Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

Berdasarkan American Academy of Ophthalmology, (Pterygium berasal dari bahasa


Yunani yang berarti sayap kecil) adalah berbentuk sayap, vaskuler, daging tumbuh yang
berasal dari konjungtiva dan dapat bertumbuh hingga limbus. Pterygium umum terjadi di
masyarakat dan menimbulkan kecacatan, dengan gangguan pada penglihatan dan mata itu
sendiri. Karena pada awalnya pterygium sering tidak bergejala, telah dilakukan penelitian
mengenai sejarah dan pengobatan, dan kebanyakan ahli mata menganggap ini adalah masalah
sepele, hingga lesi mengganggu axis visual. 1

Pterigium pertama kali ditemukan oleh Susruta (India) dokter ahli bedah mata
pertama di dunia 1000 tahun sebelum masehi dan dilaporkan dua kali lebih banyak terjadi
pada pria dibanding wanita. Sedangkan menurut usia, pterigium muncul pada usia 20 tahun.
Prevalensi tertinggi pada pasien di atas 40 tahun, di mana pasien usia 20-40 tahun dilaporkan
merupakan insiden tertinggi terjadinya pterigium. Hingga saat ini etiologi dari penyakit ini
masih belum jelas, namun diperkirakan pterigium disebabkan oleh karena seringnya terpajan
sinar matahari dan radiasi ultraviolet serta iritasi dari debu, pasir, area dengan angin kencang.
UV-B yang bersifat mutagen terhadap gen P53 yang berfungsi sebagai tumor suppressor
gene pada stem sel di basal limbus.1,2,3

Pterigium dapat bervariasi bentuknya dari yang kecil, lesi atrofi sampai lesi
fibrovaskular besar yang tumbuh agresif dan cepat yang dapat merusak topografi kornea, dan
yang selanjutnya, mengaburkan bagian tengah optik kornea. Bentuknya menyerupai daging
berbentuk segitiga, dan umumnya bilateral di sisi nasal. Gejala yang dialami pasien seperti
merasakan sensasi benda asing, nyeri, lakrimasi dan penglihatan kabur. Jika pterigium
membesar dan meluas sampai ke daerah pupil, lesi harus diangkat secara bedah bersama
sebagian kecil kornea superfisial di luar daerah perluasannya. Kombinasi autograft
konjungtiva dan eksisi lesi terbukti mengurangi resiko kekambuhan.3-6
BAB II

LAPORAN KASUS

A. Identifikasi Pasien
Nama : Ny. L

Umur : 37 Tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Bonto Marinra

Pekerjaan : Wiraswasta

Rm : 47.02.15

Tanggal masuk rumah sakit : 02 Mei 2017

B. Anamnesis
Keluhan Utama : terdapat selaput putih pada mata sebelah kiri

Anamnesis Terpimpin : Pasien datang dengan keluhan terdapat selaput putih pada
mata sebelah kiri. Hal tersebut sudah dirasakan sejak kurang lebih 10 tahun yang lalu.
Pada saat itu pasien merasa seperti ada sesuatu yang menusuk pada matanya. Selaput
tersebut dirasakan semakin lama semakin membesar. perasaan mengganjal (+),
penglihatan kabur (-), mata berair (-), nyeri (-), silau (-). Riwayat memakai kacamata(-).

Riwayat Penyakit Terdahulu :


Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama sebelumnya (-). Riwayat diabetes melitus
(-), riwayat hipertensi (-), riwayat alergi (-), riwayat trauma (-), riwayat infeksi (-).

Riwayat Pengobatan :
Pasien pernah berobat ke dokter umum beberapa tahun yang lalu tetapi tidak ada
perubahan.

Riwayat Penyakit Keluarga dan sosial


Tidak ada riwayat penyakit yang sama pada keluarga pasien.
C. Status General
Kepala : Bentuk bulat,simetris, rambut tidak mudah dicabut
Mata : Lihat status oftalmologis
Leher : Tidak ada pembesaran KGB dan nyeri tekan (-)
Thoraks : Simetris kiri dan kanan
Pulmo : Ronkhi -/-, Wheezing -/-
Jantung : Dalam batas normal
Abdomen : Dalam batas normal
Ekstremitas : Dalam batas normal

D. Status Lokalisasi Oftalmologis


OD OS
Palpebra Edema (-) Edema (-)
Silia Normal, sekret (-) Normal, sekret (-)
Apparatus lakrimalis lakrimasi (-) lakrimasi (-)
Konjungtiva Hiperemis (-) Hiperemis(-) tampak selaput
bentuk segitiga di daerah nasal
dengan apeks mencapai belum
mencapai pupil (sudah
melewati limbus)
Bola mata Normal Normal
Kornea Normal Terdapat jaringan
fibrovaskular pada tepi
kornea

