Pengendalian Proses (DALPROS) - Open Loop, Closed Loop
Pengendalian Proses (DALPROS) - Open Loop, Closed Loop
FINAL REPORT
KASUS A (WATER HEATER), KASUS B (RATB
ISOTHERMAL), KASUS C (RATB NON-
ISOTERMAL & NON-ADIABATIS)
Disusun Oleh:
Pada kasus B proses yang terjadi adalah isotermis sementara pada kasus C proses
berlangsung secara non-isotermis dan non-adiabatis. Proses isotermis adalah
suatu perubahan dari suatu sistem, namun kondis suhu tetap (konstan): T = 0. Proses
adiabatik adalah suatu proses termodinamika di mana tidak ada panas yang ditransfer
ke atau dari kerja fluida. Reaktor isotermis adalah jika umpan atau fluida yang masuk
dan tercampur dalam reaktor maka aliran fluida yang keluar dari reaktor selalu seragam
dan bersuhu sama. Pada kasus B, pengendalian proses yang dilakukan pada RATB
yang bersifat isotermal. Sedangkan pada kasus C (singkatnya merupakan kombinasi
kasus A dan B), pengendalian proses dilakukan pada RATB yang bekerja secara non-
isotermis dan non-adiabatis.
II. Tujuan
Tujuan dari pengerjaan kasus A, B dan C adalah mengetahui respon dari sistem
pengendalian yang dirancang melalui pemodelan secara open-loop untuk masing-
masing proses yang terjadi pada kasus A, B dan C.
III. Metodologi
Latar Belakang
Water heater merupakan salah satu jenis alat pemanas air yang memanfaatkan
energi listrik maupun panas dari fluida lain yang kemudian disalurkan melalui koil
pemanas. Water heater umum digunakan baik di kehidupan sehari-hari maupun di
industri. Pada kehidupan sehari-hari, water heater digunakan untuk memenuhi
kebutuhan akan air panas maupun hangat (konsumsi), sedangkan di industri, water
heater digunakan untuk menaikkan suhu fluida atau menjaga kondisi operasi suatu
proses.
Untuk kasus ini, water heater yang telah berada dala kondisi steady state diberi
gangguan oleh disturbance berupa kenaikan flowrate dan suhu umpan. Hal ini akan
mengakibatkan perubahan ketinggian cairan di dalam water heater serta suhu output.
Untuk mengembalikan kondisi suhu output sesuai set-point (mengendalikan proses),
maka flowrate uap panas yang dibutuhkan akan semakin banyak.
Dalam pengendalian suatu proses, digunakan fungsi alih (transfer function),
yang merupakan perbandingan antara keluaran (nilai suatu outuput) suatu sistem
pengendalian terhadap masukannya (nilai input). Untuk memperoleh suatu fungsi alih
dalam suatu sistem pengendalian, harus dipahami terlebih dahulu, antara lain diagram
blok( block diagram), proses operasi, dan diagram aliran sinyal (signal flow diagram).
Umumnya untuk mempermudah memahami suatu proses pengendalian, suatu proses
akan dimodelkan dalam bentuk diagram blok, yang mana setiap diagram blok
menggambarkan model matematika sistem pengendalian serta komponen (variable-
variable yang berpengaruh).Sebagai contoh:
Dengan:
G(s) = penguatan (gain) dari diagram blok, atau dapat disebut juga fungsi alih dari
A(s) menjadi B(s)
B(s) = keluaran
Ilustrasi Alat
Fo, To, o
Fs , Ts
F, T,
Ilustrasi Proses
Penurunan Persamaan
=
=
()
= = +
Karena massajenislarutandiasumsikantetap, maka:
()
= = = +
Karena luaspenampangtangkitetap, maka:
=
Sehingga:
=
=
= (1)
Dimana:
=
Sehingga:
()
=
+ ( )
()
= +
Sehingga:
+ ( )
()
= +
Dengan:
=
Maka:
+ ( )
()
= +
Karena pada sistem ini dikendalikan oleh pengendali, maka dapat diasumsikan nilai
Cp tetap karena nilainya hanya berubah sedikit saat terjadi perubahan suhu, sehingga:
+ ( )
= + (2)
+ ( )
= (3)
Mengubah Persamaan Neraca Massa dan Neraca Panas dalam Bentuk Diagram
Pada kasus A (Water Heater) ini, pengelompokkan variable yang ada adalah sebagai
berikut:
1
Fin(s) h(s)
() +
1 2
( ) = () + ()
[1 + 2] [1 + 2]
3 [4 + 5]
+ () ()
[1 + 2] [1 + 2]
Diagram Blok
Latar Belakang
Salah satu jenis reaktor yang sering digunakan di industri kimia yaitu Reaktor
Alir Tangki Berpengaduk (RATB).Sistem reaktor jenis RATB ini memiliki
karakteristik dinamis yang kompleks dan nonlinear.Sistem nonlinear merupakan suatu
sistem yang sifatnya tidak tetap, mudah berubah, sulit dikontrol, dan sulit
diprediksi.Sistem semacam ini memiliki tingkat ke-sensitivitas-an yang sangat tinggi.
