkin dilakukan debitur melalui pemberian laporan
keuangan yang salah. Demikian juga dengan risiko bisnis yang debitur
hadapi. Debitur berhasil atau bgagal dalam bisnisnya, menipu dalam
laporan keuangan atau jujur dalam penyajiannya, semuanya tidak
memiliki efek terhadap hak claim bank atas bunga dan pokok pinjaman.
Satu-satunya factor risiko keuangan yang muncul adalah risiko gagal
bayar debitur. Debitur dikatakan gagal bayar jika tidak mampu membayar
pokok pinjaman dan bunganya atau salah satu dari keduanya.
Sayangnya, skema kredit ini tidak dapat diaplikasikan sebagai sumber
pendapatan didalam operasi bank islam. Dalam syariah islam, tidak
diperkenankan adanya tambahan manfaat atau keuntungan yang
dipersyaratkan dalam pengembalian utang. Pada hakikatnya, skema
kredit dalam bank konvensional adalah bentuk utang, dimana Bungan
merupakan bentuk riba yang terlarang. Dalam islam, utang terhitung
senilai jumlah nominal yang diterima dan wajib dikembalikan sesuai nilai
normal tersebut. Dengasn prinsip ini, tidak ada potensi untuk
menggunakan pendekatan indeksisasi atau lebih dikenal dengan proses
pendiskontoan nilai uang dalam bab utang piutang. Lebih jauh, bank islam
memiliki cakupan akad pembiayaan yang jauh lebih luas daripada bank
konvensional, seperti qardhul hasan, jual beli murabahah, jual beli saham,
jual beli muajjal (bi tsaman ajil), ijarah,mudharabah, musyarakah,
musaqat, dan muzaraah.

Satu-satunya akad pembiayaan dimana bank dilarang mengambil


keuntungan adalah akad pinjaman (qardhul hasan). Biaya administrasi,
dan berbagai bentuk biaya lainnya, hanya diperbolehkan dibebankan ke
debitur jika benar-benar untuk kepentingan debitur dan sesuai dengan
besarnya biaya actual yang dibayarkan terlebih dahulu oleh bank. Jadi
prinsipnya adalah system reimburshemente dan bukan alokasi biaya
overhead bank kepada debitur, apalagi untuk menutupi biaya peluang
(opportunity cost).

Kelompok akad berikutnya adalah pembiayaan berbasis jual beli, seperti


jual beli murabahah, jual beli salam, dan jual beli muajjal (bi tsaman ajil),
serta ijarah. Meskipun berujung pada bentuk hutang, namun
kemungkinan bagii bank islam untuk mengambil untung atau margin.
Harga yang terbentuk dari berbagai akad ini terdiri atas harga pokok
ditambah dengan margin keuntungan atau dapat dituliskan sebagai
berikut.
P= HPP + Margin

Jadi basis penetapan nilai utang adalah pada harga yang terbentuk dan
bukan pada nilai atau harga perolerhan jual belinya. Dengan sifat ini akad-
akad ini sering kali disebut sebagai quasi-fixed income based product.
Sekali harga telah ditetapkan, maka sisa pembayaran langsung menjadi
utang debitur dan tidak boleh mengalami perubahan setelahnya. Denda,
dalam bentuk penalti, atas keterlambatan pembayaran utang tidak boleh
menjadi sumber pendapatan bank. Penyaluran dana dendas (penalti)
tidak boleh menghilangkan identitas debitur yang didenda.
Konsekuensinya adalah pada waktu menetapkan margin, sebagai satu-
satunya sumber pendapatan, bank harus mempertimbangkan berbagai
kemungkinan perubahan kondisi pasar agar tingkat marginnya tetap
kompetitif terhadap debitur maupun kepada nasabah.

Berbeda dengan kelompok akad berbasis pertukaran (jual beli dan ijarah),
realisasi bagi hasil pada akad-akad syirkah, yakni mudharabah dan
musyarakah, sangat fleksibel mengikuti dinamika pasar. Keyika pasar
sedang baik dan bertumbuh, maka bank akian memperoleh imbal hasilm
lebih besar, dan demikian pula dengan nasabah. Sebaliknya, ketika
kondisi bisnis sedang lesu dan stagnan, bahkan negative, bank akan
mentransfer risiko tersebut kepada nasabah. Sekilas, akad ini sangat
menguntukngkan bagi bank. Namun jika terlena daslas kondisi teoritis ini,
dikemudian hari, bank askan ditinggalkan nasabahnya dan berpindahke
bank lain yang memberikan tingkat imbal hasuil yang lebih baik. Dengan
logika ini, sangat wajar jika sampai saat ini, struktur portofolio
pembiayaan bank Islam di Indonesia masih didominasi akad berbasis jual
beli, yakni murabahah. Sebabnya adalah murabhah menjamin tingkat
pengembalian yang lebih pasti melalui margin yang ditetapkan di awal.

Anda mungkin juga menyukai