PENDAHULUAN
Pterigium pertama kali ditemukan oleh Susruta (India) dokter ahli bedah mata
pertama di dunia 1000 tahun sebelum masehi dan dilaporkan dua kali lebih banyak terjadi
pada pria dibanding wanita. Sedangkan menurut usia, pterigium muncul pada usia 20 tahun.
Prevalensi tertinggi pada pasien di atas 40 tahun, di mana pasien usia 20-40 tahun dilaporkan
merupakan insiden tertinggi terjadinya pterigium. Hingga saat ini etiologi dari penyakit ini
masih belum jelas, namun diperkirakan pterigium disebabkan oleh karena seringnya terpajan
sinar matahari dan radiasi ultraviolet serta iritasi dari debu, pasir, area dengan angin kencang.
UV-B yang bersifat mutagen terhadap gen P53 yang berfungsi sebagai tumor suppressor
gene pada stem sel di basal limbus.1,2,3
Pterigium dapat bervariasi bentuknya dari yang kecil, lesi atrofi sampai lesi
fibrovaskular besar yang tumbuh agresif dan cepat yang dapat merusak topografi kornea, dan
yang selanjutnya, mengaburkan bagian tengah optik kornea. Bentuknya menyerupai daging
berbentuk segitiga, dan umumnya bilateral di sisi nasal. Gejala yang dialami pasien seperti
merasakan sensasi benda asing, nyeri, lakrimasi dan penglihatan kabur. Jika pterigium
membesar dan meluas sampai ke daerah pupil, lesi harus diangkat secara bedah bersama
sebagian kecil kornea superfisial di luar daerah perluasannya. Kombinasi autograft
konjungtiva dan eksisi lesi terbukti mengurangi resiko kekambuhan.3-6
BAB II
LAPORAN KASUS
A. Identifikasi Pasien
Nama : Ny. L
Umur : 37 Tahun
Pekerjaan : Wiraswasta
Rm : 47.02.15
B. Anamnesis
Keluhan Utama : terdapat selaput putih pada mata sebelah kiri
Anamnesis Terpimpin : Pasien datang dengan keluhan terdapat selaput putih pada
mata sebelah kiri. Hal tersebut sudah dirasakan sejak kurang lebih 10 tahun yang lalu.
Pada saat itu pasien merasa seperti ada sesuatu yang menusuk pada matanya. Selaput
tersebut dirasakan semakin lama semakin membesar. perasaan mengganjal (+),
penglihatan kabur (-), mata berair (-), nyeri (-), silau (-). Riwayat memakai kacamata(-).
Riwayat Pengobatan :
Pasien pernah berobat ke dokter umum beberapa tahun yang lalu tetapi tidak ada
perubahan.
F. Visus
VOD : 20/20
VOS : 20/25
I. Diagnosis Kerja
OS pteregium stadium 2
J. Diagnosis Banding
- Pseudopterigium
- Pinguekula
K. Penatalaksanaan
- Tindakan yang dianjurkan yaitu pembedahan (eksisi pteregium)
L. Prognosis
Quo Ad vitam : bonam
Quo ad sanationam : bonam
Quo ad kosmeticum : bonam
M. Resume
Pasien datang dengan keluhan terdapat selaput putih pada mata sebelah kiri. Hal tersebut
sudah dirasakan sejak kurang lebih 10tahun yang lalu. Pada saat itu pasien merasa seperti
ada sesuatu yang menusuk pada matanya. Selaput tersebut dirasakan semakin lama
semakin membesar. perasaan mengganjal (+), penglihatan kabur (-), mata berair (-), nyeri
(-), silau (-). Riwayat memakai kacamata(-). Riwayat diabetes melitus (-), riwayat
hipertensi (-), riwayat alergi (-), riwayat trauma (-), riwayat infeksi (-).Pasien pernah
berobat ke dokter umum beberapa tahun yang lalu tetapi tidak ada perubahan. Tidak ada
riwayat penyakit yang sama pada keluarga pasien.
