Anda di halaman 1dari 126

LEGAL STANDING DALAM GUGATAN TERHADAP

SURAT KEPUTUSAN KEPALA BADAN PEMBERDAYAAN


MASYARAKAT DAN PEMERINTAHAN DESA
KABUPATEN MUSI BANYUASIN
(Studi Putusan Nomor: 10/G/2015/PTUN-PLG).

SKRIPSI

Disusun Oleh :

SUKMA ADI PRASETYO

E1A111083

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS HUKUM

PURWOKERTO

2016
i

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ............................................................................................... i

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1


B. Perumusan Masalah ................................................................. 8
C. Kerangka Teori ........................................................................ 8
D. Tujuan Penelitian ..................................................................... 15
E. Kegunaan Penelitian ................................................................ 16

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Negara Hukum ............................................................ 17


B. Peradilan Tata Usaha Negara ................................................... 23
1. Asas-asas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara ...... 25
2. Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara .......................... 29
C. Keputusan Tata Usaha Negara ................................................. 34
D. Legal Standing Dalam Peradilan Tata Usaha Negara ............. 41
E. Eksepsi ..................................................................................... 48

BAB III METODE PENILITIAN

A. Metode Pendekatan ................................................................. 52


B. Spesifikasi Penelitian ............................................................... 52
C. Lokasi Penelitian ..................................................................... 52
D. Sumber Bahan Hukum ............................................................ 53
E. Metode Pengumpulan Bahan Hukum ...................................... 54
F. Metode Analisis ....................................................................... 55
G. Metode Penyajian .................................................................... 55
ii

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian ......................................................................... 56


B. Pembahasan .............................................................................. 89
1. Cara Menentukan Legal Standing Penggugat Dalam
Peradilan Tata Usaha Negara ............................................... 95
2. Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Menentukan Legal
Standing Penggugat Pada Putusan Pengadilan Tata Usaha
Negara Palembang Nomor: 10/G/2015/PTUN-PLG
Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan. .................... 106
BAB V PENUTUP

A. Simpulan ................................................................................... 117


B. Saran ........................................................................................ 119

DAFTAR PUSTAKA

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara hukum, pernyataan ini secara tegas

terdapat dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945. Konsekuensi suatu negara hukum adalah menempatkan

hukum di atas segala kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Negara dan

masyarakat diatur dan diperintah oleh hukum, bukan diperintah oleh manusia.

Hukum berada di atas segala-segalanya, kekuasaan dan penguasa tunduk

kepada hukum.

Salah satu unsur negara hukum adalah adanya dan berfungsinya

kekuasaan kehakiman yang merdeka yang dilakukan oleh badan peradilan.

Pemberian kewenangan yang merdeka tersebut merupakan katup penekan

(pressure valve), atas setiap pelanggaran hukum tanpa kecuali. Pemberian

kewenangan ini dengan sendirinya menempatkan kedudukan badan peradilan

sebagai benteng terakhir (the last resort) dalam upaya penegakan kebenaran

dan keadilan. Dalam hal ini tidak ada badan lain yang berkedudukan sebagai

tempat mencari penegakan kebenaran dan keadilan (to enforce the truth and

justice) apabila timbul sengketa atau pelanggaran hukum.1


1
M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Sistem Peradilan Dan Penyelesaian Sengketa,
PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hal. 34.
2

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

menentukan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka

yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan Badan Peradilan

dibawahnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan

keadilan. Kekuasaan kehakiman di Indonesia dibagi menjadi empat lingkungan

peradilan, hal tersebut sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 18 Undang-

Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam pasal

tersebut dinyatakan bahwa Kekuasaan Kehakiman di Indonesia dibagi dalam

empat lingkungan peradilan, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Militer,

Peradilan Agama dan Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN).

Badan peradilan yang ada di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara

telah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan

Tata Usaha Negara yang diundangkan pada tanggal 29 Desember 1986 dan

dengan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1991, dinyatakan mulai

diterapkan secara efektif di seluruh wilayah Indonesia sejak tanggal 14 Januari

1991. Kemudian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tersebut diadakan

perubahan dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 jo. Undang-Undang

Nomor 51 Tahun 2009.2

Kewenangan atau kompetensi dari Peradilan Tata Usaha Negara

sebagaimana diatur dalam Pasal 47 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986

adalah memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara

yang timbul antara Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dengan orang atau


2
R. Wiyono, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Edisi Ketiga, Sinar Grafika,
Jakarta, 2013, hlm. 2.
3

Badan Hukum Perdata sebagai akibat diterbitkannya Keputusan Tata Usaha

Negara (KTUN) oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang

bersangkutan.

Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang

Tata Usaha Negara antara Orang atau Badan Hukum perdata dengan Badan

atau Pejabat Tata Usaha Negara baik di Pusat maupun di Daerah, sebagai

akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, hal ini sebagaimana

diatur dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009.

Berdasarkan ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan

sengketa Tata Usaha Negara terdiri dari beberapa unsur, yaitu:

1. Sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara;

2. Sengketa tersebut antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan

atau Pejabat Tata Usaha Negara;

3. Sengketa yang dimaksud sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata

Usaha Negara.3

Pengertian tentang apa yang dimaksud dengan Keputusan Tata Usaha

Negara adalah penting untuk di pahami, karena dengan memberikan pengertian

yang lain tentang apa yang dimaksud dengan keputusan Tata Usaha Negara,

akan berakibat memberikan pengertian yang salah tentang apa yang dimaksud

dengan sengketa Tata Usaha Negara.4

Menurut Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 yang

di maksud dengan Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan



3
Ibid., hlm. 6.
4
Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
Buku I, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993, hlm.161-162.
4

tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang

berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan

Perundang-Undangan yang berlaku, bersifat konkret, individual dan final yang

menimbulkan akibat hukum bagi orang atau badan hukum perdata.

Tiap-tiap proses sengketa Tata Usaha Negara selalu dimulai dengan

diajukannya surat gugatan oleh penggugat atau oleh kuasanya dalam daerah

hukum pengadilan di mana tergugat bertempat kedudukan. Dalam proses

sengketa itu terdapat dua subjek sengketa atau para pihak yang bersengketa di

bidang Hukum Administrasi Negara serta lazimnya disebut sebagai penggugat

dan tergugat.5

Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 menentukan

bahwa Tergugat merupakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang

mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang

dilimpahkan kepadanya yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata.

Sedangkan untuk definisi Penggugat memang tidak terdapat dalam Undang-

Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, namun demikian dari ketentuan

yang terdapat dalam Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004

dapat kita ketahui yang dimaksud dengan Penggugat adalah orang atau badan

hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan akibat diterbitkannya

suatu Keputusan Tata Usaha Negara.

Legal standing atau hak gugat secara materiil diatur dalam diatur Pasal

53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 yaitu mengenai hak gugat

5 Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara Dan UU

PTUN 2004, Ghalia Indonesia, Bogor, 2005, hlm. 16.


5

yang dimiliki orang atau badan hukum perdata yang menentukan bahwa Orang

atau Badan Hukum Perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu

Keputusan Tata Usaha Negara, dapat mengajukan gugatan tertulis kepada

Pengadilan yang berwenang, yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha

Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau

tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan / atau rehabilitasi.

Permasalahan yang muncul adalah bahwa dalam ketentuan Pasal 53

ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tersebut maupun penjelasannya

tidak menguraikan mengenai pengertian kepentingan tersebut. Menurut

Indroharto6, kepentingan dalam Peradilan Tata Usaha Negara itu mengandung

2 arti, yaitu :

1. Kepentingan yang menunjuk kepada nilai yang harus dilindungi oleh


hukum;
2. Kepentingan berproses artinya apa yang hendak dicapai dengan
melakukan proses gugatan yang bersangkutan.
Kepentingan dalam kaitannya dengan hak menggugat baru ada, apabila

kepentingan itu jelas ada hubungannya dengan Penggugat sendiri, kepentingan

itu bersifat pribadi dan langsung serta kepentingan itu secara objektif dapat

ditentukan, baik mengenai luas maupun intensitasnya. Sedangkan menurut

Philipus M Hadjon 7 , Penggugat mempunyai kepentingan untuk mengajukan

gugatan apabila ada hubungan kausal (sebab akibat) antara Keputusan Tata

Usaha yang digugat dengan kerugian/kepentingannya, artinya kepentingan


6
Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
Buku II, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2005, hlm. 37.
7
Philipus M Hadjon dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Penerbit Gajah
Mada University Press, Yogyakarta, 1995, hlm. 324.
6

yang dirugikan tersebut adalah akibat langsung dari terbitnya Keputusan Tata

Usaha Negara yang digugat.

Mekanisme perlindungan hukum ini penting karena di dalam kehidupan

masyarakat sering ditemui permasalahan atau sengketa antara individu, baik

perseorangan maupun kelompok, dengan Badan atau Pejabat yang berkaitan

dengan kebijakan-kebijakan dan Keputusan Tata Usaha Negara ( KTUN) yang

dikeluarkan dalam menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan.

Sengketa Tata Usaha Negara (TUN) muncul jikalau seorang atau badan hukum

perdata merasa dirugikan, sebagai akibat dikeluarkannya suatu keputusan.

Sebagaimana diketahui bahwa, Badan atau Pejabat TUN dalam fungsi

menyelenggarakan kepentingan dan kesejahteraan umum tidak terlepas dari

tindakan mengeluarkan keputusan, sehingga tidak menutup kemungkinan pula

keputusan tadi menimbulkan kerugian.

Sebagai contoh mengenai permasalahan legal standing atau hak gugat

yaitu dalam Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Palembang Nomor:

10/G/2015/PTUN-PLG. Pengadilan Tata Usaha Negara tersebut yang

memeriksa, mengadili dan memutus sengketa antara para Calon Kepala Desa,

Sebagai Penggugat melawan Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat dan

Pemerintahan Desa Kabupaten Musi Banyuasin, sebagai Tergugat. Objek

gugatannya yaitu Surat Keputusan Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat

dan Pemerintahan Desa Kabupaten Musi Banyuasin Nomor : 097 Tahun 2014

Tanggal 29 Desember 2014 tentang Penetapan Calon Kepala Desa Muara


7

Medak Kecamatan Bayung Lencir Kabupaten Musi Banyuasin Periode 2015-

2021, yang selanjutnya disebut dengan objek sengketa.

Kasus ini bermula ketika ditetapkannya Sugito, Jasmin, Jawinner

Siburian, Marudut Halomoan Panjaitan, dan Yanto sebagai para Calon Kepala

Desa oleh objek sengketa tersebut. Kemudian Jawinner Siburian, Sugito, dan

Jasmin menggugat objek sengketa itu ke Pengadilan Tata Usaha Negara

Palembang karena keikut-sertaan atas nama Marudut Halomoan Panjaitan

sebagai Calon Kepala Desa. Menurut Penggugat, Marudut Halomoan Panjaitan

masih menjabat sebagai Plt Kepala Desa yang berstatus Pegawai Negeri Sipil

(PNS), selain itu Penggugat juga mendalilkan bahwa Surat Keputusan yang

dijadikan objek sengketa tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-

undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik, serta merugikan

Penggugat. Adapun dalam pemeriksaan persidangan, pertimbangan hukum

hakim tidak mengenai pokok perkara melainkan mengenai hak gugat

Penggugat. Majelis Hakim dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa

tidak ada kepentingan hukum Penggugat atau Penggugat tidak mempunyai hak

gugat (legal standing), sehingga Majelis Hakim dalam amar putusannya

menyatakan bahwa Gugatan Penggugat Tidak Dapat Diterima (Niet

Onvankelijkverklaard).

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas terlihat adanya suatu

persoalan hukum mengenai hak gugat (legal standing) Penggugat. Oleh karena

itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian dan dituangkan dalam bentuk

skripsi dengan judul: LEGAL STANDING DALAM GUGATAN TERHADAP


8

SURAT KEPUTUSAN KEPALA BADAN PEMBERDAYAAN

MASYARAKAT DAN PEMERINTAHAN DESA KABUPATEN MUSI

BANYUASIN (Studi Putusan Nomor: 10/G/2015/PTUN-PLG).

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, dapat

dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah cara menentukan legal standing Penggugat dalam Peradilan

Tata Usaha Negara ?

2. Apakah pertimbangan hukum hakim dalam menentukan legal standing

Penggugat dalam putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Palembang

Nomor: 10/G/2015/PTUN-PLG sudah sesuai dengan Peraturan Perundang-

Undangan ?

C. Kerangka Teori

Negara hukum adalah negara yang penyelenggaraan kekuasaan

pemerintahannya didasarkan atas hukum, dimana kekuasaan menjalankan

pemerintahan berdasarkan kedaulatan hukum (supremasi hukum) dan bertujuan

untuk menjalankan ketertiban hukum dan memberikan petunjuk hidup pada

masyarakat, guna untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Sebagai negara hukum, setiap penyelenggaraan urusan pemerintahan

haruslah berdasarkan pada hukum yang berlaku (wetmatigheid van bestuur).8

Menurut Undang-Undang Dasar 1945 Negara Republik Indonesia adalah suatu

negara hukum (rechtsstaat), jadi seasas negara-negara Eropa Barat


8
Ridwan H.R., Hukum Administrasi Negara, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011,
hlm. 1.
9

Kontinental.9

Berkenaan dengan hal itu di dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal

24 ayat (1) amandemen ketiga secara eksplisit menyatakan, kekuasaan

kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan

peradilan guna menegakan hukum dan keadilan, ayat (2) kekuasaan kehakiman

dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di

bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,

lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh

sebuah Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian penyelenggaraan Peradilan

Tata Usaha Negara (peradilan administrasi) di Indonesia merupakan suatu

kehendak Konstitusi dalam rangka memberikan perlindungan hukum terhadap

rakyat secara maksimal.

Peradilan Tata Usaha Negara adalah lingkungan peradilan di bawah

Mahkamah Agung yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi rakyat

pencari keadilan terhadap sengketa Tata Usaha Negara. Mengenai susunan dari

pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, ditentukan bahwa

pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara terdiri dari:

1. Pengadilan Tata Usaha Negara yang merupakan Pengadilan Tingkat

Pertama.

2. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang merupakan Pengadilan

Tingkat Banding.10


9
Slamet Prajudi Atmosudirjo, Hukum Administrasi Negara, Cetakan X, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1994, hlm. 21.
10
R. Wiyono, Op.Cit., hlm. 2.
10

Peradilan Tata Usaha Negara diatur dalam Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, kemudian terdapat beberapa

ketentuan yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata

Usaha Negara, setelah itu pada tahun 2009 terjadi perubahan yaitu Undang-

Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Adanya

Undang-Undang tersebut adalah untuk sebagai pedoman beracara dalam

Peradilan Tata Usaha Negara atau disebut dengan Hukum Acara Peradilan Tata

Usaha Negara.

Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara adalah rangkaian

peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak, satu

sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan Hukum Tata Usaha

Negara (Hukum Administrasi Negara).11 Hukum Acara Peradilan Tata Usaha

Negara dapat juga disebut sebagai hukum yang mengatur berbagai tata cara

bersengketa di lingkungan Hukum Peradilan Tata Usaha Negara.

Hukum Acara Peradilan Tata Usaha merupakan hukum formal.

Begitupun dengan hukum material dari Hukum Acara Peradilan Tata Usaha

Negara yang merupakan unsur terpenting karena tanpa adanya hukum material

maka peradilan akan lumpuh. Sebaliknya tanpa hukum formal maka peradilan


11
Rozali Abdullah, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 1994, hlm.1.
11

akan menjadi liar karena tidak ada batasan yang jelas dalam penerapan

wewenang.12

Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara dibentuk untuk

menyelesaikan sengketa yang timbul antara pemerintah dengan warga negara,

yaitu sengketa yang timbul akibat dari adanya tindakan-tindakan Badan atau

Pejabat Tata Usaha Negara yang dianggap melanggar hak-hak warga negara

karena adanya Keputusan Tata Usaha Negara yang ditujukan atau

menimbulkan akibat hukum serta merugikan orang atau badan hukum perdata.

Spesifikasi Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara ditampakan

oleh asas-asas yang menjadi landasan normatif-operasional hukum acara

Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu13 :

a. Asas Praduga Rechtmatig (vermoeden van rechtmatigheid-praesumptio

iustae causa).

Asas ini mengandung makna bahwa setiap tindakan penguasa selalu

harus dianggap rechtmatig sampai ada pembatalannya. Dengan asas ini,

gugatan tidak menunda pelaksanaan KTUN yang digugat (Pasal 67 ayat (1)

UU No. 5 Tahun 1986).

b. Asas Pembuktian Bebas

Hakim yang menetapkan beban pembuktian. Hal ini berbeda dengan

ketentuan Pasal 1865 BW (KUH Perdata). Asas ini dianut dalam Pasal 107

UU No. 5 Tahun 1986 dan dibatasi oleh Pasal 100 UU No. 5 Tahun 1986.


12
Sjachran Basah, Hukum Acara Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Administrasi
(HAPLA), Rajawali Pers, Jakarta, 1989, hal.1.
13
W Riawan Tjandra, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Universitas Atma
Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2005, hlm. 9.
12

c. Asas Keaktifan Hakim

Keaktifan hakim dimaksudkan untuk mengimbangi kedudukan para

pihak, karena Tergugat adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara,

sedangkan Penggugat adalah Orang atau Badan Hukum Perdata. Penerapan

asas ini terdapat dalam ketentuan Pasal 58, Pasal 63 ayat (1) ayat (2), Pasal

80 dan Pasal 85 UU No. 5 Tahun 1986.

d. Asas Putusan Pengadilan mempunyai kekuatan mengikat erga omnes

Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa hukum publik, dengan

demikian putusan Pengadilan Tata Usaha Negara berlaku bagi siapa saja,

tidak hanya berlaku bagi pihak yang berperkara saja.

Penyelesaian perkara dalam Peradilan Tata Usaha Negara dapat

dibedakan dengan melihat kewenangan/kompetensinya. Tedapat beberapa cara

yang dapat digunakan untuk mengetahui kompetensi dari suatu pengadilan

untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara, yaitu dapat dilihat

pada sengketanya (geschilpunt, fundamentum petendi), dengan melakukan

pembedaan antara atribusi (atributie van rechtsmacht) dan distribusi

(distributie van rechtsmacht), dan dengan melakukan pembedaan antara

kompetensi absolut dan kompetensi relatif.14

Kompetensi Absolut Pengadilan Tata Usaha Negara menurut Pasal 47

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 menyebutkan bahwa Pengadilan

bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa

Tata Usaha Negara. Sengketa Tata Usaha Negara yang dimaksud dalam pasal


14
Philipus M Hadjon dkk., Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Gajah
Mada Universiy Press, Yogyakarta, 1993, hal. 30-31.
13

tersebut ialah sengketa yang timbul antara Orang atau Badan Hukum Perdata

dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara sebagai akibat dikeluarkannya

Keputusan Tata Usaha Negara , termasuk sengketa kepegawaian. Sedangkan

kompetensi relatif (distribusi kekuasaan Pengadilan, kewenangan nisbi), ialah

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1986 menyebutkan bahwa sesuai dengan asas Actor Sequitor Forum Rei

(yang berwenang adalah pengadilan tempat kedudukan tergugat), maka

Pengadilan yang berwenang mengadili dalam sengketa TUN ialah PTUN yang

daerah hukumnya meliputi tempat kediaaman tergugat.

Objek sengketa Tata Usaha Negara adalah suatu Keputusan Tata Usaha

Negara, menurut Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986

(sekarang Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009) yang di

maksud dengan Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis

yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi

tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan Perundang-

Undangan yang berlaku, bersifat konkret, individual, dan final, yang

menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Bagi seorang atau Badan Hukum Perdata yang merasa kepentingannya

dirugikan akibat suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan

gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara, ia adalah subyek hukum yang

mempunyai kapasitas/kepentingan hukum untuk menggugat (legal standing).

Pada prinsipnya istilah standing dapat diartikan secara luas yaitu akses orang

perorangan atau kelompok/organisasi di pengadilan sebagai pihak penggugat.


14

Secara konvensional hak gugat hanya bersumber pada prinsip tiada gugatan

tanpa kepentingan hukum (point dinterest point daction). Kepentingan

hukum (legal interest) yang dimaksud di sini adalah merupakan kepentingan

yang berkaitan dengan kepemilikan (propietary interest) atau kepentingan

material berupa kerugian yang dialami secara langsung (injury in fact).15 Legal

standing merupakan hak gugat yang dimiliki oleh seseorang atau lebih

termasuk pula badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan

atau timbul kerugian baginya akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha

Negara oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.

Gugatan yang diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara adalah

dimaksudkan untuk dinyatakan batal atau tidak sah suatu Keputusan Tata

Usaha Negara yang menjadi objek sengketa itu oleh Majelis Hakim. Setelah

Penggugat mengajukan gugatan dan diperiksa pada muka persidangan, pada

tahap kedua setelah pembacaan gugatan, Tergugat diberi hak untuk

mengajukan sanggahan atau jawaban-jawaban yang ditujukan untuk melawan

dalil-dalil Penggugat, Jawaban Tergugat itu dapat meliputi baik mengenai

pokok perkara maupun bukan pokok perkara. Isi dari Jawaban Tergugat itu

dapat berupa jawaban dalam eksepsi maupun jawaban dalam pokok perkara.

Eksepsi atau Exceptie (Belanda), exception (Inggris), secara umum berarti

pengecualian. Akan tetapi, dalam konteks Hukum Acara, bermakna tangkisan

atau bantahan (objection). 16 Pada umumnya yang diartikan dengan eksepsi


15
Erna Herlinda, Tinjauan Tentang Gugatan Class Actions Dan Legal standing Di
Peradilan Tata Usaha Negara, e-USU Repository 2004, Universitas Sumatera Utara, 2004,
hlm. 3-4.
16
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2015, hlm. 418.
15

ialah suatu sanggahan atau bantahan dari pihak tergugat terhadap gugatan

penggugat yang tidak langsung mengenai pokok perkara, yang berisi tuntutan

batalnya gugatan.17 Konkretnya, jawaban gugatan mengenai segi formal dari

surat gugatan.18

Tujuan pokok pengajuan eksepsi, yaitu agar pengadilan mengakhiri

proses pemeriksaan tanpa lebih lanjut memeriksa materi pokok perkara.

Pengakhiran yang diminta melalui eksespsi bertujuan agar pengadilan:19

a. Menjatuhkan putusan negatif, yang menyatakan gugatan tidak dapat

diterima (niet ontvankelijkverklaard);

b. Berdasarkan putusan negatif itu, pemeriksaan perkara diakhiri tanpa

menyinggung penyelesaian materi pokok perkara.

Mengenai jenis-jenis eksepsi diatur dalam Pasal 77 Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1986 yang menyebutkan adanya 3 macam eksepsi, yaitu:20

a. Eksepsi tentang kewenangan absolut Pengadilan.

b. Eksepsi tentang kewenangan relatif pengadilan.

c. Eksepsi yang lain yang tidak mengenai kompetensi pengadilan.

