Anda di halaman 1dari 17

BAB I

TINJAUAN TEORI LANJUT USIA

A. Pengertian Lansia
Lansia (Lanjut Usia) adalah fase menurunnya kemampuan akal dan fisik, yang di mulai dengan adanya
beberapa perubahan dalam hidup. Sebagai mana di ketahui, ketika manusia mencapai usia dewasa, ia
mempunyai kemampuan reproduksi dan melahirkan anak. Ketika kondisi hidup berubah, seseorang akan
kehilangan tugas dan fungsi ini, dan memasuki selanjutnya, yaitu usia lanjut, kemudian mati. Bagi manusia
yang normal, siapa orangnya, tentu telah siap menerima keadaan baru dalam setiap fase hidupnya dan
mencoba menyesuaikan diri dengan kondisi lingkunganya (Darmojo, 2004).
Menurut UU no 4 tahun 1945 Lansia adalah seseorang yang mencapai umur 55 tahun, tidak berdaya
mencari nafkah sendiri untuk keperluan hidupnya sehari-hari dan menerima nafkah dari orang lain
(Wahyudi, 2000).
Usia lanjut adalah sesuatu yang harus diterima sebagai suatu kenyataan dan fenomena biologis. Kehidupan
itu akan diakhiri dengan proses penuaan yang berakhir dengan kematian (Hutapea, 2005).
Usia lanjut adalah suatu proses alami yang tidak dapat dihindari (Azwar, 2006).
Menua secara normal dari system saraf didefinisikan sebagai perubahan oleh usia yang terjadi pada
individu yang sehat bebas dari penyakit saraf jelas menua normal ditandai oleh perubahan gradual dan
lambat laun dari fungsi-fungsi tertentu (Tjokronegroho Arjatmo dan Hendra Utama,1995).
Menua (menjadi tua) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan lahan kemampuan jaringan untuk
memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan
terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Constantinides 1994). Proses menua
merupakan proses yang terus menerus (berlanjut) secara alamiah dimulai sejak lahir dan umumnya dialami
pada semua makhluk hidup (Nugroho Wahyudi, 2000).
Menurut WHO dalam Wahyudi (2000: 15), meliputi :
a. Usia pertengahan (middle age) : usia 45- 59 tahun.
b. Lanjut usia (elderly) : usia 60- 74 tahun.
c. Lanjut usia tua (old) : usia 75- 90 tahun.
d. Usia sangat tua (very old) : usia lebih dari 90 tahun
Menurut Setyonegoro dalam Wahyudi (2000: 15), lansia meliputi:
a. Young old : antara 70- 75 tahun.
b. Old : antara 75- 80 tahun.
c. Very old : antara lebih dari 80 tahun.
B. Batasan Lansia
Menurut WHO, batasan lansia meliputi:
1. Usia Pertengahan (Middle Age), adalah usia antara 45-59 tahun.
2. Usia Lanjut (Elderly), adalah usia antara 60-74 tahun
3. Usia Lanjut Tua (Old), adalah usia antara 75-90 tahun
4. Usia Sangat Tua (Very Old), adalah usia 90 tahun keatas
Menurut Dra.Jos Masdani (psikolog UI).
Mengatakan lanjut usia merupakan kelanjutan dari usia dewasa. Kedewasaan dapat dibagi
menjadi 4 bagian:
1. Fase iuventus antara 25dan 40 tahun
2. Verilitia antara 40 dan 50 tahun
3. Fase praesenium antara 55 dan 65 tahun
4. Fase senium antara 65 tahun hingga tutup usia
C. Tipe-tipe Lansia
Pada umumnya lansia lebih dapat beradaptasi tinggal di rumah sendiri daripada tinggal bersama
anaknya. Menurut Nugroho W ( 2000) adalah:
Tipe Arif Bijaksana: Yaitu tipe kaya pengalaman, menyesuaikan diri dengan perubahan
zaman, ramah, rendah hati, menjadi panutan.
Tipe Mandiri: Yaitu tipe bersifat selektif terhadap pekerjaan, mempunyai kegiatan.
Tipe Tidak Puas: Yaitu tipe konflik lahir batin, menentang proses penuaan yang