Bilik Mata Depan Normal Normal


Iris Coklat, Kripte (+) Coklat, kripte (+)
Pupil Bulat, Sentral Bulat, Sentral
Lensa Jernih Jernih
Mekanisme Ke segala Ke segala arah
muscular arah
E. Pemeriksaan Palpasi
Palpasi OD OS
Tensi Ukuler Tn Tn
Nyeri tekan (-) (-)
Massa tumor (-) (-)
Glandula Preaurikuler Tidak ada Pembesaran Tidak ada pembesaran

F. Visus
VOD : 20/20
VOS : 20/25

G. Pemeriksaan Slit Lamp


1. SLOD : Tidak dilakukan
2. SLOS : Tidak dilakukan
H. Pemeriksaan penunjang
Tidak dilakukan

I. Diagnosis Kerja
OS pteregium stadium 2

J. Diagnosis Banding
- Pseudopterigium
- Pinguekula
K. Penatalaksanaan
- Tindakan yang dianjurkan yaitu pembedahan (eksisi pteregium)

L. Prognosis
Quo Ad vitam : bonam
Quo ad sanationam : bonam
Quo ad kosmeticum : bonam

M. Resume
Pasien datang dengan keluhan terdapat selaput putih pada mata sebelah kiri. Hal tersebut
sudah dirasakan sejak kurang lebih 10tahun yang lalu. Pada saat itu pasien merasa seperti
ada sesuatu yang menusuk pada matanya. Selaput tersebut dirasakan semakin lama
semakin membesar. perasaan mengganjal (+), penglihatan kabur (-), mata berair (-), nyeri
(-), silau (-). Riwayat memakai kacamata(-). Riwayat diabetes melitus (-), riwayat
hipertensi (-), riwayat alergi (-), riwayat trauma (-), riwayat infeksi (-).Pasien pernah
berobat ke dokter umum beberapa tahun yang lalu tetapi tidak ada perubahan. Tidak ada
riwayat penyakit yang sama pada keluarga pasien.
Pada pemeriksaan status lokalis ophtamologi di dapatkan OS pada konjungtiva
tampak selaput bentuk segitiga di daerah nasal dengan apeks belum mencapai pupil
(sudah melewati limbus) dan pemeriksaan visus VOD 20/20 dan VOS 20/25

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI DAN FISIOLOGI KONJUNGTIVA


Konjungtiva adalah membran mukosa tembus cahaya yang melapisi permukaan aspek
posterior dari kelopak mata dan anterior bola mata. Nama konjungtiva (conjoin:
bergabung) diberikan kepada membran mukosa ini karena fakta bahwa ia
menghubungkan bola mata dengan kelopak mata. Membentang dari pinggir kelopak
mata ke limbus, dan membungkus ruang kompleks yang disebut sakus konjungtiva yang
terbuka di depan fissura palpebral.5,6,7

Konjungtiva dapat dibagi menjadi 3 bagian:

Konjungtiva palpebralis. Bagian ini melapisi permukaan dalam kelopak mata


dan melekat kuat pada tarsus. Konjungtiva palpebralis terbagi 3 yakni
konjungtiva marginal, tarsal, orbital.Konjungtiva marginal membentang dari tepi
kelopak mata sekitar 2 mm pada bagian belakang kelopak sampai ke alur
dangkal, yakni sulkus subtarsalis. Bagian ini sebenarnya zona transisi antara kulit
dan konjungtiva lebih tepatnya. Konjungtiva tarsal tipis, transparan dan banyak
mengandung vaskular. Bagian ini melekat kuat pada seluruh tarsal kelopak mata
atas. Pada kelopak mata bawah, hanya melekat pada setengah bagian tarsal.
Konjungtiva orbital terletak longgar antara tarsal dan forniks.
Konjungtiva bulbaris. Melekat longgar pada sclera dan melekat lebih erat pada
limbus kornea. Di sana epitel konjungtiva bergabung dangan epitel kornea.
Bagian ini dipisahkan dari sklera anterior oleh jaringan episcleral dan kapsul
Tenon. Terdapat sebuah dataran tinggi 3-mm dari konjungtiva bulbaris sekitar
kornea disebut konjungtiva limbal.

Konjungtiva fornix, merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan
konjungtiva bulbi. Lain halnya dengan konjungtiva palpebra yang melekat erat
pada struktur sekitarnya, konjungtiva fornix ini melekat secara longgar dengan
struktur di bawahnya yaitu fasia muskulus levator palpebra superior serta
muskulus rektus. Karena perlekatannya bersifat longgar, maka konjungtiva fornix
dapat bergerak bebas bersama bola mata ketika otot-otot tersebut berkontraksi.
Gambar. Konjungtiva terdiri dari konjungtiva bulbaris, konjungtiva forniks, konjungtiva
palpebralis.

