Anda di halaman 1dari 44

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Pernyataan Masalah


Panas diketahui dapat berpindah dari tempat dengan temperatur lebih
tinggi ke tempat dengan temperatur lebih rendah. Hukum pencampuran panas
juga terjadi karena panas itu berpindah, sedangkan pada kalorimeter, perpindahan
panas dapat terjadi dalam bentuk pertukaran panas dengan luar sistem. Jadi,
pemberian atau pengurangan panas tidak saja mengubah temperatur atau fasa zat
suatu benda secara lokal, melainkan panas itu merambat dari benda atau tempat
lain. Peristiwa ini disebut perpindahan panas.
Tenaga panas dari suatu bagian benda bertemperatur lebih tinggi akan
mengalir melalui zat benda itu ke bagian lainnya yang bertemperatur lebih rendah.
Zat atau partikel zat dari benda yang dilalui panas ini sendiri tidak mengalir
sehingga tenaga panas berpindah dari satu partikel ke lain partikel dan mencapai
bagian yang dituju. Perpindahan panas secara ini disebut konduksi panas (arus
panasnya adalah arus panas konduksi dan zatnya itu mempunyai sifat konduksi
panas). Konduksi panas ini bergantung kepada zat yang dilaluinya dan juga
kepada distribusi temperatur dari bagian benda sedangkan, menurut penyelidikan,
selanjutnya juga bergantung sedikit banyak kepada temperatur itu sendiri.
Berlangsungnya konduksi panas melalui zat dapat diketahui oleh perubahan
temperatur yang terjadi (Ridwana, 2013).
Pada praktikum ini akan dilaksanakan percobaan untuk memahami
perpindahan panas secara konduksi pada aliran linier dan radial serta menghitung
konduktivitas termal dari aluminium, brass dan stainless steel.

1.2 Tujuan Percobaan


1. Menentukan konduktivitas temal pada linear heat conduction pada
berbagai bahan (aluminium, brass dan stainless steel).
2. Menentukan konduktivitas termal pada radial heat conduction.
3. Memahami penggunaan hukum fourier pada perpindahan panas konduksi

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Perpindahan Panas


Perpindahan panas (atau kalor) ialah energi termal dalam ruang tertentu
yang mengalami perpindahan karena perbedaan suhu. Secara umum, terdapat tiga
cara perpindahan panas, yakni secara konduksi, konveksi, dan radiasi. Ketika
perbedaan suhu ada dalam medium yang diam (dapat padatan atau fluida) maka
disebut konduksi dan panas berpindah melintasi medium. Sementara konveksi
merujuk pada perpindahan panas yang terjadi antara permukaan dan fluida yang
bergerak ketika masing-masing berada pada temperatur yang berbeda. Terakhir,
semua permukaan sebenarnya mengemisikan energi dalam bentuk gelombang
elektromagnetik. Sehingga, ketika tidak ada intervensi medium, total transfer
energi ialah radiasi antara dua permukaan pada suhu yang berbeda (Bergman dkk.,
2005)

Gambar 2.1 Konduksi, konveksi, dan radiasi (McCabe dkk., 1993).


Perpindahan panas adalah salah satu faktor yang sangat menentukan
operasional suatu pabrik kimia. Perpindahan panas selalu terjadi dalam kombinasi
dengan unit operasi lain seperti; destilasi, evaporasi dan drying. Penyelesaian
soal-soal perpindahan kalor secara kuantitatif biasanya didasarkan pada neraca
energi dan perkiraan laju perpindahan kalor (Geankoplis, 1995). Ada beberapa
alat penukar panas yang umum digunakan pada industri. Alat-alat penukar panas
tersebut antara lain: double pipe, shell and tube, plate-frame, spiral, dan lamella
(McCabe dkk., 1993).
2.2. Perpindahan Panas secara Konduksi

2
Konduksi berhubungan dengan konsep aktivitas atomik dan molekular.
Konduksi dapat dilihat sebagai perpindahan energi dari zat partikel yang lebih
berenergi ke yang kurang berenergi dikarenakan interaksi antar partikel.
Mekanisme ini dapat dijelaskan menggunakan gambaran gas ideal dalam konsep
termodinamika dengan mengasumsikan tidak ada gerakan makroskopik atau bulk.
Gambar 2.1 menunjukkan partikel gas yang menempati ruang antara dua
permukaan yang berbeda suhunya. Suhu yang lebih tinggi berhuungan dengan
energi molekular yang tinggi. Ketika molekul yang berdekatan saling
bertumbukan, maka akan terjadi perpindahan energi dari molekul yang lebih
berenergi ke yang lebih rendah. Adanya perbedaan suhu menyebabkan
perpindahan ini terjadi dalam arah penurunan suhu. Dapat dikatakan perpindahan
panas akibat gerakan acak molekular sebagai difusi energi. Hal ini benar bahkan
bila tanpa peristiwa tumbukan. Misalnya dalam benda padat, konduksi terjadi
karena aktivitas atomik dalam bentuk vibrasi lattice (kisi). (Bergman dkk., 2005)

Gambar 2.1 Aktivitas molekular yang menyebabkan perpindahan panas secara


konduksi (Bergman dkk., 2005)

Difusi termal melalui benda padat diatur dalam Hukum Fourier, dimana
jika dalam satu dimensi dinyatakan sebagai
dQ dT
=kA
dt dx

(2.1)
Atau bila dinyatakan dalam fluks panas

3
q x = {dQ} over {Adt} = -k {dT} over {dx}

(2.2)
dQ/dt (kuantitas per satuan waktu) adalah laju alir panas, A ialah luas daerah yang
searah dengan laju alir, dan -dT/dx ialah laju perubahan suhu terhadap jarak aliran
panas, atau disebut gradien suhu. Faktor k disebut sebagai konduktivitas termal,
yaitu sifat karakteristik benda dimana panas mengalir dan bervariasi terhadap
temperatur (Knudson dkk., 1995).