menyebabkan hilangnya kecantikan, daya tarik jasmani, kehilangan kekuasaan, jabatan, teman.
Tipe Pasrah: Yaitu lansia yang menerima dan menunggu nasib baik.
Tipe Bingung: Yaitu lansia yang kehilangan kepribadian, mengasingkan diri, minder, pasif,
dan kaget.
D. Teori-teori Proses Penuaan
Teori Biologi
1. Teori genetic dan mutasi (Somatik Mutatie Theory)
Menurut teori ini menua telah terprogram secara genetik untuk spesies-spesies tertentu.
Menua terjadi sebagai akibat dari perubahan biokimia yang terprogramoleh molekul-
molekul atau DNA dan setiap sel pada saatnya akan mengalami mutasi.
2. Teori radikal bebas
Tidak setabilnya radikal bebas mengakibatkan oksidasi-oksidasi bahan organik yang
menyebabkan sel-sel tidak dapat regenerasi.
3. Teori autoimun
Penurunan sistem limfosit T dan B mengakibatkan gangguan pada keseimbangan regulasi
system imun (Corwin, 2001). Sel normal yang telah menua dianggap benda asing, sehingga
sistem bereaksi untuk membentuk antibody yang menghancurkan sel tersebut. Selain itu
atripu tymus juga turut sistem imunitas tubuh, akibatnya tubuh tidak mampu melawan
organisme pathogen yang masuk kedalam tubuh.Teori meyakini menua terjadi
berhubungan dengan peningkatan produk autoantibodi.
4. Teori stress
Menua terjadi akibat hilangnya sel-sel yang biasa digunakan tubuh. Regenerasi jaringan
tidak dapat mempertahankan kesetabilan lingkungan internal, dan stres menyebabkan sel-
sel tubuh lelah dipakai.
5. Teori telomer
Dalam pembelahan sel, DNA membelah denga satu arah. Setiap pembelaan akan
menyebabkan panjang ujung telomere berkurang panjangnya saat memutuskan duplikat
kromosom, makin sering sel membelah, makin cepat telomer itu memendek dan akhirnya
tidak mampu membelah lagi.
6. Teori apoptosis
Teori ini disebut juga teori bunuh diri (Comnit Suitalic) sel jika lingkungannya berubah,
secara fisiologis program bunuh diri ini diperlukan pada perkembangan persarapan dan
juga diperlukan untuk merusak sistem program prolifirasi sel tumor. Pada teori ini
lingkumgan yang berubah, termasuk didalamnya oleh karna stres dan hormon tubuh yang
berkurang konsentrasinya akan memacu apoptosis diberbagai organ tubuh.
Teori Kejiwaan Sosial
1. Aktifitas atau kegiatan (Activity theory)
Teori ini menyatakan bahwa pada lanjut usia yang sukses adalah mereka yang aktif dan
ikut bnyak kegiatan social.
2. Kepribadian lanjut (Continuity theory)
Teori ini menyatakan bahwa perubahan yang terjadi pada seseorang yang lanjut usia sangat
dipengaruhi tipe personality yang dimilikinya.
3. Teori pembebasan (Disengagement theory)
Dengan bertambahnya usia, seseorang secara berangsur-angsur melepaskan diri dari
kehidupan sosialnya atau menarik diri dari pergaulan sekitarnya. Keadaan ini
mengakibatkan interaksi lanjut usia menurun, baik secara kualitas maupun kuantitas.
Teori Lingkungan
1. Exposure theory: Paparan sinar matahari dapat mengakibatkat percepatan proses
penuaan.
2. Radiasi theory: Radiasi sinar y, sinar xdan ultrafiolet dari alat-alat medis memudahkan
sel mengalami denaturasi protein dan mutasi DNA.
3. Polution theory: Udara, air dan tanah yang tercemar polusi mengandung subtansi
kimia, yang mempengaruhi kondisi epigenetik yang dpat mempercepat proses penuaan.
4. Stress theory: Stres fisik maupun psikis meningkatkan kadar kortisol dalam darah.
Kondisi stres yang terus menerus dapat mempercepat proses penuaan.