Oleh sebab itu, untuk memastikan keberhasilan operasi RATB, diperlukan adanya
pemahaman akan sifat dinamis sistem dan juga diperlukan adanya sistem kontrol yang
memadai.
Dalam kasusini, juga akan dilakukan pemodelan sistem kontrol closed loop
pada sistem RATB non isotermal. Sistem kontrol closed loop adalah sistem kontrol
yang sinyal keluarannya mempunyai pengaruh langsung pada aksi pengontrolan, sistem
kontrol loop tertutup juga merupakan sistem kontrol berumpan balik. Sinyal kesalahan
penggerak, yang merupakan selisih antara sinyal masukan dan sinyal umpan balik
(yang dapat berupa sinyal keluaran atau suatu fungsi sinyal keluaran atau turunannya,
diumpankan ke controller untuk memperkecil kesalahan dan membuat agar keluaran
sistem mendekati harga yang diinginkan. Dengan kata lain, istilah closed loop berarti
menggunakan aksi umpan balik untuk memperkecil kesalahan sistem.
Tujuan
Fv.ain Fv.Bin
Pada kasus ini, variabel yang ingin dikontrol adalah Ccout (konsentrasi C keluar
RATB), variabel yang ingin di manipulasi adalah Fbin (flowrate B masuk RATB), serta
terjadi gangguan-gangguan pada variabel Fain (flowrate A masuk).
Penurunan Rumus
Diasumsikan reaksi yang terjadi:
A+BC
(-ra)=kCaCb
1. Neraca Massa Total di Reaktor
=
( + ) ( ) 0 =
Dengan asumsi:
= +
( )
= = +
Karena massa jenis larutan di dalam RATB dan yang keluar RATB diasumsikan
tetap, bukan merupakan fungsi suhu serta fungsi waktu, maka:
()
= = = +
= =
Karena dianggap massa jenis awal komponen A dan B tidak berbeda jauh, maka
massa jenis campuran nilainya juga tidak akan jauh berbeda.
Sehingga:
+ =
+
=
Dimana:
= () 2
Sehingga:
+ (() 2)
=
=
( ) = +
( ) = +
=
Transformasi Laplace
Neraca Massa Total
(Rate of mass input) - (Rate of mass output) + (Rate of mass generation) = (Rate
of mass accumulation)
. . + = . .
= .
= ()
() ()
=
Neraca Mol Komponen A
(Rate of mol input) - (Rate of mol output) + (Rate of mol generation) = (Rate of
mol accumulation)
. =
( . )
=
. ( . )
=
= . + . .
+
= + ()
+ ( )
( )
=
= + ( +
) )
= ( + +
+
) )
() + + +
= . () + . . . ()
( + ) () + ( . )
+ + = . . . ()
= ( ()
+
+ . ) +
+
Diagram Blok
Latar Belakang
Reaktor Alir Tangki Berpengaduk (RATB) atau dalam bahasa inggrisnya adalah
Continous Stirred Tank Reactor(CSTR) merupakan reaktor yang banyak dijumpai di
industri.Sistem reaktor jenis RATB ini memiliki karakteristik dinamis yang kompleks
dan nonlinear.Sistem nonlinear merupakan suatu sistem yang sifatnya tidak tetap,
mudah berubah, sulit dikontrol, dan sulit diprediksi.Sistem semacam ini memiliki
tingkat ke-sensitivitas-an yang sangat tinggi. Oleh sebab itu, untuk memastikan
keberhasilan operasi RATB, diperlukan adanya pemahaman akan sifat dinamis sistem
dan juga diperlukan adanya sistem kontrol yang memadai.
