Anda di halaman 1dari 21

HIRSCHSPRUNGS DISEASE

A. PENDAHULUAN
Usus besar merupakan organ yang ada dalam tubuh manusia. Usus besar
merupakan tabung muscular dengan panjang sekitar 1,5 m yang terdiri dari
caecum, colon, dan rectum. Diameter usus besar lebih besar daripada usus kecil.
Semakin ke bawah menuju rectum, diameternya akan semakin kecil. Secara
fisiologis, usus besar berfungsi untuk menyerap air, vitamin, dan elektrolit. Selain
itu, usus besar juga berfungsi untuk menyimpan feses, dan mendorongnya keluar.
Inervasi usus besar dilakukan oleh sistem saraf otonom. Inervasi usus besar
sangat berkaitan dengan sel ganglion pada submukosa (Meissners) dan pleksus
myenteric (Aurbachs) pada usus besar bagian distal. Apabila sel ganglion
tersebut tidak ada, maka akan timbul penyakit yang disebut Hirschsprungs
Disease.(1)
Hirschsprungs Disease ditandai oleh tidak adanya ganglion sel di bagian
distal colon dan meluas ke bagian proximal dengan panjang yang bervariasi.
Aganglionik terbatas pada rektosigmoid 75% pasien, colon transversum 17% dan
keseluruhan colon dengan segmen pendek pada ileum terminal yaitu 8%.(2)
Penyakit Hirschsprung adalah gangguan perkembangan yang ditandai
dengan tidak adanya ganglion dalam usus bagian distal, mengakibatkan obstruksi
fungsional. Meskipun kondisi ini digambarkan oleh Ruysch di 1691 dan
dipopulerkan oleh Hirschsprung tahun 1886, namun patofisiologi terjadinya
peyakit ini belum diketahui secara jelas sampai pertengahan abad ke-20, dimana
Whitehouse dan Kernohan menyatakan bahwa aganglionik pada bagian distal
colon sebagai penyebab obstruksi pada penyakit ini.(3)
Sebagian besar kasus penyakit Hirschsprung didiagnosis pada masa
neonatus. Penyakit Hirschsprung harus dipehatikan pada setiap bayi baru lahir
yang belum mengeluarkan mekonium dalam waktu 24-48 jam setelah lahir. Sulit

1
untuk membedakan antara distensi kolon dengan distensi pada
usus kecil jika hanya melalui foto polos abdomen. Oleh karena
itu, harus dilakukan pemeriksaan radiologi lanjutan untuk
mendiagnosa penyakit ini. Pemeriksaan dengan barium enema
adalah pemeriksaan yang terbaik untuk melihat obstruksi yang
disebabkan oleh penyakit Hirschsprung ini. Meskipun kontras enema
berguna dalam menegakkan diagnosis, biopsi rektal full-thickness tetap menjadi
kriteria standar pemeriksaan. Setelah diagnosis dikonfirmasi, pengobatan definitif
untuk menghilangkan usus aganglionik dan untuk mengembalikan kontinuitas
usus yang sehat dengan rektum bagian distal.(3,16)

B. ANATOMI
1. Anatomi dan Embriologi Colon dan Rectum
a. Colon
Secara embriologi colon kanan berasal dari colon tengah,
sedangkan colon kiri sampai dengan rectum berasal dari usus belakang.
Dalam perkembangan embriologik kadang terjadi gangguan rotasi usus
embrional, sehingga colon kanan dan caecum mempunyai mesenterium
yang bebas. Keadaan ini memudahkan terjadinya putaran atau volvulus
sebagian besar usus yang sama halnya dapat terjadi dengan
mesenterium yang panjang pada kolon sigmoid dengan radiksnya
yang sempit.(4)
Usus besar merupakan tabung muscular berongga dengan panjang
sekitar 5 kaki (sekitar 1,5 m) yang terbentang dari caecum sampai kanalis
ani. Diameter usus besar lebih besar dari pada usus kecil. Rata-rata sekitar
2,5 inch (sekitar 6,5 cm), tetapi makin dekat anus diameternya makin
kecil. Usus besar dibagi menjadi caecum, colon, dan rectum. Pada
caecum terdapat katup ileocaecal dan apendiks yang melekat pada
ujung caecum. caecum menempati sekitar dua atau tiga inch