2.3. Konduktivitas Termal k dan Penentuan Eksperimentalnya


Dapat dilihat pada persamaan 2.1, bahwa konduktivitas termal bahan atau
k harus diketahui. Nilai ini merujuk pada sifat angkut (transport property), yang
mengindikasikan laju saat energi dipindahkan oleh proses difusi yang bergantung
pada struktur fisik, atom, serta molekular bahan yang berkaitan dengan keadaan
bahan. Pengangkutan energi termal dapat diakibatkan oleh perpindahan elektron
bebas dan karena gelombang vibrasi kisi (phonon). Kontribusi elektron dominan
pada logam murni, sebaliknya kontribusi phonon dominan dalam bahan
nonkonduktor dan semikonduktor (Bergman dkk., 2005).
Ada banyak metode yang tersedia untuk menemtukan konduktivitas termal

suatu bahan, misalnya teknik steady state (absolut atau komparatif), teknik 3 ,

dan pengukuran difusivitas termal. Teknik-teknik tersebut memiliki keuntungan


sekaligus batasan tersendiri terkait geometri spesifik sampel, misalnya saja teknik

3 digunakan untuk thin film (Tritt, 2004). Beberapa teknik yang dapat

dilakukan untuk mengukur konduktivitas termal berdasarkan kondisi operasi dan


keadaan bahannya adalah sebagai berikut ;
2.3.1. Metode steady state Pada Bahan Padat
Penentuan konduktansi termal dari sampel ialah pengukuran sifat angkut
solid state dimana perbedaan suhu diseluruh sampel diukur sebagai respon dari
sejumlah daya pemanasan yang diberikan. Konduktivitas termal ialah slope dari

hubungan daya versus perubahan suhu T pada suhu basis suhu dasar yang

tetap dan dimensi sampel yang sama. Teknik steady state ini memerlukan aliran

4
panas ke sampel yang seragam, sehingga diperlukan heat sinking sampel pada
suhu dasar yang stabil begitu pula dengan heater dan termokopel pada sampel.

5
Contohnya yaitu dengan menggunakan kawat termokopel dengan diameter
yang kecil (0.001 in.) dan memiliki konduktivitas termal yang rendah, seperti
kawat krom (Tritt, 2004).
Peralatan yang digunakan untuk menentukan konduktivitas termal benda
dapat dilihat pada Gambar 2.3.

a) b)

Gambar 2.3 Peralatan pengukur konduktivitas a) double water jacket; b)single


water jacket (Tritt, 2004).
Peralatan a) terdiri dari plat pemanas elektrik, dua spesimen uji yang
identik dimana panas mengalir, dan dua water jacket yang menghilangkan panas.
Suhu pada kedua sisi muka spesimen dan pada sisi-sisi lainnya diukur
menggunakan thermocouple. Cincin pengaman (guard ring) digunakan untuk
menjamin bahwa semua panas masuk yang terukur pada plat melewati spesimen,
nilai kalor hilang dari sisi-sisinya dapat diabaikan. Guard ring terletak pada
sekeliling rangkaian uji dan terdiri dari auxiliary heater yang diselipkan diantara
material yang akan diuji. Ketika arus memasuki plat pemanas, masukan pada
auxiliary heater disesuaikan sehingga tidak ada perbedaan suhu antara spesimen
dan titik yang berdekatan dalam guard ring. Percobaan dilakukan ketika panas
masuk dan suhu di sisi muka antara spesimen sudah steady (tunak). Peralatan b)
juga terdiri dari heater power, termokopel, dan water jacket pada dasar peralatan.
Perbedaannya ialah pada peralatan b) heater diletakkan diatas spesimen, dan
spesimen terpasang pada sistem removable sehingga mudah dilepas pasang (Kern,
1965; Tritt, 2004).

6
Nilai k dari pengukuran steady state dapat dihitungdengan persamaan 2.3.
QL
k=
TA

(2.3)

dengan Q sebanding dengan I2 R atau VI Joule dari daya dari power

supply.

2.3.2. Metode Komparatif


Pada teknik ini juga dilakukan pendekatan steady state, dengan bahan
standar yang telah diketahui nilai k-nya diletakkan berdampingan (seri) antara
pemanas dan sampel. Dapat diigunakan ketika konduktivitas termal standar
sebanding dengan sampel, namun pengukurannya lebih berpotensi error
dikarenakan pengaruh kontak termal (Tritt, 2004).

Gambar 2.4 Konfigurasi pengukuran konduktivitas termal metode komparatif


(Tritt, 2004).
Daya melewati standar k1 sama dengan daya melewati sampel k2 , dan jika
konduktivitas termal k1 diketahui, maka konduktivitas termal sampel kedua, k2,
ialah
k 2=k 1 ( A 1 T 1 L1 / A2 T 2 L2 )

(2.4)

2.3.3. Metode Aliran Radial

7
Metode aliran panas konvensional (arah longitudinal/linear) dapat
menguntungkan pada temperatur rendah, namun kesalahan pengukuran yang
serius dapat terjadi pada suhu tinggi karena panas hilang akibat radiasi langsung
dari pemanas dan dari permukaan sampel. Dalam metode aliran panas radial,
panas dimasukkan melalui internal sampel, umumnya untuk meminimalkan
kehilangan akibat radiasi dari sumber panas. Metode aliran radial relatif lebih sulit
untuk diterapkan daripada metode aliran linear, dan umumnya tidak digunakan di
bawah suhu kamar. Diagram ilustrasi dari metode aliran radial ditunjukkan pada
Gambar 2.5.

Gambar 2.5 Konfigurasi pengukuran konduktivitas termal metode aliran radial


(Tritt, 2004).
Secara umum, terdapat lima kelas peralatan dalam metode aliran radial
berdasarkan geometrinya, yaitu (Tritt, 2004):
Kelas 1: Kelas paling sederhana berupa geometri silinder dengan sumber daya
berada pada sentral dan diasumsikan panjang tak terbatas.
Kelas 2: Silinder yang terdiri dari kepingan-kepingan yang ditumpuk serta sumber
berada pada sentral, memiliki panjang terbatas.
Kelas 3: Geometri speris dan elips dengan sumber panas yang tertutup sempurna.
Sedikit rumit dalam persiapan sampel
Kelas 4: Sampel silindris konsentrik terdiri dari bahan yang konduktivitas
termalnya diketahui dengan yang tidak dimana sumber panas berada
pada sentral geometri dan perhitungan menggunakan teknik komparatif
Kelas 5: Sampel dengan sistem self-heating secara elektrik, memiliki geometri
silinder dimana distribusi suhu radial dianalisa.

8
Pada analisa radial steady state, suhu diukur pada dua radius berbeda. Panas yang
mengalir antara dua radius r1 dan r2 dan diasumsikan tidak ada panas yang hilang
secara longitudinal, maka konduktivitas termal k ialah
r1
dr
P=k [ T r 1T r 2 ] / (2.5)
r 2 2 r

r2

k=
Pln
( )
r1
2 L T

(2.6)

Dimana P adalah energi masuk per satuan waktu, L adalah panjang

sampel, T adalah perbedaan suhu antara termokopel, dan r1 dan r2 adalah

posisi radial dari termokopel bagian dalam dan bagian luar, berturut-turut.