Dalam kasusini, juga akan dilakukan pemodelan sistem kontrol closed loop pada
sistem RATB non isotermal. Sistem kontrol closed loop adalah sistem kontrol yang
sinyal keluarannya mempunyai pengaruh langsung pada aksi pengontrolan, sistem
kontrol loop tertutup juga merupakan sistem kontrol berumpan balik. Sinyal kesalahan
penggerak, yang merupakan selisih antara sinyal masukan dan sinyal umpan balik
(yang dapat berupa sinyal keluaran atau suatu fungsi sinyal keluaran atau turunannya,
diumpankan ke controller untuk memperkecil kesalahan dan membuat agar keluaran
sistem mendekati harga yang diinginkan. Dengan kata lain, istilah closed loop berarti
menggunakan aksi umpan balik untuk memperkecil kesalahan sistem.
Tujuan
Ilustrasi
Ilustrasi:
Sebuah reaktan A dengan konsentrasi awal (Ca0) 100 kmol/m3 dimasukkan ke dalam
reaktor RATB yang sudah mempunyai cairan dengan ketinggian (h0) 1e-5 m, suhu
awal RATB (T0) 30oC, konsentrasi awal B (Cb0) 20 kmol/m3 dan suhu pendingin
(Tc0) 30oC. Carilah hubungan antara :
Penjabaran Rumus:
1. Neraca Massa Total di Reaktor
=
0 =
()
= = +
Dimana:
= () 2
Sehingga:
(() 2)
=
=
( ) = +
( ) = +
=
Dengan:
=
Sehingga:
( )
=
( ) +
=
= +
( ) +
=
+
=
+
=
Dengan:
= ( 2 2 )
4
= 2
2
() =
4
2
() =
4
Jika nilai konstanta kecepatan reaksi (k) berubah terhadap suhu (karena sistemnya
non-isotermal dan non-adiabatis), maka:
= 0 exp
( )
( )
()
=
. + . . =
+ =
+
= + ( + )
( )
= + ( + ( + )
)
()
=
()
=
. + . . =
Diubah ke Bentuk Laplace
+ =
= ( )
= + (( ) )
( ) +
=
+ = . .
+
. + . .
. .
+ . + +
= +
. .
+ . + .
( . + + ) + + =
= . ++
( . . +
+ . . - )
+
=
. . = . . +
. . =
. . + . . .
+
+
= ( (. . . . ) +
.. ++
. . . + () ( ) )
Diagram Blok
Gambar 8. Diagram Blok Kasus C (Reaktor Alir Tangki Berpengaduk yang dilengkapi
Heater)
IV. Hasil dan Pembahasan
Kasus A
Gambar 12.Grafik Hubungan antara Suhu Cairan di dalam Tangki terhadap Waktu
(dengan Program SIMULINK)
Berdasarkan gambar 11 dan 12 diatas, dapat diketaui bahwa grafik hasil
penyelesaiaan dengan program matlab dengan simulink juga tidak jauh berbeda, yang
berbeda pada titik awal dan pick pada saat terjadi perubahan. Pada grafik hasil matlab
titik awal adalah pada saat suhu 303 K sedangkan pada hasil simulink titik awal pada
saat 0 K dan naik hingga ke 305 K. Hal ini dikarenakan pengaturan default dari
program simulink itu sendiri.
Dari gambar 11 diatas, dapat diketahui bahwa pada kondisi awal hingga detik ke-
100, suhu cairan di dalam tangki pemanas relatif tetap (sebesar 303K), namun pada
detik ke-100 terjadi perubahan(naik turun) suhu dalam tangki hingga lebih dari 303
Ktetapi masih kurang dari 304 K, serta kurang dari 303 K tetapi maish lebih besar dari
302 K, hal ini dikarenakan adanya kenaikan suhu pada fluida pemanas (efek dari
adanya kenaikan flowrate cairan yang masuk ke water heater). Kemudian pada detik
ke-101 sampai 200 suhu cairan dalam tangki kembali relatif tetap karena suhu fluida
pemanas kembali tetap.Sedangkan dari gambar 12, diketahui bahwa juga terjadi
kenaikan suhu pada detik ke 100, kemudian akan steady lagi pada suhu 303 K.