2
pertama dari usus besar. Katup ileocaecal mengontrol aliran kimus dari
ileum ke caecum. Colon dibagi lagi menjadi colon ascendens,
transversum, descendens dan sigmoid. Tempat dimana colon membentuk
kelokan tajam yaitu pada abdomen kanan dan kiri atas berturut turut
dinamakan flekxura hepatica dan fleksura lienalis. Colon mulai setinggi
crista iliaca dan berbentuk suatu lekukan berbentuk S. Lekukan bagian
bawah membelok ke kiri waktu colon sigmoid bersatu dengan rectum.
Rectum terbentang dari colon sigmoid sampai dengan anus. Satu inci
terakhir dari rectum terdapat canalis ani yang dilindungi oleh sfingter ani
externus dan internus. Panjang rectum sampai canalis ani adalah 5,9 inch.
(5)

Anatomi Colon(6)

Dinding colon terdiri dari empat lapisan, yaitu tunika serosa,


muskularis, tela submukosa dan tunika mukosa, akan tetapi usus besar
mempunyai gambaran-gambaran yang khas berupa: lapisan otot
longitudinal tdk sempurna tetapi terkumpul dalam tiga pita yang disebut

3
tenia coli yang bersatu pada sigmoid distal. Panjang taenia lebih pendek
daripada usus sehingga usus tertarik dari berkerut mambantuk kantong-
kantong kecil yang disebut haustra. Pada taenia, melekat kantong-kantong
kecil perineum yang berisi lemak yang disebut appendices epiploica.
Lapisan mukosa usus besar lebih tebal dengan kriptus liberkuhn terletak
lebih dalam serta mempunyai sel goblet lebih banyak dari pada usus halus.
(5)

Lapisan Dinding Colon (7)

Vaskularisasi usus besar diatur oleh arteri mesenterica superior dan


inferior. Arteri mesenterica superior memvaskularisasi colon bagian
kanan, dari caecum sampai dua per tiga proximal colon transversum.
Arteri mesenterica superior mempunyai tiga cabang utama, yaitu arteri
ileocolica, arteri colica dextra dan arteri colica media. Sedangkan arteri
mesenterica inferior memvaskularisasi colon bagian kiri (mulai dari 1/3
distal colon transversum sampai rectum bagian proximal). Arteri
mesenterica inferior mempunyai tiga cabang yaitu arteri colica sinistra,
arteri rectalis superior, dan arteri sigmoidea.(5)

4
Sistem saraf otonomik intrinsic pada usus terdiri dari tiga plexus :
1. plexus auerbach: terletak diantara lapisan otot sirkuler dan
longitudinal
2. plexus henle : terletak di sepanjang batas dalam otot sirkuler.
3. Plexus meissner : terletak di submukosa.
Pada penderita Hirschsprungs Disease, tidak dijumpai ganglion
pada ketiga plexus tersebut.(9)

Jadi pasien dengan kerusakan


medulla spinalis, maka fungsi
ususnya tetap normal, sedangkan
pasien dengan Hirschsprungs
Disease akan mempunyai fungsi
usus yang abnormal karena pada
penyakit ini terjadi ke absenan
plexus aeurbach dan meissner. (10)

Skema saraf autonom intrinsik usus(6)

b. Rectum
Rectum memiliki tiga buah valvula : superior kiri, medial kanan
dan inferior kiri. 2/3 bagian distal rectum terletak di rongga pelvis dan
terfiksasi, sedangkan 1/3 bagian proximal terletak di rogga abdomen dan
relative mobile. Kedua bagian ini dipisahkan oleh peritoneum reflektum
dimana bagian anterior lebih panjang dibanding bagian posterior. Saluran
anal (anal canal) adalah bagian terakhir dari usus, berfungsi sebagai pintu
masuk ke bagian usus yang lebih proximal; dikelilingi oleh spingter ani
(external dan internal) serta otot-otot yang mengatur pasase isi rectum ke

5
dunia luar. Spingter ani externa terdiri dari tiga sling : atas, medial dan
depan.(9)

Rectum dan anal canal(6)

