Anda di halaman 1dari 27

1

BAB I

PENDAHULUAN

Batu kandung empedu telah dikenal di seluruh dunia dan prevalensinya


bervariasi menurut letak geografis dan ras (etnik). Prevalensi terendah dapat
ditemukan di benua Afrika. Prevalensi kolelitiasis di negara Eropa dilaporkan
sekitar 5-15% menurut beberapa survey dengan ultrasonografi. Di negara-negara
Asia, prevalensi kolelitiasis berkisar antara 3-10%.1
Angka kejadian penyakit batu empedu dan penyakit saluran empedu lainnya
di Indonesia diduga tidak berbeda jauh dengan angka di negara lain di Asia Tenggara
dan sejak tahun 1980-an agaknya berkaitan erat dengan cara mendiagnosis dengan
menggunakan ultrasonografi. Dikenal tiga jenis batu empedu yaitu batu kolesterol,
batu pigmen atau batu bilirubin, yang terdiri dari kalsium bilirubinat dan batu
campuran. Di negara barat 80% batu empedu adalah batu kolesterol, tetapi angka
kejadian batu pigmen semakin meningkat akhir-akhir ini. Sebaliknya di Asia Timur,
lebih banyak batu pigmen dibanding dengan batu kolesterol, tetapi angka kejadian
batu kolesterol sejak 1965 makin meningkat. Tidak jelas apakah perubahan angka ini
betul-betul oleh karena prevalensi yang berubah.2
Sementara ini didapat kesan bahwa meskipun batu kolesterol di Indonesia
lebih umum, tetapi angka kejadian batu pigmen lebih tinggi dibanding yang terdapat
di negara barat, tetapi sesuai dengan angka di negara tetangga (Asia Tenggara).2
Banyak penelitian akhir-akhir ini yang menunjukkan bahwa kolelitiasis
mempunyai hubungan dengan umur, jenis kelamin wanita, kehamilan, Body Mass
Index (BMI), konsumsi alkohol, kebiasaan diet dan gangguan metabolik seperti
diabetes mellitus dan hiperlipidemia.1
Mengacu pada faktor-faktor resiko tersebut dan perbedaan status sosial
ekonomi, prevalensi batu pigmen, batu CBD (common bile duct) dan batu IHD (intra
hepatic duct) lebih tinggi di negara-negara Asia Timur dibanding negara-negara
Barat. Tetapi, perubahan status sosial ekonomi dan pola hidup di negara-negara Asia,
mengakibatkan adanya kemiripan prevalensi kolelitiasis dengan negara-negara barat.
BAB II
LAPORAN KASUS
1
2

2.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : Tn.Mansyur
Usia : 32 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : DS.Banjaranyar-Kec. Baureno -Bojonegoro-Jawa Timur
Suku : Jawa
Status : Menikah
Ruang : Asoka, No.Bed 7
No RM : 487201
2.2 ANAMNESIS
2.2.1 Keluhan Utama
Nyeri perut
2.2.2 Riwayat penyakit sekarang
Nyeri perut sejak kemarin malam, nyeri di ulu hati, nyeri muncul
setelah makan pepaya dan tahu rebus. Nyeri seperti ditusuk-tusuk,
dirasakan terus menerus. Nyeri tidak berkurang sama sekali sebelum
MRS dan mendapat obat.
Demam sejak kemarin malam bersamaan dengan nyeri ulu hati
muncul. Demam hilang timbul.
Kulit seluruh badan dan mata kuning sejak + 1 bulan yang lalu,
kuning terus menerus. Kuning tidak berkurang sampai saat ini.
Buang air besar hitam sejak + 9 hari yang lalu. Buang air besar
hitam seperti petis, lembek. Buang air besar hitam selama 3 hari, setiap
hari sebanyak 1 x. Kemudian tidak dapat buang air besar sampai
sekarang.
Badan lemah sejak 1 bulan yang lalu. Lemah terus menerus.
Makan berkurang sejak 1 bulan yang lalu, setiap makan sedikit
perut terasa penuh dan terasa mual setiap makan.
Minum + 600 cc/24 jam.
Buang air kecil seperti teh.
2.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu
Sejak 9 hari yang lalu pasien dirawat d RSUD Bojonegoro karena
sakit kuning, pucat, dan 2lemas, pasien diberikan transfusi darah
sebanyak 4 kantong. Pasien dirawat selama 8 hari, kemudian pasien
sempat pulang dengan kondisi membaik hanya sehari dirumah. Riwayat
3

sakit kuning sejak usia + 7 bulan. Sering kambuh jika sakit. Riwayat
Hipertensi, Diabetes, Asma dan penyakit jantung disangkal.
2.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada yang sakit seperti ini.
Hipertensi, Diabetes, Asma dan penyakit jantung disangkal.
2.2.5 Riwayat Obat
Alergi obat ataupun makanan disangkal Suka minum jamu-
jamuan racikan jika badan capek.
2.2.6 Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien sehari-hari bekerja berjualan gorengan. Suka makan
makanan gorengan. Perokok + 4 tahun yang lalu. Minuman alkohol
disangkal.

2.3 PEMERIKSAAN FISIK


2.3.1 Keadaan Umum:
Kesadaran : composmentis
GCS : 456
Keadaan umum : lemah
2.3.2 Vital Sign:
Nadi : 87x/menit (reguler)
RR : 20 x/menit
Suhu : 36C (axiller)
Tensi : 110/60 mmHg
2.3.3 Kepala/Leher:
A/I/C/D : +/+/-/-
Mata:
o Pupil isokor ki = ka
o Conjunctiva palbebra inferior pucat (+)
o Sclera icterus (+)
o Edema palpebra (-)
o Cowong (-)
Telinga:
o Pendengaran baik
o Bentuk normal
o Sekret ( - / - )
Hidung:
o Pernafasan cuping hidung (-)
o Epistaksis (-)
o Sekret (-)
o Deviasi septum nasi (-)
Mulut:
4

o Sianosis (-)
o Ulcus (-)
Leher:
o Simetris
o Pembesaran KGB (-)
o Peningkatan JVP (-)
o Pembesaran Kelenjar tyroid (-)
2.3.4 Thoraks :
Paru:
o I : Bentuk normal, gerakan dada simetris, scar (-)
o P : Frem. vocal + | +
+|+
+|+
o P : sonor | sonor
sonor | sonor
sonor | sonor
o A : ves | ves Rhon- | - Whez - | -
ves | ves -|- -|-
ves | ves -|- -|-

