Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Anak merupakan sumber daya manusia yang paling

berpotensi diantara tatanan usia lainnya. Akan tetapi,

potensi ini diancam juga dengan mudahnya pengaruh luar

terhadap pribadi anak yang dapat menyebabkan

penyimpangan perilaku hingga pikiran.


Masalah ini merupakan masalah yang sangat penting

untuk diselesaikan mengingat bahwa anak merupakan

asset terbesar bagi kelanjutan hidup manusia dan

keberhasilan peradaban.
Salah satu masalah yang dapat mempengaruhi

perilaku anak dan menjadi permasalahan yang mulai

menjamur dimasyarakat dan mengkhawatirkan adalah

kemungkinan anak menjadi korban kekerasan seksual.


Jika melihat dari peraturan perundang-undangan, hal

ini telah diatur dalam undang-undang yaitu dalam Undang-

Undang Republik Indonesia Tahun 2014 tentang Perubahan

Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak. Akan tetapi, ketika ditelaah lebih jauh

maka akan muncul sederet kasus kekerasan seksual

dengan anak sebagai korbannya yang belum terselesaikan.


Oleh karena itu, makalah ini dibuat untuk

menganalisis keefektivan dan kesempurnaan Undang-


Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak.
B. Rumusan Masalah
- Mengapa kekerasan seksual terhadap anak harus di

tindak?
- Bagaimana regulasi Undang-Undang terhadap kasus

pedofilia?
- Bagaimana penerapan dari Undang-Undang Nomor 35

tahun 2014 ini di lapangan?

C. Tujuan Penulisan
- Untuk menganalisisis pentingnya penindakan kasus

kekerasan seksual terhadap anak


- Untuk mengetahui regulasi Undang-Undang terhadap

kasus kekerasan seksual pada anak


- Untuk menganalisis pelaksanaan dari Undang-

undang tersebut di lapangan apakah sesuai atau

tidak.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Kekerasan Seksual Terhadap Anak


Istilah kekerasan terhadap anak (child abuse) mulai dikenal dari
dunia kedokteran pada tahun 1946 (Kurniawati, 2013). Abuse biasa
diterjemahkan sebagai kekerasan, penganiayaan, penyiksaan, atau
perlakuan yang salah, perilaku tidak layak yang mengakibatkan kerugian
atau bahaya secara fisik, psikologis, atau finansial, baik dialami individu
atau kelompok. Child abuse adalah tindakan melukai yang berulang secara
fisik dan emosional terhadap anak melalui desakan hasrat, hukuman badan
yang tidak terkendali, degradasi, dan cemoohan permanen atau kekerasan
seksual serta penelantaran (lalai) sehingga anak
kehilangan kesempatan untuk mengembangkan potensi uniknya sebagai
manusia secara optimal (Cameron dalam Salmiah, 2009). Terdapat empat
jenis kekerasan terhadap anak yaitu kekerasan fisik, kekerasan seksual,
kekerasan
emosional, dan kelalaian. Eksploitasi anak atau mempekerjakan anak di
bawah umur untuk tujuan komersil dengan mengesampingkan
perkembangan fisik, mental, dan sosial anak merupakan jenis lain dari
kekerasan terhadap
anak (Salmiah, 2009).
Kekerasan terhadap anak dapat terjadi akibat banyak faktor, baik
yang berdiri sendiri ataupun kombinasi dari beberapa faktor. Menurut
Gelles Richard J (1982), faktor penyebab kekerasan terhadap anak
adalah: 1) Pewarisan kekerasan antar generasi yaitu saat seseorang
mengalami kekerasan pada masa kecilnya, cenderung akan
menjadi pelaku kekerasan; 2) Stress sosial mencakup
pengangguran, penyakit, kondisi perumahan yang buruk, orang
cacat, dan kematian anggota keluarga; 3) Isolasi sosial dan keterlibatan
masyarakat bawah; dan 4) Struktur keluarga, misalnya orangtua
tunggal lebih memungkinkan melakukan tindak kekerasan
dibandingkan keluarga utuh (Kurniawati, 2013).
Mengerucut pada kekerasan seksual (Terry Lawson, 2008), yaitu
setiap perbuatan berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan
hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan tidak disukai, pemaksaan
hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial atau tujuan
tertentu (Huraerah, 2008). Kekerasan seksual dapat berupa tindakan
oral-genital, genital-genital, genital-rektal, tangan-genital, tangan-
rektal, tangan-payudara, pemaparan anatomi seksual, melihat
dengan paksa, dan menunjukkan pornografi. Kekerasaan seksual
(Tobach, 2008) biasanya disertai dengan tekanan psikologis atau
fisik (Kurniawati, 2013). Perkosaan merupakan jenis kekerasan
seksual yang spesifik, yaitu penetrasi seksual tanpa izin atau dengan
paksaan, disertai oleh kekerasan fisik (Kurniawati, 2013).
Kekerasan seksual dapat dibagi menjadi dua jenis berdasarkan
identitas pelaku, yaitu familial abuse jika pelaku merupakan orang yang
masih mempunyai hubungan darah, atau menjadi bagian dalam
keluarga inti, termasuk ayah tiri; dan extrafamilial abuse jika dilakukan
oleh orang lain di luar keluarga korban. Kekerasan seksual (Struve,
1990) yang dilakukan oleh orang dewasa kepada anak disebut sebagai
pedophile, sedangkan hubungan seksual antara pria dewasa dengan
anak laki-laki disebut dengan pedetrasy (Kurniawati, 2013). Namun
dalam banyak kajian, tindakan seksual yang dilakukan oleh orang
dewasa kepada anak (laki-laki dan/atau perempuan) lebih dikenal dengan
sebutan pedophile (pedofilia).