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang telah penulis sebutkan di atas,

maka tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah sebagai berikut :


17
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 2009,
hlm. 124.
18
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Perdata Menurut Teori Dan Praktik Peradilan Di
Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1999, hlm. 137.
19
M. Yahya harahap, Op. Cit., 2015, hlm. 418-419.
20
Martiman Prodjohamidjojo, Op. Cit., hlm. 50.
16

1. Untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana cara menentukan legal

standing Penggugat dalam Peradilan Tata Usaha Negara.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis apakah pertimbangan hukum hakim

dalam menentukan legal standing Penggugat dalam putusan Pengadilan

Tata Usaha Negara Palembang Nomor: 10/G/2015/PTUN-PLG sesuai

dengan Peraturan Perundang-Undangan.

E. Kegunaan Penelitian

Kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Kegunaan Penelitian Secara Teoritik :

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan

yang dapat dijadikan sebagai masukan dan pertimbangan bagi

pengembangan ilmu hukum khususnya di bidang Hukum Acara Peradilan

Tata Usaha Negara mengenai pengajuan gugatan dalam Hukum Acara

Peradilan Tata Usaha Negara terkait legal standing menggugat.

2. Kegunaan Penelitian Secara Praktis

Memberikan kejelasan tentang penerapan beracara khususnya dalam

Peradilan Tata Usaha Negara terkait legal standing dalam mengajukan

gugatan serta dapat digunakan sebagai bahan informasi bagi peneliti lain

yang akan mengadakan penelitian.



BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Negara Hukum

Negara hukum adalah negara yang penyelenggaraan kekuasaan

pemerintahannya didasarkan atas hukum, kekuasaan menjalankan

pemerintahan berdasarkan kedaulatan hukum (supremasi hukum) dan bertujuan

untuk menjalankan ketertiban hukum dan memberikan petunjuk hidup pada

masyarakat, guna untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Sebagai negara hukum, setiap penyelenggaraan urusan pemerintahan

haruslah berdasarkan pada hukum yang berlaku (wetmatigheid van bestuur).21

Menurut Undang-Undang Dasar 1945 Negara Republik Indonesia adalah suatu

negara hukum (rechtsstaat), jadi seasas negara-negara Eropa Barat

Kontinental.22

Negara Hukum yang dalam bahasa Belanda disebut Rechtstaats

mempunyai tujuan ketertiban hukum, yaitu tata tertib yang umumnya

berdasarkan hukum yang terdapat pada rakyat.23 Konsep Negara Hukum lahir

dari suatu perjuangan menentang kekuasaan yang mutlak, sehingga sifatnya

revolusioner.

Konsep negara hukum sangat terkait dengan sistem hukum yang dianut

oleh suatu negara. Pada dasarnya sistem hukum dibedakan menjadi dua


21
Ridwan H.R., Loc. Cit.
22
Slamet Prajudi Atmosudirjo, Loc. Cit.
23
Ridwan, Juniarso dkk, Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Pelayanan Publik,
Nuansa Cendekia, Bandung, 2009, hlm. 24.
18

kelompok besar, yaitu sistem hukum kontinental dan sistem hukum anglo

saxon. Adanya pengelompokan sitem tersebut seolah-olah dunia ini dibagi

menjadi dua kubu. Meskipun demikian, dalam kenyataannya dijumpai hal-hal

sebagai berikut:

1. Terdapat sistem hukum yang sekaligus mengandung ciri-ciri tradisi hukum

kontinental dan tradisi hukum anglo saxon, atau gabungan antara tradisi

hukum kontinental dan tradisi hukum sosialis, ataupun gabungan antara

tradisi hukum anglo saxon dan tradisi hukum sosialis.

2. Terdapat sistem hukum yang tidak dapat dapat digolongkan ke dalam salah

satu dari ketiga kelompok di atas. Misalnya negara-negara yang

mengidentifikasikan diri dengan tradisi hukum menurut ajaran islam (the

Moslem Legal Tradition).24

Secara embrionik, gagasan negara hukum telah dikemukakan oleh

Plato, ketika ia menulis Nomoi, sebagai karya tulis ketiganya yang dibuat

diusianya yang sudah tua, sementara dua tulisan pertama, Politeia dan

Politicuos, belum muncul istilah negara hukum. Menurut Plato

penyelenggaraan negara yang baik ialah yang didasarkan pada pengaturan

(hukum) yang baik. 25 Gagasan tersebut semakin ditegaskan oleh muridnya

yaitu Aristoteles yang menyatakan suatu negara yang baik adalah negara yang

diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum. Aristoteles mengatakan

ada 3 unsur pemerintahan yang berkonstitusi, yaitu : Pertama, pemerintahan

dilaksanakan untuk kepentingan umum; Kedua, pemerintahan dilaksanakan



24
Zairin Harahap, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2007, hlm. 2-3.
25
Thahir Azhary, Negara Hukum, Bulan Bintang, Jakarta, 1992, hlm. 66.
19

menurut hukum yang berdasarkan pada ketentuan-ketentuan umum, bukan

hukum yang dibuat secara sewenang-wenang yang menyampingkan konvensi

dan konstitusi; Ketiga, pemerintahan berkonstitusi berarti pemerintahan yang

dilaksanakan atas kehendak rakyat, bukan berupa paksaan atau tekanan yang

dilaksanakan pemerintah despotik. Dalam kaitannya dengan konstitusi,

Aristoteles menyatakan, konstitusi merupakan penyusunan jabatan dalam suatu

negara dan menentukan apa yang dimaksudkan dengan badan pemerintahan

dan apa akhir dari setiap masyarakat, konstitusi merupakan aturan-aturan dan

penguasa harus mengatur negara menurut aturan-aturan tersebut.26

Konsep negara hukum rechstaat di Eropa Kontinental sejak semula

didasarkan pada filsafat liberal yang individualistik. Ciri individualistik itu

sangat menonjol dalam pemikiran Negara hukum menurut konsep Eropa

Kontinental itu. Konsep rechtstaat menurut Philipus M. Hadjon lahir dari suatu

perjuangan menentang absolutism, sehingga sifatnya revolusioner.27

Menurut Freidrich Julius Stahl, unsur-unsur negara hukum (rechtstaat)

adalah:

1. Adanya jaminan terhadap hak asasi manusia (gronderechten);

2. Adanya pembagian kekuasaan (scheiding van machten);

3. Pemerintah harus berdasarkan peraturan-peraturan hukum (wet matigheid

van het bertuur);

4. Adanya peradilan administrasi (administratief rechtpraak).28


26
Azhary, Negara Hukum Indonesia, UI-Press, Jakarta, 1995, hlm. 20-21.
27
Philipus M Hadjon. Op. Cit, hlm. 72.
28
SF. Marbun, Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, 2001, hlm.7.
20

Pada saat yang hampir bersamaan muncul pula konsep negara hukum

(rule of law) dari A. V. Dicey, yang lahir dalam naungan sistem anglo saxon.

Istilah rule of law yang juga diartikan sama dengan negara hukum, Sunaryati

Hartono mengawali penggunaan istilah rule of law dalam bukunya yang

berjudul The Rule Of Law. Sunaryati menyatakan, agar tercipta suatu negara

hukum yang membawa keadilan bagi seluruh rakyat yang bersangkutan,

penegakan the rule of law itu harus diartikan dalam arti yang materiil.29 Tipe

negara hukum dalam arti materiil ini sering juga disebut negara hukum

modern. Negara dalam pengertian ini bukan saja menjaga keamanan semata-

mata tetapi secara aktif turut serta dalam urusan kemasyarakatan demi

kesejahteraan rakyat. Oleh sebab itu pengertian negara hukum dalam arti

materil atau luas sangat erat hubungannya dengan pengertian Negara

Kesejahteraan (welfare state).30

Konsep negara hukum (rule of law) dari A. V. Dicey, yang lahir dalam

naungan sistem hukum anglo saxon. Dicy mengemukakan unsur-unsur rule of

law sebagai berikut:31

1. Supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the law), yaitu tidak

adanya kekuasaan sewenang-wenang (absence of arbitrary power),

dalam arti bahwa seseorang hanya boleh dihukum kalo melanggar

hukum;

2. Kedudukan yang sama dalam mengadapi hukum (equality before the

law). Dalil ini berlaku baik untuk orang dewasa maupun untuk pejabat;

29
Sunaryati Hartono, The Rule Of Law, Alumni, Bandung, 1976, hlm. 35.
30
SF. Marbun, Op. Cit., hlm. 13.
31
Ridwan HR, Op. Cit., hlm. 3-4.
21

3. Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang (di negaraa lain oleh

Undang-Undang Dasar) serta keputusan-keputusan Pengadilan.

Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan

Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 memiliki tujuan untuk untuk

mewujudkan tata kehidupan negara dan bangsa yang sejahtera, aman dan tertib.

Guna mencapai tujuan tersebut, maka diperlukan berbagai sarana pendukung

dan salah satu sarana pendukung tersebut adalah hukum. Salah satu sarana

hukum tersebut adalah Hukum Administrasi Negara. Hukum Administarasi

Negara adalah seperangkat norma yang mengatur dan memungkinkan

administarasi negara untuk menjalankan fungsinya, serta melindungi warga

terhadap sikap-tindak administrasi negara itu sendiri. 32 Dengan demikian

luasnya peranan Hukum Administrasi Negara, maka dimungkinkan terjadinya

pemusatan pada administrasi negara. Kemungkinan itu lebih besar dengan

diberikannya kebebasan untuk bertindak atas inisiatifnya sendiri (freies

ermessen). Sehingga konsep negara hukum yang dikemukakakan oleh

Montesquieu masih sangat relevan untuk mencegah adanya pemusatan

kekuasaan. Pembagian fungsi dan organ dalam pemerintahan dibagi menjadi

tiga bagian, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif.33

Dasar peradilan dalam UUD NRI 1945 dapat ditemukan dalam pasal 24

ayat (1), yang menyebutkan bahwa peradilan diselenggarakan untuk

menegakkan hukum dan keadlian. Sementara pada Pasal 24 ayat (2), Peradilan

Tata Usaha Negara termasuk dalam empat ruang lingkup peradilan di



32
SF. Marbun, Demensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, U.I.I Pers,
Yogyakarta, 2002, hlm. 23.
33
Ibid., hlm.49.
22

Indonesia dalam melaksanakan Kekuasaan Kehakiman di bawah Mahkamah

Agung. Sedangkan penjabaran Pancasila sebagai kaidah dasar (Grundnorm)

terdapat dalam batang tubuh UUD NRI 1945, terutama sebagaimana telah

ditetapkan dalam pasal-pasal 27, 28, 29, 30 dan 34. Berarti Negara Hukum

berdasarkan Pancasila dikenal hak dan kewajiban asasi manusia, hak-hak

perseorangan yang bukan hanya harus diperhatikan saja melainkan harus

ditegakkan dengan mengingat kepentingan umum, menghormati hak orang

lain, perlindungan/kepentingan keselamatan bangsa, moral umum dan


34
ketahanan nasional berdasarkan undang-undang. Perlindungan hukum

terhadap rakyat atas tindak pemerintahan tidak dapat ditampung oleh peradilan

umum yang ada. Oleh karena itu diperlukan adanya suatu peradilan khusus

yang dapat menyelesaikan masalah tersebut, yakni; sengketa antara pemerintah

dengan rakyat. Peradilan ini dalam tradisi rechtsstaat disebut dengan peradilan

administrasi. Begitu pentingnya peradilan administrasi ini untuk memberikan

perlindungan hukum bagi rakyat atas tindak pemerintahan.


34
Sjachran Basah, Op. Cit., hlm. 150.
23

B. Peradilan Tata Usaha Negara

Peradilan Tata Usaha Negara adalah lingkungan peradilan di bawah

Mahkamah Agung yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi rakyat

pencari keadilan terhadap sengketa Tata Usaha Negara. Mengenai susunan dari

pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, ditentukan bahwa

pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara terdiri dari:

1. Pengadilan Tata Usaha Negara yang merupakan Pengadilan Tingkat

Pertama.

2. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang merupakan Pengadilan

Tingkat Banding.35

Peradilan Tata Usaha Negara diatur dalam Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, kemudian terdapat beberapa

ketentuan yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata

Usaha Negara, setelah itu pada tahun 2009 terjadi perubahan yaitu Undang-

Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Adanya

Undang-Undang tersebut adalah untuk sebagai pedoman beracara dalam

Peradilan Tata Usaha Negara atau disebut dengan Hukum Acara Peradilan Tata

Usaha Negara.

Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara adalah rangkaian

peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak, satu


35
R. Wiyono, Loc. Cit.
24

sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan Hukum Tata Usaha

Negara (Hukum Administrasi Negara).36 Hukum Acara Peradilan Tata Usaha

Negara dapat juga disebut sebagai hukum yang mengatur berbagai tata cara

bersengketa di lingkungan Hukum Peradilan Tata Usaha Negara.

Hukum Acara Peradilan Tata Usaha merupakan hukum formal.

Begitupun dengan hukum material dari Hukum Acara Peradilan Tata Usaha

Negara yang merupakan unsur terpenting karena tanpa adanya hukum material

maka peradilan akan lumpuh. Sebaliknya tanpa hukum formal maka peradilan

akan menjadi liar karena tidak ada batasan yang jelas dalam penerapan

wewenang.37

Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara dibentuk untuk

menyelesaikan sengketa yang timbul antara pemerintah dengan warga negara,

yaitu sengketa yang timbul akibat dari adanya tindakan-tindakan Badan atau

Pejabat Tata Usaha Negara yang dianggap melanggar hak-hak warga negara

karena adanya Keputusan Tata Usaha Negara yang ditujukan atau

menimbulkan akibat hukum serta merugikan orang atau badan hukum perdata.

Peradilan Tata Usaha Negara dibentuk dengan dasar pertimbangannya

adalah:

a. Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum yang berdasarkan

Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 bertujuan mewujudkan tata keidupan negara dan bangsa yang

sejahtera, aman, tentram, serta tertib, yang menjamin persamaan


36
Rozali Abdullah, Loc. Cit.
37
Sjachran Basah, Loc. Cit.
25

kedudukan warga masyarakat dalam hukum, dan yang menjamin

terpeliharanya hubungan yang serasi, seimbang, serta selaras, antara

aparatur di bidang Tata Usaha Negara dengan para warga masyarakat;

b. Adanya kemungkinan timbulnya benturan kepentingan, perselisihan, atau

sengketa antara Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dengan warga

masyarakat yang dapat merugikan atau menghambat jalannya

pembangunan nasional.38

Dibentuknya Peradilan Tata Usaha Negara sebagai suatu Badan

Peradilan dalam lingkungan Peradilan di Indonesia yang berada di bawah

Mahkamah Agung, dalam hal ini pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara

juga mengandung beberapa asas yang pada hakekatnya merupakan suatu dasar

atau landasan hukum dibentuknya suatu Peradilan Tata Usaha Negara.

1. Asas-Asas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

Peradilan Tata Usaha Negara mempunyai karakteristik yang

tercermin dalam asas-asas Hukum Administrasi yang melandasi Hukum

Acara Peradilan Administrasi. 39 Asas atau juga dapat disebut pondasi

merupakan hal yang mendasari sesuatu. Dibentuk atau disusunnya sesuatu

tidak dapat dilepaskan dari paradigma asas yang melingkupinya. Suatu

bangunan tanpa suatu pondasi maka akan rapuh. Sesuatu aturan tanpa ada

asas yang mendasarinya, maka aturan tersebut tidak akan mempunyai

landasan atau pijakan yang kokoh dalam berlakunya. Sedangkan Satjipto


38 Philipus M. Hadjon dkk, Loc. Cit.
39
Suparto Wijoyo, Hukum Acara Peradilan Administrasi (Peradilan Tata Usaha
Negara), Airlangga University Press, Surabaya, 2005, hlm. 51.
26

40
Rahardjo berpendapat, bahwa asas hukum merupakan jantungnya

peraturan hukum, karena ia merupakan landasan yang paling luas bagi

lahirnya suatu peraturan hukum, bahwa peraturan-peraturan hukum itu pada

akhirnya bisa dikembalikan kepada asas-asas tersebut. Kecuali disebut

landasan, asas hukum ini layak disebut sebagai alasan lahirnya peraturan

hukum, atau merupakan ratio logis dari peraturan hukum.

Spesifikasi hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara ditampakan

oleh asas-asas yang menjadi landasan normatif-operasional hukum acara

Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu41:

a. Asas Praduga Rechtmatig (vermoeden van rechtmatigheid-

praesumptio iustae causa).

Makna dari asas ini menjelaskan bahwa setiap tindakan penguasa

harus selalu dianggap rechtmatig sampai ada pembatalannya atau dengan

kata lain telah dinyatakan batal atau tidak sah. Dengan adanya asas ini,

maka gugatan tidak akan menunda pelaksanaan KTUN yang digugat

(Pasal 67 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1986). Konsekuensi dari asas ini

yaitu:

1) Gugatan tidak menunda pelaksanaan KTUN yang digugat;

2) Diperlukan adanya suatu Acara Singkat;

3) Tidak dikenal adanya Provisionele Vonnis, sehingga tidak terdapat

adanya Uitvoerbaar Bij Vooraad;


Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Penerbit Alumni, Bandung, 1986, hlm. 85.
40
41
W Riawan Tjandra, Loc. Cit.
27

4) KTUN yang digugat hanya dapat dibatalkan dan bukan batal demi

hukum.42

b. Asas Pembuktian Bebas

Asas ini memberikan kewenangan kepada hakim untuk

menetapkan beban pembuktian. Hal ini berbeda dengan ketentuan Pasal

1865 BW (KUH Perdata). Asas ini dianut dalam Pasal 107 UU No. 5

Tahun 1986 dan dibatasi oleh Pasal 100 UU No. 5 Tahun 1986.

Konsekuensi dari diterapkannya asas ini yaitu :

1) Dalam melakukan pembuktian, hakim tidak tergantung pada fakta

yang dikemukakan para pihak (aspek luas pembuktian);

2) Hakim yang menetapkan beban pembuktian;

3) Tidak dikehendaki adanya ketentuan yang mengikat hakim dalam

memilih alat-alat bukti (aspek alat-alat bukti);

4) Penilaian pembuktian sepenuhnya diserahkan kepada hakim (aspek

penilaian penghargaan pembuktian).43

c. Asas Keaktifan Hakim

Keaktifan hakim dimaksudkan untuk mengimbangi kedudukan

para pihak yang dinilai tidak seimbang, karena Tergugat adalah Badan

atau Pejabat Tata Usaha Negara, sedangkan Penggugat adalah Orang atau

Badan Hukum Perdata. Penerapan asas ini terdapat dalam ketentuan


42
Weda Kupita, Materi Kuliah Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Fakultas
Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, 2010, hlm 9.
43
Ibid.
28

Pasal 58, Pasal 63 ayat (1) ayat (2), Pasal 80 dan Pasal 85 UU No. 5

Tahun 1986. Konsekuen dari asas ini yaitu :

1) Keaktifan selama proses pemeriksaan sengketa sepenuhnya terletak

pada hakim;

2) Hakim berwenang mengadakan Pemeriksaan Persiapan untuk

mengetahui kelengkapan gugatan, sehingga pemeriksaan di

persidangan harus dianggap bahwa gugatan telah sempurna;

3) Ultra Petita tidak dilarang, sehingga adanya Reformatia In Peius

menjadi dimungkinkan;

4) Dalam melakukan pengujian keabsahan, hakim tidak terikat pada

alasan mengajukan gugatan yang diajukan oleh Penggugat.44

d. Asas erga omnes

Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa hukum publik,

dengan demikian putusan Pengadilan TUN berlaku bagi siapa saja, tidak

hanya berlaku bagi pihak yang berperkara saja. Adapun konsekuensi

yang ditimbukan akibat diterapkannya asas ini yaitu :

1) Tidak perlu adanya diktum putusan hakim yang menyatakan agar

pihak-pihak tertentu untuk mentaati Putusan Pengadilan yang

bersangkutan;

2) Intervensi tidak mutlak adanya, pihak ketiga yang sangat

berkepentingan cukup didengar sebagai saksi;

3) Dihapuskannya pasal 118 UU Nomor 5 Tahun 1986.45



44
Ibid.
29

2. Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara

Kompetensi menurut Kamus Bahasa Indonesia adalah kewenangan

(kekuasaan) untuk menentukan (memutuskan sesuatu). Kompetensi dari

suatu pengadilan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara

berkaitan dengan jenis dan tingkatan pengadilan yang ada berdasarkan

Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.46

Tedapat beberapa cara yang dapat digunakan untuk mengetahui

kompetensi dari suatu pengadilan untuk memeriksa, mengadili, dan

memutus suatu perkara, yaitu dapat dilihat pada sengketanya (geschilpunt,

fundamentum petendi), dengan melakukan pembedaan antara atribusi

(atributie van rechtsmacht) dan distribusi (distributie van rechtsmacht), dan

dengan melakukan pembedaan antara kompetensi absolut dan kompetensi

relatif.47

Kompetensi (kewenangan) suatu badan pengadilan untuk mengadili

suatu perkara dapat dibedakan atas kompetensi relatif dan kompetensi

absolut. Kompetensi relatif berhubungan dengan kewenangan pengadilan

untuk mengadili suatu perkara sesuai dengan wilayah hukumnya.

Sedangkan kompetensi absolut adalah kewenangan pengadilan untuk

mengadili suatu perkara menurut objek, materi atau pokok sengketa.48


45
Ibid.
46
Zairin Harahap, Op.Cit., hlm. 29.
47
Ibid., hlm. 30-31.
48
Philipus M. Hadjon dkk., Op. Cit., 1993, hlm. 313.
30

Selanjutnya yang menjadi objek sengketa Tata Usaha Negara adalah

Keputusan Tata Usaha Negara itu sendiri, sebagaimana yang terdapat pada

Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 tahun 2009 tentang Perubahan

Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata

Usaha Negara. Termasuk ke dalam Kompetensi Peradilan Tata Usaha

Negara adalah ketentuan yang terdapat pada Pasal 3. Para sarjana hukum

menyebut hal ini dengan Keputusan Tata Usaha Negara Fiktif-Negatif yaitu

sebagai berikut:

1) Apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan


keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal
tersebut disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara.
2) Jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan
keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana
ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dimaksud telah
lewat, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut dianggap
telah menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud.
3) Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak
menentukan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2),
maka setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak diterimanya
permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang
bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan.49

a. Kompetensi Absolut

Kompetensi absolut dari Peradilan Tata Usaha Negara adalah

untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan sengketa yang timbul

dalam bidang Tata Usaha Negara antara seseorang atau badan hukum

perdata dengan badan atau pejabat Tata Usaha Negara akibat

dikeluarkannya suatu keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa

kepegawaian (Pasal 1 angka 10 UU No. 51 Tahun 2009) dan tidak


49
Indroharto, Op. Cit., 1993, hlm. 35.
31

dikeluarkannya suatu keputusan yang dimohonkan seseorang sampai

batas waktu yang ditentukan dalam suatu peraturan perundang-undangan,

sedangkan hal itu merupakan kewajiban badan atau pejabat Tata Usaha

Negara yang bersangkutan (Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1986).50

Kompetensi absolut tersebut masih dilimitasi oleh sesatu keadaan

sebagaimana tercantum dalam Pasal 48 dan 49 Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1986, yaitu bahwa :

Pasal 48: (1) Dalam hal suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara

diberi wewenang oleh atau berdasarkan peraturan

perundang-undangan untuk menyelesaikan secara

administratif sengketa Tata Usaha Negara tertentu, maka

batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan

ganti rugi dan/administratif yang tersedia.