Persarafan motorik spingter ani interna berasal dari serabut saraf


simpatis (N. Hypogastricus) yang menyebabkan kontraksi usus dan
serabut saraf parasimpatis (N. Splenicus) yang menyebabkan relaksasi
usus. Kedua jenis serabut saraf ini membentuk plexus rectalis. Sedangkan
musculus levator anii dipersarafi oleh N. Sacralis III dan IV. Nervus
pudendalis mempersarafi spingter ani externa dan m. puborectals. Saraf
simpatis tidak mempengaruhi otot rectum. Defekasi sepenuhnya dikontrol
oleh N. splenicus (parasimpatis). Akibatnya kontinensia sepenuhnya
dipengaruhi oleh N. pudendalis dan N. slenicus pelvic (saraf
parasimpatis.).(9)

6
C. DEFINISI
Hirschsprungs Disease adalah suatu kelainan bawaan berupa aganglionik
usus, mulai dari spinkter ani interna ke arah proksimal dengan panjang yang
bervariasi tetapi selalu termasuk anus dan setidak tidaknya sebagian rectum
dengan gejala klinis berupa gangguan pasase usus fungsional.(11)
Hirschsprung Disease dikarakteristikan sebagai tidak adanya sel ganglion
di pleksus myenterikus (auerbachs) dan submukosa (meissner).(13)

D. EPIDEMIOLOGI
Insiden Hirschsprung Disease bervariasi dari 1 di 5.000 hingga 1 dari
10.000 kelahiran hidup. Dominan pada laki-laki dengan perbandingan 3: 1 sampai
5: 1. Dari jumlah kasus yang didapatkan 94% diantranya adalah pada bayi yang
berusia dibawah 5 tahun. Kasus yang melibatkan orang dewasa sangat jarang.(14,15)
Di United States, Hirschsprungs Disease terjadi pada sekitar 1 per 5000
kelahiran hidup. Sedangkan secara internasional, prevalensi dapat bervariasi
menurut wilayah dan telah terbukti ssebanyak 1 per 3000 kelahiran hidup di
Negara Federasi Mikronesia.(16)
Anak kembar dan adanya riwayat keturunan meningkatkan resiko
terjadinya Hirschsprungs Disease.penyakit ini lebih sering terjadi secara
diturunkan oleh ibu aganglionosis disbanding oleh ayah. Sebanyak 12,5% dari
kembaran pasien mengalami aganglionosis total pada colon (sindroma Zuelzer-
Wilson). Salah satu laporan menyebutkan empat keluarga dengan 22 pasangan
kembar, yang terkena kebanyakan mengalami long segment aganglionosis.(17)
Insiden Hirschsprungs Disease di Indonesia tidak diketahui secara pasti,
tetapi berkisar di satu di antara 5000 kelahiran hidup. Dengan jumlah penduduk
Indonesia 220 juta dan tingkat kelahiran 35 permil, maka diprediksikan setiap
tahun akan lahir 1540 bayi dengan Hirschsprungs Disease. Kartono mencatat 40
sampai 60 pasien Hirschsprungs Disease yang dirujuk setiap tahunnya ke RS
Cipto Mangunkusumo Jakarta.(18)

7
E. ETIOLOGI
Hirschsprungs Disease terjadi karena tidak adanya ganglion pada pleksus
myenterikus (auerbach) dan sub mukosa (meissner) pada rectum atau colon.
Neuron enteric berasal dari neural crest dan bermigrasi secara caudal bersama
dengan serat saraf vagus di sepanjang usus. Sel-sel ganglion akan tiba di colon
proximal pada 8 minggu usia kehamilan dan tiba di anus pada 12 minggu usia
kehamilan. Kegagalan migrasi neuron enterik pada colon dan atau rectum ini akan
membentuk segmen aganglionik. Hal ini menyebabkan Hirschsprungs Disease.(16)

F. KLASIFIKASI
Menurut letak segmen aganglionik, maka penyakit ini di bagi dalam :(19)
1. Megakolon congenital segmen pendek
Bila segmen aganglionik meliputi rectum sampai sigmoid (70 80%)
2. Mengakolon congenital segmen panjang (20%)
Bila segmen aganglionik lebih tinggi dari sigmoid
3. Kolon aganglionik total
Bila segmen aganglionik mengenai seluruh colon (5 11%)
4. Colon aganglionik universal
Bila segmen aganglionik meliputi seluruh usus sampai pylorus (5%)

