Anda di halaman 1dari 11

Identitas Kewargaan Transnasional: Kosmopolitanisme

Dibuat oleh:
Annisa Hardhiyanti (1306383653)
Esther Yobelitha (1306383994)

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik


Universitas Indonesia
Depok, 2016
PENDAHULUAN
Istilah kosmopolitanisme berasal dari kata Yunani kosmos dan polis yang berarti
world dan city. Kosmopolitan berarti citizen of the worldwarga dunia. Ide akan
kosmopolitanisme bukanlah hal yang baru, bahkan ide ini telah berkembang cukup pesat
pada masa Enlightenment. Perdebatan akan kosmopilitanisme masih relevan di era global
sekarang. Kosmopolitanisme dianggap kian memudarkan konsep nation-state.
Kosmopolitanisme dianggap mampu memberikan identitas baru bagi seorang individu, tidak
hanya identitas lokal dan nasional melainkan identitas regional bahkan global. Tulisan ini
akan mencoba membahas relevansi kosmopolitanisme dan keterkaitan dengan identitas
seorang individu.

PEMBAHASAN
What is Cosmopolitan about the Cosmopolitan Views
Apa yang membuat kosmopolitan terlihat kosmopolitan? Apa yang dimaksud
dengan kosmopolitanisme? Beck (2006) menuliskan terdapat kontroversi terbesar dan
paling produktif dari masa pencerahan Eropa yang terhubung dengan kosmopolitan, tetapi
telah dilupakan. Salah satunya adalah Heinrich Laube di pertengahan abad kesembilanbelas,
menyatakan Patriotisme adalah satu-sisi dan kecil, tetapi praktis, berguna, bergembira, dan
menghibur; Kosmopolitanisme merupakan hal yang indah, besar, tetapi untuk manusia
hampir terlalu besar; idenya indah, tapi memberikan penderitaan (Laube, 1973:88). Heinrich
Heine, sebaliknya, mengganggap dirinya sebagai perwujudan kosmopolitanisme. Ia
mengkritik patriotisme Jerman, dalam pandangannya, membatasi hati, yang mengkerut
seperti kulit dalam kedinginan, dan kebencian terhadap segala sesuatu yang asingkeinginan
tidak lagi menjadi warga dunia atau Eropa tetapi hanya seorang Jerman. Fakta penting
sekarang adalah bahwa kondisi manusia telah menjadi kosmopolitan dengan sendirinya.
Beck (2006) melihat pula bahwa kosmopolitanisme dipandang sebagai keterkaitan
dengan nilai hidup toleransi sesama manusia. Penanaman nilai luhur tradisional dari suatu
negara tidak akan terkikis oleh berkembangnya pola globalisasi yang membawa
kosmopolitanisasi. Hal tersebut menjadi titik balik dari pemikiran kepentingan bersama
dalam tahap globalisasi dan pemikiran orang lain dari yang lain atau others of other yang
berarti borderless state showed up a new perception about civil identity is a fluid and
changed every time. Negara-negara yang terdapat pada tatanan dunia baru tergabung dalam
kutub dunia dan tidak mendapatkan batasan dari nation-state.
Beck (2006) menjelaskan pula mengenai identitas kosmopolitan dan perbedaan
inklusif. Dalam penelitian sosiologis saat ini banyak pembicaraan terkait identitas baru,
termasuk penegasan identitas nasional, etnis dan lokal seluruh dunia. Beck (2006)
menuliskan pengalamannya ketika dalam penerbangan ke Helsinki. Beck bertemu dengan
pengusaha dari Denmark. Beck mencoba bertanya apakah pengusaha tersebut merasa lebih
Danish (orang Denmark) atau lebih Eropa, pengusaha itu menjawab tidak keduanya. Ia
melihat dirinya sebagai warga negara kosmopolitanwarga dunia. Rumahnya adalah semua
negara di dunia, ia fasih berbahasa Inggris. Mitra bisnisnya pun melihat dari sudut pandan
yang sama. Ia tahu siapa yang harus ia percaya dan siapa yang tidak bisa dipercaya dalam
bisnis maupun hal lain.
Berangkat dari kisah tersebut, Beck (2006) menyadari adanya sebuah cosmopolitan
emphatyemosi globalisasi. Terdapat lima prinsip konstitutif yang berhubungan dengan
pandangan kosmopolitan, yaitu 1) prinsip pengalaman krisis di masyarakat dunia, adanya
kesadaran saling ketergantungan disebabkan oleh risiko dan krisis global, mengatasi batas-
batas antara internal dan eksternal, kami dan mereka, nasional dan internasional; 2) prinsip