B. Akibat Kekerasan Seksual Terhadap Anak


Kekerasan seksual terhadap anak akan
memberikan dampak atau efek yang tidak ringan kepada
anak sebagai korban. Kebanyakan
korban perkosaan mengalami psychological disorder
yang disebut post-traumatic stress disorder (PTSD)
yang simtomnya berupa ketakutan yang intens,
kecemasan yang tinggi, dan emosi yang kakus
pascaperistiwa (Kurniawati, 2013). Korban yang
mengalami kekerasan membutuhkan waktu satu hingga
tiga tahun untuk terbuka pada orang lain.
Finkelhor dan Browne (Kurniawati, 2013)
menggagas empat jenis dari efek trauma akibat kekerasan
seksual, yaitu:
a. Pengkhianatan (Betrayal)
Kepercayaan merupakan dasar utama
bagi korban kekerasan seksual. Sebagai anak
individu percaya kepada orangtua dan
kepercayaan itu dimengerti dan dipahami.
Namun, kepercayaan anak dan otoritas
orangtua menjadi hal yang mengancam anak.
b. Trauma secara Seksual (Traumatic
Sexualization)
Russel (dalam Tower, 2002)
menemukan bahwa perempuan yang
mengalami kekerasan seksual cenderung
menolak hubungan seksual, dan sebagai
konsekuensinya menjadi korban kekerasan seksual
dalam rumah tangga. Finkelhor mencatat
bahwa korban lebih memilih pasangan sesama
jenis karena menganggap laki-laki tidak dapat
dipercaya.
c. Tidak Berdaya (Powerlessness)
Rasa takut menembus kehidupan korban.
Mimpi buruk, fobia, dan kecemasan dialami oleh
korban disertai dengan rasa sakit. Perasaan
tidak berdaya mengakibatkan individu merasa
lemah. Korban merasa dirinya tidak mampu
dan kurang efektif dalam bekerja. Beberapa
korban juga merasa sakit pada tubuhnya.
Sebaliknya, pada korban lain memiliki intensitas
dan dorongan yang berlebihan dalam dirinya.
d. Stigma (Stigmatization)
Korban kekerasan seksual merasa
bersalah, malu, memiliki gambaran diri Rasa
bersalah dan malu terbentuk akibat
ketidakberdayaan dan merasa bahwa mereka
tidak memiliki kekuatan untuk mengontrol dirinya.
Korban sering merasa berbeda dengan orang lain,
dan beberapa korban marah pada tubuhnya akibat
penganiayaan yang dialami. Korban lainnya
menggunakan obat-obatan dan minuman
alkohol untuk menghukum tubuhnya,
menumpulkan inderanya, atau berusaha
menghindari memori kejadian tersebut.