Perubahan Yang Terjadi Pada Lansia

Banyak kemampuan berkurang pada saat orang bertambah tua. Dari ujung rambut sampai ujung kaki
mengalami perubahan dengan makin bertambahnya umur. Menurut Nugroho (2000) perubahan yang
terjadi pada lansia adalah sebagai berikut:

1. Perubahan Fisik

Sel : Jumlahnya menjadi sedikit, ukurannya lebih besar, berkurangnya cairan intra seluler,
menurunnya proporsi protein di otak, otot, ginjal, dan hati, jumlah sel otak menurun, terganggunya
mekanisme perbaikan sel.

Sistem Persyarafan: Respon menjadi lambat dan hubungan antara persyarafan menurun, berat
otak menurun 10-20%, mengecilnya syaraf panca indra sehingga mengakibatkan berkurangnya
respon penglihatan dan pendengaran, mengecilnya syaraf penciuman dan perasa, lebih sensitive
terhadap suhu, ketahanan tubuh terhadap dingin rendah, kurang sensitive terhadap sentuhan.

Sistem Penglihatan : Menurun lapang pandang dan daya akomodasi mata, lensa lebih suram
(kekeruhan pada lensa) menjadi katarak, pupil timbul sklerosis, daya membedakan warna menurun.

Sistem Pendengaran : Hilangnya atau turunnya daya pendengaran, terutama pada bunyi suara
atau nada yang tinggi, suara tidak jelas, sulit mengerti kata-kata, 50% terjadi pada usia diatas umur
65 tahun, membran timpani menjadi atrofi menyebabkan otosklerosis.

Sistem Cardiovaskuler : Katup jantung menebal dan menjadi kaku,Kemampuan jantung


menurun 1% setiap tahun sesudah berumur 20 tahun, kehilangan sensitivitas dan elastisitas
pembuluh darah: kurang efektifitas pembuluh darah perifer untuk oksigenasi perubahan posisidari
tidur ke duduk (duduk ke berdiri)bisa menyebabkan tekanan darah menurun menjadi 65mmHg dan
tekanan darah meninggi akibat meningkatnya resistensi dari pembuluh darah perifer, sistole normal
170 mmHg, diastole normal 95 mmHg.

Sistem pengaturan temperatur tubuh : Pada pengaturan suhu hipotalamus dianggap bekerja
sebagai suatu thermostat yaitu menetapkan suatu suhu tertentu, kemunduran terjadi beberapa factor
yang mempengaruhinya yang sering ditemukan antara lain: Temperatur tubuh menurun,
keterbatasan reflek menggigildan tidak dapat memproduksi panas yang banyak sehingga terjadi
rendahnya aktifitas otot.

Sistem Respirasi : Paru-paru kehilangan elastisitas, kapasitas residu meningkat, menarik nafas
lebih berat, kapasitas pernafasan maksimum menurun dan kedalaman nafas turun. Kemampuan
batuk menurun (menurunnya aktifitas silia), O2 arteri menurun menjadi 75 mmHg, CO2 arteri tidak
berganti.
Sistem Gastrointestinal : Banyak gigi yang tanggal, sensitifitas indra pengecap menurun,
pelebaran esophagus, rasa lapar menurun, asam lambung menurun, waktu pengosongan menurun,
peristaltik lemah, dan sering timbul konstipasi, fungsi absorbsi menurun.
Sistem Genitourinaria : Otot-otot pada vesika urinaria melemah dan kapasitasnya menurun
sampai 200 mg, frekuensi BAK meningkat, pada wanita sering terjadi atrofi vulva, selaput lendir
mongering, elastisitas jaringan menurun dan disertai penurunan frekuensi seksual intercrouse
berefek pada seks sekunder.

Sistem Endokrin : Produksi hampir semua hormon menurun (ACTH, TSH, FSH, LH),
penurunan sekresi hormone kelamin misalnya: estrogen, progesterone, dan testoteron.

Sistem Kulit : Kulit menjadi keriput dan mengkerut karena kehilangan proses keratinisasi dan
kehilangan jaringan lemak, berkurangnya elastisitas akibat penurunan cairan dan vaskularisasi,
kuku jari menjadi keras dan rapuh, kelenjar keringat berkurang jumlah dan fungsinya, perubahan
pada bentuk sel epidermis.
Sistem Muskuloskeletal : Tulang kehilangan cairan dan rapuh, kifosis, penipisan dan
pemendekan tulang, persendian membesar dan kaku, tendon mengkerut dan mengalami sclerosis,
atropi serabut otot sehingga gerakan menjadi lamban, otot mudah kram dan tremor.

2. Perubahan Mental

Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan mental adalah:

Perubahan fisik.

1. Kesehatan umum.

2. Tingkat pendidikan.

3. Hereditas.

4. Lingkungan.

5. Perubahan kepribadian yang drastis namun jarang terjadi misalnya kekakuan sikap.

6. Kenangan, kenangan jangka pendek yang terjadi 0-10 menit.

7. Kenangan lama tidak berubah.

8. Tidak berubah dengan informasi matematika dan perkataan verbal, berkurangnya


penampilan, persepsi, dan ketrampilan, psikomotor terjadi perubahan pada daya
membayangkan karena tekanan dari factor waktu.