1
pengakuan perbedaan kosmopolitan dan karakter konflik kosmopolitan serta rasa ingin tahu
tentang perbedaan budaya dan identitas; 3) prinsip empati kosmopolitan dan perspektif
taking dan pertukaran situasi yang virtualbaik sebagai kesempatan maupun ancaman; 4)
prinsip ketidakmungkinan hidup dalam masyarakat dunia tanpa batas dan paksaan; 5) prinsip
mlange, berupa prinsip lokal, nasional, etnis, agama dan budaya seta tradisi kosmopolitan
saling merasuk, terkoneksi dan bercampur.
Berbeda dengan literatur umumnya, Beck (2006) memberikan perbedaan terkait
diskursus globalisasi dan kosmopolitanisme. Istilah politik globalisasi dipahami sebagai
satu dimensi globalisasi ekonomi dan erat hubungannya dengan globalisme. Globalisme
mempromosikan ide pertumbuhan ekonomi neoliberal yang memungkinkan adanya modal,
komoditas dan tenaga kerja untuk bergerak bebas melintasi perbatasan. Sementara itu,
kosmopolitanisasi ditafsirkan sebagai proses multidimensi yang tidak dapat diubah.
Kosmopolitanisasi merupakan pengembangan loyalitas peningkatan dalam bentuk
transnasional, munculnya aktor-aktor politik non-state (Amnesty International hingga World
Trade Organization), gerakan melawan neoliberal globalisme dan dukungan dari jenis
kosmopolitan globalisasi. Kampanye pengakuan hak asasi manusia di seluruh dunia, hak
untuk bekerja, untuk perlindungan lingkungan secara global, pengurangan kemiskinan, dan
lain sebagainya naik ke permukaan.
Relasi antara kosmopolitanisme dan globalisasi terdiri dari dua poin penting. Pertama,
relasi kosmopolitanisme dan globalisasi sebagai lingkungan atau situasi yang mencakupi
eksistensi kosmopolitanisme atas etos atau dasar berperilaku dalam cakupan globalisasi.
Buktinya, globalisasi bersifat janus face melahirkan ketidaksetaraan berdasarkan diskusi
antara pendukung globalis dan penolak globalis, sedangkan kosmopolitanisme berada sebagai
pemikiran penentang atas kandungan globalisasi janus face terkait dan menggarisbawahi
kesetaraan dalam kompetisi antarpihak yang terkait. Kedua, kosmopolitanisme dan
globalisasi dapat direlasikan melalui fungsi kosmopolitanisme yang dijadikan sebagai nilai
untuk mengundang terdapatnya penyeimbangan kembali atas globalisasi sosial, politik, dan
badan hukum secara emansipatif. Secara garis besar, kosmopolitanisme bertujuan untuk
mengobservasi globalisasi sebagai fenomena kemudian meregulasi globalisasi atas
ketidaksetaraan di dalamnya.
Beck (2006) mengemukakan pula bentuk kosmopolitan dalam kerangka Munich.
Terdapat tiga penulis dari Munich menulis tradisi berbeda dari akar kosmopolitanisme.
Thomas Mann, kosmopolitanisme nasional, menolak refleksi non-politik nasionalisme
alternatif terhadap internasionalisme dan merumuskan posisi kosmopolitanisme nasional
meskipun ia menyadari adanya ambivalensi. Mann juga memercayai prinsip mlange. Lion