(2) Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus, dan

menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) jika seluruh upaya administratif

yang bersangkutan telah digunakan.

Pasal 49: Pengadilan tidak berwenang memeriksa, memutus, dan

menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara tertentu dalam

hal keputusan yang disengketakan itu dikeluarkan :

a. dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana

alam, atau keadaan luar biasa yang membahayakan,



50
Zairin Harahap, Op. Cit., 2007, hlm.30.
32

berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

berlaku;

b. dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum

berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

b. Kompetensi Relatif

Kompetensi relatif adalah kompetensi Pengadilan ditentukan

berdasarkan wilayah hukum yang menjadi wilayah kewenangannya.

Suatu badan pengadilan dinyatakan berwenang untuk memeriksa suatu

sengketa apabila salah satu pihak sedang bersengketa

(Penggugat/Tergugat) berkediaman di salah satu daerah hukum yang

menjadi wilayah hukum pengadilan itu.51

Kompetensi relatif (distribusi kekuasaan Pengadilan, kewenangan

nisbi), ialah bahwa sesuai dengan asas Actor Sequuitor Forum Rei ( yang

berwenang adalah pengadilan tempat kedudukan tergugat), maka

Pengadilan yang berwenang mengadili dalam sengketa Tata Usaha

Negara (TUN) ialah PTUN yang daerah hukumnya meliputi tempat

kediaman tergugat. Kompetensi Relatif ini sebenarnya bertujuan untuk

menjawab pertanyaan: pengadilan mana yang berwenang mengadili

sengketa ini. Lebih lanjut ketentuan mengenai kompetensi relatif

terdapat dalam ketentuan Pasal 54 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1986, yang berisi sebagi berikut :



51
S.F.Marbun, Peradilan Tata Usaha Negara, Liberty, Yogyakarta, 2003, hlm. 186.
33

(1) Gugatan sengketa Tata Usaha Negara diajukan kepada Pengadilan

yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan

tergugat.

(2) Apabila tergugat lebih dari satu Badan atau Pejabat Tata Usaha

Negara dan berkedudukan tidak dalam satu daerah hukum

Pengadilan, gugatan diajukan kepada Pengadilan yang daerah

hukumnya meliputi tempat kedudukan salah satu Badan atau Pejabat

Tata Usaha Negara.

(3) Dalam hal tempat kedudukan tergugat tidak berada dalam daerah

hukum Pengadilan tempat kediaman penggugat, maka gugatan dapat

diajukan ke Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat

kediaman penggugat untuk selanjutnya diteruskan kepada

Pengadilan yang bersangkutan.

(4) Dalam hal-hal tertentu sesuai dengan sifat sengketa Tata Usaha

Negara yang bersangkutan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah,

gugatan dapat diajukan kepada Pengadilan yang berwenang yang

daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat.

(5) Apabila penggugat dan tergugat berkedudukan atau berada di luar

negeri, gugatan diajukan kepada Pengadilan di Jakarta. Apabila

tergugat berkedudukan di dalam negeri dan penggugat di luar negeri,

gugatan diajukan kepada Pengadilan di tempat kedudukan tergugat.


34

C. Keputusan Tata Usaha Negara

Timbulnya sengketa Tata Usaha Negara menurut Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 jo. Undang-

Undang Nomor 51 Tahun 2009 bahwa sengketa Tata Usaha Negara itu

merupakan akibat dari dikeluarkanya suatu Keputusan Tata Usaha Negara.

Mengenai apa yang dimaksud dengan Keputusan Tata Usaha Negara

menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang Nomor 9

Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 adalah sangat penting

untuk dipahami, karena dengan memberikan pengertian yang lain tentang apa

yang dimaksud dengan Keputusan Tata Usaha Negara, akan mempunyai akibat

memberikan pengertian yang salah tentang apa yang dimaksud dengan

sengketa Tata Usaha Negara.52

Keputusan Tata Usaha Negara pada prinsipnya berupa bentuk surat

keputusan yang bersifat tertulis, konkret, individual dan final. Hal ini telah

diatur di dalam Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009.

Menurut Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009, yang

dimaksud dengan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) ialah suatu

penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara

yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final,

yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Akibat adanya KTUN itu tidak menutup kemungkinan timbulnya sengketa


52
Zairin Harahap, Op. Cit., hlm. 17.
35

Tata Usaha Negara, yang dimaksud sengketa Tata Usaha Negara diatur dalam

Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 yaitu sengketa yang

timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata

dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah,

sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk

sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

Berdasarkan pengertian Keputusan Tata Usaha Negara, dapat diperoleh

beberapa unsur dari suatu Keputusan Tata Usaha Negara sebagai objek

sengketa Tata Usaha Negara. Jika diuraikan apa yang dimaksud dengan

Keputusan Tata Usaha Negara tersebut, maka akan ditemukan unsur-unsur,

yaitu:

1) Penetapan Tertulis

Suatu penetapan yang dikeluarkan oleh badan atau Pejabat Tata

Usaha Negara disyaratkan tertulis, bukan disyaratkan pada bentuk formal

(formaliteiten), seperti surat pengangkatan atau pemberhentian Pegawai

Negeri Sipil, tetapi kepada isi (materi) yang menunjuk kepada hubungan

hukum. Oleh karena itu memo atau nota tertulis, asalkan maksudnya jelas

dan terang, sudah dianggap memenuhi syarat keputusan Badan atau Pejabat

Tata Usaha Negara. Persyaratan tertulis ini guna memudahkan segi

pembuktian serta untuk kepastian hukum, sehingga dengan demikian


36

tindakan hukum yang dilakukan secara lisan tidak termasuk dalam

pengertian Keputusan Tata Usaha Negara.53

Kemudian penjelasan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1986 jo. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 dapat diketahui

bahwa semua Keputusan Tata Usaha Negara harus dengan bentuk tertulis,

kecuali Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986. Keputusan Tata Usaha Negara

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 tersebut, bentuknya memang tidak

tertulis, tetapi disamakan dan di anggap sama dengan Keputusan Tata Usaha

Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1986 jo Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun

2009. Dari penjelasan pasal tersebut dapat diketahui bahwa bentuk formal

dari suatu penetapan tertulis tidak menjadi syarat mutlak agar suatu

penetapan tertulis dapat disebut atau termasuk Keputusan Tata Usaha

Negara.54

2) Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara

Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan hasil perbuatan

administrasi negara dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan

dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. 55 Unsur ini

menentukan bahwa penetapan tertulis tersebut harus dikeluarkan oleh Badan

atau Pejabat Tata Usaha Negara. Menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1986 jo. Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 51 Tahun



53
Martiman Prodjohamidjojo, Op. Cit., hlm. 24.
54 R. Wiyono, Op. Cit., hlm. 18-19.
55 Martiman Prodjohamidjojo, Op. Cit., hlm. 25.
37

2009, yang dimaksud dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah

badan atau pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan

peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan kata lain, Badan atau

Pejabat Tata Usaha Negara adalah badan atau pejabat yang berdasarkan

peraturan perundang-undangan yang berlaku, mempunyai wewenang untuk

melaksanakan urusan pemerintahan. Dengan demikian, ukuran atau kriteria

agar suatu badan atau pejabat dapat disebut sebagai Badan atau Pejabat Tata

Usaha Negara adalah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

berlaku, badan atau pejabat tersebut mempunyai wewenang untuk

melaksanakan urusan pemerintahan. Wewenang tersebut yang ada pada

Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dapat dipertoleh dengan cara

atribusi, delegasi, dan mandat.56

3) Berisi Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Berdasarkan Peraturan

Perundang-Undangan

Penjelasan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986

jo. Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 disebutkan

bahwa yang dimaksud dengan tindakan hukum Tata Usaha Negara adalah

perbuatan hukum Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersumber

pada ketentuan hukum Tata Usaha Negara yang dapat menimbulkan hak

atau kewajiban pada orang lain. Dengan kata lain, tindakan hukum Tata

Usaha Negara adalah tindakan dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara

yang dilakukan atas dasar peraturan perundang-undangan yang berlaku,


56
R. Wiyono, Op. Cit., hlm. 20.
38

yang menimbulkan akibat hukum mengenai urusan pemerintahan terhadap

seseorang atau badan hukum perdata.

Karena tindakan hukum dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara

tersebut atas dasar peraturan perundang-undangan menimbulkan akibat

hukum mengenai urusan pemerintahan, maka dapat dikatakan tindakan

hukum dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara itu selalu merupakan

tindakan hukum publik sepihak. Perlu untuk diperhatikan bahwa tidak selalu

tindakan hukum dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara merupakan

tindakan hukum Tata Usaha Negara, tetapi hanya tindakan hukum dari

Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang menimbulkan akibat hukum

mengenai urusan pemerintahan saja yang merupakan tindakan hukum Tata

Usaha Negara.

4) Bersifat Konkret, Individual, dan Final

Apa yang dimaksud dengan bersifat Konkret, individual, dan final

adalah sebagai berikut:

a. Bersifat konkret, artinya objek yang diputuskan dalam

Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak abstrak, tetapi berwujud,

tertentu, atau dapat ditentukan, contohnya keputusan mengenai

pembongkaran rumah si A, izin usaha bagi si B, dan

pemberhentian si A sebagai pegawai Negeri.

b. Bersifat individual, artinya Keputusan Tata Usaha Negara itu

tidak ditujukan untuk umum, tetapi tertentu, baik alamat maupun

hal yang dituju. Kalau yang dituju itu lebih dari seorang, maka
39

tiap-tiap nama orang yang terkena keputusan tersebut disebutkan,

misalnya keputusan tentang pembuatan atau pelebaran jalan

dengan lampiran yang menyebutkan nama-nama yang terkena

keputusan tersebut. Namun dari hasil diskusi pada Pelatihan

Teknis Tustisial Hakim Peradilan Tata Usaha Negara antara lain

dapat diketahui bahwa Keptutusan Tata Usaha Negara yang

bersifat umum sepenjang masih dapat diindividualisasikan

(misalnya dari penyebutan jalan tertentu sudah dapat diketahui

siapa-siapa yang terkena Surat Keputusan Walikota tentang

pelebaran jalan tertentu tersebut), maka dapat dianggap sebagai

Keputusan Tata Usaha Negara.

c. Bersifat final, artinya sudah definitif dan karenanya dapat

menimbulkan akibat hukum. Keputusan yang masih memerlukan

persetujuan instansi atasan atau instansi lain belum bersifat final,

karenanya belum dapat menimbulkan suatu hak atau kewajiban

pada pihak yang bersangkutan, misalnya keputusan

pengangkatan seorang pegawai negeri memerlukan persetujuan

dari Badan Kepegawaian Negara. Menurut kadar Slamet yang

dimaksud dengan definitif adalah sudah tidak dapat diubah lagi.

Artinya dengan diterbitkanya Keputusan Tata Usaha Negara

tersebut sudah dapat menimbulkan akibat hukum yang tidak

dapat ditawar-tawar lagi. Jadi, mutlak harus dilaksanakan.

Dengan kata lain tidak ada lagi tindakan, upaya hukum alternatif
40

yang bisa ditempuh (apabila itu menimbulkan kerugian terhadap

pihak yang bersangkutan), kecuali dengan gugatan.

5) Menimbulkan Akibat Hukum Bagi Seseorang atau Badan Hukum Perdata

Menimbulkan akibat hukum adalah menimbulkan akibat hukum Tata

Usaha Negara, karena penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau

Pejabat Tata Usaha yang menimbulkan akibat hukum tersebut adalah berisi

tindakan hukum Tata Usaha Negara. Akibat hukum Tata Usaha Negara

tersebut dapat berupa:

a. Menguatkan suatu hubungan hukum atau keadaan hukum yang telah

ada (declaratoir), misalnya surat keterangan dari Pejabat Pembuat

Akta Tanah yang isinya menyebutkan antara A dan B memang telah

terjadi jual beli tanah atau surat keterangan dari Kepala Desa yang

isinya menyebutkan tentang asal-usul anak yang akan menikah.

b. Menimbulkan suatu hubungan hukum atau keadaan hukum yang baru

(constitutief), misalnya Keputusan Jaksa Agung tentang pengangkatan

calon Pegawai Negeri Sipil atau Keputusan Menteri Perindustrian dan

Perdagangan yang isinya menyebutkan menyebutkan suatu Perseroan

Terbatas diberikan izin untuk mengimpor suatu jenis barang. Menolak

untuk menguatkan hubungan hukum atau keadaan hukum yang telah

ada, misalnya Keputusan Jaksa Agung tentang penolakan untuk

mengangkat calon Pegawai Negeri Sipil menjadi Pegawai Negeri Sipil

atau Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional tentang penolakan

permohonan perpanjangan Hak Guna Usaha. Menolak untuk


41

menimbulkan hubungan hukum atau keadaan hukum yang baru,

misalnya Keputusan Jaksa Agung tentang penolakan untuk

mengangkat calaon Pegawai Negeri Sipil menjadi Pegawai Negeri

Sipil atau Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan tentang

penolakan permohonan dari suatu Perseroan Terbatas untuk

mengimpor suatu jenis barang.57

D. Legal Standing dalam Peradilan Tata Usaha Negara

Orang atau Badan Hukum Perdata yang merasa kepentingannya

dirugikan akibat diterbitkannya suatu Keputusan Tata Usaha Negara oleh

Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, Orang atau Badan Hukum Perdata itu

dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara, ia adalah subyek

hukum yang mempunyai kapasitas/kepentingan hukum untuk menggugat (legal

standing).

Pada prinsipnya istilah standing dapat diartikan secara luas yaitu akses

orang perorangan atau kelompok/organisasi di pengadilan sebagai pihak

penggugat. Secara konvensional hak gugat hanya bersumber pada prinsip

tiada gugatan tanpa kepentingan hukum (point dinterest point daction).

Kepentingan hukum (legal interest) yang dimaksud di sini adalah merupakan

kepentingan yang berkaitan dengan kepemilikan (propietary interest) atau

kepentingan material berupa kerugian yang dialami secara langsung (injury in

fact).58 Legal standing merupakan hak gugat yang dimiliki oleh seseorang atau

lebih termasuk pula badan hukum perdata yang merasa kepentingannya


57
Ibid, hlm. 27-30.
58
Erna Herlinda, Loc. Cit.
42

dirugikan atau timbul kerugian baginya akibat dikeluarkannya Keputusan Tata

Usaha Negara oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.

Ketentuan mengenai hak gugat diatur dalam Pasal 53 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor

5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang mengamanatkan

diselenggarakannya hak gugat bagi orang atau badan hukum perdata yang

dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara, untuk mengajukan

gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.

Orang dalam rumusan itu adalah seseorang dalam pengertian alami

(natuurlijke persoon). Tetapi apa yang dimaksud Badan Hukum Perdata (BHP)

masih mengandung persoalan. Menurut Indroharto59, mengatasi persoalan itu

kita harus merujuk pada ketentuan dalam KUH Perdata. Ia berpendapat yang

dimaksud BHP dalam rumusan itu adalah murni badan yang menurut

pengertian hukum perdata berstatus sebagai badan hukum seperti CV, PT,

Firma, Yayasan, Perkumpulan, Persekutuan Perdata (maatchap) dan lain-lain

sepanjang berstatus badan hukum perdata.

Dalam perkembangannya, organisasi juga dianggap punya kualitas atau

hak sebagai penggugat Keputusan Tata Usaha Negara 60 , tetapi organisasi

tersebut tetap harus punya badan hukum.61


59
Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
Buku I: Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara, Sinar Harapan, 2004, hlm. 117.
60
Zairin Harahap, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Edisi revisi, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 1997, hlm 87.
61
R. Wiyono, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Edisi kedua, Sinar Grafika,
Jakarta, 2009, hlm 63-64.
43

Selain itu ada pula gugatan Citizen Lawsuit, Gugatan Citizen Lawsuit

(CLS) pada intinya adalah mekanisme bagi Warga Negara untuk menggugat

tanggung jawab Penyelenggara Negara atas kelalaian dalam memenuhi hak-

hak warga Negara. Kelalaian tersebut didalilkan sebagai Perbuatan Melawan

Hukum, sehingga CLS diajukan pada lingkup peradilan umum dalam hal ini

perkara Perdata. Oleh karena itu Atas kelalaiannya, dalam petitum gugatan,

Negara dihukum untuk mengeluarkan suatu kebijakan yang bersifat mengatur

umum (regeling) agar kelalaian tersebut tidak terjadi lagi di kemudian hari.62

Beberapa pengertian gugatan citizen law suit atau gugatan actio

Popularis diantaranya63:

- Actio popularis adalah prosedur pengajuan gugatan yang melibatkan

kepentingan umum secara perwakilan. Gugatan dapat ditempuh dengan

acuan bahwa setiap warga negara tanpa kecuali mempunyai hak membela

kepentingan umum;

- Citizen law suit adalah akses orang perorangan warga Negara untuk

kepentingan publik termasuk kepentingan lingkungan mengajukan

gugatan di pengadilan guna menuntut agar pemerintah melakukan

penegakan hukum yang diwajibkan kepadanya atau untuk memulihkan

kerugian public yang terjadi, Pada dasarnya Citizen law suit merupakan

suatu hak gugat warga Negara yang dimaksudkan untuk melindungi

warga Negara dari kemungkinan terjadinya kerugian sebagai akibat dari

tindakan atau pembiaran omisi dari Negara atau otoritas Negara;



62
https://masalahukum.wordpress.com/2013/08/25/citizen-law-suit diakses pada 10 April
2017.
63
Ibid.
44

- Actio popularis adalah gugatan yang dapat diajukan oleh setiap warga

negara, tanpa pandang bulu, dengan pengaturan oleh Negara.

Dari uraian di atas secara limitatif telah ditentukan pihak-pihak yang

dapat menjadi penggugat di Pengadilan Tata Usaha Negara adalah seseorang

atau badan hukum perdata yang kepentingannya merasa dirugikan atas

diterbitkannya surat keputusan tata usaha negara.

Kepentingan kerugian yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1986 sifatnya adalah kepentingan yang bersifat pribadi yang secara

langsung diderita atau dirugikan atas penerbitan surat keputusan yang

merugikan tersebut, jadi kepentingan kerugian di sini tidak bersifat derefatif. 64

Berbeda halnya seperti kepentingan yang dimaksud dalam gugatan

perwakilan (class actions) kepentingan yang dirugikan di sini tidak bersifat

individual atau telah lebih condong kepentingan publik atau masyarakat orang

banyak, apalagi misi kepentingan dalam kepastian hak gugat organisasi (legal

standing/ius standi) misi kepentingannya bukan kepentingan pribadi secara

langsung, melainkan kepentingan objek alam atau kepentingan masyarakat

yang menurut visi anggaran dasar atau rumah tangganya mengatur untuk itu.

Kepentingan yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1986 merupakan kepentingan perseorangan/individual yang langsung

mengalami atau menderita kerugian atas diterbitkannya objek sengketa atau

surat keputusan tata usaha negara, dalam kapasitas gugatan organisasi, sudah


64
Erna Herlinda, Op. Cit., hlm. 5.
45

barang tentu kepentingan yang dirugikan itu tidak langsung dialami oleh

organisasi itu.

Selain itu, jika ada pihak lain yang dirugikan akibat dikeluarkannya

suatu KTUN, pihak itu dapat masuk dalam pemeriksaan perkara yang sedang

berlangsung sebagai pihak intervensi. Intervensi dalam proses Peradilan Tata

Usaha Negara adalah ikut serta atau diikutsertakannya pihak ketiga berupa

perorangan atau badan hukum perdata yang berada di luar pihak berperkara

dalam proses pemeriksaan perkara. Intervensi dimungkinkan sebelum acara

pembuktian (paling lambat saat duplik). Dengan kata lain bilamana intervensi

diajukan setelah duplik, maka intervensi dianggap batal. Kemungkinan masuknya

pihak ketiga ini (intervensi) diatur dalam pasal 83 UU No. 5 tahun 1986.

Terdapat beberapa kemungkinan motivasi masuknya pihak ketiga

dalam proses peradilan, yaitu:

1. Atas Prakarsa Sendiri

Dalam hal pihak ketiga ingin mempertahankan serta membela hak

dan kepentingannya agar tidak dirugikan oleh putusan pengadilan yang

sedang berjalan, maka pihak ketiga tersebut sebagai pihak yang mandiri

dan berkedudukan di tengah-tengah antara pihak penggugat dan pihak

tergugat. Untuk dapat ikut serta dalam perkara atau proses pemeriksaan

perkara, karena atas prakarsa sendiri, maka pihak ketiga tersebut harus

mengajukan permohonan dengan mengemukakan alasan-alasan serta hal

yang dituntut, sesuai dengan ketentuan pasal 56 UU No. 5 tahun 1986.

Permohonan tersebut berisi alasan-alasan dan hal-hal yang diminta


46

pemohon yang ditujukan kepada pengadilan yang sedang memeriksa

perkara.

Permohonan tersebut diputus melalui putusan sela dan

dicantumkan dalam berita acara sidang. Isi putusan sela tersebut bisa

berupa pengabulan atau penolakan permohonan. Apabila permohonan

dikabulkan maka pihak ketiga tersebut berkedudukan sebagai Penggugat

Intervensi. Sedangkan apabila permohonan tersebut tidak dikabulkan,

maka tidak dapat dimintakan banding secara sendiri, melainkan harus

bersama-sama dengan pemeriksaan pokok perkara dalam persidangan

yang dimaksud. Alternatif lain, pihak ketiga tersebut bisa pula mengajukan

gugatan di luar proses yang sedang berjalan hanya saja bila ia bisa

menunjukkan bahwa ia berkepentingan untuk mengajukan gugatan itu dan

gugatannya telah memenuhi syarat.

2. Atas Permintaan Hakim

Dalam proses pemeriksaan perkara pada Peradilan Tata Usaha

Negara sangat dimungkinkan adanya putusan pengadilan yang

berpengaruh terhadap pihak ketiga. Termasuk Keputusan Tata Usaha

Negara yang menjadi objek gugatan bisa pula berhubungan dengan pihak

ketiga. Bertitik tolak bahwa gugatan diajukan oleh perorangan atau badan

hukum terhadap badan yang berwenang menerbitkan KTUN dimaksud,

maka terdapat hal yang mungkin mengesampingkan kepentingan pihak

ketiga. Dalam kondisi yang demikian hakim berwenang untuk melakukan

atau mengikutsertakan pihak ketiga dimaksud dalam proses peradilan.


47

Dengan demikian secara administratif pihak ketiga dimaksud akan

dipanggil dengan resmi sebagaimana mestinya.

Sebagai contoh A menggugat Wali Kota untuk mencabut izin

pendirian bangunan B. gugatan dilakukan antara A dan Wali kota saja.

