Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) adalah penyakit yang disebabkan
oleh infeksi human immunodeficiency virus (HIV). Penyebaran HIV ini berkembang
dengan cepat dan mengenai wanita dan anak-anak. Acquired immunodeficiency
syndrome menyebabkan kematian lebih dari 20 juta orang setahun. Saat ini di seluruh
dunia kira-kira 40 juta orang dewasa berusia 15-45 tahun yang hidup dengan infeksi
HIV. Tahun 2003 diperkirakan 700.000 bayi baru lahir terinfeksi HIV. Angka
morbiditas dan mortalitas yang disebabkan oleh HIV semakin meningkat dan
merupakan masalah kesehatan masyarakat yang paling penting di seluruh dunia.
Hingga saat ini belum ditemukan imunisasi profilaksis atau pengobatan AIDS,
meskipun demikian terapi antiretrovirus seperti highly active antiretroviral therapy
(HAART) tetap dikembangkan.
Penggunaan obat antivirus dan persalinan berencana dengan seksio sesaria telah
menurunkan angka transmisi perinatal penyakit ini dari 30% menjadi 20%. AIDS
dikarakteristikkan sebagai penyakit imunosupresif berat yang sering dikaitkan dengan
infeksi oportunistik dan tumor ganas serta degenerasi susunan saraf pusat. Epidemi
HIV/AIDS di Indonesia meningkat dengan cepat (jumlah kasus AIDS pada akhir
triwulan II 2008 adalah 12,686 kasus). Infeksi HIV dapat berdampak kepada ibu dan
bayi. Dampak infeksi HIV terhadap ibu antara lain: timbulnya stigma sosial,
diskriminasi, morbiditas dan mortalitas maternal. Besarnya stigma social
menyebabkan orang hidup dengan HIV AIDS (Odha) semakin menutup diri tentang
keberadaannya, yang pada akhirnya akan mempersulit proses pencegahan dan
pengendalian infeksi.
Dampak buruk dari penularan HIV dari ibu ke bayi dapat dicegah apabila :
Terdeteksi dini, Terkendali (Ibu melakukan perilaku hidup sehat, Ibu mendapatkan

1
ARV profilaksis secara teratur, Ibu melakukan ANC secara teratur, Petugas kesehatan
menerapkan pencegahan infeksi sesuai Kewaspadaan Standar), Pemilihan rute
persalinan yang aman (seksio sesarea), Pemberian PASI (susu formula) yang
memenuhi persyaratan, Pemantauan ketat tumbuhkembang bayi & balita dari ibu
dengan HIV positif, dan Adanya dukungan yang tulus, dan perhatian yang
berkesinambungan kepada ibu, bayi dan keluarganya.

B. Tujuan Praktik
Adapun tujuan dari penulisan laporan pendahuluan ini, yaitu:
1. Melakukan asuhan kehamilan komprehensif pada perempuan dengan HIV/AIDS
2. Melakukan asuhan persalinan pada perempuan dengan HIV/AIDS
3. Melakukan asuhan postpartum pada perempuan dengan HIV/AIDS
4. Melakukan asuhan pada bayi baru lahir dari ibu dengan HIV/AIDS
5. Melakukan asuhan pada anak dengan HIV positif
6. Melakukan asuhan pasien dewasa dengan HIV/AIDS
7. Melakukan promosi dan pencegahan HIV/AIDS

C. Metode Praktik
Dalam melakukan observasi terhadap pelayanan yang diberikan oleh bidan di
Puskesmas 1 Denpasar Timur, terdapat beberapa metode praktik yang digunakan,
antara lain :
1. Studi Kepustakaan
Metode kepustakaan dilakukan melalui penelitian langsung ke perpustakaan,
guna mencari informasi dan teori-teori yang berkaitan dengan asuhan kebidanan
berupa buku-buku serta dokumen yang ada relevansinya dengan asuhan kebidanan
pada ODHA.
2. Observasi
Metode observasi merupakan suatu cara untuk memperoleh data dengan
mengadakan pengamatan yang sistematis, pengamatan yang dimaksud bisa secara
langsung pada dokumen atau catatan khusus. Dengan metode observasi, mahasiswa
melakukan pengamatan yang sistematis terhadap asuhan kebidanan pada ODHA
3. Studi Dokumentasi

2
Metode studi dokumentasi merupakan metode dengan mencari data mengenai
hal-hal atau variabel yang berupa catatan, buku, surat kabar, majalah, agenda dan
sebagainya. Dalam metode ini mahasiswa mencari data mengenai pelayanan yang
diberikan oleh bidan dari catatan maupun buku-buku yang ada.

D. Sistematika Penulisan Laporan


Dalam laporan pendahuluan praktik mata kuliah ini terdiri dari 2 BAB, antara lain
BAB I yaitu pendahuluan yang terdiri dari latar belakang yang membahas mengenai
asuhan kebidanan pada ODHA di wahana praktik, tujuan praktik, metode praktik dan
sistematika penulisan laporan. BAB II yaitu kajian teori mengenai asuhan kebidanan
pada ODHA. Pada akhir laporan ini tercantum daftar pustaka yang sesuai dengan isi
laporan.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