Secara histologis, konjungtiva terdiri dari tiga lapisan yaitu epitel, lapisan adenoid, dan
lapisan fibrosa.5,6,7

1. Epitel. Lapisan sel epitel di konjungtiva bervariasi pada masing-masing daerah


dan dalam bagian-bagian sebagai berikut: Konjungtiva marginal memiliki 5 lapis epitel
sel gepeng bertingkat. Konjungtiva tarsal memiliki 2 lapis epitel: lapisan superficial
terdiri dari sel-sel silinder dan lapisan dalam terdiri dari sel-sel datar. Konjungtiva
forniks dan bulbaris memiliki 3 lapis epitel: lapisan superfisial terdiri dari sel silindris,
lapisan tengah terdiri dari sel polyhedral dan lapisan dalam terdiri dari sel kubus. Limbal
konjungtiva memiliki lagi lapisan yang banyak (5 sampai 6 lapis) epitel berlapis gepeng.
2. Lapisan adenoid. Lapisan ini disebut juga lapisan limfoid dan terdiri dari
retikulum jaringan ikat halus dengan jerat di mana terdapat limfosit. Lapisan ini paling
pesat perkembangannya di forniks. Lapisan ini tidak di temukan ketika bayi lahir tapi
akan berkembang setelah 3-4 bulan awal kehidupan. Hal ini menjelaskan bahwa
peradangan konjungtiva pada bayi tidak menghasilkan reaksi folikuler.
3. Lapisan fibrosa. Lapisan ini terdiri dari serat kolagen dan serat elastis. Lapisan
ini lebih tebal dari lapisan adenoid, kecuali di daerah konjungtiva tarsal, di mana lapisan
ini sangat tipis. Lapisan ini mengandung pembuluh dan saraf dari konjungtiva. Lapisan
ini bersatu dengan mendasari kapsul Tenon di daerah konjungtiva bulbar.
Konjungtiva berisi dua jenis kelenjar, yakni kelenjar sekresi musin dan kelenjar
lakrimalis aksesoris. Kelenjar ini terdiri dari sel goblet (kelenjar uniseluler yang terletak
di dalam epitel), Crypts of Henle (terdapat di konjungtiva tarsal) dan kelenjar Manz
(ditemukan dalam konjungtiva limbal). Kelenjar-kelenjar ini mensekresi mucus yang
penting untuk membasahi kornea dan konjungtiva. Kelenjar lakrimalis aksesoris terdiri
dari: Kelenjar Krause (terdapat pada jaringan ikat subconjunctival forniks, sekitar 42
buah di atas forniks dan 8 buah di bawah forniks) dan kelenjar Wolfring (terdapat di
sepanjang batas atas tarsus superior dan sepanjang batas bawah tarsus inferior).

Plica semilunaris merupakan lipatan seperti bulan sabit berwarna merah muda dari
konjungtiva yang terdapat di kantus medial. Batas bebas lateralnya berbentuk cekung.
Karunkula adalah massa kecil, oval, merah muda, terletak di canthus bagian dalam. Pada
kenyataannya, massa ini merupakan potongan modifikasi kulit dan ditutupi dengan epitel
gepeng bertingkat dan berisi kelenjar keringat, kelenjar sebasea dan folikel rambut.

Gambar. Vaskularisasi Konjungtiva

Arteri yang memperdarahi konjungtiva berasal dari tiga sumber yakni arkade arteri
perifer palpebra, arkade arteri marginal kelopak mata, dan arteri ciliaris anterior
(Gambar. 2). Konjungtiva palpebralis dan forniks diperdarahi oleh cabang-cabang dari
arkade arteri perifer dan marginal palpebra. Konjungtiva bulbar diperdarahi oleh dua set
pembuluh darah yaitu: arteri konjungtiva posterior yang merupakan cabang dari arteri
kelopak mata, dan arteri konjungtiva anterior yang merupakan cabang dari arteri ciliaris
anterior. Cabang terminal arteri konjungtiva posterior membentuk anastomosis dengan
arteri konjungtiva anterior dan membentuk arkade pericorneal. Vena konjungtiva
bermuara ke dalam vena pleksus kelopak mata dan beberapa mengelilingi kornea dan
bermuara ke vena ciliaris anterior. Sistem limfatik konjungtiva tersusun dalam dua
lapisan, yakni superficial dan profunda. Sistem ini dari sisi lateral bermuara ke
limfonodus preaurikuler dan sisi medial bermuara ke limfonodus submandibular. Limbus
kornea pada konjungtiva dipersarafi oleh cabang-cabang dari nervus siliaris panjang
yang mempersarafi kornea. Sisa konjungtiva dipersarafi oleh cabang dari lakrimal,
infratrochlear, supratrochlear, supraorbital dan nervus frontal.5,6,7