2.3.4. Metode Pengukuran Nilai k untuk Cairan dan Gas


Pengukuran konduktivitas cairan dan gas dapat dikatakan lebih sulit
dibandingkan padatan. Jika panas mengalir melalui lapisan tebal cairan atau gas,
maka yang terukur ialah konveksi bebas. Sehingga, untuk mengurangi efek
konveksi, digunakan lapisan yang sangat tipis dan memiliki perbedaan suhu yang
rendah. Metode yang dapat diterapkn pada fluida viskos terdiri dari kawat elektrik
yang dilewati dalam tabung berisi cairan uji. Tabung tersebut dicelupkan dalam
constant-temperature bath. Lalu, resistansi kawat terhadap suhunya dikalibrasi.
Konduktivitas dihitung dari nilai laju panas masuk dan suhu kawat yang dicapai
menggunakan persamaan yang sesuai.

9
Gambar 2.6 Peralatan konduktivitas cairan (Kern, 1965).
Salah satunya ialah metode Bridgman dan Smith, yang mana terdiri dari
anulus fluida yang sangat tipis diantara dua silinder tembaga yang dicelupkan
dalam constant-temperature bath seperti pada Gambar 2.4. Panas disuplai
kedalam silinder oleh kawat yang dialirkan dari film hingga dihilangkan ke bagian
luar silinder dengan bath. Reservoir digunakan untuk memastikan bahwa anulus
penuh oleh cairan dan sesuai bila fluida berupa gas. Ketebelan film adalah 1/64
in.dan perbedaan temperatur dijaga agar tetap kecil (Kern, 1965).

2.4. Persamaan Fluks Panas Konduksi


Hukum Fourier, seperti pada persamaan 2.2, mengimplikasikan bahwa
fluks panas merupakan besaran yang bergantung pada arah (vektor). Sehingga,
qx adalah fluks yang arahnya tegak lurus terhadap luas penampang A. Lebih
umum, arah aliran panas akan selalu normal terhadap permukaan yang suhu nya
konstan,atau disebut permukaan isotermal. Tanda negatif pada persamaan 2.2
dikarenakan arah aliran panas ialah menuju suhu yang rendah, seperti yang
diilustrasikan pada Gambar 2.7.

Gambar 2.7 Arah aliran panas satu dimensi (Kern, 1965).


Dengan begitu, fluks panas merupakan kuantitas vektor, yang dapat ditulis
dalam persamaan umum laju konduksi sebagai berikut:
q = -k T = k( i {T} over {x} + j {T} over {y} + k {T} over {z} )

(2.7)
adalah operator del tiga dimensi dan T (x,y,z) adalah bidang temperatur

skalar. Bentuk alternatif dari hukum Fourier ialah

10
T
q = {q} rsub {n} n=k n
x

(2.8)
Saat distribusi suhu telah diketahi, maka fluks panas konduksi pada setiap titik
dalam medium atau dalam permukaannya dapat dihitung dari persamaan Fourier.
Distribusi suhu ini dapat dinyatakan dalam koordinat kartesian, silindris, dan
speris. Pendekatan yang digunakan ialah menerapkan neraca energi pada volume
kontrol diferensial (Bergman dkk., 2005). Persamaan yang digunakan untuk setiap
jenis koordinat tersebut dapat dilihat sebagai berikut

Tabel 2.1 Persamaan Konduksi Panas pada Koordinat Tertentu


Kartesian (x,y,z)

T T T T
c = ( ) ( ) ( )
k + k +
t x x y y z z
k + q


Komponen vektor fluks panas q^ , adalah :
T T
q^ x =k q^ y =k
x ; y ;

T
q^ z=k
z

Silindris (r, ,z)

11
T 1 T 1 T T
c =
t r r
kr ( + k) + k
r r2 z z( ) ( )
+ q


Komponen vektor fluks panas q^ , adalah :
T k T T
q^ r=k q^ = q^ z=k
r ; r ; z

Speris (r, ,

T 1 2 T 1 T 1 T
c = 2
t r r
kr ( + 2 )
r r sin
ksin + 2 2( k
r sin
+ q ) ( )

Komponen vektor fluks panas q^ , adalah :
T k T k T
q^ r=k q^ = q^ z=
r ; r ; rsin

12
2.5. Perpindahan Panas Konveksi
Konveksi adalah perpindahan panas yang terjadi karena adanya gerakan
molekul (massa) pada fluida seperti udara atau air ketika fluida tersebut
dipanaskan atau menerima panas dari suatu sumber panas. Pada konveksi terjadi
aliran panas melalui suatu bulk dan tejadi gerakan makroskopis atom-atom dari
rezim panas menuju rezim dingin. Contoh konveksi yang cukup baik seperti
terdapat pada proses pendidihan air di dalam suatu bejana. Ketika bejana mulai
dipanaskan, transfer panas pertama dari elemen bawah bejana menuju ke air.
Ketika air mulai mendidih, akan terjadi gelembung-gelembung pada beberapa
bagian permukaan air sehingga permukaan air akan naik.Transfer panas dari air
panas yang berada pada bagian bawah menuju ke air yang lebih dingin pada
permukaan atas terjadi secara konveksi.
Konveksi terjadi dalam dua bentuk yaitu konveksi alami (natural
convection) dan konveksi paksa (forced convection). Pada konveksi alami, fluida
di sekitar sumber panas menerima sumber panas secara alami. Konveksi alami
terjadi karena adanya perbedaan densitas fluida ketika gravitasi dan beberapa
percepatan lainnya berada di dalam sistem. Sedangkan konveksi paksa,
perpindahan panas secara konveksi karena adanya paksaan seperti dengan
menggunakan pompa pada fluida (Geankoplis, 1995).
Kebanyakan dalam praktis industri, panas yang ditransferkan berasal dari
satu fluida ke fluida lain melalui dinding pemisah antara kedua fluida.
Diasumsikan fluida panas pada suhu t1 mengalir melewati sisi dinding logam dan
fluida dingin pada t7 mengalir melewati sisi lain. Seperti yang diperlihatkan pada
Gambar 2.8.