Perubahan Psikososial
1. Perubahan lain adalah adanya perubahan psikososial yang menyebabkan rasa tidak
aman, takut, merasa penyakit selalu mengancam sering bingung panic dan depresif.
2. Hal ini disebabkan antara lain karena ketergantungan fisik dan sosioekonomi.
3. Pensiunan, kehilangan financial, pendapatan berkurang, kehilangan status, teman atau
relasi
4. Sadar akan datangnya kematian.
5. Perubahan dalam cara hidup, kemampuan gerak sempit.
6. Ekonomi akibat perhentian jabatan, biaya hidup tinggi.
7. Penyakit kronis.
8. Kesepian, pengasingan dari lingkungan social.
9. Gangguan syaraf panca indra.
10. Gizi
11. Kehilangan teman dan keluarga.
12. Berkurangnya kekuatan fisik.

Menurut Hernawati Ina MPH (2006) perubahan pada lansia ada 3 yaitu perubahan biologis, psikologis,
sosiologis.
(1). Perubahan biologis meliputi :

Massa otot yang berkurang dan massa lemak yang bertambah mengakibatkan jumlah cairan tubuh juga
berkurang, sehingga kulit kelihatan mengerut dan kering, wajah keriput serta muncul garis-garis yang
menetap.

Penurunan indra penglihatan akibat katarak pada usia lanjut sehingga dihubungkan dengan kekurangan
vitamin A vitamin C dan asam folat, sedangkan gangguan pada indera pengecap yang dihubungkan
dengan kekurangan kadar Zn dapat menurunkan nafsu makan, penurunan indera pendengaran terjadi
karena adanya kemunduran fungsi sel syaraf pendengaran.

Dengan banyaknya gigi geligih yang sudah tanggal mengakibatkan ganguan fungsi mengunyah yang
berdampak pada kurangnya asupan gizi pada usia lanjut.

Penurunan mobilitas usus menyebabkan gangguan pada saluran pencernaan seperti perut kembung nyeri
yang menurunkan nafsu makan usia lanjut. Penurunan mobilitas usus dapat juga menyebabkan susah
buang air besar yang dapat menyebabkan wasir .

Kemampuan motorik yang menurun selain menyebabkan usia lanjut menjadi lanbat kurang aktif dan
kesulitan untuk menyuap makanan dapat mengganggu aktivitas/ kegiatan sehari-hari.

Pada usia lanjut terjadi penurunan fungsi sel otak yang menyebabkan penurunan daya ingat jangka
pendek melambatkan proses informasi, kesulitan berbahasa kesultan mengenal benda-benda
kegagalan melakukan aktivitas bertujuan apraksia dan ganguan dalam menyusun rencana mengatur
sesuatu mengurutkan daya abstraksi yang mengakibatkan kesulitan dalam melakukan aktivitas
sehari-hari yang disebut dimensia atau pikun.

Akibat penurunan kapasitas ginjal untuk mengeluarkan air dalam jumlah besar juga berkurang.
Akibatnya dapat terjadi pengenceran nutrisi sampai dapat terjadi hiponatremia yang menimbulkan
rasa lelah.

Incotenensia urine diluar kesadaran merupakan salah satu masalah kesehatan yang besar yang sering
diabaikan pada kelompok usia lanjut yang mengalami IU sering kali mengurangi minum yang
mengakibatkan dehidrasi.

(2). Kemunduran psikologis

Pada usia lanjut juga terjadi yaitu ketidak mampuan untuk mengadakan penyesuaianpenyesuaian
terhadap situasi yang dihadapinya antara lain sindroma lepas jabatan sedih yang berkepanjangan.

(3). Kemunduran sosiologi

Pada usia lanjut sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan pemahaman usia lanjut itu atas dirinya
sendiri. Status social seseorang sangat penting bagi kepribadiannya di dalam pekerjaan. Perubahan
status social usia lanjut akan membawa akibat bagi yang bersangkutan dan perlu dihadapi dengan
persiapan yang baik dalam menghadapi perubahan tersebut aspek social ini sebaiknya diketahui oleh
usia lanjut sedini mungkin sehingga dapat mempersiapkan diri sebaik mungkin.