Kasus B
Pada saat t = 100 sekon terdapat kenaikan flowrate A input menjadi 0,02 m3/s
hingga ke detik 200 dimana ketinggian dalam tangki akan naik menjadi 17 m.
Pada saat t = 200 sekon terdapat kenaikan grafik yang sangat drastis, hal ini
dikarenakan flowrate A input mengalami kenaikan menjadi 0,08 m3/s hingga ke detik
400 dimana ketinggian dalam tangki akan naik menjadi 325 m.
Berdasarkan gambar 14 diatas, pada keadaan awal (t=0), konsentrasi zat A (Ca0)
adalah 100 kmol/m^3, namun seiiring berjalan waktu, hingga kisaran detik ke 5
konsentrasi zat A semakin berkurang karena bereaksi menjadi C, kemudian mengalami
kondisi yang sedikit naik lalu relative tetap. Hal ini dikarenakan konsentrasi A sudah
mencapai batas konversinya.
Pada saat t = 100, konsentrasi A (Ca) sekitar 2,66 kmol/m^3 lalu terjadi kenaikan
flowrate A input yang masuk ke RATB sehingga menyebabkan naiknya konsentrasi A
di dalam reaktor, setelah itu konsentrasi A akan turun karena bereaksi menjadi C.
Pada saat t = 200, konsentrasi A (Ca) sekitar 1,05 kmol/m^3 lalu terjadi kenaikan
flowrate A input yang masuk ke RATB sehingga menyebabkan naiknya konsentrasi A
di dalam reaktor, setelah itu konsentrasi A akan turun karena bereaksi menjadi C. Pada
saat akhir, t= 400 sekon didapatkan nilai konsentrasi A sebesar 0,32 kmol/m^3.
Konsentrasi A semakin berkurang tiap bertambahnya waktu, dikarenakan konsentrasi A
akan terus bereaksi dengan B menjadi C.
Berdasarkan gambar 15 diatas, pada keadaan awal (t=0), konsentrasi zat B (Cb0)
adalah 100 kmol/m^3, namun seiiring berjalan waktu, konsentrasi zat B semakin
berkurang karena bereaksi menjadi C, kemudian mengalami kondisi yang sedikit naik
lalu relative turun.
Pada saat t = 100, konsentrasi B (Cb) sekitar 16,89 kmol/m^3 lalu terjadi
kenaikan flowrate A input yang masuk ke RATB sehingga menyebabkan turunnya
konsentrasi B di dalam reaktor, setelah itu konsentrasi B akan naik hal ini dikarenakan
flowrate B bertambah karena flowrate B merupakan manipulated variabel, untuk
menyesuaikan dengan konsentrasi C keluarnya.
Pada saat t = 200, konsentrasi A (Cb) sekitar 18,4 kmol/m^3 lalu terjadi kenaikan
flowrate A input yang masuk ke RATB sehingga menyebabkan turunnya konsentrasi b
di dalam reaktor, setelah itu konsentrasi B akan naik hal ini dikarenakan flowrate B
bertambah karena flowrate B merupakan manipulated variabel, untuk menyesuaikan
dengan konsentrasi C keluarnya. Pada saat akhir, t= 400 sekon didapatkan nilai
konsentrasi B sebesar 19,6 kmol/m^3. Konsentrasi B merupakan manipulated variabel
sehingga nilainya harus sesuai agar konsentrasi C yang keluar dapat terkontrol.
Gambar 16. Grafik Hubungan antara Konsentrasi Zat C di dalam RATB terhadap
Waktu
Berdasarkan gambar 16 diatas, pada keadaan awal (t=0), konsentrasi zat C (Cc0)
adalah 0 kmol/m^3, lalu konsentrasi zat C akan naik drastis hingga mencapai 49,15
kmol/m^3, karena pengendalian dari controller maka konsentrasi C akan turun dan
konstan di konsentrasi 40 kmol/m^3.
Pada saat t = 100, konsentrasi C (Cc) masih konstan di 40 kmol/m^3 lalu terjadi
kenaikan flowrate A input yang masuk ke RATB sehingga menyebabkan naiknya
konsentrasi C menjadi 40,62 kmol/m^3, setelah itu konsentrasi C akan turun dan
konstan di konsentrasi 40 kmol/m^3.