Jantung:
o I : Bentuk normal, gerakan dada simetris, scar (-)
o P : Ictus cordis di ICS V midclavicula line
sinistra
o P : Batas kanan atas ICS II parasternal dextra
Batas kanan bawah ICS IV parasternal dextra
Batas kiri atas ICS II parasternal sinistra
Batas kiri bawah ICS IV midclavicula sinistra
o A : S1S2 tunggal reguler, Murmur (-), Gallop (-)
2.3.5 Abdomen :
o Inspeksi : Distended (-) scar (-) ,caput
nedusa (-), spider
nevi (-), vena kontralateral (-)
o Auskultasi : Bising usus (+) Normal
o Palpasi :
o Hepar tidak teraba
o Lien teraba pada titik schuffner 4 dan hackett 3
o Murphy sign (+)
o Renal tidak teraba
o Massa (-)
o Nyeri tekan epigastrium
Perkusi:
o Metoerismus (-)
5

o Shifting dullness (-)


o Undulasi (-)
2.3.6 Ektremitas :
Akral hangat, kering dan kuning pada keempat ekstremitas
Capillary refill time < 2 detik
Edema (-)
2.4 PROBLEM LIST
Nyeri di ulu hati
Demam
Icterus, jaundice
Mual
Anemia

2.5 ASSESMENT
Kolelitiasis
Diagnosis banding :
Gastritis erosiva
Anemia defisiensi besi
Diagnosis banding :
Anemia hemolitik

2.6 PLANNING
2.6.1 Planning Diagnosis
1. Laboratorium: Darah lengkap, LED, Faal hati, Faal ginjal, Serum
elektrolit
Indeks eritrosit
Hapusan darah tepi
Pemeriksaan tes antiglobulin (combs test)

Hasil Laboratorium yang bermakna :


Darah Lengkap (24/02/2016)
hemoglobin : 8,8 g/dL (L)
leukosit : 18.300 (H)
eritrosit : 3.390.000 (L)
hematokrit : 26,1 % (L)
MCV : 77,0 fL (L)
MCH : 26,0 pg (H)
6

MCHC : 33,7 g/dL


RDW-CV : 23,0 % (H)
RDW-SD : 62 fL (H)
Trombosit : 275.000 (N)
Bilirubin total : 23,20 mg/dL (H)
Bilirubin direk : 15,61 mg/dL (H)
SGOT : 441 U/L (H)
SGPT : 312 U/L (H)
Kreatinin : 0,60 mg/dL (L)
Natrium : 34 mEq/L(L)
Kalium : 2,9 mEq/L (L)
HbsAg : Negatif
AFP : <0,5 ng/Ml
Darah Lengkap (25/02/2016)
Laju Endap Darah 1 jam : 108 mm/ jam (H)
Laju Endap Darah 2 jam : 122 mm/ jam (H)
Retikulosit : 4,00 % (H)
Jumlah Retikulosit : 120.000 (H)
APTT Pasien : 39,80 detik (H)
Albumin : 3,30 g/dL (L)
Hapusan Darah Tepi
Eritrosit : Hipokromik (+), polikromasia (+), normoblast (-)
Leukosit : Kesan jumlah normal, sel blast (-)
Trombosit : Jumlah normal, giant trombosit (-)
Kesan : Suspect Anemia defisiensi besi.
2. USG Abdomen (29/02/2016)
Kesimpulan : - Batu multiple kecil-kecil pada Gall Bladder
- Splenomegali
- Hepar, Pancreas, kedua Ginjal, Buli-buli dan
prostat normal.
3. Endoscopy
Kesimpulan : Gastritis erosiva
7

2.6.2 Planning Terapi


Infus KaEN 3 B 2000 cc / 24 jam
Inj. Ceftriaxon 2 x 1
Inj. Omeprazole 2 x 1
Inj. Asam Traneksamat 2 x 1
Inj. Vit K 3 x 1
Tab. Curcuma 3 x 1
Sirup Sucralfat 3 x C1
8

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi Kandung Empedu


Kandung empedu (Vesica fellea) adalah kantong berbentuk buah pear
yang terletak pada permukaan visceral hepar, panjangnya sekitar 7 10 cm.
Kapasitasnya sekitar 30-50 cc dan dalam keadaan terobstruksi dapat
menggembung sampai 300 cc. Vesica fellea dibagi menjadi fundus, corpus
dan collum. Fundus berbentuk bulat dan biasanya menonjol dibawah pinggir
inferior hepar yang dimana fundus berhubungan dengan dinding anterior
abdomen setinggi ujung rawan costa IX kanan. Corpus bersentuhan dengan
permukaan visceral hatidan arahnya keatas, belakang dan kiri. Collum
dilanjutkan sebagai duktus cysticus yang berjalan dalam omentum minus
untuk bersatu dengan sisi kanan ductus hepaticus comunis membentuk
duktus koledokus. Peritoneum mengelilingi fundus vesica fellea
dengan sempurna menghubungkan corpus dan collum dengan permukaan
visceral hati. 3,4
Pembuluh arteri kandung empedu adalah arteri cystica, cabang arteri
hepatica kanan. Vena cystica mengalirkan darah lengsung kedalam vena
porta. Sejumlah arteri yang sangat kecil dan vena vena juga berjalan antara
hati dan kandung empedu. Pembuluh limfe berjalan menuju ke nodi
lymphatici cysticae yang terletak dekat collum vesica fellea. Dari sini,
pembuluh limfe berjalan melalui nodi lymphatici hepaticum sepanjang
perjalanan arteri hepatica menuju ke nodi lymphatici coeliacus. Saraf yang
menuju kekandung empedu berasal dari plexus coeliacus. 3