Perawatan Lansia

Perawatan pada lansia dapat dilakukan dengan melakukan pendekatan yaitu:


1) Pendekatan Psikis.
Perawat punya peran penting untuk mengadakan edukatif yang berperan sebagai support
system, interpreter dan sebagai sahabat akrab.
2) Pendekatan Sosial.
Perawat mengadakan diskusi dan tukar pikiran, serta bercerita, memberi kesempatan untuk
berkumpul bersama dengan klien lansia, rekreasi, menonton televise, perawat harus
mengadakan kontak sesama mereka, menanamkan rasa persaudaraan.
3) Pendekatan Spiritual.
Perawat harus bisa memberikan kepuasan batin dalam hubungannya dengan Tuhan dan
Agama yang dianut lansia, terutama bila lansia dalam keadaan sakit.

Faktor-faktor proses penuaan.

Faktor genetik, faktor endogenik dan faktor eksogenik (faktor lingkungan dan gaya hidup) yang akan
mempengaruhi kesepatan proses penuaan.

1. Faktor genetik:
Penuaan diri.
Resiko penyakit.
Intelegensia.
Pharmakogenetik.
Warna kulit.
Tipe atau kepribadian seseorang.
2. Faktor endogenik:
Perubahan struktural dan penurunan fungsional.
Kemampuan/skill.
Daya adaptasi.
Kapasitas kulit untuk mensintesis vitamin D.

3. Faktor lingkungan:
Diet/asupan zat gizi.
Merokok.
Tingkat polusi.
Pendidikan.
Obat.
Penyinaran sinar ultraviolet.

BAB II
LAPORAN PENDAHULUAN
FRAKTUR FEMUR
A. Pengertian
Fraktur femur adalah rusaknya kontinuitas tulang pangkal paha yang dapat disebabkan oleh
trauma langsung (kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian), kelelahan otot, kondisi-kondisi
tertentu seperti degenerasi tulang/osteoporosis. Ada 2 tipe dari fraktur femur, yaitu
1. Fraktur Intrakapsuler; femur yang terjadi di dalam tulang sendi, panggul dan kapsula.
a. Melalui kepala femur (capital fraktur)
b. Hanya di bawah kepala femur
c. Melalui leher dari femur
2. Fraktur Ekstrakapsuler;
a. Terjadi di luar sendi dan kapsul, melalui trokhanter femur yang lebih besar/yang
lebih kecil /pada daerah intertrokhanter.
b. Terjadi di bagian distal menuju leher femur tetapi tidak lebih dari 2 inci di bawah
trokhanter kecil.

B. Etiologi
Menurut Sachdeva (1996), penyebab fraktur dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:
1. Cedera traumatic
a) cedera langsung, berarti pukulan langsung pada tulang sehingga tulang patah secara
spontan
b) cedera tidak langsung, berarti pukulan langsung berada jauh dari benturan, misalnya
jatuh dengan tangan menjulur dan menyebabkan fraktur klavikula.
c) Fraktur yang disebabkan kontraksi keras dari otot yang kuat.
2. Fraktur patologik
Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit, diman dengan trauma minor dapat
mengakibatkan fraktur, dapat juga terjadi pada keadaan :
a) Tumor tulang (jinak atau ganas)
b) Infeksi seperti osteomielitis
c) Rakhitis, suatu penyakti tulang yang disebabkan oleh devisiensi vitamin D yang
mempengaruhi semua jaringan skelet lain.
3. Secara spontan, disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus misalnya pada penyakit
polio dan orang yang bertugas di kemiliteran.

C. Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekeuatan dan gaya pegas untuk menahan tekanan
(Apley, A. Graham, 1993). Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap
tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas
tulang (Carpnito, Lynda Juall, 1995). Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf
dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena
kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan
ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi
yang ditandai denagn vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. ini merupakan
dasar penyembuhan tulang (Black, J.M, et al, 1993).
D. Manifestasi Klinik (Mansjoer,dkk, 2000)
Daerah paha yang patah tulangnya sangat membengkak, ditemukan tanda functio laesa, nyeri
tekan dan nyeri gerak. Tampak adanya deformitas angulasi ke lateral atau angulasi ke anterior.
Ditemukan adanya perpendekan tungkai bawah. Pada fraktur 1/3 tengah femur, saat pemeriksaan
harus diperhatikan pula kemungkinan adanya dislokasi sendi panggul dan robeknya ligamentum
didaerah lutut. Selain itu periksa juga nervus siatika dan arteri dorsalis pedis
E. Komplikasi (Mansjoer,dkk, 2000)
Komplikasi dini dari fraktur femur ini dapat terjadi syok dan emboli lemak. Sedangkan
komplikasi lambat yang dapat terjadi delayed union, non-union, malunion, kekakuan sendi lutut,
infeksi dan gangguan saraf perifer akibat traksi yang berlebihan.
F. Penatalaksanaan
Reduksi fraktur, berarti mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan rotasi
anatomis
1. Reduksi tertutup dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang ke posisinya dengan
manipulasi dan traksi manual.
2. Traksi digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan imobilisasi. Beratnya traksi
disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi.
3. Reduksi terbuka, dengan pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi
interna dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat, paku atau batangan logam yang dapat
digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang dalam posisinya sampai penyembuhan
tulang yang solid terjadi.
imobilisasi fraktur, mempertahnkan reduksi sampai terjadi penyembuhan. Setelah fraktur
direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi atau dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran
yang benar sampai trejadi penyatuan. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips,
bidai, traksi kontinu, pin, dan teknik gips atau fiksator eksterna. Sedangkan fiksasi interna
dapat digunakan implant logam yang dapat berperan sebagai bidai interna untuk
mengimobilisasi fraktur.
Rehabilitasi, mempertahankan dan mengembalikan fungsi setelah dilakukan reduksi dan
imobilisasi.
G. Pemeriksaan penunjang
1. X.Ray
2. Bone scans, Tomogram, atau MRI Scans
3. Arteriogram : dilakukan bila ada kerusakan vaskuler.
4. CCT kalau banyak kerusakan otot.
BAB III
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian Keperawatan
1. Data Biografi
Identitas pasien seperti umur, jenis kelamin, alamat, agama, penaggung jawab, status perkawinan.
2. Riwayat Kesehatan
a. Riwayat medis dan kejadian yang lalu
b. Riwayat kejadian cedera kepala, seperti kapan terjadi dan penyebab terjadinya
c. Penggunaan alkohol dan obat-obat terlarang lainnya.
3. Pemeriksaan fisik
a. Aktivitas/istirahat
Tanda: Keterbatasab/kehilangan fungsi pada bagian yang terkena (mungkin segera, fraktur itu
sendiri, atau terjadi secara sekunder, dari pembengkakan jaringan, nyeri).
b. Sikulasi
Tanda: Hipertensi (kadang-kadang terlihat sebagai respon terhadap nyeri/ansietas) atau hipotensi
(kehilangan darah).
Takikardia (respon stres, hipovolemia).
Penurunan/tak ada nadi pada bagian distal yang cedera, pengisian kapiler lambat, pucat
pada bagian yang terkena.
Pembengkakan jaringan atau massa hematoma pada sisi cedera.
c. Neurosensori
Gejala: hilang gerakan/sensasi, spasme otot, kebas/kesemutan (parestesis).
Tanda: deformitas lokal, angulasi abnormal, pemendekan, rotasi, krepitasi (bunyi berderit), spasme
otot, terlihat kelemahan/hilang fungsi.
Agitasi (mungkin berhubungan dengan nyeri/ansietas atau trauma
lain).
d. Nyeri/kenyamanan
Gejala : nyeri berat tiba-tiba pada saat cedera (mungkin terlokalisasi pada
area jaringan/kerusakan tulang, dapat berkurang pada imobilisasi), tidak ada nyeri akibat
kerusakan saraf.
Spasme/kram otot (setelah imobilisasi)
e. Keamanan
Tanda: laserasi kulit, avulsi jaringan, perdarahan, perubahan warna.
Pembengkakan lokal (dapat meningkat secara bertahap atau tiba-tiba).
4. Pemeriksaan diagnostik
a. Pemeriksaan Ronsen : menentukan lokasi/luasnya fraktur femur/trauma.
b. Scan tulang, tomogram, scan CT/MRI: memperlihatkan fraktur, juga dapat digunakan untuk
mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