Padahal dalam hal ini, kepentingan B sangat menjadi pokok. Dalam

kondisi seperti itu, maka hakim berwenang untuk menarik B ke dalam

proses perkara yang kemudian disebut sebagai tergugat II intervensi.

Mengingat bahwa secara logis, B tentu tidak ingin dirugikan atas

keputusan hakim kelak (pencabutan izin mendirikan bangunannya).

3. Atas Permintaan salah satu pihak (penggugat atau tergugat)

Masuknya pihak ketiga dalam proses pemeriksaan perkara atas

permintaan salah satu pihak berperkara dilatar belakangi agar adanya

penguatan terhadap posisi hukum para pihak yang bersengketa. Cara ini

dalam acara perdata disebut voeging. Bila yang menarik adalah pihak

penggugat, maka kedudukan pihak ketiga adalah sebagai Penggugat II

Intervensi dan sebaliknya jikalau pihak tergugat yang berinisiatif menarik

pihak ketiga dalam perkara, maka kedudukan pihak ketiga tersebut adalah

sebagai Tergugat II Intervensi.

Baik Tergugat II maupun Penggugat II intervensi, keduanya

difungsikan agar memperkuat posisi hukum para pihak yang menariknya.

Tergugat II Intervensi diharapkan bisa menguatkan posisi hukum Tergugat

dan Penggugat II Intervensi diharapkan untuk memperkuat posisi hukum

Penggugat. Dimungkinkan pula voeging dilakukan atas prakarsa sendiri,


48

tentunya setelah pihak ketiga yang bersangkutan mengajukan permohonan

dan dikabulkan oleh pengadilan. Syarat utama dalam hal ini adalah adanya

syarat mempertahankan hak dan kepentingan. Karena pihak ketiga yang

tidak berkepentingan dan tidak akan menderita kerugian, tidak

diperkenankan mengadakan penggabungan diri untuk bersama-sama

melawan pihak lawan dengan bergabung pada salah satu pihak.

Masuknya pihak ketiga dalam proses, baik atas prakarsa sendiri atau

permintaan hakim hanya ditempatkan pada pihak penggugat saja, dan tidak

diberikan pada pihak tergugat. Mengingat ketentuan bahwa sebagai tergugat

dalam Proses acara TUN, adalah pejabat yang menerbitkan KTUN.

Berdasarkan pasal 83 dan pasal 118 UU No. 5 tahun 1986, intervensi

dimungkinkan dalam 2 masa. Yaitu intervensi pada saat pemeriksaan di sidang

pengadilan dan intervensi pada saat pelaksanaan putusan pengadilan. Intervensi

dalam pemeriksaan di sidang pengadilan dimotivasi tiga kategori sebagaimana

telah diuraikan di atas. Pengaturan masuknya pihak ketiga ini sangat

diperlukan sebab karakter putusan PTUN berlaku erga Omnes dan sangat

berbeda dalam acara perdata yang mana putusan hanya berlaku bagi pihak

yang berperkara saja.

E. Eksepsi

Exceptie (Belanda), exception (Inggris), secara umum berarti

pengecualian. Akan tetapi, dalam konteks Hukum Acara, bermakna tangkisan

atau bantahan (objection). 65 Pada umumnya yang diartikan dengan eksepsi


65
M. Yahya Harahap, Loc. Cit.
49

ialah suatu sanggahan atau bantahan dari pihak tergugat terhadap gugatan

penggugat yang tidak langsung mengenai pokok perkara, yang berisi tuntutan

batalnya gugatan.66 Konkretnya, jawaban gugatan mengenai segi formal dari

surat gugatan.67

Tujuan pokok pengajuan eksepsi, yaitu agar pengadilan mengakhiri

proses pemeriksaan tanpa lebih lanjut memeriksa materi pokok perkara.

Pengakhiran yang diminta melalui eksespsi bertujuan agar pengadilan:68

a. Menjatuhkan putusan negatif, yang menyatakan gugatan tidak dapat

diterima (niet ontvankelijk);

b. Berdasarkan putusan negatif itu, pemeriksaan perkara diakhiri tanpa

menyinggung penyelesaian materi pokok perkara.

Mengenai jenis-jenis eksepsi dalam Pasal 77 Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1986 menyebutkan adanya 3 macam eksepsi, yaitu:69

a. Eksepsi tentang kewenangan absolut Pengadilan.

b. Eksepsi tentang kewenangan relatif pengadilan.

c. Eksepsi yang lain yang tidak mengenai kompetensi pengadilan.

Eksepsi tentang kewenangan absolut pengadilan dapat diajukan setiap

waktu selama pemeriksaan. Dan meskipun tidak ada eksepsi tentang

kewenangan absolut pengadilan apabila hakim mengetahui hal itu, hakim

karena jabatannya wajib menyatakan bahwa pengadilan tidak berwenang

mengadili sengketa yang bersangkutan.


66
Sudikno Mertokusumo, Loc. Cit.
67
Lilik Mulyadi, Loc. Cit.
68
M. Yahya harahap, Op. Cit., hlm. 418-419.
69
Martiman Prodjohamidjojo, Op. Cit., hlm. 50.
50

Eksepsi tentang kewenangan relatif pengadilan diajukan sebelum

disampaikan jawaban atas pokok sengketa dan eksepsi tersebut harus diputus

sebelum pokok sengketa diperiksa.

Eksepsi lain yang tidak mengenai kewenangan pengadilan hanya dapat

diputus bersama-sama dengan pokok sengketa. Eksepsi yang dapat dilakukan

dalam sengketa Tata Usaha Negara oleh tergugat dapat diklasifikasikan atas 2

kelompok yaitu:

a. Eksepsi prosesuil, ialah eksepsi yang didasarkan atas hukum acara

(procesuele exceptie), menurut Faure, Eksepsi prosesuil adalah upaya

yang menuju kepada tuntutan tidak diterimanya gugatan. Peryataan tidak

diterima berarti suatu penolakan in limine litis, berdasarkan alasan-alasan

diluar pokok perkara.70 Menurut Lilik Mulyadi, eksepsi prosesuil adalah

eksepsi atau tangkisan tergugat/para tergugat atau kuasanya yang hanya

menyangkut segi acara.71 misalnya72:

1) Eksepsi hakim tidak berkuasa memeriksa gugatan yang diajukan

penggugat (onbevoegdheid van de rechter).

2) Eksepsi perkara oleh telah diputus oleh majelis hakim dan mempunyai

kekuatan tetap (exeptio rei judicatae), sehingga berdasarkan asas

nebis in idem, perkara itu tidak dapat diadili lagi.

3) Eksepsi penggugat tidak mempunyai keddudukan sebagai subjek

penggugat (disqualificatoire excceptie).

4) Eksepsi tentang lewat waktu (verjaring).



70
Sudikno Mertokusumo, Op. Cit., hlm. 124.
71 Lilik Mulyadi, Op. Cit., hlm 137.
72
W. Riawan Tjandra. Op. Cit., hlm. 103.
51

5) Eksepsi tidak lengkapnya subjek tergugat (exeptio plurium litis

consortium).

6) Eksepsi tentang sengketa masih tergantung atau masih dalam proses

pengadilan atau belum berkekuatan tetap (exeptie van litispendentie).

b. Eksepsi didasarkan atas hukum materiil (materiele exeptie) meliputi:73

1) Dilatoire exeptie ialah eksepsi yang mengatakan bahwa tuntutan

penggugat belum dapat dikabulkan berhubungan dengan misalnya

gugatan penggugat belum dapat diterima untuk diperiksa sengketanya

di pengadilan, karena masih prematur, dalam arti gugatan yang

diajukan masih terlampau dini.74, eksepsi tentang gugatan kabur atau

tidak terang (exceptie abscuur libel).

2) Peremptoire exeptie ialah eksepsi yang tetap menghalangi

dikabulkannya tuntutan penggugat, misalnya: gugatan melampaui

waktu (verjaring), eksepsi tentang perkara belum waktunya diajukan,

karena masih dipertimbangkan menerima atau menolak (exeptie van

braad).


73
Ibid.
74
M. Yahya Harahap. Op. Cit., hlm. 457.

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian terhadap Putusan

Nomor 10/G/2015/PTUN-PLG adalah menggunakan metode pendekatan

yuridis normatif dengan pendekatan legistis positivis. Konsep ini memandang

hukum identik dengan norma-norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh

lembaga atau pejabat yang berwenang. Konsep ini memandang hukum sebagai

suatu sistem normatif yang bersifat mandiri, tertutup dan lepas dari kehidupan

masyarakat yang nyata.75

B. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian terhadap Putusan Nomor 10/G/2015/PTUN-PLG

adalah penelitian secara deskriptif analitis, deskriptif artinya menggambarkan

peraturan perundang-undangan yang berlaku dikaitkan dengan teori hukum dan

praktek pelaksanaan hukum positif. Analitis berarti bahwa kemudian akan

dilakukan analisis terhadap berbagai aspek yang akan diteliti dengan asas

hukum, kaidah hukum, dan berbagai pengertian hukum yang berkaitan.

C. Lokasi Penelitian

Lokasi dari penelitian ini dilakukan di Pusat Informasi Ilmiah (PII)

Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, UPT Perpustakaan

Universitas Jenderal Soedirman, dan tempat lain yang berkaitan erat dengan

75
Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1985,
hlm.15.
53

adanya sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian terhadap

Putusan Nomor 10/G/2015/PTUN-PLG.

D. Sumber Bahan Hukum

1. Bahan Hukum Primer

Bahan Hukum Primer yakni bahan hukum yang bersifat autoratif artinya

mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari:

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;


2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1968 Nomor 77);
3) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 35);
4) Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
5079);
5) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157);
6) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7);
7) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 123);
8) Peraturan Daerah Musi Banyuasin Nomor 1 Tahun 2007 tentang Tata
Cara Pencalonan, Pemilihan, Pelantikan dan Pemberhentian Kepala
Desa (Lembaran Daerah Kabupaten Musi Banyuasin Tahun 2007
Nomor 1);
9) Peraturan Daerah Musi Banyuasin Nomor 10 Tahun 2012 tentang
Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 1 tahun 2007 tentang Tata
Cara Pencalonan, Pemilihan, Pelantikan dan Pemberhentian Kepala
Desa (Lembaran Daerah Kabupaten Musi Banyuasin Tahun 2012
Nomor 10);
10) Peraturan Bupati Musi Banyuasin Nomor 26 Tahun 2013 tentang Tata
Cara Pencalonan dan pemilihan Kepala Desa (Berita Daerah Kabupaten
Musi Banyuasin Tahun 2013 Nomor 26);
11) Putusan PTUN Palembang Nomor: 10/G/2015/PTUN-PLG.
54

2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan Hukum Sekunder yakni bahan hukum yang berupa publikasi

tentang hukum. Publikasi hukum meliputi buku-buku, kamus-kamus

hukum, jurnal-jurnal hukum, hasil penelitian para sarjana.

E. Metode Pengumpulan Bahan Hukum

1. Bahan Hukum Primer

Pengumpulan bahan hukum primer dilakukan dengan cara

menginventarisasi terhadap bahan hukum primer seperti:

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;


2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1968 Nomor 77);
3) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 35);
4) Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
5079);
5) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157);
6) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7);
7) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 123);
8) Peraturan Daerah Musi Banyuasin Nomor 1 Tahun 2007 tentang Tata
Cara Pencalonan, Pemilihan, Pelantikan dan Pemberhentian Kepala
Desa (Lembaran Daerah Kabupaten Musi Banyuasin Tahun 2007
Nomor 1);
9) Peraturan Daerah Musi Banyuasin Nomor 10 Tahun 2012 tentang
Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 1 tahun 2007 tentang Tata
Cara Pencalonan, Pemilihan, Pelantikan dan Pemberhentian Kepala
Desa (Lembaran Daerah Kabupaten Musi Banyuasin Tahun 2012
Nomor 10);
10) Peraturan Bupati Musi Banyuasin Nomor 26 Tahun 2013 tentang Tata
Cara Pencalonan dan pemilihan Kepala Desa (Berita Daerah Kabupaten
Musi Banyuasin Tahun 2013 Nomor 26);
11) Putusan PTUN Palembang Nomor: 10/G/2015/PTUN-PLG.
55

2. Bahan Hukum Sekunder

Pengumpulan bahan hukum sekunder dilakukan dengan cara studi

pustaka terhadap literatur dan dokumen-dokumen kemudian dicatat menurut

relevansinya dengan permasalahan yang diteliti lalu dipelajari sebagai

kesatuan yang utuh.

F. Metode Analisis

Bahan hukum yang diperoleh dianalisis secara normatif kualitatif, yang

dalam melakukan pembahasan dan penjabaran terhadap hasil penelitian tetap

berpijak pada norma-norma atau kaidah-kaidah dan teori-teori serta doktrin-

doktrin hukum yang relevan dengan pokok-pokok masalah yang di teliti.

G. Metode Penyajian

Bahan hukum yang diperoleh disajikan dalam bentuk uraian yang

disusun secara sistematis, dimana keseluruhan bahan yang diperoleh akan

dihubungkan satu dengan yang lainnya dan disesuaikan dengan pokok

permasalahan yang diteliti sehingga merupakan kesatuan yang utuh tentang

masalah yang diteliti.


BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Hasil penelitian yang berbentuk data sekunder bersumber dari Putusan

Pengadilan Tata Usaha Negara Palembang Nomor 10/G/2015/PTUN.PLG yang

diuraikan secara singkat sebagai berikut:

1. Para Pihak yang Berperkara

1.1. Identitas Penggugat

1. JAWINNER SIBURIAN, berkewarganegaraan Indonesia, Pekerjaan

Petani, bertempat tinggal di Muara Medak RT. 001 RW.001 Desa

Muara Medak Kecamatan Bayung Lencir Kabupaten Musi

Banyuasin;

2. SUGITO, berkewarganegaraan Indonesia, Pekerjaan Perangkat

Desa, bertempat tinggal di Muara Medak RT. 001 RW.007 Desa

Muara Medak Kecamatan Bayung Lencir Kabupaten Musi

Banyuasin ;

3. JASMIN, berkewarganegaraan Indonesia, Pekerjaan Wiraswasta,

bertempat tinggal di Muara Medak RT. 002 RW.001 Desa Muara

Medak Kecamatan Bayung Lencir Kabupaten Musi Banyuasin.

1.2. Identitas Tergugat

Nama Jabatan : Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat Dan

Pemerintahan Desa Kabupaten Musi Banyuasin.


57

Tempat Kedudukan : Jalan Kolonel Wahid Udin No. 192 Sekayu

30711 Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera

Selatan.

2. Objek Sengketa

Objek sengketa/gugatan adalah Surat Keputusan Kepala Badan

Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa Kabupaten Musi

Banyuasin Nomor : 097 Tahun 2014 Tanggal 29 Desember 2014 tentang

Penetapan Calon Kepala Desa Muara Medak Kecamatan Bayung Lencir

Kabupaten Musi Banyuasin Periode 2015 s/d 2021 Kabupaten Musi

Banyuasin.

3. Dasar Gugatan Penggugat

3.1. Tergugat telah menerbitkan Surat Keputusan Kepala Badan

Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa Kabupaten Musi

Banyuasin Nomor : 097 Tahun 2014 Tanggal 29 Desember 2014

Tentang Penetapan Calon Kepala Desa Muara Medak Kecamatan

Bayung Lencir Kabupaten Musi Banyuasin Periode 2015 s.d. 2021,

surat ditandatangani oleh Haryadi,SE,M.Si. padahal salah satu dari

nama calon kepala Desa Muara Medak yaitu pada nomor urut 4

(empat) sdr. Marudut Halomoan Panjaitan yang terdapat dalam Surat

Keputusan tersebut adalah masih berstatus sebagai Pejabat Kepala

Desa Aktif hingga saat ini ;

3.2. Surat keputusan Tergugat/Objek Sengketa pada pokoknya memuat :


58

A. Konsideran atau Dasar Hukum pembentukan Surat Keputusan

Kepala BPMPD Nomor : 097 Tahun 2014

B. Mengesahkan Calon Kepala Desa Muara Medak Kecamatan

Bayung Lencir Kabupaten Musi Banyuasin sebanyak 5 ( lima )

orang,yakni :

1. Sugito.

2. Jasmin.

3. Jawinner Siburian.

4. Marudut Halomoan Panjaitan.

5. Yanto.

3.3. Atas pengesahan Marudut Halomoan Panjaitan sebagai salah satu

calon Pemilihan Kepala Desa Muara Medak Kecamatan Bayung

Lencir Kabupaten Musi Banyuasin telah disanggah oleh Para

Penggugat namun Pemilihan Kepala Desa tetap dilaksanakan;

3.4. Sebelum terbitnya objek sengketa yang dimaksud di atas Para

Penggugat dan Warga Desa Muara Medak telah mempermasalahkan

secara lisan maupun tertulis tentang keabsahan pencalonan Marudut

Halomoan Panjaitan dan untuk itu pada tanggal 30 Oktober 2014,

salah seorang warga desa Muara Medang yang bernama Parulian

Siburian,SH. telah mengirimkan surat yang ditujukan kepada ke

Panitia Pencalonan Pelaksana Pemilihan Kepala Desa Muara Medak,

yang isinya:
59

Pertama: Mempermasalahkan keikut-sertaan Marudut Halomoan

Panjaitan sebagai Bakal Calon Kepala Desa Muara Medak

karena yang bersangkutan masih menjabat sebagai Kepala

Desa aktif ;

Kedua: Karena Marudut Halomoan Panjaitan adalah Sekretaris Desa

Muara Medak yang diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil

sehingga hal tersebut bertentangan dengan Surat Edaran

Menteri Dalam Negeri Nomor: 140/4192/PMD tertanggal 23

Oktober 2009, yang pada intinya menyatakan bahwasanya

tujuan pengangkatan Sekretaris Desa menjadi Pegawai

Negeri Sipil adalah dalam rangka memperkuat Organisasi

dan manajemen Pemerintah Desa dalam hal tertib

administrasi desa dan peningkatan pelayanan terhadap

masyarakat desa, bukan semata-mata dijadikan batu loncatan

untuk merampas kesempatan bagi masyarakat non PNS

dalam pencalonan Kepala Desa;

3.5. Pada tanggal 20 Nopember 2014, Penggugat/Jawinner Siburian,

mengirimkan surat ke Badan Permusyawaratan Desa, Desa Muara

Medak Kecamatan Bayung Lencir, dengan perihal : Mohon

Peninjauan Ulang SK Pembentukan PANLONLAKLIH (Panitia

Pencalonan Pelaksanaan Pemilihan) Kepala Desa Muara Medak. Isi

suratnya antara lain:


60

Pertama: Ketua Panlonlaklih atas nama M. Amin Burhan, yang pada

saat ini diketahui menggunakan nama M. Amin telah

melakukan suatu upaya menyamarkan identitas dengan

menghilangkan nama Burhan.

Kedua: M. Amin Burhan adalah orang yang pernah digugat oleh

Jawinner Siburian pada sengketa Pemilihan Kades Muara

Medak tahun 2007/2008 dan juga sebagai Terlapor di

POLRES MUBA.

Ketiga: Diharapkan penunjukan M. Amin Burhan bisa dikoreksi agar

tidak terjadi pengulangan pelanggaran pemilihan kepala desa

Muara Medang seperti sebelumnya;

3.6. Pada tanggal 27 Januari 2015 telah dilangsungkan Pemilihan Kepala

Desa Muara Medak Kecamatan Bayung Lencir Kabupaten Musi

Banyuasin, suara terbanyak adalah Marudut Halomoan Panjaitan,

tetapi hasil Pemilihan tersebut ditolak oleh Para Penggugat karena

terdapat banyak kecurangan dan hal-hal yang tidak demokratis.