9
9

Gambar 2. Anatomi empedu. 5

Vesica fellea berperan sebagai resevoir empedu dengan kapasitas


sekitar 50 ml. Vesica fellea mempunya kemampuan memekatkan empedu.
Dan untuk membantu proses ini, mukosanya mempunyai lipatan-lipatan
permanen yang satu sama lain saling berhubungan. Sehingga permukaanya
tampak seperti sarang tawon. Sel- sel thorak yang membatasinya juga
mempunyai banyak mikrovilli. Empedu dibentuk oleh sel-sel hati
ditampung di dalam kanalikuli. Kemudian disalurkan ke duktus biliaris
terminalis yang terletak di dalam septum interlobaris. Saluran ini kemudian
keluar dari hati sebagai duktus hepatikus kanan dan kiri. Kemudian keduanya
membentuk duktus biliaris komunis. Pada saluran ini sebelum mencapai
doudenum terdapat cabang ke kandung empedu yaitu duktus sistikus yang
berfungsi sebagai tempat penyimpanan empedu sebelum disalurkan ke
duodenum. 1,3

3.2 Fisiologis Kandung Empedu


Fungsi primer kandung empedu adalah memekatkan empedu dengan
absorbsi air dan natrium. Kandung empedu mampu memekatkan zat terlarut
yang terkandung dalam empedu hepatic sampai 5-10 kali dan mengurangi
volumenya 80%-90%.6
10

Factor-faktor yang bertanggung jawab untuk pengisian kandung


empedu dan pengosongannya adalah hormonal, neural, dan mekanikal.
Memakan makanan akan menimbulkan pelepasan hormon duodenum yaitu
kolesistokinin (CCK), yang merupakan stimulus utama bagi pengosongan
kandung empedu. Reseptor CCK terletak dalam otot polos dari dinding
kandung empedu. Pengosongan maksimum terjadi dalam waktu 90-120 menit
setelah konsumsi makanan. Faktor neural yang predominan dalam mengatur
aktifitas motoris kandung empedu adalah stimulasi kolinergik yang
menimbulkan kontraksi. Pengisian kandung empedu terjadi pada saat tekanan
dalam duktus biliaris (berkaitan dengan aliran dantekanan sfingter) lebih
besar dari pada tekanan didalam kandung empedu. Sejumlah peptide usus
terlibat sebagai faktor endogen yang dapat mempengaruhi proses ini. 6
Aliran empedu kedalam duodenum tergantung pada koordinasi
kontraksi kandung empedu dengan relaksasi sfingter odii. Makanan
merangsang CCK sehingga mengurangi fase aktivitas sfingter odii yang
berkontraksi, menginduksi relaksasi, oleh karena itu memungkinkan
masuknya empedu kedalam duodenum.6
Empedu secara primer terdiri dari air, lemak organik, dan elektrolit
yang normalnya diproduksi oleh hepatosit. Komposisi elektrolit dari empedu
sebanding dengan cairan ekstraseluler. Kandungan protein relatif rendah. Zat
terlarut organik yang predominan adalah garam empedu, kolesterol, dan
fosfolipid. Asam empedu primer, asam xenodeoksilat dan asam kolat,
disintesis dalam hati dari kolesterol. Konjugasi dengan taurin atau glisin
terjadi didalam hati. Kebanyakan kolesterol yang ditemukan dalam empedu
disintesis denovo dalam hati. Asam empedu merupakan pengatur endogen
penting untuk metabolisme kolesterol. Pemberian asam empedu
menghambat sintesis kolesterol hepatik tetapi meningkatkan absorbs
kolesterol. 6
Lebih dari 80% asam empedu terkonjugasi secara aktif dibsorbsi
dalam ileum terminalis. Akhirnya, kurang lebih separuh dari semua asam
empedu yang diabsorbsi dalam usus dibawa kembali melalui sirkulasi porta
ke hati. Sistem ini memungkinkan kumpulan garam empedu yang relatif
sedikit untuk bersirkulasi ulang 6-12 kali perhari dengan hanya sedikit yang
11

hilang selama perjalanan. Hanya sekitar 5% dari asam empedu yang


disekresikan dalam feses. 6

3.3 Definisi Batu Empedu


Batu empedu adalah penyakit dengan keadaan dimana terdapat atau
terbentuk batu empedu, bisa terdapat dalam kandung empedu
(cholecystolithiasis) atau dalam duktus choledochus (choledocholithiasis). 7

3.4 Epidemiologi
Angka kejadian batu empedu di tiap negara berbeda-beda.
Banyak faktor yang mempengaruhi pembentukan batu empedu di
antaranya ras, pola hidup, genetik dan infeksi. Prevalensi batu empedu di
beberapa negara Barat hampir sama dengan di Amerika Serikat,tetapi di
negara-negara Asia lebih rendah. Di Indonesia belum ada penelitian
epidemiologis,diduga insidensi batu empedu masih lebih rendah bila
dibandingkan dengan di negara Barat. Tetapi dengan adanya kecenderungan
pola hidup modem maka mungkin batu empedu diIndonesia pada masa
mendatang akan merupakan suatu masalah kesehatan yang perlu mendapat
perhatian.8,9
Di Amerika Serikat, sekitar 10-15 % penduduk dewasa mendertia
batu empedu,dengan angka kejadian pada pasien wanita tiga kali lebih
banyak dari pada pria. Setiap tahun,sekitar 1 juta pasien batu empedu
ditemukan dan 500.000 600.000 pasien kolesistektomi,dengan total biaya
sekitar US$4 trilyun. 8,9
Dari hasil otopsi diperkirakan sekitar 12% laki-laki dan 24%
perempuan dari segala umur memiliki batu empedu. Prevalensi kelainan ini di
Amerika Utara mirip dengan keadaandi Inggris, dan diduga 10-30% batu
empedu menjadi simptomatis. Terdapat prevalensi yangtinggi pada penduduk
asli Amerika, yaitu 50% pada laki-laki dan 75% pada wanita denganusia
antara 25-44 tahun dengan peran faktor genetik yang jelas.5
Di Inggris lebih dari 40.000 kolesistektomi dilakukan setiap
tahun. Insidensi batupada CBD yang ditemukan sebelum atau pada saat
kolesistektomi sekitar 12% - 15%, menunjukkan bahwa di Inggris saja lebih
12

dari 4000 memerlukan pembersihan batu darisaluran empedu setiap tahunnya.