Pada saat t = 200, konsentrasi C (Cc) masih konstan di 40 kmol/m^3 lalu terjadi
kenaikan flowrate A input yang masuk ke RATB sehingga menyebabkan naiknya
konsentrasi C menjadi 43,05 kmol/m^3, setelah itu konsentrasi C akan turun dan
konstan di konsentrasi 40 kmol/m^3.
Kasus C
Apabila dibuat titik yang ditinjau hanya 3 titik maka didapatkan hasil dari
variabel-variabel pada detik ke 0, 100, dan 200. Berikut merupakan hasilnya yang Z
merupakan variabel dari h, T, Ca, Cb, Tc:
Pada saat t=0 hingga saat t =100 sekon, maka flowrate A masuk ke RATB adalah
0,04 m3/s. Pada saat t = 100 sekon hingga t=200 sekon, maka flowrate A masuk ke
RATB adalah turun menjadi 0,02 m3/s.
Ketinggian awal 0 m, dengan flowrate 0,04 m3/s maka tinggi akan naik seiring
waktu, dan pada saat t = 100 sekon didapatkan ketinggian 18,3634 m. Pada saat
flowrate A turun maka ketinggian dalam tangki juga menurun dimana saat t = 200
sekon didapatkan ketinggian 5,4193 m. Dengan ini dapat disimpulkan ketinggian
tangki berbanding lurus dengan flowrate A.
Suhu awal 30oC, dengan flowrate 0,04 m3/s maka suhu RATB akan naik seiring
waktu, suhu (T) merupakan hal yang di control (control variable) sehingga
selanjutnya T konstan dijaga tetap sebesar 40 oC.
Konsentrasi A awal sebesal 100 kmol/m^3, dengan flowrate 0,04 m3/s maka Ca
akan turun dikarenakan dia bereaksi menjadi produk B, pada saat t = 100 sekon
didapatkan Ca sebesar 14,1289 kmol/m^3, saat terjadi penurunan flowrate A
maka terjadi penurunan Ca, tetapi setelah itu Ca naik konstan sebesar 19,62
kmol/m^3.
Konsentrasi B awal sebesar 20 kmol/m^3, dengan flowrate 0,04 m3/s maka Cb
akan naik dikarenakan reaktan A nya bertambah, pada saat t = 100 sekon
didapatkan Cb sebesar 171,74 kmol/m^3, saat terjadi penurunan flowrate A maka
terjadi kenaikan Cb, tetapi setelah itu Ca turun dan konstan sebesar 160,75
kmol/m^3.
Temperatur pendingin awal sebesar 30oC, dengan flowrate 0,04 m3/s maka Tc
akan naik dikarenakan Fpendingin bertambah agar T dalam RATB tidak offside.
Saat t=100 sekon dia akan turun drastic lalu konstan. Hal ini dikarenakan
Flowrate A yang berkurang membuat suhu dalam menara turun sehingga
temperature pendingin juga turun.
V. Kesimpulan
1. Sistem kontrol close loop adalah suatu sistem pengontrolan dimana besaran
masukan (input) dari sistem memberikan efek terhadap besaran keluaran (output)
dari sistem. Dengan kata lain, keluaran dari sistem mempunyai pengaruh terhadap
aksi kontrol. Saat terjadi gangguan, akan ada pengaturan untuk menyelesaikan
gangguan dengan cara mengontrol controlled variable melalui manipulated
variable.
2. Dari kasus A ini dapat disimpulkan bahwa perubahan dari flowrate cairan yang
masuk ke dalam water heater akan memberikan pengaruh pada kestabilan sistem,
baik itu ketinggian cairan maupun suhu cairan. Pengendalian suhu cairan
sebaiknya menggunakan sistem pengendali Proporsional Integral (PI), sementara
ketinggian cairan dikendalikan dengan sistem pengendali Proporsional Integral
Derivatif (PID).
3. Kasus B
Jenis sistem pengendalian yang sesuai untuk kasus ini adalah sistem pengendali
Proporsional (P).
4. Kasus C
Jenis sistem pengendalian yang sesuai untuk kasus ini adalah sistem pengendali
Proporsional Integral Derivatives (PID).
5. Hasil simulink dengan hasil grafik di matlab memiliki sedikit perbedaan dimana
pada titik awal (IC) pada simulink selalu berada pada titik 0, karena pengaturan
awal dari program simulink itu sendiri (default).