G. PATOGENESIS
Pada penyakit ini, colon mulai dari yang paling distal sampai pada bagian
usus yang berbeda ukuran penampangnya, tidak mempunyai ganglion
parasimpatis intramural. Bagian colon aganglionik itu tidak dapat mengembang
sehingga tetap sempit dan defekasi terganggu. Akibat gangguan defekasi ini colon
proximal yang normal akan melebar oleh tinja yang tertimbun, membentuk
megacolon.(20)
Pleksus mesenteric (aeurbach) dan pleksus submukosal (meisnner) tidak
ditemukan, menyebabkan berkurangnya peristaltik usus dan fungsi lainnya.
Mekanism eakurat mengenai perkembangan penyakit ini tidak diketahui. Sel
ganglion enteric berasal dari diferensiasi sel neuroblast. Selama perkembangan

8
normal, neuroblast dapat ditemukan di usus halus pada minggu ke tujuh usia
gestasi dan akan sampai ke colon pada minggu 12 usia gestasi. Kemungkinan
salah satu etiologi Hirschsprungs Disease adalah adanya defek pada migrasi sel
neuroblast ini dalam jalurnya menuju ussu bagian distal. Migrasi neuroblast yang
normal dapat terjadi dengan adanya kegagalan neuroblast dalam bertahan,
berproliferasi atau berdiferensiasi pada segment aganglionik distal. Distribusi
komponen telah terjadi pada usus yang aganglionik. Komponen tersebut adalah
fibronektin, laminin, neural cell adhesion molecule dan factor neurotropik.(21)
Motalitas yang normal utamanya dikendalikan oleh neuron intrinsic.
Ganglia ini mengendalikan kontraksi dan relaksasi otot polos, dimana relaksasi
mendominasi. Fungsi usus telah adekuat tanpa innervasi ekstrinsik. Kendali
ekstrinsik utamanya melalui serat kolinergik dan andregenik. Saat kolinergik ini
menyebabkan kontraksi, dan serat adregenic menyebabkan inhibisi. Pada pasien
dengan HirschsprungS Disease, sel ganglion tidak ditemukan sehingga control
intrinsic menurun, menyebabkan peningkatan control persarafan ekstrinsik.
Innervasi dari system adregenik diduga mendominasi system kolinergik,
mengakibatkan peningkatan tonus otot polos usus. Dengan hilangnya kendali
saraf intrinsic, peningkatan tonus tidak di imbangi dan mengakibatkan
ketidakseimbangan kontraktilitas otot polos, peristaltic yang tidak terkoordinasi
dan pada akhirnya terjadi obstruksi fungsional.(22)

H. DIAGNOSIS
1. Manifestasi Klinis
Hirschsprungs Disease dapat dibedakan bersadarkan usia gejala klinis
mulai terlihat, yaitu(11)
a. Periode Neonatal
Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai, yakni pengeluaran
mekonium yang terlambat, muntah hijau dan distensi abdomen.
Pengeluaran mekonium yang terlambat (lebih dari 24 jam pertama)

9
merupakan tanda klinis yang signifikan. Muntah hijau dan distensi
abdomen biasanya dapat berkurang manakala mekonium dapat
dikeluarkan segera. Sedangkan enterokolitis merupakanancaman
komplikasi yang serius bagi penderita Hirschsprungs Disease ini, yang
dapat menyerang pada usia kapan saja, namun paling tinggi saat usia 2 4
minggu, meskipun sudah dapat dijumpai pada usia 1 minggu. Gejalanya
berupa diare, distensi abdomen, fese berbau busuk dan disertai demam.
Swenson mencatat hamper 1/3 kasus Hirschsprungs Disease datang
dengan manifestasi klinis enterokolitis, bahkan dapat pula terjadi meski
telah dilakukan kolostomi.(11)

Gambar 7. Foto pasien penderita Hirschsprung berusia 3 hari.


Terlihat abdomen sangat distensi dan pasien terlihat menderita(11)

b. Periode Anak
Pada anak yang lebih besar, gejala klinis yang menonjol adalah
konstipasi kronis dan gizi buruk (failure to thrive). Dapat pula terlihat
gerakan peristaltic usus di dinding abdomen. Jika dilakukan pemeriksaan
colok dubur, maka feses biasanya keluar menyemprot, konsistensi semi

10
liquid dan berbau tidak sedap. Penderita biasanya buang air besar tidak
teratur, sekali dalam beberapa hari dan biasanya sulit untuk defekasi.