5,9
Balzer dkk, melakukan penelitian epdiemiologi untuk mengetahui
seberapa banyak populasi penderita batu empedu di Jerman. Dilaporkan
bahwa dari 11.840 otopsi ditemukan13,1% pria dan 33,7% wanita menderita
batu empedu. Faktor etnis dan genetic berperanpenting dalam pembentukan
batu empedu. Selain itu, penyakit batu empedu juga relative rendah di
Okinawa Jepang. Sementaraitu, 89 % wanita suku Indian Pima di Arizona
Selatanyang berusia diatas 65 tahun mempunyai batu empedu. Batu empedu
dapat terjadi dengan atau tanpa factor resiko dibawah ini. Namun, semakin
banyak faktor resiko yang dimiliki seseorang, semakin besar kemungkinan
untuk terjadinya batu empedu. 5,8,9

3.5 Faktor Risiko


3.5.1 Jenis Kelamin
Menurut penelitian penyakit batu kandung empedu lebih tinggi
resikonya dua kali terjadi pada wanita di bandingkan pada pria. Karena
pada wanitaterdapat hormon progesteron dan esterogen yang apabila
bergabung akan mempengaruhi kolesterol di dalam empedu sehingga
mengalami suatu proses untuk pembentukan batu empedu.10
3.5.2 Usia
Faktor usia mempengaruhi terjadinya resiko penyakit batu
kandung empedu. Dan menurut penelitian pada usia 40 tahun keatas
penyakit batu kandung empedu lebih mudah terbentuk karena tubuh
cenderung mengeluarkan lebih banyak kolesterol ke dalam cairan
tubuh.11
3.5.3 Kehamilan/Kesuburan
Pada saat proses kehamilan terjadi penggabungan pengaruh hormon
progesteron dan esterogen. Akibat penggabungan ini meningkatkan
hipersekresi kolesterol yang mengakibatkan kolesterol di dalam empedu
mengalami proses (predis proses) untuk pembentukan batu empedu. Bukan
hanya pada masa kehamilan tetapi penggunaan pil KB juga memudahkan
terbentuknya batu.10
3.5.4 Kegemukan
13

Perbandingan yang normal antara lemak tubuh dengan berat badan


adalah sekitar 25 -30% pada wanita dan 18-23% pada pria. Wanita dengan
lemak tubuh lebih dari 30% dan pria dengan lemak tubuh lebih dari 25%
dianggap mengalami obesitas. Seseorang yang memiliki berat badan 20%
lebih tinggi dari nilai tengah kisaran berat badannya yang normal dianggap
mengalami obesitas. Obesitas digolongkan menjadi 3 kelompok:
1. Obesitas ringan : kelebihan berat badan 20-40%
2. Obesitas sedang : kelebihan berat badan 41-100%
3. Obesitas berat : kelebihan berat badan >100% (Obesitas berat ditemukan
sebanyak 5% dari antara orang-orang yang gemuk).
Seseorang yang lemaknya banyak tertimbun di perut mungkin akan
lebih mudah mengalami berbagai masalah kesehatan yang berhubungan
dengan obesitas. Mereka memiliki risiko yang lebih tinggi. Obesitas
meningkatkan risiko terjadinya sejumlah penyakit menahun salah satunya
adalah penyakit batu kandung empedu. Mereka lebih bayak mencerna dan
mensintesis kolesterol sehingga mengeluarkan lebih banyak kolesterol ke
dalam empedu.10
3.5.5 Sindrom metabolik
Sindrom metabolik adalah kombinasi dari gangguan medis yang
meningkatkan resiko suatu penyakit salah satunya adalah penyakit diabetes.
Pada penderita yang mengalami masalah sindrom penyakit diabetes pada
umumnya memiliki kadar asam lemak atau trigliserida yang tinggi, sehingga
resiko menderita penyakit batu kandung empedu semakin besar.10
3.5.6 Faktor Genetik
Faktor genetik juga terlibat pada pembentukan batu empedu ini
dibuktikan oleh prevalensi batu empedu yang tersebar luas diantara berbagai
bangsa dan kelompok etnik tertentu. Dan penyakit batu kandung empedu ini
seringkali merupakan penyakit keturunan dalam keluarga dan berhubungan
dengan pola hidup keluarga tersebut.10

3.5.7 Diet rendah serat


Pola makan yang rendah serat tapi tinggi lemak serta kolesterol dapat
mengakibatkan beberapa penyakit, salah satunya adalah penyakit batu
14

kandung empedu. Dengan pola diet yang rendah serat ini menambah resiko
terjadinya penyakit batu kandung empedu.12

Tabel 1. Karakteristik perbedaan dari tipe batu empedu dan faktor risiko dari
batu empedu.13

3.6 Jenis Batu Kandung Empedu


Schirmer et al14, membagi batu kandung empedu menjadi tiga jenis
yaitu batu kolesterol, batu pigmen dan campuran (tabel 1).14
Batu kolesterol mengandung lebih dari 50% kolesterol dari seluruh
beratnya, sisanya terdiri dari protein dan garam kalsium. Batu kolesterol
sering mengandung kristal kolesterol dan musin glikoprotein. Kristal
kolesterol yang murni biasanya agak lunak dan adanya protein menyebabkan
kosistensi batu empedu menjadi lebih keras.14
Batu pigmen merupakan campuran dari garam kalsium yang tidak
larut, terdiri dari kalsium bilirubinat, kalsium fosfat dan kalsium karbonat.
Kolesterol terdapat dalam batu pigmen dalam jumlah kecil yaitu 10% dalam
batu pigmen hitam dan 10-30% dalam batu pigmen coklat.14
Batu pigmen dibedakan menjadi dua yaitu batu pigmen hitam dan
batu pigmen coklat, keduanya mengandung garam kalsium dari bilirubin.
Batu pigmen hitam mengandung polimer dari bilirubin dengan musin
glikoprotein dalam jumlah besar, sedangkan batu pigmen coklat mengandung
garam kalsium dengan sejumlah protein dan kolesterol yang bervariasi. Batu
15

pigmen hitam umumnya dijumpai pada pasien sirosis atau penyakit hemolitik
kronik seperti talasemia dan anemia sel sickle. Batu pigmen coklat sering
dihubungkan dengan kejadian infeksi.14