Pada pemeriksaan status lokalis ophtamologi di dapatkan OS pada konjungtiva
tampak selaput bentuk segitiga di daerah nasal dengan apeks belum mencapai pupil
(sudah melewati limbus) dan pemeriksaan visus VOD 20/20 dan VOS 20/25
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Secara histologis, konjungtiva terdiri dari tiga lapisan yaitu epitel, lapisan adenoid, dan
lapisan fibrosa.5,6,7
Plica semilunaris merupakan lipatan seperti bulan sabit berwarna merah muda dari
konjungtiva yang terdapat di kantus medial. Batas bebas lateralnya berbentuk cekung.
Karunkula adalah massa kecil, oval, merah muda, terletak di canthus bagian dalam. Pada
kenyataannya, massa ini merupakan potongan modifikasi kulit dan ditutupi dengan epitel
gepeng bertingkat dan berisi kelenjar keringat, kelenjar sebasea dan folikel rambut.
Arteri yang memperdarahi konjungtiva berasal dari tiga sumber yakni arkade arteri
perifer palpebra, arkade arteri marginal kelopak mata, dan arteri ciliaris anterior
(Gambar. 2). Konjungtiva palpebralis dan forniks diperdarahi oleh cabang-cabang dari
arkade arteri perifer dan marginal palpebra. Konjungtiva bulbar diperdarahi oleh dua set
pembuluh darah yaitu: arteri konjungtiva posterior yang merupakan cabang dari arteri
kelopak mata, dan arteri konjungtiva anterior yang merupakan cabang dari arteri ciliaris
anterior. Cabang terminal arteri konjungtiva posterior membentuk anastomosis dengan
arteri konjungtiva anterior dan membentuk arkade pericorneal. Vena konjungtiva
bermuara ke dalam vena pleksus kelopak mata dan beberapa mengelilingi kornea dan
bermuara ke vena ciliaris anterior. Sistem limfatik konjungtiva tersusun dalam dua
lapisan, yakni superficial dan profunda. Sistem ini dari sisi lateral bermuara ke
limfonodus preaurikuler dan sisi medial bermuara ke limfonodus submandibular. Limbus
kornea pada konjungtiva dipersarafi oleh cabang-cabang dari nervus siliaris panjang
yang mempersarafi kornea. Sisa konjungtiva dipersarafi oleh cabang dari lakrimal,
infratrochlear, supratrochlear, supraorbital dan nervus frontal.5,6,7
B. DEFINISI
Pterigium merupakan kelainan yang paling sering terjadi pada mata yang
patogenesisnya masih belum jelas.Menurut American Academy of Ophthalmology,
pterigium (berasal dari bahasa Yunani yaitu Pterygos yang artinya sayap) adalah
poliferasi jaringan subkonjungtiva berupa granulasi fibrovaskular dari (sebelah) nasal
konjungtiva bulbar yang berkembang menuju kornea hingga akhirnya menutupi
permukaan kornea.Pterigium pertama kali ditemukan oleh Susruta (India) dokter ahli
bedah mata pertama di dunia 1000 tahun sebelum masehi. Pterigium dapat bervariasi
bentuknya dari yang kecil, lesi atrofi sampai lesi fibrovaskular besar yang tumbuh agresif
dan cepat yang dapat merusak topografi kornea, dan yang selanjutnya, mengaburkan
bagian tengah optik kornea.1-4
Dulu penyakit ini dianggap sebagai suatu kondisi degeneratif, pterigium juga