2
Feuchtwanger, kosmopolitanisme Yahudi-Jerman, melihat bahwa kesuksesan kosmopolitan
terlihat melalui karakter yang terepresentsi dan munculnya kritik terhadap nasionalisme.
Selain itu, diperlukan adaptasi untuk menyesuaikan keadaan dengan lingkungan dan
masyarakat baru. Terakhir, Oskar Maria Graf, kosmopolitanisme Katolik, menggambarkan
dirinya sebagai sosialis religious. Katolik adalah demokratis dan kosmopolitan, terdapat
perpecahan fundamental yang akhirnya menghimbau dunia yang berada pada level
provinsial.
Melalui pemaparan tersebut, Beck (2006) melihat bahwa dari Munich saja terdapat
pemahaman berbeda terkait kosmopolitanisme. Perlu diingat pula, konsepsi
kosmopolitanisme juga dalam proses pencampuran dengan tradisi etnis, agama, dan nasional.
Pada akhirnya, Beck (2006) menyatakan bahwa pandangan kosmopolitan memiliki
pengertian di dalam krisis dan bahaya global dari peradaban, perbedaan antara internal dan
eksternal, nasional dan internasional, kami dan mereka, telah kehilangan validasi dan
kosmopolitan menjadi esensial untuk bertahan hidup.

Cosmopolitanism: Taming Globalization


Sama seperti Beck, dalam tulisannya, Held (2003) memberikan pemahaman mengenai
pemahaman kosmopolitanisme, terutama di era global. Kosmopolitanisme merupakan ide
yang masih berkembang dan dilatarbelakangi sejarah filosofis yang cukup kompleks. Held
melihat kosmopolitanisme sebagai pandangan moral dan politik yang memberikan prospek
penyelesaian permasalahan dan batasan dari kedaulatan klasik dan liberal. Kosmopolitanisme
memberikan prinsip umum yang dapat dibagi secara universal dan memberikan dasar
perlindungan dan pemeliharaan kepentingan yang sama dari setiap indvidu dalam institusi
yang mengatur kehidupan individu yang bersangkutan.
Kepentingan kosmopolitanisme di era global ini kemudian dipaparkan Held (2003) ke
dalam tujuh prinsip, yaitu pertama equal worth and dignity. Prinsip ini menyadari individu
yang memiliki status moral yang setara di seluruh dunia. Individu harus mendapatkan
konsiderasi yang setara terkait kepentingan individu. Individu memiliki otonomi atas dirinya
sendiri, menentukan pilihan mandiri. Prinsip kedua, active agency, berbicara mengenai
pengakuan akan kapasitas individu untuk menilai, memilih dan bertindak berdasarkan
berbagai kemungkinan tindakan dalam kehidupan privat maupun publik. Berkaitan dengan
hal itu, agensi yang aktif memberikan individu kesempatan bertindak atau tidak bertindak dan
kewajiban memasikan tindakan mandiri tidak membatasi atau melanggar tindakan orang lain.
Prinsip ketiga adalah personal responsibility and accountability. Prinsip ini
melengkapi prinsip pertama dan kedua dengan memberikan pengakuan dan penerimaan akan
perbedaan dari berbagai pilihan. Perlu dipahami juga bahwa terdapat kemungkinan individu