3.7 Patogenesis Kolelitiasis


Patogenesis terbentuknya batu telah diselidiki dalam beberapa tahun
terakhir. Walaupun beberapa aspek yang berperan sebagai penyebab belum
diketahui sepenuhnya, namun komposisi kimia dan adanya lipid dalam cairan
empedu memegang peran penting dalam proses terbentuknya batu. Kira-kira
8% dari lipid empedu dalam bentuk kolesterol dan 15-20% dalam bentuk
fosfolipid. Keduanya tidak larut dalam air, dalam cairan empedu terikat
dengan garam empedu dengan komposisi 70-80% dari lipid empedu.14
Kolesterol dalam empedu bercampur dengan garam empedu dan
fosfolipid membentuk campuran micelles dan vesikel. Micelles adalah
kumpulan lemak yang mempunyai dinding yang hidrofilik (larut dalam air)
dan inti yang hidrofobik (tidak larut dalam air). Vesikel adalah suatu bentukan
sferik bilayers dari fosfolipid yang terdiri dari 2 rantai yaitu rantai nonpolar
hidrokarbon menghadap dan rantai polar mengarah ke larutan. Pada keadaan
kosentrasi kolesterol yang tinggi vesikel membawa kolesterol dalam jumlah
besar.14
Hubungan antara kolesterol, fosfolipid dan garam empedu
digambarkan dalam suatu segitiga yang sering disebut Triangular Coordinats
yang menggambarkan konsentrasi kelarutan kolesterol dalam suatu campuran
dengan fosfolipid dan garam empedu (gambar 1). The maximum equilibrium
solubility dari kolesterol ditentukan oleh rasio kolesterol, fosfolipid dan
garam empedu, yang dinyatakan dalam indeks saturasi kolesterol.14
Micelles terbentuk jika titik potong konsentrasi relatif dari ketiga
komponen (kolesterol, lesitin dan garam empedu) terletak pada area micellar.
Keadaan ini berada dalam kondisi stabil untuk mencegah terbentuknya batu.
Jika titik potong konsentrasi empedu terletak di luar area tersebut maka
empedu bersifat litogenik. Berbagai kondisi dapat menyebabkan
ketidakstabilan komposisi dari ketiga komponen tersebut.14
16

Gambar 1. Proses Pembentukan Batu Kandung Empedu14

3.7.1 Patogenesis Batu Empedu Kolesterol


Terbentuknya batu kolesterol diawali adanya presipitasi kolesterol
yang membentuk kristal kolesterol. Beberapa kondisi yang menyebabkan
terjadinya presipitasi kolesterol adalah:
1. Absorpsi air,
2. Absorpsi garam empedu dan fosfolipid
3. Sekresi kolesterol yang berlebihan pada empedu
4. Adanya inflamasi pada epitel kandung empedu dan
5. Kegagalan untuk mengosongkan isi kandung empedu
6. Adanya ketidakseimbangan antara sekresi kolesterol
7. Fosfolipid dan asam empedu, peningkatan produksi musin di kandung
empedu dan penurunan kontraktilitas dari kandung empedu.
Batu kolesterol terbentuk ketika konsentrasi kolesterol dalam saluran
empedu melebihi kemampuan empedu untuk mengikatnya dalam suatu
pelarut, kemudian terbentuk kristal yang selanjutnya membentuk batu.14

3.7.2 Patogenesis Batu Non Kolesterol (Batu Pigmen)


Batu pigmen sebagian besar terbentuk dari bilirubin yang tak
terkonjugasi. Bilirubin tak terkonjugasi terdapat dalam pigmen empedu
normal dalam jumlah yang sedikit, namun sangat sensitif untuk mengalami
presipitasi oleh ion kalsium. Proses ini belum sepenuhnya diketahui, namun
diduga sebagai awal terbentuknya batu adalah terjadi proses polimerisasi
sehingga terbentuk polymers of cross-linked bilirubin tetrapyrroles. Pencetus
terjadinya proses polimerisasi juga belum diketahui, namun diduga
17

disebabkan oleh radikal bebas atau singlet oksigen yang diproduksi oleh
hepar atau oleh makrofag atau neutrofil dalam mukosa kandung empedu.14
Pada manusia peningkatan kadar bilirubin tak terkonjugasi merupakan
akibat dari peningkatan kadar hemoglobin. Peningkatan bilirubin tak
terkonjugasi dapat juga timbul akibat peningkatan proses hidrolisis enzimatik
(beta glukoronidase) dari bilirubin terkonjugasi atau penurunan jumlah
inhibitor beta glukoronidase yaitu asam glutarat.14
Musin glikoprotein merupakan kerangka terbentuknya batu pigmen.
Musin diproduksi oleh kripta kandung empedu. Hipersekresi musin juga
memainkan peranan penting dalam pembentukan batu pigmen.14

3.7.3 Patogenesis Batu Pigmen Hitam


Batu pigmen hitam banyak dijumpai pada pasien-pasien sirosis,
penyakit hemolitik seperti talasemia dan anemia sel sickle. Batu pigmen
hitam dijumpai dalam empedu yang steril dalam kandung empedu. Pada
gambaran radiologis hampir 50% terlihat sebagai gambaran radioopak, akibat
mengandung kalsium karbonat dan kalsium fosfat dalam konsentrasi yang
tinggi. Batu pigmen hitam biasanya mengkilat atau tumpul seperti aspal,
sedangkan batu pigmen coklat lembek, dengan konsistensi seperti sabun.14
Batu pigmen hitam terjadi akibat melimpahnya bilirubin tak
terkonjugasi dalam cairan empedu. Peningkatan ini disebabkan oleh karena
peningkatan sekresi bilirubin akibat hemolisis, proses konjugasi bilirubin
yang tidak sempurna (penyakit sirosis hati) dan proses dekonjugasi. Bilirubin
tak terkonjugasi ini kemudian membentuk kompleks dengan ion kalsium
bebas membentuk kalsium bilirubinat yang mempunyai sifat sangat tidak
larut. Proses asidifikasi yang tidak sempurna menyebabkan peningkatan pH,
dan keadaan ini merangsang pembentukan garam kalsium. Kalsium
bilirubinat yang terbentuk terikat dengan musin tertahan di kandung empedu.
Hal ini sebagai awal proses terbentuknya batu (gambar 3).14
Pada penyakit batu pigmen hitam, empedu biasanya jenuh oleh
adanya kalsium bilirubinat, kalsium karbonat dan kalsium fosfat. Garam
kalsium ini merupakan akibat dari peningkatan jumlah bilirubin tak
terkonjugasi atau peningkatan kalsium yang terionisasi. Peningkatan kalsium
yang terionisasi biasanya akibat peningkatan jumlah kalsium terionisasi
18

dalam plasma atau penurunan jumlah zat pengikat kalsium di dalam cairan
empedu seperti garam empedu micellar dan vesikel lesitin kolesterol.14