menampilkan ciri-ciri seperti tumor, seperti kecenderungan untuk menginvasi jaringan
normal dan tingkat rekurensi yang tinggi setelah reseksi, dan dapat hidup berdampingan
dengan lesi premalignan sekunder.8 Banyak literatur melaporkan faktor-faktor etiologi
berikut yang mungkin menjadi penyebab terjadinya pterigium: radiasi ultraviolet (UV),
radang mata kronis, efek toksik zat kimia. Baru-baru ini, beberapa virus juga memiliki
kemungkinan sebagai salah satu faktor etiologi.Sedangkan sumber lain mengatakan
pterigium ditandai dengan proliferasi berlebihan fibrovaskular pada permukaan mata dan
diduga disebabkan oleh paparan sinar meningkat, debu, kekeringan, panas dan
angin.1,3,6,8,9
C. ETIOLOGI
Etiologi pterigium sepenuhnya belum diketahui. Tetapi penyakit ini lebih sering pada
orang tinggal di iklim panas. Oleh karena itu, anggapan yang paling mungkin adalah
pengaruh efek berkepanjangan faktor lingkungan seperti terpapar sinar matahari (sinar
ultraviolet), panas, angin tinggi dan debu. Baru-baru ini, beberapa virus juga memiliki
kemungkinan sebagai faktor etiologi.1,2,10,13
Efek merusak dari sinar UV menyebabkan penurunan sel induk limbal pada kornea,
yakni menyebabkan terjadinya insufisiensi limbal. Hal ini mengaktifkan faktor
pertumbuhan jaringan yang menginduksi angiogenesis dan proliferasi sel. 2 Radiasi cahaya
UV tipe B menjadi faktor lingkungan yang paling signifikan dalam patogenesis
pterigium. Penelitian terbaru telah melaporkan bahwa gen p53 dan human papilloma
virus dapat juga terlibat dalam patogenesis pterigium.1,2,10
Sebuah studi epidemiologis oleh Gazzard dkk melaporkan orang berkulit hitam (usia
40-84 tahun) di Barbados, yang terletak di daerah tropis 13 utara khatulistiwa, memiliki
tingkat prevalensi yang sangat tinggi (23,4%) sedangkan tingkat prevalensi orang kulit
putih di perkotaan (usia 40-101 tahun) Melbourne, Australia kurang dari (1,2%).
Prevalensi pterigium orang kulit putih lebih dari 40 tahun di pedesaan Australia (6,7%),
dan di perkotaan orang Cina Singapura yang lebih dari 40 memiliki tingkat prevalensi
(6.9%). Penelitian ini juga melaporkan orang Indonesia lebih dari 40 tahun, tingkat
prevalensinya di Sumatera (16,8%) yakni lebih tinggi daripada semua ras lainnya yang
telah dipelajari sebelumnya, kecuali dengan penduduk kulit hitam dari Barbados.11
Pterigium bisa menyebabkan perubahan yang sangat berarti dalam fungsi visual
atau penglihatan pada kasus yang kronis. Mata bisa menjadi inflamasi sehingga
menyebabkan iritasi okuler dan mata merah.1,7,12
1. Jenis Kelamin
Pterigium dilaporkan bisa terjadi pada golongan laki-laki dua kali lebih
banyak dibandingkan wanita.
2. Umur
Jarang sekali orang menderita pterigium umurnya di bawah 20 tahun. Untuk
pasien umurnya diatas 40 tahun mempunyai prevalensi yang tertinggi,
sedangkan pasien yang berumur 20-40 tahun dilaporkan mempunyai insidensi
pterigium yang paling tinggi.