Gambar 8. Foto anak yang telah besar, sebelum dan sesudah


tindakan
definitif bedah. Terlihat status gizi anak membaik setelah
operasi.(11)

2. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan Barium Enema
Pemeriksaan yang merupakan standar dalam menegakkan diagnose
Hirschsprungs Disease adalah barium enema, dimana akan dijumpai tiga
tanda khas:
1) Tampak daerah penyempitan di bagian rectum ke proximal yang
panjangnya bervariasi.
2) Terdapat daerah transisi, terlihat di proximal daerah penyempitan
kearah daerah dilatasi
3) Terdapat daerah pelebaran lumen di proximal daerah transisi.

11
Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda khas
Hirschsprungs Disease, maka dapat dilanjutkan dengan foto retensi
barium, yakni foto setelah 24 48 jam barium dibiarkan membaur denga
feses. Gambaran khasnya adalah terlihatnya barium yang membaur denga
feses kearah proximal colon. Sedangkan pada penderita yang bukan
Hirschsprungs Disease namun disertai dengan obstipasi kronis, maka
barium terlihat menggumpal di daerah rectum dan sigmoid.(11)

Gambar 10. Pemeriksaan barium enema pada penderita dengan


penyakit Hirschsprung. Tampak rektum yang mengalami
penyempitan, dilatasi sigmoid
serta pelebaran di bagian atas dari zona transisi(11)

a. Pemeriksaan Laboratorium

12
CBC count : tes ini dilakukan untuk mendeteksi terjadinya
komplikasi seperti enterokolitis yang disebabkan oleh Hirschsprungs
Disease. Peningkatan WBC count atau bandemia harus dicurigai
terjadinya enterokolitis.(16)

b. Anorektal Manometri
Pada anak berusia lebih lanjut dengan keluhan sembelit kronis
dan riwayat atipikal baik untuk Hirschsprungs Disease atau konstipasi
fungsional, manometri anorektal dapat membantu dalam membuat
diagnosis. Anak-anak dengan Hirschsprungs Disease gagal untuk
menunjukkan reflex relaksasi pada spingter ani interna dalam
menggapai inflasi balon dubur.(16)
Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat reflex anorektal pada
pasien yang dicurigai dengan Hirschsprungs Disease. Orang yang
menderita penyakit ini biasanya akan kehilangan atau berkurang
ferleks anorektalnya. Penurunan reflex anorektal yang dimaksudkan
adalah kurangnya relaksasi pada bagian anus setelah dilakukan inflasi
balon di bagian rectum. Bagaimanapun, terdapat banyak perbedaan
pendapat tentang penilaian pada tes diagnostic ini.(26)

Manometri anorektal,yang memakai balon berisi udara sebagai


transducernya. Pada penderita Hirschsprungs Disease (kanan), tidak
terlihat relaksasi spingter ani.(19)

13
c. Biopsi Rectum
Biopsi rectum merupakan tes yang paling akurat untuk
mendetaksi Hirschsprungs Disease. Dokter mengambil bagian sangat
kecil dari rectum untuk dilihat di bawah mikroskop. Anak-anak
dengan Hirschsprugs Disease tidak mempunyai sel-sel ganglion pada
sampel yang diambil. Pada biopsy hisap, jaringan dikeluarkan dari
colon dengan menggunakan alat penghisap. Karena tidak melibatkan
pemotongann jaringan colon maka tidak diperlukan anestesi.(27)
Jika biopsy menunjukkan adanya ganglion, Hirschsprungs
Disease tidak terbukti. Jika tidak terdapat sel-sel ganglion pada
jaringan contoh, biopsy full-thickness lebih banyak jaringan dari
lapisan yang lebih dalam dikeluarkan secara bedah untuk kemudian
diperiksa di bawah mikroskop. Tidak adanya sel-sel ganglion
menunjukkan adanya Hirschsprungs Disease(27)

Pewarnaan
Acetylcholinesterase dari
biopsy hisap rectum.
Normal rektum menunjukan
minimal aktivitas
Acetylcholinesterase
dari lamina propria dan
ganglion submukosa(2)