Bentuk penolakan tersebut adalah surat yang dibuat oleh Para

Penggugat, tanggal 29 Januari 2015, surat perihal:

Sanggahan/Penolakan Proses dan Hasil Pilkades yang ditujukan

kepada Ketua Panitia Pemilihan Kepala Desa Muara Medak. Isi surat

antara lain :
61

Pertama: Bahwa pelaksanaan Pemilihan Kepala Desa Muara Medak

tanggal 27 Januari 2015 adalah cacat hukum dan

bertentangan dengan peraturan yang berlaku;

Kedua: Adanya pungutan dari Panitia Pemilihan Kades atau adanya

pembebanan biaya kepada calon kepala desa,Ketiga; adanya

bentuk kampanye hitam dan ancaman oleh Calon Nomor

Urut 4 atau Tim Pemenangannya. Adanya dugaan ancaman

dari Tim yang memaksa Pemilih untuk mencoblos calon

nomor urut 4, dengan ancaman : Selain nomor 4 maka calon

lain walaupun menang tidak akan pernah untuk dilantik;

3.7. Dengan terbitnya Surat Keputusan Kepala Badan Pemberdayaan

Masyarakat dan Pemerintahan Desa Kabupaten Musi Banyuasin

Nomor : 097 Tahun 2014 Tanggal 29 Desember 2014 Tentang

Penetapan Calon Kepala Desa Muara Medak Kecamatan Bayung

Lencir Kabupaten Musi Banyuasin Periode 2015 s.d. 2021 nyatanya

telah melanggar Hak Konstitusional Para Penggugat, yaitu Hak atas

pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil

serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, sebagaimana

ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

tahun 1945, pasal 28 D ayat 1: Setiap orang berhak atas pengakuan,

jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan

yang sama di hadapan hukum;


62

3.8. Dengan telah terbitnya objek sengketa maka secara hukum tindakan

Tergugat tersebut telah sangat merugikan kepentingan dan hak Para

Penggugat, karena Marudut Halomoan Panjaitan yang seharusnya

tidak bisa mencalonkan diri akan tetapi dengan ditetapkannya

Marudut Halomoan Panjaitan melalui objek sengketa maka Marudut

Halomoan Panjaitan menjadi kompetitor yang memiliki kekuasaan

untuk melakukan kecurangan dalam pemilihan kepala desa Muara

Medak Kecamatan Bayung Lencir Kabupaten Musi Banyuasin. Oleh

karenanya Para Penggugat menuntut agar Tergugat membatalkan

objek sengketa Surat Keputusan Kepala Badan Pemberdayaan

Masyarakat dan Pemerintahan Desa Kabupaten Musi Banyuasin

Nomor : 097 Tahun 2014 Tanggal 29 Desember 2014 Tentang

Penetapan Calon Kepala Desa Muara Medak Kecamatan Bayung

Lencir Kabupaten Musi Banyuasin Periode 2015 s.d. 2021;

3.9. Surat Keputusan Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat dan

Pemerintahan Desa Kabupaten Musi Banyuasin Nomor : 097 Tahun

2014 tentang Penetapan Calon Kepala Desa Muara Medak Kecamatan

Bayung Lencir Kabupaten Musi Banyuasin Periode 2015 s.d. 2021

adalah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan asas-

asas umum pemerintahan yang baik, yaitu sebagai berikut:

a. Surat Keputusan Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat dan

Pemerintahan Desa Kabupaten Musi Banyuasin Nomor : 097

Tahun 2014 Tanggal 29 Desember 2014 Tentang Penetapan


63

Calon Kepala Desa Muara Medak Kecamatan Bayung Lencir

Kabupaten Musi Banyuasin Periode 2015 s.d. 2021 Kabupaten

Musi Banyuasin bertentangan dengan peraturan dasarnya yakni

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor : 6 Tahun 2014

tentang Desa, pasal 36 ayat ( 1 ) yang menyatakan : Bakal Calon

Kepala Desa yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana

dimaksud dalam pasal 33 ditetapkan sebagai Calon Kepala Desa

oleh Panitia Pemilihan Kepala Desa. Berdasarkan ketentuan

pasal tersebut terang dan jelas bahwa Penetapan Calon Kepala

Desa adalah harus dilakukan Oleh Panitia Pencalonan

Pelaksanaan dan Pemilihan Kepala Desa (PANLONLAKLIH)

namun senyatanya penetapan calon Kepala Desa Muara Medak

dilakukan oleh Tergugat;

b. Konsideran/Dasar Hukum dalam Surat Keputusan Kepala Badan

Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa Kabupaten

Musi Banyuasin Nomor : 097 Tahun 2014 Tanggal 29 Desember

2014 Tentang Penetapan Calon Kepala Desa Muara Medak

Kecamatan Bayung Lencir Kabupaten Musi Banyuasin Periode

2015 s.d. 2021 tidak mencantumkan Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor : 6 Tahun 2014 tentang Desa dan Peraturan

Pemerintah Nomor : 43 Tahun 2014 tentang Peraturan

Pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor : 6

Tahun 2014 tentang Desa;


64

c. Objek Sengketa sebagai keputusan pejabat Tata Usaha Negara

mengalami cacat yuridis karena di dalam Konsideran/Dasar

Hukumnya berdasarkan pada peraturan perundangan yang sudah

dinyatakan tidak berlaku lagi, yaitu :

Pertama: Pasal-pasal yang mengatur tentang Desa dalam

Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun

2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah

diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas

Undang-Undang Nomor : 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah, yaitu Pasal 200 s.d 216 telah

dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dengan

diberlakukannya Undang-undang Republik Indonesia

Nomor : 6 Tahun 2014 (Vide : Pasal 121 Undang-

undang Republik Indonesia Nomor : 6 Tahun 2014

tentang Desa) ;

Kedua : Peraturan Pemerintah Nomor : 72 Tahun 2005 tentang

Desa telah dinyatakan tidak berlaku lagi karena

digantikan oleh Peraturan Pemerintah Republik

Indonesia Nomor : 43 Tahun 2014 tentang Peraturan

Pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor : 6 Tahun 2014 tentang Desa.;


65

Ketiga: Tidak memasukan Undang-undang Republik Indonesia

Nomor : 6 Tahun 2014 tentang Desa dalam Konsideran

Objek Sengketa;

d. Konsideran/Dasar Hukum objek sengketa, Tergugat memasukan

Peraturan yang tidak ada hubungannya dengan Proses Pemilihan

Kepala Desa, yaitu Peraturan Komisi Pemilihan Umum nomor : 7

Tahun 2013 tentang Pencalonan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Kabupaten/Kota. Hal ini sangat jelas bahwa Tergugat tidak

mengerti dan tidak memahami proses pemerintahan Desa

khususnya Proses pemilihan Kepala Desa. Sangat wajar jika

tindakan-tindakan Tergugat membuat proses Pemilihan Kepala

Desa menjadi tidak demokratis;

e. Tindakan Tergugat yang melakukan Verifikasi terhadap Calon

Kepala Desa Muara Medak adalah melanggar Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor: 6 Tahun 2014 tentang Desa dan

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor: 43 Tahun 2014

tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor: 6 Tahun 2014 tentang Desa. Karena seluruh

proses pemeriksaan berkas Bakal Calon dan proses klarifikasi

adalah kewajiban Panitia Pemilihan. Sebagaimana ketentuan

Pasal 34 ayat 5, Undang-undang Nomor 6 : Tahun 2014 tentang

Desa, menyatakan Panitia Pemilihan bertugas mengadakan


66

penjaringan dan penyaringan bakal calon berdasarkan persyaratan

yang ditentukan, melaksanakan pemungutan suara, menetapkan

calon Kepala Desa terpilih dan melaporkan pelaksanaan

pemilihan Kepala Desa. ;

Ketentuan Pasal 41 ayat 3 Peraturan Pemerintah Republik

Indonesia Nomor : 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor : 6 Tahun 2014

tentang Desa , intinya menyatakan Tahapan pencalonan meliputi

antara lain, pertama: penelitian kelengkapan persyaratan

administrasi, Klarifikasi serta penetapan dan pengumuman nama

calon dalam jangka waktu 20 (dua puluh) hari. Kedua : Penetapan

calon kepala Desa paling sedikit 2 (dua) orang dan paling banyak

5 (lima) orang calon. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tindakan

Tergugat melakukan klarifikasi dan verifikasi terhadap Bakal

Calon Kepala Desa Muara Medak adalah bentuk Arogansi

Kekuasaan dan tidak berlandaskan Hukum;

f. Penetapan Calon Kepala Desa yang dilakukan oleh Kepala Badan

Pemberdayaan Masyarakat Dan Pemerintahan Desa atas nama:

Nama : Marudut Halomoan Panjaitan

NIP : 1570011520906 1 003

Jabatan: Kepala Desa Muara Medak Kecamatan Bayung Lencir

Kabupaten MUBA.
67

adalah bertentangan dengan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri

Nomor 140/7635/PMD tanggal 8 November 2013 Perihal

Pemilihan Kepala Desa tahun 2014.

Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor: 140/7635/PMD

tanggal 8 November 2013 Perihal Pemilihan Kepala Desa tahun

2014, pada angka 2 dan 3 menyatakan :

angka 2 : Bupati/Walikota memberhentikan Kepala Desa yang

telah habis masa jabatannya pada tahun 2014 dan mengangkat

Pejabat Kepala Desa yang berasal dari PNS Kecamatan atau

Tokoh Masyarakat setempat sesuai ketentuan yang berlaku.;

Angka 3: Pejabat Kepala Desa melaksanakan tugas

pemerintahan seharihari sampai terpilihnya Kepala Desa hasil

Pemilihan.;

Sangat jelas Marudut Halomoan Panjaitan seharusnya menjadi

Pejabat Kepala Desa Muara Medak dengan tugas untuk

menjalankan Pemerintahan sehari-hari hingga terpilihnya Kepala

Desa hasil Pemilihan Kepala Desa, bukan untuk ikut dalam

Pencalonan dan Pemilihan Kepala Desa;

g. Surat Keputusan Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat dan

Pemerintahan Desa Kabupaten Musi Banyuasin Nomor : 097

Tahun 2014 Tanggal 29 Desember 2014 Tentang Penetapan

Calon Kepala Desa Muara Medak Kecamatan Bayung Lencir

Kabupaten Musi Banyuasin Periode 2015 s.d. 2021 melanggar


68

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor : 43 Tahun

2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor : 6 Tahun 2014 tentang Desa, yaitu Pasal 42

ayat (1) dan pasal 43 ayat (1);

Pasal 42 ayat (1), menyatakan Kepala Desa yang akan

mencalonkan diri kembali diberi cuti sejak ditetapkan sebagai

calon sampai dengan selesainya pelaksanaan penetapan calon

terpilih. Dan Pasal 43 ayat (1),menyatakan Pegawai Negeri

Sipil yang mencalonkan diri dalam pemilihan Kepala Desa harus

mendapat izin tertulis dari pejabat Pembina kepegawaian

Dengan ditetapkannya Marudut Halomoan Panjaitan sebagai

Calon Kepala Desa Muara Medak oleh Tergugat maka telah

terjadi pelanggaran Hukum, karena yang bersangkutan tidak

memiliki izin-izin yang dimaksud;

h. Surat Keputusan Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat dan

Pemerintahan Desa Kabupaten Musi Banyuasin Nomor 097

Tahun 2014 Tanggal 29 Desember 2014 Tentang Penetapan

Calon Kepala Desa Muara Medak Kecamatan Bayung Lencir

Kabupaten Musi Banyuasin Periode 2015 s.d. 2021 Kabupaten

Musi Banyuasin bertentangan dengan asas-asas umum

Pemerintahan yang baik, antara lain:

Pertama, bertentangan dengan asas kepastian hukum: Penetapan

MARUDUT HALOMOAN PANJAITAN sebagai salah satu


69

Calon Kepala Desa Muara Medak yang akan mengikuti

Pemilihan Kepala Desa Muara Medak adalah bentuk

ketidakpastian hukum dan tidak dapat diterima oleh nalar yang

sehat karena Jabatan MARUDUT HALOMOAN PANJAITAN

adalah sebagai Kepala Desa Aktif dan sebagai Pegawai Negeri

Sipil tanpa pengunduran diri, tidak ada izin dari pejabat

kepegawaian dan tidak ada izin cuti dari Bupati MUBA. Dalam

hal ini harus ada pemisahan yang pasti antara MARUDUT

HALOMOAN PANJAITAN sebagai KEPALA DESA dan disisi

lain berperan sebagai CALON KEPALA DESA sehingga

menimbulkan pertanyaan bagi Penggugat tentang siapa yang

menandatangani berkas pencalonan MARUDUT HALOMOAN

PANJAITAN sehingga tidak mungkin seorang KEPALA DESA

menandatangani SURAT KETERANGAN bagi dirinya sendiri ;

Kedua, Bertentangan dengan asas keadilan: Penetapan

MARUDUT HALOMOAN PANJAITAN sebagai salah satu

Calon Kepala Desa Muara Medak menimbulkan ketidakadilan

bagi Para Penggugat ;

Ketiga, Bertentangan dengan asas bertindak cermat: Bahwa

Kepala Badan PMPD dalam menerbitkan objek sengketa tidak

bertindak cermat, karena objek sengketa bertentangan dengan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor : 6 Tahun 2014

tentang Desa dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia


70

Nomor : 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor : 6 Tahun 2014 Tentang

Desa;

Keempat, bertentangan dengan Asas Profesionalitas: MARUDUT

HALOMOAN PANJAITAN yang ditetapkan sebagai Calon

Kepala Desa oleh Tergugat tidak melaksanakan dan

mengutamakan keahlian dan kode etik dan ketentuan perundang-

undangan sebagaimana MARUDUT HALOMOAN PANJAITAN

diangkat sebagai PNS tanpa melalui Tes CPNS dan lain

sebagainya, juga biaya pelatihan-pelatihan yang digunakan dan

diberikan oleh Pemerintah pada akhirnya tidak dimanfaatkan oleh

Seorang MARUDUT HALOMOAN PANJAITAN untuk tetap

serius pada Profesionalitasnya di bidang Sekretaris Desa ;

Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas Tergugat seharusnya

tidak menerbitkan surat keputusan Objek Sengketa yang

menetapkan MARUDUT HALOMOAN PANJAITAN sebagai

Salah satu calon Kepala Desa Muara Medak Kecamatan Bayung

Lencir Kabupaten Musi Banyuasin Periode 2015 s.d. 2021;

i. Tergugat (sebagai Pejabat yang mengurusi tentang pemerintahan

desa khususnya mengenai proses pemilihan kepala desa) tidak

memahami Peraturan Perundang-undangan yang menjadi dasar

terselenggaranya Pemilihan Kepala Desa. Jadi wajar jika dalam

penyelenggaraan pemilihan kepada desa di desa Muara Medak


71

terjadi penyimpangan-penyimpangan dan tidak terwujudnya

prinsip prinsip demokrasi yang LUBER dan JURDIL

(Langsung, Umum, Bebas, Rahasia dan Jujur,Adil);

Dari uraian di atas jelas secara hukum gugatan Para Penggugat

telah sesuai dengan yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 53 ayat

(2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor : 9 Tahun 2004

tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor : 5 Tahun 1986

tentang Peradilan Tata Usaha Negara yaitu Tergugat telah

menerbitkan Keputusan yang bertentangan dengan Peraturan

Perundang-undangan yang berlaku dan Asas-Asas Umum

Pemerintahan yang Baik (AUPB). Oleh karenanya Objek

Sengketa Keputusan Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat

dan Pemerintahan Desa Kabupaten Musi Banyuasin Nomor : 097

Tahun 2014 Tentang Penetapan Calon Kepala Desa Muara

Medak Kecamatan Bayung Lencir Kabupaten Musi Banyuasin

Tanggal 29 Desember 2014 tersebut patut dinyatakan batal atau

tidak sah dan Tergugat harus mencabut Keputusan dimaksud.;

3.10. Adapun tuntutan/petitum dari Penggugat sebagai berikut :

1. Mengabulkan Gugatan Penggugat untuk seluruhnya.

2. Menyatakan batal atau tidak sah Surat Keputusan Kepala Badan

Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa Kabupaten

Musi Banyuasin Nomor : 097 Tahun 2014 Tentang Penetapan


72

Calon Kepala Desa Muara Medak Kecamatan Bayung Lencir

Kabupaten Musi Banyuasin Tanggal 29 Desember 2014.

3. Memerintahkan Tergugat untuk mencabut Surat Keputusan Kepala

Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa

Kabupaten Musi Banyuasin Nomor : 097 Tahun 2014 Tentang

Penetapan Calon Kepala Desa Muara Medak Kecamatan Bayung

Lencir Kabupaten Musi Banyuasin Tanggal 29 Desember 2014.

4. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara yang timbul

dalam perkara ini.

4. Jawaban Tergugat

4.1. Jawaban Dalam Eksepsi:

4.1.1. Gugatan Tidak Mempunyai Hak Hukum (Legal Standing).

Penggugat tidak mempunyai Hak Hukum (Legal standing),

Tergugat menolak seluruh dalil-dalil Penggugat kecuali yang

diakui kebenarannya secara tegas oleh tergugat, bahwa Para

Penggugat tidak mempunyai Hak Hukum (Legal Standing),

untuk mengajukan gugatan karena tidak ada kepentingan para

Penggugat yang dirugikan dengan terbitnya objek sengketa a

quo karena para Penggugat juga telah diverifikasi dan ditetapkan

dalam objek sengketa sebagai salah satu Calon Kades dalam

pemilihan Kepala Desa Muara Medak, dalam Tahapan

Pemilihan Kepala Desa di Kabupaten Musi Banyuasin

berdasarkan dengan Peraturan Daerah Nomor 1 tahun 2007


73

tentang Tata Cara Pencalonan, Pemilihan, Pelantikan dan

Pemberhentian Kepala Desadan Peraturan Bupati Nomor 26

tahun 2013 tentang Tata Cara Pencalonan dan pemilihan Kepala

Desa dalam Kabupaten Musi Banyuasin Tahun 2013 melalui

tahapan sebagai berikut:

1. Tahap Persiapan;

2. Tahap Pencalonan;

3. Tahap Pemungutan Suara;

4. Tahap Penetapan Calon Kepala Desa Terpilih.

Panitia Pencalonan Pelaksanaan dan Pemilihan

(PANLONLAKLIH) dan BPMPD Kabupaten Musi Banyuasin

telah benar dan selalu berpedoman dengan Peraturan

Perundang-Undangan yang mengatur Pemilihan Kepala Desa,

baik Peraturan Daerah Nomor 1 tahun 2007 tentang Tata Cara

Pencalonan, Pemilihan, Pelantikan dan Pemberhentian Kepala

Desa jo Peraturan Daerah Nomor 10 tahun 2012 tentang

perubahan atas Perda Nomor 1 tahun 2007 maupun Peraturan

Bupati Nomor 26 tahun 2013 tentang Tata Cara Pencalonan dan

pemilihan Kepala Desa dalam Kabupaten Musi Banyuasin

Tahun 2013, dalam Proses Pilkades Desa Muara Medak objek

sengketa Surat Keputusan oleh Kepala BPMPD Kab. Muba

pada point 2 (Tahap Pencalonan) masih dalam tahapan proses

pencalonan belum menerbitkan penetapan tertulis oleh BUPATI


74

MUSI BANYUASIN yang mencakup Faktual, dan Final

sedangkan Surat Keputusan BPMPD Kab.Muba belum bersifat

Final karena masih dalam tahap pencalonan ada tahapan

berikutnya yang Keputusannya melalui proses Penetapan dan

Pengesahan Calon Kepala Desa terpilih (point 4) oleh BUPATI

yang merupakan akhir dari semua tahapan Pilkades, Penggugat

tidak mempunyai Kapasitas dan Akibat Hukum secara langsung

terhadap Keputusan Kepala BPMPD Nomor 097 tahun 2014

tanggal 29 Desember 2014, karena Kepala BPMPD telah sesuai

mekanisme yang berlaku berdasarkan Perbup Nomor 26 tahun

2013 Pasal (4) dan Surat Keputusan Bupati MusiBanyuasin

Nomor 0390 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Wewenang untuk

Menandatangani Penetapan Calon Kepala Desa dalam

Kabupaten Musi Banyuasin seharusnya Para Penggugat

menerima aspirasi/kehendak Masyarakat Desa Muara Medak

dengan lapang dada, yang telah memberi amanahnya kepada

Saudara Marudut Halomoan Panjaitan untuk membangun dan

memimpin Desa Muara Medak Kecamatan Bayung Lencir.;

Bahwa karena Penggugat tidak Mempunyai Hak Hukum (Legal

Standing) maka gugatan Penggugat secara formil adalah cacat

hukum, sehingga sepatutnya gugatan Penggugat dinyatakan

tidak dapat diterima (Niet Onvankelijkverklaard).

4.1.2. Gugatan Penggugat Prematur


75

Gugatan Penggugat terhadap objek sengketa yang belum

bersifat konkrit, individual dan final dan gugatan Penggugat

prematur karena objek sengketa tersebut baru merupakan tahap

awal dari proses pemilihan Kepala Desa Muara Medak

Kecamatan Bayung Lencir masih ada tahapan-tahapan dalam

pemilihan Kepala Desa tersebut yang harus dilalui oleh para

pihak Calon Kepala Desa. Bahwa objek sengketa SK BPMPD

Nomor : 097 tahun 2014 tersebut juga masih memerlukan

Penetapan BUPATI karena setelah dilaksanakan pemilihan

Kepala Desa oleh PANLONLAKLIH maka akan dibuat Berita

Acara Hasil Pelaksanaan Pemilihan Kepala Desa tersebut oleh

Panlonlaklih guna dilaporkan kepada BPD, kemudian BPD

berdasarkan Berita Acara Panlonlaklih ini menetapkan SK BPD

tentang penetapan Pemenang Pilkades Desa Muara Medak (SK

BPD Desa Muara Medak Kecamatan Bayung Lencir Nomor 02

Tahun 2015 tentang Penetapan Hasil Pemilihan Kepala Desa

Muara Medak Kecamatan Bayung Lencir Kabupaten Musi

Banyuasin periode 2015-2021) selanjutnya berdasarkan Surat

Keputusan penetapan BPD ini, Bupati Musi Banyuasin

menetapkan SK Pengesahan dan Pengangkatan Kepala Desa

terpilih berdasarkan (Pasal 30 ayat (1) Perda Nomor 1 tahun

2007), jadi sangatlah terang dan jelas sekali gugatan Penggugat

prematur dan objek sengketa belum bersifat final.;


76

4.1.3. Gugatan Tidak Jelas (Obscuur Libel)

Gugatan Penggugat kabur (Obscuur Libel) karena dalil-

dalil hukum gugatan Penggugat tidak jelas, terhadap gugatan

Penggugat tidak jelas apa yang dikehendaki para Penggugat

karena para Penggugat tidak dirugikan dalam objek sengketa

dan para Pengugat tidak dapat menghalang-halangi Hak Asasi

dan Hak Politik seseorang seorang warga desa yang kebetulan

PNS yang ingin mencalonkan diri sebagai Kades serta para

Penggugat juga telah dinyatakan lulus verifikasi dan ditetapkan

sebagai calon Kepala Desa dalam Pilkades Muara Medak

sedangkan para Penggugat yang mempermasalahkan calon

Kades nomor urut 4 saudara Marudut Halomoan Panjaitan

masih menjadi kades aktif adalah tidak benar karena yang

bersangkutan pada saat ditetapkan sebagai salah satu calon

Kades telah ditunjuk orang lain sebagai Plh Kades Muara

Medak (Saudara RAIS) dan adanya surat pernyataan

pengunduran diri dari saudara Marudut Halomoan Panjaitan di

atas materai dan adanya surat keterangan sementara dari Sekda

Kab. Musi Banyuasin Nomor 823/1387/BKD.Diklat/2014

tanggal 30 Desember 2014 tentang pengunduran diri yang

bersangkutan yang masih dalam proses penelitian dan

pemeriksaan oleh Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Musi

Banyuasin untuk dapat ditindak lanjuti atau tidak pengunduran


77

diri yang bersangkutan sebagai PNS atau cuti diluar tanggungan

Negara. Jadi jelaslah bahwa gugatan Penggugat kabur (Obscuur

libel) karena tidak ada kepentingan/Hak Tergugat yang

dirugikan atau tidak ada hubungan hukum yang menjadi dasar

yuridis dari tuntutan, tidak boleh para Penggugat menghalang-

halangi Hak Politik warga desa yang kebetulan PNS untuk

mencalonkan diri sebagai Kepala Desa yang merupakan Hak

Asasi Manusia untuk memilih dan dipilih, hal ini dijamin dalam,

Perda Nomor 1 tahun 2007, PP Nomor 72 tahun 2005, UUD

1945 Pasal 28D Ayat(3) Setiap warga negara berhak

memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor

239K/Sip/1986 yang kaidah hukumnya menyebutkan : suatu

gugatan yang tidak berdasar hukum harus dinyatakan tidak

dapat diterima, berdasarkan uraian di atas jelas bahwa gugatan

Penggugat tidak memenuhi syarat formil suatu gugatan karena

pada Posita atau fundementum petendi yang tidak menjelaskan

dasar hukum (rechts grond) yang benar dan kejadian atau

peristiwa yang mendasari gugatan , atau dasar hukum jelas

tetapi tidak menjelaskan fakta (fetelijke grond), itu cukup alasan

bagi Majelis Hakim untuk menyatakan gugatan Penggugat tidak

dapat diterima.;

4.1.4. Gugatan Kurang Pihak


78

Gugatan Penggugat kurang Pihak karena seharusnya

Penggugat juga mengikutsertakan dalam gugatannya yaitu

Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Desa Muara Medak

Kecamatan Bayung Lencir sebagai Tergugat II dan

PANLONLAKLIH Desa Muara Medak sebagai Tergugat III,

Camat Bayung Lencir sebagai Tergugat IV, Bahwa Badan

Permusyawaratan Desa (BPD) Desa Muara Medak telah

mengeluarkan SK Penetapan PANLONLAKLIH sedangkan

Panonlaklih telah menerbitkan SK Nomor 03/P3KD/DMM-

IX/2014 tentang Hasil Pengumuman Penerimaan Pendaftaran

Balon Kepala Desa Muara Medak Periode 2015-2021, kemudian

Camat Bayung Lencir melakukan usulan permohonan penetapan

dan pengesahan calon Kepala Desa terpilih untuk di SK-kan

oleh Bupati Musi Banyuasin / Penetapan lainya, tanpa ada

usulan surat permohonan Penetapan Pengesahan Calon Kades

terpilih Bupati Musi Banyuasin tidak akan menerbitkan Surat

Keputusan yang menyangkut proses Pilkades Desa Muara

Medak, dengan demikian jelaslah gugatan Penggugat adalah

kurang pihak dengan tidak diikut sertakan pihak tersebut di atas

untuk digugat dalam suatu gugatan menjadi subjek hukum

selaku Tergugat dalam gugatan tidak lengkap (plurium litis

consortium), sehingga menurut hukum gugatan Penggugat

sepantasnya dinyatakan tidak dapat diterima, sesuai dengan


79

Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor :

151 K/Sip/1975 tanggal 13 Mei 1975 dan Nomor : 437

K/Sip/1973 tanggal 9 Desember 1972,yang intinya menyatakan

gugatan yang tidak lengkap pihaknya harus dinyatakan tidak

dapat diterima, serta Yurisprudensi Mahkamah Agung

Republik Indonesia Nomor: 1566 K/Pdt/ 1983 yang

menyebutkan gugatan tidak dapat diterima atas alasan gugatan

mengandung cacat Plurium Litis Consortium, sehingga

patutlah gugatan Penggugat tersebut dinyatakan tidak dapat

diterima (Niet Ontvankelijkverklaard).;

4.2. Petitum/Tuntutan Tergugat:

4.2.1. DALAM EKSEPSI :

Mengabulkan Eksepsi Tergugat;

4.3.2. DALAM POKOK PERKARA :

1. Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya atau setidak-

tidaknya gugatan Penggugat tidak dapat diterima;

2. Menyatakan Sah Keputusan Kepala BPMPD Nomor : 097

Tahun 2014 Tanggal 29 Desember 2014 ;

3. Menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara.

5. Pertimbangan Hukum Hakim

5.1. Menimbang, bahwa terlebih dahulu Pengadilan akan

mempertimbangkan hal-hal yang berkaitan dengan formalitas Gugatan

dengan mendahulukan pertimbangan mengenai kepentingan Para


80

Penggugat untuk mengajukan gugatan a quo;

5.2. Menimbang, bahwa Para Penggugat pada pokoknya mendalilkan

terdapat kepentingan yang dirugikan dengan terbitnya objek sengketa

a quo, oleh karena Tergugat dalam menerbitkan objek sengketa a quo

tidak sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku dan

mengesampingkan hak-hak konstitusional Para Penggugat sebagai

calon kepala Desa Muara Medak;

5.3. Menimbang, bahwa Tergugat dalam jawabannya memberikan dalil

bantahan yang pada pokoknya menyatakan Para Penggugat tidak

memiliki legal standing untuk mengajukan gugatan a quo, oleh karena

objek sengketa tersebut telah ditindaklanjuti Tergugat dengan

menerbitkan keputusan-keputusan dan surat-surat yang lainnya;

5.4. Menimbang, bahwa Pasal 53 ayat (1) Undang-undang Peradilan Tata

Usaha Negara telah menentukan bahwa: Orang atau Badan Hukum

Perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan

Tata usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada

Pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar keputusan tata

usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah,

dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi;

5.5. Menimbang, bahwa dalam ketentuan Pasal 53 ayat (1) maupun

penjelasannya tidak menguraikan mengenai pengertian kepentingan

tersebut, oleh karena itu Majelis Hakim mengutip pendapat Indroharto

dalam buku berjudul Usaha Memahami Undang- undang Tentang


81

Peradilan Tata Usaha Negara Buku II (edisi baru, Pustaka Sinar

Harapan, Jakarta, 2005) halaman 37-40, yang pada prinsipnya

menyatakan bahwa kepentingan dalam Peradilan Tata Usaha Negara

itu mengandung 2 arti, yaitu:

1. Kepentingan yang menunjuk kepada nilai yang harus dilindungi

oleh hukum dan;

2. Kepentingan berproses artinya apa yang hendak dicapai dengan

melakukan proses gugatan yang bersangkutan.

5.6. Menimbang, bahwa menurut Indroharto, SH., sebagaimana termuat

dalam bukunya tersebut di atas, pada pokoknya menyebutkan

kepentingan dalam kaitannya dengan hak menggugat baru ada, apabila

kepentingan itu jelas ada hubungannya dengan Penggugat sendiri,

kepentingan itu bersifat pribadi dan langsung serta kepentingan itu

secara objektif dapat ditentukan, baik mengenai luas maupun

intensitasnya, sedangkan menurut Prof. Dr. Philipus M Hadjon, dkk,

dalam bukunya Pengantar Hukum Administrasi Indonesia Penerbit

Gajah Mada University Press, Yogyakarta, cetakan keempat tahun

1995 hal 324, menyebutkan Penggugat mempunyai kepentingan untuk

mengajukan gugatan apabila ada hubungan kausal (sebab akibat)

antara Keputusan Tata Usaha yang digugat dengan

kerugian/kepentingannya, artinya kepentingan yang dirugikan tersebut

adalah akibat langsung dari terbitnya Keputusan Tata Usaha Negara

yang digugat;
82

5.7. Menimbang, bahwa disamping kepentingan akan nilai yang harus

dilindungi oleh hukum juga harus jelas pula kepentingan untuk

berproses, karena terdapat adagium dalam Hukum Acara Peradilan

Tata Usaha Negara yang merupakan hukum tidak tertulis yang

menyatakan : point dinterest-point daction (bila ada kepentingan

maka di situ baru boleh berproses);

5.8. Menimbang, bahwa berdasarkan uraian hukum tersebut di atas, maka

dapat ditarik kesimpulan bahwa kepentingan adalah suatu nilai yang

harus dilindungi oleh hukum dan harus ditentukan oleh adanya

hubungan hukum antara orang atau badan hukum perdata yang

bersangkutan di satu pihak dengan keputusan tata usaha Negara dilain

pihak, akan tetapi hak menggugat baru diperkenankan apabila

kepentingannya merasa dirugikan, akibat diterbitkannya keputusan

tata usaha Negara (vide Pasal 53 ayat (1) Undang-undang Nomor 9

tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 5 tahun

1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara);

5.9. Menimbang, bahwa berdasarkan objek sengketa a quo dan Pasal 53

ayat (1) Undang-undang Nomor 9 tahun 2004 perubahan atas Undang-

undang Nomor 5 tahun 1986 serta Doktrin/pendapat para ahli, maka

selanjutnya Majelis Hakim akan menguji permasalahan Apakah

Penggugat mempunyai kualitas sebagai Penggugat;

5.10. Menimbang, bahwa di dalam gugatannya, Para Penggugat

mendalilkan bahwa Perbuatan Tergugat di dalam menerbitkan surat


83

keputusan yang menjadi objek sengketa tersebut di atas telah

melanggar Hak konstitusional Para Penggugat yaitu Hak atas

pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil

serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, sebagaimana

ditegaskan dalam Undang-undang Dasar Republik Indonesia tahun

1945, pasal 28 D ayat 1 : Setiap orang berhak atas pengakuan,

jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan

yang sama di hadapan hukum dan dengan terbitnya objek sengketa

maka secara hukum tindakan Tergugat tersebut telah sangat

merugikan kepentingan dan hak Para Penggugat, karena Marudut

Halomoan Panjaitan yang seharusnya tidak bisa mencalonkan diri

akan tetapi dengan ditetapkannya Marudut Halomoan Panjaitan

melalui objek sengketa maka menjadi kompetitor yang memiliki

kekuasaan untuk melakukan kecurangan dalam pemilihan kepala

desa.;

5.11. Menimbang, bahwa selama pemeriksaan di persidangan terungkap

fakta-fakta hukum yang memiliki kaitan dengan ada atau tidaknya

kepentingan Para Penggugat yang dirugikan secara langsung oleh

objek sengketa a quo, sebagai berikut :

1). Bahwa objek sengketa diterbitkan pada tanggal 29 Desember 2014

(vide bukti P-1=T-1) adalah Penetapan Calon Kepala Desa Muara

Medak Periode 2015-2021, yang telah lulus tahap verifikasi, yaitu :

1. SUGITO;
84

2. JASMIN;

3. JAWINNER SIBURIAN;

4. MARUDUT HALOMOAN PANJAITAN;

5. YANTO;

2). Bahwa Penggugat I, Penggugat II dan Penggugat III (para

Penggugat) merupakan calon kepala desa Muara Medak yang telah

ditetapkan dengan surat keputusan objek sengketa (vide bukti P-

1=T-1);

3). Bahwa keberatan para Penggugat dalam surat gugatannya karena

keikut-sertaan atas nama calon Marudut Halomoan Panjaitan

sebagai Bakal Calon Kepala Desa karena yang bersangkutan masih

menjabat sebagai Plt Kepala Desa yang berstatus Pegawai Negeri

Sipil (PNS);

4). Bahwa berdasarkan vide bukti T-6, menunjukkan bahwa:

a. Adanya surat pernyataan pengunduran diri Marudut Halomoan

Panjaitan sebagai PNS di atas materai tertanggal 22 November

2014 yang ditujukan kepada Panlonlaklih;

b. Adanya Surat Pengunduran diri yang ditujukan kepada Bupati

cq Kepala BKD Kabupaten Musi Banyuasin tertanggal 22

November 2014;

c. Surat Keterangan Sementara dari Sekretaris Daerah Kabupaten

Musi Banyuasin Nomor 823/1387/BKD.Diklat/2014 tanggal 30

Desember 2014;
85

5). Bahwa Pengunduran diri Marudut Halomoan Panjaitan, juga telah

ditindak lanjuti oleh BPD, dengan mengirimkan surat kepada

Bupati Musi Banyuasin cq Camat Bayung Lencir tertanggal 30

Desember 2014 tentang Penyampaian Hasil Rapat BPD tentang

Pelaksana Tugas Kepala Desa. (vide bukti T-7);

6). Bahwa Surat Perintah Camat Bayung Lencir No. 01 tahun 2015

memerintahkan Rais yang sebelumnya menjabat Kaur Umum, TU

dan Keuangan sebagai Plh Kepala Desa menggantikan Marudut

Halomoan Panjaitan (vide bukti T-8);

7). Bahwa BPD Muara Medak telah menetapkan hasil pemilihan

kepala desa muara medak yang dilaksanakan pada tanggal 27

Januari 2015 dengan perhitungan suara masing-masing:

1. Sugito = 885 suara;

2. Jasmin = 650 suara;

3. Yanto = 372 suara;

4. Marudut Halomoan Panjaitan = 1.380 suara;

5. Jawiner Siburian = 797 suara.

Dan mengusulkan kepada Bupati Musi Banyuasin agar

menetapkan Sdr. Marudut Halomoan Panjaitan sebagai kepala desa

Muara Medak, dengan keputusan BPD muara Medak Nomor 02

tahun 2015 tanggal 3 februari 2015 (vide bukti T-9);

5.12. Menimbang, bahwa menurut pendapat Indroharto dalam bukunya

berjudul Usaha Memahami Undang-undang Tentang Peradilan Tata


86

Usaha Negara (edisi baru, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2005)

halaman 145, penetapan dibedakan menjadi 2 katagori yaitu

penetapan Einmalig dan yang permanen, penetapan einmalig adalah

penetapan yang sekali berlaku; penetapan semacam itu habis

berlakunya setelah sekali digunakan, dan Majelis Hakim berpendapat

bahwa surat keputusan objek sengketa termasuk kategori penetapan

einmalig, yaitu sekali berlaku hanya untuk menetapkan calon kepala

desa Muara Medak guna mengikuti pemilihan kepala

desa/pemungutan suara, sehingga kepentingan penggugat yang

dirugikan hanya dinilai pada saat surat keputusan objek sengketa

diterbitkan hingga pemilihan/ pemungutan suara dilaksanakan;

5.13. Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum tersebut di atas,

Majelis Hakim berpendapat calon kepala desa Muara Medak atas

nama Marudut Halomoan Panjaitan telah mengundurkan diri sebagai

Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada Pemerintah Kabupaten Musi

Banyuasin pada saat mendaftarkan diri sebagai calon kepala desa

Muara Medak, sehingga persyaratan pencalonan yang bersangkutan

terpenuhi, sementara proses pemberhentian sebagai PNS oleh pejabat

pembina kepegawaian masih memerlukan prosedur berdasarkan

peraturan perundang-undangan yang berlaku dibidang kepegawaian;

5.14. Menimbang, bahwa Para Penggugat merupakan peserta atau calon

kepala desa yang berhak ikut dalam pemilihan kepala desa Muara

Medak sebagaimana keputusan Tergugat dalam SK objek sengketa


87

sehingga tidak ada hak-hak atau kepentingan hukum para penggugat

yang dirugikan untuk menjadi peserta pemilihan kepala desa Muara

Medak;

5.15. Menimbang, bahwa tindakan hukum Tergugat dalam menerbitkan

objek sengketa a quo tidak dapat juga dipandang sebagai pelanggaran

hak-hak konstitusional para penggugat atas prinsip pengakuan,

jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan

yang sama di hadapan hukum, sehingga menimbulkan kerugian

kepada para penggugat, karena para penggugat mendapat kesempatan

yang sama untuk tetap menjadi calon kepala desa Muara Medak;

5.16. Menimbang, bahwa adapun masuknya calon atas nama Marudut

Halomoan Panjaitan dalam pemilihan Kepala Desa yang kemudian

ditetapkan sebagai kepala desa terpilih (vide bukti T-9), maka hal

tersebut pun tidak secara nyata menimbulkan kerugian bagi Para

Penggugat dalam hal perolehan suara pemilih, oleh karena tidak akan

dapat dibuktikan secara pasti menurut hukum mengenai seberapa

besar suara pemilih yang diperoleh masing-masing pasangan calon

sebelum pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara

dilaksanakan;

5.17. Menimbang, bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan persidangan dalam

sengketa a quo, Majelis Hakim menilai kepentingan para penggugat

yang dirugikan baru muncul setelah diterbitkan keputusan penetapan

kepala desa terpilih oleh BPD Muara Medak, oleh karena adanya
88

jumlah suara para penggugat yang lebih sedikit dibandingkan dengan

calon kepala desa atas nama Marudut Halomoan Panjaitan;

5.18. Menimbang, bahwa berdasarkan uraian-uraian pertimbangan hukum

tersebut di atas, maka Majelis Hakim berkesimpulan bahwa tidak

terdapat kepentingan Para Penggugat yang dirugikan secara nyata dan

langsung oleh terbitnya objek sengketa a quo sesuai ketentuan pasal

53 ayat (1) UU Peradilan Tata Usaha Negara;

5.19. Menimbang, bahwa dengan demikian Majelis Hakim berkeyakinan

eksepsi tergugat tentang legal standing para penggugat diterima,

sehingga Gugatan Para Penggugat haruslah dinyatakan tidak diterima;

5.20. Menimbang, bahwa dengan tidak diterimanya Gugatan Para

Penggugat dinyatakan tidak diterima, maka terhadap eksepsi-eksepsi

yang selebihnya dan pokok sengketanya tidak perlu lagi

dipertimbangkan;

5.21. Menimbang, bahwa oleh karena gugatan Penggugat telah dinyatakan

tidak diterima, maka sesuai ketentuan Pasal 101 Undang-undang

tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Penggugat dihukum membayar

biaya perkara yang besarnya akan ditetapkan dalam amar putusan ini;

5.22. Menimbang, bahwa mengacu pada ketentuan Pasal 107 beserta

penjelasannya dan Pasal 109 ayat (1) UU No. 5 tahun 1986 yang

dirubah dengan Undang-undang Nomor. 9 tahun 2004 dan Undang-

undang Nomor 51 tahun 2009, Majelis Hakim tetap

mempertimbangkan seluruh alat bukti yang diajukan pihak-pihak yang


89

bersengketa, akan tetapi dalam mempertimbangkan untuk memutus

dan menyelesaikan sengketanya Majelis Hakim mengutamakan alat

bukti yang relevan dan terhadap alat bukti yang selebihnya tetap

dilampirkan dan menjadi satu kesatuan dengan berkas perkara;

6. Amar Putusan Hakim

6.1. Dalam Eksepsi

- Menerima eksepsi Tergugat;

6.2. Dalam Pokok Perkara

1. Menyatakan gugatan Para Penggugat tidak diterima (Niet

onvankelijk verklaaard);

2. Menghukum Para Penggugat untuk membayar biaya perkara

sebesar Rp.349.000., (Tiga Ratus Empat Puluh Sembilan Ribu

Rupiah) ;

B. Pembahasan

Indonesia merupakan negara hukum, sebagaimana yang diatur dalam

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945. Konsekuensi suatu negara hukum adalah menempatkan hukum di atas

segala kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Negara dan masyarakat diatur

dan diperintah oleh hukum, bukan diperintah oleh manusia. Hukum berada di

atas segala-segalanya, kekuasaan dan penguasa tunduk kepada hukum.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan

bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka yang


90

dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan Badan Peradilan dibawahnya

untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Kekuasaan kehakiman di Indonesia dibagi menjadi empat lingkungan

peradilan, hal tersebut sebagaimana dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 48

Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam pasal tersebut dinyatakan

bahwa Kekuasaan Kehakiman di Indonesia dibagi dalam empat lingkungan

peradilan, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Militer, Peradilan Agama dan

Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN).

Peradilan Tata Usaha Negara telah diatur di dalam Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang diundangkan

pada tanggal 29 Desember 1986 dan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 7

Tahun 1991, dinyatakan mulai diterapkan secara efektif di seluruh wilayah

Indonesia sejak tanggal 14 Januari 1991. Kemudian Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1986 tersebut diadakan perubahan dengan Undang-Undang Nomor 9

Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009.76

Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara adalah rangkaian

peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak, satu

sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan Hukum Tata Usaha

Negara (Hukum Administrasi Negara).77 Hukum Acara Peradilan Tata Usaha

Negara dapat juga disebut sebagai hukum yang mengatur berbagai tata cara

bersengketa di lingkungan Hukum Peradilan Tata Usaha Negara.


76
R. Wiyono, Loc. Cit.
77
Rozali Abdullah, Loc. Cit.
91

Spesifikasi Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara ditampakan

oleh asas-asas yang menjadi landasan normatif-operasional hukum acara

Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu78 :

a. Asas Praduga Rechtmatig (vermoeden van rechtmatigheid-praesumptio

iustae causa).

Asas ini mengandung makna bahwa setiap tindakan penguasa

selalu harus dianggap rechtmatig sampai ada pembatalannya. Dengan

asas ini, gugatan tidak menunda pelaksanaan KTUN yang digugat (Pasal

67 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1986).

b. Asas Pembuktian Bebas.

Hakim yang menetapkan beban pembuktian. Hal ini berbeda

dengan ketentuan Pasal 1865 BW (KUH Perdata). Asas ini dianut dalam

Pasal 107 UU No. 5 Tahun 1986 dan dibatasi oleh Pasal 100 UU No. 5

Tahun 1986.

c. Asas Keaktifan Hakim.

Keaktifan hakim dimaksudkan untuk mengimbangi kedudukan

para pihak, karena Tergugat adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha

Negara, sedangkan Penggugat adalah Orang atau Badan Hukum Perdata.

Penerapan asas ini terdapat dalam ketentuan Pasal 58, Pasal 63 ayat (1)

ayat (2), Pasal 80 dan Pasal 85 UU No. 5 Tahun 1986.

d. Asas Putusan Pengadilan mempunyai kekuatan mengikat erga omnes.


78
W Riawan Tjandra, Loc. Cit.
92

Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa hukum publik,

dengan demikian putusan Pengadilan Tata Usaha Negara berlaku bagi

siapa saja, tidak hanya berlaku bagi pihak yang berperkara saja.

Penyelesaian perkara dalam Peradilan Tata Usaha Negara dapat

dibedakan dengan melihat kewenangan/kompetensinya. Tedapat beberapa cara

yang dapat digunakan untuk mengetahui kompetensi dari suatu pengadilan

untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara, yaitu dapat dilihat

pada sengketanya (geschilpunt, fundamentum petendi), dengan melakukan

pembedaan antara atribusi (atributie van rechtsmacht) dan distribusi

(distributie van rechtsmacht), dan dengan melakukan pembedaan antara

kompetensi absolut dan kompetensi relatif.79

Kewenangan dari Peradilan Tata Usaha Negara yang diatur dalam Pasal

47 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 adalah memeriksa, memutus dan

menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara yang timbul antara Badan atau

Pejabat Tata Usaha Negara dengan orang atau Badan Hukum Perdata sebagai

akibat diterbitkannya Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) oleh Badan atau

Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan.

Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang

Tata Usaha Negara antara Orang atau Badan Hukum perdata dengan Badan

atau Pejabat Tata Usaha Negara baik di Pusat maupun di Daerah, sebagai

akibat di keluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, hal ini sebagaimana

diatur dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009.


79
Philipus M Hadjon dkk., Loc. Cit., hlm. 30-31.
93

Berdasarkan ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan

sengketa Tata Usaha Negara terdiri dari beberapa unsur, yaitu:

1. Sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara;

2. Sengketa tersebut antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan

atau Pejabat Tata Usaha Negara;

3. Sengketa yang dimaksud sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata

Usaha Negara.80

Pengertian tentang apa yang dimaksud dengan Keputusan Tata Usaha

Negara adalah penting untuk di pahami, karena dengan memberikan pengertian

yang lain tentang apa yang dimaksud dengan keputusan Tata Usaha Negara,

akan berakibat memberikan pengertian yang salah tentang apa yang dimaksud

dengan sengketa Tata Usaha Negara. 81 Menurut Pasal 1 angka 9 Undang-

Undang Nomor 51 Tahun 2009 yang dimaksud dengan Keputusan Tata Usaha

Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau

Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara

yang berdasarkan peraturan Perundang-Undangan yang berlaku, bersifat

konkret, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi orang atau

badan hukum perdata.

Tiap-tiap proses sengketa Tata Usaha Negara selalu dimulai dengan

diajukannya surat gugatan oleh penggugat atau oleh kuasanya dalam daerah

hukum pengadilan di mana tergugat bertempat kedudukan. Dalam proses

sengketa itu terdapat dua subjek sengketa atau para pihak yang bersengketa di


80
Ibid., hlm. 6.
81
Indroharto, Loc. Cit. hlm. 162.
94

bidang Hukum Administrasi Negara serta lazimnya disebut sebagai penggugat

dan tergugat.82

Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 menentukan

bahwa Tergugat merupakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang

mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang

dilimpahkan kepadanya yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata.

Sedangkan untuk definisi Penggugat memang tidak terdapat dalam Undang-

Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, namun demikian dari ketentuan

yang terdapat dalam Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004

dapat kita ketahui yang dimaksud dengan Penggugat adalah orang atau badan

hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan akibat diterbitkannya

suatu Keputusan Tata Usaha Negara.

Legal standing atau hak gugat secara materiil diatur dalam diatur Pasal

53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 yaitu mengenai hak gugat

yang dimiliki orang atau badan hukum perdata yang menentukan bahwa Orang

atau Badan Hukum Perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu

Keputusan Tata Usaha Negara, dapat mengajukan gugatan tertulis kepada

Pengadilan yang berwenang, yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha

Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau

tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan / atau rehabilitasi.