E. PATOFISIOLOGI
Insidens pterigium meningkat pada orang dan populasi yang terus menerus terpapar
radiasi matahari yang berlebihan. Dalam hal ini sinar UV memainkan bagian yang
penting dalam patogenesis penyakit ini. Sinar UV memulai rantai peristiwa terjadinya
pterigium pada level intraselular dan ekstraselular yang melibatkan DNA, RNA, dan
komposisi matriks ekstraselular.14
Konjungtiva bulbi selalu berhubungan dengan dunia luar. Kontak dengan ultraviolet,
debu, kekeringan mengakibatkan terjadinya penebalan dan pertumbuhan konjungtiva
bulbi yang menjalar ke kornea. Pterigium ini biasanya bilateral, karena kedua mata
mempunyai kemungkinan yang sama untuk kontak dengan sinar ultraviolet, debu dan
kekeringan. Semua kotoran pada konjungtiva akan menuju ke bagian nasal, kemudian
melalui pungtum lakrimalis dialirkan ke meatus nasi inferior.1-9,14
Terdapat banyak perdebatan mengenai etiologi atau penyebab pterigium. Disebutkan
bahwa radiasi sinar ultra violet B sebagai salah satu penyebabnya. Sinar UV B
Merupakan sinar yang dapat menyebabkan mutasi pada gen suppressor tumor p53 pada
sel-sel benih embrional di basal limbus kornea. Tanpa adanya apoptosis (program
kematian sel), perubahan pertumbuhan faktor Beta akan menjadi berlebihan dan
menyebabkan pengaturan berlebihan pula pada sistem kolagenase, migrasi seluler dan
angiotenesis, perubahan patologis termaksud juga degenerasi elastoid kolagen dan
timbulnya jaringan fibrovesikuler, seringkali disertai dengan inflamasi. Lapisan epitel
dapat saja normal, menebal atau menipis dan biasanya menunjukkan dysplasia.1,5,8,15
Daerah nasal konjungtiva juga relatif mendapat sinar ultraviolet yang lebih
banyak dibandingkan dengan bagian konjungtiva yang lain, karena di samping kontak
langsung, bagian nasal konjungtiva juga mendapat sinar ultra violet secara tidak langsung
akibat pantulan dari hidung, karena itu pada bagian nasal konjungtiva lebih sering
didapatkan pterigium dibandingkan dengan bagian temporal.1,5,13,
Beberapa studi meyebutkan bahwa alasan mengapa pterigium seringkali muncul di
daerah nasal berasal dari peran patogenetik cahaya matahari. Cahaya matahari diteruskan
ke dalam limbus sklerokorneal setelah dipantulkan oleh dinding nasal lateral, di mana
konjungtiva bulbar di daerah nasal inilah yang lebih sering terpapar sinar matahari.
Mengingat juga, bulu mata di dekat nasal jauh lebih pendek dibanding bulu mata di
daerah temporal.1,15
Efek dari sinar UV dikatakan mampu mengaktifkan radikal bebas, termasuk
laktoferin. Stress oksidatif yang timbul berpotensi untuk mengganggu regulasi p53.
Akibatnya juga, gangguan tersebut dapat berefek pada ekspresi beberapa jenis sitokin
dalam sel, seperti reseptor faktor pertumbuhan. Adanya perubahan ekspresi sel-sel sitokin
ini telah dievaluasi oleh beberapa studi menggunakan berbagai macam teknik
pemeriksaan imunihistokimia dan ELISA. Sinar UV dapat menginduksi sitokin seperti
interleukin-1 (IL-1) bersama dengan tumor necrosis factor (TNF-) membantu keratosit
korneal beradaptasi memperbaiki fenotip. IL-6 berfungsi dalam migrasi sel epitel melalui
reseptor integrin dan IL-8 melakukan aktivitas mitogenik dan angiogenetik. Faktor
pertumbuhan yang berperan dalam pterigium antara lain ialah epidermal growth factor
(EGF) dan EGF heparin-binding (HB-EGF), vascular endothelial growth factor (VEGF),
basic fibroblast growth factor (bFGF), platelet-derived growth factor (PDGF),
transforming growth factor- (TGF-) and insulin-like growth factor binding proteins
(IGF-BP).13
Peran VEGF sangat penting dalam proses angiogenesis. Diproduksi oleh fibroblast
korneal saat terjadi inflamasi atau adanya stimulus yang dianggap berbahaya bagi mata,
termasuk UVR. VEGF telah dideteksi bertanggung jawab terhadap pertumbuhan terus-
menerus epitel pterigium, dibandingkan dengan konjungtiva normal melalui studi
imunohistokimia. Hasilnya dapat dilihat menggunakan RT-PCR assay.13,15
Patofisiologi pterigium ditandai dengan degenerasi elastotik kolagen dan proliferasi
fibrovaskular, dengan permukaan yang menutupi epithelium. Histopatologi kolagen
abnormal pada daerah degenerasi elastotik menunjukkan basofilia bila dicat dengan
hematoksin dan eosin. Jaringan ini juga bisa dicat dengan cat untuk jaringan elastik akan
tetapi bukan jaringan elastik yang sebenarnya, oleh karena jaringan ini tidak bisa
dihancurkan oleh elastase.13,15
F. KLASIFIKASI
Pterigium dapat dibagi ke dalam beberapa klasifikasi berdasarkan tipe, stadium,
progresifitasnya dan berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera, yaitu: 15
1. Tipe I
Pterigium kecil, dimana lesi hanya terbatas pada limbus atau menginvasi kornea pada
tepinya saja. Lesi meluas <2 mm dari kornea. Stockers line atau deposit besi dapat
dijumpai pada epitel kornea dan kepala pterigium. Lesi sering asimptomatis, meskipun
sering mengalami inflamasi ringan. Pasien yang memakai lensa kontak dapat mengalami
keluhan lebih cepat.