3
A. Asuhan Kehamilan Komprehensif pada Perempuan Dengan HIV/AIDS
1. Tinjauan Fisiologis
Sistem imun ibu dipengaruhi oleh kehamilan. Jumlah sel darah putih khususnya
neutrofil meningkat pada awal kehamilan dan puncaknya terjadi pada usia kehamilan
30 minggu serta menetap sampai dengan persalinan. Peningkatan neutrofil ini
mungkin disebabkan karena kadar HCG. Peningkatan ini juga terjadi pada limfosit
CD8 T namun secara bersamaan terjadi penurunan limfosit CD4 T dan monosit.
Kadarnya akan kembali ke normal setelah 3-6 hari post partum.
Jumlah leukosit pada kehamilan normal berkisar antara 5.000 sampai 12.000/ l.
Selama persalinan dan masa nifas 87awal jumlahnya dapat sangat meningkat, hingga
mencapai 25.000 atau bahkan lebih, tetapi konsentrasinya berkisar antara 14.000
sampai 16.000/l. Penyebab peningkatan yang mencolok tersebut tidak diketahui.
Adanya peningkatan normal dari leukosit pada masa kehamilan ini, perlu menjadi
pertimbangan untuk mendiagnosa leukositosis pada kehamilan.
2. Perubahan Pada Ibu Hamil Dengan HIV/AIDS
Kematian pada ibu hamil dengan HIV (+) kebanyakan disebabkan oleh penyakit
oportunistik yang menyertainya, terutama Pneumocytis carinii pneumonia.
Kehamilan dapat menutupi sebagian gejala nonspesifik infeksi HIV, misalnya rasa
lelah, anemia dan sesak nafas. Kemuncuan gejala HIV dapat dipercepat oleh
kehamilan. Perubahan yang spesifik terjadi pada ibu hamil dengan HIV/AIDS adalah:
a. Terjadinya gangguan metabolik
Pada ODHA terjadi keadaan hipermetabolik yang lama-kelamaan terjadi
gangguan metabolik dan berakhir dengan wasting syndrome,yaitu kehilangan
berat badan melebihi 10% disertai dengan diare kronis lebih dari satu bulan.
b. Perubahan status nutrisi
Hal ini dikarenakan oleh berbagai faktor seperti, anoreksia, hiperkatabolik, infeksi
kronis, demam, penurunan intake, mual, muntah, diare, malabsorpsi,
meningkatnya kebutuhan maupun kehilangan nutrisi, depresi, efek samping obat,
radiasi, dan kemoterapi. Masuknya HIV kedalam tubuh selain memunculkan

4
gejala juga memicu terjadinya perubahan biokimia nutrisi berupa kehilangan zat
nutrisi dalam tubuh. HIV merupakan makrofag, monosit, limfosit untuk
mengeluarkan mediator kimiawi dan sitokin. Salah satu dampak dari keluarnaya
mediator tersebut memicu hepar untuk meningkatkan ambilan asam amino, Zn,
Fe, protein reaktan fase akut, atau kompleks yang kemudian dilepas dalam
plasma. Pada ibu hamil dengan HIV/AIDS sering disertai defisiensi antioksidan
vitamin dan mineral.
3. Progresivitas Infeksi HIV
Kehamilan tidak mempengaruhi progresivitas infeksi HIV kearah AIDS.
Penurunan CD4+ memang terjadi pada ibu hamil dengan HIV, tetapi penurunan
tersebut lebih diakibatkan karena faktor dilusi. Pada kehamilan yang tidak dengan
HIV, presentase CD4+ akan meningkat kembali mulai trimester tiga hingga 12 bulan
setelah melahirkan, sedangkan pada IHDHA penurunan tetap terjadi pada awal
kehamilan sampai setelah melahirkan. Kehamilan hanya sedikit menaikan kadar virus
HIV (viral load). Kadar HIV meningkat terutama setelah 2 tahun persalinan,
walaupun secara sistematis tidak bermakna. Pada kondisi ibu hamil HIV/AIDS
dengan infeksi oportunistik, kehamilan dapat memperberat infeksi oportunistik yang
diderita ibu maupun sebaliknya, infeksi oportunistik yang diderita ibu dapat
mempengaruhi progresifitas HIV ibu maupun janin yang dikandungnya.
4. Risiko Pada Janin
a. Abortus spontan
b. Prematuritas
c. BBLR
d. Gangguan pertumbuhan intrauterine (IUGR)
e. Kematian janin intrauterin/IUFD (terjadi terutama pada stadum lanjut).

5. Penanganan HIV/AIDS Pada Ibu Hamil


Seorang wanita dapat menularkan infeksi HIV kepada bayinya selama masa
kehamilan, persalinan dan masa menyusui. Mekanisme pasti penularan HIV/AIDS
pada periode perinatal belum diketahui secara pasti. Dari beberapa penelitian telah

5
dilaporkan sejumlah faktor yang berkaitan dengan peningkatan transmisi perinatal,
diantaranya tingginya viral load ibu, rendahnya jumlah sel CD4 ibu, meningkatnya
jumlah sel CD8 ibu, lama pecahnya selaput ketuban, perdarahan vagina, infeksi ibu,
inflamasi membran plasenta, persalinan preterm, kerusakan kulit neonatus,
penggunaan obat ibu.
Konseling merupakan keharusan bagi wanita positif HIV. Hal ini sebaiknya dilakukan
pada awal kehamilannya, perlu diberikan konseling berkelanjutan untuk membantu
wanita tersebut secara psikologis. Berikut ini adalah penanganan HIV/AIDS pada ibu
hamil :
a. Konseling, Edukasi dan Uji Saring Antepartum
Konseling dan testing sukarela dikenal sebagai Voluntary Counselling and Testing
(VCT) merupakan salah satu strategi kesehatan masyarakat dan sebagai pintu masuk
ke seluruh layanan kesehatan HIV/AIDS berkelanjutan. Konseling dalam VCT adalah
kegiatan konseling yang menyediakan dukungan psikologis, informasi dan
pengetahuan HIV/AIDS, mencegah penularan HIV, mempromosikan perubahan
perilaku yang bertanggungjawab, pengobatan ARV dan memastikan pemecahan
berbagai masalah terkait dengan HIV/AIDS. Hasil negatif uji saring pada ibu risiko
tinggi infeksi HIV perlu diulang 4 minggu kemudian mengingat kemungkinan
window period pada saat pemeriksaan dilakukan.
b. Perawatan Antepartum
Setiap kunjungan antepartum diperhatikan masalah psikososial ibu, gejala dan
tanda infeksi HIV serta Infeksi Oportunistik. Jumlah CD4 dan kepadatan virus
dipantau selama perawatan antepartum setiap trimester atau setiap 3-4 bulan jika
ARV diberikan guna mengikuti perkembangan penyakit, keberhasilan ataupun
resistensi ARV serta menentukan langkah lebih lanjut. Di samping itu, pemeriksaan
hemoglobin, lekosit dan trombosit juga dilakukan setiap 4 minggu untuk menilai efek
penekanan ARV terhadap sumsum tulang. Pemeriksaan CD4 harus dilakukan setiap 3
bulan untuk menentukan apakah pasien perlu diberi Zidovudin atau obat provilaksis
terhadap Pneumonia carinii. Pemeriksaaan konfirmasi menggunakan Western Blot

6
(WB) cukup mahal, sebagai ganti dapat dilakukan 3 pemeriksaan ELISA sebagai tes
penyaring memakai reagen dan teknik berbeda.
Salah satu penyulit yang selalu mengintai IHDHA adalah wasting akibat
defisiensi nutrisi, karena wasting selalu mengancam setiap perjalanan IHDHA maka
selain penatalaksanaan pemberian ARV (antiretroviral) juga dilakukan
penatalaksanaan nutrisi dengan serius.
c. Antiretrovirus (ARV)
Pemberian kombinasi ARV merupakan penatalaksanaan baku IHDHA tanpa
memandang status kehamilan, sama seperti pemberian ARV pada ODHA karena telah
dipertimbangkan farmakokinetiknya dan tidak terbukti memberikan efek teratogenik
pada janin/bayi jika diberikan setelah umur kehamilan 14 minggu. Terapi ARV harus
diberikan pada semua ibu hamil yang terkena HIV untuk memulai perawatan pada
ibu sehingga dapat mencegah transimisi perinatal, tanpa memandang jumlah Limfosit
T CD 4 dan viral load.