Pada prinsipnya istilah legal standing dapat diartikan secara luas yaitu

akses orang perorangan atau kelompok/organisasi di pengadilan sebagai pihak


82
Martiman Prodjohamidjojo, Loc. Cit.
95

penggugat. Secara konvensional hak gugat hanya bersumber pada prinsip

tiada gugatan tanpa kepentingan hukum (point dinterest point daction).

Kepentingan hukum (legal interest) yang dimaksud di sini adalah merupakan

kepentingan yang berkaitan dengan kepemilikan (propietary interest) atau

kepentingan material berupa kerugian yang dialami secara langsung (injury in

fact).83 Legal standing merupakan hak gugat yang dimiliki oleh seseorang atau

lebih termasuk pula badan hukum perdata yang merasa kepentingannya

dirugikan atau timbul kerugian baginya akibat dikeluarkannya Keputusan Tata

Usaha Negara oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.

1. Cara Menentukan Legal Standing Penggugat dalam Peradilan Tata

Usaha Negara.

Peradilan Tata Usaha Negara adalah lingkungan peradilan di bawah

Mahkamah Agung yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi rakyat

pencari keadilan terhadap sengketa Tata Usaha Negara. Mengenai susunan

dari pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, ditentukan

bahwa pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara terdiri dari:

1. Pengadilan Tata Usaha Negara yang merupakan Pengadilan Tingkat

Pertama.

2. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang merupakan Pengadilan

Tingkat Banding.84

Peradilan Tata Usaha Negara diatur dalam Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, kemudian terdapat



83
Erna Herlinda, Loc. Cit., hlm. 3-4.
84
R. Wiyono, Loc. Cit., hlm. 2.
96

beberapa ketentuan yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun

2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986

tentang Peradilan Tata Usaha Negara, setelah itu pada tahun 2009 terjadi

perubahan yaitu Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan

Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata

Usaha Negara. Adanya Undang-Undang tersebut adalah untuk sebagai

pedoman beracara dalam Peradilan Tata Usaha Negara atau disebut dengan

Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara.

Hukum Acara Peradilan Tata Usaha merupakan hukum formal.

Begitupun dengan hukum material dari Hukum Acara Peradilan Tata Usaha

Negara yang merupakan unsur terpenting karena tanpa adanya hukum

material maka peradilan akan lumpuh. Sebaliknya tanpa hukum formal

maka peradilan akan menjadi liar karena tidak ada batasan yang jelas dalam

penerapan wewenang.85

Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara dibentuk untuk

menyelesaikan sengketa yang timbul antara pemerintah dengan warga

negara, yaitu sengketa yang timbul akibat dari adanya tindakan-tindakan

Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang dianggap melanggar hak-hak

warga negara karena adanya Keputusan Tata Usaha Negara yang ditujukan

atau menimbulkan akibat hukum serta merugikan orang atau badan hukum

perdata.


85
Sjachran Basah, Loc. Cit, hlm.1.
97

Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam

bidang Tata Usaha Negara antara Orang atau Badan Hukum perdata dengan

Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara baik di Pusat maupun di Daerah,

sebagai akibat di keluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, hal ini

sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 51

Tahun 2009.

Tiap-tiap proses sengketa Tata Usaha Negara selalu dimulai dengan

diajukannya surat gugatan oleh penggugat atau oleh kuasanya dalam daerah

hukum pengadilan dimana tergugat bertempat kedudukan. Dalam proses

sengketa itu terdapat dua subjek sengketa atau para pihak yang bersengketa

di bidang Hukum Administrasi Negara serta lazimnya disebut sebagai

penggugat dan tergugat.86

Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009

menentukan bahwa Tergugat merupakan Badan atau Pejabat Tata Usaha

Negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada

padanya atau yang dilimpahkan kepadanya yang digugat oleh orang atau

badan hukum perdata. Sedangkan untuk definisi Penggugat memang tidak

terdapat dalam Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara,

namun demikian dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 53 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dapat kita ketahui yang dimaksud

dengan Penggugat adalah orang atau badan hukum perdata yang merasa


86 Martiman Prodjohamidjojo, Loc. Cit., hlm. 16.
98

kepentingannya dirugikan akibat diterbitkannya suatu Keputusan Tata

Usaha Negara

Permasalahan yang muncul adalah bahwa dalam ketentuan Pasal 53

ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tersebut maupun

penjelasannya tidak menguraikan mengenai pengertian kepentingan

tersebut. Menurut Indroharto 87 , kepentingan dalam Peradilan Tata Usaha

Negara itu mengandung 2 arti, yaitu :

1. Kepentingan yang menunjuk kepada nilai yang harus dilindungi oleh

hukum;

2. Kepentingan berproses artinya apa yang hendak dicapai dengan

melakukan proses gugatan yang bersangkutan.

Kepentingan dalam kaitannya dengan hak menggugat baru ada,

apabila kepentingan itu jelas ada hubungannya dengan Penggugat sendiri,

kepentingan itu bersifat pribadi dan langsung serta kepentingan itu secara

objektif dapat ditentukan, baik mengenai luas maupun intensitasnya.


88
Sedangkan menurut Philipus M Hadjon , Penggugat mempunyai

kepentingan untuk mengajukan gugatan apabila ada hubungan kausal (sebab

akibat) antara Keputusan Tata Usaha yang digugat dengan

kerugian/kepentingannya, artinya kepentingan yang dirugikan tersebut

adalah akibat langsung dari terbitnya Keputusan Tata Usaha Negara yang

digugat.


87
Indroharto, Loc. Cit., hlm. 37.
88
Philipus M Hadjon dkk, Loc. Cit., hlm. 324.
99

Petitum atau tuntutan pokok yang diajukan oleh Penggugat yakni

agar Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat dinyatakan batal atau tidak

sah. Agar tujuan dari tuntutan tersebut dapat tercapai, maka gugatan yang

diajukan oleh orang atau badan hukum perdata harus memuat dasar-dasar

gugatan atau alasan-alasan gugatan, hal ini sesuai dengan alasan-alasan

gugatan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 53 ayat (2) Undang-undang

Nomor 9 Tahun 2004 yang mengatur bahwa alasan-alasan yang dapat

digunakan dalam gugatan adalah :

a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

b. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan

asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Ketentuan mengenai hak gugat diatur dalam Pasal 53 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang

mengamanatkan diselenggarakannya hak gugat bagi orang atau badan

hukum perdata yang dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara,

untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.

Orang dalam rumusan itu adalah seseorang dalam pengertian alami

(natuurlijke persoon). Tetapi apa yang dimaksud Badan Hukum Perdata

(BHP) masih mengandung persoalan. Menurut Indroharto 89 , mengatasi

persoalan itu kita harus merujuk pada ketentuan dalam KUH Perdata. Ia


89
Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
Buku I: Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara, Sinar Harapan, 2004, hlm. 117.
100

berpendapat yang dimaksud BHP dalam rumusan itu adalah murni badan

yang menurut pengertian hukum perdata berstatus sebagai badan hukum

seperti CV, PT, Firma, Yayasan, Perkumpulan, Persekutuan Perdata

(maatchap) dan lain-lain sepanjang berstatus badan hukum perdata.

Dalam perkembangannya, organisasi juga dianggap punya kualitas

atau hak sebagai penggugat Keputusan Tata Usaha Negara 90 , tetapi

organisasi tersebut tetap harus punya badan hukum.91

Selain itu ada pula gugatan Citizen Lawsuit, Gugatan Citizen Lawsuit

(CLS) pada intinya adalah mekanisme bagi Warga Negara untuk menggugat

tanggung jawab Penyelenggara Negara atas kelalaian dalam memenuhi hak-

hak warga Negara. Kelalaian tersebut didalilkan sebagai Perbuatan

Melawan Hukum, sehingga CLS diajukan pada lingkup peradilan umum

dalam hal ini perkara Perdata. Oleh karena itu Atas kelalaiannya, dalam

petitum gugatan, Negara dihukum untuk mengeluarkan suatu kebijakan

yang bersifat mengatur umum (regeling) agar kelalaian tersebut tidak terjadi

lagi di kemudian hari.92

Beberapa pengertian gugatan citizen law suit atau gugatan actio

Popularis diantaranya93:

- Actio popularis adalah prosedur pengajuan gugatan yang melibatkan

kepentingan umum secara perwakilan. Gugatan dapat ditempuh dengan


90
Zairin Harahap, Loc. Cit.
91
R. Wiyono, Loc. Cit.
92
https://masalahukum.wordpress.com/2013/08/25/citizen-law-suit Loc. Cit.
93
Ibid.
101

acuan bahwa setiap warga negara tanpa kecuali mempunyai hak

membela kepentingan umum;

- Citizen law suit adalah akses orang perorangan warga Negara untuk

kepentingan publik termasuk kepentingan lingkungan mengajukan

gugatan di pengadilan guna menuntut agar pemerintah melakukan

penegakan hukum yang diwajibkan kepadanya atau untuk memulihkan

kerugian public yang terjadi, Pada dasarnya Citizen law suit merupakan

suatu hak gugat warga Negara yang dimaksudkan untuk melindungi

warga Negara dari kemungkinan terjadinya kerugian sebagai akibat dari

tindakan atau pembiaran omisi dari Negara atau otoritas Negara;

- Actio popularis adalah gugatan yang dapat diajukan oleh setiap warga

negara, tanpa pandang bulu, dengan pengaturan oleh Negara.

Dari uraian di atas secara limitatif telah ditentukan pihak-pihak yang

dapat menjadi penggugat di Pengadilan Tata Usaha Negara adalah

seseorang atau badan hukum perdata yang kepentingannya merasa dirugikan

atas diterbitkannya surat keputusan tata usaha negara.

Kepentingan kerugian yang dimaksud dalam Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1986 sifatnya adalah kepentingan yang bersifat pribadi

yang secara langsung diderita atau dirugikan atas penerbitan surat keputusan

yang merugikan tersebut, jadi kepentingan kerugian di sini tidak bersifat

derefatif. 94


94
Erna Herlinda, Loc. Cit., hlm. 5.
102

Berbeda halnya seperti kepentingan yang dimaksud dalam gugatan

perwakilan (class actions) kepentingan yang dirugikan di sini tidak bersifat

individual atau telah lebih condong kepentingan publik atau masyarakat

orang banyak, apalagi misi kepentingan dalam kepastian hak gugat

organisasi (legal standing/ius standi) misi kepentingannya bukan

kepentingan pribadi secara langsung, melainkan kepentingan objek alam

atau kepentingan masyarakat yang menurut visi anggaran dasar atau rumah

tangganya mengatur untuk itu.

Kepentingan yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1986 merupakan kepentingan perseorangan/individual yang langsung

mengalami atau menderita kerugian atas diterbitkannya objek sengketa atau

surat keputusan tata usaha negara, dalam kapasitas gugatan organisasi,

sudah barang tentu kepentingan yang dirugikan itu tidak langsung dialami

oleh organisasi itu.

Selain itu, jika ada pihak lain yang dirugikan akibat dikeluarkannya

suatu KTUN, pihak itu dapat masuk dalam pemeriksaan perkara yang

sedang berlangsung sebagai pihak intervensi. Intervensi dalam proses

Peradilan Tata Usaha Negara adalah ikut serta atau diikutsertakannya pihak

ketiga berupa perorangan atau badan hukum perdata yang berada di luar

pihak berperkara dalam proses pemeriksaan perkara. Intervensi

dimungkinkan sebelum acara pembuktian (paling lambat saat duplik).

Dengan kata lain bilamana intervensi diajukan setelah duplik, maka


103

intervensi dianggap batal. Kemungkinan masuknya pihak ketiga ini

(intervensi) diatur dalam pasal 83 UU No. 5 tahun 1986.

Terdapat beberapa kemungkinan motivasi masuknya pihak ketiga

dalam proses peradilan, yaitu:

1. Atas Prakarsa Sendiri

Dalam hal pihak ketiga ingin mempertahankan serta membela hak

dan kepentingannya agar tidak dirugikan oleh putusan pengadilan yang

sedang berjalan, maka pihak ketiga tersebut sebagai pihak yang mandiri

dan berkedudukan di tengah-tengah antara pihak penggugat dan pihak

tergugat. Untuk dapat ikut serta dalam perkara atau proses pemeriksaan

perkara, karena atas prakarsa sendiri, maka pihak ketiga tersebut harus

mengajukan permohonan dengan mengemukakan alasan-alasan serta hal

yang dituntut, sesuai dengan ketentuan pasal 56 UU No. 5 tahun 1986.

Permohonan tersebut berisi alasan-alasan dan hal-hal yang diminta

pemohon yang ditujukan kepada pengadilan yang sedang memeriksa

perkara.

Permohonan tersebut diputus melalui putusan sela dan

dicantumkan dalam berita acara sidang. Isi putusan sela tersebut bisa

berupa pengabulan atau penolakan permohonan. Apabila permohonan

dikabulkan maka pihak ketiga tersebut berkedudukan sebagai Penggugat

Intervensi. Sedangkan apabila permohonan tersebut tidak dikabulkan,

maka tidak dapat dimintakan banding secara sendiri, melainkan harus

bersama-sama dengan pemeriksaan pokok perkara dalam persidangan


104

yang dimaksud. Alternatif lain, pihak ketiga tersebut bisa pula

mengajukan gugatan di luar proses yang sedang berjalan hanya saja bila

ia bisa menunjukkan bahwa ia berkepentingan untuk mengajukan

gugatan itu dan gugatannya telah memenuhi syarat.

2. Atas Permintaan Hakim

Dalam proses pemeriksaan perkara pada Peradilan Tata Usaha

Negara sangat dimungkinkan adanya putusan pengadilan yang

berpengaruh terhadap pihak ketiga. Termasuk Keputusan Tata Usaha

Negara yang menjadi objek gugatan bisa pula berhubungan dengan pihak

ketiga. Bertitik tolak bahwa gugatan diajukan oleh perorangan atau badan

hukum terhadap badan yang berwenang menerbitkan KTUN dimaksud,

maka terdapat hal yang mungkin mengesampingkan kepentingan pihak

ketiga. Dalam kondisi yang demikian hakim berwenang untuk

melakukan atau mengikutsertakan pihak ketiga dimaksud dalam proses

peradilan. Dengan demikian secara administratif pihak ketiga dimaksud

akan dipanggil dengan resmi sebagaimana mestinya.

Sebagai contoh A menggugat Wali Kota untuk mencabut izin

pendirian bangunan B. gugatan dilakukan antara A dan Wali kota saja.

Padahal dalam hal ini, kepentingan B sangat menjadi pokok. Dalam

kondisi seperti itu, maka hakim berwenang untuk menarik B ke dalam

proses perkara yang kemudian disebut sebagai tergugat II intervensi.

Mengingat bahwa secara logis, B tentu tidak ingin dirugikan atas

keputusan hakim kelak (pencabutan izin mendirikan bangunannya).


105

3. Atas Permintaan salah satu pihak (penggugat atau tergugat)

Masuknya pihak ketiga dalam proses pemeriksaan perkara atas

permintaan salah satu pihak berperkara dilatar belakangi agar adanya

penguatan terhadap posisi hukum para pihak yang bersengketa. Cara ini

dalam acara perdata disebut voeging. Bila yang menarik adalah pihak

penggugat, maka kedudukan pihak ketiga adalah sebagai Penggugat II

Intervensi dan sebaliknya jikalau pihak tergugat yang berinisiatif menarik

pihak ketiga dalam perkara, maka kedudukan pihak ketiga tersebut

adalah sebagai Tergugat II Intervensi.

Baik Tergugat II maupun Penggugat II intervensi, keduanya

difungsikan agar memperkuat posisi hukum para pihak yang menariknya.

Tergugat II Intervensi diharapkan bisa menguatkan posisi hukum

Tergugat dan Penggugat II Intervensi diharapkan untuk memperkuat

posisi hukum Penggugat. Dimungkinkan pula voeging dilakukan atas

prakarsa sendiri, tentunya setelah pihak ketiga yang bersangkutan

mengajukan permohonan dan dikabulkan oleh pengadilan. Syarat utama

dalam hal ini adalah adanya syarat mempertahankan hak dan

kepentingan. Karena pihak ketiga yang tidak berkepentingan dan tidak

akan menderita kerugian, tidak diperkenankan mengadakan

penggabungan diri untuk bersama-sama melawan pihak lawan dengan

bergabung pada salah satu pihak.

Masuknya pihak ketiga dalam proses, baik atas prakarsa sendiri atau

permintaan hakim hanya ditempatkan pada pihak penggugat saja, dan tidak
106

diberikan pada pihak tergugat. Mengingat ketentuan bahwa sebagai tergugat

dalam Proses acara TUN, adalah pejabat yang menerbitkan KTUN.

Berdasarkan pasal 83 dan pasal 118 UU No. 5 tahun 1986, intervensi

dimungkinkan dalam 2 masa. Yaitu intervensi pada saat pemeriksaan di

sidang pengadilan dan intervensi pada saat pelaksanaan putusan pengadilan.

Intervensi dalam pemeriksaan di sidang pengadilan dimotivasi tiga kategori

sebagaimana telah diuraikan di atas. Pengaturan masuknya pihak ketiga ini

sangat diperlukan sebab karakter putusan PTUN berlaku erga Omnes dan

sangat berbeda dalam acara perdata yang mana putusan hanya berlaku bagi

pihak yang berperkara saja.

2. Pertimbangan Hukum Hakim dalam Menentukan Legal Standing

Penggugat dalam Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Palembang

Nomor: 10/G/2015/PTUN-PLG Berdasarkan Peraturan Perundang-

Undangan.

Permasalahan legal standing atau hak gugat dalam Putusan

Pengadilan Tata Usaha Negara Palembang Nomor: 10/G/2015/PTUN-PLG.

Pengadilan Tata Usaha Negara tersebut yang memeriksa, mengadili dan

memutus sengketa antara para Calon Kepala Desa yang meliputi Jawinner

Siburian, Sugito, dan Jasmin sebagai Penggugat, melawan Kepala Badan

Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa Kabupaten Musi

Banyuasin, sebagai Tergugat. Objek gugatannya yaitu Surat Keputusan

Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa

Kabupaten Musi Banyuasin Nomor : 097 Tahun 2014 Tanggal 29 Desember


107

2014 tentang Penetapan Calon Kepala Desa Muara Medak Kecamatan

Bayung Lencir Kabupaten Musi Banyuasin Periode 2015-2021, yang

selanjutnya disebut dengan surat keputusan objek sengketa.

Kasus ini bermula ketika diterbitkannya surat keputusan objek

sengketa yang berisi tentang penetapan Calon Kepala Desa Muara Medak

atas nama Sugito, Jasmin, Jawinner Siburian, Marudut Halomoan Panjaitan,

dan Yanto. Kemudian Jawinner Siburian, Sugito, dan Jasmin menggugat

objek sengketa itu ke Pengadilan Tata Usaha Negara Palembang karena

keikut-sertaan atas nama Marudut Halomoan Panjaitan sebagai Calon

Kepala Desa. Menurut Para Penggugat, Marudut Halomoan Panjaitan masih

menjabat sebagai Plt Kepala Desa yang berstatus Pegawai Negeri Sipil

(PNS), selain itu Penggugat juga mendalilkan bahwa Surat Keputusan yang

dijadikan objek sengketa tersebut bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik, serta

merugikan Penggugat. Adapun dalam pemeriksaan persidangan,

pertimbangan hukum hakim tidak mengenai pokok perkara melainkan

mengenai hak gugat Penggugat. Majelis Hakim dalam pertimbangan

hukumnya menyatakan bahwa tidak ada kepentingan hukum Penggugat atau

Penggugat tidak mempunyai hak gugat (legal standing), sehingga Majelis

Hakim dalam amar putusannya menyatakan bahwa Gugatan Penggugat

Tidak Dapat Diterima (Niet Onvankelijkverklaard).

Adapun pertimbangan hukum hakim sebelum memutus sengketa

tersebut dapat dilihat pada hasil penelitian sebagai berikut:


108

Hasil Penelitian Nomor 5.2.

Menimbang, bahwa Para Penggugat pada pokoknya mendalilkan


terdapat kepentingan yang dirugikan dengan terbitnya objek sengketa
a quo, oleh karena Tergugat dalam menerbitkan objek sengketa a quo
tidak sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku dan
mengesampingkan hak-hak konstitusional Para Penggugat sebagai
calon kepala Desa Muara Medak;

Hasil Penelitian Nomor 5.4.

Menimbang, bahwa Pasal 53 ayat (1) Undang-undang Peradilan Tata


Usaha Negara telah menentukan bahwa: Orang atau Badan Hukum
Perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan
Tata usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada
Pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar keputusan tata
usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah,
dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi;

Hasil Penelitian Nomor 5.5.

Menimbang, bahwa dalam ketentuan Pasal 53 ayat (1) maupun


penjelasannya tidak menguraikan mengenai pengertian kepentingan
tersebut, oleh karena itu Majelis Hakim mengutip pendapat Indroharto
dalam buku berjudul Usaha Memahami Undang- undang Tentang
Peradilan Tata Usaha Negara Buku II (edisi baru, Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta, 2005) halaman 37-40, yang pada prinsipnya
menyatakan bahwa kepentingan dalam Peradilan Tata Usaha Negara
itu mengandung 2 arti, yaitu:
1. Kepentingan yang menunjuk kepada nilai yang harus dilindungi
oleh hukum dan
2. Kepentingan berproses artinya apa yang hendak dicapai dengan
melakukan proses gugatan yang bersangkutan ;

Hasil Penelitian Nomor 5.6.

Menimbang, bahwa menurut Indroharto, SH., sebagaimana termuat


dalam bukunya tersebut di atas, pada pokoknya menyebutkan
kepentingan dalam kaitannya dengan hak menggugat baru ada, apabila
kepentingan itu jelas ada hubungannya dengan Penggugat sendiri,
kepentingan itu bersifat pribadi dan langsung serta kepentingan itu
secara objektif dapat ditentukan, baik mengenai luas maupun
intensitasnya, sedangkan menurut Prof. Dr. Philipus M Hadjon, dkk,
dalam bukunya Pengantar Hukum Administrasi Indonesia Penerbit
Gajah Mada University Press, Yogyakarta, cetakan keempat tahun
1995 hal 324, menyebutkan Penggugat mempunyai kepentingan untuk
109

mengajukan gugatan apabila ada hubungan kausal (sebab akibat)


antara Keputusan Tata Usaha yang digugat dengan
kerugian/kepentingannya, artinya kepentingan yang dirugikan tersebut
adalah akibat langsung dari terbitnya Keputusan Tata Usaha Negara
yang digugat;

Hasil Penelitian Nomor 5.7.

Menimbang, bahwa disamping kepentingan akan nilai yang harus


dilindungi oleh hukum juga harus jelas pula kepentingan untuk
berproses, karena terdapat adagium dalam Hukum Acara Peradilan
Tata Usaha Negara yang merupakan hukum tidak tertulis yang
menyatakan : point dinterest-point daction (bila ada kepentingan
maka di situ baru boleh berproses);

Hasil Penelitian Nomor 5.8.