3
atau proses sosial membentuk dan menentukan otonomi dari individu lain tanpa partisipasi,
kesepakatan, atau persetujuan. Maka, terdapat kewajiban untuk memastikan akuntabilitas dari
pilihan individu demi menjamin akomodasi kebebasan dari setiap individu.
Prinsip keempat adalah consent, yaitu diperlukan proses tidak koersif bagi individu
untuk mengejar dan menegosiasikan keterhubungan, ketergantungan serta perbedaan di
antara satu dengan yang lain. Berdasarkan hal tersebut terhadap sebuah kesepakatan kolektif
dan tata pemerintahan dan individu harus mampu berpartisipasi bebas dan setara di dalamnya
berdasarkan persetujuan. Prinsip ini diinterpretasikan bersama dengan prinsip kelima,
reflexive deliberation and collective decision-making through voting procedures, yaitu
pembuatan keputusan secara kolektif demi menjamin keterlibatan kelompok minoritas dalam
memberikan pandangan terhadap isu-isu yang ada. Prosedur dan mekanisme dari pembuatan
keputusan berupa kesepakatan bersama untuk semua.
Prinsip keempat dan kelima kemudian dilengkapi dengan prinsip inclusiveness and
subsidiarity, yaitu memperjelas kriteria fundamental dalam batasan keterlibatan individu
dalam domain tertentu. Desentralisasi dan sentralisasi diperlukan secara bersamaan. Namun,
lebih dari pada itu prinsip keenam memastikan bahwa pembuatan keputusan harus mampu
memaksimalisasi kesempatan individu untuk mempengaruhi kondisi sosial yang membentuk
kehidupan individu yang bersangkutan.
Semua prinsip di atas membawa kepada prinsip terakhir, yaitu avoidance of serious
harm and the amelioration of urgent need. Dalam prinsip ini terdapat prioritas yang
dialokasikan pada hal-hal vital dan sangat dibutuhkan. Ketika kebutuhan individu
komunitas maupun negaratidak terpenuhi secara universal akan timbul kerugian. Maka,
kebijakan dan hukum yang dibentuk sebaiknya fokus kepada usaha pencegahan terjadinya
kerugian serius dan menghapuskan kerugian itu sendiri dari individu, terutama yang
bertentangan dengan kehendak individu dan terjadi tanpa persetujuan individu.
Setelah memberikan penjabaran mengenai prinsip dari kosmopolitanisme, Held
(2003) menyatakan pula mengenai pentingnya institusionalisasi dalam kosmpolitanisme,
termasuk di dalamnya hukum dan otoritas. Hukum kosmopolitanisme membutuhkan
subordinasi antara kedaulatan regional, nasional dan lokal kepada kerangka hukum yang
mampu berasosiasi dalam level berbeda. Kerangka kosmpolitan ini, menurut Held (2003),
merupakan keterikatan negara dalam jejaring kompleks yang membentuk interaksi antara
agen politik yang mandiri sekaligus terhubung satu dengan yang lain. Maka, negara bukan
lagi satu-satunya aktor yang memiliki legitimasi. Terdapat jejaring regional dan global yang
mampu memengaruhi kehidupan individu. Meskipun akhirnya bergerak secara tumpang

4
tindih, kosmopolitan merefleksikan dan merangkul perbedaan yang ada di dalam dan di
antara perbatasan.
Held (2003) melihat kebutuhan untuk membentuk kosmopolitanisme dalam
pengaturan legal dan politik secara internasional. Berdasarkan hal tersebut, Held (2003)
memberikan empat dimensi persyaratan institusi kosmopolitanisme, yaitu:

1. Legal Cosmopolitanism
Persyaratan institusi dari kosmopolitan legal adalah adanya hukum demokratis
yang memberikan hak dan kewajiban politik, sosial dan ekonomi, adanya sistem
global legal yang saling terkait, misalnya untuk isu kriminal, perdagangan atau hukum
sipil, terakhir adanya keterlibatan dalam yurisdiksi insititusi pengadilan internasional.
2. Political Cosmopolitanism
Persyaratan institusi dari kosmopolitan politik adalah tata kelola pemerintahan
yang multilayer sekaligus otoritas yang terbagi, jejaring demokrasi dalam tingkatan
lokal hingga global, terdapat regionalisasi politik, sekaligus pembentukan kekuatan
militer internasional yang efektif dan akuntabel sebagai pilihan terakhir secara koersif
dalam memastikan pemberlakuan hukum kosmpolitan.
3. Economic Cosmopolitanism
Persyaratan institusi dari kosmopolitan ekonomi adalah merangkul mekanisme
baru dalam pembentukan pasar dan aktor yang memimpin di dalam perekonomian,
membentuk mekanisme pajak global, sekaligus memastikan terdapatnya transfer
sumber daya untuk melindungi agen yang rapuh secara ekonomi.
4. Cultural Cosmopolitanism
Persyaratan institusi dari kosmpolitan budaya adalah pengakuan akan
keterhubungan antara komunitas politik dalam keberagaman, adanya perkembangan
pemahaman akan permasalahan kolektif yang tumpang tindih dan membutuhkan
solusi kolektif yang multilevel, selain itu terdapat pula perayaan akan perbedaan,
keraganman dan hibriditas sembari mempelajari bagaimana pembentukan alasan dari
pandangan serta tradisi individu lain.