B. Asuhan Persalinan pada Perempuan Dengan HIV/AIDS


Sebagian besar bayi tertular infeksi HIV pada saat persalinan, maka cara
persalinan bayi lahir dari ibu terinfeksi HIV sangat menentukan terjadinya penularan
vertikal. Untuk menghindari penularan vertikal, maka pecah ketuban dini dan
penggunaan elektrode kepala perlu dihindari. Selain itu, jangan melakukan
pertolongan persalinan yang mengakibatkan trauma seperti menggunakan forsep atau
vakum untuk persalinan lama dengan penyulit. Cara persalinan harus ditentukan
sebelum umur kehamilan 38 minggu untuk meminimalkan terjadinya komplikasi
persalinan. Sampel plasma viral load dan jumlah CD4 harus diambil pada saat
persalinan. Semua ibu hamil dengan HIV positif disarankan untuk melakukan
persalinan dengan seksio sesaria.
Operasi seksio sesarea pada usia kehamilan 38 minggu sebelum onset persalinan
atau mencegah ketuban pecah dini direkomendasikan untuk wanita yang telah
mendapatkan terapi HAART dengan kadar viral load yang masih > 1000 kopi/ml,
wanita yang mendapatkan monoterapi alternative dengan zidovudin. Persalinan

7
pervaginam yang direncanakan hanya boleh dilakukan oleh wanita yang
mengkonsumsi HAART dengan viral load <50 kopi/mL. Pada persalinan
pervaginam, amniotomi harus dihindari, tetapi tidak jika proses kelahiran kala 2
memanjang. Jika terdapat indikasi alat bantu persalinan, forsep dengan kavitas rendah
lebih disarankan untuk janin karena insiden trauma fetallebih kecil.

1. Resiko Penularan HIV Pada Persalinan

a. Penularan Perinatal

Penularan perinatal merupakan penularan dari ibu ODHA kepada janin pada masa
perinatal. Angka penularan pada masa kehamilan berkisar sekitar 5 10%, saat
persalinan sekitar 10 20%, dan saat menyusui sekitar 10 20% bila disusui sampai
2 tahun. Penularan pada masa menyusui terutama terjadi pada minggu minggu
pertama menyusui, terutama bila ibu baru terinfeksi saat menyusui. Bila ibu ODHA
tidak menyusui bayinya, maka kemungkinan bayinya terinfeksi HIV sekitar 15
30%, bila menyusui sampai 6 bulan kemungkinan terinfeksi 25 35%, dan bila masa
menyusui diperpanjang sampai 18 24 bulan maka resiko terinfeksi meningkat
menjadi 30 45 %.

b. Faktor yang mempengaruhi penularan HIV dari ibu ke bayi

Penularan HIV dari ibu ke bayi umumnya terkait dengan daya tahan tubuh, dan
virulensi kuman.

Faktor ibu :

1) Ibu yang baru terinfeksi HIV mudah menularkan ke bayinya. Hal ini disebabkan
jumlah virus dalam tubuh ibu sangat tinggi dibandingkan jumlah virus pada ibu
yang tertular HIV sebelum atau selama masa kehamilan.

8
2) Ibu dengan penyakit terkait HIV seperti batuk, diare terus menerus,
kehilangan berat badan, hal ini juga disebabkan jumlah virus dalam tubuh ibu
tinggi.
3) Infeksi pada kehamilan, terutama infeksi menular seksual atau infeksi plasenta
4) Kurang gizi saat hamil, terutama kekurangan mikronutrisi
5) MastitisKPD, partus lama, dan intervensi saat persalinan seperti amniotomi,
episiotomi.
Faktor bayi :
1) Bayi lahir premature
2) Menyusui pada ibu dengan HIV
3) Lesi pada mulut bayi meningkatkan resiko tertular HIV, terutama pada bayi
dibawah usia 6 bulan.
2. Penanganan Persalinan
Kebanyakan penularan HIV terhadap janin / bayi terjadi saat persalinan, maka
pemberian pengobatan pada saat ini merupakan hal yang sangat penting untuk
melindungi infeksi HIV terhadap bayi. Menurut Perinatal HIV Guidlines Working
Group tahun 2005, terdapat beberapa regimen pengobatan yang dapat menurunkan
resiko penularan terhadap bayi.
1. Regimen yang biasa digunakan adalah three part ZDV regimen :
a) Wanita hamil dengan HIV
ZDV dimulai pada kehamilan 14 34 minggu dengan dosis 5 x 100 mg, atau
3 x 200 mg, atau 2 x 300 mg
b) Persalinan
Pada saat persalinan, dilakukan pemberian ZDV intravena
c) Bayi
Bayi yang dilahirkan diberikan ZDV dalam bentuk cair setiap 6 jam selam 6
minggu setelah dilahirkan.
2 Bila selama kehamilan wanita hamil dengan HIV positif sudah mendapat
pengobatan anti HIV lain, maka pengobatan tersebut dilanjutkan sesuai jadwal
selama persalinan.
3 Pilihan persalinan bagi wanita hamil dengan HIV positif, tergantung pada
keadaan kesehatan serta pengobatannya. Persalinan dapat dilakukan pervaginam
maupun secara operatif dengan seksio sesarea. Pemilihan cara persalinan harus
dibicarakan terlebih dahulu selama kehamilan, seawal mungkin.
4 Seksio sesarea direkomendasikan bagi wanita hamil dengan HIV positif dengan:
a) Jumlah virus tidak diketahui atau > 1000/mL pada usia kehamilan 36 minggu

9
b) Belum pernah mendapat pengobatan anti HIV atau hanya mendapat
zidovudine selama kehamilan.
c) Belum pernah mendapat perawatan prenatal sampai usia kehamilan 36
minggu atau lebih.
Untuk lebih efektif dalam mencegah penularan, seksio sesarea sudah harus
dijadwalkan pada kehamilan 38 minggu dan harus dilakukan sebelum ketuban
pecah.Persalinan pervaginam merupakan pilihan persalinan bagi wanita hamil dengan
HIV positif dengan:
a) Sudah memperoleh perawatan prenatal selama kehamilan.
b) Viral load < 1000/mL pada usia kehamilan 36 minggu.
c) Mendapat pengobatan ZDV dengan atau tanpa obat anti HIV lainnya.