6. Matlab berisi main program serta persamaan-persamaan yang digunakan untuk
mengetahui hasil grafik suatu keadaan, setelah itu simulink dapat
menyederhanakan fungsi matlab, sehingga pembaca lebih mengerti dengan
pembacaan menggunakan simulink.
Kasus A
Penurunan Rumus
Script Matlab
%Main Program Minggu 2 Kasus A Close Loop
clc;
clearall;
%Data
Dt = 1; %diameter tangki, m
At = 3.14/4*(Dt)^2; %luas penampang tangki, m^2
Tref = 30+273; %suhu referensi, Kelvin
alfa = 0.5; %alfa
UAmaks = 2000; %J/Kelvin
cp = 4.2; %kapasitas panas air, J/(kg Celcius)
rho = 1000; %densitas air, kg/m^3
%Variable closeloop
Tset=303; %Tset=suhu keluar reaktor yang diinginkan, Kelvin
bias=0.1; %bias= nilai P saat tidak ada error (nilai UA pada kondisi
awal)
K1=1000000; %K1=nilainya bebas
K2=100000; %K2=nilainya bebas
%Kondisi Awal
tspan=linspace(0,300,300);
IC=[h0 T0 error0];
[t Z] =
ode15s(@minggu2KasusAcloseloop,tspan,IC,[],At,alfa,Data,rho,cp,Tref,UA
maks,Tset,bias,K1,K2);
figure(1)
plot(t,Z(:,1))
title('Hubungan Ketinggian Cairan dalam Reaktor terhadap Waktu')
ylabel('Ketinggian Cairan (h),meter')
xlabel('waktu (t),sekon')
figure(2)
plot(t,Z(:,2))
title('Hubungan Suhu dalam Reaktor terhadap Waktu')
ylabel('Suhu dalam Reaktor (T),Kelvin')
xlabel('waktu (t),sekon')
function dZdt =
minggu2KasusAcloseloop(t,Z,At,alfa,Data,rho,cp,Tref,UAmaks,Tset,bias,K
1,K2)
Fin=interp1(Data(:,1),Data(:,3),t);
Ts = interp1(Data(:,1),Data(:,2),t);
h=Z(1);
T=Z(2);
errint=Z(3);
V=At*h;
Fout=alfa.*h;
error=T-Tset;
P=bias+(K1.*error)+(K2.*errint);
UA=P*UAmaks;
derrintdt=(P-bias-K2*errint)./K1;
dhdt= (Fin-alfa.*h)./At;
dTdt = (rho.*Fin.*cp.*Tref-Fout.*rho.*cp.*T+UA.*(Ts-T))./rho./V./cp-
T./h.*dhdt;
dZdt=[dhdt;dTdt;derrintdt];
end
Kasus B
Penyelesaiaan :
clc;
clearall;
%Data
%Variable closeloop
Ccoutset=40; %Coutset=Konsentrasi keluar RATB yang diinginkan,
kmol/m^3
bias=0.8; %bias= nilai P saat tidak ada error, nilai Fbin pada
kondisi awal
DataFv(:,1)=0:1:400; %t
tspan=linspace(0,400,400);
IC=[h0 Ca0 Cb0 Cc0 0]; %IC=[h0 Ca0 Cb0 Cc0 error]
[t
Z]=ode15s(@KasusBMinggu2closeloop,tspan,IC,[],Ccoutset,bias,K1,K
2,At,ap,g,k,Ca0,Cb0,DataFv,Fbinmaks)
figure(1)
%subplot(3,1,1)
plot(t,Z(:,1))
ylabel('h,meter')
xlabel('t,sekon')
figure (2)
%subplot(3,1,2)
plot(t,Z(:,2))
ylabel('Ca,kmol/m^3')
xlabel('t,sekon')
figure (3)