C. Regulasi Undang-Undang terhadap Kekerasan


Seksual Pada Anak Dan Pelaksanaannya
Kasus pedofilia di Indonesia mulai ramai
diperbincangkan setelah terjadi kasus pada tahun
2001, yaitu seorang turis dari Italia, Mario Manara.
mencabuli sembilan bocah di Pantai Lovina, Buleleng,
Bali. Manara hanya dihukum selama sembilan bulan
penjara karena hukum saat itu masih sangat lemah. Sejak
saat itulah muncul Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002
tentang Perlindungan Anak sebagai jaminan
perlindungan anak dari kekerasan termasuk kekerasan
seksual. Seiring dengan berjalannya waktu dan ditemukan
bahwa kekompleksan perlindungan anak semakin tinggi
dan Undang-Undang tersebut sudah mengalami cacat
karena tidak dapat mengatur semuanya, maka pada tahun
2014 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 direvisi
sehingga muncullah Undang-Undang RepublikIndonesia
Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Menurut Samsul Ridwan, Sekretaris Jenderal Komnas
Perlindungan Anak, angka pengaduan kasus pelanggaran
hak anak meningkat tajam setiap tahunnya
(health.liputan6.com, 2013). Sepanjang tahun 2013,
kasus pelanggaran hak anak masih didominasi oleh
kekerasan terhadap anak. Selain kasus kekerasan fisik,
ditemukan juga banyak kasus kekerasan seksual.
Berdasarkan data yang dipantau Pusat Data dan
Informasi Komisi Nasional Perlindungan Anak diketahui
pada tahun 2013 terjadi kasus kekerasan terhadap anak
sebanyak 1.620 kasus. Rincian kasus tersebut terdiri
atas; kekerasan fisik 490 kasus (30 %), psikis 313 kasus
(19 %), dan paling banyak kekerasan seksual 817 kasus
(51 %). Artinya setiap bulannya hampir 70-80 anak
menerima kekerasan seksual. Beberapa latar belakang
kasus kekerasan seksual di antaranya karena
pengaruh media pornografi sebanyak 81 kasus (8 %),
terangsang dengan korban 178 kasus (17 %), hasrat
tersalurkan sebanyak 298 kasus (29 %).
Kepedulian pemerintah dalam perlindungan anak
dari kejahatan seksual diwujudkan dalam penerbitan
Inpres Gerakan Nasional Anti Kejahatan Seksual
terhadap Anak (GN-AKSA) Nomor 5 tahun 2014. Inpres
GN-AKSA ditujukan kepada para menteri, jaksa agung,
kepala kepolisian, gubernur, dan bupati/walikota untuk
mengambil langkah yang diperlukan sesuai tugas
dan fungsi masing-masing secara terkoordinasi dan
terintegrasi dalam mencegah dan memberantas
kejahatan seksual terhadap anak dengan melibatkan
seluruh unsur masyarakat dan dunia usaha.
Regulasi Undang-Undang tentang kekerasan pada
anak terutama kekerasan seksual sudah sangat lengkap
dan menaungi semua kebutuhan yang tersedia. Pada
konsepnya, jumalh kekerasan yang terjadi dapat ditekan
hingga tidak bersisa dan membebaskan anak dari
kemungkinan kekerasan seksual. Akan tetapi, pada
kenyataannya hal ini masih sangat jauh dari kata sempurna
karena pelaksanaan aturan ini di lapangan masih
setengah-setengah sehingga menimbulkan kemungkinan
atau celah bagi pelaku kekersana seksual untuk melakukan
atau melanjutkan perbuataannya. Hal ini bukan berarrti
bahwa pemerintah hanya diam dalam menindak kasus ini,
hanya tindakan pemerintah masih terbilang lamban dan
bertele-tele sehingga ketika mereka menyelesaiann 1
masalah, masalah yang kemudian muncul dan
menyebabkan pekerjaan pemeintah tertumpuk dan tidak
terselesaikan dengan baik.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Masalah anak merupakan masalah krusial yang melibatkan lintas unit.


Tak hanya tanggung jawab keluarga, kesejahteraan dan keselamatan anak
juga merupakan tanggung jawab pemerintah. Kejahatan seksual terhadap
anak menjadi tantangan bagi segenap unsur pemerintah termasuk
masyarakat untuk ikut memberikan perlindungan terhadap anak. Data
mengungkapkan bahwa hanya satu dari lima anak yang mengalami
pelecehan seksual bersedia melaporkan peristiwa tersebut, sebagian besar
bercerita setelah mereka dewasa.
Oleh karena itu perlu untuk mengenali tanda peringatan anak
mengalami kekerasan seksual.

B. Saran
- Sebagai insan yang beradab, maka sudah
sepatutnyalah kita menjadi teladan dalam kehidupan
dan menunjukkan bahwa kekerasan seksual terhadap
anak merupakan hal yang jahat dan patut dihukum
DAFTAR PUSTAKA

Anwar, S. D. 2014. Pentingnya Membangun


Komitmen Bersama untuk Mencegah Maraknya
Kekerasan Seksual dan Pornograf. Jakarta:
Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik,
Kemenkominfo.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35


TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-
UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG
PERLINDUNGAN ANAK

Huraerah, A. 2008. Kekerasan terhadap Anak:


Fenomena Masalah Sosial Kritis di Indonesia (1st ed.).
Jakarta: Nuansa.

Perserikatan Bangsa-Bangsa. (2006). Hak-hak Anak


Laporan Pakar Independen untuk Studi Mengenai
Kekerasan Terhadap Anak

P. Ratih dan B. Daud. 2015. Pedoflia Dan Kekerasan


Seksual: Masalah Dan Perlindungan Terhadap Anak.
Yogyakarta. BP2P3KS
EFEKTIVITAS UNDANG-
UNDANG
PERLINDUNGAN ANAK
TERHADAP PELAKU
KEKERASAN SEKSUAL

Disusun Oleh :
ABEL ROMARIO PEHOPU
B111 16 408
HTN F

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS
HASANUDDIN
2017

Anda mungkin juga menyukai