Pemberian ZDV intravena (i.v) dimulai 3 jam sebelum tindakan seksio sesarea,
dan dilanjutkan setalah bayi dilahirkan. ZDV i.v harus diberikan selama persalinan
dan setelah bayi lahir pada persalinan pervaginam. Hal yang juga penting dilakukan
adalah meminimalkan kontak bayi terhadap darah ibu. Hal ini dapat dilakukan
dengan dengan menghindari pemeriksaan invasif, serta persalinan dengan vakum
maupun forsep.Semua bayi yang dilahirkan dari wanita dengan HIV positif harus
memdapat pengobatan anti HIV untuk mencegah penularan HIV.Pengobatan minimal
dengan pemberian ZDV selama 6 minggu, terkadang juga dengan pemberian obat
tambahan lainnya.
WHO tidak merekomendasikan untuk melakukan seksio sesarea, tetapi juga tidak
melarang mengingat kondisi di masing- masing daerah berbeda, perlu
dipertimbangkan biaya untuk operasi, fasilitas untuk tindakan tersebut, komplikasi
yang dapat ditimbulkan akibat imunitas ibu yang rendah. Tindakan yang tidak
diperbolehkan karena meningkatkan resiko penularan HIV dari ibu ke bayi adalah
berupa tindakan obstetrik invasif yang tidak perlu, dan dapat menjadi jalur penularan
HIV, seperti:
a) Episiotomi rutin
b) Ekstraksi vakum
c) Ekstraksi cunam
d) Pemecahan ketuban sebelum pembukaan lengkap
e) Terlalu sering melakukan pemeriksaan dalam

10
f) Memantau analisa gas darah janin selama persalinan dimana sampel darah
diambil dari kulit kepala janin

C. Asuhan Postpartum pada Perempuan Dengan HIV/AIDS


1. Periode Pascapartum
Hanya sedikit diketahui tentang kondisi klinis wanita yang terinfeksi HIV selama
periode pascapartum. Walaupun periode pascapartum awal tidak signifikan, follow-up
yang lebih lama menunjukkan frekuensi penyakit klinis yang tinggi pada ibu yang
anaknya menderita penyakit. Konseling tentang pengalihan pengasuhan anak
dibutuhkan jika orang tua tidak lagi mampu merawat diri mereka.
Terlepas dari apakah infeksi terdiagnosis, proses keperawatan diterapkan dengan
cara yang peka terhadap latar belakang budaya individu dan dengan menjunjung nilai
kemanusiaan. Infeksi HIV merupakan suatu peristiwa biologi, bukan suatu
komentarmoral. Sangat penting untuk diingat, ditiru, dan diajarkan bahwa reaksi
(pribadi) terhadap gaya hidup, praktik, atau perilaku tidak boleh mempengaruhi
kemampuan perawat dalam member perawatan kesehatan yang efektif, penuh kasih
sayang, dan obyektif kepada semua individu. Bayi baru lahir dapat bersama ibunya,
tetapi tidak boleh disusui. Tindakan kewaspadaan universal harus diterapkan, baik
untuk ibu maupun bayinya, sebagaimana yang dilakukan pada semua pasien. Wanita
dan bayinya dirujuk ke tenaga kesehatan yang berpengalaman dalam terapi AIDS dan
kondisi terkait.
2. Penularan
Transmisi lain terjadi selama periode post partum melalui ASI, resiko bayi tertular
melalui ASI dari ibu yang positif sekitar 10%
3. Penatalaksanaan
Pengalaman program yang signifikan dan bukti riset tentang HIV dan pemberian
makanan untuk bayi telah dikumpulkan sejak rekomendasi WHO untuk pemberian
makanan bayi dalam konteks HIV terakhir kali direvisi pada tahun 2006. Secara
khusus, telah dilaporkan bahwa antiretroviral (ARV) intervensi baik ibu yang
terinfeksi HIV atau janin yang terpapar HIV secara signifikan dapat mengurangi
risiko penularan HIV pasca kelahiran melalui menyusui. Bukti ini memiliki implikasi

11
besar untuk bagaimana perempuan yang hidup dengan HIV mungkin dapat memberi
makan bayi mereka, dan bagaimana para pekerja kesehatan harus nasihati ibu-ibu ini.
Bersama-sama, intervensi ASI dan ARV memiliki potensi secara signifikan untuk
meningkatkan peluang bayi bertahan hidup sambil tetap tidak terinfeksi HIV.
Meskipun rekomendasi 2010 umumnya konsisten dengan panduan sebelumnya,
mereka mengakui dampak penting dari ARV selama masa menyusui, dan
merekomendasikan bahwa otoritas nasional di setiap negarauntuk memutuskan
praktik pemberian makan bayi, seperti menyusui yaitu dengan intervensi ARVuntuk
mengurangi transmisi atau menghindari menyusui, harus dipromosikan dan didukung
oleh layanan Kesehatan Ibu dan Anak mereka. Hal ini berbeda dengan rekomendasi
sebelumnya di mana petugas kesehatan diharapkan untuk memberikan nasihat secara
individual kepada semua ibu yang terinfeksi HIV tentang berbagai macam pilihan
pemberian makanan bayi, dan kemudian ibu-ibu dapat memilih cara untuk pemberian
makanan bayinya.
Dimana otoritas nasional mempromosikan pemberian ASI dan ARV, ibu yang
diketahui terinfeksi HIV sekarang direkomendasikan untuk menyusui bayi mereka
setidaknya sampai usia 12 bulan. Rekomendasi bahwa makanan pengganti tidak
boleh digunakan kecuali jika dapat diterima, layak, terjangkau, berkelanjutan dan
aman (AFASS) .