2. Tipe II
disebut juga pterigium tipe primer advanced atau pterigium rekuren tanpa keterlibatan
zona optic. Pada tubuh pterigium sering nampak kapiler-kapiler yang membesar. Lesi
menutupi kornea sampai 4 mm, dapat primer atau rekuren setelah operasi, berpengaruh
dengan tear film dan menimbulkan astigmat.
3. Tipe III
pterigium primer atau rekuren dangan keterlibatan zona optic. Merupakan bentuk
pterigium yang paling berat. Keterlibatan zona optic membedakan tipe ini dengan tipe
yang lain. Lesi mengenai kornea > 4mm dan mengganggu aksis visual. Lesi yang luas
khususnya pada kasus rekuren dapat berhubungan dengan fibrosis subkonjungtiva yang
meluas ke forniks dan biasanya menyebabkan gangguan pergerakan bola mata serta
kebutaan.
G. DIAGNOSA
Anamnesis
Pasien dengan pterigium datang dengan berbagai keluhan, mulai dari tanpa gejala
sampai dengan gejala kemerahan yang signifikan, pembengkakan, gatal, iritasi, dan
penglihatan kabur berhubungan dengan elevasi lesi dari konjungtiva dan dekat kornea
pada satu atau kedua mata.1,3,15
Pemeriksaan fisik
Suatu pterigium dapat tampak sebagai salah satu dari berbagai perubahan fibrovaskular
pada permukaan konjungtiva dan kornea. Pterigium paling sering ditemukan pada
konjungtiva nasal dan berekstensi ke kornea nasal, tetapi dapat pula ditemukan pterigium
pada daerah temporal, serta di lokasi lainnya.1,3,15
Gambaran Klinis
Pterigium lebih sering terjadi pada pria tua yang melakukan pekerjaan di luar rumah.
Pterigium mungkin terjadi unilateral atau bilateral. Penyakit ini muncul sebagai lipatan
segitiga konjungtiva yang mencapai kornea, biasanya di sisi nasal. tetapi juga dapat
terjadi di sisi temporal. Deposisi besi kadang-kadang terlihat pada epitel kornea anterior
disebut Stockers line. Pterigium terdiri dari tiga bagian yaitu cup, head dan body.