c. Arteriogram : dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.
d. Hitung darah lengkap: Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun (perdarahan
bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multipel). Peningkatan jumlah SDP
adalah respon stres normal setelah trauma.
e. Kreatinin : trauma otot mungkin meningkatkan beban kreatininuntuk klirens ginjal.
f. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfusi multipel, atau cedera
hati.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan terputusnya jaringan tulang, gerakan fragmen tulang, edema dan cedera
pada jaringan, alat traksi/immobilisasi, stress, ansietas.
2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tekanan, perubahan status metabolik, kerusakan
sirkulasi dan penurunan sensasi dibuktikan oleh terdapat luka / ulserasi, kelemahan, penurunan berat
badan, turgor kulit buruk, terdapat jaringan nekrotik.
3. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri/ketidak nyamanan, kerusakan muskuloskletal,
terapi pembatasan aktivitas, dan penurunan kekuatan/tahanan.
4. Risiko infeksi berhubungan dengan stasis cairan tubuh, respons inflamasi tertekan, prosedur invasif
dan jalur penusukkan, luka/kerusakan kulit, insisi pembedahan.
5. Kurang pengetahuan tantang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan
keterbatasan kognitif, kurang terpajan/mengingat, salah interpretasi informasi.
6. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan dispnea, kelemahan/keletihan
C. Intervensi Keperawatan
Intervensi dan implementasi keperawatan yang muncul pada pasien dengan post op frakture meliputi :
1. Nyeri berhubungan dengan terputusnya jaringan tulang, gerakan fragmen tulang, edema dan cedera
pada jaringan, alat traksi/immobilisasi, stress, ansietas.
Tujuan : nyeri dapat berkurang atau hilang.
Kriteria Hasil : Nyeri berkurang atau hilang, Klien tampak tenang.
Intervensi dan Implementasi:
a. Lakukan pendekatan pada klien dan keluarga
R/ hubungan yang baik membuat klien dan keluarga kooperatif
b. Kaji tingkat intensitas dan frekwensi nyeri
R/ tingkat intensitas nyeri dan frekwensi menunjukkan skala nyeri
c. Jelaskan pada klien penyebab dari nyeri
R/ memberikan penjelasan akan menambah pengetahuan klien tentang nyeri.
d. Observasi tanda-tanda vital.
R/ untuk mengetahui perkembangan klien
e. Melakukan kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian analgesik
R/ merupakan tindakan dependent perawat, dimana analgesik berfungsi untuk memblok
stimulasi nyeri.
2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tekanan, perubahan status metabolik, kerusakan
sirkulasi dan penurunan sensasi dibuktikan oleh terdapat luka / ulserasi, kelemahan, penurunan berat
badan, turgor kulit buruk, terdapat jaringan nekrotik.
Tujuan : Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai.
Kriteria Hasil : tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus., luka bersih tidak lembab dan tidak kotor,
Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.
Intervensi dan Implementasi
a. Kaji kulit dan identifikasi pada tahap perkembangan luka.
R/ mengetahui sejauh mana perkembangan luka mempermudah dalam melakukan tindakan yang
tepat.
b. Kaji lokasi, ukuran, warna, bau, serta jumlah dan tipe cairan luka
R/ mengidentifikasi tingkat keparahan luka akan mempermudah intervensi.
c. Pantau peningkatan suhu tubuh.
R/ suhu tubuh yang meningkat dapat diidentifikasikan sebagai adanya proses peradangan.
d. Berikan perawatan luka dengan tehnik aseptik. Balut luka dengan kasa kering dan steril,
gunakan plester kertas.
R/ tehnik aseptik membantu mempercepat penyembuhan luka dan mencegah terjadinya infeksi.
e. Jika pemulihan tidak terjadi kolaborasi tindakan lanjutan, misalnya debridement.
R/ agar benda asing atau jaringan yang terinfeksi tidak menyebar luas pada area kulit normal
lainnya.
f. Setelah debridement, ganti balutan sesuai kebutuhan.
R/ balutan dapat diganti satu atau dua kali sehari tergantung kondisi parah/ tidak nya luka, agar
tidak terjadi infeksi.
g. Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi.
R / antibiotik berguna untuk mematikan mikroorganisme pathogen pada daerah yang berisiko
terjadi infeksi.
3. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri/ketidak nyamanan, kerusakan
muskuloskletal, terapi pembatasan aktivitas, dan penurunan kekuatan/tahanan.
Tujuan : Pasien akan menunjukkan tingkat mobilitas optimal.
Kriteria hasil : penampilan yang seimbang, melakukan pergerakkan dan perpindahan.,
mempertahankan mobilitas optimal yang dapat di toleransi, dengan karakteristik :
0 : mandiri penuh
1 : memerlukan alat bantu
2 : memerlukan bantuan dari orang lain untuk bantuan, pengawasan, dan pengajaran
3 : membutuhkan bantuan dari orang lain dan alat bantu
4 : ketergantungan; tidak berpartisipasi dalam aktivitas.
Intervensi dan Implementasi :