%subplot(3,1,3)
plot(t,Z(:,3))
ylabel('Cb,kmol/m^3')
xlabel('t,sekon')
figure (4)
%subplot(3,1,4)
plot(t,Z(:,4))
ylabel('Cc,kmol/m^3')
xlabel('t,sekon')
function
dZdt=KasusBMinggu2closeloop(t,Z,Ccoutset,bias,K1,K2,At,ap,g,k,Ca
0,Cb0,DataFv,Fbinmaks)
Fain=interp1(DataFv(:,1),DataFv(:,2),t);
h=Z(1);
Ca=Z(2);
Cb=Z(3);
Cc=Z(4);
errint=Z(5);
error=Cc-Ccoutset;
P=bias+(K1.*error)+(K2.*errint);
Fbin=P*Fbinmaks;
Fout=ap*sqrt(2*g*h);
V=At*h;
derrintdt=(P-bias-K2*errint)./K1;
dhdt=((Fain)+(Fbin)-(Fout))/(At);
dCadt=(Ca0*Fain-Ca*Fout-k*Ca*Cb*V-At*Ca*dhdt)/(At*h);
dCbdt=(Cb0*Fbin-Cb*Fout-k*Ca*Cb*V-At*Cb*dhdt)/(At*h);
dCcdt=(-Cc*Fout+k*Ca*Cb*V-At*Cc*dhdt)/(At*h);
dZdt=[dhdt;dCadt;dCbdt;dCcdt;derrintdt];
end
Kasus C
clc;
clearall;
%data:
H=1; %satuan = m
Tref=0; %satuan = oC
g=10; %satuan=m/s^2
Tf=30; % satuan = oC
h0=1e-5; %m
T0=30; %C
%Data closeloop
%Fluida Pendingin
Fcin=0.005; %m^3/s
Fcout=Fcin; %m^3/s
tspan=linspace(0,200,200);
IC=[h0 T0 Ca0 Cb0 Tc0 0]; %[h0 T0 Ca0 Cb0 Tc0 error0]
kondisi steady state
[t
Z]=ode15s(@ode20,tspan,IC,[],R,E,H,Cpcool,k0,dHr,Djaket,Tc
0,Ca0,dp,g,Dt,rho,Cp,Tf,Tref,DataFv,Tset,K1,K2,bias,Fcoolm
ax);
figure(1)
%subplot(4,1,1)
plot(t,Z(:,1))
ylabel('h,meter')
xlabel('t,sekon')
figure(2)
%subplot(4,1,2)
plot(t,Z(:,2))
ylabel('T,C')
xlabel('t,sekon')
figure(3)
%subplot(4,1,3)
plot(t,Z(:,3))
ylabel('Ca,kmol/m^3')
xlabel('t,sekon')
figure(4)
%subplot(4,1,3)
plot(t,Z(:,4))
ylabel('Cb,kmol/m^3')
xlabel('t,sekon')
figure(5)
%subplot(4,1,4)
plot(t,Z(:,5))
ylabel('Tc, C')
xlabel('t,sekon')
function
dZdt=ode20(t,Z,R,E,H,Cpcool,k0,dHr,Djaket,Tc0,Ca0,dp,g,Dt,
rho,Cp,Tf,Tref,DataFv,Tset,K1,K2,bias,Fcoolmax)
Fin=interp1(DataFv(:,1),DataFv(:,2),t);
h=Z(1);
T=Z(2);
Ca=Z(3);
Cb=Z(4);
Tc=Z(5);
errint=Z(6);
ap=3.14/4*dp^2;
At=3.14/4*Dt^2;
error=T-Tset;
P=bias+(K1.*error)+(K2.*errint);
Fcool=Fcoolmax*P;
a=500;
b=2;
UA=a*(Fcool^b);
k=k0*exp(-E/R/(T+273));
Fout=ap*sqrt(2*g*h);
derrintdt=(P-bias-K2*errint)./K1;
dhdt=(Fin-Fout)/At;
dCadt=(Fin*Ca0-Fout*Ca-k*Ca*At*h-At*Ca*dhdt)/(At*h);
dCbdt=(-Fout*Cb+2*k*Ca*At*h-At*Cb*dhdt)/(At*h);
dTdt= (Fin*rho*Cp*(Tf-Tref)-UA*(T-Tc)-Fout*rho*Cp*(T-
Tref)-k*Ca*At*h*dHr-At*rho*Cp*dhdt*T)/(At*rho*Cp*h);
dTcdt=(Fcool*rho*Cpcool*(Tc0-Tref)-Fcool*Cpcool*rho*(Tc-
Tref)+UA*(T-Tc))/(Vjaket*rho*Cpcool);
dZdt=[dhdt;dTdt;dCadt;dCbdt;dTcdt;derrintdt];
end