Gambar 2.8 Gradien suhu aliran panas steady oleh konduksi dan konveksi

13
dari fluida panas ke fluida dingin yang dipisahkan oleh
dinding padat Knudson dkk., 1995).
Pada aliran turbulen, ditemukan bahwa, terbentuk zona dimana fluida
berdekatan dengan permukaan dinding lebih tenang, yang disebut sebagai film.
Badan fluida yang semakin dekat dengan dinding cenderung menjadi sedikit
turbulen hingga berkembang menjadi aliran laminer pada daerah yang
bersebelahan dengan dinding. Film ini terdiri dari sebagian daerah dengan aliran
yang bergerak laminar ( laminar sublayer) dan sebagian dimana terjadi
perpindahan panas konduksi molekular. Resistensi lapisan laminar terhadap aliran
panas akan bervariasi bergantung pada ketebelan film(Knudson dkk., 1995).
Untuk menghitung laju konveksi antara sistem dengan lingkungan fluida,
maka digunakan koefisien transfer panas (heat transfer coefficient), h. Tidak
seperti konduktivitas termal (k), koefisien transfer panas tidak dipengaruhi oleh
sifat material (bahan), namun dipengaruhi oleh geometri, fluida, temperatur,
kecepatan dan karakteristik lainnya dari sistem pada konveksi yang terjadi. Oleh
karena itu koefisien transfer panas harus diturunkan secara eksperimental untuk
setiap sistem yang dianalisa. Persamaan dan korelasi dapat diperoleh dari
beberapa referensi untuk menghitung koefisien transfer panas pada beberapa
konfigurasi dan fluida (Bergman dkk., 2005).
Q=h i Ai T i=h o A o T o

(2.9)
Dengan :
Q = Laju perpindahan panas (btu/jam)
hi = Koefisien perpindahan panas pada inside pipe surface (Btu/(Jam)(ft2)(oF)
Ai= Luas permukaan perpindahan panas (ft2)
Ti = Perbedaan temperatur antara inside pipe fluid dengan inside pipe wall (oF)

2.6. Radiasi
Radiasi termal adalah energi yang diemisikan dalam benda yang tereksitasi
karena suhu; kemudian di serap oleh benda lain pada jarak dari sumber yang
bergantung pada jalur bebas rata-rata dari foton yang diemisikan (Knudson, dkk.,
1995). Radiasi tidak memerlukan medium dalam perpindahan panasnya. Radiasi

14
sangat baik terjadi dalam suatu keadaan vakum. Contohnya energi matahari, akan
ditransfer menuju ke bumi melalui space vakum. Berdasarkan pada hukum
Termodinamika II, Boltzman laju perpindahan panas dari sumber menuju ke
receiver dirumuskan dengan menggunakan persamaan :
4
dQ=dA T

(2.10)
dengan:
Q = Laju perpindahan panas (btu/jam)
= Emissivity, dimensionless
= Konstanta Stefan Boltzmann (0,173 x 10-4 btu/(hr)(ft2)(oR4)
T = Temperatur (oR)
Semua benda dapat mengemisikan radiasi. Pada gas dan benda padat
semitransparan, seperti gelas dan kristal pada suhu yang tinggi, maka peristiwa
emisi dikategorikan dalam fenomena radiasi volumetrik, yaitu radiasi akibat efek
yang terintegrasi dari seluruh volume. Namun, dalam kebanyakan padatan dan
cairan, radiasi yang dipancarkan dari molekul interior diserap lebih kuat oleh
molekul yang berdekatan. Dengan demikian, radiasi yang dipancarkan dari
padatan atau cairan yang dimulai dari molekul adalah yang berada dalam jarak
sekitar 1m dari permukaan yang terkena. Sehingga,untuk alasan ini, emisi dari
padatan atau cair ke dalam gas yang berdampingan atau ruang hampa dapat
dipandang sebagai suatu fenomena permukaan, kecuali dalam situasi yang
melibatkan perangkat nano atau mikro (bergman, dkk., 2005).

15
Gambar 2.9 Proses emisi sebagai fenomena volumetrik (kiri) dan sebagai
fenomena permukaan (bergman, dkk., 2005).

16
BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN

2.1 Alat dan Bahan


2.1.1 Alat yang digunakan
1. HTT10X Heat Trannsfer Service Unit
2. HT11 Linier Heat Conduction Accessory
3. HT12 Radial Heat Conduction Accessory
4. SFT2 Flow Sensor
5. Chart recorder with voltage input (1V=1000C)
2.1.2 Bahan yang digunakan
1. Stainless steel 25 mm
2. Alluminium 25 mm
3. Brass 25 mm
2.2 Persiapan Peralatan
Sebelum melaksanakan praktikum, persiapkan dan pastikan keadaan alat
dalam keadaan baik :
2.2.1 Pada Percobaan 1
1. Alat HT11 Linier Haet Conduction diletakan di samping HT10X Heat
Transfer Service Unit pada tempat yang sesuai. Jepitkan pemanas dan
pendingin ari HT11 bersamaan yang dilapisi dengan thermal paste.
2. Delapan thermocouple dihubungkan pada HT11 dengan soket yang
sesuai pada bagian depan dari unit. Dipastikan label pada
thermocouple (T1-T8) cocok dengan label pada soket.
3. Voltage control potentiometer diset menuju minimum (berlawanan
arah jarum jam) dan di posisikan kepilihan manual kemudian
dihubungkan sumber arus dari HT11 kesoket bertanda O/P3 pada unit.
4. Suplai air pendingin dipastikan terhubung dengan regulating valve
pada HT11
5. Dipastikan semua unit terhubung dengans umber listrik.

17
2.2.2 Pada Percobaan 2
1. Alat HT12 Radial Haet Conduction diletakan di samping HT10X
Heat Transfer Service Unit pada tempat yang sesuai. Jepitkan
pemanas dan pendingin dari HT11 bersamaan yang dilapisi dengan
thermal paste.
2. Delapan thermocouple pada HT12 dihubungkan dengans oket yang
sesuai pada bagian depan dari unit. Dipastikan label pada
thermocouple cocok dengan label pada soket.
3. Voltage control potentiometer set menuju minimum (berlawanan arah
jarum jam) dan diposisikan kepilihan manual kemudian dihubungkan
sumber arus dari HT12 kesoket bertanda O/P3 pada unit.
4. Suplai air pendingin dipastikan terhubung dengan regulating valve
pada HT12
5. Dipastikan semua unit terhubung dengan sumber listrik.