Gambar 3. Patogenesis Terbentuknya Batu Pigmen Hitam14

3.7.4 Batu Pigmen Coklat


Batu pigmen coklat umumnya terbentuk dalam duktus biliaris yang
terinfeksi. Gambaran radiologisnya biasanya radiolusen karena mengandung
kalsium karbonat dan fosfat dalam konsentrasi yang kecil. Batu pigmen
coklat mengandung lebih banyak kolesterol dibanding batu pigmen hitam,
karena terbentuknya batu mengandung empedu dengan kolesterol yang
sangat jenuh.14
Garam asam lemak merupakan komponen penting dalam batu pigmen
coklat. Palmitat dan stearat yang merupakan komponen utama garam tersebut
tidak dijumpai bebas dalam empedu normal, dan biasanya diproduksi oleh
bakteri. Kondisi stasis dan infeksi memudahkan pembentukan batu pigmen
coklat (gambar 4).14
Dalam keadaan infeksi kronis dan stasis empedu dalam saluran
empedu, bakteri memproduksi enzim b-glukoronidase yang kemudian
memecah bilirubin glukoronida menjadi bilirubin tak terkonjugasi. Bakteri
juga memproduksi phospholipase A-1 dan enzim hidrolase garam empedu.
Phospholipase A-1 mengubah lesitin menjadi asam lemak jenuh dan enzim
hidrolase garam empedu mengubah garam empedu menjadi asam empedu
19

bebas. Produk-produk tersebut kemudian mengadakan ikatan dengan kalsium


membentuk suatu garam kalsium. Garam kalsium bilirubinat, garam kalsium
dari asam lemak (palmitat dan stearat) dan kolesterol membentuk suatu batu
lunak. Bakteri berperan dalam proses adhesi dari pigmen bilirubin.14

Gambar 4. Patogenesis Terbentuknya Batu Pigmen Coklat14

3.8 Manifestasi Klinis kolelitiasis


Kolesistolitiasis yaitu adanya batu di dalam kandung empedu yang
biasanya disertai proses inflamasi. Batu empedu yang terdapat di dalam
kandung empedu dapat memberikan gejala nyeri akut episodik akibat
kolesistitis akut, kolik bilier, rasa tidak nyaman pada perut yang berulang dan
kronik akibat episode berulang dari kolik bilier ringan atau gejala-gejala
dyspepsia. Tertanamnya batu dalam leher kandung empedu diduga
menyebabkan spasme kandung empedu, yang akan menyebabkan kolik bilier.
Jika batu jatuh ke belakang, kandung empedu didaerah kosong dan nyeri
berhenti, dan jika batu tetap berada di leher kandung empedu akan terjadi
nyeri yang terus menerus. 15
Cairan empedu yang terperangkap akan berubah komposisinya
menyebabkan inflamasi lokal dan menyebabkan rasa nyeri yang menetap
beberapa saat, Isi kandung empedu dapat terinfeksi akibat adanya toksemia
yang dapat menyebabkan empiema, gangren atau perforasi. Kontraksi
20

kandung empedu akibat batu adalah penjelasan tradisional terhadap post


prandial discomfort, tetapi tidak terdapat hubungan yang jelas antara gejala
ini dengan adanya batu empedu pada populasi umum. 15
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda-tanda toksemia,
kuadran kanan atas abdomen secara klasik ditemukan Murphys sign. Pada
kasus yang lebih lanjut dapat diraba massa inflamasi akibat pembengkakan
kandung empedu yang dikelilingi oleh omentum yang melekat. Gambaran
klinik berupa demam hilang timbul, takikardia dan gangguan kardiorespirasi
merupakan tanda-tanda empiema. Ditemukannya peritonismus difus pada
abdomen sebelah atas merupakan tanda perforasi kandung empedu. Adanya
ikterus menunjukkan koledokolitiasis, walaupun kemungkinan Mirizzis
syndrome, yaitu akibat kandung empedu yang membengkak, akibat adanya
kompresi dari kandung yang disebabkan oleh batu ke duktus koledokus.15
Kolik bilier dapat memberikan gejala yang sama dengan kolesistitis
tetapi biasanya tidak terpengaruh dengan gerakan dan hanya berlangsung
beberapa jam saja. Hal ini sering dipicu oleh makanan berlemak tetapi akan
sembuh spontan.15
Diagnosis kolelithiasis simptomatik bergantung pada gejala klinis dan
terlihatnya batu pada pencitraan. USG abdomen untuk melihat kandung
empedu dan saluran empedu adalah tes diagnostik standar untuk pasien
kecurigaan batu empedu dan pemeriksaan USG ini wajib diperiksa sebelum
pasien dioperasi. Jika pasien mengalami serangan kolik bilier berulang dan
adanya endapan terdeteksi pada pemeriksaan USG maka pasien dianjurkan
untuk kolesistektomi.15

BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 PEMBAHASAN KASUS


Pasien laki-laki usia 32 tahun datang ke RSUD Sosodoro
Djatikoesoemo pada hari rabu, 24 februari 2016. Pasien mengeluh nyeri perut
21