D. Asuhan Bayi Baru Lahir Dari Ibu Dengan HIV/AIDS


Bayi yang tertular HIV dari ibu bisa saja tampak normal secara klinis selama
periode neonatal. Penyakit penanda AIDS tersering yang ditemukan pada anak adalah
pneumonia yang disebabkan Pneumocystis carinii. Gejala umum yang ditemukan
pada bayi dengan infeksi HIV adalah gangguan tumbuh kembang, kandidiasis oral,
diare kronis, atau hepatosplenomegali (pembesaran hepar dan lien). Karena antibody
ibu bisa dideteksi pada bayi sampai bayi berusia 18 bulan, maka tes ELISA
dan Western Blot akan positif meskipun bayi tidak terinfeksi HIV karena tes ini
berdasarkan ada atau tidaknya antibody terhadap virus HIV. Tes paling spesifik untuk
mengidentifikasi HIV adalah PCR pada dua saat yang berlainan. DNA PCR pertama

12
diambil saat bayi berusia 1 bulan karena tes ini kurang sensitive selama periode satu
bulan setelah lahir. CDC merekomendasikan pemeriksaan DNA PCR setidaknya
diulang pada saat bayi berusia empat bulan. Jika tes ini negative, maka bayi terinfeksi
HIV.
Tetapi bila bayi tersebut mendapatkan ASI, maka resiko bayi tertular HIV
sehingga tes PCR perlu diulang setelah bayi disapih. Pada usia 18 bulan, pemeriksaan
ELISA bisa dilakukan pada bayi bila tidak tersedia sarana pemeriksaan yang lain.
CDC mengembangkan klasifikasi HIV pada bayi dan anak berdasarkan hitung
limfosit CD4+ dan manifestasi klinis penyakit. Pasien dikategorikan berdasarkan
derajat imunosupresi (1, 2, atau 3) dan kategori klinis (N, A, B, C, E). Klasifikasi ini
memungkinkan adanya surveilans serta perawatan pasien yang lebih baik. Klasifikasi
klinis dan imunologis ini bersifat eksklusif, sekali pasien diklasifikasikan dalam suatu
kategori, maka diklasifikasi ini tidak berubah walaupun terjadi perbaikan status
karena pemberian terapi atau factor lain.
Menurut Depkes RI (2003), WHO mencanangkan empat strategi untuk
mencegah penularan HIV dari ibu ke anak dan anak, yaitu dengan mencegah jangan
sampai wanita terinfeksi HIV/AIDS, apabila sudah dengan HIV/AIDS dicegah
supaya tidak hamil, apabila sudah hamil dilakukan pencegahan supaya tidak menular
pada bayi dan anaknya, namun bila ibu dan anak sudah terinfeksi maka sebaiknya
diberikan dukungan dan perawatan bagi ODHA dan keluarga. Bayi yang beresiko
tertular HIV diantaranya :
1. Bayi yang lahir dari ibu dengan pasangan biseksual
2. Bayi yang lahir dari ibu dengan pasangan yang berganti-ganti
3. Bayi yang lahir dan ibu dengan penyalahgunaan obat melalui vena
4. Bayi atau anak yang mendapat tranfusi darah atau produk darah yang berulang
5. Bayi atau anak yang terpapar dengan alat suntik atau tusuk bekas yang tidak
steril

1. Etiologi
Resiko HIV utama pada anak-anak yaitu:
a. Air susu ibu yang merupakan sarana transmisi
b. Pemakaian obat oleh ibunya
c. Pasangan sexual dari ibunya yang memakai obat intravena
d. Daerah asal ibunya yang tingkat infeksi HIV nya tinggi

13
2. Tanda dan Gejala
Gejala umum yang ditemukan pada bayi dengan infeksi HIV adalah:
a. Gangguan tumbuh kembang
b. Kandidiasis oral
c. Diare kronis
d. Hepatosplenomegali (pembesaran hepar dan lien)
3. Penularan
Penularan HIV dari bayi kepada bayinya dapat melalui:
a. Dari ibu kepada anak dalam kandungannya (antepartum) (5-10 %)
b. Selama persalinan (intrapartum)(10-20 %)
c. Bayi baru lahir terpajan oleh cairan tubuh ibu yang terinfeksi (postpartum)
d. Bayi tertular melalui pemberian ASI
e. Sebagian besar (90%), infeksi HIV pada bayi disebabkan penularan dari ibu,
hanya sekitar 10% yang terjadi karena proses tranfusi.

Bayi lahir dengan ibu HIV seropositif : memiliki antibody HIV saat lahir.
Bayi tidak terinfeksi akan kehilangan antibodi maternal sekitar 8-15 bulan.
Sebagian besar bayi terinfeksi : mengembangkan antibodi mereka sendiri dan tetap
seporopositif. Bayi yang memperlihatkan tanda-tanda infeksi saat lahir cenderung
meninggal dalam satu bulan.
4. Pencegahan
Penularan HIV dari ibu ke bayi dapat dicegah melalui :
1) Saat hamil, Penggunaan antiretroviral selama kehamilan yang bertujuan agar
viral load rendah sehingga jumlah virus yang ada di dalam darah dan cairan
tubuh kurang efektif untuk menularkan HIV.
2) Saat melahirkan, Penggunaan antiretroviral (Nevirapine) saat persalinan dan
bayi baru dilahirkan dan persalinan sebaiknya dilakukan dengan metode sectio
caesar karena terbukti mengurangi resiko penularan sebanyak 80%.
3) Setelah lahir, Informasi yang lengkap kepada ibu tentang resiko dan manfaat
ASI. Untuk mengurangi resiko penularan, ibu dengan HIV positif bisa
memberikan susu formula pengganti ASI, kepada bayinya. Namun, pemberian
susu formula harus sesuai dengan persyaratan AFASS dari Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO), yaitu Acceptable = mudah diterima, Feasible =
mudah dilakukan, Affordable = harga terjangkau, Sustainable = berkelanjutan,