2.3 Prosedur Percobaan


2.3.1 Percobaan 1
1. Semua unit disiapkan untuk di operasikan
2. Dipasang modul yaitu : brass 25 mm, alluminium 25 mm, dan
stainless steel 25 mm.
3. Air pendingin dialirkan keperalatan percobaan.
4. Tegangan pemanas diatur terlebih dahulu pada posisi V yaitu 3, 4, 5
dan 6.
5. Alat HT11 dipastikan pada keadaan stabil.
6. Ketika saat temperature sudah stabil. Dicatat : T1, T2, T3, T4, T5, T6,
T7, T8 dan dicatat V (Tegangan listrik) dan I (Arus listrik).
7. Dilakukan kembali pada variasi tegangan pemanas 3, 4, 5 dan 6.
8. Kemudian dilakukan percobaan dengan menggunakan bahan yang
berbeda.
2.3.2 Percobaan 2
1. Semua unit dipastikan siap untuk di operasikan.
2. Di pasang modul yaitu : brass.
3. Air pendingin dialirkan keperalatan percobaan.
4. Tegangan pemanas diatur terlebih dahulu pada posisi V yaitu 3, 4, 5
dan 6 .
5. Alat HT12 pastikan pada keadaan stabil.
6. Pada saat temperature sudah stabil. Dicatat: T1, T2, T3, T4, T5,
T6,dan di catat V (Tegangan listrik) dan I (Arus listrik).
7. Dilakukan kembali pada variasi tegangan pemanas 3, 4, 5 dan 6.

18
19
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Percobaan


Pada percobaan perpindahan panas ini dilakukan proses pengukuran kuat
arus (Ampere) dan suhu pada aliran linier dan aliran radial dengan memvariasikan
tegangan yaitu sebesar 2 volt, 3 volt, 5 volt, 6 volt dan 8 volt. Pada aliran linier
suhu yang diukur adalah T1, T3, T6, dan T7 untuk Aluminium 25 mm dan Stainless
steel 25 mm, tetapi untuk Brass 25 mm suhu yang diukur adalah T1, T4, T6, dan T7.
Sedangkan pada aliran radial suhu yang diukur adalah T1, T2, T4, T5, dan T6 untuk
Brass 25 mm. Hasil percobaannya adalah sebagai berikut:

4.1.1 Aliran Linier


a. Aluminium 25 mm
Tabel 4.1 Hasil percobaan aliran linear untuk bahan Aluminium 25 mm.

V (volt) Arus (A) T1 T3 T6 T7


2 0,00017 29,4 28,2 27,6 26,6
3 0,00017 29,7 28,4 27,7 26,7
5 0,0003 30,7 28,8 27,8 27,1
6 0,0004 31,2 28,8 27,9 27,3
8 0,00059 31,9 28,9 28,4 28,2

b. Brass 25 mm
Tabel 4.2 Hasil percobaan aliran linear untuk bahan Brass 25 mm.

V (volt) Arus (A) T1 T4 T6 T7


2 0,0001 30,6 30,4 29,6 29,1
3 0,0001 31,9 31,2 31 30,1
5 0,0003 32,7 32,4 31,1 30,4
6 0,0004 33,4 32,7 31,6 30,7
8 0,00059 33,9 33,2 32,9 31,1

c. Stainless Steel 25 mm
Tabel 4.3 Hasil percobaan aliran linear untuk bahan Stainless steel 25 mm.

V (volt) Arus (A) T1 T3 T6 T7

20
2 0,00004 30,3 28,8 28,1 27,9
3 0,0001 30,6 29,1 28,6 28,2
5 0,0003 31,3 29,8 29 28,6
6 0,0004 31,9 30,1 29,1 28,8
8 0,0006 32,8 30,6 29,4 29,2

4.1.2 Aliran Radial


a. Brass 25 mm
Tabel 4.4 Hasil percobaan aliran radial untuk bahan Brass 25 mm.

V (volt) Arus (A) T1 T2 T4 T5 T6


2 0,00001 31,1 30,2 29,8 29,5 29,3
3 0,0001 32,2 31,2 30,4 30,1 29,6
5 0,0003 33,9 32 31,4 30,7 30,1
6 0,0004 34,3 33,6 31,8 31,1 30,2
8 0,0006 35,7 34,6 32,1 31,4 30,5

4.2 Pembahasan
4.2.1 Aliran Linier
Hasil praktikum diperoleh data-data temperatur (C), Arus (ampere), dengan
variasi tegangan (volt) yaitu 2 volt, 3 volt, 5 volt, 6 volt dan 8 volt untuk
beberapa jenis bahan (modul) yaitu aluminium 25 mm, brass 25 mm dan
stainless steel 25 mm.
Pada praktikum ini, akan dilihat hubungan antara jarak thermocouple
dengan temperatur serta hubungan antara konduktivitas panas dengan temperatur
rata-rata antara literatur dengan hasil percobaan dari masing masing bahan.

a. Aluminium 25 mm

21
34

32

30
V=2
28
Temperature (oC) V=3
26 V=5
24 V=6
V=8
22
0 0.020.040.060.08 0.1

Jarak Thermocouple (m)

Gambar 4.1 Hubungan Antara Temperatur dengan Jarak Thermocouple Pada


Kondisi Linier dengan Bahan Aluminium 25 mm.

Percobaan pertama yaitu mengukur suhu dengan menggunakan


thermocouple untuk jenis bahan aluminium dengan diameter 25 mm. Hasil
pengukuran dari T1, T3, T6, dan T7 menunjukkan kecenderungan yang semakin
menurun untuk setiap variasi tegangan. Temperatur tertinggi adalah pada T1
dengan tegangan 8 volt yaitu sebesar 31,9 C, sedangkan temperatur paling rendah
terdapat pada T7 dengan tegangan 2 volt yaitu sebesar 26,6 C. Dapat dilihat pada
Gambar 4.1 hubungan antara temperatur dengan jarak thermocouple adalah
berbanding terbalik, dimana semakin besar jarak thermocouple maka temperatur
yang mengalir di dalam bahan semakin rendah. Hal ini sesuai dengan prinsip
hukum Fourier, yaitu :

........................................... (1)

q =Q=V. ..................................................................................(2)
I

Dimana:

22
q = Laju perpindahan kalor/panas
k = Konduktivitas termal bahan
A = Luas permukaan bidang hantaran
dT/dx = Gradien suhu kearah perpindahan kalor
V = Tegangan Pemanas
I = Kuat Arus
Dari persamaan hukum Fourier diatas, didapatkan suatu hubungan antara
suhu dan jarak thermocouple, dimana suhu berbanding terbalik dengan jarak.
Sehingga, apabila jarak antar thermocouple semakin besar maka temperatur yang
mengalir didalam bahan akan semakin kecil (Kern, 1965).
Pada Gambar 4.1 juga dapat dilihat bahwa semakin tinggi tegangan maka
temperatur yang mengalir di dalam bahan juga semakin tinggi begitu juga
sebaliknya. Hal ini juga sesuai dengan hukum Fourier dimana hubungan tegangan,
laju perpindahan kalor dan temperatur adalah berbanding lurus.