Pada akhirnya, Held (2003) sampai kepada kesimpulan bahwa inti utama dari proyek
kosmopolitan adalah membentuk otoritas politik yang terlegitimasi dengan memutuskan
pemahaman tradisional dan batasan yang tetap serta membentuk dasar hukum kosmopolitan
yang mampu membudaya dan dibentuk dari asosiasi yang beragam. Terdapat kebangkitan
institusi regional dan global yang membentuk tata pemerintahan yang melampaui batasan
antar negara. Kerangka universal atau internasional mulai mengambil tempat penting dalam
dunia dan negara tidak dapat bertindak semena-mena terhadap individuwarga negaradi

5
dalamnya. Selain institusi, Held (2003) juga menyadari perkembangan aktor sekaligus
pergerakan sosial. Terdapat suara-suara baru dari masyarakat sipil secara transnasional.
Berbagai hal ini kemudian yang membentuk bentuk kehidupan baru dan cara baru untuk
membahas mengenai isu regional maupun global. Tata kosmpolitan kemudian terbentuk
melalui berbagai bentuk baru dalam memastikan sistem transnasional.

Global Governance and Cosmopolitan Citizens


Berbeda dengan Beck dan Held, Norris (2003) memberikan pandangan lebih pesimis
terhadap kosmopolitanisme. Ia menyatakan keraguan akan nation-state yang semakin
melemah dan bukti dari kebangkitan identitas kosmopolitan menggantikan nasionalisme.
Keraguan ini didasari pula dengan pendapat dari tokoh lain. Smith menyatakan bahwa dunia
masih jauh dari perkembangan kebudayaan global dan kosmopilitan yang ideal serta mampu
menandingi kebangsaan. Mann berargumen reaksi terhadap globalisasi justru berperan pada
penguatan identitas nasional. Hirst dan Thompson pun berpendapat sama dengan menyatakan
nations-state masih menjadi aktor utama dari dunia global meskipun terdapat pertumbuhan
blok regional.
Dalam menggambarkan skeptisme terhadap kosmopolitanisme, Norris (2003)
memberikan gambaran empiris berupa integrasi Eropa dalam Uni Eropa. Integrasi ekonomi
dan politik di kawasan Eropa ini telah meleburkan batasan tradisional kebudayaan antar
negara anggota, namun terdapat bukti yang sedikit mengenai perkembangan akan
kepemilikan komunitas dan identitas Eropa diantara masyarakat di dalamnya. Maka,
meskipun teori mengenai kebangkitan global governance yang mengarah pada
kosmopolitanisme, Norris (2003) melihat bahwa banyak bukti empiris yang mengarah pada
pandangan skeptisme.
Norris (2003) menyatakan bahwa baik konsep identitas kosmopolitan dan nasional
merupakan pembahasan yang kompleks. Identitas nasional memberikan pemahaman identitas
komunitas berdasarkan ikatan darah dan kepemilikan, timbul dalam bentuk kewarganegaraan
ataupun etnisitas. Identitas nasional dipahami dengan pernyataan bahwa seorang individu
merupakan bagian dari sebuah kelompok karena ia bukanlah kelompok lain. Mereka yang
nasionalis umumnya memilik proteksionisme daripada kebebasan perpindahan barang dan
jasa.
Sementara itu, menurut Norris (2003) kosmopolitan dapat dipahami sebagai individu
yang mengidentifikasi secara luas berdasarkan benua atau dunia secara utuh dan memercayai
institusi global governance. Hal ini berimplikasi pada kebijakan yang menghilangkan
hambatan sekaligus kebijakan yang memberikan pengaturan ketat. Identitas kosmopolitan
melengkapi kesetiaan pada tradisi nasional dan etnis sekaligus membentuk identifikasi lebih