14
dan Safe = aman penggunaannya. Pada daerah tertentu di mana pemberian susu
formula tidak memenuhi persyaratan AFASS, ibu HIV positif harus
mendapatkan konseling jika memilih untuk memberikan ASI eksklusif.
5. Penatalaksanaan
a. Penghisapan lendir bayi tidak boleh dilakukan dengan penghisap mulut,
melainkan dengan suction penghisap lendir yang dihubungkan dengan mesin
penghisap.
b. Perlakukan bayi seperti individu yang tidak terinfeksi.
c. Pencegahan infeksi harus dilakukan agar bayi terhindar dari transmisi infeksi
dari ibu ke bayi.
d. Ibu bayi harus diberitahu agar menghindari bayinya terkena sekresi tubuhnya.
e. Pemilihan makanan bayi harus didahului dengan konseling tentang risiko
penularan HIV melalui ASI. Konseling diberikan sejak perawatan antenatal atau
sebelum persalinan. Pengambilan keputusan oleh ibu dilakukan setelah
mendapat informasi secara lengkap. Pilihan apapun yang diambil oleh ibu harus
didukung.
f. Upaya pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak tidak berhenti setelah ibu
melahirkan. Ibu akan hidup dengan HIV ditubuhnya. Ia membutuhkan
dukungan psikologis, sosial dan perawatan sepanjang waktu. Hal ini terutama
karena si ibu akan menghadapi masalah stigma dan diskriminasi masyarakat
terhadap ODHA. Faktor kerahasiaan status HIV ibu dan bayi sangat penting
dijaga. Dukungan juga harus diberikan kepada anak dan keluarganya. Dengan
dukungan psikososial yang baik, ibu dengan HIV akan bersikap optimis dan
bersemangat mengisi kehidupannya. Diharapkan ia akan bertindak bijak dan
positif untuk senantiasa menjaga kesehatan diri dan anaknya, serta berperilaku
sehat agar tidak terjadi penularan HIV dari dirinya ke orang lain.
g. Dengan pemberian obat-obat ARV, maka daya tahan tubuh anak dapat
meningkat dan mereka dapat tumbuh dan berkembang seperti anak normal
lainnya

E. Asuhan Pasien Dewasa Dengan HIV/AIDS


1. Kegiatan layanan HIV di Fasilitas Layanan Kesehatan
Layanan terkait HIV meliputi upaya dalam menemukan pasien HIV secara dini
dengan melakukan tes dan konseling HIV pada pasien yang datang ke fasyankes,

15
perawatan kronis bagi Odha dan dukungan lain dengan sistem rujukan ke berbagai
fasilitas layanan lain yang dibutuhkan Odha. Layanan perlu dilakukan secara
terintegrasi, paripurna, dan berkesinambungan. Infeksi HIV merupakan infeksi kronis
dengan berbagai macam infeksi oportunistik yang memiliki dampak sosial terkait
stigma dan diskriminasi serta melibatkan berbagai unsur dengan pendekatan tim.
Sesuai dengan unsur tersebut maka perlu terus diupayakan untuk meningkatkan akses
pada perangkat pemantau kemajuan terapi, seperti pemeriksaan CD4 dan tes viral
load. Komponen layanan tersebut harus disesuaikan dengan ketersediaan sumber
daya setempat. Semakin dini Odha terjangkau di layanan kesehatan untuk akses ARV,
maka semakin kurang risiko untuk mendapatkan penyakit infeksi oportunistik
maupun menularkan infeksi HIV.

2. Konseling dan Tes HIV


Terdapat dua macam pendekatan untuk tes HIV
a. Konseling dan tes HIV sukarela (KTS-VCT = Voluntary Counseling & Testing)
b. Tes HIV dan konseling atas inisiatif petugas kesehatan (KTIPPITC = Provider-
Initiated Testing and Counseling)
KTIP merupakan kebijakan pemerintah untuk dilaksanakan di layanan kesehatan
yang berarti semua petugas kesehatan harus menganjurkan tes HIV setidaknya pada
ibu hamil, pasien TB, pasien yang menunjukkan gejala dan tanda klinis diduga
terinfeksi HIV (lihat Tabel 1), pasien dari kelompok berisiko (penasun, PSK-pekerja
seks komersial, LSL lelaki seks dengan lelaki), pasien IMS dan seluruh pasangan
seksualnya. Kegiatan memberikan anjuran dan pemeriksaan tes HIV perlu
disesuaikan dengan prinsip bahwa pasien sudah mendapatkan informasi yang cukup
dan menyetujui untuk tes HIV dan semua pihak menjaga kerahasiaan (prinsip 3C
counseling, consent, confidentiality).
Tabel Gejala dan Tanda Klinis yang Patut Diduga Infeksi HIV

Keadaan Umum

16
Kehilangan berat badan >10% dari berat badan dasar

Demam (terus menerus atau intermiten, temperatur oral >37,5oC) yang lebih dari
satu bulan
Diare (terus menerus atau intermiten) yang lebih dari satu bulan

Limfadenopati meluas

Kulit
PPE* dan kulit kering yang luas* merupakan dugaan kuat infeksi HIV. Beberapa
kelainan seperti kutil genital (genital warts), folikulitis dan psoriasis sering terjadi
pada ODHA tapi tidak selalu terkait dengan HIV

Infeksi
Infeksi jamur Kandidiasis oral*

Dermatitis seboroik*

Kandidiasis vagina berulang

Infeksi viral Herpes zoster (berulang atau melibatkan lebih dari satu
dermatom)*
Herpes genital (berulang)

Moluskum kontagiosum

Kondiloma
Gangguan pernafasan Batuk lebih dari satu bulan

Sesak nafas

Tuberkulosis

Pneumonia berulang

17
Gejala neurologis Nyeri kepala yang semakin parah (terus menerus dan
tidak jelas penyebabnya)
Kejang demam

Menurunnya fungsi kognitif

* Keadaan tersebut merupakan dugaan kuat terhadap infeksi HIV


Sumber : WHO SEARO 2007.

3. Pemeriksaan Laboratorium Untuk Tes HIV


Prosedur pemeriksaan laboratorium untuk HIV sesuai dengan panduan nasional
yang berlaku pada saat ini, yaitu dengan menggunakan strategi 3 dan selalu didahului
dengan konseling pra tes atau informasi singkat. Ketiga tes tersebut dapat
menggunakan reagen tes cepat atau dengan ELISA. Untuk pemeriksaan pertama (A1)
harus digunakan tes dengan sensitifitas yang tinggi (>99%), sedang untuk
pemeriksaan selanjutnya (A2 dan A3) menggunakan tes dengan spesifisitas tinggi
(>99%).
Antibodi biasanya baru dapat terdeteksi dalam waktu 2 minggu hingga 3 bulan
setelah terinfeksi HIV yang disebut masa jendela. Bila tes HIV yang dilakukan dalam
masa jendela menunjukkan hasil negatif, maka perlu dilakukan tes ulang, terutama
bila masih terdapat perilaku yang berisiko.