B. DEFINISI
Pterigium merupakan kelainan yang paling sering terjadi pada mata yang
patogenesisnya masih belum jelas.Menurut American Academy of Ophthalmology,
pterigium (berasal dari bahasa Yunani yaitu Pterygos yang artinya sayap) adalah
poliferasi jaringan subkonjungtiva berupa granulasi fibrovaskular dari (sebelah) nasal
konjungtiva bulbar yang berkembang menuju kornea hingga akhirnya menutupi
permukaan kornea.Pterigium pertama kali ditemukan oleh Susruta (India) dokter ahli
bedah mata pertama di dunia 1000 tahun sebelum masehi. Pterigium dapat bervariasi
bentuknya dari yang kecil, lesi atrofi sampai lesi fibrovaskular besar yang tumbuh agresif
dan cepat yang dapat merusak topografi kornea, dan yang selanjutnya, mengaburkan
bagian tengah optik kornea.1-4
Dulu penyakit ini dianggap sebagai suatu kondisi degeneratif, pterigium juga
menampilkan ciri-ciri seperti tumor, seperti kecenderungan untuk menginvasi jaringan
normal dan tingkat rekurensi yang tinggi setelah reseksi, dan dapat hidup berdampingan
dengan lesi premalignan sekunder.8 Banyak literatur melaporkan faktor-faktor etiologi
berikut yang mungkin menjadi penyebab terjadinya pterigium: radiasi ultraviolet (UV),
radang mata kronis, efek toksik zat kimia. Baru-baru ini, beberapa virus juga memiliki
kemungkinan sebagai salah satu faktor etiologi.Sedangkan sumber lain mengatakan
pterigium ditandai dengan proliferasi berlebihan fibrovaskular pada permukaan mata dan
diduga disebabkan oleh paparan sinar meningkat, debu, kekeringan, panas dan
angin.1,3,6,8,9

C. ETIOLOGI
Etiologi pterigium sepenuhnya belum diketahui. Tetapi penyakit ini lebih sering pada
orang tinggal di iklim panas. Oleh karena itu, anggapan yang paling mungkin adalah
pengaruh efek berkepanjangan faktor lingkungan seperti terpapar sinar matahari (sinar
ultraviolet), panas, angin tinggi dan debu. Baru-baru ini, beberapa virus juga memiliki
kemungkinan sebagai faktor etiologi.1,2,10,13
Efek merusak dari sinar UV menyebabkan penurunan sel induk limbal pada kornea,
yakni menyebabkan terjadinya insufisiensi limbal. Hal ini mengaktifkan faktor
pertumbuhan jaringan yang menginduksi angiogenesis dan proliferasi sel. 2 Radiasi cahaya
UV tipe B menjadi faktor lingkungan yang paling signifikan dalam patogenesis
pterigium. Penelitian terbaru telah melaporkan bahwa gen p53 dan human papilloma
virus dapat juga terlibat dalam patogenesis pterigium.1,2,10

D. EPIDEMIOLOGI DAN INSIDENS


Pterigium merupakan kelainan mata yang umum di banyak bagian
dunia, dengan prevalensi yang dilaporkan berkisar antara 0,3% - 29%. Studi
epidemiologis menemukan adanya asosiasi terhadap paparan sinar matahari yang kronis,
dengan meningkatnya prevalensi geografis 'sabuk pterigium' dalam garis peri-
khatulistiwa 37o lintang utara dan selatan khatulistiwa. Pada populasi yang terkena,
pertumbuhan pterigium telah terlihat pada remaja muda dan banyak terjadi di masyarakat
di padang pasir. Pterigium terlihat hampir dua kali lebih sering pada laki-laki daripada
wanita.1,9,10

Sebuah studi epidemiologis oleh Gazzard dkk melaporkan orang berkulit hitam (usia
40-84 tahun) di Barbados, yang terletak di daerah tropis 13 utara khatulistiwa, memiliki
tingkat prevalensi yang sangat tinggi (23,4%) sedangkan tingkat prevalensi orang kulit
putih di perkotaan (usia 40-101 tahun) Melbourne, Australia kurang dari (1,2%).
Prevalensi pterigium orang kulit putih lebih dari 40 tahun di pedesaan Australia (6,7%),
dan di perkotaan orang Cina Singapura yang lebih dari 40 memiliki tingkat prevalensi
(6.9%). Penelitian ini juga melaporkan orang Indonesia lebih dari 40 tahun, tingkat
prevalensinya di Sumatera (16,8%) yakni lebih tinggi daripada semua ras lainnya yang
telah dipelajari sebelumnya, kecuali dengan penduduk kulit hitam dari Barbados.11

Secara umum studi lain tentang pterigium, prevalensi pterigium di Sumatera


meningkat seiring bertambahnya usia.Hal yang berbeda dengan beberapa studi dimana
pterigium ditemukan lebih banyak pada laki-laki.11

Keberhasilan penanganan pterigium adalah tantangan untuk dokter mata karena


tingkat kekambuhan yang tinggi (2,1% menjadi 87%). Tingkat kekambuhan tinggi dan
komplikasi penglihatan yang mengancam pada teknik bedah yang berbeda
memprovokasi para spesialis mata untuk mencari modalitas baru dan pengobatan yang
lebih aman.