14
Penyakit Hirschsprung
dikarakteristikan dengan

peningkatan
positif

acetylcholinesterase di lamina propia


dan penebalan serabut saraf di submukosa(2)

I. DIAGNOSIS BANDING
a. Meconium Plug Syndrome
Riwayatnya sama seperti pemulaan Hirschsprungs Disease pada
neonatus, tapi setelah colok dubur mekonium sudah keluar, defekasi
selanjutnya normal. Pada foto polos, penderita dengan kelainan Meconium
Plug Syndrome, tampak distensi dari pada bagian usus kecil dan usus besar
yang mengisi seluruh bagian abdomen, namun tidak terlihat air fluid level.
Sementara pada pemeriksaan barium enema, akan tampak gambaran
meconium plug. Pemeriksaan ini dikatakan memiliki efek terapeuetik apabila
meconium keluar dengan sendirinya setelah beberapa waktu kemudian.(19,28)

b. Akalasia Recti
Keadaan dimana spingter tidak bisa relaksasi sehingga gejalanya mirip
dengan Hirschsprungs Disease, tetapi pada pemeriksaan mikroskopis tampak
adanya ganglion Meissner dan Aeurbach.(19)

15
J. PENATALAKSANAAN
1. Tindakan Non Bedah
Pengobatan non bedah dimaksudkan untuk mencegah komplikasi yang
mungkin terjadi atau untuk memperbaiki keadaan umum penderita sampai
pada saat operasi defenitif dapat dikerjakan. Pengobatan non bedah diarahkan
pada stabilisasi cairan, elektrolit, asam basa dan mencegah terjadinya sepsis.
Tindakan-tindakan nonbedah yang dapat dikerjakan adalah pemasangan pipa
nasogastrik, pemasangan pipa rektum, pemberian antibiotik, lavase colon
dengan irigasi cairan, koreksi elektrolit serta pengaturan nutrisi(19)

2. Tindakan Bedah
a. Tidakan Bedah Sementara
Tindakan bedah sementara dimaksudkan untuk dekompresi
abdomen dengan cara membuat kolostomi pada kolon yang mempunyai
ganglion normal bagian distal. Tindakan dimaksudkan guna
menghilangkan obstruksi usus dan mencegah terjadinya enterokolitis
yang diketahui sebagai penyebab utama terjadinya kematian pada
penderita penyakit Hirschsprung. Manfaat lain dari kolostomi adalah
menurunkan angka kematian pada saat dilakukan tindakan bedah definitif
dan mengecilkan kaliber usus pada penderita Hirschsprung yang telah
besar sehingga memungkinkan dilakukan anastomose.(19)

b. Tindakan Bedah Definitif


Ada beberapa cara tindakan pembedahan yang dapat digunakan
untuk tindakan bedah definitif antara lain teknik Swenson, Duhamel,
Soave dan Rehbein Operation(19)

1) Prosedur Swenson

16
Swenson memperkenalkan prosedur rektosigmoidektomi
dengan preservasi sfingter anal. Anastomosis dilakukan langsung di
luar rongga peritoneal. Pembedahan ini disebut sebagai prosedur
rektosigmoidektomi dilanjutkan dengan pull-through abdomino-
perineal. Puntung rektum ditinggalkan 2-3 cm dari garis mukokutan.
Pada masa pascabedah ditemukan beberapa komplikasi seperti
kebocoran anastomosis, stenosis, inkontinensi, enterokolitis dan lain-
lain.(29)

Teknik Pembedahan
Reseksi kolon aganglion dimulai dengan pemotongan arteri
dan vena sigmoidalis dan hemoroidalis superior. Segmen sigmoid
dibebaskan beberapa sentimeter dari dasar peritoneum sampai 1-2 cm
proksimal kolostomi. Puntung rektosigmoid dibebaskan dari jaringan
sekitarnya di dalam rongga pelvis untuk dapat diprolapskan melalui
anus. Pembebasan kolon proksimal dilakukan untuk memungkinkan
kolon tersebut dapat ditarik ke perineum melalui anus tanpa tegangan.
(29)