4. Diagnosis

Diagnosis dini untuk menemukan infeksi HIV dewasa ini diperlukan mengingat
kemajuan-kemajuan yang diperoleh dalam hal pathogenesis dan perjalanan penyakit
dan juga perkembangan pengobatan.
Keuntungan menemukan diagnosis dini ialah:
a. Intervensi pengobatan fase infeksi asimtomatik dapat diperpanjang
b. Menghambat perjalanan penyakit ke arah AIDS
c. Pencegahan infeksi oportunistik, Konseling dan pendidikan untuk kesehatan
umum
d. Penyembuhan (bila mungkin) hanya dapat terjadi bila pengobatan pada fase dini.
Diagnosis dini ditegakkan melalui pemeriksaan laboratorium dengan petunjuk dari

18
gejala-gejala klinis atau dari adanya perilaku risiko tinggi individu tertentu. Diagnosis
laboratorium dapat dilakukan dengan 2 metode:
a. Langsung: yaitu isolasi virus dari sampel, umumnya dilakukan dengan
menggunakan mikroskop elektron dan deteksi antigen virus. Salah satu cara
deteksi antigen virus yang makin populer belakangan ini ialah polymerase chain
reaction (PCR)
b. Tidak langsung: dengan melihat respon zat anti spesifik misalnya dengan
ELISA, Western Blot immunofluorescent assay (IFA), atau
radioimmunoprecipitation assay (RIPA).

AIDS merupakan stadium akhir infeksi HIV, penderita dinyatakan sebagai AIDS
bila dalam perkembangan infeksi HIV selanjutnya menunjukkan infeksi-infeksi dan
kanker oportunistik yang mengancam jiwa penderita, selain infeksi dan kanker dalam
penetapan CDC 1993, juga termasuk ensefalopati, sindrom kelelahan yang berkaitan
dengan AIDS dan hitungan CD4 <200/ml. CDC menetapkan kondisi dimana infeksi
HIV sudah dinyatakan sebagai AIDS.
5. Pemeriksaan Dan Tatalaksana Setelah Diagnosis HIV Ditegakkan
Setelah dinyatakan terinfeksi HIV maka pasien perlu dirujuk ke layanan PDP
untuk menjalankan serangkaian layanan yang meliputi penilaian stadium klinis,
penilaian imunologis dan penilaian virologi. Hal tersebut dilakukan untuk: 1)
menentukan apakah pasien sudah memenuhi syarat untuk terapi antiretroviral; 2)
menilai status supresi imun pasien; 3) menentukan infeksi oportunistik yang pernah
dan sedang terjadi; dan 4) menentukan paduan obat ARV yang sesuai.
2) Penilaian Stadium Klinis, Stadium klinis harus dinilai pada saat kunjungan awal
dan setiap kali kunjungan untuk penentuan terapi ARV dengan lebih tepat
waktu.
3) Penilaian Imunologi (Pemeriksaan jumlah CD4), Jumlah CD4 adalah cara untuk
menilai status imunitas ODHA. Pemeriksaan CD4 melengkapi pemeriksaan
klinis untuk menentukan pasien yang memerlukan pengobatan profilaksis IO
3
dan terapi ARV. Rata rata penurunan CD4 adalah sekitar 70-100 sel/mm /tahun,

19
3
dengan peningkatan setelah pemberian ARV antara 50 100 sel/mm /tahun.
Jumlah limfosit total (TLC) tidak dapat menggantikan pemeriksaan CD4.
4) Pemeriksaan laboratorium sebelum memulai terapi. Pemeriksaan CD4 dan viral
load juga bukan kebutuhan mutlak dalam pemantauan pasien yang mendapat
terapi ARV, namun pemantauan laboratorium atas indikasi gejala yang ada
sangat dianjurkan untuk memantau keamanan dan toksisitas pada ODHA yang
menerima terapi ARV. Hanya apabila sumberdaya memungkinkan maka
dianjurkan melakukan pemeriksaan viral load pada pasien tertentu untuk
mengkonfirmasi adanya gagal terapi menurut kriteria klinis dan imunologis.
5) Persyaratan lain sebelum memulai terapi ARV, Sebelum mendapat terapi ARV
pasien harus dipersiapkan secara matang dengan konseling kepatuhan karena
terapi ARV akan berlangsung seumur hidupnya. Untuk ODHA yang akan
3
memulai terapi ARV dalam keadaan jumlah CD4 di bawah 200 sel/mm maka
dianjurkan untuk memberikan Kotrimoksasol (1x960mg sebagai pencegahan
IO) 2 minggu sebelum terapi ARV
6. Tatalaksana Pemberian ARV
a. Saat Memulai Terapi ARV, Untuk memulai terapi antiretroviral perlu dilakukan
pemeriksaan jumlah CD4 (bila tersedia) dan penentuan stadium klinis infeksi
HIV-nya. Hal tersebut adalah untuk menentukan apakah penderita sudah
memenuhi syarat terapi antiretroviral atau belum. Berikut ini adalah
rekomendasi cara memulai terapi ARV pada ODHA dewasa.
b. Tidak tersedia pemeriksaan CD4, Dalam hal tidak tersedia pemeriksaan CD4,
maka penentuan mulai terapi ARV adalah didasarkan pada penilaian klinis.
c. Tersedia pemeriksaan CD4 Rekomendasi :
1) Mulai terapi ARV pada semua pasien dengan jumlah CD4 <350 sel/mm3
tanpa memandang stadium klinisnya.
2) Terapi ARV dianjurkan pada semua pasien dengan TB aktif, ibu hamil dan
koinfeksi Hepatitis B tanpa memandang jumlah CD4.
7. Memulai Terapi ARV pada Keadaan Infeksi Oportunistik (IO) yang Aktif
Infeksi oportunistik dan penyakit terkait HIV lainnya yang perlu pengobatan atau
diredakan sebelum terapi ARV dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.