6
luas dengan negara, masyarakat dan wilayah tetangga di dunia. Terdapat perasaan nyaman
tinggal dan bekerja di berbagai negara berbeda ketika individu beridentitas kosmopolitan.
Terdapat tiga level yang mampu menggambarkan opini publik terhadap identifikasi
komunitas global. Menurut Norris (2003), ketiga level tersebut adalah pertama perkembangan
global governance telah mengikis identitas nasional dan menghasilkan banyak kosmopolitan.
Kedua, globalisasi telah mengubah sikap publik terhadap institusi internasional atau tata
kelola pemerintahan multilateral. Terakhir, globalisasi telah mengubah dukungan publik
untuk mekanisme kebijakan yang dibentuk untuk mengikis batasan nasional.
Berdasarkan ketiga level tersebut, Norris (2003) menjabarkan survei yang dilakukan
oleh World Values Surveys. Ironisnya, hanya 15 persen publik yang merasa memiliki
kedekatan dengan benua atau dunia secara utuh dan memilihnya sebagai identitas utama.
Proporsi kosmopolitan kemudian terwujud dalam jumlah yang kecil namun tidak
insignifikan.
Akan tetapi, Norris (2003) menuliskan pandangan bahwa hasil yang muncul lebih
mendukung pandangan skeptis terutama dalam masyarakat tradisional. Pada masyarakat
postindustrial terdapat tendensi memindahkan otoritas nation-state ke level lokal atau
regional. Kosmopolitanisme kemudian dirasa banyak tersebar dalam masyarakat
postindustrial. Selain karakteristik masyarakat, Norris (2003) juga menyatakan perbedaan
pemahaman akan kosmopolitanisme dalam negara maju dan berkembang. Negara
berkembang cenderung masih memiliki karakteristik masyarakat dengan nasionalisme tinggi.
Selain berdasarkan karakteristik tersebut, Norris (2003) juga melihat pertimbangan
berdasarkan perubahan generasi. Generasi dengan usia lebih tua cenderung memiliki ikatan
nasionalisme lebih tinggi. Sementara itu, generasi muda lebih memiliki perasaan identifikasi
global. Maka, skenario optimis terhadap budaya dan masyarakat global dalam kerangka
kosmopolitanisme dipercayai akan terealiasi di masa depan ketika generasi muda
menggantikan kelompok yang lebih tua.
Norris (2003) juga menyatakan bahwa penerimaan terhadap identitas kosmopolitan
dapat dipengaruhi oleh pendidikan dan urbanisasi. Komunitas dengan pendidikan tinggi
memiliki wawasan lebih luas dan lebih memercayai keberadaan identitas kosmopolitan.
Kemudian, urbanisasi memberikan pola kependudukan dimana wilayah pedesaan dipenuhi
mereka yang lebih bersifat lokalis sementara kosmopolitan berada di kota-kota besar.
Meskipun begitu, Norris (2003) yakin bahwa indikator terbesar dari orientasi kebangkitan
kosmopolitanisme adalah pola generasi. Generasi muda cenderung lebih nyaman terhadap
identitas kosmopolitan daripada identitas yang telah mengakar di dalam diri mereka.
Pada akhirnya, Norris (2003) menyimpulkan bahwa ide kosmopolitanisme merupakan
ide yang sukar dipahami dan kompleks. Interpretasi terhadap perdebatan kosmopolitan pun

7
memiliki kecenderungan beragam. Di satu sisi, kosmopolitan merupakan konsep yang
minoritas disebabkan oleh individu yang lebih merasa kedekatan dengan ikatan lokal,
regional dan nasional berdasar darah dan kepemilikan. Di sisi lain, terdapat perbedaan sikap
internasional terkait keberadaan komspolitanisme. Pada akhirnya, generasi muda memang
memiliki sikap lebih tidak nasionalis dan maka dari itu lebih memilih identitas kosmpolitan.