250

200

150

konduktivitas 100
k literatur
k percobaan
50

0
27.5 28 28.5 29 29.5

Temperature rata-rata (oC)

Gambar 4.2 Hubungan Konduktivitas Panas dengan Temperatur untuk Literatur


dengan Percobaan pada Kondisi Linier dengan Bahan Aluminium 25 mm.

Perbandingan konduktivitas panas antara literatur dan hasil percobaan pada


bahan Aluminium 25 mm dapat dilihat pada Gambar 4.2. Dari perhitungan data
hasil percobaan didapatkan konduktivitas panas rata-rata bahan aluminium 25 mm
adalah 15,01 W/m.K sedangkan menurut literatur konduktivitas panas rata-rata

23
bahan aluminium adalah 203,1 W/m.K. Perbedaan yang sangat jauh antara
konduktivitas hasil praktikum dengan konduktivitas literatur ini memiliki persen
kesalahan rata-rata 92,61 %. Hal ini disebabkan karena adanya kerusakan alat
pada jepitan pemanas dan thermocouple sehingga pengukuran temperatur sulit
untuk diamati.

b. Brass 25 mm
35
34
33
32
31 V=2
Temperature (oC) 30 V=3
29 V=5
28 V=6
27 V=8
26
0 0.020.040.060.08 0.1

Jarak Thermocouple (m)

Gambar 4.3 Hubungan Antara Temperatur dengan Jarak Thermocouple Pada


Kondisi Linier dengan Bahan Brass 25 mm.

Percobaan kedua yaitu mengukur suhu dengan menggunakan thermocouple


untuk jenis bahan brass dengan diameter 25 mm. Hasil pengukuran dari T1, T4, T6,
dan T7 menunjukkan kecenderungan yang semakin menurun untuk setiap variasi
tegangan. Temperatur tertinggi adalah pada T1 dengan tegangan 8 volt yaitu
sebesar 33,9 C, sedangkan temperatur paling rendah terdapat pada T7 dengan
tegangan 2 volt yaitu sebesar 29,1 C. Dapat dilihat pada Gambar 4.3 hubungan
antara temperatur dengan jarak thermocouple adalah berbanding terbalik, dimana
semakin besar jarak thermocouple maka temperatur yang mengalir di dalam bahan
semakin rendah. Hal ini sesuai dengan prinsip hukum Fourier, yaitu :

........................................... (3)
q =Q=V. ..................................................................................(4)
I

24
Dimana:
q = Laju perpindahan kalor/panas
k = Konduktivitas termal bahan
A = Luas permukaan bidang hantaran
dT/dx = Gradien suhu kearah perpindahan kalor
V = Tegangan Pemanas
I = Kuat Arus

Dari persamaan hukum Fourier diatas, didapatkan suatu hubungan antara


suhu dan jarak thermocouple, dimana suhu berbanding terbalik dengan jarak.
Sehingga, apabila jarak antar thermocouple semakin besar maka temperatur yang
mengalir didalam bahan akan semakin kecil (Kern, 1965).
Pada Gambar 4.3 juga dapat dilihat bahwa semakin tinggi tegangan maka
temperatur yang mengalir di dalam bahan juga semakin tinggi begitu juga
sebaliknya. Hal ini juga sesuai dengan hukum Fourier dimana hubungan tegangan,
laju perpindahan kalor dan temperatur adalah berbanding lurus.

120

100

80

60
konduktivitas (W/m K)
k literatur
40
k percobaan
20

0
25 30 35

Temperature rata-rata (oC)

Gambar 4.4 Hubungan Konduktivitas Panas dengan Temperatur untuk Literatur


dengan Percobaan pada Kondisi Linier dengan Bahan Brass 25 mm.

Perbandingan konduktivitas panas antara literatur dan hasil percobaan pada


bahan Brass 25 mm dapat dilihat pada Gambar 4.4. Dari perhitungan data hasil

25
percobaan didapatkan konduktivitas panas rata-rata bahan brass 25 mm adalah
11,24 W/m.K, sedangkan menurut literatur konduktivitas panas rata-rata bahan
brass adalah 99,21 W/m.K. Perbedaan yang sangat jauh antara konduktivitas hasil
praktikum dengan konduktivitas literatur ini memiliki persen kesalahan rata-rata
88,67 %. Hal ini disebabkan karena adanya kerusakan alat pada jepitan pemanas
dan thermocouple sehingga pengukuran temperatur sulit untuk diamati.

c. Stainless steel 25 mm
34
33
32
31
30 V=2
Temperature (oC) 29 V=3
28 V=5
27 V=6
26 V=8
25
0 0.020.040.060.08 0.1

Jarak Thermocouple (m)

Gambar 4.5 Hubungan Antara Temperatur dengan Jarak Thermocouple Pada


Kondisi Linier dengan Bahan Stainless steel 25 mm.

Percobaan ketiga yaitu mengukur suhu dengan menggunakan thermocouple


untuk jenis bahan Stainless steel dengan diameter 25 mm. Hasil pengukuran dari
T1, T3, T6, dan T7 menunjukkan kecenderungan yang semakin menurun untuk
setiap variasi tegangan. Temperatur tertinggi adalah pada T1 dengan tegangan 8
volt yaitu sebesar 32,8 C, sedangkan temperatur paling rendah terdapat pada T7
dengan tegangan 2 volt yaitu sebesar 27,9 C. Dapat dilihat pada Gambar 4.5
hubungan antara temperatur dengan jarak thermocouple adalah berbanding
terbalik, dimana semakin besar jarak thermocouple maka temperatur yang
mengalir di dalam bahan semakin rendah. Hal ini sesuai dengan prinsip hukum
Fourier, yaitu :

........................................... (5)
26
q =Q=V. ..................................................................................(6)
I
Dimana:
q = Laju perpindahan kalor/panas
k = Konduktivitas termal bahan
A = Luas permukaan bidang hantaran
dT/dx = Gradien suhu kearah perpindahan kalor
V = Tegangan Pemanas
I = Kuat Arus

Persamaan hukum Fourier diatas didapatkan suatu hubungan antara suhu


dan jarak thermocouple, dimana suhu berbanding terbalik dengan jarak. Sehingga,
apabila jarak antar thermocouple semakin besar maka temperatur yang mengalir
didalam bahan akan semakin kecil (Kern, 1965).
Pada Gambar 4.5 juga dapat dilihat bahwa semakin tinggi tegangan maka
temperatur yang mengalir di dalam bahan juga semakin tinggi begitu juga
sebaliknya. Hal ini juga sesuai dengan hukum Fourier dimana hubungan tegangan,
laju perpindahan kalor dan temperatur adalah berbanding lurus.
60

50

40

30
konduktivitas W/m K)
k literatur
20
k percobaan
10

0
28 30 32

Temperature rata-rata (oC)

Gambar 4.6 Hubungan Konduktivitas Panas dengan Temperatur untuk Literatur


dengan Percobaan pada Kondisi Linier dengan Bahan Stainless steel 25 mm.