Pterigium bisa menyebabkan perubahan yang sangat berarti dalam fungsi visual
atau penglihatan pada kasus yang kronis. Mata bisa menjadi inflamasi sehingga
menyebabkan iritasi okuler dan mata merah.1,7,12

Berdasarkan beberapa faktor diantaranya :12

1. Jenis Kelamin
Pterigium dilaporkan bisa terjadi pada golongan laki-laki dua kali lebih
banyak dibandingkan wanita.

2. Umur
Jarang sekali orang menderita pterigium umurnya di bawah 20 tahun. Untuk
pasien umurnya diatas 40 tahun mempunyai prevalensi yang tertinggi,
sedangkan pasien yang berumur 20-40 tahun dilaporkan mempunyai insidensi
pterigium yang paling tinggi.

E. PATOFISIOLOGI
Insidens pterigium meningkat pada orang dan populasi yang terus menerus terpapar
radiasi matahari yang berlebihan. Dalam hal ini sinar UV memainkan bagian yang
penting dalam patogenesis penyakit ini. Sinar UV memulai rantai peristiwa terjadinya
pterigium pada level intraselular dan ekstraselular yang melibatkan DNA, RNA, dan
komposisi matriks ekstraselular.14
Konjungtiva bulbi selalu berhubungan dengan dunia luar. Kontak dengan ultraviolet,
debu, kekeringan mengakibatkan terjadinya penebalan dan pertumbuhan konjungtiva
bulbi yang menjalar ke kornea. Pterigium ini biasanya bilateral, karena kedua mata
mempunyai kemungkinan yang sama untuk kontak dengan sinar ultraviolet, debu dan
kekeringan. Semua kotoran pada konjungtiva akan menuju ke bagian nasal, kemudian
melalui pungtum lakrimalis dialirkan ke meatus nasi inferior.1-9,14
Terdapat banyak perdebatan mengenai etiologi atau penyebab pterigium. Disebutkan
bahwa radiasi sinar ultra violet B sebagai salah satu penyebabnya. Sinar UV B
Merupakan sinar yang dapat menyebabkan mutasi pada gen suppressor tumor p53 pada
sel-sel benih embrional di basal limbus kornea. Tanpa adanya apoptosis (program
kematian sel), perubahan pertumbuhan faktor Beta akan menjadi berlebihan dan
menyebabkan pengaturan berlebihan pula pada sistem kolagenase, migrasi seluler dan
angiotenesis, perubahan patologis termaksud juga degenerasi elastoid kolagen dan
timbulnya jaringan fibrovesikuler, seringkali disertai dengan inflamasi. Lapisan epitel
dapat saja normal, menebal atau menipis dan biasanya menunjukkan dysplasia.1,5,8,15
Daerah nasal konjungtiva juga relatif mendapat sinar ultraviolet yang lebih
banyak dibandingkan dengan bagian konjungtiva yang lain, karena di samping kontak
langsung, bagian nasal konjungtiva juga mendapat sinar ultra violet secara tidak langsung
akibat pantulan dari hidung, karena itu pada bagian nasal konjungtiva lebih sering
didapatkan pterigium dibandingkan dengan bagian temporal.1,5,13,
Beberapa studi meyebutkan bahwa alasan mengapa pterigium seringkali muncul di
daerah nasal berasal dari peran patogenetik cahaya matahari. Cahaya matahari diteruskan
ke dalam limbus sklerokorneal setelah dipantulkan oleh dinding nasal lateral, di mana
konjungtiva bulbar di daerah nasal inilah yang lebih sering terpapar sinar matahari.
Mengingat juga, bulu mata di dekat nasal jauh lebih pendek dibanding bulu mata di
daerah temporal.1,15
Efek dari sinar UV dikatakan mampu mengaktifkan radikal bebas, termasuk
laktoferin. Stress oksidatif yang timbul berpotensi untuk mengganggu regulasi p53.
Akibatnya juga, gangguan tersebut dapat berefek pada ekspresi beberapa jenis sitokin
dalam sel, seperti reseptor faktor pertumbuhan. Adanya perubahan ekspresi sel-sel sitokin
ini telah dievaluasi oleh beberapa studi menggunakan berbagai macam teknik
pemeriksaan imunihistokimia dan ELISA. Sinar UV dapat menginduksi sitokin seperti
interleukin-1 (IL-1) bersama dengan tumor necrosis factor (TNF-) membantu keratosit
korneal beradaptasi memperbaiki fenotip. IL-6 berfungsi dalam migrasi sel epitel melalui
reseptor integrin dan IL-8 melakukan aktivitas mitogenik dan angiogenetik. Faktor
pertumbuhan yang berperan dalam pterigium antara lain ialah epidermal growth factor
(EGF) dan EGF heparin-binding (HB-EGF), vascular endothelial growth factor (VEGF),
basic fibroblast growth factor (bFGF), platelet-derived growth factor (PDGF),
transforming growth factor- (TGF-) and insulin-like growth factor binding proteins
(IGF-BP).13
Peran VEGF sangat penting dalam proses angiogenesis. Diproduksi oleh fibroblast
korneal saat terjadi inflamasi atau adanya stimulus yang dianggap berbahaya bagi mata,
termasuk UVR. VEGF telah dideteksi bertanggung jawab terhadap pertumbuhan terus-
menerus epitel pterigium, dibandingkan dengan konjungtiva normal melalui studi
imunohistokimia. Hasilnya dapat dilihat menggunakan RT-PCR assay.13,15
Patofisiologi pterigium ditandai dengan degenerasi elastotik kolagen dan proliferasi
fibrovaskular, dengan permukaan yang menutupi epithelium. Histopatologi kolagen
abnormal pada daerah degenerasi elastotik menunjukkan basofilia bila dicat dengan
hematoksin dan eosin. Jaringan ini juga bisa dicat dengan cat untuk jaringan elastik akan
tetapi bukan jaringan elastik yang sebenarnya, oleh karena jaringan ini tidak bisa
dihancurkan oleh elastase.13,15