Menimbang, bahwa berdasarkan uraian hukum tersebut di atas, maka


dapat ditarik kesimpulan bahwa kepentingan adalah suatu nilai yang
harus dilindungi oleh hukum dan harus ditentukan oleh adanya
hubungan hukum antara orang atau badan hukum perdata yang
bersangkutan di satu pihak dengan keputusan tata usaha Negara di lain
pihak, akan tetapi hak menggugat baru diperkenankan apabila
kepentingannya merasa dirugikan, akibat diterbitkannya keputusan
tata usaha Negara (vide Pasal 53 ayat (1) Undang-undang Nomor 9
tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 5 tahun
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara);

Hasil Penelitian Nomor 5.8.

Menimbang, bahwa berdasarkan objek sengketa a quo dan Pasal 53


ayat (1) Undang-undang Nomor 9 tahun 2004 perubahan atas Undang-
undang Nomor 5 tahun 1986 serta Doktrin/pendapat para ahli, maka
selanjutnya Majelis Hakim akan menguji permasalahan Apakah
Penggugat mempunyai kualitas sebagai Penggugat;

Hasil Penelitian Nomor 5.9.

Menimbang, bahwa di dalam gugatannya, Para Penggugat


mendalilkan bahwa Perbuatan Tergugat di dalam menerbitkan surat
keputusan yang menjadi objek sengketa tersebut di atas telah
melanggar Hak konstitusional Para Penggugat yaitu Hak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil
serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, sebagaimana
ditegaskan dalam Undang-undang Dasar Republik Indonesia tahun
1945, pasal 28 D ayat 1 : Setiap orang berhak atas pengakuan,
110

jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan


yang sama di hadapan hukum dan dengan terbitnya objek sengketa
maka secara hukum tindakan Tergugat tersebut telah sangat
merugikan kepentingan dan hak Para Penggugat, karena Marudut
Halomoan Panjaitan yang seharusnya tidak bisa mencalonkan diri
akan tetapi dengan ditetapkannya Marudut Halomoan Panjaitan
melalui objek sengketa maka menjadi kompetitor yang memiliki
kekuasaan untuk melakukan kecurangan dalam pemilihan kepala
desa.;

Hasil Penelitian Nomor 5.10.

Menimbang, bahwa selama pemeriksaan di persidangan terungkap


fakta-fakta hukum yang memiliki kaitan dengan ada atau tidaknya
kepentingan Para Penggugat yang dirugikan secara langsung oleh
objek sengketa a quo, sebagai berikut :
1). Bahwa objek sengketa diterbitkan pada tanggal 29 Desember 2014
(vide bukti P-1=T-1) adalah Penetapan Calon Kepala Desa Muara
Medak Periode 2015-2021, yang telah lulus tahap verifikasi, yaitu :
1. SUGITO;
2. JASMIN;
3. JAWINNER SIBURIAN;
4. MARUDUT HALOMOAN PANJAITAN;
5. YANTO;
2). Bahwa Penggugat I, Penggugat II dan Penggugat III (para
Penggugat) merupakan calon kepala desa Muara Medak yang telah
ditetapkan dengan surat keputusan objek sengketa (vide bukti P-
1=T-1);
3). Bahwa keberatan para Penggugat dalam surat gugatannya karena
keikut-sertaan atas nama calon Marudut Halomoan Panjaitan
sebagai Bakal Calon Kepala Desa karena yang bersangkutan masih
menjabat sebagai Plt Kepala Desa yang berstatus Pegawai Negeri
Sipil (PNS);
4). Bahwa berdasarkan vide bukti T-6, menunjukkan bahwa:
d. Adanya surat pernyataan pengunduran diri Marudut Halomoan
Panjaitan sebagai PNS di atas materai tertanggal 22 November
2014 yang ditujukan kepada Panlonlaklih;
e. Adanya Surat Pengunduran diri yang ditujukan kepada Bupati
cq Kepala BKD Kabupaten Musi Banyuasin tertanggal 22
November 2014;
f. Surat Keterangan Sementara dari Sekretaris Daerah Kabupaten
Musi Banyuasin Nomor 823/1387/BKD.Diklat/2014 tanggal 30
Desember 2014;
5). Bahwa Pengunduran diri Marudut Halomoan Panjaitan, juga telah
ditindak lanjuti oleh BPD, dengan mengirimkan surat kepada
Bupati Musi Banyuasin cq Camat Bayung Lencir tertanggal 30
111

Desember 2014 tentang Penyampaian Hasil Rapat BPD tentang


Pelaksana Tugas Kepala Desa. (vide bukti T-7);
6). Bahwa Surat Perintah Camat Bayung Lencir No. 01 tahun 2015
memerintahkan Rais yang sebelumnya menjabat Kaur Umum, TU
dan Keuangan sebagai Plh Kepala Desa menggantikan Marudut
Halomoan Panjaitan (vide bukti T-8);
7). Bahwa BPD Muara Medak telah menetapkan hasil pemilihan
kepala desa muara medak yang dilaksanakan pada tanggal 27
Januari 2015 dengan perhitungan suara masing-masing:
1. Sugito = 885 suara;
2. Jasmin = 650 suara;
3. Yanto = 372 suara;
4. Marudut Halomoan Panjaitan = 1.380 suara;
5. Jawiner Siburian = 797 suara.
Dan mengusulkan kepada Bupati Musi Banyuasin agar
menetapkan Sdr. Marudut Halomoan Panjaitan sebagai kepala desa
Muara Medak, dengan keputusan BPD muara Medak Nomor 02
tahun 2015 tanggal 3 februari 2015 (vide bukti T-9);

Hasil Penelitian Nomor 5.11.

Menimbang, bahwa menurut pendapat Indroharto dalam bukunya


berjudul Usaha Memahami Undang-undang Tentang Peradilan Tata
Usaha Negara (edisi baru, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2005)
halaman 145, penetapan dibedakan menjadi 2 katagori yaitu
penetapan Einmalig dan yang permanen, penetapan einmalig adalah
penetapan yang sekali berlaku; penetapan semacam itu habis
berlakunya setelah sekali digunakan, dan Majelis Hakim berpendapat
bahwa surat keputusan objek sengketa termasuk kategori penetapan
einmalig, yaitu sekali berlaku hanya untuk menetapkan calon kepala
desa Muara Medak guna mengikuti pemilihan kepala
desa/pemungutan suara, sehingga kepentingan penggugat yang
dirugikan hanya dinilai pada saat surat keputusan objek sengketa
diterbitkan hingga pemilihan/ pemungutan suara dilaksanakan;

Hasil Penelitian Nomor 5.12.

Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum tersebut di atas,


Majelis Hakim berpendapat calon kepala desa Muara Medak atas
nama Marudut Halomoan Panjaitan telah mengundurkan diri sebagai
Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada Pemerintah Kabupaten Musi
Banyuasin pada saat mendaftarkan diri sebagai calon kepala desa
Muara Medak, sehingga persyaratan pencalonan yang bersangkutan
terpenuhi, sementara proses pemberhentian sebagai PNS oleh pejabat
pembina kepegawaian masih memerlukan prosedur berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang kepegawaian;
112

Hasil Penelitian Nomor 5.13.

Menimbang, bahwa Para Penggugat merupakan peserta atau calon


kepala desa yang berhak ikut dalam pemilihan kepala desa Muara
Medak sebagaimana keputusan Tergugat dalam SK objek sengketa
sehingga tidak ada hak-hak atau kepentingan hukum para penggugat
yang dirugikan untuk menjadi peserta pemilihan kepala desa Muara
Medak;

Hasil Penelitian Nomor 5.14.

Menimbang, bahwa tindakan hukum Tergugat dalam menerbitkan


objek sengketa a quo tidak dapat juga dipandang sebagai pelanggaran
hak-hak konstitusional para penggugat atas prinsip pengakuan,
jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan
yang sama di hadapan hukum, sehingga menimbulkan kerugian
kepada para penggugat, karena para penggugat mendapat kesempatan
yang sama untuk tetap menjadi calon kepala desa Muara Medak;

Hasil Penelitian Nomor 5.15.

Menimbang, bahwa adapun masuknya calon atas nama Marudut


Halomoan Panjaitan dalam pemilihan Kepala Desa yang kemudian
ditetapkan sebagai kepala desa terpilih (vide bukti T-9), maka hal
tersebut pun tidak secara nyata menimbulkan kerugian bagi Para
Penggugat dalam hal perolehan suara pemilih, oleh karena tidak akan
dapat dibuktikan secara pasti menurut hukum mengenai seberapa
besar suara pemilih yang diperoleh masing-masing pasangan calon
sebelum pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara
dilaksanakan;

Hasil Penelitian Nomor 5.16.

Menimbang, bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan persidangan


dalam sengketa a quo, Majelis Hakim menilai kepentingan para
penggugat yang dirugikan baru muncul setelah diterbitkan keputusan
penetapan kepala desa terpilih oleh BPD Muara Medak, oleh karena
adanya jumlah suara para penggugat yang lebih sedikit dibandingkan
dengan calon kepala desa atas nama Marudut Halomoan Panjaitan;

Hasil Penelitian Nomor 5.17.

Menimbang, bahwa berdasarkan uraian-uraian pertimbangan hukum


tersebut di atas, maka Majelis Hakim berkesimpulan bahwa tidak
terdapat kepentingan Para Penggugat yang dirugikan secara nyata dan
113

langsung oleh terbitnya objek sengketa a quo sesuai ketentuan pasal


53 ayat (1) UU Peradilan Tata Usaha Negara;

Hasil Penelitian Nomor 5.18.

Menimbang, bahwa dengan demikian Majelis Hakim berkeyakinan


eksepsi tergugat tentang legal standing para penggugat diterima,
sehingga Gugatan Para Penggugat haruslah dinyatakan tidak
diterima;

Berdasarkan hal tersebut di atas dapat diketahui bahwa bagaimana

proses pemeriksaan perkara dalam rapat permusyawaratan Majelis Hakim

dalam pertimbangan hukumnya yang menetukan suatu gugatan dinyatakan

tidak dapat diterima diterima.

Menurut pendapat penulis, pertimbangan hukum Majelis Hakim

tidak sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan dalam menentukan

suatu hak gugat yang dimiliki oleh penggugat selaku subjek hukum dalam

Peradilan Tata Usaha Negara.

Para Penggugat merupakan peserta atau calon kepala desa yang

berhak ikut dalam pemilihan kepala desa Muara Medak sebagaimana

keputusan Tergugat dalam Surat Keputusan objek sengketa, oleh sebab itu

mereka adalah orang-orang atau subyek hokum yang disebut dalam surat

keputusan sehingga seharusnya ada hak-hak atau kepentingan hukum para

penggugat yang dirugikan untuk menjadi peserta pemilihan kepala desa

Muara Medak. Tindakan hukum Tergugat dalam menerbitkan objek

sengketa a quo dapat juga dipandang sebagai pelanggaran hak-hak

konstitusional para penggugat atas prinsip pengakuan, jaminan,

perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di
114

hadapan hukum, sehingga menimbulkan kerugian kepada para penggugat,

walaupun para penggugat mendapat kesempatan yang sama untuk tetap

menjadi calon kepala desa Muara Medak. Adapun masuknya calon atas

nama Marudut Halomoan Panjaitan dalam pemilihan Kepala Desa yang

kemudian ditetapkan sebagai kepala desa terpilih, maka hal tersebut pun

secara nyata menimbulkan kerugian bagi Para Penggugat walaupun dalam

hal perolehan suara pemilih, tidak akan dapat dibuktikan secara pasti

menurut hukum mengenai seberapa besar suara pemilih yang diperoleh

masing-masing pasangan calon sebelum pelaksanaan pemungutan dan

penghitungan suara dilaksanakan. Tindakan Tergugat mengikutsertakan

Marudut Halomoan Panjaitan tanpa transparansi dan professionalita adalah

telah melanggar peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum

pemerintahan yang baik.

Kepentingan kerugian yang dimaksud dalam Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1986 sifatnya adalah kepentingan yang bersifat pribadi

yang secara langsung diderita atau dirugikan atas penerbitan surat keputusan

yang merugikan tersebut, jadi kepentingan kerugian di sini tidak bersifat

derefatif. 95

Menurut Indroharto 96 , kepentingan dalam Peradilan Tata Usaha

Negara itu mengandung 2 arti, yaitu :

1. Kepentingan yang menunjuk kepada nilai yang harus dilindungi oleh

hukum;


95
Erna Herlinda, Loc. Cit., hlm. 5.
96
Indroharto, Loc. Cit., hlm. 37.
115

2. Kepentingan berproses artinya apa yang hendak dicapai dengan

melakukan proses gugatan yang bersangkutan.

Kepentingan dalam kaitannya dengan hak menggugat baru ada,

apabila kepentingan itu jelas ada hubungannya dengan Penggugat sendiri,

kepentingan itu bersifat pribadi dan langsung serta kepentingan itu secara

objektif dapat ditentukan, baik mengenai luas maupun intensitasnya.


97
Sedangkan menurut Philipus M Hadjon , Penggugat mempunyai

kepentingan untuk mengajukan gugatan apabila ada hubungan kausal (sebab

akibat) antara Keputusan Tata Usaha yang digugat dengan

kerugian/kepentingannya, artinya kepentingan yang dirugikan tersebut

adalah akibat langsung dari terbitnya Keputusan Tata Usaha Negara yang

digugat.

Kepentingan yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1986 merupakan kepentingan perseorangan/individual yang langsung

mengalami atau menderita kerugian atas diterbitkannya objek sengketa atau

surat keputusan tata usaha negara.

Berdasarkan hal-hal beserta teori-teori yang telah tersebut di atas,

Para Penggugat seharusnya mempunyai legal standing dalam mengajukan

gugatan, karena memang ada kerugian yang secara langsung dialami oleh

Para Penggugat, maka menurut pendapat penulis, pertimbangan hukum

hakim tersebut tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Seharusnya Majelis Hakim tidak mempertimbangkan mengenai hak gugat


97
Philipus M Hadjon dkk, Loc. Cit., hlm. 324.
116

penggugat melainkan memeriksa pokok perkaranya mengenai apakah surat

keputusan tersebut memang bertentangan dengan peraturan perundang-

undangan dan/atau asas-asas umum pemerintahan yang baik atau tidak

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan/atau asas-asas

umum pemerintahan yang baik.


BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

1. Cara Menentukan Legal Standing Penggugat dalam Peradilan Tata Usaha

Negara.

Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 9 Tahun 2004 dapat diketahui yang dimaksud dengan Penggugat

adalah orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya

dirugikan akibat diterbitkannya suatu Keputusan Tata Usaha Negara.

Ketentuan Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tersebut

maupun penjelasannya tidak menguraikan mengenai pengertian kepentingan

tersebut. Menurut Indroharto 98 , kepentingan dalam Peradilan Tata Usaha

Negara itu mengandung 2 arti, yaitu kepentingan yang menunjuk kepada

nilai yang harus dilindungi oleh hukum dan kepentingan berproses artinya

apa yang hendak dicapai dengan melakukan proses gugatan yang

bersangkutan. Kepentingan dalam kaitannya dengan hak menggugat baru

ada, apabila kepentingan itu jelas ada hubungannya dengan Penggugat

sendiri, kepentingan itu bersifat pribadi dan langsung serta kepentingan itu

secara objektif dapat ditentukan, baik mengenai luas maupun intensitasnya.


99
Sedangkan menurut Philipus M Hadjon , Penggugat mempunyai

kepentingan untuk mengajukan gugatan apabila ada hubungan kausal (sebab


98
Indroharto, Loc. Cit., hlm. 37.
99
Philipus M Hadjon dkk, Loc. Cit., hlm. 324.
118

akibat) antara Keputusan Tata Usaha yang digugat dengan

kerugian/kepentingannya, artinya kepentingan yang dirugikan tersebut

adalah akibat langsung dari terbitnya Keputusan Tata Usaha Negara yang

digugat.

2. Pertimbangan Hukum Hakim dalam Menentukan Legal Standing Penggugat

dalam Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Palembang Nomor:

10/G/2015/PTUN-PLG Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan.

Menurut penulis, Pertimbangan hukum Hakim tidak sesuai dengan

Peraturan Perundang-Undangan. Para Penggugat merupakan peserta atau

calon kepala desa yang berhak ikut dalam pemilihan kepala desa Muara

Medak sebagaimana keputusan Tergugat dalam Surat Keputusan objek

sengketa sehingga seharusnya ada hak-hak atau kepentingan hukum para

penggugat yang dirugikan untuk menjadi peserta pemilihan kepala desa

Muara Medak. Tindakan hukum Tergugat dalam menerbitkan objek

sengketa a quo dapat juga dipandang sebagai pelanggaran hak-hak

konstitusional para penggugat atas prinsip pengakuan, jaminan,

perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di

hadapan hukum, sehingga menimbulkan kerugian kepada para penggugat,

walaupun para penggugat mendapat kesempatan yang sama untuk tetap

menjadi calon kepala desa Muara Medak. Adapun masuknya calon atas

nama Marudut Halomoan Panjaitan dalam pemilihan Kepala Desa yang

kemudian ditetapkan sebagai kepala desa terpilih, hal tersebut pun secara

nyata menimbulkan kerugian bagi Para Penggugat dalam hal perolehan


119

suara pemilih, meskipun tidak akan dapat dibuktikan secara pasti menurut

hukum mengenai seberapa besar suara pemilih yang diperoleh masing-

masing pasangan calon sebelum pelaksanaan pemungutan dan penghitungan

suara dilaksanakan. Kepentingan yang dimaksud dalam Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1986 merupakan kepentingan perseorangan/individual yang

langsung mengalami atau menderita kerugian atas diterbitkannya objek

sengketa atau surat keputusan tata usaha negara. Menurut penulis,

seharusnya Majelis Hakim tidak mempertimbangkan mengenai hak gugat

penggugat melainkan memeriksa pokok perkaranya mengenai apakah surat

keputusan tersebut memang bertentangan dengan peraturan perundang-

undangan dan/atau asas-asas umum pemerintahan yang baik atau tidak

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan/atau asas-asas

umum pemerintahan yang baik.

B. Saran

Disarankan kepada para hakim yang akan memeriksa perkara yang

serupa demikian sebagaimana yang menjadi objek penelitian penulis,

sebaiknya lebih cermat dan teliti dalam menentukan hak gugat seseorang yang

berkapasitas sebagai penggugat atau orang-orang yang merasa kepentingannya

dirugikan akibat dikeluarkannya suatu surat keputusan Tata Usaha Negara.


DAFTAR PUSTAKA

Literatur:

Atmosudirjo, Slamet Prajudi, 1994, Hukum Administrasi Negara, Cetakan X,


Jakarta: Ghalia Indonesia.

Abdullah, Rozali, 1994, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Jakarta:
Raja Grafindo Persada.

Azhary, Thahir, 1992, Negara Hukum, Jakarta: Bulan Bintang.

Azhary, 1995, Negara Hukum Indonesia, Jakarta: UI-Press.

Basah, Sjachran, 1989, Hukum Acara Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan


Administrasi (HAPLA), Jakarta: Rajawali Pers.

H.R, Ridwan, 2011, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: PT Raja Grafindo


Persada.

Hartono, Sunaryati, 1976, The Rule Of Law, Bandung: Alumni.

Zairin Harahap, 1997, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Edisi revisi,
Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Harahap, Zairin, 2007, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada.

Harahap, M. Yahya, 1997, Beberapa Tinjauan Sistem Peradilan Dan


Penyelesaian Sengketa, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Harahap, M. Yahya, 2015, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika.

Herlinda, Erna, 2004, Tinjauan Tentang Gugatan Class Actions Dan Legal
standing Di Peradilan Tata Usaha Negara, e-USU Repository 2004,
Universitas Sumatera utara.

Indroharto, 1993, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata


Usaha Negara, Buku I, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Indroharto, 2004, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata


Usaha Negara, Buku I: Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha
Negara, Jakarta: Sinar Harapan.

Indroharto, 2005, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata


Usaha Negara, Buku II, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Kupita, Weda, 2010, Materi Kuliah Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara,
Purwokerto: Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.

Marbun, S.F., 2003, Peradilan Tata Usaha Negara, Yogyakarta: Liberty.

Marbun, S.F., 2002, Demensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara,


Yogyakarta: U.I.I Pers.

Marbun, S.F., 2001, Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta: UII Press.

M Hadjon, Philipus dkk, 1995, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia,


Yogyakarta: Penerbit Gajah Mada University Press.

Mertokusumo, Sudikno, 2009, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta:


Liberty.

Mulyadi, Lilik, 1999, Hukum Acara Perdata Menurut Teori Dan Praktik
Peradilan Di Indonesia, Jakarta: Djambatan.

Prodjohamidjojo, Martiman, 2005, Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara


Dan UU PTUN 2004, Bogor: Ghalia Indonesia.

Rahardjo, Satjipto, 1986, Ilmu Hukum, Bandung: Penerbit Alumni.

Ridwan, Juniarso dkk, 2009, Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan


Pelayanan Publik, Bandung: Nuansa Cendekia.

Soemitro, Rony Hanitijo, 1988, Metode Penulisan dan Jurimetri, Jakarta: Ghalia
Indah.

Soekanto, Soerjono, 1985, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: Raja Grafindo


Persada.

Tjandra, W. Riawan, 2005, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara,


Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Wijoyo, Suparto, 2005, Hukum Acara Peradilan Administrasi (Peradilan Tata


Usaha Negara), Surabaya: Airlangga University Press.

Wiyono, R, 2013, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Edisi Ketiga,
Jakarta: Sinar Grafika.

Peraturan Perundang-Undangan:

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1968 Nomor 77).

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang


Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 35).

Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-


Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 5079).

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157).

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik


Indonesia Tahun 2014 Nomor 7).

Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan


Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 123)

Peraturan Daerah Musi Banyuasin Nomor 1 Tahun 2007 tentang Tata Cara
Pencalonan, Pemilihan, Pelantikan dan Pemberhentian Kepala Desa
(Lembaran Daerah Kabupaten Musi Banyuasin Tahun 2007 Nomor 1).

Peraturan Daerah Musi Banyuasin Nomor 10 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas
Peraturan Daerah Nomor 1 tahun 2007 tentang Tata Cara Pencalonan,
Pemilihan, Pelantikan dan Pemberhentian Kepala Desa (Lembaran Daerah
Kabupaten Musi Banyuasin Tahun 2012 Nomor 10).

Peraturan Bupati Musi Banyuasin Nomor 26 Tahun 2013 tentang Tata Cara
Pencalonan dan pemilihan Kepala Desa (Berita Daerah Kabupaten Musi
Banyuasin Tahun 2013 Nomor 26).

Putusan Pengadilan:

Putusan PTUN Palembang Nomor : 10/G/2015/PTUN-PLG.


Sumber Lain dan Internet

https://masalahukum.wordpress.com/2013/08/25/citizen-law-suit, diakses pada 10

April 2017.

Anda mungkin juga menyukai