Puntung rektum diprolapskan dengan tarikan klem yang


dipasang di dalam lumen. Pemotongan rektum dilakukan 2 cm
proksimal dari garis mukokutan, bagian posterior dan bagian anterior
sama tinggi (Prosedur Swenson I). Atau pemotongan dilakukan dengan
arah miring, 2 cm di bagian anterior dan 0,5 cm di bagian posterior
(prosedur Swenson II). Selanjut-nya, kolon proksimal ditarik ke
perineum melalui puntung rektum yang telah terbuka. Anastomosis
dilakukan dengan jahitan dua lapis dengan menggunakan benang
sutera atau benang vicryl. Setelah anastomosis kolorektal selesai
dilakukan, kemudian rektum dimasukkan kembali ke rongga pelvis.
Reperitonealisasi dilakukan dengan perhatian pada vaskularisasi kolon

17
agar tidak terjahit. Penutupan dinding abdomen dilakukan setelah
pencucian rongga peritoneum. Kateter dan pipa rektal kecil
dipertahankan untuk 2 - 3 hari.(29)

2) Prosedur Duhamel
Prosedur ini diperkenalkan Duhamel tahun 1956 untuk
mengatasi kesulitan diseksi pelvik pada prosedur Swenson. Prinsip
dasar prosedur ini adalah menarik kolon proksimal yang ganglionik ke
arah anal melalui bagian posterior rectum yang aganglionik,
menyatukan dinding posterior rektum yang aganglionik dengan
dinding anterior kolon proksimal yang ganglionik sehingga
membentuk rongga baru dengan anastomose end to side. Prosedur
Duhamel asli memiliki beberapa kelemahan, diantaranya sering terjadi
stenosis, inkontinensia dan pembentukan fekaloma di dalam puntung
rektum yang ditinggalkan apabila terlalu panjang.(19)

3) Prosedur Soave atau Endorectal Pull Through


Soave mengerjakan prosedur bedah yang berbeda dengan dua
prosedur bedah seperti diuraikan di atas. la melakukan pendekatan
abdominoperineal dengan membuang lapisan mukosa rektosigmoid
dari lapisan seromuskular. Selanjutnya dilakukan penarikan kolon
berganglion normal keluar anus melalui selubung seromuskular
rektosigmoid. Prosedur ini disebut juga sebagai prosedur pull-through
endorektal. Setelah 21 hari, sisa kolon yang diprolapskan dipotong.
Boley pada waktu yang hampir bersamaan melakukan prosedur pull-
through endorektal persis seperti prosedur Soave dengan anastomosis
langsung tanpa kolon diprolapskan lebih dahulu. Tehnik ini dilakukan
untuk mencegah retraksi kolon bila terjadi nekrosis bagian kolon yang
diprolapskan.(29)

18
4) Prosedur Rehbein
Prosedur ini tidak lain berupa deep anterior resection, dimana
dilakukan anastomose end to end antara usus aganglionik dengan
rektum pada level otot levator ani (2-3 cm diatas anal verge),
menggunakan jahitan 1 lapis yang dikerjakan intra abdominal
ekstraperitoneal. Pasca operasi, sangat penting melakukan businasi
secara rutin guna mencegah stenosis.(19)

K. KOMPLIKASI
Secara garis besar, komplikasi pasca tindakan bedah penyakit
Hirschsprung dapat digolongkan atas kebocoran anastomose, stenosis,
enterokolitis dan gangguan fungsi spinkter. Beberapa hal dicatat sebagai faktor
predisposisi terjadinya penyulit pasca operasi, diantaranya : usia muda saat
operasi, kondisi umum penderita saat operasi, prosedur bedah yang digunakan,
keterampilan dan pengalaman dokter bedah, jenis dan cara pemberian antibiotik
serta perawatan pasca bedah.(19)
1. Kebocoran Anastomose
Kebocoran anastomose pasca operasi dapat disebabkan oleh
ketegangan yang berlebihan pada garis anastomose, vaskularisasi yang tidak
adekuat pada kedua tepi sayatan ujung usus, infeksi dan abses sekitar
anastomose serta trauma colok dubur atau businasi pasca operasi yang
dikerjakan terlalu dini dan tidak hati-hati.(19)
2. Stenosis
Stenosis yang terjadi pasca operasi dapat disebabkan oleh gangguan
penyembuhan luka di daerah anastomose, infeksi yang menyebabkan
terbentuknya jaringan fibrosis, serta prosedur bedah yang dipergunakan. (30)