F. KLASIFIKASI
Pterigium dapat dibagi ke dalam beberapa klasifikasi berdasarkan tipe, stadium,
progresifitasnya dan berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera, yaitu: 15

Berdasarkan tepinya pterigium dibagi atas tiga:

1. Tipe I
Pterigium kecil, dimana lesi hanya terbatas pada limbus atau menginvasi kornea pada
tepinya saja. Lesi meluas <2 mm dari kornea. Stockers line atau deposit besi dapat
dijumpai pada epitel kornea dan kepala pterigium. Lesi sering asimptomatis, meskipun
sering mengalami inflamasi ringan. Pasien yang memakai lensa kontak dapat mengalami
keluhan lebih cepat.

2. Tipe II
disebut juga pterigium tipe primer advanced atau pterigium rekuren tanpa keterlibatan
zona optic. Pada tubuh pterigium sering nampak kapiler-kapiler yang membesar. Lesi
menutupi kornea sampai 4 mm, dapat primer atau rekuren setelah operasi, berpengaruh
dengan tear film dan menimbulkan astigmat.

3. Tipe III
pterigium primer atau rekuren dangan keterlibatan zona optic. Merupakan bentuk
pterigium yang paling berat. Keterlibatan zona optic membedakan tipe ini dengan tipe
yang lain. Lesi mengenai kornea > 4mm dan mengganggu aksis visual. Lesi yang luas
khususnya pada kasus rekuren dapat berhubungan dengan fibrosis subkonjungtiva yang
meluas ke forniks dan biasanya menyebabkan gangguan pergerakan bola mata serta
kebutaan.

Berdasarkan stadium pterigium dibagi ke dalam 4 stadium yaitu:11

1. Stadium I : jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea


2. Stadium II : jika pterigium sudah melewati limbus dan belum mencapai
pupil, tidak lebih dari 2 mm melewati kornea.
3. Stadium III : jika pterigium sudah melebihi stadium II tetapi tidak melebihi
pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil sekitar 3-4
mm).
4. Stadium IV : jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga
mengganggu penglihatan.
Berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera di pterigium dan harus
diperiksa dengan slitlamp pterigium dibagi 3, yaitu:8

1. T1 (atrofi) : pembuluh darah episkleral jelas terlihat.


2. T2 (intermediet) : pembuluh darah episkleral sebagian terlihat.
3. T3 (fleshy,opaque): pembuluh darah seluruhnya tidak terlihat.

G. DIAGNOSA
Anamnesis
Pasien dengan pterigium datang dengan berbagai keluhan, mulai dari tanpa gejala
sampai dengan gejala kemerahan yang signifikan, pembengkakan, gatal, iritasi, dan
penglihatan kabur berhubungan dengan elevasi lesi dari konjungtiva dan dekat kornea
pada satu atau kedua mata.1,3,15

Pemeriksaan fisik
Suatu pterigium dapat tampak sebagai salah satu dari berbagai perubahan fibrovaskular
pada permukaan konjungtiva dan kornea. Pterigium paling sering ditemukan pada
konjungtiva nasal dan berekstensi ke kornea nasal, tetapi dapat pula ditemukan pterigium
pada daerah temporal, serta di lokasi lainnya.1,3,15

Gambaran Klinis

Pterigium lebih sering terjadi pada pria tua yang melakukan pekerjaan di luar rumah.
Pterigium mungkin terjadi unilateral atau bilateral. Penyakit ini muncul sebagai lipatan
segitiga konjungtiva yang mencapai kornea, biasanya di sisi nasal. tetapi juga dapat
terjadi di sisi temporal. Deposisi besi kadang-kadang terlihat pada epitel kornea anterior
disebut Stockers line. Pterigium terdiri dari tiga bagian yaitu cup, head dan body.