Contoh Kasus
Prancis merupakan salah satu negara kuat di kawasan Eropa. Prancis menjadi
kekuatan besar di Eropa karena wilayah luas, lokasi strategis, peran sentral dalam integrasi
Eropa, serta pola diplomasi aktif. Prancis, sejak dirintisya proyek integrasi Eropa, berperan
besar terutama dalam menguatkan integrasi ekonomi dan politik Eropa. Selama
perkembangan integrasi Eropa, mulai dari penandatanganan Treaty of Rome 1957 sampai
pembentukan European Union (Uni EropaUE) melalui Maastricht Treaty (Microsoft
Encarta, 2007) tahun 1992, Prancis berperan besar mendorong keberlanjutan proses integrasi
Eropa. Pemerintah eksekutif Prancis secara konsisten mendukung integrasi Eropa dalam
kerangka institusi UE.
Kepercayaan diri serta dukungan besar pemerintah Prancis terhadap proses integrasi
Eropa menunjukkan gejala kosmopolitanisme. Kecenderungan kosmopolitanisme ini terlihat
dengan solidaritas pemerintah Prancis terhadap kesepakatan-kesepakatan serta perjanjian-
perjanjian yang dibuat dalam kerangka UE. Kecenderungan kosmopolitanisme ini bahkan
berlangsung sejak awal integrasi Eropa. Jean Monnet, salah satu penggagas integrasi Eropa,
menyatakan bahwa sudah saatnya Eropa meninggalkan tradisi perang dengan membangun
satu kesatuan suara. Hanya dengan persatuan Eropa, kekuatan serta peran sentral Eropa
dalam politik internasional dapat kembali (Erwin, 2006).
Semangat kosmopolitanisme pertama yang ditunjukkan Prancis adalah keinginan
memperbaiki hubungan dengan Jerman (Gueldry, 2001). Upaya kosmopolitanisme Prancis
kemudian berlanjut dalam proyek yang digagas Jean Monnet dan Robert Schuman, yaitu
proyek integrasi Eropa. Upaya kosmopolitanisme oleh dua negarawan Prancis tersebut
mengawali proses integrasi dalam bentuk joint production industri batu bara dan baja dalam
kerangka struktur supranasionalisme. Inisiatif tersebut ditanggapi postif oleh Jerman, Italia,
dan negara Benelux (Belgium, Netherland, dan Luxemburg). Proyek integrasi Eropa terwujud
dengan penandatanganan pembentukan the European Coal and Steel Community (ECSC)
pada 1951 di Paris.
Kosmopolitanismme Prancis yang memengaruhi penguatan integrasi Eropa dapat
diidentifikasi dengan jelas ketika negara-negara Eropa yang tergabung dalam UE memulai
pembahasan mengenai pembentukan single market. Upaya pembentukan single market