27
Perbandingan konduktivitas panas antara literatur dan hasil percobaan pada
bahan Stainless seel 25 mm dapat dilihat pada Gambar 4.6. Dari perhitungan data
hasil percobaan didapatkan konduktivitas panas rata-rata bahan Stainless steel 25
mm adalah 17,86 W/m.K, sedangkan menurut literatur konduktivitas panas rata-
rata bahan Stainless steel adalah 14,54 W/m.K. Perbedaan antara konduktivitas
hasil praktikum dengan konduktivitas literatur ini memiliki persen kesalahan rata-
rata 22,70 %. Hal ini disebabkan karena adanya kerusakan alat pada jepitan
pemanas dan thermocouple sehingga pengukuran temperatur sulit untuk diamati.

4.2.2 Aliran Radial


Pada percobaan aliran radial ini diperoleh data-data temperatur (C) dan arus
(ampere) dengan variasi tegangan (volt) yaitu 2 volt, 3 volt, 5 volt, 6 volt dan 8
volt untuk bahan Brass berdiameter 25 mm.
37
36
35
34
V=2
33
Temperature (oC) V=3
32
V=5
31
V=6
30
V=8
29
0 0.02 0.04 0.06

Jarak Thermocouple (m)

Gambar 4.7 Hubungan Antara Temperatur dengan Jarak Thermocouple Pada


Kondisi Radial dengan Bahan Brass 25 mm.

Percobaan keempat yaitu mengukur suhu dengan menggunakan


thermocouple untuk jenis bahan Brass dengan diameter 25 mm. Hasil pengukuran
dari T1, T2, T4, T5 dan T6 menunjukkan kecenderungan yang semakin menurun
untuk setiap variasi tegangan. Temperatur tertinggi adalah pada T1 dengan
tegangan 8 volt yaitu sebesar 35,7 C, sedangkan temperatur paling rendah

28
terdapat pada T6 dengan tegangan 2 volt yaitu sebesar 29,3 C. Dapat dilihat pada
Gambar 4.7 hubungan antara temperatur dengan jarak thermocouple adalah
berbanding terbalik, dimana semakin besar jarak thermocouple maka temperatur
yang mengalir di dalam bahan semakin rendah. Hal ini sesuai dengan prinsip
hukum Fourier, yaitu :

........................................... (7)

q =Q=V. ..................................................................................(8)
I
Dimana:
q = Laju perpindahan kalor/panas
k = Konduktivitas termal bahan
A = Luas permukaan bidang hantaran
dT/dx = Gradien suhu kearah perpindahan kalor
V = Tegangan Pemanas
I = Kuat Arus

Persamaan hukum Fourier diatas, didapatkan suatu hubungan antara suhu


dan jarak thermocouple, dimana suhu berbanding terbalik dengan jarak. Sehingga,
apabila jarak antar thermocouple semakin besar maka temperatur yang mengalir
didalam bahan akan semakin kecil (Kern, 1965).
Pada Gambar 4.7 juga dapat dilihat bahwa semakin tinggi tegangan maka
temperatur yang mengalir di dalam bahan juga semakin tinggi begitu juga
sebaliknya. Hal ini juga sesuai dengan hukum Fourier dimana hubungan tegangan,
laju perpindahan kalor dan temperatur adalah berbanding lurus.

29
100

80

60

konduktivitas (W/m K) 40 k literatur


k percobaan
20

0
25 30 35

Temperature rata-rata (oC)

Gambar 4.8 Hubungan Konduktivitas Panas dengan Temperatur untuk Literatur


dengan Percobaan pada Kondisi Radial dengan Bahan Brass 25 mm.

Perbandingan konduktivitas panas antara literatur dan hasil percobaan pada


bahan Brass 25 mm dapat dilihat pada Gambar 4.8. Dari perhitungan data hasil
percobaan didapatkan konduktivitas panas rata-rata bahan Brass 25 mm adalah
0,04 W/m.K, sedangkan menurut literatur konduktivitas panas rata-rata bahan
Brass adalah 99,20 W/m.K. Perbedaan yang sangat jauah antara konduktivitas
hasil praktikum dengan konduktivitas literatur ini memiliki persen kesalahan rata-
rata 99,96 %. Hal ini disebabkan karena adanya kerusakan alat pada jepitan
pemanas dan thermocouple sehingga pengukuran temperatur sulit untuk diamati.
Percobaan antara aliran linier pada bahan brass 25 mm dan radial pada
bahan brass 25 mm didapat bahwa konduktivitas panas dengan aliran linier lebih
besar dibandingkan konduktivitas panas dengan aliran radialnya. Konduktivitas
panas aliran radial bahan brass 25 mm cenderung lebih stabil dibandingkan
konduktivitas panas aliran linier bahan brass 25 mm. Hal ini sesuai dengan teori
yang menyatakan laju perpindahan panas pada aliran radial akan seragam pada
masing-masing lapisan, karena berada dalam keadaan steady state dimana laju
perpindahan panas berbanding lurus dengan konduktivitas panas yang sesuai
dengan hukum Fourier, yaitu :

........................................... (9)

30
Sumber : (Kern, 1965)
Dimana,
q = Laju perpindahan kalor
k = Konduktivitas termal bahan
A = Luas permukaan bidang hantaran
dT/dx = Gradien suhu kearah perpindahan kalor
V = Tegangan Pemanas
I = kuat arus

4.2.3 Perbandingan Konduktivitas Panas Berbagai Bahan


250

200

150

k literatur (W/m K) 100 Aluminium


Brass
50 Stainless steel

0
123456789

Tegangan (V)

Gambar 4.9 Perbandingan Konduktivitas Panas Berbagai Bahan Berdasarkan


Literatur.

31
Dari Gambar 4.9 dapat dilihat bahwa konduktivitas panas bahan
alumunium, brass dan stainless steel berdasarkan literatur cenderung stabil untuk
setiap variasi tegangan, dimana konduktivitas panas bahan aluminium paling
besar dan konduktivitas panas bahan Stainless steel paling kecil.