a. Kaji kebutuhan akan pelayanan kesehatan dan kebutuhan akan peralatan.


R/ mengidentifikasi masalah, memudahkan intervensi.
b. Tentukan tingkat motivasi pasien dalam melakukan aktivitas.
R/ mempengaruhi penilaian terhadap kemampuan aktivitas apakah karena ketidakmampuan
ataukah ketidakmauan.
c. Ajarkan dan pantau pasien dalam hal penggunaan alat bantu.
R/ menilai batasan kemampuan aktivitas optimal.
d. Ajarkan dan dukung pasien dalam latihan ROM aktif dan pasif.
R/ mempertahankan /meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot.
e. Kolaborasi dengan ahli terapi fisik atau okupasi.
R/ sebagai suaatu sumber untuk mengembangkan perencanaan dan
mempertahankan/meningkatkan mobilitas pasien.
4. Risiko infeksi berhubungan dengan stasis cairan tubuh, respons inflamasi tertekan, prosedur
invasif dan jalur penusukkan, luka/kerusakan kulit, insisi pembedahan.
Tujuan : infeksi tidak terjadi / terkontrol.
Kriteria hasil : Tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus. Luka bersih tidak lembab dan tidak kotor.
Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.
Intervensi dan Implementasi :
a. Pantau tanda-tanda vital.
R/ mengidentifikasi tanda-tanda peradangan terutama bila suhu tubuh meningkat.
b. Lakukan perawatan luka dengan teknik aseptik
R/ mengendalikan penyebaran mikroorganisme patogen.
c. Lakukan perawatan terhadap prosedur inpasif seperti infus, kateter, drainase luka, dll.
R/ untuk mengurangi risiko infeksi nosokomial.

d. Jika ditemukan tanda infeksi kolaborasi untuk pemeriksaan darah, seperti Hb dan leukosit.
R/ penurunan Hb dan peningkatan jumlah leukosit dari normal bisa terjadi akibat terjadinya
proses infeksi.
e. Kolaborasi untuk pemberian antibiotik.
f. R/ antibiotik mencegah perkembangan mikroorganisme patogen.
5. Kurang pengetahuan tantang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan
keterbatasan kognitif, kurang terpajan/mengingat, salah interpretasi informasi.
Tujuan : pasien mengutarakan pemahaman tentang kondisi, efek prosedur dan proses pengobatan.
Kriteria Hasil :
Melakukan prosedur yang diperlukan dan menjelaskan alasan dari suatu tindakan.
memulai perubahan gaya hidup yang diperlukan dan ikut serta dalam regimen perawatan.
Intervensi dan Implementasi:
a. Kaji tingkat pengetahuan klien dan keluarga tentang penyakitnya.
R/ mengetahui seberapa jauh pengalaman dan pengetahuan klien dan keluarga tentang
penyakitnya.
b. Berikan penjelasan pada klien tentang penyakitnya dan kondisinya sekarang.
R/ dengan mengetahui penyakit dan kondisinya sekarang, klien dan keluarganya akan merasa
tenang dan mengurangi rasa cemas.
c. Anjurkan klien dan keluarga untuk memperhatikan diet makanan nya.
R/ diet dan pola makan yang tepat membantu proses penyembuhan.
d. Minta klien dan keluarga mengulangi kembali tentang materi yang telah diberikan.
e. R/ mengetahui seberapa jauh pemahaman klien dan keluarga serta menilai keberhasilan dari
tindakan yang dilakukan.

6. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan dispnea, kelemahan/keletihan


Tujuan :psien memiliki cukup energy untuk beraktivitas
Kriteria hasil diri :
- prilaku menampakan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan.
- Pasien mengungkapkan mampu untuk melakukan beberapa aktivitas tanpa
bantuan.
- Koordinasi otot, tulang dan anggota gerak lainnya baik.
Intervensi :
a) Rencanakan periode istirahat yang cukup.
R : mengurangi aktivitas yang tidak diperlukan, dan energi terkumpul dapat digunakan untuk
aktifitas seperlunya secara optimal.
b) Berikan latihan aktivitas bertahap
R: Tahapan-tahapan yang diberikan membantu proses aktivitas secara perlahan dengan
menghemat tenaga.
c) Bantu pasien dalam memenuhi kebutuhannya.
R : mengurangi pemakaian energy sampai kekuatan pasien pulih kembali.
d) Setelah latihan dan aktivitas kaji respon pasien.
R : menjaga kemungkinan adanya respon abnormal dari tubuh sebagian akibat dari latihan.

Anda mungkin juga menyukai