sejak kemarin malam, nyeri di ulu hati, nyeri muncul setelah makan pepaya
dan tahu rebus. Nyeri seperti ditusuk-tusuk, dirasakan terus menerus. Nyeri
tidak berkurang sama sekali sebelum MRS dan mendapat obat. Pasien juga
mengeluh demam sejak kemarin malam bersamaan dengan nyeri ulu hati
muncul. Demam hilang timbul. Pasien mengeluh kulit di seluruh badan dan
mata kuning sejak + 1 bulan yang lalu, kuning terus menerus. Kuning tidak
berkurang sampai saat ini. Buang air besar hitam sejak + 9 hari yang lalu.
Buang air besar hitam seperti petis, lembek. Buang air besar hitam selama 3
hari, setiap hari sebanyak 1 x. Kemudian tidak dapat buang air besar 6 hari ini.
Makan berkurang sejak 1 bulan yang lalu, setiap makan sedikit perut terasa
penuh dan terasa mual setiap makan. Minum + 600 cc/24 jam. Buang air kecil
seperti teh.
Sejak 9 hari yang lalu pasien pernah dirawat d RSUD Bojonegoro
karena sakit kuning, pucat, dan lemas, pasien diberikan transfusi darah
sebanyak 4 kantong. Pasien dirawat selama 8 hari, kemudian pasien sempat
pulang hanya sehari dirumah dengan kondisi membaik. Riwayat sakit kuning
sejak usia + 7 bulan. Sering kambuh jika sakit. Riwayat Hipertensi, Diabetes,
Asma dan penyakit jantung disangkal.
Berdasarkan anamnesis pasien ini didapatkan gejala, nyeri perut diulu
hati, kulit diseluruh badan dan mata kuning, demam, serta mual merupakan
gejala-gejala kolelitiasis. Menurut Nurhadi (2010), gejala kolelitiasis yaitu :
Gejala nyeri akut episodik akibat kolesistitis akut, kolik bilier, rasa tidak
nyaman pada perut yang berulang dan kronik akibat episode berulang dari
kolik bilier ringan atau gejala-gejala dyspepsia. Gambaran klinik berupa
demam hilang timbul. Adanya ikterus menunjukkan koledokolitiasis, walaupun
kemungkinan Mirizzis syndrome, yaitu akibat kandung empedu yang
membengkak, akibat adanya kompresi
23 dari kandung yang disebabkan oleh batu
ke duktus koledokus.
Pada pemeriksaan fisiknya didapatkan keadaan umum pasien lemah.
Tekanan darah 110/60 mmHg, nadi 87x/menit (reguler), pernapasan
20x/menit dan suhu 36 C. Pada kepala leher didapatkan anemia dan ikterus,
tidak ada dispnea, tidak ditemukan pembesaran KGB ataupun pembesaran
tiroid. Pada thorax pulmo dan cor dalam batas normal. Pada abdomen
ditemukan pembesaran lien pada titik schuffner 4, hackett 3 dan nyeri tekan
22

di epigastrium. Pada ekstremitas teraba akral hangat, kering, dan kuning.


Tidak ditemukan edema dan capillary refill time kurang dari 2 detik.
Dari anamnesa pasien mengeluh lemah, pada pemeriksaan fisik
didapatkan konjungtiva anemia yang mendukung diagnosa anemia. Dari
pemeriksaan laboratorium didapatkan kadar Hemoglobin 8,8 g/dL, kadar
eritrosit 3.390.000 per mm3, dan kadar hematokrit 26,1 %. Kriteria yang
umum dipakai untuk menentukan anemia berdasarkan kadar hemoglobin
ialah kriteria WHO tahun 1968, dimana seseorang dinyatakan anemia bila:
- Laki-laki : hemoglobin < 13 g/dl
- Perempuan dewasa tak hamil : hemoglobin < 12 g/dl
- Perempuan hamil : hemoglobin < 11 g/dl
- Anak umur 6-14 tahun : hemoglobin < 12 g/dl
- Anak umur 6 bulan-6 tahun : hemoglobin < 11 g/dl
Namun terdapat kriteria anemia yang lebih praktis di Indonesia yaitu:
1.
Hemoglobin < 10 g/dl
2.
Eritrosit < 2.8 juta/mm3
3.
Hematokrit < 30%
Kita memikirkan kemungkinan anemia hemolitik dan anemia
defisiensi besi.
Pada anemia hemolitik pada anamnesis didapatkan lemah, kuning,
dan urinnya seperti teh. Dari pemeriksaan fisik didapatkan kulit dan mukosa
kuning. Splenomegali didapati pada beberapa anemia hemolitik. Pada anemia
berat dapat ditemukan takikardia dan aliran mur-mur pada katup jantung.
Dari laboratorium didapat anemia, retikulositosis, hiperbilirubinemia direk ,
tanpa disertai perdarahan.
Pada anemia defisiensi besi gejala yang khas tetapi tidak ditemukan
dijumpai pada anemia jenis lain adalah:
a) koilonychia : kuku sendok (spoon nail), kuku menjadi rapuh, bergaris-
garis vertical dan menjadi cekung sehingga mirip seperti sendok,
b) atrofi papil lidah : permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap karena
papil lidah menghilang,
c) stomatitis angularis : adanya keradangan pada sudut mulut sehingga
tampak sebagai bercak bewarna pucat keputihan
d) disfagia : nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring
e) atrofi mukosa gaster sehingga menimbulkan akhlorida
23

f) pica keinginan untuk memakan bahan yang tidak lazim, seperti : tanah
liat, es, lem dan lain-lain.
Pada anemia defisiensi besi dapat dijumpai gejala penyakit yang
menjadi penyebab anemia defisiensi besi tersebut. Misalnya pada anemia
akibat penyakit cacing tambang dijumpai dyspepsia, parotis membengkak dan
kulit telapak tangan warna kuning seperti jerami. Pada anemia karena
perdarahan kronik akibat kanker kolon dijumpai gejala gangguan kebiasaan
buang air besar atau gejala lain tergantung dari lokasi kanker tersebut
(Rinaldi, 2007).
Dari laboratorium didapatkan anemia hipokromik mikrositer pada
hapusan darah tepi atau MCV < 80 fl dan MCHC < 31% dengan salah satu:
a) Dua atau tiga parameter dibawah ini
a. Besi serum <50 mg/dl
b. TIBC > 350 mg/dl
c. Saturasi transferin < 15%

b) Feritin serum < 20 mg/dl


c) Pengecatan sumsum tulang dengan biru prusia (Pearls stain)
menunjukkan cadangan besi (butir-butir hemosiderin) negative
d) Dengan pemberian sulfas ferrous 3x200 mg/hari (atau preparat besi lain
yang setara) selama 4 minggu disertai kenaikan kadar hemoglobin > 2g/dl
Dari semua deferensial diagnosis kami mengarah kepada anemia
hemolitik karena:
Pada anemia hemolitik pasien mengeluh lemah, pusing, cepat capek
dan sesak. Pasien mungkin juga mengeluh kuning dan urinnya
kecoklatan, meski jarang terjadi. Pada pasien ini ditemukan lemah, ,
kuning dan urin seperti teh.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan kulit dan mukosa kuning.
Splenomegali didapati pada beberapa anemia defisiensi besi. Pada
anemia berat dapat ditemukan takikardia dan aliran mur-mur pada
katup jantung. Pada kasus ini pasien nampak ikterus dan jaundice, dan
splenomegali pada schuffner 4 dan hackett 3. BAB hitam seperti petis,
lembek, yang mendandakan adanya suatu perdarahan.
Pada pemeriksaan laboratorium, pada anemia defisiensi besi terjadi
pemecahan dan pembentukan eritrosit yang berlebihan pada saat yang
bersamaan maka ditandai anemia, retikulosis dan hiperbilirubinemia
24