3. Enterokolitis

19
Enterokolitis merupakan komplikasi yang paling berbahaya, dan dapat
berakibat kematian. Swenson mencatat angka 16,4% dan kematian akibat
enterokolitis mencapai 1,2%. Kartono mendapatkan angka 14,5% dan 18,5%
masing-masing untuk prosedur Duhamel modifikasi dan Swenson. Sedangkan
angka kematiannya adalah 3,1% untuk prosedur Swenson dan 4,8% untuk
prosedur Duhamel modifikasi. Tindakan yang dapat dilakukan pada penderita
dengan tanda-tanda enterokolitis adalah(30)
1) Segera melakukan resusitasi cairan dan elektrolit
2) Pemasangan pipa rektal untuk dekompresi,
3) Melakukan wash out dengan cairan fisiologis 2-3 kali perhari
4) Pemberian antibiotika yang tepat.
Sedangkan untuk koreksi bedahnya tergantung penyebab/prosedur
operasi yang telah dikerjakan. Businasi pada stenosis, sfingterotomi posterior
untuk spasme spingter ani, dapat juga dilakukan reseksi ulang stenosis.
Prosedur Swenson biasanya disebabkan spinkter ani terlalu ketat sehingga
perlu spinkterektomi posterior. Sedangkan pada prosedur Duhamel
modifikasi, penyebab enterokolitis biasanya adalah pemotongan septum yang
tidak sempurna sehingga perlu dilakukan pemotongan ulang yang lebih
panjang.(19)
Enterokolitis dapat terjadi pada semua prosedur tetapi lebih kecil pada
pasien dengan endorektal pullthrough. Enterokolitis merupakan penyebab
kecacatan dan kematian pada megakolon kongenital, mekanisme timbulnya
enterokolitis menurut Swenson adalah karena obtruksi parsial. Obtruksi usus
pasca bedah disebabkan oleh stenosis anastomosis, sfingter ani dan kolon
aganlionik yang tersisa masih spastik. Manifestasi klinis enterokolitis berupa
distensi abdomen diikuti tanda obtruksi seperti muntah hijau atau fekal dan
feses keluar eksplosif cair dan berbau busuk. Enterokolitis nekrotikan
merupakan komplikasi paling parah karena terjadi nekrosis, infeksi dan
perforasi. Hal yang sulit pada megakolon kongenital adalah terdapatnya

20
gangguan defekasi pasca pullthrough, kadang ahli bedah dihadapkan pada
konstipasi persisten dan enterokolitis berulang pasca bedah.(19)

4. Gangguan Fungsi Spingter

Hingga saat ini, belum ada suatu parameter atau skala yang diterima
universal untuk menilai fungsi anorektal ini. Fecal soiling (kecepirit)
merupakan parameter yang sering dipakai peneliti terdahulu untuk menilai
fungsi anorektal pasca operasi, meskipun secara teoritis tersebut tidaklah
sama. Kecipirit adalah suatu keadaan keluarnya feces lewat anus tanpa dapat
dikendalikan oleh penderita, keluarnya sedikit-sedikit dan sering. Untuk
menilai kecipirit, umur dan lamanya pasca operasi sangatlah menentukan,
Swenson memperoleh angka 13,3% terjadinya kecipirit, sedangkan Kleinhaus
justru lebih rendah yakni 3,2% dengan prosedur yang sama. Kartono
mendapatkan angka 1,6% untuk prosedur Swenson dan 0% untuk prosedur
Duhamel modifikasi. Sedangkan prosedur Rehbein juga memberikan angka
0%. Pembedahan dikatakan berhasil bila penderita dapat defekasi teratur dan
kontinen.(19

L. PROGNOSIS
Secara umum prognosisnya baik jika gejala obstruksi segera diatasi, 90%
pasien dengan penyakit hirschprung yang mendapat tindakan pembedahan
mengalami penyembuhan dan hanya sekitar 10% pasien yang masih mempunyai
masalah dengan saluran cernanya sehingga harus dilakukan kolostomi permanen.
Angka kematian akibat komplikasi dari tindakan pembedahan pada bayi sekitar
20%.(19)

21

Anda mungkin juga menyukai