Pterigium adalah kondisi asimtomatik pada tahap awal, kecuali pada intoleransi
kosmetik. Pterigium hanya akan bergejala ketika bagian kepalanya menginvasi bagian
tengah kornea dan aksis visual. Kekuatan tarikan yang terjadi pada kornea dapat
menyebabkan astigmatisme kornea. Pterigium lanjut yang menyebabkan skar pada
jaringan konjungtiva juga dapat secara perlahan-lahan mengganggu motilitas okular,
pasien kemudian akan mengalami penglihatan ganda atau diplopia.15,16

(A) Cap: Biasanya datar, terdiri atas zona abu-abu pada kornea yang kebanyakan terdiri
atas fibroblast, menginvasi dan menghancurkan lapisan bowman pada kornea. (B)
Head: Setelah cap, lapisan vaskuler tipis yang menginvasi kornea. (C) Badan: Bagian
yang mobile dan lembut, area yang vesikuler pada konjunctiva bulbi, area paling ujung

H. PENATALAKSANAAN
Pasien dengan pterigium dapat hanya diobervasi kecuali lesi menunjukkan pertumbuhan
menuju pusat kornea atau pasien menunjukkan gejala kemerahan yang signifikan,
ketidaknyamanan, atau perubahan dalam fungsi visual.13,15

Terapi Konservatif

Pengobatan konservatif pada pterigium terdiri dari topical lubricating drops atau
air mata buatan (misalnya, refresh tears, gen teal drops), serta sesekali penggunaan
jangka pendek tetes mata kortikosteroid topikal anti-inflamasi (misalnya, Pred Forte 1%)
bila gejala lebih intens. Selain itu, penggunaan kacamata anti-UV disarankan untuk
mengurangi paparan radiasi ultraviolet lebih lanjut.13,15

Terapi pembedahan

Bedah eksisi adalah satu-satunya pengobatan yang memuaskan, yang dapat


diindikasikan untuk, menurut Ziegler :

1. Mengganggu visus
2. Mengganggu pergerakan bola mata
3. Berkembang progresif
4. Mendahului suatu operasi intraokuler
5. Kosmetik

Sedangkan menurut Guilermo Pico :

1. Progresif, resiko rekurensi > luas


2. Mengganggu visus
3. Mengganggu pergerakan bola mata
4. Masalah kosmetik
5. Di depan apeks pterigium terdapat Grey Zone
6. Pada pterigium dan kornea sekitarnya ada nodul pungtat
7. Terjadi kongesti (klinis) secara periodik

Tujuan utama pembedahan adalah untuk sepenuhnya mengeluarkan pterigium dan


untuk mencegah terjadinya rekurensi. Berbagai teknik bedah yang digunakan saat ini
untuk pengelolaan pterigium.15,16

Gambar 12. Teknik Operasi Pterigium


1. Bare sclera : tidak ada jahitan, bertujuan untuk menyatukan kembali konjungtiva
dengan permukaan sklera di depan insersio tendon rektus, menyisakan area sklera
yang terkena. (teknik ini sudah tidak dapat diterima karena tingginya tingkat rekurensi
pasca pembedahan yang dapat mencapai 40-75% dan hal ini tidak direkomendasikan).

2. Simple closure: menyatukan langsung sisi konjungtiva yang terbuka, dimana teknik
ini dilakukan bila luka pada konjungtiva relatif kecil.
3. Sliding flap : dibuat insisi berbentuk huruf L disekitar luka bekas eksisi untuk
memungkinkan dilakukannya penempatan flap.
4. Rotational flap: dibuat insisi berbentuk huruf U disekitar luka bekas eksisi untuk
membentuk seperti lidah pada konjungtiva yang kemudian diletakkan pada bekas
eksisi.
5. Conjungtival graft: suatu free graft yang biasanya diambil dari konjungtiva bulbi
bagian superior, dieksisi sesuai dengan ukuran luka kemudian dipindahkan dan dijahit
atau difiksasi dengan bahan perekat jaringan. (misalnya Tisseel VH, Baxter
Healthcare, Dearfield, Illionis).
Rekurensi pada pterigium setelah dilakukan bedah eksisi menjadi masalah yakni
sekitar 30-50%. Eksisi Pterigium sering dikombinasikan dengan berbagai langkah-
langkah tambahan untuk mencegah rekurensi penyakit. Hal ini mungkin secara luas
diklasifikasikan sebagai metode medis adjuvan atau tambahan, beta-iradiasi, dan metode
pembedahan.10,13,16

Terapi adjuvant

Intraoperatif dan pasca operasi mitomycin C tetap paling sering digunakan sebagai
terapi tambahan medis untuk pencegahan rekurensi pterigium. Beberapa alternatif medis
lainnya, seperti 5-fluorouracil dan daunorubisin, juga telah dicoba.

Terapi mitomycin C telah terbukti efektif dalam mencegah kekambuhan pterigium


primer dan untuk pterigium berulang.Tingkat kekambuhan yang berhubungan dengan
terapi mitomycin C secara signifikan lebih rendah dibandingkan dengan eksisi bare
sclera. Pada dasarnya dua bentuk aplikasi mitomycin C yang saat ini digunakan - aplikasi
intraoperatif pada spons bedah yang direndam dalam larutan mitomycin C diterapkan
secara langsung ke sclera setelah eksisi pterigium, dan penggunaan pasca operasi
mitomycin C topikal sebagai obat tetes mata. Studi telah menunjukkan bahwa tingkat
kekambuhan terkait penggunaan mitomycin C intra operasi dan pasca operasi tidak
berbeda secara signifikan.