direk tanpa perdarahan. Dari hasil laboratorium pada pasien ini


didapatkan anemia dimana hemoglobin 8,8 g/dL , hematokrit 26,1%,
dan kadar eritrosit 3.390.000 per mm3, retikulosis dan ditemukan
hiperbilirubinemia direk (15,61 mg/dL).
Pada dasarnya pengobatan dari pada anemia hemolitk adalah
tergantung dari penyebabnya. Planning diagnosis untuk menentukan
penyebab dari anemia hemolitik kami mengusulkan pemeriksaan darah
lengkap, indeks eritrosit, hapusan darah tepi untuk melihat bentuk eritrosit
yang khas untuk macam-macam anemia hemolitik lainnya misalnya
adanya sferosit pada penderita dengan sferosit herediter dan sel sabit pada
penderita dengan anemia sel sabit, pemeriksaan tes antiglobulin (combs
test). Apabila positif berarti penderita mengidap anemia hemolitik
autoimun (AIHA). Akan tetapi perlu diingat bahwa tidak semua AIHA
menunjukkan Coombs test positif (Askandar, 2007).
Planning Terapi kami adalah Infus Ringer Lactat 1500 cc/24 jam.
Tranfusi washed red cell (WRC) diberikan atas indikasi vital.
25

BAB V
KESIMPULAN

Pada kasus di atas dapat kami disimpulkan bahwa pasien mengalami


kolelitiasis karena pada anamnesa pasien ini didapatkan gejala, nyeri perut diulu hati,
kulit diseluruh badan dan mata kuning, demam, mual merupakan gejala-gejala
kolelitiasis, nafsu makan berkurang, serta urin seperti teh. Pada pemeriksaan fisiknya
didapatkan keadaan umum pasien lemah. Tekanan darah 110/60 mmHg, nadi
87x/menit (reguler), pernapasan 20x/menit dan suhu 36 C. Pada kepala leher
didapatkan anemia dan ikterus. Pada abdomen ditemukan pembesaran lien pada titik
schuffner 4, hackett 3 dan nyeri tekan di epigastrium. Pada ekstremitas teraba akral
hangat, kering, dan kuning.
Pasien juga mengalami anemia hemolitik karena pada anemia hemolitik
pasien mengeluh lemah. Pasien juga mengeluh kuning dan urinnya seperti teh, meski
jarang terjadi. Berdasarkan anamnesis, pasien mengeluh lemah, kuning dan urin
seperti teh. Pada pemeriksaan fisik ditemukan kulit dan mukosa kuning.
Splenomegali didapati pada beberapa anemia hemolitik. Pada anemia berat dapat
ditemukan takikardia dan aliran mur-mur pada katup jantung. Pada pasien ini
didapatkan icterus dan jaudice. Didapatkan juga splenomegali pada titik schuffner 4
dan hackett 3. Pada anemia hemolitik terjadi pemecahan dan pembentukan eritrosit
yang berlebihan pada saat yang bersamaan maka ditandai anemia, retikulosis dan
hiperbilirubinemia direk tanpa disertai perdarahan. Dari hasil laboratorium pada
pasien ini didapatkan anemia dimana hemoglobin 8,8 g/dL, hematokrit 26,1%, dan
kadar eritrosit 3.390.000 per mm3, retikulosis dan ditemukan hiperbilirubinemia
direk (15,61 mg/dL).
26

DAFTAR PUSTAKA

28
1. Chang YR , Jang JY, et al. Changes in Demographic features of gallstone
diseases: 30years of surgically treated patients. Gut liver. 2013 7(6) : 719-724

2. Sjamsuhidajat, dan Wim de Jong. Kolelitiasis dalam Buku Ajar Ilmu Bedah.
Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1997.p.767

3. Brunicardi FC et al. Schwartzs principles of surgery. 8th


edition.United States America : McGraw Hill, 2005.826-42.

4. Hassan AU et al. Surgical significance of variations in anatomy in the biliary


regionInt J Res Med Sci. 2013 Aug;1(3):183-187

5. Nuhadi M, Perbedaan Komposisi Batu Kandung Empedu Dengan Batu


SaluranEmpedu Pada Penderita Yang Dilakukan Eksplorasi Saluran Empedu,
Rumah SakitHasan Sadikin, Bandung; 2011

6. Shwartz, Shires spencer, MC Graw Hill. Intisari Prinsip Prinsip Ilmu Bedah, 6
ed.Jakarta : EGC, 1995

7. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 31. Jakarta. Penerbit buku kedokteran EGC,
2007

8. Astri SW dkk, Patogenesis Batu Empedu, FK Muhammadiyah Palembang vol 1


edisi1, September; 2010

9. Girsang JH, Patofisiologi Kolelithiasis, Universitas Sumatra Utara, 2013

10. Ginting S, A Description Characteristic Risk Factor Of The Kolelitiasis Disease


In The Colombia Asia Medan Hospital, Lecture Faculty of Science Nurses
University of Darma Agung, 2011
11. Mayo Clinic, 2008. Gastroenterology and Hepatology Board Review Third
Edition. Canada: Mayo Clinic Scientific Press And Informa Healthcare USA.

12. Persatuan Ahli Penyakit Dalam Indonesia, 1996. Buku Ajar Ilmu Penyakit
DalamJilid I Edisi Ketiga, Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

13. Marschall H-U, Einarsson C (Karolinska University Hospital, Huddinge,


Stockholm, Sweden).Gallstone disease (Review). J Intern Med 2007;261: 529
542.
27

14. Gustawan IW dkk, Kolelitiasis pada Anak. Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RS Sanglah Denpasar, Majalah
Kedokteran Indonesia, Volume: 57, Nomor: 10, Oktober 2007.
15. Nuhadi, M. Perbedaan Komposisi Batu Kandung Empedu Dengan Batu Saluran
Empedu Pada Penderita yang Dilakukan Eksplorasi Saluran Empedu di RSHS
Bandung. Progam Pendidikan Dokter Spesialis ll Bedah Digestif RS DR Hasan
Sadikin Bandung 2010-2011. 29

Anda mungkin juga menyukai