Pterigium adalah kondisi asimtomatik pada tahap awal, kecuali pada intoleransi
kosmetik. Pterigium hanya akan bergejala ketika bagian kepalanya menginvasi bagian
tengah kornea dan aksis visual. Kekuatan tarikan yang terjadi pada kornea dapat
menyebabkan astigmatisme kornea. Pterigium lanjut yang menyebabkan skar pada
jaringan konjungtiva juga dapat secara perlahan-lahan mengganggu motilitas okular,
pasien kemudian akan mengalami penglihatan ganda atau diplopia.15,16
(A) Cap: Biasanya datar, terdiri atas zona abu-abu pada kornea yang kebanyakan terdiri
atas fibroblast, menginvasi dan menghancurkan lapisan bowman pada kornea. (B)
Head: Setelah cap, lapisan vaskuler tipis yang menginvasi kornea. (C) Badan: Bagian
yang mobile dan lembut, area yang vesikuler pada konjunctiva bulbi, area paling ujung
H. PENATALAKSANAAN
Pasien dengan pterigium dapat hanya diobervasi kecuali lesi menunjukkan pertumbuhan
menuju pusat kornea atau pasien menunjukkan gejala kemerahan yang signifikan,
ketidaknyamanan, atau perubahan dalam fungsi visual.13,15
Terapi Konservatif
Pengobatan konservatif pada pterigium terdiri dari topical lubricating drops atau
air mata buatan (misalnya, refresh tears, gen teal drops), serta sesekali penggunaan
jangka pendek tetes mata kortikosteroid topikal anti-inflamasi (misalnya, Pred Forte 1%)
bila gejala lebih intens. Selain itu, penggunaan kacamata anti-UV disarankan untuk
mengurangi paparan radiasi ultraviolet lebih lanjut.13,15
Terapi pembedahan
1. Mengganggu visus
2. Mengganggu pergerakan bola mata
3. Berkembang progresif
4. Mendahului suatu operasi intraokuler
5. Kosmetik
2. Simple closure: menyatukan langsung sisi konjungtiva yang terbuka, dimana teknik
ini dilakukan bila luka pada konjungtiva relatif kecil.
3. Sliding flap : dibuat insisi berbentuk huruf L disekitar luka bekas eksisi untuk
memungkinkan dilakukannya penempatan flap.
4. Rotational flap: dibuat insisi berbentuk huruf U disekitar luka bekas eksisi untuk
membentuk seperti lidah pada konjungtiva yang kemudian diletakkan pada bekas
eksisi.
5. Conjungtival graft: suatu free graft yang biasanya diambil dari konjungtiva bulbi
bagian superior, dieksisi sesuai dengan ukuran luka kemudian dipindahkan dan dijahit
atau difiksasi dengan bahan perekat jaringan. (misalnya Tisseel VH, Baxter
Healthcare, Dearfield, Illionis).
Rekurensi pada pterigium setelah dilakukan bedah eksisi menjadi masalah yakni
sekitar 30-50%. Eksisi Pterigium sering dikombinasikan dengan berbagai langkah-
langkah tambahan untuk mencegah rekurensi penyakit. Hal ini mungkin secara luas
diklasifikasikan sebagai metode medis adjuvan atau tambahan, beta-iradiasi, dan metode
pembedahan.10,13,16
Terapi adjuvant
Intraoperatif dan pasca operasi mitomycin C tetap paling sering digunakan sebagai
terapi tambahan medis untuk pencegahan rekurensi pterigium. Beberapa alternatif medis
lainnya, seperti 5-fluorouracil dan daunorubisin, juga telah dicoba.
I. KOMPLIKASI
Pterigium dapat menyebabkan komplikasi seperti scar (jaringan parut) pada
konjungtiva dan kornea, distorsi dan penglihatan sentral berkurang, scar pada rektus
medial dapat menyebabkan diplopia.11,12
Komplikasi post eksisi pterigium, yaitu:
Infeksi, reaksi benang, diplopia, scar kornea, conjungtiva graft longgar, dan
komplikasi yang jarang termasuk perforasi bola mata, vitreous hemorrhage
atau retinal detachment
Penggunaan mytomicin C post dapat menyebabkan ectasia atau melting
pada sklera dan kornea
Komplikasi yang terbanyak pada eksisi pterigium adalah rekuren pterigium
post operasi. Simple eksisi mempunyai tingkat rekuren yang tinggi kira-
kira 50-80 %. Dapat dikurangi dengan teknik conjungtiva autograft atau
amnion graft.
Komplikasi yang jarang adalah malignant degenerasi pada jaringan epitel di atas
pterigium.11
J. PROGNOSIS
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik. Kebanyakan pasien
dapat beraktivitas lagi setelah 48 jam post operasi. Pasien dengan pterigium rekuren
dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan konjungtiva auto graft atau transplantasi
membran amnion.12
DAFTAR PUSTAKA