60

50

40

30
k percobaan (W/m K) Aluminum
20 Brass
10 Stainless steel

0
0 2 4 6 810

Tegangan (V)

Gambar 4.10 Perbandingan Konduktivitas Panas Berbagai Bahan dari Data


Percobaan.
Gambar 4.10 dapat dilihat bahwa konduktivitas panas bahan aluminium
brass, dan stainless steel dari data hasil percobaan terdapat perbedaan antara
berbagai bahan untuk setiap variasi tegangan. Hal ini sesuai dengan literatur yang
menyatakan bahwa setiap bahan memiliki konduktivitas panas yang berbeda. Dari
Gambar 4.10 juga dapat dilihat bahwa nilai konduktivitas masing-masing bahan
meningkat seiring dengan meningkatnya tegangan. Hal ini tidak sesuai dengan
data literatur dimana nilai konduktivitas panas masing-masing bahan cenderung
stabil untuk setiap variasi tegangan. Hal ini disebabkan karena adanya kerusakan
alat jepitan pemanas dan thermocouple yang mengakibatkan pengukuran
temperatur sulit untuk diamati, sehingga konduktivitas panas yang didapat pun
tidak sesuai.

BAB V

32
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
1. Semakin besar jarak thermocouple maka temperatur yang mengalir di dalam
bahan akan semakin rendah.
2. Semakin tinggi tegangan pemanas maka temperatur bahan yang mengalir di
dalam bahan juga semakin tinggi, begitu juga sebaliknya.
3. Menurut literatur bahan aluminium memiliki konduktivitas panas bahan
lebih besar dibandingkan dengan brass dan stainless steel.
4. Nilai konduktivitas rata-rata aliran linear pada bahan Aluminium 25 mm,
Brass 25 mm dan Stainless steel 25 mm yaitu sebesar 15,01 W/mK; 11,24
W/mK dan 17,86 W/mK. Sedangkan pada aliran radial diperoleh nilai
konduktivitas rata-rata bahan Brass sebesar 0,04 W/mK.
5. Persentase kesalahan aliran linear pada bahan aluminium 25 mm, brass 25
mm dan stainless steel 25 mm yaitu sebesar 92,61 %; 88,67 % dan 22,70 %.
Sedangkan pada aliran radial diperoleh persentase kesalahan bahan brass
sebesar 99,96 %.

5.2 Saran
Sebaiknya jepitan pemanas dan thermocouple diganti dengan yang baru,
dikarenakan adanya kerusakan yang menyebabkan sulitnya dalam mengamati
temperatur yang ditampilkan pada thermocouple, sehingga data yang diperoleh
tidak sesuai.

DAFTAR PUSTAKA

33
Bergman, T.L., Lavine, A.S., Incropera, F.P., dan Dewitt, D.P. 2005. Introduction
to Heat Transfer Sixth Edition. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.

Geankoplis, C.J. 1995. Transport Process and Unit Operation, 3rd edition. New
Jersey: Prentice Hall.

Kern, DQ. 1965. Process Heat Transfer. Singapura : Mc-Graw-Hill Book Co.

Knudson, J.G., Hottel, HC, Sarofim, A.F., Wankat, P.C., dan Knaebel, K.S. 1997.
Heat and Mass Transfer dalam Robert H. Perry, Dan W. Green, dan
James O. Maloney (Editor). Perrys Chemical Engineers Handbook
Seventh Edition. New York: McGraw-Hill.

McCabe, W.L., Smith, J.C., dan Harriott, P. 1993. Unit Operation of Chemical
Engineering, Fifth Edition. Singapura : Mc-Graw-Hill Book Co

Tritt, T.M. 2004. Thermal Conductivity Theory, Properties, and Applications.


New York: Kluwer Academic/Plenum Publishers.

34
LAMPIRAN
PERHITUNGAN

1. KonduksiPanas Linear
PadabahanAluminium (D = 25 mm)
Diketahui : x13 = 0.03 m
x45 = 0.015 m
x68 = 0.03 m
D = 0.025 m
A = D2/4 = 4.9 x 10-6 m2
Padategangan2 volt, kuatarusterukur = 0.00017 Ampere

T1 = 29.4oC T6 = 27,6oC

T3 = 28,2oC T7 = 26,6oC

35
T1 T3 T6 T7
T Ave =
4


29.4 28,2 27.6 2.66 27.95 o C
4

Q =VxI

= (2 V) (0.00017 A)

= 0,00034 Watt

Thot = T1 T3

= 29.4 28.2

= 1.2

Tcold = T6 T7

= 27.6 26.6

=1

T 1 T3 29.4 28.2 28.8


T3 28.2
2 2
o
Thot = C

T6 T7 27.6 26.6 27.1


T7 26.6
2 2
o
Tcold = C
Tint = Thot Tcold

= (28.8 - 27.1) oC

= 1.7oC

Q x13

0.00034 0.03 1.7325
A T1 - T3 0.00000491.2
khot = W/m oC

Q x68

0.00034 0.03 2.0789
A T6 T7 0.000491
kcold = W/m oC

Q x

0,00231 0.015 0.6115
( A) Tint 0,0049 1.7
kint = W/m oC

k hot k cold k int 1.7325 2.0789 0.6115


1,47431
3 3
kave = W/m oC

(Transport Processes and Unit Operation : Christie J. Geankoplis)


Mencari nilai k literatur pada suhu tertentu untuk bahan Aluminium, Brass dan
Stainless steel didapat dari interpolasi data A.3-16 diatas.

Untuk Alumunium :
Padasuhu27,95oC, kondutivitastermal (k)bahanAlumuniumadalah :
27,950 k 202
=
1000 206202

k literatur =203,1 W /(m. K)

2. KonduksiPanas Radial
Diketahui :

R1 = 0.007 m R4 = 0.03 m

R2 = 0.01 m R5 = 0.04 m

R3 = 0.02 m R6 = 0.05 m
x = 0.0032 m

Padategangan2volt, kuatarusterukur = 0.00001 Ampere

T1 = 31.1 oC

T2 = 30.1oC

T4 = 29.8 oC

T5 = 29.5oC

T6 = 29.3oC

Q =VxI

= (2 V) (0.00001 A)

=0.00002 Watt

R 0.05
LN 6 LN
R
1 0.007
Q 0.00212 0.001087
2x(T1 T6 ) 2 3.14 0.0032 (1.8)
k = = W/m oC
LAMpiran data Perhitungan

Anda mungkin juga menyukai