20
Jenis Infeksi Opportunistik Rekomendasi 8.
Progresif Multifocal ARV diberikan langsung setelah P
Leukoencephalopathy, Sarkoma diagnosis infeksi ditegakkan
Kaposi, Mikrosporidiosis, CMV,
Kriptosporidiosis

ARV diberikan setidaknya 2 minggu


Tuberkulosis, PCP, Kriptokokosis, setelah pasien mendapatkan
MAC pengobatan infeksi opportunistik

aduan ARV Lini Pertama yang Dianjurkan


Pemerintah menetapkan paduan yang digunakan dalam pengobatan
ARV berdasarkan pada 5 aspek yaitu:
a. Efektivitas
b. Efek samping / toksisitas
c. Interaksi obat
d. Kepatuhan
e. Harga obat
Prinsip dalam pemberian ARV adalah
a. Paduan obat ARV harus menggunakan 3 jenis obat yang terserap dan berada
dalam dosis terapeutik. Prinsip tersebut untuk menjamin efektivitas penggunaan
obat.
b. Membantu pasien agar patuh minum obat antara lain dengan mendekatkan akses
pelayanan ARV.
c. Menjaga kesinambungan ketersediaan obat ARV dengan menerapkan
manajemen logistik yang baik.

F. Melakukan Promosi dan Pencegahan HIV/AIDS


Penyebaran HIV/AIDS dipengaruhi oleh perilaku manusia sehingga upaya
penyebarannya perlu memperhatikan faktor perilaku. Upaya pencegahan pada
masyarakat luas dilakukan dengan melalui peningkatan pengetahuan dan
keterampilan tentang cara penularan, pencegahan dan akibat yang ditimbulkannya.
Upaya pencegahan pada populasi berisiko tinggi seperti Penjaja Seks (PS) dan
pelanggannya, ODHA dan pasangannya, penyalahguna NAPZA, dan petugas yang

21
karena pekerjaannya berisiko terhadap HIV/AIDS melalui pencegahan yang efektif
seperti penggunaan kondom, penerapan pengurangan dampak buruk (harm
reduction), penerapan kewaspadaan umum (universal precaution) dan sebagainya
1. Kelompok sasaran
a. Kelompok Rentan. Kelompok rentan adalah kelompok masyarakat yang
karena lingkup pekerjaan, lingkungan, rendahnya ketahanan keluarga dan
rendahnya kesejahteraan keluarga, status kesehatan, sehingga mudah tertular
HIV.
b. Kelompok Berisiko Tertular. Kelompok berisiko tertular adalah kelompok
masyarakat yang berprilaku risiko tinggi seperti penjaja seks dan
pelanggannya, penyalahguna NAPZA suntik, dan narapidana.
c. Kelompok Tertular. Kelompok tertular adalah kelompok masyarakat yang
sudah terinfeksi HIV (ODHA) yang memerlukan penanganan khusus untuk
mencegah kemungkinan penularan kepada orang lain.

Tujuan program pencegahan HIV dan AIDS adalah agar setiap orang dapat
melindungi dirinya tidak tertular HIV dan tidak menularkannya kepada orang lain.
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka kegiatan yang dilakukan adalah :
a. Meningkatkan Komunikasi, Informasi dan Edukasi

b. Menurunkan Kerentanan

c. Meningkatkan Penggunaan Kondom

d. Meningkatkan Penyediaan Darah yang Aman Untuk Transfusi

e. Meningkatkan Upaya Penurunan Prevalensi Infeksi Menular Seksual

f. Meningkatkan Upaya Pencegahan Penularan Dari Ibu dengan HIV Kepada


Bayinya

g. Meningkatkan Penerapan Kewaspadaan Universal

h. Meningkatkan Upaya Pengurangan Penularan HIV Pada Penyalahguna


NAPZA Suntik

22
2. Pencegahan dan Promosi Pada HIV dan AIDS
Penanggulangan HIV/AIDS harus dilakukan secara komprehensif dan
berkesinambungan. Kegiatan penanggulangan HIV/AIDS terdiri atas promosi
kesehatan, pencegahan, diagnosis, pengobatan dan rehabilitasi terhadap individu,
keluarga dan masyarakat. Strategi bina suasana sebagai upaya menciptakan opini dan
atau mengkondisikan lingkungan sosial, baik fisik maupun non fisik agar mampu
mendorong individu, keluarga dan kelompok untuk mau melakukan perilaku
pencegahan dan berperan serta dalam pengendalian HIV dan AIDS. Kegiatan Bina
Suasana antara lain meliputi:
a. Kampanye Media Massa. Strategi ini dengan menggunakan media massa
sebagai penyampaian pesan KIE HIV dan AIDS. Media yang bisa digunakan
adalah media yang diterbitkan secara luas (TV, Koran, Majalah, Radio) dan
ditargetkan untuk populasi kunci seperti penduduk kelompok umur 15-24 tahun.
b. Kampanye Media yang Terfokus. Strategi ini digunakan untuk populasi tertentu
yang berada di wilayah tertentu dengan jenis media tertentu/terfokus. Media
yang bisa digunakan adalah website informasi kesehatan dan meida jejaring
sosial seperti Facebook, Twitter, SMS, WhatsApp, Hotline, Gateway.
c. Pengembangan Kapasitas. Ditujukan bagi staf pelaksana program HIV dan
AIDS serta pelaksana promosi kesehatan di tingkat kabupaten/kota sampai
tingkat lapangan sebagai ujung tombak pelaksanaan program. Pelaksanaan
strategi ini akan menggunakan cara: orientasi, pelatihan, magang, diskusi,
seminar, lokakarya, dll.
d. Kegiatan promosi kesehatan dalam penanggulangan Hiv dan AIDS
diselenggarakan oleh pemerintah baik pemerintah pusat, pemerintah provinsi
dan pemerintah kabupaten/kota dan masyarakat. Prmosi kesehatan tersebut
meliputi:
1) Iklan layanan masyarakat
2) Kampanye penggunaan kondom pada setiap hubungan seksual berisiko
penularan penyakit
3) Promosi kesehatan bagi remaja dan dewasa muda

23
4) Peningkatkan kapasitas dalam promosi pencegahan penyalahgunaan NAPZA
dan penularan HIV kepada tenaga kesehatan, tenaga non kesehatan yang
terlatih
5) Program promosi kesehatan lainnya

24

Anda mungkin juga menyukai