Dadeya dan Kamlesh mendemonstrasikan secara statistik perbedaan signifikan dalam


perbedaan tingkat kekambuhan pasien yang diobati dengan daunorubisin dan mereka
yang diobati dengan plasebo air. Mata yang diobati lebih chemotic (20%), namun,
dengan 6,7% setelah epitelisasi tertunda, dibandingkan dengan mata kontrol, yang tidak
memiliki komplikasi yang sama.10,14

I. KOMPLIKASI
Pterigium dapat menyebabkan komplikasi seperti scar (jaringan parut) pada
konjungtiva dan kornea, distorsi dan penglihatan sentral berkurang, scar pada rektus
medial dapat menyebabkan diplopia.11,12
Komplikasi post eksisi pterigium, yaitu:
Infeksi, reaksi benang, diplopia, scar kornea, conjungtiva graft longgar, dan
komplikasi yang jarang termasuk perforasi bola mata, vitreous hemorrhage
atau retinal detachment
Penggunaan mytomicin C post dapat menyebabkan ectasia atau melting
pada sklera dan kornea
Komplikasi yang terbanyak pada eksisi pterigium adalah rekuren pterigium
post operasi. Simple eksisi mempunyai tingkat rekuren yang tinggi kira-
kira 50-80 %. Dapat dikurangi dengan teknik conjungtiva autograft atau
amnion graft.
Komplikasi yang jarang adalah malignant degenerasi pada jaringan epitel di atas
pterigium.11

J. PROGNOSIS
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik. Kebanyakan pasien
dapat beraktivitas lagi setelah 48 jam post operasi. Pasien dengan pterigium rekuren
dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan konjungtiva auto graft atau transplantasi
membran amnion.12
DAFTAR PUSTAKA

1 American Academy Of Ofthalmology. 2012.


http://www.aao.org/publications/eyenet/201011/upload/Pearls-Nov-Dec-
2010.pdf. Di akses 5 Mei 2017.
2 Dzunic B, Jovanovic P, Et Al.Analysis Of Pathohistological characteristics Of
Pterigium. Bosnian Journal Of Basic Medical Science. 2010;10 (4) : 308-13.
3 Raju Kv, Chandra A, Doctor R. Management Of Pterigium- A Brief Review.
Kerala Journal Of Ophthamology. 2008;10 (4):63-5.
4 Jharmarwala M, Jhaveri R. Pterigium: A New Surgical Technique. Journal Of
The Bombay Ophthamologists Association. 2008;11(4):129-30.
5 Lang Kg, Lang Eg. Conjunctiva. In:, Lang Kg, Gareis O, Lang Eg, Recker D,
Wagner P, Editors. Ophthalmology: A Pocket Textbook Atlas 2nd Ed. New York:
Thieme Stuttgart. 2006. P. 67 - 72.
6 Eva Paul Riordan, Witcher Jp. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum. Edisi 17.
Mcgraw-Hill Companies. London. 2008. P 5-6;119
7 Suhu K, Lee W. Conjuunctiva. Ophtalmic Pathology An Illustrated Guide For
Clinicians. London: BMJ.2001
8 Chui J, Coroneo Tm, Et Al. Ophthalmic Ptrygium A Stem Cell Disorder With
Premalignant Features. The American Journal Of Pathology. 2011;178 (2):817-
27.
9 Sharma Ka, Wali V, Pandita A. Cornea-Conjungtival Auto Grafting In Pterigium
Surgery. Postgraduate Department Of Opthalmology, Govt. Medical College,
Jammu. 2004;6(3):149-52.
10 Ang Kpl, Chua Llj, Dan Htd. Current Concepts And Techniques In Pterigium
Treatment. Curr Opin Ophthalmol. 2006;18: 308313.
11 Gazzard G, Saw Ms, Et Al. Pterigium In Indonesia: Prevalence, Severity, And
Risk Factors.Br J Ophthalmol .2002;86:134146.
12 Fisher Pj. Pterigium. Updated : 2014. Available From:
http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview#showallDiakses 3 Mei
2017.
13 Efstathios T. Pathogenetic Mechanism and Treatment Options for Ophthalmic
Pterigium : Trends and Perspectives (Review). International Journal of Melecular
Medicine. 2009. Greece. P.439-447
14 Solomon A.S. Pterigium. British.Journal.Ophtalmology. P.665
[Online].http://www.v2020la.org/pub/PUBLICATIONS_BY_TOPICS/Pterigium/
Pterigium.pdf. Diakses 5 Mei 2017
15 Laszuarni. Prevalensi Pterigium Di Kabupaten
Langkat.http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6395/1/10E00178.pdf
Diakses 5 Mei 2017
16 Snolnick C, Grimmett M, Management of Pterygium. Conjunctival
Surgery.http://www.skolnickeye.com/pdf/PTERYGIUM.pdf. Diakses 5 Mei 2017

Anda mungkin juga menyukai