8
menunjukkan penguatan dalam proses integrasi Eropa karena single market menunjukkan
terselesaikannya integrasi ekonomi.
Upaya kosmpolitanisme yang ditunjukkan pemerintah eksekutif di Prancis terlihat
dalam proses negosiasi Schengen Treaty serta pemberlakuan Euro sebagai mata uang tungal
di Eropa. Proses pengadopsian Euro sebagai mata uang tunggal UE, dengan Economic and
Monetary Union (EMU) sebagai sistemnya, memperkuat integrasi ekonomi. Keputusan
Prancis untuk mengadopsi mata uang tunggal ini dapat dipandang sebagai kecenderungan
kosmopolitanisme, karena pengadopsian mata uang tunggal membawa beberapa konsekuensi.
Pertama, dengan mengadopsi Euro, Prancis tidak lagi memiliki mata uang nasional. Kedua,
Prancis tidak lagi dapat menetapkan kebijakan moneterdiatur dalam kerangka European
System of Central Bank (ECSB) (Nugent, 2006). Kosmopolitanisme Prancis berlanjut dalam
proses pembentukan perjanjian draf konstitusi Eropa. Upaya kosmopolitanisme Prancis
sebagai inisiator dalam pembentukan konstitusi Eropa terlihat dalam peran mantan Presiden
Prancis Valery Giscard dEstaing sebagai ketua dalam konvensi pembentukan konstitusi
tersebut dan ditandatangani oleh 25 negara anggota Uni Eropa pada 29 Oktober 2004.
Tetapi dalam hal ini terjadinya perbenturan antara kosmopoltanisme dan nasionalisme
di Prancis pada ratifikasi pembentukan European Defense Community (EDC), proses
ratifikasi perjanjian Maastricht, pengadopsian Euro, Penerapan persetujuan Schengen, dan
proses ratifikasi draf pembentukan Konstitusi Eropa. Semangat nasionalisme di kalangan
warga negara Prancis ditunjukkan melalui penurunan dukungan warga negara Prancis
terhadap keanggotaan negaranya dalam UE, lalu menguatnya sentimen identitas nasional
yang bersifat eksklusif di kalangan warga negara Prancis. Dalam studi yang dilakukan Schild
(2001, 344-347) mengenai penguatan identitas nasional tesebut warga negara Prancis dan
identitas gandanya sebagai warga negara Eropa menunjukkan bahwa identitas sebagai warga
Eropa berlawanan dengan identitas sebagai warga negara Prancis. Dengan kata lain, warga
negara dihadapkan pada pilihan identitas, pada identitas nasionalnya sebagai warga negara
Prancis atau warga negara Eropa.
Namun, penguatan nasionalisme dikalangan warga negara Prancis setelah perjanjian
Maastricht tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap proses integrasi Eropa. Hal ini
disebabkan oleh pengambilan kebijakan Prancis terhadap proses integrasi Eropa berada di
tangan pemerintah eksekutif yang bersikap kosmopolit. Hal tersebut tercermin dalam
pendapat Norris (2003) yang memberikan pandangan pesimis terhadap kosmopolitanisme. Ia
menyatakan keraguan terkait nation-state semakin melemah dan kebangkitan identitas
kosmopolitan menggantikan nasionalisme.

9
KESIMPULAN
Konsep kosmopolitanisme merupakan konsep yang kompleks dan belum sepenuhnya
terjadi secara empiris. Tantangan terhadap kosmopolitanisme adalah benturan dengan konsep
nasionalisme, berkaitan erat dengan identitas lokal-nasional daripada identitas regional-
global. Salah satu bentuk kosmopolitanisme dapat dilihat melalui perkembangan institusi
regional dan global, Uni Eropa salah satunya. Namun, perlu dikritisi lagi apakah identitas
kosmopolitan berkembang pesat di dalamnya. Selain institusi regional dan global, bentuk
identitas kosmopolitan juga dapat dilihat melalui kemunculan gerakan sosial dan fakta bahwa
negara bukan lagi satu-satunya aktor, bahwa suara individu pun dapat melahirkan dampak
global. Bersamaan dengan itu, kosmopolitanisme ideal masih memiliki perjalanan panjang
untuk terjadi menyeluruh secara empiris.
DAFTAR REFERENSI
Beck, Ulrich. What is Cosmopolitan about Cosmopolitan Vision. Dalam Cosmopolitan
Vision, Ulrich Beck, 1-14. Cambridge: Polity Press, 2006.
Dewi, Agnes Rosari. Kosmopolitanisme dan Nasionalisme Prancis dalam Proses Integrasi
Eropa. Thesis. Universitas Airlangga, Program Magister Hubungan Internasional,
2009.
Erwin, Derek E. French Revolution. Microsoft Student 2007. Redmond: Microsoft
Corporation, 2006.
Gueldry, Michel R. France and European Integration: Toward a Transnational Polity.
London: Praeger Westport Connecticut, 2001.
Held, David. Cosmopolitanism: Taming Globalization. Dalam The Global Transformations
Reader: An Introduction to the Globalization Debate 2nd Ed., diedit oleh David Held
dan McGrew Anthony, 514-529. Cambridge: Polity Press, 2003.
Norris, Pippa. Global Governance and Cosmopolitan Citizens Dalam The Global
Transformations Reader: An Introduction to the Globalization Debate 2nd Ed., diedit
oleh David Held dan McGrew Anthony, 287-297. Cambridge: Polity Press, 2003.
Nuggent, Neill. The Government and Politics of the European Union. New York: Duke
University Press, 2006.

10

Anda mungkin juga menyukai